Anda di halaman 1dari 17

IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM

Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metodologi Studi Islam


Dosen Pengampu:
Jimatul Arrobi S.Pd.I., M.Pd.

Disusun Oleh Kelompok 2 :


1. Navisa Rahma (32023.1.30003)
2. Rahmat (32023.1.30010)
3. Dhisya Siti Fauziah Holik (32023.1.30012)
4. Lisnawati (-)

INSTITUT MADANI NUSANTARA


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH
IBTIDAIYAH (PGMI)
TAHUN AJARAN 2023/2024
Jl. Lio Balandongan Sirnagalih (Begeg) N0. 74 Kel. Cikondang Kec. Citamiang
Kota Sukabumi Jawa Barat 43161
2023/1445
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas
limpahan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya. Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Metodologi
Studi Islam.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Jimatul Arrobi.,
S.Pd.I., M.Pd sebagai dosen pengampu mata kuliah Metodologi Studi Islam yang
telah bersedia memeriksa dan mengoreksi Makalah kami, serta terima kasih
kepada anggota kelompok 2 kelas PGMI 1, atas kerjasama, waktu dan
kontribusinya dalam pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan karena keterbatasan kami. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan demi tercapainya kesempurnaan dari makalah
ini.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi semua pihak yang membutuhkan.

Sukabumi, 08 Oktober 2023

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 2

1.3 Tujuan .......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 3

2.1 Pengertian Ijtihad ......................................................................................... 3

2.2 Dasar-dasar Ijtihad ....................................................................................... 7

2.3 Syarat-Syarat Mujtahid................................................................................. 7

2.4 Fungsi Ijtihad .............................................................................................. 10

2.5 Jenis-Jenis Ijtihad ....................................................................................... 10

BAB III PENUTUP .............................................................................................. 13

3.1 Kesimpulan ................................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dari sisi metodologi hukum islam dapat dipahami sebagai hukum yang
bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah nabi melalui proses penalaran atau ijtihad.
Ia diyakini sebagai hukum yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dan
bersifat universal. Ruang gerak metodologi antara wahyu sebagai sumber hukum
yang memuat petunjuk-petunjuk global dan kedudukan ijtihad sebagai fungsi
pengembangannya, memungkinkan hukum islam memiliki sifat elastis dan
akomodatif sehingga keyakinan di atas tidaklah berlebihan. Karakteristik hukum
islam yang bersendikan wahyu dan bersandarkan akal, menurut Anderson,
merupakan ciri khas yang membedakan hukum islam dari sistem hukum lainnya.
Syariat islam yang disampaikan dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah secara
komprehensif, memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang sungguh-
sungguh serta berkesinambungan. Di dalam keduanya terdapat lafadz yang ‘am-
khas, mutlaq-muqayyad, nasikhmansukh, dan muhkam-mutasyabih, yang masih
memerlukan penjelasan. Sementara itu, nas Al-Qur’an dan sunnah telah berhenti,
padahal waktu terus berjalan dengan sejumlah peristiwa dan persoalan yang
datang silih berganti (al-wahy qad intaha wal al waqa’I layantahi). Oleh karena
itu, diperlukan usaha penyelesaian secara sungguh-sungguh atas persoalan-
persoalan yang tidak ditunjukkan secara tegas oleh nas itu.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ijtihad?
2. Apa dasar-dasar ijtihad?
3. Apa saja syarat-syarat seorang mujtahid?
4. Bagaimana fungsi ijtihad?
5. Apa saja jenis-jenis ijtihad?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian ijtihad
2. Untuk mengetahui dasar-dasar ijtihad
3. Untuk mengetahui syarat-syarat seorang mujtahid
4. Untuk mengetahui fungsi ijtihad
5. Untuk mengetahui jenis-jenis ijtihad

