Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

(IJTIHAD SEBAGAI METODE KAJIAN HUKUM


ISLAM)

GURU PEMBIMBING:
Safri S.Pd.I
DI SUSUN OLEH:
M.Adzin Hilmi
Nurhaizi Izati
Jumila
Juliasri Nurlaili
Teddy Setiawan
Zahrotul Ahya
Muhammad Nazarudin
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Segala puji bagi Allah yang telah


memberikan penulis kemudahan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Tanpa
pertolongan-Nya mungkin penulis tidak akan sanggup menyelesaikannya dengan
baik. Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita
yakni Nabi Muhammad SAW.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang "Ijtihad sebagai
metode kajian hukum Islam”, yang penulis sajikan berdasarkan dari berbagai sumber
buku maupun internet. Makalah ini di susun oleh penulis dengan berbagai rintangan.
Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun
dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini
dapat terselesaikan

Makalah ini mengenai ijtihad, jenis-jenis ijtihad, objek ijtihad dan hikmah
mempelajari ijtihad sebagai kajian hukum Islam. Karena ijtihad merupakan sumber
hukum Islam. Walaupun makalah ini kurang sempurna dan memerlukan perbaikan
tapi juga memiliki detail yang cukup jelas bagi pembaca.

Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas kepada
pembaca. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Walaupun makalah ini masih
jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
kami harapkan demi sempurnanya makalah ini. Penulis membutuhkan kritik dan
saran dari pembaca yang membangun. Terima kasih.

Selatpanjang, 25 juli

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata pengantar...................................................................................................
ii
Daftar isi............................................................................................................
iii
BAB I
Pendahuluan......................................................................................................
1
a. Latar Belakang.............................................................................................
1
b. Rumusan Masalah........................................................................................
2
c. Tujuan...........................................................................................................
2
d. Manfaat.........................................................................................................
2

BAB II
Pembahasan.......................................................................................................
3
a. Pengertian Ijtihad.........................................................................................
3
b. Jenis-jenis ijtihad..........................................................................................
10
c. Objek ijtihad.................................................................................................
18
d. Hikmah mempelajari ijtihad sebagai metode kajian hukum Islam..............
19..................................................................................................................

BAB III

iii
Penutup..............................................................................................................
20
a. Kesimpulan...................................................................................................
20
b. Saran.............................................................................................................
21

Daftar Pustaka...................................................................................................
22

iv
BAB I
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Hukum dalam masyarakat manapun adalah bertujuan untuk


mengendalikan masyarakat. Meski Al Quran sudah diturunkan secara
sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia
diatur secara detail oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada
perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan
modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan
diperlukan aturan-aturan turunan dalam melaksanakan Ajaran Islam
dalam kehidupan beragama sehari-hari.

Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat
tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji
apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya
dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan
tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan
dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut
merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam
Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan
ketetapan.

1
b. Rumusan Masalah

 Apakah pengertian dari ijtihad?


 Apa saja jenis-jenis ijtihad?
 Apa saja objek ijtihad?
 Apa hikmah mempelajari ijtihad sebagai metode kajian hukum
Islam?

c. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu untuk memberikan pengetahuan
kepada pembaca tentang:
 Pengertian dari ijtihad
 Jenis-jenis ijtihad
 Objek yang ditujukan oleh ijtihad, serta
 Hikmah mempelajari ijtihad sebagai metode kajian hukum islam

d. Manfaat
Makalah ini di buat agar pembaca mengenal dan bisa menambah
wawasan tentang ijtihad sebagai metode kajian hukum Islam. Manfaat
yang akan kita dapat setelah membaca makalah ini, yaitu; dapat
mengetahui pengertian ijtihad, jenis-jenis ijtihad, objek ijtihad, dan
hikmah mempelajari ijtihad sebagai metode kajian hukum Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad

Ijtihad, secara bahasa berasal dari kata al-jahd dan al-juhd yang
berarti kemampuan, potensi, dan kapasitas. Ijtihad menurut bahasa
artinya mengeluarkan segala upaya dan memeras segala kemampuan
untuk sampai pada satu hal dari berbagai hal yang masing-masing
mengandung konsekuensi kesulitan dan keberatan.Definisi ijtihad
secara terminologis (istilah) yaitu: upaya keras seorang ahli fiqih
untuk sampai pada hipotesa terhadap hukum syariah.

Ijtihad menurut bahasa ialah berusaha sungguh-sungguh. Ijtihad


menurut arti luas adalah mengerahkan segala kemampuan dan usaha
yang ada untuk mencapai sesuatu yang diharapkan. Ijtihad dalam arti
sempit ialah pengarahan segala kemampuan yang ada pada seseorang
ahli hukum islam di dalam meng-istinbath-kan hukum yang amaliah
dari dalil-dalil yang tafsiliy.

