USHUL FIQIH
Makalah
Oleh Kelompok 3:
Adhira Kalam
2023/1444
Jl. Lio Balandongan Sirnagalih (Begeg) NO. 74 Kel. Cikondang Kec. Citamiang
Kota Sukabumi Jawa barat 43161
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الى حيم
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita dapat menjalankan
aktivitas sehari-hari dengan lancar, khususnya dalam melaksanakan penelitian dan
dapat menyelesaikan makalah sebagai tugas kelompok membuat makalah dengan baik.
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SHALALLAHU
‘ALAIHI WA SALAM keluarganya, para sahabatnya dan sekalian umatnya yang
senantiasa memelihara keimanan dan kesetiaan untuk menjalankan sunahnya. yang
telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman yang terang-benderang yakni
ad-dinul Islam.
Karya tulis ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah fiqh Ibadah yang
telah menjadi ketentuan bagi para mahasiswa/i. Penulis mengucapkan terima kasih
teriring doa jazakallahu khairan kepada Orang tua yang telah mendukung, mendidik,
dan menuntun penulis tetap di jalan-Nya, Penyusunan makalah ini yang berjudul “Ilmu
Fiqih."
Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Kami meminta
maaf bilamana terdapat kesalahan kata atau kalimat yang kurang berkenan. Serta tak
lupa kami juga berharap adanya masukan serta kritikan yang membangun dari Anda
demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi.
Akhir kata, dengan ini kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan, sehingga masih perlu penyempurnaan. Oleh sebab itu, untuk
menyempurnakan makalah ini kritik dan saran yang membangun dari segenap pihak
merupakan hal yang berharga bagi kami. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya Aamiin Ya RobbalPuji syukur
kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan rahmatnya
penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa ada halangan yang berarti
dan sesuai dengan harapan.
DAFTAR ISI
ii
COVER…………………………………………………………………….……………….…… i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………...……….
i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………....……
iii
BAB I: PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang .........................................................................................................................1
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………..............................12
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………13
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Objek dan ruang lingkup ushul fiqih adalah hukum hukum kulli yang bersifat
umum. Seperti hukum wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram dalam pembahasan
yang bersifat global.
Sesungguhnya sudah tidak di ragukan lagi bahwa pohon itu tidak akan berdiri tanpa
adanya akar dan rumah tidak akan tegak kokoh tanpa adanya pondasi yang kuat begitu
pula hukum fiqh yang tidak berdiri sendiri tanpa adanya ushul fiqh.
Sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu Ushul Fiqh tumbuh dan
berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Quran dan Sunnah, Ushul Fiqh tidak timbul
dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rosulullah dan
sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqih, seperti ijtihad, qiyas, nasakh,
dan takhsis sudah ada pada zaman Rasulullah sahabat. Dan di masa Rasulullah SAW,
umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum
syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah SAW lewat
penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau SAW.
iv
- Untuk mengetahui objek kajian ushul fiqh
- Untuk mengetahui tujuab ushul fiqh
- Untuk mengetahui hukum hukum kulli
BAB II
PEMBAHASAN
v
hukum syara’). Selain dua hal tersebut, dipaparkan oleh para ulama ushul fiqh
yang hanya sebagai pelengkap. Lalu aspek mana saja dari kedua objek bahasan
tersebut yang dikaji dalam ushul fiqh?. Dalil-dalil syara’ dikaji dari segi
tetapnya sifat-sifat esensialnya. Misalnya, Al-Qur’an adalah kitab suci dan
menjadi sumber bagi ketetapan hukum syara’. Al-amr (perintah) yang terdapat
di dalam Al-Qur’an menunjukkan hukum wajib. Sebuah teks (nash) yang tegas
menunjukkan pengertiannya secara pasti (qath’i), lafal umum yang sudah
ditakhshish sebagian cakupannya, sisanya berlalu secara tidak pasti (zhanny).
Dalam contoh-contoh di atas, Al-Qur’an dikaji dari segi kompetensinya dalam
menetapkan hukum, teks (nash) yang tegas dikaji dari segi kepastian
pengertiannya menunjukan hukum, dan lafal umum yang sudah ditakhshish
sebagian cakupannya dikaji dari segi ketidakpastian penunjukannya terhadap
sisa cakupan pengertiannya mengenai hukum.
