DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 6
DOSEN PENGAMPU :
Assalamualikum Wr.Wb
Puji syukur senantiasa selalu kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan limpahan Rahmat,Taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini. Shalawat serta salam tak lupa kita curahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah menunjukan jalan kebaikan dan kebenaran di dunia dan akhirat
kepada umat manusia.
Makalah ini di susun guna memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam
dan juga untuk khalayak ramai sebagai bahan penambah ilmu pengetahuan serta informasi
yang semoga bermanfaat.
Makalah ini kami susun dengan segala kemampuan kami dan semaksimal mungkin.
Namun, kami menyadiri bahwa dalam penyusunan makalah ini tentu tidaklah sempurna dan
masih banyak kesalahan serta kekurangan.Maka dari itu kami sebagai penyusun makalah ini
mohon kritik, saran dan pesan dari semua yang membaca makalah ini terutama Dosen Mata
Kuliah Pendidikan Agama Islam yang kami harapkan sebagai bahan koreksi untuk kami.
Waalaikumsalam Wr.Wb
Tim Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Mengingat pentingnya dalam syariat Islam yang disampaikan dalam Al-Quran dan
Assunah, secara komprehensif karena memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang
sungguh-sungguh serta berkesinambungan.
Dan ijtihad tidak membatasi bidang fikih saja dan banyak para pendapat ulama
mempersamakan ijtihad dengan qiyas. Adapun dasar hukum itu sendiri adalah Al-Quran dan
Assunah.
Maka dari itu karena banyak persoalan di atas, kita sebagai umat Islam dituntut untuk
keluar dari kemelut itu yaitu dengan cara melaksanakan ijtihad.
RUMUSAN MASALAH
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN IJTIHAD
Kata ijtihad berasal dari kata al-jahd atau al-juhd yang berarti al-
masyoqot (kesulitan atau kesusahan) dan athoqot (kesanggupan dan kemampuan)
atas dasar pada firman Allah Swt dalam QS. Yunus: 9: Artinya: .dan (mencela)
orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan.
Menurut bahasa, ijtihad artinya bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran.
Sedangkan, menurut istilah, ijtihad adalah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran
secara bersungguh-sungguh untuk menetapkan suatu hukum. Ijtihad dalam pengertian
lain yaitu berusaha memaksimalkan daya dan upaya yang dimilikinya. Tetapi
pengertian ijtihad dapat dilihat dari dua segi baik etimologi maupun terminologi.
Dalam hal ini memiliki konteks yang berbeda. Secara terminologis, berijtihad berarti
mencurahkan segenap kemampuan untuk mencari syariat melalui metode tertentu.
Ijtihad secara etimologi memiliki pengertian: pengerahan segala kemampuan untuk
mengerjakan sesuatu yang sulit. Singkatnya, Ijtihad adalah berpikir keras untuk
menghasilkan pendapat hukum atas suatu masalah yang tidak secara jelas disebutkan
dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Adapun yang menjadi dasar ijtihad ialah Al-Quran dan Al-Sunnah. Diantara
ayat Al-quran yang menjadi dasar ijtihad adalah sebagai berikut:
Adapun sunnah yang menjadi dasar ijtihad diantaranya hadits Amr bin al-Ash yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad yang menyebutkan bahwa
Nabi Muhammad bersabda :
.
Artinya: apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad, kemudian
benar maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum
dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu pahala.(Muslim,II, t.th:62).
Perintah untuk mengembalikan masalah kepada al-Quran dan sunnah ketika terjadi
perselisihan hukum ialah dengan penelitian saksama terhadap masalah yang nash-nya
tidak tegas. Demikian juga sabda Nabi Saw:
Artinya: Jika seorang hakim bergegas memutus perkara tentu ia melakukan ijtihad
dan bila benar hasil ijtihadnya akan mendapatkan dua pahala.Jika ia bergegas
memutus perkara tentu ia melakukan ijtihad dan ternyata hasilnya salah , maka ia
mendapat satu pahala (HR. Asy-Syafii dari Amr bin Ash).
Hadis ini bukan hanya memberi legalitas ijtihad, akan tetapi juga menunjukkan
kepada kita bahwa perbedaan-perbedaan pendapat hasil ijtihad bisa dilakukan secara
individual (ijtihad fardi) yang hasil rumusan hukumnya tentu relatif terhadap tingkat
kebenaran.
