Anda di halaman 1dari 110

TOLERANSI BERAGAMA MENURUT PEMIKIRAN

NURCHOLISH MADJID


SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana
Dalam Ilmu Ushuluddin











oleh:
M. SUBKHAN
NIM: 4104030/PA




FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011

ii
TOLERANSI BERAGAMA MENURUT PEMIKIRAN
NURCHOLISH MADJID







SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana
Dalam Ilmu Ushuluddin




oleh :
M. SUBKHAN
NIM: 4104030/PA










Semarang, Maret 2011
Disetujui oleh,
Pembimbing I, Pembimbing II,




Drs. Tafsir, M.Ag Drs. Djurban.M.A
NIP. 19640116 199203 1003 NIP. 19581104 199203 1001


iii
PENGESAHAN

Skripsi saudara M. Subkhan Nomor Induk
Mahasiswa 4104030 telah dimunaqosyahkan
oleh dewan penguji skripsi Fakultas Ushuluddin
Institut Agama Islam Negeri Walisongo
Semarang, pada tanggal :
Juli 2010
dan telah diterima serta disyahkan sebagai salah
satu syarat guna memperoleh gelar sarjana
dalam Fakultas Ushuluddin.
Dekan Fakultas / Ketua Sidang,




Drs. H. Adnan M.Ag.
NIP. 150 260 178

Pembimbing,



Ahmad Musyafiq, M.Ag.
NIP. 150 290 934



Penguji I, Penguji II,




Prof.Dr.H. Suparman M.Ag Drs. Muh. Parmudi, M,Si

NIP. 150 178 271 NIP. 150 276 118



Sekretaris Sidang,



H. Sukendar M.Ag. MA
NIP. 150 290 934


iv
MOTTO

>l >., _| _ _
Artinya: Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku. (Q.S. Al-
Kaafirun : ayat 6)
























v
PERSEMBAHAN

Dalam perjuangan mengarungi samudra Ilahi tanpa batas, dengan keringat
dan air mata kupersembahkan karya tulis skripsi ini teruntuk orang-orang yang
selalu hadir dan berharap keindahan-Nya. Kupersembahkan bagi mereka yang
tetap setia berada di ruang dan waktu kehidupan ku khususnya buat:
o Orang tuaku tercinta yang selalu memberi semangat, membimbing dan
mengarahkan hidupku, yang memberi tahu arti hidup.
o Kakak-Kakakku tersayang kakak Malikha, Soimah, Nur Hikmah,
Asrori, dan Adikku Tercinta Uliyah yang telah banyak mencurahkan segala
tenaga, pikiran dan do'a serta selalu memotivasiku dalam keadaan suka dan
duka baik dalam menempuh studi maupun dalam menuntaskan skripsi ini.
o Semua teman-temanku Al-Iman Azul, Eko, Adi, Rokhim, Kodrat,
Marzuki, Syafa, Ulum, Iqbal, Joko, Irul, Riziq, Bang Kahfi, Atta, yang
tak henti-hentinya memberiku motivasi, sehingga dapat menyelesaikan skripsi
ini.





Penulis














vi
ABSTRAK

Islam mengakui hak hidup agama-agama lain, dan membenarkan para
pemeluk agama lain tersebut untuk menjalankan ajaran agama masing-masing.
Di sini, terdapat dasar ajaran Islam mengenai toleransi beragama. Toleransi
tidak diartikan sebagai sikap masa bodoh terhadap agamanya, atau bahkan
tidak perlu mendakwahkan ajaran kebenaran yang diyakininya itu. Oleh
karena itu, setiap orang yang beriman senantiasa terpanggil untuk
menyampaikan kebenaran yang diketahui dan diyakininya, tetapi harus
berpegang teguh pada etika dan tata krama sosial, serta tetap menghargai hak-
hak individu untuk menentukan pilihan hidupnya masing-masing secara
sukarela. Permasalahannya yaitu bagaimana pendapat Nurcholish Madjid
tentang toleransi beragama? Bagaimana relevansi pendapat Nurcholish Madjid
tentang toleransi beragama bagi kehidupan keagamaan di Indonesia? Adapun
teknik pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan. Jenis data skripsi
ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Data
primernya yaitu beberapa karya tulis Nurchlolish Madjid, di antaranya: (1)
Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik
Kontemporer; (2) Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan visi
Baru Islam Indonesia; (3) Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah
Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Data
sekunder yaitu data sejumlah kepustakaan yang ada relevansinya dengan judul
di atas. Sebagai analisis data, peneliti menggunakan pendekatan deskriptif
analisis yakni menggambarkan dan menganalisis pendapat Nurcholish Madjid
dalam konteks ilmu perbandingan agama.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapat Nurcholish Madjid
patut didukung karena pemikiran dan analisisnya itu sesuai dengan ajaran
Islam yang sangat menghormati keberadaan agama lain. Sebenarnya Islam
merupakan pelopor toleransi, dan Islam sangat mencela sikap fanatisme dalam
arti yang negatif yaitu membabi buta dan mengklaim kebenaran sebagai
otoritas sendiri. Apabila konsep toleransi yang digulirkan Nurcholish Madjid
dihubungkan dengan kehidupan keagamaan di Indonesia, maka jika
pendapatnya di apresiasi dan mendapat tempat serta penerimaan maka
kedamaian dalam beragama bisa terwujud, setidaknya konflik horisontal yang
bernuansa agama dapat diperkecil. Masalah ini bila melihat kondisi kehidupan
umat antar agama di Indonesia maka dapat dijadikan sebuah pelajaran,
khususnya terhadap beberapa peristiwa yang telah terjadi. Dengan kata lain,
apabila toleransi beragama menurut Nurcholish Madjid dihubungkan dengan
Kehidupan Keagamaan di Indonesia, maka pendapat Nurcholish Madjid dapat
sedikitnya meredam konflik antar agama, sehingga kehidupan agama dapat
hidup secara damai dan berdampingan.