Begitulah setiap teks ayat atau hadis dalam berbagai macam bentuk dan
karakteristiknya dikaji sedemikian rupa sehingga akan membuahkan
kesimpulan-kesimpulan yang diluruskan dalam bentuk kaidah-kaidah umum.
Kemudian hukum syara’ dijelaskan secara panjang lebar, baik dari segi
konsepnya maupun dari segi bagaimana ia bisa ditetapkan melalui dalil-dalil
syara’. Dari sisi ini kelihatan hubungan erat antara hukum dan dalil-dalil syara’.
Sebuah ungkapan menarik dalam hal ini adalah apa yang dikemukakan oleh Abu
Ishaq al-Syathibi dalam kitabnya al-muwafaqat fi ushul al-syari’ah. Ia
mengatakan:”setiap kajian yang dirumuskan dalam ushul fiqh yang tidak bisa
dibangun diatasnya hukum fiqh, atau adab sopan santun syara’, atau tidak
membantu untuk pembentuk-an hal-hal tersebut, maka meletakkan hal seperti itu
dalam ushul fiqh adalah sia-sia.
vi
2.2 Pembahasan tentang hukum syara’ dan yang berhubungan dengannya,
seperti hakim, mahkum bih, mahkum fih, dan mahkum ‘alaih.
Pembahasan tentang hukum dalam ilmu ushul fiqh adalah secara umum, Tidak
dibahas secara terperinci hukum bagi setiap perbuatan. Pembahasn tentang hukum ini
meliputi pembahasan tentang macam-macam hukum dan syarat-syaratnya. Yang
menetapkan hukum (al-hakim), orang yang dibebani hukum (al-mahkum ‘alaih), syarat-
syarat ketetapan hukum (al-mahkum bih), dan macam-macamnya dan perbuatan-
perbuatannya ditetapi hukum (al-mahkum fih) serta syarat-syaratnya.
1) Yang menetapkan hukum/al hakim ( yaitu Allah SWT). "Inna al hukmu illalloh".
Q.S. al An'am. A.57
Adalah daya usaha membuat keputusan hukum syarak berdasarkan dalil-dalil al-
Quran atau Sunnah yang sedia ada. Pembahasan tentang kaedah (= teori yang diambil
vii
dari atau menghimpun masalah-masalah fiqih yang bermacam-macam sebagai hasil
ijtihad para mujtahid), yaitu yang digunakan sebagai jalan untuk memperoleh hukum
dari dalil-dalilnya, antara lain mengenai ragamnya, kehujahannya dan hukum-hukum
dalam mengamalkannya.
Metode istinbat yang dibahas dalam bagian ini adalah dari metode-metode
istinbath secara keseluruhan. Bagian ini khusus membicarakan metode bila mana dalam
pandangan mujtahid terjadi pertentangan antara dalil yang satu dengan dalil yang lain.
Seperti yang dikemukakan oleh abd al-rahim al-isnawi, mendahulukan dalil yang tegas
atas dalil yang tidak tegas pengertiannya, mendahulukan hadis yang mutawatir atas
hadis yang tidak mutawatir, dan lain-lain yang umumnya dibahas dalam kajian ta’arud
al-adillah (dalil-dalil yang bertentangan) dan metode tarjih (cara mengetahui mana yang
lebih kuat sehingga harus didahulukan).
viii
Dalam ushul fikh inilah dibahas bagaimana para mujtahid mencapai
kesepakatan menyangkut sumber-sumber hukum fikh, dan di mana letak perbedaan
pandangan mereka. Seperti diketahui, bahwa para mujtahid telah menyepakati Al-
Qur’an, Al-Sunnah dan Ijma sebagai sumber utama penetapan hukum fikih . Adapun
sumber-sumber lain, ada yang hampir di sepakati secara umum seperti qiyas, dan hanya
sekolampok kecil menolaknya, dan ada pula yang tetap menjadi perselisihan dikalangan
para mujtahid. Sumber macam terahir ini adalah istihasan, istishlah ( mashlahah
mursalah ), syariat sebelum islam, fatwah sahabat, saddu al-dzari’ah dan istishhab.