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ijtihad
Secara bahasa ijtihad berasal dari kata jahada. Kata ini beserta seluruh
variasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit
dilaksanakan, atau yang tidak disenangi. Kata ini pun berarti kesanggupan (al
wus), kekuatan (al thaqah), dan berat (al masyaqqah). Para ‘Ulama
mengajukan redaksi yang bervariasi dalam mengartikan kata ijtihad secara
bahasa. Ahmad bin Ahmad bin Ali al Muqri al fayumi. Secara bahasa dalam
artian jahada terdapat di dalam al-Qur’an surah an-nahl (16) ayat 38, surah
annur (24) ayat 53, dalam surah fathir (35) ayat 42. Semua kata itu berarti
pengarahan segala kemampuan dan kekuatan. Dalam al sunnah kata ijtihad
terdapat dalam sabda nabi yang artinya pada waktu sujud, bersungguh-
sungguh dalam berdoa dan hadits lain yang artinya “Rasulullah SAW
bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir pada bulan ramadhan.
Dalam sejarah pemikiran Islam, ijtihad telah banyak digunakan. Hakikat
ajaran Al-Qur’an dan Hadits memang menghendaki digunakannya ijtihad.
Dari ayat Al-Qur’an yang jumlahnya ± 6300, hanya ±500 ayat, menurut
perkiraan ‘ulama yang berhubungan dengan akidah, ibadah, dan muamalah.
Ayat-ayat tersebut pada umumnya berbentuk ajaran-ajaran dasar tanpa
penjelasan lebih lanjut mengenai maksud, rincian, cara pelaksanaannya dsb.
Untuk itu, ayat-ayat tersebut perlu dijelaskan oleh orang-orang yang
mengetahui Al-Qur’an dan Hadits, yaitu pada mulanya sahabat Nabi dan
kemudian para ‘ulama. Penjelasan oleh para sahabat dan para ‘ulama itu
diberikan melalui ijtihad.
Kata ijtihad menurut bahasa berarti “daya upaya” atau “usaha keras”.
Dengan demikian ijtihad berarti “berusaha keras untuk mencapai atau
memperoleh sesuatu”. Dalam istilah fikih, ijtihad berarti “berusaha keras
untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-dalil agama: Al-Qur’an dan
hadits (Badzl al-wus’I fi nail hukm syar’I bi dalil syar’I min al-kitab wa al-

3
sunnah). Ijtihad dalam istilah fikih inilah yang banyak dikenal dan digunakan
di Indonesia.
Dalam arti luas atau umum, ijtihad juga digunakan dalam bidang-bidang
lain agama. Misalnya Ibn Taimiyah yang menyebutkan bahwa ijtihad juga
digunakan dalam bidang tasawuf dan lain-lain, mengatakan: “Sebenarnya
mereka (kaum sufi) adalah mujtahid-mujtahid dalam masalah kepatuhan,
sebagaimana mujtahid-mujtahid lain. Dan pada hakikatnya mereka (kaum sufi
di Bashrah) dalam masalah ibadah dan ahwal (hal ihwal) ini adalah mujtahid-
mujtahid, seperti halnya dengan tetangga mereka di Kufah yang juga
mujtahid-mujtahid dalam masalah hukum, tata Negara, dan lain-lain. Dr.
Muhammad al-Ruwaihi juga menjelaskan bahwa di masa-masa akhir ini
timbul berbagai pendapat tentang Islam, baik di Barat, Timur, maupun pada
orang Arab serta orang Islam sendiri. Pendapat-pendapat orang Islam itu
merupakan Ijtihad, baik secara perorangan maupun kolektif, yang
memperoleh pahala sesuai dengan benar atau salahnya ijtihad itu. Berikut
adalah sejarah dan perkembangan ijtihad:
1. Bidang Politik
Untuk pertama kalinya ijtihad dilakukan terhadap yang pertama
timbul dalam Islam: Siapa pengganti nabi Muhammad sebagai khalifah
atau kepala Negara setelah beliau wafat?. Kaum Anshar berijtihad
bahwa pengganti beliau haruslah salah seorang dari mereka, dengan
alas an merekalah yang menolong beliau ketika dikejar-kejar kaum
Quraisy Makkah. Sedangkan menurut ijtihad Abu Bakar, yang berhak
menjadi khalifah pengganti nabi adalah orang Quraisy, dengan alasan
nabi Muhammad bersabda “para pemuka/al-aimmah adalah dari
golongan Quraisy”. Selama lebih 900 tahun ijtihad Abu Bakarlah yang
dipegang oleh umat Islam, yang dikenal dengan “Sunni”. Adapun
menurut ijtihad Ali, yang berhak menjadi khalifah pengganti Nabi
ialah keluarga Nabi Muhammad. Ijtihad ini di kemudian hari
melahirkan madzhab Syi’ah. Di dalam madzhab ini terdapat perbedaan
pendapat, sehingga melahirkan Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Ismailiyah,

