Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

USHUL FIQHI
“SUMBER-SUMBER AJARAN ISLAM (IJTIHAD)”

Dosen Pengampu: Alias, S.H.I.

Oleh:
Fadhil Edryansyah A
NIM: 20.26.0101.1313
Gina Musliyati M
NIM: 20.26.0101.1315

JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT) IBNU KHALDUN NUNUKAN
2021 M / 1443 H
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan pada Allah SWT. Hanya kepada-Nya lah
kami memuji dan hanya kepada-Nya lah kami memohon pertolongan. Tidak lupa
shalawat serta salam kami haturkan pada junjungan nabi agung kita, Nabi
Muhammad SAW. Risalah beliau lah yang bermanfaat bagi kita semua sebagai
petunjuk menjalani kehidupan.

Dengan pertolongan-Nya, penulis akhirnya dapat menyelesaikan makalah


berjudul “Sumber Ajaran Islam (Ijtihad)”. Makalah ini disusun guna memenuhi
tugas mata kuliah Ushul Fiqhi..

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna
karena pengalaman dan pengetahuan penulis yang terbatas. Oleh karena itu, Penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dalam makalah ini.

Nunukan, 21 Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................ i


DAFTAR ISI ........................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................. 1

C. Tujuan ................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad ................................................................. 2

B. Hukum Berijtihad ................................................................. 3

C. Dasar-Dasar Ijtihad .............................................................. 4

D. Macam-Macam Ijtihad ......................................................... 5

E. Syarat Seorang Mujtahid ...................................................... 7

F. Macam-Macam Mujtahid ..................................................... 9

G. Kebenaran Dan Kekuatan hasil Ijtihad ................................ 9

BAB III KESIMPULAN

A. Simpulan .................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi di dunia menyebabkan
adanya masalah-masalah baru yang belum terdapat dalam Al-Qur’an dan
Assunnah. Banyak umat islam yang mulai bertanya status hukum islam tentang
hal-hal baru tersebut. Sehingga perlu yang Namanya ijtihad untuk menjawab
bagaimana status hukumnya dalam syariat islam.
Namun pada abad 4 H, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa pintu
ijtihad telah tertutup. Sehingga menyebabkan ulama zaman sekarang merasa
tidak pantas untuk melakukan ijtihad. Berangkat dari hal tersebut, maka perlu
kiranya kita untuk mempelajari dan mendalami lagi tentang ijtihad.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan membahas mengenai penegertian
ijtihad, dasar-dasar hukum ijtihad, hukum melakukan ijtihad, macam-macam
ijtihad dan syarat seorang mujtahid.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ijtihad?
2. Apa saja dasar hukum ijtihad?
3. Apa saja macam-macam ijtihad?
4. Apa saja syarat-sayat seorang mujtahid?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan ijtihad
2. Untuk mengetahui apa saja dasar hukum ijtihad
3. Untuk mengetahui apa saja macam-macam ijtihad
4. Untuk mengetahu apa saja syarat-syarat seorang mujtahid

1
2

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad
Menurut arti kata (etimologi), Ijtihad ) ‫(االجتها‬berasal dari Bahasa arab
yang diambil dari akar kata “jahada” (‫ )جهد‬yang apabila digabungkan dengan
dua bentuk mashdarnya yaitu “jahdun”dan “juhdun” memiliki arti
kesanggupan yang sangat atau kesungguhan yang sangat. 1 Dalam kata lain
menurut Bahasa “jahada” berarti kesanggupan (al-wus’), kekuatan (althaqah),
dan berat (al-masyaqqah).2 Ijtihad dalam makna jahada terdapat dalam Al-
Qur’an surah An-Nahl [16]: 38, surah An-Nur [24]: 53 dan surah Fatir [53]: 42.3
Sehingga para ulama mengajukan redaksi berbagai macam dalam
mendefinisikan secara Bahasa kata Ijtihad. Ahmad bin Ali al-Muqri al-Fayumi
menjelaskan Ijtihad secara bahasa adalah pengarahan kesanggupan dan
kekuatan yang luar biasa dari seorang mujtahid dalam upaya melakukan
pencarian sesuatu untuk sampai kepada ujung yang ditujunya. Sedangkan
menurut al-Syaukani, Ijtihad secara bahasa adalah pembicaraan mengenai
pengarahan kemampuan dalam pekerjaan apapun.
Sedangkan Ijtihad menurut istilah teknis hukum (definisi) adalah
pengerahan daya nalar secara maksimal dengan usaha yang dilakukan oleh
orang yang telah mencapai derajat tertentu di bidang keilmuan, dimana hasil
yang diperoleh dari usaha Ijtihad tersebut adalah pendapat kuat tentang hukum
syara’ yang bersifat amaliah yang ditempuh lewat metode-metode istinbath.4
Dalam makna yang lain Ijtihad juga berarti mencurahkan segala
kesanggupan berpikir untuk menjelaskan hukum-hukum syariat dari sumber
ajaran islam yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Apabila ada suatu masalah yang
hukumnya tidak ada pada Al-Qur’an maupun Al-Hadits, maka Ijtihad dilakukan