Arti ijtihad menurut istilah yang berlaku di kalangan ahli fiqh adalah:
“mempergunakan segala kesanggupan dengan sungguh-sungguh
untuk memperoleh hukum syara’ dari kitab Allah (al-qur’an) dan
sunnah rasul serta kaidah-kaidah syara’ yang umum”. Rasulullah saw
pernah bersabda kepada Abdullah Bin Mas’ud sebagai berikut :
“berhukumlah engkau dengan al-qur’an dan as-Sunnah, apabila suatu
persoalan itu engkau temukan pada dua sumber tersebut. Tetapi
apabila engkau tidak menemukannya pada dua sumber itu, maka
ijtihad lah”.

Kepada Ali bin Abi Thalib, beliau pernah menyatakan : “apabila


engkau berijtihad dan ijtihad mu betul, maka engkau mendapatkan dua
pahala. Tetapi apabila ijtihad mu salah, maka engkau hanya
mendapatkan satu pahala”.
Ijtihad dilakukan terhadap:

a. Peristiwa-peristiwa yang di tunjuk oleh nash (ketentuan, dalil-


dalil), akan tetapi hanya bersifat dzanny (belum jelas). Dengan
demikian masih memerlukan penafsiran atau penta’wilan.
b. Peristiwa-peristiwa yang tidak ada nash nya sama sekali.
Peristiwa-peristiwa semacam ini dapat di ijtihad kan dengan leluasa,
lantaran seorang mujtahid dalam menghadapinya bertujuan hendak
menetapkan dengan perantaraan qiyas, istihsan, mashalih-mursalah
dan lain-lain.
c. Peristiwa-peristiwa yang sudah ada nash nya secara qath’i.
Cara ini di tempuh oleh Umar bin Khattab. Beliau meneliti nash-nash
tersebut tentang tujuan syar’i dalam mensyariatkan hukum. Kemudian
beliau menerapkan ijtihadnya pada peristiwa sekalipun sudah ada nash
nya yang qath’i.

Hukum ijtihad itu dapat dikelompokkan menjadi;

# Pardhu A’in untuk berijtihad apabila ada permasalahan yang


menimpa dirinya dan jika ditanyakan tentang suatu permasalahan
yang belum ada hukumnya.
# Pardhu Kifayah untuk berijtihad jika permasalahan yang dijukan
kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis waktunya.
# Sunnah apabila berijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik
ditanya maupun tidak.
# Haram apabila berijtihad terhadap permasalhan yang sudah
ditetapkan secara Qat’I, sehingga hasil ijtihad itu bertentangan
engan dalil syara.

Macam-macam tingkatan ijtihad

1. Ijtihad Muthlaq/Mustaqil, yaitu ijtihad yang dilakukan


dengan cara menciptakan sendiri norma-norma dan kaidah
istinbath yang dipergunakan sebagai sistem/metode bagi
seorang mujtahid dalam menggali hukum. Norma-norma dan

4
kaidah itu dapat diubahnya sendiri manakala dipandang perlu.
Mujtahid dari tingkatan ini contohnya seperti Imam Hanafi,
Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad yang terkenal dengan
sebutan Mazhab Empat.

2. Ijtihad Muntasib, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang


mujtahid dengan mempergunakan norma-norma dan kaidah-kaidah
istinbath imamnya (mujtahid muthlaq/Mustaqil). Jadi untuk
menggali hukum dari sumbernya, mereka memakai sistem atau
metode yang telah dirumuskan imamnya, tidak menciptakan
sendiri. Mereka hanya berhak menafsirkan apa yang dimaksud
dari norma-norma dan kaidah-kaidah tersebut. Contohnya, dari
mazhab Syafi'i seperti Muzany dan Buwaithy. Dari madzhab
Hanafi seperti Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf. Sebagian
ulama menilai bahwa Abu Yusuf termasuk kelompok
pertama/mujtahid muthalaq/mustaqil.

3. Ijtihad mazhab atau fatwa yang pelakunya disebut mujtahid


mazhab/fatwa, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid
dalam lingkungan madzhab tertentu. Pada prinsipnya mereka
mengikuti norma-norma/kaidah-kaidah istinbath imamnya,
demikian juga mengenai hukum furu'/fiqih yang telah
dihasilkan imamnya. Ijtihad mereka hanya berkisar pada
masalah-masalah yang memang belum diijtihadi imamnya,
men-takhrij-kan pendapat imamnya dan menyeleksi beberapa
pendapat yang dinukil dari imamnya, mana yang shahih dan
mana yang lemah. Contohnya seperti Imam Ghazali dan Juwaini
dari madzhab Syafi'i.

