Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

IJTIHAD, MACAM-MACAM DAN SYARATNYA


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Metodologi Studi Fiqih
Dosen Pengampu: HJ. NURUL HIDAYATI, LC., M.S.I.

Disusun oleh:

Kelompok IV

1. Nailis Sa’adah (2240310034)

2. Faruq Shon Haji (2240310046)

3. Muzammil (2240310055)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAKWAH

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS


TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua berupa ilmu dan amal.
Berkat rahmat dan karunia-Nya pula, penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Ijtihad,macam-macam dan syaratnya”

Terimakasih penulis ucapkan kepada ibu HJ. NURUL HIDAYATI, LC.,


M.S.I. selaku pengampu Mata Kuliah Metodologi Studi Fiqih. Yang telah
memberikan arahan terkait tugas makalah ini. Tanpa bimbingan dari beliau,
mungkin penulis tidak akan dapat menyelesaikan tugas ini sesuai format yang
telah di tentukan.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran pembaca demi kesempurnaan
makalah untuk kedepannya. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi
peneliti dan pembaca.

Kudus, 27 September 2022


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Semakin berkembangnya sosial masyarakat akan menimbulkan
permasalahan baru yang semakin kompleks. Permasalahan-permasalahan itu
perlu adanya pengkajian guna penetapan hukum yang sesuai dengan ajaran yang
disyariatkan agama.
Penetapan hukum itu tidaklah segampang membalik telapak tangan
melainkan membutuhkan pemikiran-pemikiran yang harus berdasar pada
hukum yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadist. Oleh karena itu diperlukan
penyelesaian secara sungguh-sungguh atas persoalan-persoalan yang tidak
ditunjukan secara tegas oleh Al-Qur’an dan Hadist.
Maka untuk itu ijtihad menjadi sangat penting. Bukan hanya tahu hukum
Al-Qur’an dan Hadist saja, seorang yang akan berijtihad harus mempunyai
pengetahuan yang mumpuni dalam ijtihadnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Ijtidad?
2. Apa saja macam-macam Ijtihad?
3. Apa saja syarat-syarat dalam Ijtihad?

C. Tujuan
1. Untuk Memahami apa yang dimaksud dengan Ijtihad
2. Untuk Mengetahui macam-macam Ijtihad
3. Untuk Mengetahui syarat-syarat Ijtihad
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad
Secara etimologi, ijtihad di ambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang
berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan
kemampuan). Dengan kata lain, ijtihad secara etimologi adalah pencurahan
segenap kesanggupan untuk mendapatkan sesuatu urusan atau sesuatu
perbuatan.
Dalam Al-Qur’an disebutkan:
ُ َ‫ُج ْهد‬
…‫ه ْم‬ ‫…والَّ ِذيْنَ ََل َي ِجد ُْونَ ا ََِّل‬
َ
Artinya:
“…Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan)
selain kesanggupan.” (Q.S. At-Taubah:79)
Kata al-jahd beserta seluruh definisinya menunjukkan pekerjaan yang
dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi. Dalam
pengertian inilah, Nabi mengungkapkan kata-kata:

‫اء‬
ِ ‫ع‬ َ ‫صلُّ ْوا‬
َّ َ‫عل‬
َ ُّ‫ي َو اجْ تَ ِهد ُْوا فِي الد‬ َ

Artinya:

“Bacalah salawat padaku dan bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.”

‫اء‬
ِ ‫ع‬َ ُّ‫س ُجودُ فَاجْ تَ ِهدُوا فِي الد‬
ُّ ‫َوأ َّما ال‬

Artinya:

“Pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa”

Demikian pula pada jihad (perang) yang derivasinya sama dengan ijtihad
mengandung arti sungguh-sungguh dan tidak disenangi.1

Ijtihad adalah masdar dari fiil madzi ijtahada. Penambahan hamzah dan ta’ pada
kata ja-ha-da menjadi ijtahada pada wazan if-ta-a’-la berarti, “usaha itu lebih sungguh-
sungguh”. Seperti halnya ka-sa-ba menjadi iktasaba, yang berarti “usaha lebih kuat dan

Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung:Pustaka Setia) hlm.97-98


1
sungguh-sungguh”. Oleh sebab itu, ijtihad berarti usaha keras atau pengerahan daya
upaya (istifragh al-wus’ atau badzl al-wus’). Dengan demikian, ijtihad berarti usaha
maksimal untuk mendapatkan atau memperoleh sesuatu. Sebaliknya, suatu usaha yang
dilakukan tidak maksimal dan tidak menggunakan daya upaya yang keras tidak disebut
ijtihad, melainkan daya nalar biasa, ar-ra’y atau at-tafkir.2