1
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 253
2
Atang Abdul Hakim, Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2000), hlm. 95.
3
Ibid., hlm. 96.
4
Amir Syarifuddin, Op.cit., hlm. 260.

2
3

dengan memakai akal dan pikiran manusia yang tetap bersandarkan pada Al-
Qur’an dan Al-Hadits.5
B. Hukum Berijtihad
Hukum berijtihad ialah hukum orang yang melakukan Ijtihad, baik tujuan
dari hukum takhlifi, maupun wadh’i. Orang yang telah mencapai tingkat faqih
ialah orang yang berwenang melakukan Ijtihad. Hukum berijtihad seorang faqih
dapat dilihat dari segi prinsip umum dalam menetapkan hukum, dengan tidak
memandang keadaan dan kondisi apapun atau melihat kondisi dan keadaan
tertentu.6
Jika seorang muslim dihadapkan dengan suatu masalah yang
bersangkutan dengan hukum syara’, maka hukum Ijtihad bisa menjadi wajib
‘ain, wajib kifayah, sunnah, atau haram, tergantung pada kapasitas orang
tersebut.7 Namun, secara umum hukum Ijtihad adalah wajib. Adapun dalil
tentang kewajiban berijtihad terdapat dalam Al-Qur’an :
1. Surah al-hasyr [59] 2:
‫ار‬
ِ ‫ص‬ َ ْ ‫فَا ْعتَ ِب ُر ْوا يٰٓاُولِى‬
َ ‫اال ْب‬
“Maka ambil iktibarlah hai orang-orang yang punya pandangan.”

Ayat ini menjelaskan tentang perintah Allah Swt kepada orang-


orang yang mempunyai pandangan untuk mengambil iktibar atau
pertimbangan dalam berpikir.

2. Surah an-Nisaa’ [4] 59:


... ‫الرس ُْو ِل‬ ِ ‫يءٍ ف َُرد ُّْو ُه اِلَى ه‬
َّ ‫ّٰللا َو‬ ْ ِ‫فَا ِْن تَنَازَ ْعت ُ ْم ف‬
ْ ‫ي َش‬
“Maka jika kamu berselisih paham tentang sesuatu kembalikanlah kepada
Allah dan Rasul….”
Ayat ini menjelaskan tentang mengembalikan segala sesuatu yang
diperselisihkan hanya kepada Allah dan Rasul. Sesuatu yang
diperselisihkan biasanya ialah hal-hal yang tidak ditetapkan Allah secara
jelas dan tegas dalam firmannya, sedangkan perintah untuk mengembalikan

5
Koko Abdul Kodir, Metodologi Studi Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014), hlm.
6
Amir Syarifuddin, Op.cit., hlm. 260.
7
Atang Abdul Hakim, Jaih Mubarok, Op.cit., hlm. 105.
4

segala sesuatu hanya kepada Allah dan Rasul ialah menghubungkan


hukumnya yang telah ditetapkan Allah Swt dalam Al-Qur’an atau yang
telah ditetapkan Rasul dalam Al-Hadist.8
C. Dasar-Dasar Ijtihad
Dasar hukum Ijtihad ialah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam ayat Al-
Qur’an yang menjelaskan tentang dasar Ijtihad, antara lain :
1. Surah An-Nisaa’ [4] 105:
ِ ‫ّٰللا َۗو َال تَكُ ْن ِل ْلخ َۤا ِٕىنِيْنَ خ‬
‫َص ْي ًما‬ ِ ‫ب بِ ْال َح‬
ِ َّ‫ق ِلتَحْ كُ َم بَيْنَ الن‬
ُ ‫اس بِ َما ٰٓ اَرىكَ ه‬ َ ‫اِنَّا ٰٓ اَ ْنزَ ْلنَا ٰٓ اِلَيْكَ ْالكِت‬
“Sungguh, kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu
(Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia
denga napa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau
menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang
yang berkhianat”.9