4. Ijtihad di bidang tarjih, yaitu ijtihad yang dilakukan


dengan cara mentarjih dari beberapa pendapat yang ada baik
dalam satu lingkungan madzhab tertentu maupun dari berbagai
mazhab yang ada dengan memilih mana diantara pendapat itu
yang paling kuat dalilnya atau mana yang paling sesuai

5
dengan kemaslahatan sesuai dengan tuntunan zaman. Dalam
mazhab Syafi'i, hal itu bisa kita lihat pada Imam Nawawi dan
Imam Rafi'i. Sebagian ulama mengatakan bahwa antara kelompok
ketiga dan keempat ini sedikit sekali perbedaannya; sehingga
sangat sulit untuk dibedakan. Oleh karena itu mereka
menjadikannya satu tingkatan.

Muslim yang melakukan ijtihad di sebut mujtahid, agar ijtihadnya


dapat menjadi pegangan bagi umat, seorang mujtahid harus memenuhi
beberapa persyaratan. M. Dawam Raharjo mengutip pendapat Yusuf
Al-qardhawi, tentang syarat-syarat mujtahid, yaitu:
1. Mengetahui al-Quran
Al-Qur’an adalh sumber hukum Islam primer di mana sebagai fondasi
dasar hukum Islam. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus
mengetahui al-Qur’an secara mendalam. Barangsiapa yang tidak
mengerti al-Qur’an sudah tentu ia tidak mengerti syariat Islam secara
utuh. Mengerti al-Qur’an tidak cukup dengan piawai membaca, tetapi
juga bisa melihat bagaimana al-Qur’an memberi cakupan terhadap
ayat-ayat hukum. Misalnya al-Ghazali memberi syarat seorang
mujtahid harus tahu ayat-ayat ahkam berjumlah sekitar 500 ayat.

- Mengetahui Asbab al-nuzul


Mengetahui sebab turunnya ayat termasuk dalam salah satu syarat
mengatahui al-Qur’an secara komprehensif, bukan hanya pada tataran
teks tetapi juga akan mengetahui secara sosial-psikologis. Sebab
dengan mengetahui sebab-sebab turunnya ayat akan memberi analisis
yang komprehensif untuk memahami maksud diturunkannya teks
Quran tersebut kepada manusia.

Imam as-Syatibi dalam bukunya al-Muwafaqaat mengatakan bahwa


mengetahui sebab turunnya ayat adalah suatu keharusan bagi orang
yang hendak memahami al-Qur’an. Pertama, suatu pembicaraan akan
berbeda pengertiannya menurut perbedaan keadaan. Kedua, tidak
mengetahui sebab turunnya ayat bisa menyeret dalam keraguan dan

6
kesulitan dan juga bisa membawa pada pemahaman global terhadap
nash yang bersifat lahir sehingga sering menimbulkan perselisihan.

- Mengetahui nasikh dan mansukh

Pada dasarnya hal ini bertujuan untuk menghindari agar jangan


sampai berdalih menguatkan suatu hukum dengan ayat yang
sebenarnya telah dinasikhkan dan tidak bisa dipergunakan untuk dalil.

2. Mengetahui as-sunnah
Syarat mujtahid selanjutnya adalah ia harus mengetahui as-Sunnah.
Yang dimaksudkan as-Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau
ketentuan yang diriwayatkan dari Nabi SAW.

- Mengetahui ilmu diroyah hadits

Ilmu diroyah menurut al-Ghazali adalah mengetahui riwayat dan


memisahkan hadis yang shahih dari yang rusak dan hadis yang bisa
diterima dari hadis yang ditolak. Seorang mujtahid harus mengetahui
pokok-pokok hadis dan ilmunya, mengenai ilmu tentang para perawi
hadis, syarat-syarat diterima atau sebab-sebab ditolaknya suatu hadis,
tingkatan kata dalam menetapkan adil dan cacatnya seorang perawi
hadis, dan lain hal-hal yang tercakup dalam ilmu hadis, kemudian
mengaplikasikan pengetahuan tadi dalam menggunakan hadis sebagai
dasar hukum.

- Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh

Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh ini dimaksudkan agar


seorang mujtahid jangan sampai berpegang pada suatu hadis yang
sudah jelas dihapus hukumnya dan tidak boleh dipergunakan. Seperti
hadis yang membolehkan nikah mut’ah di mana hadis tersebut sudah
dinasakh secara pasti oleh hadis-hadis lain.

7
- Mengetahui asbab al-wurud hadis

Syarat ini sama dengan seorang mujtahid yang seharusnya menguasai


asbab al-nuzul, yakni mengetahui setiap kondisi, situasi, lokus, serta
tempus hadis tersebut ada.

