Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

MATA KULIAH USHUL FIQH


RUANG LINGKUP IJTIHAD

Dosen Pembimbing
NUR GHOZI, SHI., MA

Disusun Oleh:
1. KHILWIYA RARIN ERLINA
2. SITI KHOLISHOH

PRODI : PENDIDIKAN ANAK USIA DINI


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
IAI AL HIKMAH TUBAN
TAHUN 2020/ 2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan contoh makalah mata kuliah studi hadist dengan judul
“RUANG LINGKUP IJTIHAD”.

Terima kasih kami ucapkan kepada bapak Dainuri, S.PdI, M.Pd selaku dosen
pengampu mata kuliah studi hadist ,serta kepada teman- teman yang telah berkontribusi
dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik.

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat keslahan
didalamnya, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk makalah
ini agar lebih baik lagi. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
telah membimbing dan membantu kami dalam menyusun makalah ini.

Tuban, 09 Juni 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL.......................................................................................i
KATA PENGANTAR.......................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
A. Latar Belakang ........................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................1
C. Tujuan ......................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................2
A. Pengertian Ijtihad....................................................................................2
B. Fungsi dan Kedudukan Ijtihad...............................................................3
C. Ruang lingkup Ijtihad.............................................................................4
D. Syarat-syarat ijtihad……………………………………………………4
BAB III PENUTUP...........................................................................................6
A. Kesimpulan...............................................................................................6
B. Saran.........................................................................................................6
DARTAR PUSTAKA........................................................................................7

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Dalam menetapkan hokum dari berbagai kasus pada zaman rasulullah


SAW yang tidak ada ketentuan dalam al-Qur’an, para ulama usul fiqh
menyimpulkan bahwa ada isyarat Rasulullah SAW, beliau menetapkannya melalui
ijtihad. Hasil ijtihad Rasulullah inilah yang secara otomatis menjadi sunnahz
sebagai sumber hukum dan dalil bagi umat islam, tokoh mujtahid yang termasyhur
dikalangan sahabat ialah Umar Ibn Al Khotob, Ali Bin Abi Tholib, dan Abdullah
Bin Mas’ud.

Dalam berijtihad Umar Bin Khotob sering kali mempertimbngkan


kemaslahatan umat, dibandingkan sekedar menerapkan nash secara dzahir,
sementara tujuan hukum tidak tercapai. Ali Bin Abi Tholib melakukan ijtihad juga
menggunakan qiyas.

Setelah itu muncul para imam mujtahid yang 4, yang masing-masing


imam merumuskan metode usul fiqih sendiri, sehingga terlihat dengan jelas
perdedaan antara satu imam dengan imam yang lain dalam mengistimbatkan
hukum dari Al-qur’an,sunnah, ijma, dan qiyas. Namun masing-masing madzhab
menambahkan metode istimbat hukum lainnya. Perbedaan pandangan tersebut para
peneliti ushul fiqh menemukan bentuknya yang sempurna, sehingga generasi
berikutnta cenderung menngunakan metode yang sesuai dengan kasus yang mereka
hadapi pada zamannya masing-masing.

B. Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud dengan Ijtihad dan Bagaimana Ruang Lingkup
Ijtihad?