Di samping itu, hal yang tak kalah pentingnya di bahas dalam ushul fikih ialah
thuruq al-istinbhath ( metode istinbaht ), yang secara mendasar ada dua macam, yakni
istinbhat berdasarkan lafazh dan istinbat berdasarkan makna. Dalam membahas
mengenai hal ini, terkait dengan upava mujtahid menganalisis kejelasan dan
ketidakjelasan suatu dalil sehingga lahir istilah qath’iy dan zhanniy, pembahasan
mengenai bentuk dilalah dari lafazh-lafazh itu sendiri yang melahirkan istilah ‘ ibarah,
isyarah, mafhum muwafaqah, mafum mukhalafah, dan dilalah iqtidha”. Demikian pula
pembahasan mengenai ruang cakupan suatu dalil yang dibagi dalam empat macam,
yakni dalil’ am dan khas, muthlaq dan muqayyad. Termasuk pula pembahasan
mengenai lafazh adalah taklif ( shighat al-taklif) yang didukun oleh dalil, yang secara
ix
garis besarnya adalah awamir ( dalil-dalil yang mengandung perintah), nawahiy ( dalil-
dalil yang mengandung larangan) dan ibaha. Dalam kaitan inilah timbul penetapan
hukum fiqh yang meliputi : wajib, mandub, haram, makruh, mubah.
Dalam ushul fiqh dibahas pula sifat-sifat mujtahid, yakni diantaranya mujtahid
yang melakukan ijtihad secara mutlak tanpa terikat oleh pendapat mujtahid lain dan
tanpa membatasi wilayah ijtihadnya, seperti yang dilakukan oleh empat mazhab besar
( Abu Hanifah, Malik, Al-Svafi’iy, dan Abu Ahmad Ibn Hanbal) : adapula yang
berijthad tetapi terkit dalam satu mazhad : adapula yang berijtihad menyangkut
sebahagian masalah fiqh saja sedang pada masalah lainnya mengikuti mazhab tertentu.
Untuk menjelaskan terhadap hal ini, kami kelompok 3 akan membuat beberapa
contoh berikut
Al-qur’an adalah dalil syar’i yang pertama bagi setiap hukum. Nash-nash yang
ditasyri’iyyah tidaklah dalam satu bentuk saja,akan tetapi diantaranya ada yang datang
dalam bentuk amar (perintah) ada pula yang dalam bentuk nahi (larangan),dan ada pula
yang dalam bentuk umum atau mutlak. Bentuk perintah, larangan, bentuk umum, dan
bentuk mutlak merupakan beberapa macam yang bersifat umum dari aneka macam dalil
syar’i yang umum pula, yaitu: al-qur’an. Jadi seorang ahli ushul fikh membahas
terhadap setiap macam dari aneka macam ini supaya ia dapat sampai kepada bentuk
hukum yang menjadi dalalahnya, dimana dalam membahasnya ia mempergunakan
penyelidikan tentang uslub-uslub bahasa arab dan pemakaian hukum syara’.
Kaidah-kaidah umum tersebut maupun lainnya yang telah dicapai oleh ahli ilmu ushul
fiqh melalui pembahasannya sampai dengan penetapannya itu diambil oleh ahli fiqh
sebagai kaidah yang diterima dan ia terapkan terhadap bagian-bagian dalil umum,
supaya ia dapat sampai kepada hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan
manusia secara rinci. Jadi faqih menerapkan kaidah: “perintah menunjukkan pengertian
pewajiban” terhadap firman Allah SWT.:
ا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا َأْو ُفوا ِباْلُع ُقوِد ۚ ُأِح َّلْت َلُك ْم َبِهيَم ُة اَأْلْنَع اِم ِإاَّل َم ا ُيْتَلٰى َع َلْيُك ْم َغْيَر ُمِح ِّلي الَّصْيِد َو َأْنُتْم ُحُر ٌم ۗ ِإَّن َهَّللا َيْح ُك ُم
َم ا ُيِر يُد
x
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu…” (QS.Al-Maidah
: 1)
َ ۖ ُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنو۟ا اَل َيْسَخْر َقْو ٌم ِّم ن َقْو ٍم َع َس ٰٓى َأن َيُك وُنو۟ا َخْي ًرا ِّم ْنُهْم َو اَل ِنَس ٓاٌء ِّم ن ِّنَس ٓاٍء َع َس ٰٓى َأن َيُك َّن َخْي ًرا ِّم ْنُهَّن
َّٰظ َٰٓل
َو اَل َتْلِم ُز ٓو ۟ا َأنُفَس ُك ْم َو اَل َتَناَبُز و۟ا ِبٱَأْلْلَٰق ِبۖ ِبْئَس ٱٱِلْس ُم ٱْلُفُس وُق َبْع َد ٱِإْل يَٰم ِن ۚ َو َم ن َّلْم َيُتْب َفُأ۟و ِئَك ُهُم ٱل ِلُم وَن
Ia juga dapat menerapkan kaidah : sesuatu yang umum mencakup seluruh satuan-
satuannya secara pasti )” terhadap firman Allah SWT. :
xi
Dari uraian tersebut, maka jelaslah perbedaan antara dalil kulli (umum) dan dalil
juz’I (detail), dan jelas pula perbedaan antara hukum kulli dan hukum juz’i.
