Anda di halaman 1dari 17

OBJEK PEMBAHASAN DAN TUJUAN MEMPELAJARI

USHUL FIQIH

Makalah

Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok ushul fiqh

Dosen Pengampu: Ade Ruslan Hidayat, S.Pd.I, M.S.I

Oleh Kelompok 3:

Adhira Kalam

Ahmad Maulana Baihaqi

Siti Salma Sopariatul

Syifa Nurul Hafshah

INSTITUT MADANI NUSANTARA (IMN)

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

2023/1444

Jl. Lio Balandongan Sirnagalih (Begeg) NO. 74 Kel. Cikondang Kec. Citamiang
Kota Sukabumi Jawa barat 43161

KATA PENGANTAR
‫بسم هللا الرحمن الى حيم‬

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita dapat menjalankan
aktivitas sehari-hari dengan lancar, khususnya dalam melaksanakan penelitian dan
dapat menyelesaikan makalah sebagai tugas kelompok membuat makalah dengan baik.
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SHALALLAHU
‘ALAIHI WA SALAM keluarganya, para sahabatnya dan sekalian umatnya yang
senantiasa memelihara keimanan dan kesetiaan untuk menjalankan sunahnya. yang
telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman yang terang-benderang yakni
ad-dinul Islam.

Karya tulis ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah fiqh Ibadah yang
telah menjadi ketentuan bagi para mahasiswa/i. Penulis mengucapkan terima kasih
teriring doa jazakallahu khairan kepada Orang tua yang telah mendukung, mendidik,
dan menuntun penulis tetap di jalan-Nya, Penyusunan makalah ini yang berjudul “Ilmu
Fiqih."

Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Kami meminta
maaf bilamana terdapat kesalahan kata atau kalimat yang kurang berkenan. Serta tak
lupa kami juga berharap adanya masukan serta kritikan yang membangun dari Anda
demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi.

Akhir kata, dengan ini kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan, sehingga masih perlu penyempurnaan. Oleh sebab itu, untuk
menyempurnakan makalah ini kritik dan saran yang membangun dari segenap pihak
merupakan hal yang berharga bagi kami. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya Aamiin Ya RobbalPuji syukur
kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan rahmatnya
penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa ada halangan yang berarti
dan sesuai dengan harapan.

Sukabumi, 08 Oktober 2023

DAFTAR ISI

ii
COVER…………………………………………………………………….……………….…… i

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………...……….
i

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………....……
iii

BAB I: PENDAHULUAN

1.1 Latar
Belakang .........................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………………………….……...…


1

1.4 Tujuan Penulisan ……………………………………………………………………..


…........1

BAB II: PEMBAHASAN

2.1 Objek Kajian Ushul


Fiqih………………….............................................................................2

2.1 Pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-dalil


hukum………………………................3

2.2 Pembahasan tentang hukum syara’


…………………..............................................................4

2.4 Pembahasan tentang ijtihad………………...


………...............................................................5

3.2 Tujuan Dan Pentingnya Ushul Fiqih…………………………….………..


……......................9

BAB III: PENUTUP

3.1 Kesimpulan……………………………………………………………..............................12

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Objek dan ruang lingkup ushul fiqih adalah hukum hukum kulli yang bersifat
umum. Seperti hukum wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram dalam pembahasan
yang bersifat global.
Sesungguhnya sudah tidak di ragukan lagi bahwa pohon itu tidak akan berdiri tanpa
adanya akar dan rumah tidak akan tegak kokoh tanpa adanya pondasi yang kuat begitu
pula hukum fiqh yang tidak berdiri sendiri tanpa adanya ushul fiqh.
Sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu Ushul Fiqh tumbuh dan
berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Quran dan Sunnah, Ushul Fiqh tidak timbul
dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rosulullah dan
sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqih, seperti ijtihad, qiyas, nasakh,
dan takhsis sudah ada pada zaman Rasulullah sahabat. Dan di masa Rasulullah SAW,
umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum
syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah SAW lewat
penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau SAW.