vii
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang maha pengasih dan penyayang, bahwa atas
taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi
ini.
Skripsi yang berjudul: "TOLERANSI BERAGAMA MENURUT
PEMIKIRAN NURCHOLI SH MADJ ID ", ini disusun untuk memenuhi salah
satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas Ushuluddin
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan
saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat
terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Nasihun Amin, M.Ag selaku Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN
Walisongo Semarang.
2. Bapak Drs. Tafsir.M.Ag selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Drs.
Djurban.M.A selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan
waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan
dalam penyusunan skripsi ini.
3. Pimpinan Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin dan layanan
kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.
4. Para Dosen Pengajar dan staff di lingkungan Fakultas Ushuluddin IAIN
Walisongo, yang telah membekali berbagai pengetahuan sehingga penulis
mampu menyelesaikan penulisan skripsi. Dan segenap staff karyawan-
karyawati di lingkungan Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo.
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini belum
mencapai kesempurnaan dalam arti sebenarnya, namun penulis berharap semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan para pembaca
pada umumnya.

Penulis


viii





ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... v
ABSTRAK ................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................. viii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Pokok Permasalahan .............................................................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ............................................. 6
D. Tinjauan Pustaka .................................................................... 7
E. Metode Penelitian .................................................................. .10
F. Sistematika Penulisan ........................................................... 11
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG TOLERANSI BERAGAMA
A. Pengertian Toleransi Beragama ............................................. 13
B. Toleransi Beragama Pada Masa Rasulullah ........................... 19
C. Toleransi Beragama Pada Masa Khulafa al-Rasyidin ............ 22
D. Dialog Antar Umat Beragama ................................................ 25
1. Pengertian dan Hakikat Dialog .......................................... 25
2. Dialog Dalam Pendekatan Ilmu Perbandingan Agama ...... 28
E. Toleransi di Indonesia ............................................................ 30
BAB III : TOLERANSI BERAGAMA MENURUT NURCHOLISH
MADJID
A. Biografi Nurcholish Madjid ..................................... 33

x
1. Latar Belakang Nurcholish Madjid .................................... 33
2. Karyanya ..................................... 35
B. Pendapat Nurcholish Madjid tentang Toleransi Beragama .... 40
1. Nilai keislaman dalam Asas Kerukunan Antar Umat
Beragama ..................................... 40
2. Asas Kerjasama Antar Umat Beragama ............................. 42
3. Etika Beragama ..................................... 45
4. Menuju Persamaan Sejati dan Doa Bersama ..................... 50
BAB IV : ANALISIS PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID TENTANG
TOLERANSI BERAGAMA DI INDONESIA
A. Analisis Pendapat Nurcholish Madjid tentang Toleransi
Beragama ............................................................................... 73
B. Relevansi Toleransi Beragama Perspektif Nurcholish Madjid
bagi Kehidupan Keagamaan di Indonesia .............................. 87
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 92
B. Saran-saran ............................................................................. 92
C. Penutup ............................................................................. 93

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP



1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Islam mengakui hak hidup agama-agama lain, dan membenarkan para
pemeluk agama lain tersebut untuk menjalankan ajaran agama masing-masing.
Di sini, terdapat dasar ajaran Islam mengenai toleransi beragama. Toleransi
tidak diartikan sebagai sikap masa bodoh terhadap agamanya, atau bahkan
tidak perlu mendakwahkan ajaran kebenaran yang diyakininya itu. Oleh
karena itu, setiap orang yang beriman senantiasa terpanggil untuk
menyampaikan kebenaran yang diketahui dan diyakininya, tetapi harus
berpegang teguh pada etika dan tata krama sosial, serta tetap menghargai hak-
hak individu untuk menentukan pilihan hidupnya masing-masing secara
sukarela. Sebab, pada hakikatnya hanya di tangan Tuhanlah pengadilan atau
penilaian sejati akan dilaksanakan. Pengakuan akan adanya kebenaran yang
dianut memang harus dipertahankan. Tetapi, pengakuan itu harus memberi
tempat pula pada agama lain sebagai sebuah kebenaran yang diakui secara
mutlak oleh para pemeluknya.
1

Islam merupakan agama termuda dalam tradisi Ibrahimi. Pemahaman
diri Islam sejak kelahirannya pada abad ke-7 sudah melibatkan unsur kritis
pluralisme, yaitu hubungan Islam dengan agama lain. Melacak akar-akar
pluralisme dalam Islam, berarti ingin menunjukkan bahwa agama Ibrahimi
termuda ini sebenarnya bisa mengungkap diri dalam suatu dunia agama
pluralistis. Islam mengakui dan menilainya secara kritis, tapi tidak pernah
menolaknya atau menganggapnya salah. Sejak kelahirannya, memang Islam
sudah berada di tengah-tengah budaya dan agama-agama lain. Nabi
Muhammad Saw., ketika menyiarkan agama Islam sudah mengenal banyak
agama semisal Yahudi dan Kristen. Di dalam Al-Qur'an pun banyak

1
Adeng Muchtar Ghazali, Pemikiran Islam Kontemporer Suatu Refleksi Keagamaan Yang
Dialogis, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hlm. 55-58