Syarat-syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid ialah orang yang mampu
melakukan ijtihad melalui cara istimbath (mengeluarkan hukum dari sumber hukum
syariat dan tathbiqh / penerapan hukum). Di samping akan menyebutkan syarat bagi
seorang mujtahid terlebih dahulu kita harus mengetahui tentang rukun ijtihad tersebut,
adapun rukun ijtihad sebagai berikut: 1) al-Waqi yaitu adanya kasus yang terjadi atau
diduga akan terjadi tidak diterangkan oleh nash, 2) mujtahid ialah orang yang
melakukan ijtihad dan mempunyai kemampuan untuk ber-ijtihad dengan syarat-syarat
tertentu, 3) mujtahid fill ialah hukum-hukum syariah yang bersifat amali (taklifi), dan
4) dalil syara untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fill.
Seseorang yang menggeluti bidang fikih tidak bisa sampai ke tingkat mujtahid kecuali
dengan memenuhi beberapa syarat, sebagian persyaratan itu ada yang telah disepakati
dan sebagian yang lain masih diperdebatkan. Adapun syarat-syarat yang telah
disepakati adalah:
a) Mengetahui al-Quran
Al-Quran adalah sumber hukum Islam primer sebagai fondasi dasar hukum
Islam. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengetahui al-Quran secara
mendalam. Barangsiapa yang tidak mengerti al-Quran sudah tentu ia tidak
mengerti syariat Islam secara utuh. Mengerti al-Quran tidak cukup dengan
piawai membaca, tetapi juga bisa melihat bagaimana al-Quran memberi
cakupan terhadap ayat-ayat hukum. Misalnya alGhazali memberi syarat
seorang mujtahid harus tahu ayat-ayat ahkam berjumlah sekitar 500 ayat.
b) Mengetahui Asbab al-Nuzul
Mengetahui sebab turunnya ayat termasuk dalam salah satu syarat mengetahui
al-Quran secara komprehensif, bukan hanya pada tataran teks tetapi juga akan
mengetahui secara sosial-psikologis. Sebab dengan mengetahui sebab-sebab
turunnya ayat akan memberi analisis yang komprehensif untuk memahami
maksud diturunkannya teks Quran tersebut kepada manusia. Imam as-Syatibi
dalam bukunya al-Muwafaqat, mengatakan bahwa mengetahui sebab turunnya
ayat adalah suatu keharusan bagi orang yang hendak memahami al-Quran.
Pertama, suatu pembicaraan akan berbeda pengertiannya menurut perbedaan
keadaan. Kedua, tidak mengetahui sebab turunnya ayat bisa menyeret dalam
keraguan dan kesulitan dan juga bisa membawa pada pemahaman global
terhadap nash yang bersifat lahir sehingga sering menimbulkan perselisihan.
c) Mengetahui Nasikh dan Mansukh
Pada dasarnya hal ini bertujuan untuk menghindari agar jangan sampai
berdalih menguatkan suatu hukum dengan ayat yang sebenarnya telah di-
nasikh-kan dan tidak bisa dipergunakan untuk dalil.
d) Mengetahui As-Sunnah
Syarat mujtahid selanjutnya adalah ia harus mengetahui as-Sunnah. Yang
dimaksudkan as-Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau ketentuan yang
diriwayatkan dari Nabi Saw.
e) Mengetahui Ilmu Diroyah
Hadis Ilmu diroyah menurut al-Ghazali adalah mengetahui riwayat dan
memisahkan hadis yang sahih dari yang rusak dan hadis yang bisa diterima
dari hadis yang ditolak. Seorang mujtahid harus mengetahui pokok-pokok
hadis dan ilmunya, mengenai ilmu tentang para perawi hadis, syarat-syarat
diterima atau sebab-sebab ditolaknya suatu hadis, tingkatan kata dalam
menetapkan adil dan cacatnya seorang perawi hadis dan hal-hal yang tercakup
dalam ilmu hadis. Kemudian mengaplikasikan pengetahuan tadi dalam
menggunakan hadis sebagai dasar hukum.
f) Mengetahui Hadis yang Nasikh dan Mansukh
Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh ini dimaksudkan agar seorang
mujtahid jangan sampai berpegang pada suatu hadis yang sudah jelas dihapus
hukumnya dan tidak boleh dipergunakan. Seperti hadis yang membolehkan
nikah mutah di mana hadis tersebut sudah di-nasikh secara pasti oleh hadis-
hadis lain.