1.2 Rumusan Masalah

- Bagaimana mengetahui objek kajian ushul fiqih


- Bagamaina mengetahuui tujuan ushul fiqh
- Bagaimana cara mngetahui hukum hukum kulli

1.3 Tujuan Penulisan

iv
- Untuk mengetahui objek kajian ushul fiqh
- Untuk mengetahui tujuab ushul fiqh
- Untuk mengetahui hukum hukum kulli

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Objek Kajian Ushul Fiqih

Menurut Abdullah bin Umar al-Baidlawi ada tiga masalah pokok


yang akan dibahas dalam ushul fikh, yaitu tentang sumber dan dalil hukum,
tentang metode istinbath, dan tentang ijtihad. Menurut Abdullah bin Umar al-
Baidlawi kajian tentang hukum (al-hukm) diletakkan pada bagian pendahuluan.
Sedangkan Imam Abu Hamid Al-Ghazali (450-505 H), ahli ushul fiqh dari
kalangan syafi’iyah meletakkan pembahasan tentang hukum bukan pada
pendahuluan, melainkan pada bagian pertama masalah-masalah pokok yang
akan dibahas dalam ushul fiqh. Berpegang kepada pendapat Al-Ghazali tersebut,
maka objek bahasan ushul fiqh terbagi menjadi 4 bagian, yaitu:

1. Pembahasan tentang hukum syara’ dan yang berhubungan dengannya,


seperti hakim, mahkum fih, dan mahkum ‘alaih.

2. Pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hukum

3. Pembahasan tentang cara mengistinbathkan hukum dari sumber-sumber


dan dalil-dalil itu

4. Pembahasan tentang ijtih

Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam bukunya al-Wasith Fi ushul al-Fiqh


menjelaskan bahwa yang menjadi inti dari objek kajian ushul fiqh adalah
tentang dua hal, yaitu dalil-dalil secara global dan tentang al-ahkam (hukum-

v
hukum syara’). Selain dua hal tersebut, dipaparkan oleh para ulama ushul fiqh
yang hanya sebagai pelengkap. Lalu aspek mana saja dari kedua objek bahasan
tersebut yang dikaji dalam ushul fiqh?. Dalil-dalil syara’ dikaji dari segi
tetapnya sifat-sifat esensialnya. Misalnya, Al-Qur’an adalah kitab suci dan
menjadi sumber bagi ketetapan hukum syara’. Al-amr (perintah) yang terdapat
di dalam Al-Qur’an menunjukkan hukum wajib. Sebuah teks (nash) yang tegas
menunjukkan pengertiannya secara pasti (qath’i), lafal umum yang sudah
ditakhshish sebagian cakupannya, sisanya berlalu secara tidak pasti (zhanny).
Dalam contoh-contoh di atas, Al-Qur’an dikaji dari segi kompetensinya dalam
menetapkan hukum, teks (nash) yang tegas dikaji dari segi kepastian
pengertiannya menunjukan hukum, dan lafal umum yang sudah ditakhshish
sebagian cakupannya dikaji dari segi ketidakpastian penunjukannya terhadap
sisa cakupan pengertiannya mengenai hukum.

Begitulah setiap teks ayat atau hadis dalam berbagai macam bentuk dan
karakteristiknya dikaji sedemikian rupa sehingga akan membuahkan
kesimpulan-kesimpulan yang diluruskan dalam bentuk kaidah-kaidah umum.
Kemudian hukum syara’ dijelaskan secara panjang lebar, baik dari segi
konsepnya maupun dari segi bagaimana ia bisa ditetapkan melalui dalil-dalil
syara’. Dari sisi ini kelihatan hubungan erat antara hukum dan dalil-dalil syara’.
Sebuah ungkapan menarik dalam hal ini adalah apa yang dikemukakan oleh Abu
Ishaq al-Syathibi dalam kitabnya al-muwafaqat fi ushul al-syari’ah. Ia
mengatakan:”setiap kajian yang dirumuskan dalam ushul fiqh yang tidak bisa
dibangun diatasnya hukum fiqh, atau adab sopan santun syara’, atau tidak
membantu untuk pembentuk-an hal-hal tersebut, maka meletakkan hal seperti itu
dalam ushul fiqh adalah sia-sia.