C. Tujuan Masalah
Untuk mengetahui tentang Ijtihad dan Ruang Lingkup Ijtihad.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
secara bahasa Ijtihad berasal dari kata Ijtihada – yajtahidu yang berarti bersungguh-
sungguh dalam menggunakan tenaga, baik fisik maupun pikiran.1
Menurut kamus dalam ilmu mawaris ijtihad adalah menggunakan seluruh kemampuan
berfikir untuk menetapkan suatu hukum syari’at.
Ibrahim Husain mengidentifikasikan makna ijtihad dengan istinbath. Istinbath berasal
dari kata ‘nabath’ (air yang mula-mula memancar dari sumber yang digali). Oleh karena
itu menurut bahasa arti istinbath sebagai murodhif 2 dari ijtihad yaitu mengeluarkan sesuatu
dari persembunyian.
Orang yang mempunyai kelengkapan syarat ijtihad ditugaskan mengistinbathkan
hukum atas dasar fardhu kifayah. Ada ulama’ yang berkata “kita perlu membayangkan hal-
hal yang mungkin terjadi lalu kita bahas hukumnya, agar ketika terjadi hal-hal itu hukum
telah ada,” inilah jalan yang ditempuh oleh fuqoha’ akhir ro’yi dan golongan hanafiyah.
Dan haram berijtihad pada masalah-masalah yang terjadi ijma’.
Menurut istilah ijtihad berarti pengarahan segenap kemampuan untuk menemukan
hukum syara’ melalui dalil-dalil yang rinci dengan metode tertentu. Definisi ijtihad
menurut para ulama adalah sebagai berikut:
Menurut Imam Ghozali ijtihad adalah pengerahan kemampuan oleh seorang fiqih atau
mujtahid dalam rangka menghasilkan hukum syara’.
Menurut Abdul Wahab Kholaf ijtihad adalah pengerahan kemampuan menghasilkan
hukum syara’ dari dalil-dalil yang rinci yang bersumber dari dalil-dalil syara’.
Dengan demikian dapat dinamakan ijtihad apabila memenuhi tiga unsur yaitu usaha
yang sungguh-sungguh, menemukan atau mengistinbathkan hukum islam, dan
menggunakan dalil-dalil yang rinci. Pertama, tidak dinamakan ijtihad apabila usaha yang
dilakukan tidak bersungguh-sungguh. Persyaratan ini sekaligus membatasi pelaksanaan
ijtihad, yaitu hanya kepada mereka yang memiliki kemampuan dan keterampilan yang
berhubungan dengan masalah yang diijtihadi. Kedua, tujuan ijtihad adalah untuk
menemukan atau merumuskan ketetapan hukum islam yang belum ada kepastian
hukumnya dalam Al-Qur’an maupun hadits. Ketiga, menggunakan dalil-dalil yang rinci
yaitu dalil yang bersumber dari nash al-Qur’an dan hadist. Oleh karena itu, penguasa

1
Ali Shodiqin, Fiqih, dan Ushul Fiqih, Yogyakarta:Beranda Publishing,2012:99
2
Persamaan kata

2
terhadap metode istinbath hukum menjadi sangat penting dalam pelaksaan ijtihad. Karena
metode inilah yang akan menghasilkan ketetapan hukum yang dihasilkan dengan nash al-
Qur’an dan hadist yag menjadi dasar hukumnya ketika unsur diatas adalah satu kesatuan,
jadi jika salah satunya tidak terpenuhi maka usaha tersebut tidak dinamakan ijtihad.

B. Fungsi dan Kedudukan Ijtihad


Fungsi utama ijtihad adalah mengistinbathkan hukum (mencari, menggali,
menemukan) hukum syara’. Ijtihad merupakan alat ilmiah dan pandangan yang
diperlukan untuk menghampiri berbagai segi kehidupan baru dari segi ajaran
islam. Melalui ijtidad, hukum islam akan selalu up to date dan fungsionaldalam
kehidupan pribadi dan social. Dalam kajian fiqh dan ushul fiqh ijtihad menjadi
smber hukum yang ketiga setelah al-Qur’an dan hadist. Meskipun menjadi sumber
hukum yang ketiga, tetapi kedudukan ijtihad sangat penting karena nash tidak
dapat menjelaskan dirinya sendiri tanpa bantuan akal manusia. Dasar hukum
berlakunya ijtihad adalah;
Al-Qur’an, yaitu suroh An-nisa’ ayat 105 yang artinya:
Sesunggguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak
bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.

Ayat ini dan beberapa ayat berikutnya diturunkan berhubungan dengan


pencurian yang dilakukan thu’mah dan ia menyembunyikan barang curian itu
dirumah seorang yahudi. Thu’mah tidak mengakui perbuatannya itu malah
menuduh bahwa yang mencuri barang itu orang yahudi. Hal ini diajukan oleh
kerabat-kerabat thu’mah kepada nabi SAW dan mereka meminta agar nabi
membela thu’mah dan menghukum orang-orang Yahudi, kendatipun mereka tahu
bahwa yang mencuri barang itu adalah thu’mah, nabi sendiri hamper-hampir
membenarkan tuduhan thum’ah dan kerabatnya itu terhadap orang Yahudi.

Tentang kebenaran hasil ijtihad, ulama terbelah dalam 2 pendapat, yaitu


kelompok musawwibat dan kelompok mukhatti’at. Kelompok musawwibat
berpendapat bahwa mujtahid brfungsi sebagai penemu dan pembuat hukum (munsy

3
al-hukmi). Kedudukannya sama dengan Allah SWT. Sehingga al-Qur’andan hadist
dapat sebagai sumber hukum. Kelompok mukhatti’at berpendapat lain, bahwa
fungsi mujtahid adalah pengungkap hukum (kasy al-hukmi), bukan pembuat
hukum. Hasil ijtihadnya relative, bisa benar bisa juga salah. Ijtihad berkedudukan
sebagai metode bukan sumber hukum.