2
ditemukan rekaman kontak Islam serta kaum muslimin dengan komunitas-
komunitas (masyarakat) agama yang ada di sana. Perdagangan yang dilakukan
bangsa Arab pada waktu itu ke Syam, Irak, Yaman, dan Etiopia, dan posisi
kota Mekah sebagai pusat transit perdagangan yang menghubungkan daerah-
daerah di sekeliling jazirah Arab membuat budaya Bizantium, Persia, Mesir,
dan Etiopia, menjadikan agama-agama yang ada di wilayah Timur Tengah dan
sekitarnya, tidak asing lagi bagi Nabi Muhammad Saw.
2

Pandangan tentang manusia memiliki akar-akarnya dalam setiap segi
ajaran Islam. Bahkan Islam itu sendiri adalah agama kemanusiaan, dalam arti
bahwa ajaran-ajarannya sejalan dengan kecenderungan alami manusia
menurut fitrahnya yang abadi (perennial). Karena itu seruan untuk menerima
agama yang benar itu dikaitkan dengan fitrah tersebut, sebagaimana dapat kita
baca dalam Kitab Suci al-Qur'an surat ar-Rum (30) ayat 30 :
)
Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu untuk agama ini sesuai dengan
kecenderungan alami menurut fitrah Allah yang dia telah
ciptakan manusia atasnya. Itulah agama yang tegak lurus,
namun sebagian besar manusia tidak mengetahui (Q.S. ar-
Rum (30): 30).
3


Jadi menerima agama yang benar tidak boleh karena terpaksa. Agama
itu harus diterima sebagai kelanjutan atau konsistensi hakikat kemanusiaan itu
sendiri. Dengan kata lain, beragama yang benar harus merupakan kewajaran
manusiawi. Cukuplah sebagai indikasi bahwa suatu agama atau kepercayaan
tidak dapat dipertahankan jika ia memiliki ciri kuat bertentangan dengan
naluri kemanusiaan yang suci. Karena itu dalam firman yang dikutip di atas
ada penegasan bahwa kecenderungan alami manusia kepada kebenaran

2
Syamsul Ma'arif, Pendidikan Pluralisme Di Indonesia, (Yogyakarta: Logung Pustaka,
2005), hlm. 36-38
3
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya,
Departemen Agama, 1986, hlm. 645


3
(hanifiyah) sesuai dengan kejadian asalnya yang suci (fitrah) merupakan
agama yang benar, yang kebanyakan manusia tidak menyadari.
4

Kerukunan antar umat beragama kiranya akan menjadi agenda
nasional bahkan internasional yang tak kunjung usai. Ini bisa dipahami karena
masa depan suatu bangsa sedikit banyak tergantung pada sejauh mana
keharmonisan hubungan antarumat beragama ini. Kegagalan dalam
merealisasikan agenda ini akan mengantarkan suatu bangsa pada trauma
terpecah belahnya sebagai bangsa.
5
Dalam Al-Quran surat al-Mumtahanah
(60) ayat 8 Allah SWT berfirman:
Artinya:Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku
adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena
agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil
(Q.S. al-Mumtahanah (60): ayat 8).
6


Akhir-akhir ini wacana tentang pluralitas agama dan masalah-masalah
yang mengitarinya semakin menguat dan muncul ke permukaan. Buku-buku,
tulisan- tulisan media massa, dan acara-acara seminar, kongres, simposium,
diskusi, dialog seputar hubungan antarumat beragama semakin sering kita
saksikan dalam berbagai tingkat, baik lokal, nasional, maupun internasional.
Kecenderungan menguatnya perbincangan seputar toleransi beragama dan
hubungan antarumat beragama ini akan semakin kuat di masa-masa
mendatang dan tidak akan pernah mengalami masa kadaluarsa. Sebab topik ini
adalah topik yang selalu aktual dan menarik bagi siapa pun yang mencita-

4
Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 24
5
Abd. Rohim Ghazali dalam M. Quraish Shihab, Atas Nama Agama: Wacana Agama
Dalam Dialog Bebas Konflik, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1988), hlm.133
6
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, op. cit, hlm. 924.


4
citakan terwujudnya perdamaian di bumi ini.
7
Itulah sebabnya Harun Nasution
(2000, 273) menyatakan:
Perintah Islam agar umatnya bersikap toleran, bukan hanya pada
agama Yahudi dan Kristen, tetapi juga kepada agama-agama lain.
Ayat 256 surat Al-Baqarah mengatakan bahwa tidak ada paksaan
dalam soal agama karena jalan lurus dan benar telah dapat dibedakan
dengan jelas dari jalan salah dan sesat. Terserahlah kepada manusia
memilih jalan yang dikehendakinya. Telah dijelaskan mana jalan
benar yang akan membawa kepada keselamatan dan mana pula jalan
salah yang akan membawa kepada kesengsaraan. Manusia merdeka
memilih jalan yang dikehendakinya. Manusia telah dewasa dan
mempunyai akal dan tak perlu dipaksa, selama kepadanya telah
dijelaskan perbedaan antara jalan salah dan jalan benar. kalau ia
memilih jalan salah ia harus berani menanggung risikonya yaitu
kesengsaraan. Kalau ia takut pada kesengsaraan, haruslah ia pilih jalan
benar.
8