2.1 Pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hukum

(a).Mutafaq ‘alaih (yaitu dalil yang di sepakati)

(b).mukhtalaf hadis (Yaitu hadist hadist yang masih di perdebatkan ke shohihannya)

vi
2.2 Pembahasan tentang hukum syara’ dan yang berhubungan dengannya,
seperti hakim, mahkum bih, mahkum fih, dan mahkum ‘alaih.

Pembahasan tentang hukum dalam ilmu ushul fiqh adalah secara umum, Tidak
dibahas secara terperinci hukum bagi setiap perbuatan. Pembahasn tentang hukum ini
meliputi pembahasan tentang macam-macam hukum dan syarat-syaratnya. Yang
menetapkan hukum (al-hakim), orang yang dibebani hukum (al-mahkum ‘alaih), syarat-
syarat ketetapan hukum (al-mahkum bih), dan macam-macamnya dan perbuatan-
perbuatannya ditetapi hukum (al-mahkum fih) serta syarat-syaratnya.

1) Yang menetapkan hukum/al hakim ( yaitu Allah SWT). "Inna al hukmu illalloh".
Q.S. al An'am. A.57

2) Objek hukum atau perbuatan yang dihukumkan/mahkum fih, yaitu perbuatan-


perbuatan orang mukallaf yang dihukumkan padanya, sebagai akibat dari bermacam isi
dan maksud yang terkandung dalam firman Allah dan sabda Nabi Muhammad SAW.

3) Subyek hukum atau yang menanggung hukumnya/mahkum 'alaih, yaitu orang


mukallaf, dimana perbuatannya menjadi tempat berlakunya hukum Allah. Seperti
misalnya, firman Allah "aqimus sholah."/dirikan shalat. Perintah ini ditujukan kepada
orang mukallaf yang dapat mengerjakan shalat, bukan ditujukan kepada anak-anak atau
orang gila. Hak-hak Allah maupun hak-hak manusia, bagaimanapun juga macamnya,
tidak dibebankan kecuali kepada orang yang mempunyai kemampuan. Karenanya
kemampuan orang mukallaf menjadi dasar adanya taklif/pertanggungan jawab.

2.3 Pembahasan tentang cara/kaidah mengistinbathkan hukum syara’ dari


sumber – sumber dan dalil yang mengandungnya.

Adalah daya usaha membuat keputusan hukum syarak berdasarkan dalil-dalil al-
Quran atau Sunnah yang sedia ada. Pembahasan tentang kaedah (= teori yang diambil

vii
dari atau menghimpun masalah-masalah fiqih yang bermacam-macam sebagai hasil
ijtihad para mujtahid), yaitu yang digunakan sebagai jalan untuk memperoleh hukum
dari dalil-dalilnya, antara lain mengenai ragamnya, kehujahannya dan hukum-hukum
dalam mengamalkannya.

Metode istinbat yang dibahas dalam bagian ini adalah dari metode-metode
istinbath secara keseluruhan. Bagian ini khusus membicarakan metode bila mana dalam
pandangan mujtahid terjadi pertentangan antara dalil yang satu dengan dalil yang lain.
Seperti yang dikemukakan oleh abd al-rahim al-isnawi, mendahulukan dalil yang tegas
atas dalil yang tidak tegas pengertiannya, mendahulukan hadis yang mutawatir atas
hadis yang tidak mutawatir, dan lain-lain yang umumnya dibahas dalam kajian ta’arud
al-adillah (dalil-dalil yang bertentangan) dan metode tarjih (cara mengetahui mana yang
lebih kuat sehingga harus didahulukan).

2.4 Pembahasan tentang ijtihad

Adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan


oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara
yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal
sehat dan pertimbangan matang Pembahasan tentang ijtihad, yaitu pembicaraan tentang
berbagai hal, syarat-syarat bagi orang yang boleh melakukan ijtihad, tingkatan-
tingkatan orang dilihat dari kacamata ijtihad dan hukum-hukum melakukan ijtihad.

Dalam pembahasan ini, dibicarakan tentang macam-macamnya, syarat-syarat bagi


orang yang boleh melakukan ijtihad, tingkatan-tingkatan orang dilihat dari kacamata
ijtihad dan hukum melakukan ijtihad.