Adapun definisi ijtihad secara terminologi cukup beragam dikemukakan oleh ulama
ushul fiqih, namun intinya adalah sama. Sebagai berikut:

1. Ibnu Abd al-Syakur, dari kalangan hanafiyah mendefinisikannya sebagai


“Pengerahan kemampuan untuk menemukan kesimpulan hukum-hukum syara’
sampai ke tingkat zhanni (dugaan keras) sehingga mujtahid itu merasakan tidak bisa
lagi berupaya lebih dari itu.”
2. Al-Baidawi (W. 685 H), ahli Ushul Fiqih dari kalangan Syafi’iyah
mendefinisikannya sebagai “Pengerahan seluruh kemampuan dalam upaya
menemukan hukum-hukum syara’.”
3. Abu Zahra, ahli Ushul Fiqih yang hidup pada awal abad kedua puluh ini
mendefinisikan ijtihad sebagai “Pengerahan seorang ahli fiqih akan kemampuannya
dalam upaya menemukan hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari
satu persatu dalilnya.3

Pada definisi ketiga ini, ditegaskan bahwa pihak yang mengerahkan


kemampuannya itu adalah ahli fiqih, yaitu mujtahid, dan tempat menemukan hukum-
hukum itu adalah dalil-dalilnya. Pada definisi pertama dan kedua hal seperti ini tidak
ditegaskan karena dianggap sudah dimaklumi bahwa orang yang akan melakukan
ijtihad itu mestilah ahli fiqih atau mujtahid. Demikian pula pada definisi kedua dan
ketiga, tidak di tegaskan bahwa kesimpulan-kesimpulan fiqih yang akan ditemukan
oleh kegiatan ijtihad itu hanya sampai ketingkat zhanni (dugaan kuat), sebagaimana
ditegaskan pada definisi kedua, karena sudah dimaklumi bahwa setiap hasil ijtihad
bobotnya hanya sampai ketingkat zhanni, tidak sampai ketingkat yang lebih
meyakinkan.4

2
Ibid
3
Hasan Matsum, Diktat Ushul Fiqh, Fakultas Tarbiyah IAIN SU Medan, hlm.85
4
Ibid
Abdul Wahab Khallaf menerangkan ijtihad dalam arti luas yang meliputi beberapa hal
berikut:

a. Pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ yang


dikehendaki oleh nas yang zanni dalalahnya.
b. Pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ yang amali
dengan menetapkan kaidah syari’iyah kulliyah.
c. Pencurahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan hukum syara’ yang ‘amali
mengenai masalah yang tidak ditunjuki hukumnya oleh nas dengan sarana-sarana
yang diperbolehkan oleh syara’ guna ditetapkan hukumnya.5

Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ijtihad adalah suatu
pekerjaan yang mempergunakan daya rohaniah untuk mendapatkan hukum syara’ atau
menyusun suatu pendapat dari suatu masalah hukum yang bersumber dari Al-Qur’an
dan hadis.

B. Macam-Macam Ijtihad
Dikalangan ulama, terjadi perbedaan pendapat mengenai masalah ijtihad. Imam
syafi’i menyamakan ijtihad dengan qiyas, yakni dua macam, tetapi maksudnya satu.
Dia tidak mengakui ra’yu yang didasarkan pada istihsan atau maslahah mursalah.
Sementara itu, para ulama lainnya memiliki pandangan lebih luas tentang ijtihad.
Menurut mereka, ijtihad itu mencakup ra’yu, qiyas, dan akal.
Pemahaman mereka tentang ra’yu sebagaimana yang diungkapkan oleh para
sahabat, yaitu mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat oleh seorang mujtahid,
atau setidak-setidaknya mendekati syari’at, tanpa melihat apakah hal itu ada dasarnya
atau tidak. Berdasarkan pendapat tersebut, Dr.Dawalibi membagi ijtihad menjadi kitab
Al-Muwafakat, yaitu:
a) Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash.
b) Ijtihad Al-Qiyasi, yaitu ijtihd terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-
Qur’an dan As-sunah dengan menggunakan metode qiyas.