3. Mengetahui bahasa Arab


Seorang mujtahid wajib mengetahui bahasa Arab dalam rangka agar
penguasaannya pada objek kajian lebih mendalam, teks otoritatif
Islam menggunakan bahasa Arab. Hal ini tidak lepas dari bahwa teks
otoritatif Islam itu diturunkan menggunakan bahasa Arab.

4. Mengetahui tempat-tempat ijma’

Bagi seorang mujtahid, harus mengetahui hukum-hukum yang


telah disepakati oleh para ulama, sehingga tidak terjerumus memberi
fatwa yang bertentangan dengan hasil ijma’. Sebagaimana ia harus
mengetahui nash-nash dalil guna menghindari fatwa yang
berseberangan dengan nash tersebut.Namun menurut hemat penulis,
seorang mujtahid bisa bertentangan dengan ijma’ para ulama selama
hasil ijtihadnya maslahat bagi manusia.

5. Mengetahui ushul fiqh

Di antara ilmu yang harus dikuasai oleh mujtahid adalah ilmu


ushul fiqh, yaitu suatu ilmu yang telah diciptakan oleh para fuqaha
utuk meletakkan kaidah-kaidah dan cara untuk mengambil istimbat
hukum dari nash dan mencocokkan cara pengambilan hukum yang
tidak ada nash hukumnya. Dalam ushul fiqh, mujtahid juga dituntut
untuk memahami qiyas sebagai modal pengambilan ketetapan hukum.

6. Mengetahui maksud dan tujuan syariah

Sesungguhnya syariat Islam diturunkan untuk melindungi dan


memelihara kepentingan manusia. Pemeliharaan ini dikategorikan

8
dalam tiga tingkatan maslahat, yakni dlaruriyyat (apabila dilanggar
akan mengancam jiwa, agama, harta, akal, dan keturunan), hajiyyat
(kelapangan hidup, missal memberi rukshah dalam kesulitan), dan
tahsiniat (pelengkap yang terdiri dari kebiasaan dan akhlak yang baik).

B. Jenis - Jenis Ijtihad

Jenis - Jenis ijtihad yang di paparkan oleh beberapa ulama berikut


beberapa diantaranya :

# Ijma'
# Qiyas
# Istihsan
# Mashlahah Murshalah
# Sududz Zharia
# Istishab
# Urf  

a. Ijma' 
Ijma' artinya kesepakatan. Ijmā adalah kesepakatan para ulama
mujtahid dalam memutuskan suatu perkara atau hukum. Ijmā
dilakukan untuk merumuskan suatu hukum yang tidak disebutkan
secara khusus dalam kitab Al-Qur’an dan sunah.
Menurut istilah ahli ushul fiqh, yang dimaksud dengan ijma’ adalah
kesepakatan para mujtahid (orang yang berijtihad) dari kaum
muslimin dalam suatu masa sepeninggal Rasulullah SAW. Terhadap
suatu hukum syar’i mengenai suatu peristiwa.
Sebagai realisasi definisi tersebut ialah apabilah terjadi suatu peristiwa
yang memerlukan adanya ketentuan hukum, kemudian setelah
peristiwa itu dikemukakan kepada para mujtahid, mereka lalu
mengambil kesepakatan itu sendiri mengingatkan akan adanya
beberapa orang untuk bermusyawarah. Pada hakikatnya mereka tidak
perlu bermusyawarah, cukuplah kiranya apabila mereka menanyakan
saja kepada Rasulullah SAW.

9
Kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum dalam
agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang
terjadi masyarakat. Sebuah keputusan bersama yang 
dilakukan oleh para ulama yang kemudian harus melalui proses
perundingan, baru kemudian disepakati. Hasil dari Ijma'adalah Fatwa.
Fatwa adalah keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang
berwenang untuk diikuti seluruh umat.

1) Rukun Ijma’
 Adanya beberapa pendapat yang yang menjadi suatu masa
tertentu
 Adanya kesepakatan pendapat semua mujtahid dari kaum
muslimin atas suatu hukum syara’ mengenai suatu perkara
hukum pada waktu terjadinya tampa memandang tempat,
kebangsaan dan kelompok mereka
 Kesepakatan pendapat itu nyata, baik berupa perkataan atau
perbuatan
 Kesepatan dari seluruh mujtahid itu benar-benar teralisir, apabila
hanya sebagian saja dari mereka maka tidak terjadi ijma’.
Menurut Abdul Wahab Khalaf ijma ’ tidak mungkin terjadi
apabila diserahkan hanya kepada seseorang, dan munkin terjadi
apabila diserahkan kepada pemerintah islam, masing-masing
ditanya pendapatnya, dan mujtahid mengukapkan pendapatnya
dan kebetulan pendapatnya mereka sama, maka pendapat itu
menjadi ijma’ dan hukum di ijma’kan itu menjadi hukum syara’
yang wajib di ikuti oleh kaum muslimin.