Harun Nasution mengatakan lebih lanjut:
Dalam hubungan ini ayat 29 surah Al-Kahfi mengatakan: Kebenaran
telah dijelaskan Tuhan, siapa yang mau percaya, percayalah dan siapa
yang tak mau, janganlah ia percaya. Ayat ini memberikan
kemerdekaan bagi orang untuk percaya kepada ajaran yang dibawa
Nabi Muhammad dan tidak percaya kepadanya. Manusia tidak dipaksa
untuk percaya kepadanya. Kemerdekaan ini diperkuat oleh ayat 6
surah Al-Kafirun yang mengatakan: Bagimulah agamamu dan bagiku
agamaku. Semua ajaran itu dapat dijadikan landasan bagi jiwa
toleransi beragama dalam Islam. Dan kalau kita kembali kepada
sejarah toleransi beragama, ini memang dijalankan oleh umat Islam
yang pertama.
9



Nurcholish Madjid adalah salah seorang tokoh pembaru yang banyak
mengemukakan gagasan pembaruan Islam yang banyak ditentang oleh
kalangan Islam tradisionalis. Gagasannya yang berkaitan dengan sekularisasi
dalam Islam, serta pernyataannya tentang "Islam Yes, Partai Islam No" hingga
kini masih banyak diperbincangkan orang. Demikian pula kesadarannya untuk

7
Nur Achmad (ed), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta: Penerbit
Kompas, 2001), hlm. ix
8
Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan anggota
IKAPI, 2000), hlm. 273.
9
Ibid


5
menggunakan institusi pendidikan untuk menyosialisasikan gagasan dan
pemikirannya itu telah pula ia lakukan. Bahkan gagasanya yang
mengelaborasi makna nilai keislaman terhadap agama lain telah menuai kritik.
Kritik yang dimaksud misalnya ketika melontarkan pernyataan sebagai
berikut: menurut Nurcholish Madjid nilai keislaman itu tidak hanya dipandang
dari sudut internal umat Islam dalam berhubungan umat seagama, melainkan
bagaimnaa sikap orang Islam itu terhadap agama lain yaitu mampukah ia
membangun sikap-toleransi terhadap agama lain. Menurut Nurcholish Madjid:
Semua agama itu Islam, dalam arti mengajarkan kepasrahan kepada
Tuhan. Tetapi lihat saja, di antara semua agama, yang mengakui
agama lain hanya Islam, agama yang dibawa Nabi Muhammad. Ini
berarti bahwa agama ini adalah agama yang paling unggul dan paling
sempurna. Yang demikian ini tidak usah kita ragukan. Justru
kesempurnaannya Islam itu adalah karena agama ini bersifat
ngemong, mengayomi semua agama yang ada. Mushaddiqan lima
bayn yaday hiwa muhaymin an alayhi..muhaimyminan artinya adalah
melindungi, mengayomi, juga terhadap agama-agama yang lain. Sikap
itulah yang dulu dilakukan oleh para sahabat nabi, kepada orang-orang
Kristen dan pemeluk agama-agama lain yang macam-macam itu.
10


Pernyataan Nurcholish Madjid dilatarbelakangi oleh kekecewaannya
terhadap sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam dan ajaran jihad
yang melakukan pengeboman terhadap sejumlah tempat di Indonesia, tidak
terkecuali gereja-gereja sebagai tempat peribadatan orang Kristen.
Adapun sebabnya penulis memilih tokoh Nurcholish Madjid sebagai
berikut:
Pertama, dilihat dari segi keahliannya, Nurcholish Madjid adalah
seorang pemikir Islam generalis dengan kajian utamanya pada sejarah
peradaban Islam. Sejarah adalah cerminan perjalanan umat masa lalu untuk
dijadikan bahan renungan masa lalu. Karena manusia itu banyak seginya,
yaitu aspek keyakinannya, politik, ekonomi, pendidikan, lingkungan, dan lain
sebagainya, maka pikiran dan gagasan Nurcholish Madjid menjangkau semua
itu. la dapat dikatakan sebagai ilmuwan muslim yang ensiklopedik. Kedua,

10
Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial
Politik Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 267-268.


6
dilihat dari segi sifat dan coraknya, pemikiran dan gagasan Nurcholish Madjid
dapat dikategorikan sebagai bercorak modern. Namun kemodernannya itu
bertolak dari sifat ajaran Al-Quran yang modern. Al-Qur'an menghargai akal
manusia, menuntut berpikir dan bekerja keras, melakukan sesuatu yang
bermanfaat, produktif, inovatif, terbuka, menghargai waktu, berwawasan
global, dan berpandangan jauh ke depan. Gagasan nilai keislaman dalam
konteks toleransi beragama yang dibawa oleh Nurcholish Madjid bertolak dari
ajaran Al-Qur'an yang dijabarkan oleh Al-Sunnah, dan hasil pemikiran kreatif
manusia.
Dengan berpedoman pada keterangan di atas mendorong peneliti
mengangkat tema skripsi ini dengan judul: Signifikansi Pemikiran Nurcholish
Madjid bagi Kerukunan Umat Beragama
B. Pokok Permasalahan
Permasalahan merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat
pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin dicarikan jawabannya.
11
Bertitik
tolak pada keterangan itu, maka yang menjadi pokok permasalahan:
1. Bagaimana pendapat Nurcholish Madjid tentang toleransi beragama?
2. Bagaimana relevansi pendapat Nurcholish Madjid tentang toleransi
beragama bagi kehidupan keagamaan di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui pendapat Nurcholish Madjid tentang toleransi
beragama
2. Untuk mengetahui relevansi pendapat Nurcholish Madjid tentang toleransi
beragama bagi kehidupan keagamaan di Indonesia



11
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1993), hlm. 312.