g) Mengetahui Asbab Al-Wurud Hadis
Syarat ini sama dengan seorang mujtahid yang seharusnya menguasai asbab
al-nuzul, yakni mengetahui setiap kondisi, situasi dan lokus hadis tersebut
muncul.
h) Mengetahui Bahasa Arab
Seorang mujtahid wajib mengetahui bahasa Arab dalam rangka agar
penguasaannya pada objek kajian lebih mendalam karena teks otoritatif Islam
menggunakan bahasa Arab.
i) Mengetahui Tempat-Tempat Ijma
Bagi seorang mujtahid, harus mengetahui hukum-hukum yang telah disepakati
oleh para ulama sehingga tidak terjerumus dalam memberikan fatwa yang
bertentangan dengan hasil ijma. Sebagaimana ia harus mengetahui nash-nash
dalil guna menghindari fatwa yang berseberangan dengan nash tersebut.
Namun menurut hemat penulis, seorang mujtahid bisa bertentangan dengan
ijma para ulama selama hasil ijtihad-nya membawa maslahat bagi umat.
j) Mengetahui Ushul Fiqh
Di antara ilmu yang harus dikuasai oleh mujtahid adalah ilmu ushul fiqh, yaitu
suatu ilmu yang telah diciptakan oleh para fuqaha utuk meletakkan kaidah-
kaidah dan cara untuk mengambil istinbat hukum dari nash dan mencocokkan
cara pengambilan hukum yang tidak ada nash hukumnya. Dalam ushul fiqh,
mujtahid juga dituntut untuk memahami qiyas sebagai modal pengambilan
ketetapan hukum.
k) Mengetahui Maksud dan Tujuan Syariah
Sesungguhnya syariat Islam diturunkan untuk melindungi dan memelihara
kepentingan manusia. Pemeliharaan ini dikategorikan dalam tiga tingkatan
maslahat, yakni dlaruriyyat (apabila dilanggar akan mengancam jiwa, agama,
harta, akal dan keturunan), hajiyyat (kelapangan hidup, misal memberi
rukshah dalam kesulitan), dan tahsiniat (pelengkap yang terdiri dari kebiasaan
dan akhlak yang baik).
l) Mengenal Manusia dan Kehidupan Sekitarnya
Seorang mujtahid harus mengetahui tentang keadaan zaman, masyarakat,
problem, aliran ideologi, politik dan agamanya serta mengenal sejauh mana
interaksi saling memengaruhi antara masyarakat tersebut.
m) Bersifat Adil dan Takwa
Hal ini bertujuan agar produk hukum yang telah diformulasikan oleh mujtahid
benar-benar proporsional karena memiliki sifat adil, jauh dari kepentingan
politik dalam istinbat hukumnya. Adapun ketentuan-ketentuan yang masih
dipersilihkan adalah mengetahui ilmu ushuluddin, ilmu mantiq dan
mengetahui cabang-cabang fikih. Maka dari itu menurut Muhaimin, dengan
menyesuaikan syaratsyarat yang dimilikinya dibagi menjadi dua tingkatan:
tingkatan mujtahid mutlak dan tingkatan mujtahid mazhab. Mujtahid mutlak
ialah mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum agama dan sumbernya
serta mampu menerapkan dasar pokok sebagai landasan dari ijtihad-nya.
Mujtahid mutlak dibagi menjadi dua: pertama, mujtahid mutlak mustaqil,
yakni mujtahid yang dalam ijtihad-nya menggunakan metode dan dasardasar
yang ia susun sendiri. Kedua, mujtahid mutlak muntsib, yaitu mujtahid yang
telah mencapai derajat mutlak mustaqil tetapi ia tidak menyususn metode
tersendiri mengenai hukum-hukum agama.
Sedangkan mujtahid mazhab ialah mujtahid yang mampu mengeluakan
hukum yang tidak atau belum dikeluarkan oleh mazhabnya dengan cara
menggunakan metode yang telah disusun oleh mazhabnya. Mujtahid ini
terbagi menjadi dua, yaitu mujtahid takhrij atau biasa disebut mujtahid ashabul
wujud dan mujtahid tarjih atau mujtahid fatwa.