Dalam membicarakan sumber hukum, dibicarakan pula kemungkinan terjadinya


benturan antara dalil-dalil dan cara menyelesaikannya. Dibahas pula tentang orang-
orang yang berhak dan berwenang menggunakan kaidah atau metode dalam melahirkan
hukum syara’ tersebut. Hal ini memunculkan pembahasan tentang ijtihad dan mujtahid.
Kemudian membahas mengenai tindakan dan usaha yang dapat ditempuh orang-orang
yang tidak mempunyai kemampuan dan kemungkinan berijtihad atau pembahasan
tentang taklid dan hal-hal lain yang berhubungan dengannya.

viii
Dalam ushul fikh inilah dibahas bagaimana para mujtahid mencapai
kesepakatan menyangkut sumber-sumber hukum fikh, dan di mana letak perbedaan
pandangan mereka. Seperti diketahui, bahwa para mujtahid telah menyepakati Al-
Qur’an, Al-Sunnah dan Ijma sebagai sumber utama penetapan hukum fikih . Adapun
sumber-sumber lain, ada yang hampir di sepakati secara umum seperti qiyas, dan hanya
sekolampok kecil menolaknya, dan ada pula yang tetap menjadi perselisihan dikalangan
para mujtahid. Sumber macam terahir ini adalah istihasan, istishlah ( mashlahah
mursalah ), syariat sebelum islam, fatwah sahabat, saddu al-dzari’ah dan istishhab.

Pembahasan tentang sumber-sumber hukum fikih di atas, banyak di kaitkan


dengan pembahasan tentang al-hakim atau al-syari’ (pencipta syari’at), dalam hal ini
adalah Allah swt dan rasul-Nya. Berkaitan dengan ini, lahirlah pembahasan tentang
peranan akal sebagai salah satu sumber ijtihadiy dalam berfikih. Selanjutnya di bahas
pula mengenai al-mahku’alaih (mukkallaf), yang berkaitan pula dengan pembahasan
istitha’ah (daya mukallaf) dan niat (kesengajaannya) dalam berbuat dan al-mahkum bih
(amal-amal perbuatan ) mukallaf itu sendiri.

Pembahasan tentang hukum, yang kemuadian di bedakan antara hukum taklif


( wajib, mandub, haram, makruh dan mubah ) dan hukum wadha’iy, yakni hukum yang
timbul karna pertalian antara dua obyek hukum atau lebih. Pembahasan tentang ini pula
melahirkan pengetahuan tentang syarat-syarat suatu amal (syarth), sebab-sebab adanya
tuntutan melakukan amal ( sabab), sebab- sebab terhalangnya suatu amal ( mani’) sah
dan batalnya suatu amal, adanya rukhshah ( kemudahan ) meninggalkan amal-amal
tertentu.

Di samping itu, hal yang tak kalah pentingnya di bahas dalam ushul fikih ialah
thuruq al-istinbhath ( metode istinbaht ), yang secara mendasar ada dua macam, yakni
istinbhat berdasarkan lafazh dan istinbat berdasarkan makna. Dalam membahas
mengenai hal ini, terkait dengan upava mujtahid menganalisis kejelasan dan
ketidakjelasan suatu dalil sehingga lahir istilah qath’iy dan zhanniy, pembahasan
mengenai bentuk dilalah dari lafazh-lafazh itu sendiri yang melahirkan istilah ‘ ibarah,
isyarah, mafhum muwafaqah, mafum mukhalafah, dan dilalah iqtidha”. Demikian pula
pembahasan mengenai ruang cakupan suatu dalil yang dibagi dalam empat macam,
yakni dalil’ am dan khas, muthlaq dan muqayyad. Termasuk pula pembahasan
mengenai lafazh adalah taklif ( shighat al-taklif) yang didukun oleh dalil, yang secara
ix
garis besarnya adalah awamir ( dalil-dalil yang mengandung perintah), nawahiy ( dalil-
dalil yang mengandung larangan) dan ibaha. Dalam kaitan inilah timbul penetapan
hukum fiqh yang meliputi : wajib, mandub, haram, makruh, mubah.