7
Adapun Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis, yaitu diharapkan dari hasil penelitian ini menjadi bahan
masukan dalam mengkaji masalah toleransi bagi mahasiswa perbandingan
agama khususnya dan mahasiswa IAIN pada umumnya.
2. Secara Praktis, yaitu diharapkan dari hasil penelitian ini akan menambah
khasanah dan cakrawala berfikir serta menambah sikap toleransi dan
kerukunan antar umat beragama.
D. Tinjauan Pustaka
Sepanjang pengetahuan penulis ada beberapa karya ilmiah berupa
buku yang membahas masalah toleransi, namun belum ada yang membahas
secara khusus pendapat Nurcholish Madjid tentang toleransi beragama. Di
antara karya ilmiah yang membahas secara umum sebagai berikut:
1. Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran. Dalam buku ini
diungkapkan bahwa jiwa toleransi beragama rasanya dapat dipupuk
melalui usaha-usaha berikut: 1). Mencoba melihat kebenaran yang ada
dalam agama lain. 2). Memperkecil perbedaan yang ada di antara agama-
agama. 3). Menonjolkan persamaan-persamaan yang ada dalam agama-
agama. 4). Memupuk rasa persaudaraan se-Tuhan. 5). Memusatkan usaha
pada pembinaan individu-individu dan masyarakat manusia baik yang
menjadi tujuan beragama dari semua agama monoteis. 6). Mengutamakan
pelaksanaan ajaran-ajaran yang membawa kepada toleransi beragama. 7).
Menjauhi praktik serang-menyerang antaragama.
12

2. Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama.
Menurut penulis buku ini bahwa pada era globalisasi masa kini, umat
beragama dihadapkan kepada serangkaian tantangan baru yang tidak
terlalu berbeda dengan apa yang pernah dialami sebelumnya. Pluralisme
agama, konflik intern atau antaragama, adalah fenomena nyata. Di masa
lampau kehidupan keagamaan relatif lebih tentram karena umat-umat

12
Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 2000), hlm.
275


8
beragama bagaikan kamp-kamp yang terisolasi dari tantangan-tantangan
dunia luar. Sebaliknya, masa kini tidak sedikit pertanyaan kritis yang harus
ditanggapi oleh umat beragama yang dapat diklasifikasikan rancu dan
merisaukan
13

3. A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama Di Indonesia. Penulis buku ini
mengungkapkan bahwa tujuan mempelajari ilmu perbandingan agama
adalah untuk ikut serta bersama-sama dengan orang-orang yang
mempunyai maksud baik, menciptakan dunia yang aman dan damai
berdasarkan etika dan moral agama, dan bukan dunia yang penuh dengan
ancaman rudal dan nuklir yang akan membinasakan umat manusia itu
sendiri.
14

4. Zakiah Daradjat, Perbandingan Agama. Dalam buku ini ditegaskan bahwa
dengan tumbuhnya pengetahuan tentang agama-agama lain, menimbulkan
sikap saling pengertian dan toleran kepada orang lain dalam hidup sehari-
hari, sehingga tumbuh pula kerukunan beragama. Kerukunan hidup
beragama itu dimungkinkan karena agama-agama memiliki dasar ajaran
hidup rukun. Semua agama menganjurkan untuk senantiasa hidup damai
dan rukun dalam hidup dan kehidupan sehari-hari.
15

5. M. Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia. Agama Islam memberantas
intoleransi agama serta menegakkan kemerdekaan beragama dan
meletakkan dasar-dasar bagi keragaman hidup antaragama. Kemerdekaan
menganut agama adalah suatu nilai hidup, yang dipertahankan oleh tiap-
tiap muslimin dan muslimat. Islam melindungi kemerdekaan menyembah
Tuhan menurut agama masing-masing, baik di mesjid maupun gereja.
16

6. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban. Menurut Nurcholish
Madjid, bahwa salah satu kesadaran yang sangat berakar dalam pandangan
seorang muslim ialah bahwa agama Islam adalah sebuah agama universal,

13
Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. (Bandung: Mizan,
2001), hlm. 39.
14
A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama Di Indonesia (Bandung: Mizan, 1996), , hlm.
88.
15
Zakiah Daradjat, Perbandingan Agama (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 139.
16
M. Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia, (Jakarta: Media Dakwah, 1983), hlm.. 200.


9
untuk sekalian umat manusia. Meskipun kesadaran serupa juga dipunyai
oleh hampir semua penganut agama yang lain (Yahudi, maka mereka
menolak Kristen dan Islam; dan Kristen sendiri, maka mereka menolak
Yahudi dan Islam), namun kiranya tidaklah berlebihan jika dikatakan
bahwa pada orang-orang Muslim kesadaran tersebut melahirkan sikap-
sikap sosial-keagamaan yang unik, yang jauh berbeda dengan sikap-sikap
keagamaan para pemeluk agama lain, kecuali setelah munculnya zaman
modern dengan ideologi modern ini. Tanpa mengurangi keyakinan seorang
Muslim akan kebenaran agamanya (hal yang dengan sendirinya menjadi
tuntutan dan kemestian seorang pemeluk suatu sistem keyakinan), sikap-
sikap unik Islam dalam hubungan antaragama itu ialah toleransi,
kebebasan, keterbukaan, kewajaran, keadilan dan kejujuran (fairness).
Prinsip-prinsip itu nampak jelas pada sikap dasar sebagian besar umat
Islam sampai sekarang, namun lebih-lebih lagi sangat fenomenal pada
generasi kaum Muslim klasik (salaf).
17