2. Surah Ar-Rum [30] 21:


َ‫ت ِلقَ ْو ٍم يَّتَفَ َّك ُر ْون‬
ٍ ‫ي ذلِكَ َالي‬
ْ ِ‫اِنَّ ف‬
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berpikir”.10
Dalam As-Sunnah yang menjelaskan tentang dasar Ijtihad, antara lain :
1. Hadits ‘Amr bin Al-‘Ash yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim
dan Ahmad yang berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad,
kemudian dia benar maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika
ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu
pahala” (H.R. Bukhari Muslim). 11

2. Dalam Hadits lain yang dijadikan dasar Ijtihad ialah Hadits Mu’adz bin
Jabal ketika ia diutus oleh Nabi ke Yaman sebagai Hakim:

“Dengan apa kamu memutuskan perkara Mu’adz?” Mu’adz


menjawab: “Dengan sesuatu yang terdapat dalam kitab Allah.”
Nabi bersabda: “Kalau kamu tidak mendapatkannya dari kitab
Allah?” Mu’adz menjawab: “Saya akan memutuskannya dengan

8
Amir Syarifuddin, Op.cit., hlm. 261-262.
9
Koko Abdul Kadir, Op.cit., hlm. 54.
10
Atang Abdul Hakim, Jaih Mubarok, Op.cit., hlm. 99.
11
Koko Abdul Kadir, Op.cit., hlm.54.
5

sesuatu yang telah di putuskan oleh Rasul Allah.” Nabi bersabda:


“Kalau kamu tidak mendapatkan sesuatu yang telah di putuskan oleh
Rasul Allah?” Mu’adz menjawab: “Saya akan berijtihad dengan
pikiran saya. Nabi bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah
memberi taufiq kepada utusan dari Rasul-Nya.” 12

D. Macam-Macam Ijtihad
Macam-macam Ijtihad yang dikenal dalam syariat Islam, antara lain:
1. Ijma’
Secara Bahasa Ijma’ artinya sepakat, setuju atau sependapat tentang
suatu hal. Sedangkan secara istilah Ijma’ ialah kebulatan pendapat mujtahid
umat Nabi Muhammad Saw tentang hukum syara’ dari suatu peristiwa yang
terjadi setelah beliau wafat. Hasil Ijma’ adalah fatwa yaitu suatu keputusan
bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh
umat.13
Dasar hukum Ijma’ yang berupa Al-Qur’an, As-Sunnah dan akal
pikiran, seperti yang tertera pada surah Al-Imran ayat 103 yang
memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk berpegang teguh kepada tali
(agama) Allah Swt dan jangan sekali-kali bercerai berai.14 Adapun kaidah-
kaidah ushul yang diambil dari Ijma’ antara lain:
a. Ijma’ sahabat bahwa: “Hukum yang dihasilkan dari Hadits ahad bisa
diterima.”
b. Ijma’ sahabat bahwa: “Hukum terbagi jadi lima macam.”
c. Ijma’ sahabat bahwa: “Syariat Nabi Muhammad Saw menghapus
seluruh Syariat yang sebelumnya.”
2. Qiyas
Secara bahasa qiyas berarti menyamakan, mengukur, atau
membandingkan. Qiyas juga dapat diartikan sebagai upaya
membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang memiliki pokok
masalah yang sama atau sebab akibat yang sama. Misalnya pada surat Al-

12
Atang Abdul Hakim, Jaih Mubarok, Op.cit., hlm. 100.
13
Koko Abdul Kodir, Op.cit., hlm. 54.
14
Ibid., hlm. 74.
6

Isra’ ayat 23 yang mengatakan bahwa janganlah mengatakan “ah” kepada


orang tua, apalagi sampai memukul orang tua karna hal ini dapat menyakiti
hati orang tua.15
3. Istihsan
Menurut bahasa Istihsan berarti memperhitungkan sesuatu lebih
baik, mengikuti sesuatu yang lebih baik, atau mencari sesuatu yang lebih
baik untuk diikuti. Sedangkan menurut istilah, ada beberapa pengertian
Istihsan yang di definisikan ulama ushul. Salah satunya ialah Ibnu Subki
yang mengajukan dua rumusan pengertian, yaitu:
‫عدول عن قياس الى قياس اقوى من ه‬
“Beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat dari
padanya “
‫عدول عن الدليل الى العادة للمصلحة‬
“Beralih dari penggunaan sebuah dalil kepada adat kebiasaan karena suatu
kemaslahatan.“16