C. Ruang lingkup Ijtihad


Dalam garis besar ruang lingkup ijtihad dapat dibagi menjadi dua bagian:
1. Peristiwa yang ketetapan hukumnya masih dzanny. Tugas utama para
mujtahid dalam masalah ini adalah menafsirkan kandungan nash kemudian
menetapkan hukum-hukum yang termuat didalamnya. Contohnya adalah
bersentuhan antara laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrimnya
baik disengaja ataupun tidak, apakah itu membatalkan wudlu atau tidak,
kewajiban suami istri, dan lain-lain.
2. Peristiwa yang belum ada nash nya sama sekali. Tugas utama para mujtahid
dalam maalah ini adalah merumuskan hukum baru atas peristiwa tersebut
dengan manggunakan kekuatan ra’y. contoh masalah ini adalah hukum bayi
tabung, transplantasi organ tubuh, keluarga berencana, dan lain-lain.3

Dengan demikian, ijtihad tidak dapat dilakukan terhadap persoalan hukum


syara’ yang sudah qot’i dolalah, atau memiliki kepastian hukum dari nash.
Contoh dalam hal ini adalah tentang kewajiban sholat lima waktu. Sholat lima
waktu wajib hukumnya secara qot’i, berdasarkan perintah didalam al-Qur’an
dan hadist, serta ijma’ ulama. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan lagi
mentafsirkan atau berijtihad dalam masalah kewajiban sholat lima waktu.

D. Syarat-syarat Ijtihad
Syarat-syarat umum :
1. Baligh
2. Berakal sehat
3. Memahami masalah
4. Beriman
Syarat-syarat khusus :
3
Teungku Muhammad semarang; pustaka rizki putra,1967:200

4
1. Mengetahui ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah yang
dianalisis
2. Mengetahui sunah nadi yang berhubungan dengan yang dianalisis
3. Mengetahui maksud dan rahasia hukum islam
4. Mengetahui kaidah bahasa arab
5. Mengetahui ilmu mantiq

Syarat-syarat tambahan :
1. Mengetahui bahwa tidak ada dalil qot’I yang berkaitan
dengan masalah yang akan ditetapkan hukumnya
2. Mengetahui masalah yang diperselisihkan oleh ulama dan
yang akan mereka sepakati
3. Mengetahui bahwa hasil ijtihad itu tidak bersifat mutlak.

5
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam berijtihad Umar bin Khattab sering kali mempertimbangkan
kemaslahatan umat, dibandingkan sekedar menerapkan nash secara dzahir,
sementara tujuan hukum tidak tercapai. Ali bin Abi Tholib melakukan ijtihad
juga menggunakan qiyas.

Setelah itu muncul para imam mujtahid yang empat. Yang masing-masing
imam merumuskan metode usul fiqh sendiri. Sehimgga terlihat dengan jelas
perdebaan antara satu imam dengan imam yang lain dalam mengistinbatkan
hukum dari al-qur’an dan sunah. Imam madzhab yang empat tersebut sepakat
dengan dalili-dalil yang dikemukakan oleh imam syafi’i yaitu, al-Qur’an,
sunnah, ijma’, dan qiyas. namun masing-masing mazhab menambahkan metode
istinbat hukum lainnya. Perbedaan pandangan tersebut para peniliti ushul fiqh
menyatakan bahwa pada keempat imam madzhab tersebut menemukan bentuk
usul fiqh yang sempurna, sehingga generasi berikutnya cenderung menngunakan
metode yang sesuai dengan kasus yang mereka hadapi pada zamannya masing-
masing.

B. Saran
Kami selaku penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran pembangun dari
pembaca sangat disarankan demi penyempurnaan makalah-makalah selanjutnya

6
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Hasbi Ash Shiddieq. 1999. Pengantar Ilmu Fiqh. Semarang : Pustaka Rizki
Putra
Ali Shodiqin. 2021. Fiqh Ushul Fiqh. Yogyakarta : Beranda Publishing.
Ash-Shiddieqy. Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Hukum Islam, semarang Pustaka
Rizki Putra, 1997
Uman Chairul, dkk. 1998. Ushul Fiqh 1. Bandung : Pustaka setia.

Anda mungkin juga menyukai