4
dan Syi’ah 12. Dan kaum khawarij tidak menyetujui hasil ijtihad kaum
Anshar, kaum Sunni, dan kaum Syi’ah. Mereka (kaum khawarij)
berijtihad bahwa muslim manapun, asal memenuhi syarat-syarat yang
diperlukan, dapat menjadi khalifah dan tidak ada ketentuan bahwa ia
harus orang Arab, Quraisy, ataupun keturunan Nabi.
Tidak lama setelah menjadi khalifah, Abu Bakar menghadapi satu
masalah; sebagian orang Islam tidak mau membayarkan zakatnya
setelah Nabi Muhammad wafat. Ia menyelesaikan masalah itu melalui
ijtihad. Begitu pula Umar ibn al-Khattab. Melalui ijtihad ia
menyelesaikan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh meluasnya
daerah yang dikuasai oleh tentara Islam. Berlainan dengan ketentuan
dan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad, Umar tidak membagi-
bagikan tanah itu kepada tentara yang menaklukkannya.
2. Bidang Akidah
Pada zaman Ali ibn Abi Thalib timbul satu masalah: bagaimana
kedudukan orang yang berbuat dosa besar, apakah masih mukmin atau
sudah kafir?. Kaum Khawarij berijtihad bahwa orang yang berbuat
dosa besar itu keluar dari Islam, dank arena itu ia adalah kafir. Kaum
Murji’ah berijtihad bahwa ia masih mukmin. Sedangkan menurut
Kaum Mu’tazilah, ia tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi fasik.
Dalam bidang akidah ini selanjutnya timbul masalah: apakah
perbuatan manusia itu ciptaan Tuhan atau ciptaan manusia itu
sendiri?. Mengenai masalah ini, ijtihad kaum Mu’tazilah dan
Maturidiah Samarkand sama: Perbuatan manusia terjadi berkat
kehendak dan daya yang diciptakan oleh Tuhan dalam diri manusia.
Hal ini bertentangan dengan ijtihad Asy’ari dan Bazdawi dari
Maturidian Bukhara: Perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan.
Menurut Asy’ari, manusia hanya memperoleh perbuatan yang
diciptakan oleh Tuhan/al-kasb. Sedangkan menurut al-Bazdawi,
manusia hanya melakukan perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan, dan
untuk ini ia menggunakan istilah maf’ul Tuhan dan fi’il manusia.

5
Mengenai sifat-sifat Tuhan dalam ajaran Al-Qur’an yang
menggambarkan bentuk jasmani, Asy’ari berijtihad bahwa ayat-ayat
yang berkenaan dengan sifat-sifat Tuhan itu harus diartikan secara
harfiah; kursi Tuhan harus diartikan kursi pula, tetapi tidak sama
dengan kursi manusia. Sedang menurut ijtihad kaum Mu’tazilah ayat-
ayat tersebut harus diambil arti tersiratnya, bukan arti tersuratnya.
Dengan demikian, kursi Tuhan berarti kekuasaan Tuhan.
Hasil ijtihad yang berbeda-beda dalam bidang akidah ini
melahirkan 5 mazhab ilmu kalam: Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah,
Asy’ariyah, dan Maturidiah. Dan ajaran masing-masing mazhab ini
mengikat pengikut masing-masing.
3. Bidang Filsafat
Setelah terjadi kontak dengan filsafat Yunani, para ‘ulama Islam
mempelajari pemikiran-pemikiran para filsuf Barat. Karena Al-Qur’an
tidak merinci tentang penciptaan alam timbulah ijtihad di kalangan
para filsuf Islam tentang penciptaan alam. Menurut al-farabi dan Ibn
Sina, Tuhan menciptakan alam ini dari sesuatu yang telah ada, bukan
dari ketidakadaan, melalui pancaran (al-faid) dari Tuhan. Unsur ini
(pancaran) bersifat qadim karena ia diciptakan oleh Tuhan sejak
qidam. Dengan demikian, alam menurut ijtihad mereka adalah qadim
ditinjau dari segi unsurnya. Menciptakan sesuatu dari ketidakadaan
menurut filsafat adalah mustahil. Sedangkan menurut ijtihad al-
Ghazali, Tuhan itu Maha Kuasa dan dapat saja menciptakan alam ini
dari ketiadaan, dan memang alam ini diciptakan oleh Tuhan dari
ketidakadaan, dan bukan melalui pancaran. Selanjutnya al-Ghazali
mengatakan bahwa karena unsur itu tidak qadim, maka alam pun
bukan qadim, tetapi hadis (baru). Adapun Ibn Rusyd meperkuat ijtihad
golongan al-Farabi dengan mengutip dua ayat Al-Qur’an; “dan Ialah
yang menciptakan langit dan bumi dalam 6 dan tahta-Nya (pada waktu
itu) berada di atas air (Hud, 11:7). Dan ayat “Kemudian Iapun naik ke
langit sewaktu ia masih merupakan uap” (Hamim, 41:11). Ibn Rusyd