4. Mushalat Murshalah
Secara bahasa mushalat murshalah berarti kesejahteraan umum.
Sedangkan secara istilah, mushalat murshalah ialah perkaraperkara yang
perlu dilakukan untuk kemaslahatan manusia.
5. Sududz Dzariah
Secara bahasa sududz dzariah berarti menutup jalan. Sedangkan
secara istilah, sududz dzariah ialah melakukan atau memutuskan suatu
perkara yang mubah menjadi makruh atau haram untuk kepentingan umat.
6. Istishab
Istishab adalah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah
diberlakukan pada masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan
hukum tersebut.

15
Ibid., hlm. 54-55.
16
Amir Syarifuddin, Op.cit., hlm. 347.
7

7. Urf
Urf atau adat adalah perbuatan yang dilakukan terus menerus baik
berupa suatu perkataan maupun perbuatan.17
E. Syarat Seorang Mujtahid
Mujtahid adalah orang yang mampu melakukan Ijtihad melalui cara
istinbath atau mengeluarkan hukum dari sumber hukum syariat dan melalui
cara tathbiq atau penerapan hukumnya. Adapun beberapa pendapat tentang
syarat-syarat untuk menjadi seorang mujtahid, sebagai berikut :
1. Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali berpendapat bahwa
syarat seorang mujtahid ada dua, yaitu:
a. Mengetahui syariat serta hal-hal yang berkaitan dengannya sehingga
dapat mendahulukan yang seharusnya didahulukan dan
mengakhirkan sesuatu yang seharusnya diakhirkan.
b. Adil dan tidak melakukan maksiat yang dapat merusak keadilannya.
2. Fakkhr al-Din Muhammad bin Umar bin al- Husain al-Razi berpendapat
bahwa syarat seorang mujtahid ada empat, yaitu:
a. Mukalaf.
b. Mengetahui makna-makna lafad dan rahasianya.
c. Mengetahui keadaan mukhathab.
d. Mengetahui keadaan lafad.
3. Abu Ishaq bin Musa al-Syatibi berpendapat bahwa syarat seorang
mujtahid ada tiga, yaitu :
a. Memahami tujuan-tujuan syara’.
b. Mampu melakukan penetapan hukum.
c. Memahami bahasa Arab dan ilmu-ilmu yang berhubungan
dengannya.
4. Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani berpendapat yang
berbeda dengan syarat-syarat sebelumnya bahwa syarat seorang mujtahid
ada lima, yaitu :

17
Koko Abdul Kadir, Op.cit., hlm. 55-56.
8

a. Mengetahui Al-Qur’an dan As-Sunnah yang bertalian dengan


masalah-masalah hukum, jumlah ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an
yang berjumlah sekitar 500 ayat.
b. Mengetahui Ijmak.
c. Mengetahui bahasa Arab.
d. Mengetahui ilmu ushul fiqh.
e. Mengetahui nasikh-mansukh.
5. Muhammad Abu Zahrah berpendapat bahwa syarat seorang mujtahid ada
delapan, yaitu :
a. Mengetahui bahasa Arab.
b. Mengetahui nasikh-mansukh dalam Al-Qur’an.
c. Mengetahui Sunnah baik berupa perkataan, perbuatan, maupun
penetapan.
d. Mengetahui ijmak dan ikhtilaf.
e. Mengetahui qiyas.
f. Mengetahui maqashid al-syari’ah.
g. Memiliki pemahaman yang tepat yang karenanya mujtahid dapat
memahami ilmu mantiq.
h. Memiliki niat yang baik dan keyakinan yang selamat.
6. Wahbah al-Zuhaili berpendapat bahwa syarat seorang mujtahid ada
delapan, yaitu :
a. Mengetahui makna ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an.
b. Mengetahui makna hadits-hadits hukum secara bahasa dan istilah.
c. Mengetahui nasikh-mansukh.
d. Mengetahui ijmak.
e. Mengetahui qiyas dan syarat-syaratnya yang telah disepakati.
f. Mengetahui ilmu bahasa Arab.
g. Mengetahui ilmu ushul fiqh.
h. Mengetahui maqashid al-syariat dalam penetapan hukum.
9

