Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH FIQIH

Disusun untuk memenuhi tugas PAT Fiqih

Guru Mata Pelajaran:

lah Badiatul Jamal, S.Ag

Disusun oleh:

Shopia Angie Arpeggia

12 MIPA 4

Madrasah Aliyah Negeri 1 Bekasi

Jl. Ki Hajar Dewantara No. 43 B

2024-2025

i
KATA PENGANTAR

Tiada kata yang mewakili perasaan saya saat ini kecuali rasa syukur. Untuk itu,
saya ucapkan puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT atas nikmat-Nya,
hingga saya dapat menyusun makalah tentang “Ijtihad dan Bermazhab” yang
dapat terselesaikan tepat waktu

Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada siapapun yang terlibat dalam
pembuatan makalah ini. Saya ucapkan terima kasih kepada guru pembimbing
yang tak lelah untuk di ajak diskusi. Tentunya, saya tidak akan maksimal dalam
pembuatan makalah ini jika tidak mendapat dukungan dari beberapa pihak.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Sebagai penulis,
saya berharap pembaca bisa memberikan kritik agar tulisan selanjutnya jauh lebih
baik. Di sisi lain, saya berharap pembaca menemukan pengetahuan baru dari
laporan penelitian yang saya susun. Walaupun tulisan ini tidak sepenuhnya bagus,
saya berharap semoga karya ilmiah yang telah disusun dapat memberikan manfaat
dan juga inspirasi pembaca.

Bekasi, Februari 2024

siluneP

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................ i
DAFTAR ISI........................................................................................ ii
BAB I.................................................................................................. iii
1.1 Latar Belakang.............................................................................. iv
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................... v
1.3 Tujuan............................................................................................ vi

BAB II................................................................................................ vii


A. Pengertian Ijtihad dan Mazhab.................................................... viii
B. Manfaat Ijtihad dan Bermazhab.................................................... ix
C. Dasar Hukum Ijtihad...................................................................... x
D. Tingkat Mujtahid........................................................................... xi
E. Syarat Mujtahid............................................................................ xii

BAB III............................................................................................. xiii


2.1 Kesimpulan................................................................................ xiiii
2.2 Saran............................................................................................. xv

DAFTAR PUSTAKA........................................................................ xvi

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut bahasa, ijtihad dengan arti lain “pengerahan segala kemampuan


untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.” Atas dasar ini lah yang tidak tepat apabila
kata “ijtihad” digunakan untuk melakukan yang mudah/ringan. Ijtihad ialah upaya
untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah SAW.
Hingga dalam perkembangannya, ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat, tabi‟in
serta masa-masa yang akan datang hingga saat ini. Meskipun pada periode
tertentu yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperkenankan atau
diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau
pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali. Sebab tidak bisa menyangkal, ijtihad
adalah suatu keseharusan, untuk mengimbangi tantangan kehidupan yang semakin
kompleks problematikanya.

Pada saat ini, masih banyak kita temui perbedaan-perbedaan mahzab


dalam hukum Islam yang itu diperoleh dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam
kontemporer seperti Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain
sebagainya. Semuanya tidak bisa lepas dari pencapaian ijtihad dan sudah tentu
masing-masing mujtahid bersungguh-sungguh untuk menemukan hukum yang
terbaik. Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok
dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, syariat Islam
menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi problematika kehidupan yang semakin
kompleks.
Sesungguhnya ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu
melalui dalil-dalil agama yaitu Al-Qur‟an dan Al-hadits dengan jalan istimbat.
Sedangkan mujtahid itu adalah ahli fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan
seluruh kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan yang kuat akan suatu
hukum agama. Oleh karena itu kita harus berterima kasih kepada para mujtahid
yang telah menyumbangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mencari tau lebih
dalam hukum tentang masalah yang dihadapi oleh umat Islam baik yang sudah
lama maupun yang terjadi di zaman Rasullullah dan yang sudah terjadi.

iv
1.2 Rumusan Masalah

Dalam penyusunan makalah ini, adapun beberapa rumusan masalah yang


diantaranya adalah:

1. Apa yang dimaksud dengan Ijtihad dan Bermazhab?


2. Apa manfaat dari Ijtihad dan Bermazhab?
3. Apa yang menjadi dasar hukum Ijtihad?
4. Apa saja syarat menjadi mujtahid?
5. Sebutkan beberapa tingkat mujtahid?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan pembuatan makalah ini ialah:


1. Untuk mengetahui pengertian Ijtihad dan Mazhab
2. Untuk mengetahui macam-macam dari Ijtihad dan Mazhab
3. Untuk mengetahui syarat menjadi Mujiahid
4. Untuk mengetahui dasar hukum dari Ijtihad
5. Untuk memenuhi tugas PAT Fiqih
6. Wawasan penulis bertambah dan pembaca mengenai Ijtihad dan Mazhab

v
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad dan Mazhab

Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang
berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) danath-thaqat (kesanggupan dan
kemampuan). Dengan kata lain, secara etimologis, ijtihad adalah
pengembangan segala kemampuan seseorang untuk mencapai sesuatu atau
melakukan suatu tindakan. Al-Quran mengatakan:

‫ْْ ُمهَ ْدهُجلإل إَْ نى ُْدإ َج يَْ لَْ نيإ ذل الَْ و‬

Artinya: “… Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu


untuk disedekahkan) selain kesanggupan.” (Q.S. At-Taubah:79) Kata al- jahd
dan turunannya merujuk pada pekerjaan yang memerlukan usaha lebih dari
biasanya dan sulit untuk dilakukan atau dinikmati.

Pengertian lain “ijtihad” menurut bahasa ialah menghimpun segala


kesanggupann untuk melakukan sesuatu yang rumit. Menurut konsep ini kata
ijtihad tidak dipergunakan pada “pengerjaan sesuatu yang mudah atau ringan”.
Kata ijtihad berasal dari bahasa Arab ialah dari kata “al-jahdu” yang artinya
ialah “daya upaya atau usaha yang keras”
Ijtihad artinya berarti “berusaha keras untuk mencapai atau
memperoleh sesuatu”. Dalam yang berkaitan ini pengertian ijtihad, usaha
maksimal dalam memunculkan hukum-hukum syariat dari dasar-dasarnya
melalui pemikiran dan penelitian yang sungguh-sungguh dan mendalam.

Ijtihad menurut definisi ushul fiqih yaitu penetapan kesanggupan oleh


seorang ahli fiqih untuk mendapatkan pengetahuan tentang hukum-hukum
syara‟ dan hukum syara‟ menunjukan bahwa itulah yang hanya berlaku pada
bidang fiqih, bidang hukum yang berkenaan dengan amal, bukan bidang
pemikiran „amaliy dan bukan nizhariy.

Ada juga arti lain dari ijtihad secara terminologi cukup beragam dan
dikemukakan oleh ulamaushul fiqih, tetap intinya tetap sama. Sebagai berikut:

1. Ibnu Abd al-Syakur, dari kalangan Hanafiyah mendefinisikannya sebagai:


“Pengerahan kemampuan untuk menemukan kesimpulan hukum-hukum
syara‟ sampai ke tingkat zhanni (dugaan keras) sehingga mujtahid itu
merasakan tidak bisa lagi berupaya lebih dari itu.”

vi
2. Al-Baidawi (w. 685 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi‟iyah
mendefinisikannya sebagai: “Pengerahan seluruh kemampuan dalam
upaya menemukan hukum-hukum syara”
3. Abu Zahra, ahli Ushul Fiqh yang hidup pada awal abab kedua puluh ini
mendefinisikan ijtihad sebagai: “Pengerahan seorang ahli fikih akan
kemampuannya dalam upaya menemukan hukum yang berhubungan
dengan amal perbuatan dari satu per satu dalilnya.” Pada definisi ketiga
ini, ditegaskan bahwa pihak yang mengerahkan kemampuannya itu adalah
ahli fikih, yaitu mujtahid, dan tempat menemukan hukum-hukum itu
adalah dalil-dalilnya. Pada definisi pertama dan kedua hal seperti ini tidak
ditegaskan karena dianggap sudah dimaklumi bahwa orang yang akan
melakuka ijtihad itu mestilah ahli fikih atau mujtahid. Demikian pula pada
definisi kedua dan ketiga, tidak ditegaskan bahwa kesimpulan-kesimpulan
fikih yang akan ditemukan oleh kegiatan ijtihad itu hanya sampai ke
tingkat zhanni (dugaan kuat), sebagaimana ditegaskan pada definisi kedua,
karena sudah dimaklumi.