2) Macam-macam ijma’
 Al-Ijma’ As Sarih adalah kesepakatan para mujtahid pada suatu
masa atas hukum suatu peristiwa dengan menampilkan
pendapatnya masing secar jelas, baik dengan perkatan ataupun
dengan tulisan atau dengan perbuatan.
  Al-Ijma’ As Sukuty adalah jika sebagian mujtahid itu berdiam
diri tidak berterus terang mengeluarkan pendapatnya dan

10
diamnya itu bukan karena takut, segan atau karena malu, akan
tetapi diamnya itu karena karena betul-betul tidak menangapi
atas pendapat yang lain, baik menyetujuai atau menolaknya

3) Contoh Ijma’:

-   Menjadikan sunnah sebagai salah satu sumber hukum Islam.


-   Pengumpulan dan pembukuan Al-qur’an sejak pemerintahan Abu
Bakar tetapi idenya berasal dari Umar bin Khatab
-   Penetapan awal ramadhan dan syawal berdasarkan ru’yatul hilal.
A. Qiyas
Yang dinamakan qiyas menurut ahli ushul fiqh, adalah
mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nash nya
(belum di terangkan dalam qur’an dan sunnah) dengan hukum suatu
peristiwa yang sudah ada nash nya lantaran ada persamaan’illat
(sebab) hukumnya dari kedua peristiwa itu. Sebagai misal : jual beli
pada waktu adzan jum’at di serukan adalah suatu peristiwa yang telah
di tetapkan oleh nash, yaitu makruh. Nash yang menetapkan adalah
firman Tuhan: “wahai orang-orang yang beriman, bila di serukan
untuk bersembahyang pada hari jum’at, segeralah berdzikir kepada
Allah dan tinggalkan lah berjual beli”.
Sebab hukum di makruh kan berjual beli pada waktu adzan jum’at di
serukan ialah karena perbuatan tersebut melalaikan sholat.
Nash yang menetapkan hukum tersebut adalah sabda nabi Muhammad
saw:
“bagi orang-orang yang membunuh tidak ada hak mempusakai harta
peninggalan orang yang di bunuh sedikitpun”.
Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan. Menetapkan suatu
hukum suatu perkara baru yang belum pernah ada di masa sebelumnya
namun memiliki kesamaan karakteristik. Aspek atau karakteristik itu
berdasarkan kesamaan sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek
lainnya. Dalam Islam, Ijma' dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang
ada problem yang belum di tetapkan pada masa sebelumnya.

11
Beberapa definisi Qiyas :
1. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada
cabangnya, berdasarkan titik persamaan di antara keduanya.
2. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya,
melalui suatu persamaan di antaranya.
3. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di
dalam Al-Qur'an atau Hadis dengan kasus baru yang memiliki
persamaan sebab (iladh).
Contoh Qiyas :
 Setiap minuman yang memabukan contohnya mensen, sabu-
sabu dan lain-lain disamakan dengan khamar, ilatnya  sama-
sama memabukan.
 Harta anak wajib dikeluarkan zakat disamakan dengan harta
dewasa. Menurut syafei karena sama-sama dapat tumbuh dan
berkembang, dan dapat menolong fakir miskin.
 Mengatakan telmi kepada ortu disamakan dengan membentak
dan ah, karena ilatnya sama-sama menyakiti dengan ucapan.

B. Istihsan
Yang di maksud dengan ihtisan adalah menetapkan hukum
terhadap suatu persoalan ijtihad atas dasar prinsip-prinsip umum
ajaran Islam, di sebabkan karena ada dalil yang menurut logika
membenarkannya.
Sebagai misal, apabila seorang yang berwakaf telah mewakafkan
sebidang tanah pertaniannya, maka menurut ihtisan, hak-hak yang
bersangkutan dengan tanah itu, seperti halnya hak mengairi, hak
membuat saluran air dan lorong di atas tanah tersebut sudah tercakup
dalam pengertian wakaf secara langsung, biarpun hak-hak itu tidak di
sebutkan dengan terperinci pada saat wakaf di ucapkan. Sedang
menurut qiyas hak hak itu tidak secara langsung dapat masuk
kedalamnya, kecuali kalau hak hak itu dapat tercakup di dalamnya
atas ketetapan nash, sebagaimana halnya dalam perikatan jual beli.