7. Yusuf al-Qaradhawi, Kebangkitan Gerakan Islam dari Masa Transisi
Menuju Kematangan. Dalam buku itu ditegaskan bahwa fanatisme terjadi
bila seseorang mematok akalnya pada pemikiran tertentu, dan tidak mau
membuka jendela untuk berdialog dengan orang-orang yang berlainan
keyakinan, pemikiran, pandangan fikih, pandangan politik, serta tidak mau
melakukan introspeksi sedikit pun. la malah menganggap pendapatnya
sebagai yang paling benar, tidak mungkin salah, serta pendapat orang lain
sebagai yang salah dan tak mungkin benar. Sedangkan agama
memerintahkan dan menganjurkannya untuk bertoleransi. Di antara bidang
garapan toleransi agama ini ialah; penerimaan dialog Islam-Kristen,
selama jelas tujuan-tujuannya, gamblang pengertiannya, dan kaum
muslimin yang terlibat dalam dialog tersebut merupakan orang-orang yang
memiliki kapasitas keagamaan dan keilmuan yang memadai. Terlebih

17
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 2000), hlm. 178-179


10
dahulu, kita harus memiliki kesepakatan tentang tujuan dialog semacam
ini.
18

Karya-karya ilmiah sebagaimana disebutkan di atas belum ada yang
membahas toleransi beragama dalam perspektif Nurcholish Madjid, dan yang
ada hanya mengkaji toleransi secara umum.
E. Metode Penulisan
Metode penelitian skripsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Jenis Data
Penulisan ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library
research). Kepustakaan yang dimaksud berupa hasil-hasil penelitian,
buku-buku, jurnal, buletin dan sebagainya.

2. Pendekatan
Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif
analisis yakni menggambarkan dan menganalisis pendapat Nurcholish
Madjid dalam konteks ilmu perbandingan agama.
3. Sumber Data
a. Data primer, yaitu beberapa karya tulis Nurchlolish Madjid, di
antaranya: (1) Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam
Wacana Sosial Politik Kontemporer; (2) Islam Agama Kemanusiaan
Membangun Tradisi dan visi Baru Islam Indonesia; (3) Islam, Doktrin
dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan,
Kemanusiaan dan Kemodernan.
b. Data sekunder, yaitu sejumlah kepustakaan yang ada relevansinya
dengan judul di atas baik langsung maupun tidak langsung.

18
Yusuf al-Qaradhawi, Kebangkitan Gerakan Islam Dari Masa Transisi Menuju
Kematangan, Terj. Abdullah Hakam Syah dan Aunul Abied Syah, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2003), hlm, 264-265


11
Pengambilan kepustakaan didasarkan pada otoritas keunggulan
pengarangnya dibidang masing-masing.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data menggunakan studi kepustakaan.
19

Dalam hal ini menggunakan sumber primer dan sekunder sebagaimana
telah dijelaskan di atas.
5. Teknik Analisis Data
Dalam menganalisis data,
20
digunakan metode deskriptif analisis,
yaitu menganalisis data tanpa menggunakan angka-angka statistik.
21

Dengan demikian penulis akan menggambarkan, atau memaparkan
tentang toleransi Beragama dalam pandangan Nurcholish Madjid.
F. Sistematika Penulisan
Untuk dapat dipahami urutan dan pola berpikir dari tulisan ini, maka
skripsi disusun dalam lima bab. Setiap bab merefleksikan muatan isi yang satu
sama lain saling melengkapi. Untuk itu, disusun sistematika sedemikian rupa
sehingga dapat tergambar kemana arah dan tujuan dari tulisan ini.
Bab pertama, berisi pendahuluan yang merupakan garis besar dari
keseluruhan pola berpikir dan dituangkan dalam konteks yang jelas serta
padat. Atas dasar itu deskripsi skripsi diawali dengan latar belakang masalah
yang terangkum di dalamnya tentang apa yang menjadi alasan memilih judul,
dan bagaimana pokok permasalahannya. Dengan penggambaran secara sekilas
sudah dapat ditangkap substansi skripsi. Selanjutnya untuk lebih memperjelas
maka dikemukakan pula tujuan dan manfaat penulisan baik ditinjau secara

19
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid 1, (Yogyakarta: Andi, 2001), hlm. 9.
20
Menurut Moh. Nazir, Analisa adalah mengelompokkan, membuat suatu urutan,
memanipulasi serta menyingkatkan data sehingga mudah untuk dibaca. Moh. Nazir. Metode
Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1999), hlm, 419.
21
Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1995), hlm. 134. Bandingkan dengan Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kulitatif, (Bandung:
PT Remaja Rosda Karya, 2001), hlm. 2. Koencaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1970), hlm. 269.