B. Manfaat Ijtihad dan Mazhab

Ijtihad dapat membantu umat Islam yang mempunyai permasalahan


yang belum ada hukumnya dalam Islam. Ijtihad juga membantu dalam
penyesuaian hukum-hukum yang berlaku dalam Islam. Ijtihad dapat
mengeluarkan fatwa secara selektif terhadap segala persoalan yang tidak
berkaitan dengan halal dan haram. Ajaran Islam bisa anda peroleh dari Ijtihad,
al-Ruj (kembali), yaitu semua ajaran yang jelas-jelas tidak berdasarkan Al-
Quran atau berdasarkan Sunnah, Ijtihad al-Hiya (kehidupan) menghidupkan
kembali beberapa nilai agar akal mampu menjawab tantangan zaman sesuai
dengan Islam, dan Ijtihad al-Inaba (penambahan) mewujudkan ajaran Islam
yang merupakan Ijtihad pertama. Informasi ini ditujukan untuk para sarjana
dan mungkin mengandung kesalahan tergantung pada situasi dan konteks saat
ini. Salah satu manfaat sektarianisme adalah umat Islam dapat melanjutkan
apa yang telah dicapai oleh para ulama sebelumnya.
Selain yang disampaikan Ahmad Imam Mawardi di atas, dan manfaat-
manfaat lain juga mempunyai kelebihan sebagai berikut:

1. Umat Islam dapat mengetahui dasar hukum yang digunakan para


imam mazhab dalam menentukan hukum sesuatu.
2. Memudahkan ulama-ulama yang tidak mampu merumuskan
kaidah-kaidah ijtihad untuk melakukan ijtihad. Sebagaimana yang
dilakukan oleh ulama-ulama mazhab di atas.
3. Memudahkan umat Islam dalam memilih mana hasil ijtihad yang
menurutnya paling kuat dalilnya. Misalnya kuatnya pendapat Asy-

vii
Syafi'i mengenai mengusap bagian kepala, kuatnya pendapat
Hanafi mengenai pengertian menyentuh wanita, dan kuatnya
pendapat bahwa tidak batal wudu karena tertawa dalam salat dan
lain sebagainya
4. Umat Islam dapat memahami sebab dari perbedaan pendapat
mengenai hukum sesuatu dengan mengetahui dalil yang mereka
gunakan. Dan masih banyak manfaat lainnya.

C. Dasar Hukum Ijtihad

Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode penggali sumber


hukum. Dasar-dasar ijtihad atau dasar hukum ijtihad ialah al-Qur‟an dan
sunnah. Di dalam ayat yang menjadi dasar dalam ber-ijtihad sebagai firman
Allah Swt dalam QS. al-Nisa‟:105 sebagai berikut:
Artinya: “Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa
yang telah Allah wahyukan kepadamu dan janganlah kamu menjadi
penantang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang yang
khianat”

Demikian juga dijelaskan dalan QS. al-Rum: 21:


Artinya: “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”

Begitu pentingnya melakukan ijtihad sehingga jumhur ulama


menunjuk ijtihad menjadi hujjah dalam menetapkan hukum berdasarkan
firman Allah Swt dalam QS. An-Nisa‟: 59: Artinya: “Jika kamu
mempersengketakan sesuatu maka kembalikanlah sesuatu tersebut kepada
Allah dan Rasul-Nya”.

Perintah untuk mengembalikan masalah kepada al-Qur‟an dan sunnah


ketika terjadi perselisihan hukum ialah dengan penelitian saksama terhadap
masalah yang nash-nya tidak tegas. Demikian juga sabda Nabi Saw:

Artinya: “Jika seorang hakim bergegas memutus perkara tentu ia


melakukan ijtihad dan bila benar hasil ijtihadnya akan mendapatkan dua
pahala. Jika ia bergegas memutus perkara tentu ia melakukan ijtihad dan
ternyata hasilnya salah , maka ia mendapat satu pahala” (HR. Asy-Syafi‟i
dari Amr bin „Ash).