Adapun hukum kulli, maka ia adalah sesuatu bentuk umum daripada hukum, yang
dibawahnya termasuk sejumlah bagian-bagian, seperti ijab (pewajiban), tahrim
(pengharaman), shihhah (shah), dan buthlan (batal). Ijab merupakan suatu hukum kulli
yang didalamnya tercakup pewajiban memenuhi berbagai perjanjian, pewajiban adanya
beberapa saksi dalam perkawinan, dan pewajiban hal yang wajib lainnya. Tahrim
(pengharaman) juga merupakan hukum kulli yang didalamnya terkandung pengharaman
zina dan pencurian dan pengharaman apa saja yang diharamkan. Demikian pula sah dan
batal. Dengan demikian, ijab (pewajiban) merupakan hukum kulli dan pewajiban
perbuatan tertentu merupakan hukum juz’i.
Ahli ilmu ushul fiqih tidak akan membahas mengenai dalil-dalil juz’iyyah,
tidak pula mengenai hukum-hukum juz’iyyah yang ditunjukinya; akan tetapi ia hanya
membahas terhadap dalil kulli dan hukum kulli yang ditunjukinya, supaya ia dapat
membuat kaidah-kaidah umum bagi pengertian berbagai dalil, agar diterapkan seorang
faqih terhadap dalil-dalil juz’iyyah untuk menghasilkan hukum yang rinci. Seorang
faqih tidak membahas mengenai dalil kulli maupun hukum kulli yang ditunjukinya,
akan tetapi ia hanyalah membahas mengenai dalil juz’I dan hukum juz’I
yang ditunjukinya.
Tujuan yang hendak dicapai oleh ilmu Ushul Fiqh ialah untuk dapat
menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terperinci agar sampai
kepada hukum-hukum syara’ yang bersifat amali yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu.
Dengan kaidah ushul serta bahasannya itu dapat dipahami nash-nash syara’ dan hukum
yang terkandung di dalamnya.
Demikian pula dapat dipahami secara baik dan tepat apa saja yang dirumuskan
mujtahid dan bagaimana mereka sampai kepada rumusan itu. mempelajari ilmu ushul
xii
fiqih adalah mengetahui dan mnerapkan dalil ijmal untuk menggali hokum syara’ yang
bersifat amal.
Sebagai contoh dalam hal ini penetapan hukum asal dari larangan itu hukumnya haram,
yang terdapat pada Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 168 :
َٰ آ ُّيـَها الَّناُس ُك ُلْو ا ِمَّم ا ِفي اّألْر َح ٰل ًال َطِّيـًبا َو َال َتتَّـِبُعْو ا ُخ ُطَو اِت الَّش ْيٰط ِن قلى ِاَّنه َلُك ـْم َع ُد ٌّو ُّم ـِبْيٌن
ِض
“hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,
dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Karena sesungguhnya setan itu
adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah : 168)
Ayat diatas adalah perintah yang hukumnya wajib bagi seluruh umat Islam untuk
memakan harta yang halal dan bergizi. Lalu, pada ayat tersebut terdapat kalimat yang
artinya “Dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan”. Kalimat itu adalah
larangan maka haram hukumnya bagi orang yang beriman mengikuti pola hidup dengan
sistem yang dibentuk dan dibangun oleh setan. Kaitannya dengan makanan yang
dimaksud dengan pola hidup setan adalah menikmati harta benda hasil korupsi,
manipulasi, menipu, merampok, dan bentuk kejahatan lainnya
Sedangkan contoh yang ada pada hadis Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam
adalah sebagai berikut
َيا, ُفِر َضِت الَّص َالُة َع َلى الَّنِبِّي َص َّلى ُهللا َع َلْيه َو َس َّلَم َلْيَلَة ُاْس ِر َي ِبِه َخ ْمِس ْيَن ُثـَّم ُنـِقَص ْت َح َّتى ُج ِع َلْت َخ ْم ًسا ُثـَّم ُنْو ِدَي
َو ِاَّن َلَك ِبـٰه ِذِه الَخ ْم ِس َخ ْمِس ْيَن, ِاَنُه َال ُيـَبَّد ُل اْلَقْو ُل َلَدَّي, ُمَحَّم ُد
xiii
perintah dari Allah Subhanahu Wata’ala tentang shalat lima waktu, yang didapat oleh
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pada perjalanan malam Isra’.