F. Macam-Macam Mujtahid
Menurut Muhaimin dan kawan-kawannya sesuai dengan banyaknya
syarat-syarat yang telah ditetapkan sebelumnya, maka mujtahid memiliki
beberapa tingkatan, yaitu :
1. Mujtahid Muthlaq
Mujtahid Muthlaq adalah mujtahid yang mampu menggali hukum-
hukum agama dari sumbernya. Mujtahid Muthlaq dibagi menjadi dua
tingkatan, yaitu :
a. Mujtahid Muthlaq Mustaqil
b. Mujtahid Muthlaq Muntasib18
2. Mujtahid Al-Madzhab
Mujtahid Al-Madzhab adalah mujtahid yang mampu mengeluarkan
hukum-hukum agama yang tidak atau belum dikeluarkan oleh madzhabnya
dengan cara menggunakan metode yang telah disusun oleh madzhabnya itu.
Mujtahid muthlaq dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a. Mujtahid Tarjih (mujtahid fatwa).
b. Mujtahid Takhrij.19

G. Kebenaran Dan Kekuatan Hasil Ijtihad


Para ulama berbeda pendapat tentang apakah Nabi pernah melakukan
Ijtihad dan apakah Nabi boleh Berijtihad. Hal ini timbul karna disatu sisi Allah
berfirman dalam surah An- Najm [53]: 2-3:
Artinya : “ Dan tiadalah ia (Nabi) berbicara dengan hawa nafsunya,
ucapanya itu tiada lain dari wahyu yang di wahyukan.”

Namun, disisi lain Nabi dalam kedudukannya sebagai manusia biasa


berbicara dan melakukan sesuatu yang tentu tidak mungkin keseluruhannya
sebagai wahyu. Jumhur ulama berpendapat bahwa Nabi boleh dan mungkin
saja melakukan Ijtihad. Mereka berargumen berdasarkan dalil Al-Qur’an,
sunnah dan argument akal. Dalil Al-Qur’an yang mereka kemukakan ialah
Surah Al-Hasyr [59]: 2.

18
Atang Abdul Hakim, Jaih Mubarok, Op.cit., hlm. 101-103.
19
Ibid., hlm. 104.
10

Sedangkan dalil yang berasal dari Hadits Nabi yang menjelaskan bahwa
Nabi melakukan Ijtihad cukup banyak. Salah satu Haditsnya ialah yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dengan sanad dari Rafi’ Ibn Khudeij. 20
Al-Anbari berpendapat bahwa hasil Ijtihad dari beberapa mujtahid yang
berbeda pendapat dalam bidang aqliyah atau aqidah semuanya betul dan
dengan sendirinya tidak ada yang berdosa dengan hasil Ijtihadnya itu.
Sedangkan Al-Jahizh berpendapat bahwa yang betul diantara mujtahid dalam
bidang aqliyah hanyalah satu, sedangkan yang lainnya salah, tetapi yang salah
tersebut dibebaskan dari dosa selama ia tidak bersikap melawan dengan hasil
Ijtihadnya itu terhadap aqidah Islam. 21
Menurut Salam Madzkur, hasil Ijtihad memiliki kekuatan mengikat
untuk diri mujtahid itu sendiri dan juga mempunyai kekuatan mengikat untuk
orang yang minta fatwa kepadanya. 22

20
Amir Syarifuddin, Op.cit., hlm. 64-66.
21
Ibid., hlm. 334.
22
Iibid., hlm. 340.
11

BAB III
KESIMPULAN

A. Simpulan
Pada saat ini, manusia dihadapkan dengan berbagai
peristiwaperistiwa yang terjadi diberbagai aspek kehidupan umat
muslim. Peristiwaperistiwa tersebut membutuhkan penyelesaian yang
seksama, penelahaan yang sungguh-sungguh serta pemikiran yang luar
biasa sehingga mampu menjelaskan serta menjawab tantangan-
tantangan yang dihadapi manusia pada saat ini. Salah satu tantangan
yang dihadapi sekarang ialah ketidakmampuan dalam memilah
modernisasi serta cara hidup budaya barat.
Sehingga Ijtihad berperan sebagai jawaban untuk merespon
tantangan zaman tersebut, dengan memberikan tafsiran yang jelas atas
aturan-aturan yang sesuai dengan syarat-syarat yang berlaku dengan
tidak keluar dari sumber ajaran Islam yang utama yaitu Al-Qur’an dan
Al-Hadits.

11
12

DAFTAR PUSTAKA

Hakim, Atang Abdul, Mubarok Jaih. 2000. Metodologi Studi Islam. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Kodir, Koko Abdul. 2014. Metodologi Studi Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh 2. Jakarta: Kencana.

Anda mungkin juga menyukai