Hadis ini bukan hanya memberi legalitas ijtihad, akan tetapi juga
menunjukkan kepada kita bahwa perbedaan-perbedaan pendapat hasil ijtihad
bisa dilakukan secara individual (ijtihad fardi) yang hasil rumusan hukumnya
tentu relatif terhadap tingkat kebenaran.

viii
D. Tingkat Mujtahid
Mujtahid adalah sebutan untuk orang yang bisa mengenal dan menggali
hukum Islam secara langsung melalui nash-nash Alquran dan sunnah. Seorang
mujtahid memiliki pengetahuan dan kapabilitas khusus dalam melakukan ijtihad.
Menurut Wahbah Az-zuhaili dalam buku Studi Awal: Perbandingan antara
Mazhab dalam Fiqih, tingkatan mujtahid bisa dibedakan menjadi empat kelompok
dengan tugas dan fungsi yang berbeda. Tingkatan tersebut ada mujtahid mustaqil,
mutlak ghairu mustaqil, takhrij, dan tarjih.

1. Mujtahid Mustaqil, mampu memberikan kaidah untuk dirinya


sendiri dan orang lain yang hendak berijtihad. Mereka lebih fokus
menekankan pembahasannya pada kajian fiqih.
Untuk mencapai tingkatan ini, seorang mujtahid harus memenuhi
beberapa syarat yang telah ditentukan. Adapun golongan yang
termasuk dalam tingkatan ini ialah para ulama madzhab seperti
Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Ghazali, dan Imam Hanbali.
2. Mujtahid Mutlak Ghairu Mustaqal, pada tingkatan ini, seorang
mujtahid tidak menciptakan kaidahnya sendiri. Mereka
berpedoman pada hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh para
imam madzhab.
Mereka tidak dikategorikan taqlid kepada imamnya, melainkan
lebih mengikuti jalan yang ditempuh para imam. Tokoh yang
berada di tingkatan mujtahid mutlak ghairu mustaqal di antaranya
Abu Yusuf dan Muhammad Jafar dari Hanafiyah.
3. Mujtahid Takhrij, pada tingkatan ini, mujtahid sangat terikat
dengan imamnya. Mereka diberikan kebebasan dalam menentukan
landasannya berdasarkan dalil-dalil Alquran dan sunnah
Meski begitu, ketentuan hukum yang ditetapkan tidak boleh keluar
dari kaidah-kaidah yang dipakai para imam. Tokoh yang termasuk
dalam tingkatan mujtahid takhrij yaitu Hasan bin Ziyad dan Ibnu
Qayyim.
4. Mujtahid Tarjih, yaitu mujtahid yang tidak sampai derajatnya pada
mujtahid takhrij. Imam Nawawi dalam kitab Majmu‟ menilai
bahwa mujtahid tarjih lebih faqih (paham pada aturan Islam) dalam
hal ilmu.
Mereka lebih hafal kaidah-kaidah imamnya, mengetahui dalil-
dalilnya, cara memutuskan hukumnya, dan cara mengetahui dalil
yang lebih kuat dijadikan sebagai acuan. Mujtahid tarjih dinilai
lebih luas pemahamannya dibanding takhrij.

ix
E. Syarat Mujtahid

Memberikan peluang ijtihad kepada orang yang tidak mampu


melakukannya, sama halnya dengan berbuat sesuatu yang membahayakan umat
Islam. Untuk melakukan ijtihad, seseorang itu harus memenuhi syarat tertentu
untuk sampai pada derajat mujtahid. Di dalam hal al-Syatibi memberikan
seseorang syarat faqih (ahli dalam bidang fiqih dan agama pada umumnya) harus
memiliki dua sifat yaitu: pertama, mampu memahami maksud-maksud syari‟at
(maqasid asy-syari‟ah), dan kedua, sanggup mengistinbathkan hukum berdasar
pemahamannya sendiri tentang maqashid asy-syari‟ah. Sementara itu Abdul
Wahhab Khallaf memaparkan bahwasan nya ada empat syarat yaitu:

1. Mengetahui bahasa arab, hal ini penting sekali sebab orientasi


pertama seorang mujtahid adalah nash al-Qur‟an dan al-Hadist
serta berupaya memahaminya. Dengan demikian ia harus mampu
menerapkan kaidah pokok bahasa untuk menyimpulkan arti dan
ungkapan bahasa
2. Memiliki kemampuan atau pengetahuan tentang al-Qur‟an,
maksudnya adalah mengerti hukum-hukum yang terkandung dalam
al-Qur‟an yang berupa ayat-ayat yang menjadi nash hukum, dan
juga menguasai metode menemukan hukum dari ayat tersebut
3. Mengetahui pengetahuan tentang al-Sunnah, mujtahid harus
mengerti tentang hukum syar‟i yang terdapat dalam sunnah serta
mengerti tingkatan sanad dari aspek shahih atau lemahnya suatu
riwayat
4. Mengerti segi-segi mengenai qiyas, maksudnya mengerti tentang
„illat dan hikmah pembentukan syari‟at. Termasuk juga mengerti
berbagai peristiwa kemanusiaan dan mu‟amalah sehingga dapat
mengenali sesuatu yang menjadi „illat hukum suatu peristiwa yang
tidak ada nash di dalamnya