Dalam ushul fiqh dibahas pula sifat-sifat mujtahid, yakni diantaranya mujtahid
yang melakukan ijtihad secara mutlak tanpa terikat oleh pendapat mujtahid lain dan
tanpa membatasi wilayah ijtihadnya, seperti yang dilakukan oleh empat mazhab besar
( Abu Hanifah, Malik, Al-Svafi’iy, dan Abu Ahmad Ibn Hanbal) : adapula yang
berijthad tetapi terkit dalam satu mazhad : adapula yang berijtihad menyangkut
sebahagian masalah fiqh saja sedang pada masalah lainnya mengikuti mazhab tertentu.

Untuk menjelaskan terhadap hal ini, kami kelompok 3 akan membuat beberapa
contoh berikut

Al-qur’an adalah dalil syar’i yang pertama bagi setiap hukum. Nash-nash yang
ditasyri’iyyah tidaklah dalam satu bentuk saja,akan tetapi diantaranya ada yang datang
dalam bentuk amar (perintah) ada pula yang dalam bentuk nahi (larangan),dan ada pula
yang dalam bentuk umum atau mutlak. Bentuk perintah, larangan, bentuk umum, dan
bentuk mutlak merupakan beberapa macam yang bersifat umum dari aneka macam dalil
syar’i yang umum pula, yaitu: al-qur’an. Jadi seorang ahli ushul fikh membahas
terhadap setiap macam dari aneka macam ini supaya ia dapat sampai kepada bentuk
hukum yang menjadi dalalahnya, dimana dalam membahasnya ia mempergunakan
penyelidikan tentang uslub-uslub bahasa arab dan pemakaian hukum syara’.

Kaidah-kaidah umum tersebut maupun lainnya yang telah dicapai oleh ahli ilmu ushul
fiqh melalui pembahasannya sampai dengan penetapannya itu diambil oleh ahli fiqh
sebagai kaidah yang diterima dan ia terapkan terhadap bagian-bagian dalil umum,
supaya ia dapat sampai kepada hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan
manusia secara rinci. Jadi faqih menerapkan kaidah: “perintah menunjukkan pengertian
pewajiban” terhadap firman Allah SWT.:

‫ا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا َأْو ُفوا ِباْلُع ُقوِد ۚ ُأِح َّلْت َلُك ْم َبِهيَم ُة اَأْلْنَع اِم ِإاَّل َم ا ُيْتَلٰى َع َلْيُك ْم َغْيَر ُمِح ِّلي الَّصْيِد َو َأْنُتْم ُحُر ٌم ۗ ِإَّن َهَّللا َيْح ُك ُم‬
‫َم ا ُيِر يُد‬

x
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu…” (QS.Al-Maidah
: 1)

Dan ia menetapkan bahwa memenuhi akad adalah wajib hukumnya. Ia juga


menerapkan kaidah bahwa “larangan menunjukkan pengharaman” terhadap firman
Allah SWT.:

َ ۖ ‫ُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنو۟ا اَل َيْسَخْر َقْو ٌم ِّم ن َقْو ٍم َع َس ٰٓى َأن َيُك وُنو۟ا َخْي ًرا ِّم ْنُهْم َو اَل ِنَس ٓاٌء ِّم ن ِّنَس ٓاٍء َع َس ٰٓى َأن َيُك َّن َخْي ًرا ِّم ْنُهَّن‬
‫َّٰظ‬ ‫َٰٓل‬
‫َو اَل َتْلِم ُز ٓو ۟ا َأنُفَس ُك ْم َو اَل َتَناَبُز و۟ا ِبٱَأْلْلَٰق ِبۖ ِبْئَس ٱٱِلْس ُم ٱْلُفُس وُق َبْع َد ٱِإْل يَٰم ِن ۚ َو َم ن َّلْم َيُتْب َفُأ۟و ِئَك ُهُم ٱل ِلُم وَن‬

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan


kaum yang lain…”. ( QS.Al-Hujurat : 11)

Kemudian ia memutuskan bahwa mengolok-olokkan suatu kaum terhadap kaum


lainnya adalah haram hukumnya.