5. HUKUM IJTIHAD
a. Memiliki pemahaman mendalam tentang bahas Arab, ilmu tafsir, usul fiqh, dan
tarikh (sejarah),
b. Mengenal cara meng-istinbat-kan (perumusan) hukum dan melakukan qiyas,
c. Memiliki akhlaqul qarimah.
Ulama berpendapat bahwa jika seorang muslim dihadapkan pada suatu peristiwa, atau
ditanya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan hukum syara , maka hukum
ijtihad bagi orang tersebut bisa wajib ain, wajib kifayah,sunah, atau haram,
tergantung pula kapasitas orang tersebut.
Pertama, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang diminta fatwa
hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang
begitu saja tanpa kepastian hukumnya, atau ia sendiri yang mengalami peristiwa yang
tidak jelas hukumnya dalam nash, maka hukum ijtihadnya menjadi wajib ain.
Kedua, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtihad yang diminta fatwa
hukum atas suatu peristiwa yang terjadi, tetapi ia mengkhawatirkan peristiwa itu
hilang dan selain dia masih ada mujtahid lainnya, maka hukum ijtihadnya menjadi
wajib kifayah.
Ketiga, hukum ijtihad menjadi sunah jika dilakukan atas persoalan-persoalan yang
tidak ada atau belum terjadi.
Keempat, hukum ijtihad menjadi haram dilakukan atas peristiwa-peristiwa yang sudah
jelas hukumnya secara qathi , baik dalam Al-Quran maupun al-Sunah atau
ijtihad yang hukumnya telah ditetapkan secara kesepakatan ijma. (Wahbah Al
Juhaili 1978:498-9 dan Muhaimin dkk, 1994:189)
Sunnah : Suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat pahala dan jika ditinggalkan
tidak berdosa. Atau bisa dikatakan sebagai suatu perbuatan yang diminta oleh syari
tetapi tidak wajib dan meninggalkannya tidak berdosa.
Haram : Suatu ketentuan larangan dari agama yang tidak boleh dikerjakan. Kalau
orang melanggarnya, berdosalah orang itu.
Makruh : Arti makruh secara bahasa adalah dibenci. Suatu ketentuan larangan yang
lebih baik tidak dikerjakan. Atau meninggalkannya lebih baik daripada
melakukannya.
Mubah : Arti mubah itu adalah dibolehkan atau sering kali juga disebut halal. Satu
perbuatan yang tidak ada ganjaran atau siksaan bagi orang yang mengerjakannya atau
tidak mengerjakannya atau segala sesuatu yang diizinkan oleh Allah untuk
mengerjakannya atau meninggalkannya tanpa dikenakan siksa bagi pelakunya.
Suatu peristiwa di zaman Khalifah Umar ibn Khattab, di mana para pedagang Muslim
bertanya kepada Khalifah berapa besar cukai yang harus dikenakan kepada para
pedagang asing yang berdagang di negara Khalifah. Jawaban dari pertanyaan ini
belum dimuat secara terperinci dalam Al-Quran maupun hadis, maka Khalifa Umar
ibn Khattab selanjutnya berijtihad dengan menetapkan bahwa cukai yang dibayarkan
oleh pedagang adalah disamakan dengan taraf yang biasanya dikenakan kepada para
pedagang Muslim oleh negara asing, di mana mereka berdagang.
7. METODE IJTIHAD
Berdasarkan berbagai sumber, ada beberapa macam ijtihad yang patut diketahui.
Beberapa macam ijtihad yang dimaksud antara lain :
a. Ijma
Ijma adalah salah satu jenis ijtihad yang dilakukan para ulama dengan cara
berunding, berdiskusi, lalu akhirnya muncul suatu kesepakatan untuk menyelesaikan
suatu permasalahan.
Keputusan bersama ini tentu saja tidak begitu saja dilakukan, semua harus
bersumber pada Al-Quran dan juga hadits. Hasil dari ijtihad ini sering kita sebut
sebagai fatwa, dan fatwa inilah yang sebaiknya diikuti oleh umat Islam. Kesepatan
dari para ulama ini tentu saja merupakan hasil akhir dari berbagai diskusi yang telah
dilakukan, sehingga semestinya tidak mengandung pertentangan lagi.
b. Qiyas
Salah satu macam ijtihad adalah Qiyas, yaitu upaya mencari solusi permasalahan
dengan cara mencari persamaan antara masalah yang sedang dihadapi dengan yang
ada di dalam sumber agama (Al-Quran dan hadits).