x
Sedangkan menurut Wael B. Hallaq, sebagian dari syarat itu berkaitan
dengan akumulasi keahlian dalam berbagai bidang keilmuan. Dalam hal ini ia
menyebut enam syarat:

1. Memahami ayat-ayat hukum yang jumlahnya di dalam Al-Qur‟an


ada sekitar 500 ayat. Meskipun tidak disyaratkan untuk hafal,
namun harus mengetahui bagaimana mengeluarkan atau
menemukan hukum dari ayat-ayat tersebut
2. Mengetahui koleksi hadist-hadist hukum termasuk mengetahui
teknik kritik hadist sehingga dapat menguji hadist yang akan
digunakan sebagai sumber berijtihad
3. Menguasai bahasa arab, sehingga dapat memahami kompleksitas
permasalahan, ungkapan-ungkapan yang digunakan, dan perkataan
yang tegas dan yang samar-samar
4. Menguasai pengetahuan tentang nasakh
5. Menguasai prosedur penarikan kesimpulan (istinbath al-hukmi)
6. Mengetahui kasus-kasus yang telah menjadi konsensusi.

Tentang sebuah kebenaran seorang mujtahid dalam ijtihadnya terdapat dua


kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah ia benar dalam ijtihadnya sehingga
memperoleh dua pahala, karena ia melaksanakan kewajibannya berijtihad dan
berhasil mencapai sampai kebenaran dalam ijtihadnya. Dan kemungkinan yang
kedua adalah ia salah, maka kepadanya diberikan satu pahala sebagai pengakuan
atas usahanya memenuhi kewajiban berijtihad. Para ahli ushul fiqh tampaknya
sepakat bahwa di dalam ijtihad hanya ada satu yang benar, kendali demikian bagi
mujtahid yang ijtihadnya keliru maka tidak berakibat dosa baginya.

xi
BAB III
PENUTUP

2.1 Kesimpulan

Ijtihad adalah upaya jujur untuk mempelajari dan memahami hukum Islam
serta menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat dengan menggunakan
berbagai metode dan syarat-syarat yang ditentukan. Tujuan Ijtihad adalah untuk
memenuhi kebutuhan akan hukum, mengingat permasalahan manusia yang
semakin hari semakin kompleks, maka diperlukan hukum Islam sebagai
solusinya. Lalu juga ada manfaat yang sudah dibahas dari ijtihad yaitu,
memudahkan ulama-ulama yang tidak mampu merumuskan kaidah-kaidah ijtihad
untuk melakukan ijtihad, mengetahui dasar hukum, memudahkan umat Islam
dalam memilih mana hasil ijtihad yang menurutnya paling kuat dalilnya, dan umat
Islam dapat memahami sebab dari perbedaan pendapat. Serta, ada beberapa
tingkatan yang ada pada mujtahid, terdapat empat yaitu, mujtahid mustaqil,
mutlak ghairu mustaqil, takhrij, dan tarjih.

2.2 Saran

Bagi pembaca, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan


pengetahuan terkait dengan Ijtihad dan Bermazhab. Saya sebagai penulis mohon
maaf apabila adanya kesalahan ejaan dalam penulisan kata dan kalimat yang
kurang jelas. Saya hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan dan kami
juga sangat mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan
makalah ini. Sekian penutup dari kami semoga dapat diterima di hati dan kami
ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

xii
DAFTAR PUSTAKA

Badi, A. 2013. Ijtihad: Teori dan Penerapannya, 24 (2): 29-30

Naseh, H.A. 2021 Ijtihad Dalam Hukum Islam, 4 (2): 250-253

http://digilib.uinsa.ac.id/4293/8/Bab%205.pdf. Diakses pada tanggal 28

Februari 2024

https://jurnalannur.ac.id/index.php/An-Nur/article/download/21/20/.

Diakses pada tanggal 28 Februari 2024

xiii

Anda mungkin juga menyukai