12
Istihsan adalah beralihnya seseorang dari memberi hukum suatu
masalah dengan yang serupa karena adanya kesamaan – kesamaan
kepada hal yang berbeda karena pertimbangan yang lebih kuat yang
mengaharuskan beralih dari yang pertama.
Pada awalnya Imam Hanafi tidak pernah menjelaskan pengertian
Istihsan itu sendiri, namun beliau hanya mengatakan “astahsin” yang
artinya saya beranggapan baik yang kemudian para muridnya
berusaha mendefinisikan Istihsan yang banyak dilakukan oleh Imam
mereka. Menurut madzhab hanafy Istihsan mempunyai dua arti yatiu,
(1). Mengambil Qiyas yang samar ‘illatnya dan meninggalkan qiyas
yang jelas ‘illatnya. (2). Mengecualikan masalah yang bersifat parsial
(Juz’i) dari kaidah umum, karena terdapat dalil yang menuntut
demikian.
Sekedar tambahan, perbedaan antara Imam Hanafi yang mengambil
istihsan sebagai sumber hukum dan Imam Syafi’i yang menolak
Istihsan sebagai sumber hukum tidaklah sepenuhnya benar, sebetulnya
secara teori Imam Syafi’i memang menolak istihsan, namun tidak
dalam prakteknya. Ini merupakan respon terhadap kondisi dari
banyaknya orang yang beristinbath pada masa itu dengan dalil yang
tidak jelas dengan mengambinghitamkan Istihsan sebagai dasarnya.

Beberapa definisi tentang Istihsan:

1. Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya


karena dia merasa hal itu adalah benar.
2. Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa
diekspresikan secara lisan olehnya.
3. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk
maslahat orang banyak.
4. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah
kemudharatan.
5. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap
perkara yang ada sebelumnya.

13
Contoh Istihsan  :

Menurut Madzhab Hanafi: sisa minuman burung buas, seperti sisa


burung elang burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal
diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan. Menurut qiyas jali sisa
minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas
adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur
dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang
buas itu langsung Minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya
masuk ke tempat minumnya. Menurut qiyas khafi bahwa burung buas
itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang buas. Mulut binatang
buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung
buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan
tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Oleh karena itu sisa
minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram
dimakan, demikian pula air liurnya. Dalam hal ini keadaan yang
tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan
binatang buas. Berdasarkan keadaan inilah ditetapkan perpindahan
dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.

D. Maslahah murshalah

Yang di maksud dengan Maslahah murshalah adalah suatu


kegunaan (utilities) yang tidak di tetapkan oleh syara’ suatu hukum
untuk mewujudkannya dan tidak pula terdapat suatu dalil syara’ yang
memerintahkan untuk memperhatikannya atau mengabaikannya.
Sebagai misal, mengadakan lembaga pemasyarakatan, mencetak uang
sebagai alat pertukaran resmi dari suatu Negara dan membiarkan
tanah tanah agrarian yang terdapat di daerah-daerah yang telah di
kuasai kaum muslimin tetap berada di tangan pemiliknya semula

14
dengan ketentuan mereka di kenakan kewajiban membayar pajak atau
kewajiban-kewajiban lainnya.
Usaha-usaha dan tindakan tersebut dilakukan oleh para sahabat adalah
karena memperhatikan kemuslahatan yang menghendaki di adakannya
usaha-usaha dan tindakan-tindakan itu.

Perbedaan antara ihtisan dan Maslahah murshalah ialah bila ihtisan


mempertimbangkan dasar kemaslahatan (kebaikan) itu dengan di
sertai dalil al-qur’an/ hadis yang umum, sedangkan Maslahah
murshalah mempertimbangkan dasar kepentingan dan kegunaan
dengan tanpa adanya dalil yang secara tertulis explicit dalam al-qur’an
dan hadis.
Maslahah murshalah adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak
ada naskhnya, karena dengan pertimbangan kepentingan hidup
manusia berdasarkan prinsip. menarik manfaat dan menghindari
kemudharatan.

E. Sududz Dzariah

Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh


atau haram demi kepentinagn umat. Saddu Al-Dzari’ah adalah
menghambat segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan.

2)      Objek Al-Dzari’ah ditinjau dari segi akibatnya dibagi menjadi


empat yaitu:
~ Perbuatan yang akibatnya menimbulkan kerusakan/bahaya
~ Perbuatan yang jarang menimbulkan kerusakan/bahaya
~ Perbuatan yang berdasarkan dugaan yang kuat akan
menimbulkan bahaya
~ Perbuatan yang lebih banyak menimbulkan kerusakan, tetapi
belum kuat timbul kerusakan itu

4) Contoh Al-Dzari’ah:
a. Permainan judi
b. Minum minuman keras
15
c. Melihat aurat orang lain
d. Anggur dibuat minuman khamar