Kaitannya dengan shalat lima waktu, Al-Qur’an menjelaskan dalam surat Al-Isra ayat
78 :
َاِقِم الَّص ٰل وَة ِلُد ُلْو ِك الَّشْم ِس ِاٰل ى َغَش ِق اَّلْيِل َو ُقْر ٰا ِن اْلَفْج ِر ج ِاَّن ُقْر ٰا َن اْلَفْج ِر َك اَن َم ْش ُهْو ًدا
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh
malaikat).” (QS Al-Isra : 78)
Pada ayat diatas terdapat kata ( )أقمyang merupakan fi’il amr, maka kaidah Ushul
Fiqhnya pun sama dengan kata (( )فرضfardhu), yaitu kata kerja perintah. Ayat tersebut
menetapkan kewajiban shalat ketika matahari tergelincir, yakni dhuhur dan ashar,
kemudian shalat ketika matahari terbenam menuju gelap, yakni maghrib dan isya’, serta
shalat fajar yakni shalat subuh. Demikian yang dimaksud shalat wajib lima waktu yang
telah diperintahkan oleh Allah kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.
dan seluruh umatnya
Menurut Abdul Wahab Khallaf, tujuan mempelajari ilmu ushul fiqh adalah
untuk mengaplikasikan kaidah-kaidah dan teori-teori ushul fiqh terhadap dalil-dalil
yang spesifik untuk menghasilkan hukum syara’ yang dikehendaki oleh dalil tersebut.
Menurut al-Khudhari Beik dalam kitab ushul fiqhnya, tujuan mempelajari ilmu ushul
fiqh adalah sebagai berikut :
xiv
3. Memelihara agama dari penyimpangan penyalahgunaan sumber dan dalil
hukum. Ushul fiqh menjadi tolak ukur validitas kebenaran sebuah ijtihad.
4. Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid, dilihat dari dalil yang
mereka gunakan.
5. Mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu pendapat sejalan dengan dalil yang
digunakan dalam berijtihad.
Para ulama ushul menyatakan bahwa ushul fiqh merupakan salah satu
sarana untuk mendapatkan hukum-hukum Allah sebagaimana yang dikehendaki
oleh Allah dan Rasul-Nya, baik yang berkaitan dengan masalah aqidah, ibadah,
muamalah, ‘uqubah, maupun akhlak. Ushul Fiqh bukan sebagai tujuan,
melainkan sebagai sarana.
xv
BAB III
PENUTUP
Simpulan
dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya ilmu Ushul Fiqih adalah sekumpulan teori atau
kaidah-kaidah yang dijadikan alat atau instrument oleh Fuqaha’ dalam melakukan
ijtihad fiqih. Itu sebabnya dari sisi penamaan, ilmu ini disebut dengan Ushul Fiqih yang
secara mudah dipahami sebagai ilmu yang menjadi dasar dari ilmu fiqih. Sebab tidaklah
mungkin seorang alim mujtahid menyimpulkan dan menetapkan hukum fiqih atas
sebuah masalah tanpa menggunakan seperangkat metode. Di mana seperangkat metode
itu terkodifikasikan dalam sebuah ilmu yang disebut dengan ilmu Ushul Fiqih.
Daftar Pustaka
xvi
xvii