12
teoritis maupun praktis. Penjelasan ini akan mengungkap seberapa jauh
signifikansi tulisan ini. Kemudian agar tidak terjadi pengulangan dan
penjiplakan maka dibentangkan pula berbagai hasil penelitian terdahulu yang
dituangkan dalam tinjauan pustaka. Demikian pula metode penulisan diungkap
apa adanya dengan harapan dapat diketahui apa yang menjadi sumber data,
teknik pengumpulan data dan analisis data. Pengembangannya kemudian
tampak dalam sistematika penulisan. Dengan demikian, dalam bab pertama ini
tampak penggambaran isi skripsi secara keseluruhan namun dalam satu
kesatuan yang ringkas dan padat guna menjadi pedoman untuk bab kedua,
ketiga, bab keempat, dan bab kelima.
Bab kedua tinjauan umum tentang toleransi beragama yang meliputi
pengertian toleransi beragama, toleransi beragama pada masa rasulullah,
toleransi beragama pada masa khulafa al-rasyidin, dialog antar umat beragama
(pengertian dan hakikat dialog, dialog dalam pendekatan ilmu perbandingan
agama).
Bab ketiga toleransi beragama menurut Nurcholish Madjid yang
meliputi biografi Nurcholish Madjid (latar belakang Nurcholish Madjid,
pendidikan dan karya-karyanya, pendapat Nurcholish Madjid tentang toleransi
beragama).
Bab keempat analisis tentang toleransi beragama menurut pendapat
Nurcholish Madjid yang meliputi pendapat Nurcholish Madjid tentang
toleransi beragama; relevansi toleransi beragama perspektif Nurcholish
Madjid bagi kehidupan keagamaan di Indonesia
Bab kelima berisi penutup yang meliputi kesimpulan, saran-saran, dan
penutup.

13
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG TOLERANSI BERAGAMA


A. Pengertian Toleransi Beragama
Lawan kata "toleransi" yaitu "fanatik". Kata "fanatik" dalam Webster's
New American Dictionary, Fanatic: one who is exaggeratedly zealous for a
belief or cause (seorang fanatik: orang yang secara berlebih-lebihan akan
suatu kepercayaan atau penyebab), Fanaticism: exaggerated, unreasoning zeal
(fanatisme: yang dilebih-lebihkan, semangat omong kosong).
1
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, fanatisme berarti keyakinan (kepercayaan) yang
terlalu kuat terhadap ajaran (politik, agama dan sebagainya).
2
Dengan singkat,
Pius Partanto dan M.Dahlan al-Barry mengartikan fanatisme sebagai
kekolotan.
3

Term fanatisme merupakan antonim (lawan kata) dari toleransi, dan
kata toleransi dalam Webster's New American Dictionary", diartikan sebagai
leberality toward the opinions of others; patience with others,"
4
Maksudnya,
memberikan kebebasan (membiarkan) terhadap pendapat orang lain, dan
berlaku sabar menghadapi orang lain. W.J.S. Poerwadarminta mengartikan
toleransi itu dengan sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan,
membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kelakuan dsb)
yang lain atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri, misalnya: agama
(ideologi, ras, dan sebagainya) dalam arti suka rukun kepada siapapun,
membiarkan orang berpendapat atau berpendirian lain, tak mau mengganggu

1
Edward N. Teall, A.M. and C. Ralph Taylor A.M. (Editor), Webster's New American
Dictionary, (New York: Book, Inc, 1958), hlm. 347
2
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 313.
3
Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola,
1994), hlm. 169
4
Edward N. Teall, A.M. and C. Ralph Taylor A.M. (Editor), op. cit, hlm. 1050
14
kebebasan berpikir dan berkeyakinan lain.
5
Demikian pula toleransi diartikan
sebagai kesabaran, kelapangan dada.
6

Dengan demikian toleransi merupakan kemampuan untuk
menghormati sifat dasar, keyakinan dan perilaku yang dimiliki oleh orang
lain. Dalam literatur agama (Islam), toleransi disebut sebagai tasamuh artinya
adalah sifat atau sikap menghargai, membiarkan, atau membolehkan pendirian
(pandangan) orang lain yang bertentangan dengan pandangan kita.
Dalam suatu hadis ditegaskan:

Artinya: Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
aku wasiatkan kepada kamu sekalian agar kamu selalu
bertakwa kepada Allah dan berlaku baik terhadap setiap
muslim. Perangilah dengan nama Allah di jalan Allah
setiap orang yang ingkar kepada Allah. Jangan kamu
berkhianat, jangan kanu berlaku kejam, dan jangan kamu
bunuh anak kecil, kaum wanita maupun orang tua bangka.
Jangan kamu bunuh orang yang mengasingkan dirinya
dalam kuilnya dan jangan kamu rusak pohon kurma,
pohon-pohon lainnya dan jangan kamu hancurkan rumah.
(H.R. al-Bukhari)

Sebagai prinsip metodologis, toleransi adalah penerimaan terhadap
yang tampak sampai kepalsuannya tersingkap. Toleransi relevan dengan
epistemologi. la juga relevan dengan etika sebagai prinsip menerima apa yang
dikehendaki sampai ketaklayakannya tersingkap. Toleransi adalah keyakinan
bahwa keanekaragaman agama terjadi karena sejarah dengan semua faktor

5
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai
Pustaka, Cet. 5) 1976, hlm. 1084
6
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia An English-Indonesia
Dictionary, (Jakarta: PT. Gramedia, 2000), hlm. 595
7
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn al-Mugirah ibn Bardizbah al-
Bukhari, Sahih al-Bukhari, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M,

hlm. 235
15
yang mempengaruhinya, kondisi ruang dan waktunya berbeda, prasangka,
keinginan dan kepentingannya. Di balik keanekaragaman agama berdiri al-din
al-hanif, agama fitrah Allah, yang mana manusia lahir bersamanya sebelum
akulturasi membuat manusia menganut agama ini atau itu.
8