F. Istishab

Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai


ada alasan yang bisa mengubahnya.
Istishab yang berdasarkan penetapan dalil aqal melalui mubah atau
bara’ah ashliyah serta tidak ada tuntutan karena tidak ada dalil yang
bertentangan dengan ketentuan aqal tersebut, seperti: segala makanan
dan minuman yang tidak ada dalil mngharamkan. Dan contoh lainnya:
sebagian ulama mengatakan bahwa orang yang sholat dengan
tayammum kemudian dalam mengerjakan sholat itu dia melihat air
maka shalatnya tidak batal,dengan alasan istishab kepada ijma
syahnya sholat dengan tayammum sebelum melihat air,hukum ini
terus berlaku sampai ada dalil,bahwa melihat air membatalkan sholat.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa istishab adalah menetapkan
berlakunya suatu hukum yang telah ada sebelum ada dalil atau bukti
yang mengubah hukum tersebut.
Contoh tentang istishab adalah sebagai berikut:
a. Apabila telah jelas adanya pemilikan terhadap sesuatu harta
karena adanya bukti terjadinya pemilikan seperti karena
membeli, warisan, hibbah atau wasiat, maka pemilikan tadi terus
berlangsung sehingga ada bukti-bukti lain yang menunjukkan
perpindahan pemilikan pada orang lain.
b. Orang yang telah hilang tetap dianggap hidup sehingga ada bukti
atau tanda-tanda lain yang menunjukkan bahwa dia meninggal
dunia.
c. Seseorang yang telah menikah terus dianggap ada dalam
hubungan suami-istri sampai ada bukti lain bahwa mereka telah
bercerai, misalnya dengan talak.

G. Urf

16
Apa-apa yang telah di biasakan oleh masyarakat dan di jalankan
terus menerus baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sebagai
misal, jual beli di mana si pembeli menyerahkan uang sebagai
pembayaran atas barang yang telah di ambilnya, tanpa mengadakan
ijab Kabul, karena harga barang tersebut telah di maklumi bersama.
‘Urf dapat di bedakan menjadi dua macam, yaitu : ‘urf shahih (benar)
dan ‘urf fasid (rusak).
Yang di maksud dengan ‘urf fasid adalah adat kebiasaan yang
dilakukan oleh orang2, berlawanan dengan ketentuan syara’ karena
membawa ke arah menghalalkan yang haram dan mengharamkan
yang halal.
Urf adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat
dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak
bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan
Hadis.

17
H. Objek Ijtihad

Menurut Imam Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’


yang tidak memiliki dalil yang qoth’i. Dengan demikian, syariat Islam
dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua bagian.

1. Syariat yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad yaitu, hukum-


hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang
berdasarkan pada dalil-dalil qoth’i, seperti kewajiban melaksanakan
rukun Islam, atau haramnya berzina, mencuri dan lain-lain. Contohnya
adalah kewajiban sholat dan zakat.

2. Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad yaitu hukum yang


didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, serta hukum-hukum
yang belum ada nash-nya dan ijma’ para ulama.

Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada
pada zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya,
ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa
selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa
yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi
pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan),
ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad
adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan yang
semakin kompleks problematikanya.

18
I. Syarat-Syarat Ijtihad

Syarat Ijtihad untuk Menetapkan Hukum Islam Untuk dapat


menentukan hukum islam sebagai penguat dalil Alquran dan hadist
terhadap suatu hal, maka para mujtahid perlu memenuhi beberapa
syarat ijtihad. Melansir dari isi buku Filsafat Hukum dan Maqashid
Syariah, Muhammad Syukuri Albani Nasution dan Rahmat Hidayat
Nasution (2020: 31), berikut syarat-syarat ijtihad yang wajib dipenuhi
agar dapat membuat ketetapan hukum Islam:

 Para mujtahid (ulama yang melakukan ijtihad) haruslah menguasai


bahasa Arab dan ilmu pengetahuan lainnya
 Mujtahid haruslah memiliki pengetahuan yang luas tentang asbabul
nuzul ayat Alquran dan hadist beserta seluk beluk dan tafsir-tafsirnya
 Mujtahid perlu mengetahui dan memahami kesepakan yang telah
dilakukan ulama/mustahid sebelumnya dalam menetapkan hukum
Islam
 Mujtahid haruslah memahami ilmu fiqih dan kaidah-kaidah dalam
agama Islam
 Mujtahid haruslah emahami perkara yang hendak dicarikan ketetapan
hukumnya tersebut
 Mujtahid haruslah memiliki akhlak terpuji dan memiliki niat ikhlas
dalam melakukan ijtihad

Secara umum ijtihad haruslah dilakukan dengan dalil aqli atau akal
untuk menentukan sumber hukum Islam yang tidak bertentangan
dengan ketetapan Alquran dan hadist. Dalam ajaran agama Islam
sendiri, ijtihad dapat dilakukan dengan dua cara yakni ijma dan qiyas.
Adapun yang disebut ijma ialah ketetapan hukum yang diambil
berdasarkan kesepakatan para ulama terhadap suatu perkara,
sedangkan qiyas ialah ketetapan hukum yang diambil setelah
membandingkan suatu peristiwa dengan peristiwa lain yang
hukumnya sudah ditetapkan oleh nash/syara.