Ia juga dapat menerapkan kaidah : sesuatu yang umum mencakup seluruh satuan-
satuannya secara pasti )” terhadap firman Allah SWT. :

ُ ‫ِّر َم ْت َع َلْيُك ْم ُاَّم ٰه ُتُك ْم‬

Artinya : “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu….”. (QS.An-Nisa’ : 23)

Selanjutnya ia menetapkan bahwa semua ibu diharamkan. Dan ia juga dapat


menerapkan kaidah “sesuatu yang mutlak menunjukkan terhadap satuan manapun”
terhadap firman Allah SWT. tentang kaffarat zhihar :

ِّ‫ْن َقْبِل َاْن َّيَتَم ۤا َّس ۗا ٰذ ِلُك ْم ُتْو َع ُظْو َن ِبه‬

Artinya : “… maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak…”. (QS.Al-


Mujadilah : 3)

Kemudian ia menetapkan bahwa didalam kaffarat zhihar cukup dengan memerdekakan


seorang budak, baik muslim maupun non muslim.

xi
Dari uraian tersebut, maka jelaslah perbedaan antara dalil kulli (umum) dan dalil
juz’I (detail), dan jelas pula perbedaan antara hukum kulli dan hukum juz’i.

Adapun hukum kulli, maka ia adalah sesuatu bentuk umum daripada hukum, yang
dibawahnya termasuk sejumlah bagian-bagian, seperti ijab (pewajiban), tahrim
(pengharaman), shihhah (shah), dan buthlan (batal). Ijab merupakan suatu hukum kulli
yang didalamnya tercakup pewajiban memenuhi berbagai perjanjian, pewajiban adanya
beberapa saksi dalam perkawinan, dan pewajiban hal yang wajib lainnya. Tahrim
(pengharaman) juga merupakan hukum kulli yang didalamnya terkandung pengharaman
zina dan pencurian dan pengharaman apa saja yang diharamkan. Demikian pula sah dan
batal. Dengan demikian, ijab (pewajiban) merupakan hukum kulli dan pewajiban
perbuatan tertentu merupakan hukum juz’i.

Ahli ilmu ushul fiqih tidak akan membahas mengenai dalil-dalil juz’iyyah,
tidak pula mengenai hukum-hukum juz’iyyah yang ditunjukinya; akan tetapi ia hanya
membahas terhadap dalil kulli dan hukum kulli yang ditunjukinya, supaya ia dapat
membuat kaidah-kaidah umum bagi pengertian berbagai dalil, agar diterapkan seorang
faqih terhadap dalil-dalil juz’iyyah untuk menghasilkan hukum yang rinci. Seorang
faqih tidak membahas mengenai dalil kulli maupun hukum kulli yang ditunjukinya,
akan tetapi ia hanyalah membahas mengenai dalil juz’I dan hukum juz’I
yang ditunjukinya.

3.4 Tujuan dan Pentingnya Ushul Fiqih

Tujuan yang hendak dicapai oleh ilmu Ushul Fiqh ialah untuk dapat
menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terperinci agar sampai
kepada hukum-hukum syara’ yang bersifat amali yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu.
Dengan kaidah ushul serta bahasannya itu dapat dipahami nash-nash syara’ dan hukum
yang terkandung di dalamnya.

Demikian pula dapat dipahami secara baik dan tepat apa saja yang dirumuskan
mujtahid dan bagaimana mereka sampai kepada rumusan itu. mempelajari ilmu ushul

xii
fiqih adalah mengetahui dan mnerapkan dalil ijmal untuk menggali hokum syara’ yang
bersifat amal.

Sebagai contoh dalam hal ini penetapan hukum asal dari larangan itu hukumnya haram,
yang terdapat pada Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 168 :

َٰ ‫آ ُّيـَها الَّناُس ُك ُلْو ا ِمَّم ا ِفي اّألْر َح ٰل ًال َطِّيـًبا َو َال َتتَّـِبُعْو ا ُخ ُطَو اِت الَّش ْيٰط ِن قلى ِاَّنه َلُك ـْم َع ُد ٌّو ُّم ـِبْيٌن‬
‫ِض‬

“hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,
dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Karena sesungguhnya setan itu
adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah : 168)