5
Harjan Syuhada et.al., Fikih Madrasah Aliyah, (Jakarta:PT Bumi Aksara,2011) hlm.57
c) Ijtihad Al-Istislah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam
Al-Qur’an dan As-sunah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah.6

Pembagian diatas masih belum sempurna, seperti yang diungkapkan oleh Muhammad
Taqiyu al-Hakim dengan mengemukakan beberapa alasan, diantaranya jami’ wal mani.
Menurutnya, ijtihad itu dapat dibagi menjadi dua bagian saja, yaitu:

1) Ijtihad Al-aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal, tidak
menggunakan dalil syara’. Mujtahid dibebaskan untuk berpikir, dengan mengikuti
kaidah-kaidah yang pasti. Misalnya menjaga kemandaratan, hukuman itu jelek bila
tidak disertai penjelasan dan lain-lain.
2) Ijtihad Syari’, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’, termasuk dalam pembagian
ini adalah ijma’, qiyas, istihsan, istishlah, ‘urf, istishab, dan lain-lain.7

Ijtihad dilihat dari sisi jumlah pelakunya dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Ijtihad fardi, menurut al-Thayyib Khuderi al-Sayyid, yaitu ijtihad yang dilakukan
oleh perorangan atau hanya beberapa orang ijtihad. Misalnya, ijtihad yang
dilakukan oleh para imam mujtahid besar: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi’I, dan Ahmad bin Hanbal.
2. Ijtihad Jama’I, adalah apa yang dikenal dengan ijma’ dalam kitab-kitab Ushul Fiqih,
yaitu kesepakatan para mujtahid dari umat nabi Muhammad saw setelah Rasulullah
wafat dalam masalah tertentu. Dalam sejarah Ushul Fiqih, ijtihad jama’i dalam
pengertian ini hanya melibatkan ulamaulama dalam satu disiplin ilmu, yaitu fikih.
Dalam perkembangannya, apa yang dimaksud dengan ijtihad jama’i, seperti
dikemukakan al-Thayyib Khuderi al-Sayyid, disamping bukan berarti melibatkan
seluruh ulama mujtahid, juga bukan dalam satu disiplin ilmu.8

C. Syarat-Syarat Ijtihad
Ulama ushul berbeda pendapat dalam menetapkan syarat-syarat ijtihad atau syarat-
syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid (orang yang melakukan ijtihad).

6
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung:Pustaka Setia)hlm.104
7
Ibid
8
Hasan Matsum, Diktat Ushul Fiqh, Fakultas Tarbiyah IAIN SU Medan, hlm.93
Secara umum, pendapat mereka tentang persyaratan seorang mujtahid dapat
disismpulkan sebagai berikut:
a. Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an,
baik menurut bahasa maupun syari’ah. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus
menghafal, melainkan cukup mengetahui letakletaknya saja, sehingga
memudahkan baginya apabila ia membutuhkan. Imam Ghazali, Ibnu Arabian, dan
Ar-Razi membatasi ayat-ayat hukum tersebut sebanyak 500 ayat.
b. Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum, baik menurut Bahasa
maupun syari’at. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus menghafal, melainkan cukup
mengetahui letak-letaknya secara pasti, untuk memudahkannya jika ia
membutuhkannya. Ibnu Arabian membatasinya sebanyak 3000 hadis. Menurut
imam Hanbal, dasar ilmu yang berkaitan dengan hadis nabi berjumlah sekitar 1.200
hadis. Oleh karena itu, pembatasan tersebut dinilai tidak tepat karena hadis-hadis
hukum itu tersebar dalam berbagai kitab yang berbeda-beda.9
• Menurut Asy-Syaukani, seorang mujtahid harus mengetahui kitabkitab
yang menghimpun hadis dan bisa membukanya dengan cepat, misalnya
dengan menggunakan kamus hadis. Selain itu, ia pun harus mengetahui
persambungan sanad dalam hadis.
• Sedangkan menurut At-Taftaji, sebaiknya mujtahid mengambil referensi
dari kitab-kitab yang sudah manshyur kesahihannya, seperti Bukhari,
Muslim, Baghawi, dan lain-lain.
c. Mengetahui nasakh dan mansukh dari Al-Qur’an dan As-Sunah, supaya tidak salah
dalam menetapkan hukum, namun tidak disyaratkan harus menghafalnya. Di antara
kitab-kitab yang bisa dijadikan rujukan dalam nasakh dan mansukh adalah kitab
karangan Ibnu Khujaimah, Abi Ja’far An-Nuhas, Ibnu Jauzi, Ibnu Hajm, dan lain-
lain.
d. Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama, sehingga
ijtihad-nya tidak bertentangan dengan ijma’. Kitab yang bisa dijadikan rujukan di
antaranya Kitab Maratibu al-Ijma’.
e. Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratan serta meng-istinbatnya, karena qiyas
merupakan kaidah dalam berijtihad.