6
berijtihad, kedua ayat itu menjelaskan bahwa sebelum bumi dan langit
diciptakan oleh Tuhan, air dan uap itu telah ada. Dari kedua unsur
inilah Tuhan menciptakan alam. Kedua ayat di atas tidak mendukung
pendapat al-Ghazali yang menyatakan bahwa alam diciptakan dari
ketidakadaan, dalam arti bahwa sebelum bumi dan langit tak ada
sesuatupun selain Tuhan.
2.2 Dasar-dasar Ijtihad
Adapun yang menjadi dasar hukum ijtihad ialah, Al-Qur’an yang menjadi
dasar ijtihad adalah sebagai berikut.
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah
Allah wahyukan Kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penentang (orang
yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.” (Q.S.
Al-Nisa (4) : 105).
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berpikir.” (Q.S Al-Rum (30):21).
Adapun sunnah yang menjadi dasar ijtihad di antaranya hadits ‘Amr bin al-
‘Ash yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad yang
menyebutkan bahwa Nabi Muhammad bersabda:
“Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad, kemudian dia
benar maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika menetapkan hukum
dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu pahala”
(Muslim,II,t.th:62).
2.3 Syarat-Syarat Mujtahid
Mujtahid ialah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara
istinbath (mengeluarkan hukum dari sumber hukum syariat) dan tahqiq
(penerapan hukum).
Rukun Ijtihad:
1. Al-waqi’, yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi yang
tidak diterangkan nas.

7
2. Mujtahid, ialah orang yang melakukan ijtihad yang mempunyai
kemampuan untuk berijtihad dengan syarat-syarat tertentu.
3. Mujtahid fih, ialah hukum-hukum syariah yang bersifat amali (takhlifi)
4. Dalil syara untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fih (nadiyah
syafari al-umari, t.th:199-200).

Menurut Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali syarat-syarat


mujtahid ada dua:

1. Mengetahui syariat-syariat yang ada serta hal-hal yang berkaitan


dengannya sehingga dapat mendahulukan yang seharusnya di dahulukan &
mengakhiri sesuatu yang seharusnya diakhiri.
2. Adil dan tidak melakukan maksiat yang dapat merusak keadilannya.

Menurut Fakkhr Al-Din Muhammad Bin Umar bn Al-Husain al-Razi


(1988:496-7), syarat-syarat mujtahid adalah:

1. Mukalaf, karena hanya mukalaflah yang mungkin dapat melakukan


penetapan hukum.
2. Mengetahui makna-makna lafadz dan rahasianya.
3. Mengetahui keadaan mukhathab yang merupakan sebab pertama
terjadinya perintah atau larangan.
4. Mengetahui keadaan lafadz; apakah memiliki qarinah atau tidak.

Menurut Abu Ishaq bin Musa al-Syatibi (1341 H: 90-1), syarat-syarat


mujtahid ada tiga.

1. Memahami tujuan-tujuan syara’ (maqashid al-syari’ah), yaitu dlaruriyyat


yang mencakup pemeliharaan agama (hifzh al-din), pemeliharaan jiwa
(hifzh al-nafs), pemeliharaan akal (hifzh al-aql), pemeliharaan keturunan
(hifzh al-nasl), dan pemeliharaan harta (hifzh al-mal); hajiyyat, dan
tahsiniyyat.
2. Mampu melakukan penetapan hukum
3. Memahami bahasa arab dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya.

8
Berbeda dengan syarat-syarat terdahulu, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad
al-Syaukani menyodorkan syarat-syarat mujtahid sebagai berikut:

1. Mengetahui Al-Qur’an dan al-Sunnah yang bertalian dengan masalah-


masalah hukum jumlah ayat-ayat hukum di dalam Al-Qur’an sekitar 500
ayat
2. Mengetahui ijma’ sehingga tidak berfatwa atau berpendapat yang
menyalahi ijma’ ‘ulama
3. Mengetahui bahasa Arab karena Al-Qur’an dan al-Sunnah disusun dalam
bahasa Arab.
4. Mengetahui ilmu Ushul Fiqh. Ilmu ini merupakan ilmu terpenting bagi
mujtahid karena membahas dasar-dasar serta hal-hal yang berkaitan
dengan ijtihad.