Ayat diatas adalah perintah yang hukumnya wajib bagi seluruh umat Islam untuk
memakan harta yang halal dan bergizi. Lalu, pada ayat tersebut terdapat kalimat yang
artinya “Dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan”. Kalimat itu adalah
larangan maka haram hukumnya bagi orang yang beriman mengikuti pola hidup dengan
sistem yang dibentuk dan dibangun oleh setan. Kaitannya dengan makanan yang
dimaksud dengan pola hidup setan adalah menikmati harta benda hasil korupsi,
manipulasi, menipu, merampok, dan bentuk kejahatan lainnya

Sedangkan contoh yang ada pada hadis Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam
adalah sebagai berikut

‫ َيا‬, ‫ُفِر َضِت الَّص َالُة َع َلى الَّنِبِّي َص َّلى ُهللا َع َلْيه َو َس َّلَم َلْيَلَة ُاْس ِر َي ِبِه َخ ْمِس ْيَن ُثـَّم ُنـِقَص ْت َح َّتى ُج ِع َلْت َخ ْم ًسا ُثـَّم ُنْو ِدَي‬
‫ َو ِاَّن َلَك ِبـٰه ِذِه الَخ ْم ِس َخ ْمِس ْيَن‬, ‫ ِاَنُه َال ُيـَبَّد ُل اْلَقْو ُل َلَدَّي‬, ‫ُمَحَّم ُد‬

“Telah difardhukan shalat kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Pada


malam Isra’ sebanyak lima puluh kali, kemudian dikurangi hingga lima kali, kemudian
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Dipanggil, “Hai Muhammad, keputusan-Ku tidak
dapat diganggu gugat, dan dengan shalat lima waktu ini, engkau tetap memperoleh
pahala sebanyak lima puluh kali.” (HR. Ahmad, Imam An-Nasa’i, Imam Tirmidzi dan
dinyatakan hadis ini shahih) Dengan hadis tersebut, asal dari hukum wajib itu adalah

xiii
perintah dari Allah Subhanahu Wata’ala tentang shalat lima waktu, yang didapat oleh
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pada perjalanan malam Isra’.

Kaitannya dengan shalat lima waktu, Al-Qur’an menjelaskan dalam surat Al-Isra ayat
78 :

‫َاِقِم الَّص ٰل وَة ِلُد ُلْو ِك الَّشْم ِس ِاٰل ى َغَش ِق اَّلْيِل َو ُقْر ٰا ِن اْلَفْج ِر ج ِاَّن ُقْر ٰا َن اْلَفْج ِر َك اَن َم ْش ُهْو ًدا‬

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh
malaikat).” (QS Al-Isra : 78)

Pada ayat diatas terdapat kata (‫ )أقم‬yang merupakan fi’il amr, maka kaidah Ushul
Fiqhnya pun sama dengan kata (‫( )فرض‬fardhu), yaitu kata kerja perintah. Ayat tersebut
menetapkan kewajiban shalat ketika matahari tergelincir, yakni dhuhur dan ashar,
kemudian shalat ketika matahari terbenam menuju gelap, yakni maghrib dan isya’, serta
shalat fajar yakni shalat subuh. Demikian yang dimaksud shalat wajib lima waktu yang
telah diperintahkan oleh Allah kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.
dan seluruh umatnya

Menurut Abdul Wahab Khallaf, tujuan mempelajari ilmu ushul fiqh adalah
untuk mengaplikasikan kaidah-kaidah dan teori-teori ushul fiqh terhadap dalil-dalil
yang spesifik untuk menghasilkan hukum syara’ yang dikehendaki oleh dalil tersebut.
Menurut al-Khudhari Beik dalam kitab ushul fiqhnya, tujuan mempelajari ilmu ushul
fiqh adalah sebagai berikut :

1. Mengemukakan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid, agar


mampu menggali hukum syara’ secara tepat.
2. Sebagai acuan dalam menentukan dan menetapkan hokum syara’ melalui
metode yang dikembangkan oleh para mujtahid, sehinggga dapat memecahkan
berbagai persoalan baru yang muncul.

xiv
3. Memelihara agama dari penyimpangan penyalahgunaan sumber dan dalil
hukum. Ushul fiqh menjadi tolak ukur validitas kebenaran sebuah ijtihad.
4. Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid, dilihat dari dalil yang
mereka gunakan.
5. Mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu pendapat sejalan dengan dalil yang
digunakan dalam berijtihad.