9
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung:Pustaka Setia) hlm.104-105
f. Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa,
serta berbagai problematikanya. Hal ini antara lain karena Al-Qur’an dan As-
Sunnah ditulis dengan bahasa Arab. Namun, tidak disyaratkan untuk betul-betul
menguasainya atau menjadi ahlinya, melainkan sekurang-kurangnya mengetahui
maksud yang dikandung dari Al-Qur’an atau Al-Hadis.
g. Mengetahui ilmu Ushul Fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad. Bahkan,
menurut Fakhru Ar-Razi, ilmu yang paling penting dalam berijtihad adalah ilmu
Ushul Fiqih
h. Mengetahui maqashidu Asy-Syari’ah (tujuan syari’at) secara umum, karena
bagaimanapun juga syari’at itu berkaitan dengan maqashidu AsySyari’ah atau
rahasia disyari’atkannya suatu hukum. Sebaiknya, mengambil rujukan pada
istihsan, maslahah mursalah, urf, dan sebagainya yang menggunakan maqashidu
Asy-Syari’ah sebagai standarnya.

Maksud dari maqashidu al-Syari’ah, antara lain menjaga kemaslahatan manusia


dari menjauhkan dari kemadaratan. Namun, standarnya adalah syara’, bukan kehendak
manusia, karena manusia tidak jarang menganggap yang hak menjadi tidak hak dan
sebaliknya.10

Syarat-syarat tersebut diperlukan bagi mujtahid mutlak yang bermaksud


mengadakan ijtihad dalam segala masalah fikih di masa lampau. Dengan
perkembangan ilmu pengetahuan di masa sekarang, syarat-syarat tersebut tentu belum
mencukupi. Untuk melakukan ijtihad, diperlukan pula pemahaman terhadap ilmu
pengetahuan secara umum dan segala cabangnya. Akan tetapi, usaha itu bukanlah suatu
hal yang mudah dan memerlukan kerja keras dan keseriusan. Ijtihad yang dilakukan
secara kolektif sangat membantu untuk melakukan ijtihad yang efektif.11

10
Ibid.hlm105-106
11
Harjan Syuhada et.al., Fikih Madrasah Aliyah, (Jakarta:PT Bumi Aksara,2011) hlm.59
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan
berbagai metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk
menggali dan mengetahui hukum Islam. Tujuan ijtihad dilakukan adalah upaya
pemenuhan kebutuhan akan hukum karena permasalahan manusia semakin hari
semakin kompleks di mana membutuhkan hukum Islam sebagai solusi terhadap
problematika tersebut. Ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan
Al-hadits yang mendapatkan legitimasi dari keduanya. Sebenarnya ijtihad bukanlah
suatu yang baru, melainkan sudah ada pada masa Rasulullah. Hal ini sudah dilakukan
oleh Nabi, sahabat, tabi’in dan para ulama klasik, namun tidak sembarangan orang
diperbolehkan untuk melakukan ijtihad, akan tetapi harus memenuhi kriteria tertentu.
Melakukan ijtihad bagi seorang mujtahid dapat mencapai hukum wajib ain,
fardhu kifayah, dan sunnat. Adapun untuk menjadi mujtahid disyaratkan memiliki
pengetahuan dan pemahaman tentang Al-Quran dan As-Sunnah dari berbagai
aspeknya, memahami masalah yang sudah disepakati ulama, memahami bahasa Arab,
dan mengetahui ushul fiqih.
Mujtahid dibedakan pada mujtahid mutlaq dan mujtahid muntasib. Pendekatan
dalam ijtihad dilakukan dengan ijma, qiyas, maslahat, istihsan, istishab, syaru’ man
qablana, dilalah iqtiran, sadudzarai’, madzhab sahabi, ‘urf, ta’adul dan tarjih.

B. Saran
Demikian makalah kami apabila ada kesalahan mohon maaf sebesar-besarnya
jika ada saran untuk makalah ini maka dengan senang hati kami menerimanya karena
kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
DAFTAR PUSTAKA

Matsum, Hasan. (2012) Diktat Ushul Fiqh, Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara
Medan.
Syafe’I, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung: Pustaka Setia).
Syuhada, Harjan, dkk. (2010) Fikih Madrasah Aliyah. (Jakarta: Bumi Aksara).

Anda mungkin juga menyukai