Dengan demikian syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid itu
cukup banyak. Maka menurut Muhaimin dkk, sesuai dengan syarat-syarat yang
dimilikinya. Mujtahid itu terbagi menjadi beberapa tingkatan. Tingkatan-tingkatan
itu adalah mujtahid mutlaq dan mujtahid mad-hab. Mujtahid mutlaq ialah
mujtahid yang mampu menerapkan dasar-dasar pokok sebagai landasan ijtihad.
Mujtahid mutlak terbagi menjadi dua tingkatan. Pertama, mujtahid muthlaq
mustaqil, yaitu mujtahid yang dalam ijtihadnya menggunakan metode dan dasar-
dasar yang ia susun sendiri. Ia tidak taklid kepada mujtahid lainnya, dan bahkan
metode dan dasar-dasar yang ia susun menjadi mazhab tersendiri. Yang termasuk
mazhab ini, umpamanya, empat tokoh mazhab fiqh terkenal seperti Abu Hanifah,
Imam Maliki, Imam Syafi’I dan Imam Hambali. Kedua, mujtahid mutlaq
muntasib, yaitu mujtahid yang telah mencapai derajat mutlaq mustaqil tetapi ia
tidak menyusun metode sendiri. Mujtahid kelompok ini tidak taklid kepada
imamnya tanpa dalil dan keterangan, ia menggunakan keterangan imamnya untuk
meneliti dalil-dalil dan sumber-sumber pengambilannya. Contohnya, Al-Mujani
dari mazhab Syafi’i dan Al-Hasan bin Ziyad dari mazhab Hanafi. Mujtahid Fi Al-
Mazhab ialah mujtahid yang mampu mengeluarkan hukum-hukum agama yang
tidak dan atau belum dikeluarkan oleh mazhabnya dengan cara menggunakan

9
metode yang telah disusun oleh mazhabnya itu. Contohnya, Abu Ja’far Al-
Thahtawi dalam mazhab Hanafi.

2.4 Fungsi Ijtihad


Meski Al-Qur’an sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap tidak
berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al-
Qur’an maupun Al-Hadits. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat
turunnya Al-Qur’an dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah
baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan turunan dalam
melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari. Jika
terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau
di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara
yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al-Qur’an atau
Al-Hadits. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti
ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an atau Al-Hadits
itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau
tidak ada ketentuannya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Pada saat itulah
maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat
Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al-Qur’an dan Al-Hadits.

2.5 Jenis-Jenis Ijtihad

 Ijma’
Ijma’ artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ‘ulama dalam
menetapkan suatu hukum-hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur’an
dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi adalah keputusan bersama
yang dilakukan oleh para ‘ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian
dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma’ adalah fatwa, yaitu
keputusan bersama para ‘ulama dan ahli agama yang berwenang untuk
diikuti seluruh umat.
 Qiyas

10
Qiyas adalah menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu
hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya
namun memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai
aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam,
Ijma’ dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal-hal yang
ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya.
Beberapa definisi qiyas (analogi):
 Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya,
berdasarkan titik persamaan di antara keduanya.
 Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya,
melalui suatu persamaan di antaranya
 Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di
dalam Al-Qur’an atau Hadits dengan kasus baru yang memiliki
persamaan sebab (iladh).
 Menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum di
terangkan oleh Al-Qur’an dan Hadits.
 Istihsan
Beberapa definisi Istihsan:
 Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang faqih (ahli fikih), hanya
karena dia merasa hal itu adalah benar.
 Argumentasi dalam fikiran seorang faqih tanpa bisa diekspresikan
secara lisan olehnya.
 Mengganti argument dengan fakta yang dapat diterima, untuk
maslahat orang banyak.
 Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah
kemudharatan.
 Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap
perkara yang ada sebelumnya.
 Maslahah murshalah

11
Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya
dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik
manfaat dan menghindari kemudharatan.
 Sa’dudz Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau
haram demi kepentingan umat.
 Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada
alasan yang bisa mengubahnya.
 Urf
Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan
kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak
bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Al-Qur’an dan Hadits.

12
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Ijtihad secara harfiah adalah usaha keras. Dalam terminologi hukum islam itu
berarti berusaha sekeras-kerasnya untuk membentuk penilaian yang bebas tentang
sesuatu masalah hukum.
Mujtahid adalah orang muslim dewasa yang berakal sehat yang mempunyai
kapabilitas & kopetensi untuk menghasilkan hukum-hukum dari sumber-
sumbernya.
Ijma’ artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ‘ulama dalam menetapkan
suatu hukum-hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits dalam suatu
perkara yang terjadi.
Qiyas adalah menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya,
berdasarkan titik persamaan di antara keduanya.
Istihsan adalah argumentasi dalam pikiran seorang faqih tanpa bisa
diekspresikan secara lisan olehnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/ijtihad.

Ajib Mas'adi, G. (1997). Metodologi Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: PT


Raja Grafindo Persada.

Ali, M. (2000). Ijtihad dalam pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dakhlan,


dan Muhammad Iqbal. Jakarta: PT Bulan Bintang.

Asmawi. (2011). Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta: AMZAH.

14

Anda mungkin juga menyukai