Ada dua tujuan mengetahui Ushul Fiqh.


1. Pertama, bila kita sudah mengetahui metode ushul fiqh yang dirumuskan oleh
ulama terdahulu, maka apabila suatu saat kita menghadapi masalah baru yang
tidak mungkin ditemukan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh terdahulu, kita akan
dapat mencari jawaban hukum terhadap masalah baru itu dengan cara
menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu.
2. Kedua, bila kita menghadapi masalah hukum fiqh yang terurai dalam kitab-
kitab fiqh, tetapi mengalami kesukaran dalam penerapannya karena sudah begitu
jauhnya perubahan terjadi, dan kita ingin mengkaji ulang rumusan fuqaha’ lama
itu atau ingin merumuskan hukum sesuai dengan kemashlahatan dan tuntutan
kondisi yang menghendakinya, maka usaha yang harus ditempuh adalah
merumuskan kaidah baru yang memungkinkan timbulnya rumusan baru dalam
fiqh. Kajian ulang terhadap suatu kaidah atau menentukan kaidah baru itu tidak
mungkin dapat dilakukan bila tidak mengetahui secara baik usaha dan cara ulama
terdahulu dalam merumuskan kaidahnya. Hal itu akan diketahui secara baik
dalam ushul fiqh.

Para ulama ushul menyatakan bahwa ushul fiqh merupakan salah satu
sarana untuk mendapatkan hukum-hukum Allah sebagaimana yang dikehendaki
oleh Allah dan Rasul-Nya, baik yang berkaitan dengan masalah aqidah, ibadah,
muamalah, ‘uqubah, maupun akhlak. Ushul Fiqh bukan sebagai tujuan,
melainkan sebagai sarana.

xv
BAB III

PENUTUP

Simpulan

dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya ilmu Ushul Fiqih adalah sekumpulan teori atau
kaidah-kaidah yang dijadikan alat atau instrument oleh Fuqaha’ dalam melakukan
ijtihad fiqih. Itu sebabnya dari sisi penamaan, ilmu ini disebut dengan Ushul Fiqih yang
secara mudah dipahami sebagai ilmu yang menjadi dasar dari ilmu fiqih. Sebab tidaklah
mungkin seorang alim mujtahid menyimpulkan dan menetapkan hukum fiqih atas
sebuah masalah tanpa menggunakan seperangkat metode. Di mana seperangkat metode
itu terkodifikasikan dalam sebuah ilmu yang disebut dengan ilmu Ushul Fiqih.

Daftar Pustaka

- Syamsul Hilal, 2017, USHUL FIQIH, Pusaka Media, Bandarlampung


- Dr. Moh. Bahrudin, M.Ag., 2019, ILMU USHUL FIQIH, AURA CV.
Anugrah Utama Raharja, Bandarlampung
- Prof. Dr. Noor Harisudin, M.Fiil.I., 2021, ILMU USHUL FIQIH, Setara
Press, Jawa Timur
- Andewi Suhartini, Ushul Fiqh (Jakarta: Ditjen Pendidikan Islam Kemenag
RI, 2012),
- R. Misbahuddin, USHUL FIQH I, Makassar-Alauddin unversity press,
Desember 2013.hlm. 5.
- PROF.DR.H.Amir Syarifuddin, USHUL FIQH JILID I, Jakarta: Logos
wacana ilmu, 1997. hlm. 41.
- PROF.DR.H. hamka haq, PENGARUH TEOLOGI DALAM USHUL FIQH,
Makassar : Alauddin University Press, 2013. HLM. 74.
- PROF. Abdul Wahab Khalaf, ILMU USHUL FIQH, Dina Utama
Semarang :Toha Grub, 1994. HLM. 2-5.
- PROF. Abdu Wahab Khalaf, KAIDAH-KAIDAH HUKUM ISLAM (ILMU
USHULUL FIQH), Jakarta: PT. Raja Grafindo Jakarta, 2000. Hlm 3

xvi
xvii

Anda mungkin juga menyukai