Bila masalah yang sedang dihadapi dianggap mirip dengan yang ada di dalam kitab
suci maupun hadits, maka para ulama akan menggunakan hukum yang ada di dalam
sumber agama tersebut untuk menyelesaikan masalah. Namun tidak mudah pula
mencari kemiripan satu masalah yang terjadi jaman sekarang dengan yang terjadi
pada masa lalu. Di sinilah sebenarnya kenapa seorang mujtahid atau yang
melakukan ijtihad diperlukan memiliki keluasan pengetahuan tentang agama dan
masalah-masalah lain yang terkait dengannya.
c. Istihsan
Istihsan adalah salah satu macam ijtihad yang dilakukan oleh pemuka agama untuk
mencegah terjadinya kemudharatan. Ijitihad ini dilakukan dengan mengeluarkan
suatu argumen beserta fakta yang mendukung tentang suatu permasalahan dan
kemudian ia menetapkan hukum dari permasalahan tersebut. Dalam penetapan
hukum ini bisa jadi pada akhirnya akan memunculkan pertentangan dari yang tidak
sepaham.
d. Istishab
Upaya untuk menyelesaikan suatu masalah yang dilakukan para pemuka agama
dengan cara menetapkan hukum dari masalah tersebut. Namun, bila suatu hari nanti
ada alasan yang sangat kuat untuk mengubah ketetapan tersebut, maka hukum yang
semula ditetapkan bisa diganti, asalkan semuanya masih dalam koridor agama Islam
yang benar.
e. Maslahah
Salah satu dari macam ijtihad yang juga dilakukan untuk kepentingan umat
adalah maslahah murshalah. Jenis ijtihad ini dilakukan dengan cara memutuskan
permasalahan melalui berbagai pertimbangan yang menyangkut kepentingan umat.
Hal yang paling penting adalah menghindari hal negatif dan berbuat baik penuh
manfaat.
f. Urf
Ijtihad ini dilakukan untuk mencari solusi atas permasalahan yang berhubungan
dengan adat istiadat. Dalam kehidupan masyarakat, adat istiadat memang tak bisa
dilepaskan dan sudah melekat dengan masyarakat kita.
Ijtihad inilah yang menetapkan apakah adat tersebut boleh dilakukan atau tidak.
Apabila masih dalam koridor agama Islam, maka boleh dilaksanakan. Namun bila
tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka harus ditinggalkan.
PENUTUP
1. Kesimpulan
Problema hukum yang dihadapi umat Islam semakin beragam, seiring dengan
berkembang dan meluasnya agama Islam, dan berbagai macam bangsa yang masuk
Islam dengan membawa berbagai macam adat istiadat, tradisi dan sistem
kemasyarakatan.
Sementara itu, nash Al-Quran dan Sunnah telah berhenti, padahal waktu
terus berjalan dengan sejumlah peristiwa dan persoalan yang datang silih berganti
(al-wahy qad intaha wal al-waqai la yantahi). Oleh karena itu, diperlukan usaha
penyelesaian secara sungguh-sungguh atas persoalan-persoalan yang tidak
ditunjukkan secara tegas oleh nash itu.
Dengan demikian ijtihad menjadi sangat penting sebagai sumber ajaran Islam setelah
Al-Quran dan al-Sunnah dalam memecahkan berbagai problematika masa kini.
2. Saran
Dengan melihat perkembangan zaman di era sekarang terutama kaum Muslimin yang
ada di Indonesia atau di dunia ini, sangat sulit untuk mencari orang yang ahli dalam
masalah ijtihad jika mengikuti aturan baku ijtihad zaman dahulu. Namun jika kita
melalui lajur yang benar, yaitu mencari hukum baru atau menggali permasalahan yang
belum terselesaikan, dengan tetap berpedoman pada kaidah-kaidah yang benar bisa
jadi pintu ijtihad masih terbuka lebar. Sebab jika tidak, hukum Islam akan menjadi
bisu dan kaku lantaran tidak mampu mengimbangi dinamika zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal.
Web.
https://lzaieda.wordpress.com/2014/09/28/makalah-ijtihad-sebagai-sumber-
ajaran-islam/