19
J. Hikmah Mempelajari Ijtihad Sebagai Metode Kajian Hukum
Islam
Dalam mempelajari ijtihad kita mengetahui bahwa tujuan ijtihad
adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan
hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau
pada suatu waktu tertentu.  Dan hikmah mempelajari ijtihad ialah
untuk mengetahui, bahwa ijtihad itu menetapkan hukum sesuatu, yang
tidak ditemukan dalil hukumnya secara pasti di dalam A-lqur’an dan
hadits.Hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan
perbuatan orang-orang dewasa.
 ijtihad harus mengikuti kaidah-kaidah yang di atur oleh para mujtahid
tidak boleh bertentangan dengan isi Al-qur’an dan sunnah tersebut.
Karena itu, ijtihad di pandang sebagai salah satu sumber hukum islam
yang sangat di butuhkan sepanjang masa setelah Rasulallah wafat.
Dengan ijtihad, syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi
problematika kehidupan yang semakin kompleks.  

Dengan mempelajari ijtihad, kita bisa mengetahui betapa penting nya


jika tanpa ada ijtihad banyak masalah yang dihadapi manusia tidak
dapat dipecahkan karena tidak ditemukan hukumnya didalam Al-
qur’an dan Hadist. Misalnya tentang niat shalat,para ulama sepakat
bahwa shalat tidak sah tanpa ada niat.Hasil ijtihad suatu
masalah,antara satu mujtahid dengan mujtahid yang lain mungkin
berbeda.hal ini disebabkan oleh perbedaan sudut pandang ,berbedanya
kondisi masyarakat,dan berbedanya latar belakang disiplin
pengetahuan yang dimiliki.

20
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan

Ijtihad adalah istilah para fuqaha, yaitu berfikir dengan menggunakan seluruh ilmu
yang dimiliki oleh ilmuan syari’at islam untuk menentukan/menetapkan sesuatu
hukum syari’at islam dalam hal-hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh
Al-qur’an dan Sunnah. Kata ijtihad dapat berarti al-thaqah (kemampuan, kekuatan)
atau berarti al-masyaqqah (kesulitan, kesukaran). Dikatakan demikian, karena
lapangan ijtihad adalah masalah-masalah yang sukar dan berat. Orang yang mampu
melakukan ijtihad adalah orang yang benar-benar pakar. Berkaitan dengan itu, isu
pintu ijtihad tertutup karena semakin banyak orang yang sembarangan dalam ijtihad,
walaupun sebenarnya tidak ada yang menutup pintu ijtihad. Orang yang melakukan
ijtihad disebut mujtahid. Untuk menjadi seorang mujtahid harus memenuhi beberapa
persyaratan.
Ulama berpendapat, jika seorang Muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa, atau
ditanya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan hukum syara’, maka hukum
ijtihad bagi orang itu bisawajib ‘ain, wajib kifayah, sunat, atau haram, bergantung
pada kapasitas orang tersebut.
Ijtihad dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam yang ketiga. Landasannya
berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Shahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal
ketika diutus keyaman sebagai berikut?

“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi
bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya
berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab
Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw”. Nabi berkata:
“Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ?ia berkata: “Saya akan berijtihad dan
tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan
berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz)
dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw”. (HR.Tirmidzi).
b. Saran
Demikian makalah ijtihad dalam mata kuliah yang tentunya masih jauh dari
kesempurnaan. Penulis sadar bahwa ini merupakan proses dalam menempuh
pembelajaran, untuk itu penulis mengharapkan kritik serta saran yang membangun
demi kesempurnaan makalah ini. Harapan penulis semoga dapat dijadikan suatu ilmu
yang bermanfaat bagi kita semua. Amin!

22
Daftar Pustaka

http://hukum.kompasiana.com/2012/07/02/makalah-tentang-ijtihad-
474137.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Ijtihad
http://kajianfahmilquranhfd.wordpress.com/2013/10/09/sumber-hukum-
islam-hukum-taklifi-dan-hikmah-ibadah/
http://lylamasiv.blogspot.com/2013/05/ijtihad-dan-fungsi-hukum-islam-
dalam.html
http://makalah-ibnu.blogspot.com/2008/11/i-j-t-i-h-d.html
http://makalahtekniksipil.blogspot.com/2012/01/makalah-agama-
islam.html
http://otodidakilmu.blogspot.com/2007/12/taqlid-dan-ijtihad.html

http://temansekamar.blogspot.com/2012/10/jenis-jenis-ijtihad.html

23

Anda mungkin juga menyukai