Dilihat dari perspektif agama, umur agama setua dengan umur
manusia. Tidak ada suatu masyarakat manusia yang hidup tanpa suatu bentuk
agama. Agama ada pada dasarnya merupakan aktualisasi dari kepercayaan
tentang adanya kekuatan gaib dan supranatural yang biasanya disebut sebagai
Tuhan dengan segala konsekuensinya. Atau sebaliknya, agama yang ajaran-
ajarannya teratur dan tersusun rapi serta sudah baku itu merupakan usaha
untuk melembagakan sistem kepercayaan, membangun sistem nilai
kepercayaan, upacara dan segala bentuk aturan atau kode etik yang berusaha
mengarahkan penganutnya mendapatkan rasa aman dan tentram.
9

Mengenai arti agama secara etimologi terdapat perbedaan pendapat, di
antaranya ada yang mengatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa
sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu : a berarti tidak dan gama
berarti kacau, jadi berarti tidak kacau.
10
Kata agama dalam bahasa Indonesia
sama dengan diin (dari bahasa Arab) dalam bahasa Eropa disebut religi,
religion (bahasa Inggris), la religion (bahasa Perancis), the religie (bahasa
Belanda), die religion, (bahasa Jerman). Kata diin dalam bahasa Semit
berarti undang-undang (hukum), sedang kata diin dalam bahasa Arab berarti
menguasi, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan.
Meskipun terdapat perbedaan makna secara etimologi antara diin dan
agama, namun umumnya kata diin sebagai istilah teknis diterjemahkan dalam
pengertian yang sama dengan agama.
11
Kata agama selain disebut dengan

8
Syamsul Ma'arif, Pendidikan Pluralisme Di Indonesia, (Yogyakarta: Logung
Pustaka, 2005), hlm. 13-14.
9
Abdul Madjid, et.al, al-Islam, Jilid I, (Malang: Pusat Dokumentasi dan Publikasi
Universistas Muhammadiyah, 1989), hlm. 26.
10
Taib Thahir Abdul Muin, Ilmu Kalam, (Jakarta: Wijaya, 1992), hlm. 112. buku
lain yang membicarakan asal kata agama dapat dilihat dalam Nasrudin Razak, Dienul Islam,
(Bandung: PT al-Maarif, 1973), hlm. 76. Zainal Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran
Terhadap Agama, jilid 1, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1984), hlm. 39.
11
Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
16
kata diin dapat juga disebut syara, syariat/millah. Terkadang syara itu
dinamakan juga addiin/millah. Karena hukum itu wajib dipatuhi, maka
disebut addin dan karena hukum itu dicatat serta dibukukan, dinamakan
millah. Kemudian karena hukum itu wajib dijalankan, maka dinamakan
syara.
12

Dari pengertian agama dalam berbagai bentuknya itu maka terdapat
bermacam-macam definisi agama. Harun Nasution telah mengumpulkan
delapan macam definisi agama yaitu:
1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib
yang harus dipatuhi.
2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
3. Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan
pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang
mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
4. Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup
tertentu.
5. Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari suatu kekuatan gaib.
6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini
bersumber pada suatu kekuatan gaib.
7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan
perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam
sekitar manusia.
8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang
Rasul.
13

Adapun masalah asal mula dan inti dari suatu unsur universal agama
itu, tegasnya masalah mengapakah manusia percaya kepada suatu kekuatan
yang dianggap lebih tinggi daripadanya, dan masalah mengapakah manusia
melakukan berbagai hal dengan cara-cara yang beraneka warna untuk

Hoeve, 1997), hlm. 63.
12
Taib Thahir Abdul Muin, op.cit, hlm. 121.
13
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI Press,
1985), hlm.10.
17
mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan tadi, telah menjadi obyek
perhatian para ahli pikir sejak lama. Mengenai soal itu ada berbagai pendirian
dan teori yang berbeda-beda. Teori-teori yang terpenting adalah :
a. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena
manusia mulai sadar akan adanya faham jiwa.
b. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena
manusia mengakui adanya banyak gejala yang tidak dapat diterangkan
dengan akalnya.
c. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi dengan
maksud untuk menghadapi krisis-krisis yang ada dalam jangka waktu
hidup manusia.
d. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena kejadian-
kejadian yang luar biasa dalam hidupnya, dan dalam alam sekelilingnya.
e. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena suatu
getaran atau emosi yang ditimbulkan dalam jiwa manusia sebagai akibat
dari pengaruh rasa kesatuan sebagai warga masyarakatnya.
f. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena manusia
mendapat suatu firman dari Tuhan.
14

Setiap agama memiliki kebenaran, keyakinan tentang yang benar itu
didasarkan kepada Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Dalam
tataran sosiologis, klaim kebenaran berubah menjadi simbol agama yang
dipahami secara subjektif oleh setiap pemeluk agama. Sering tampak ke
permukaan yaitu terjadinya konflik antaragama sebagai akibat kesenjangan
ekonomi, perbedaan kepentingan politik, ataupun perbedaan etnis.
Pluralitas manusia menyebabkan wajah kebenaran itu tampil beda
ketika akan dimaknai dan dibahasakan. Sebab, perbedaan ini tidak dapat

14
Romdhon, et. al, Agama-agama di Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga
Press, 1988), hlm. 18-19. Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu
Perbandingan Agama, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hlm. 40-41. Koenjtaraningrat,
Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1972), hlm. 222-223. Hilman
Hadi Kusuma, Antropologi Agama Bagian I (Pendekatan Budaya Terhadap Aliran
kepercayaan, Agama Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, di Indonesia), (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 1993), hlm. 32-33.
18
dilepaskan begitu saja dari berbagai referensi dan latar belakang yang diambil
peyakin dari konsepsi ideal turun ke bentuk-bentuk normatif yang bersifat
kultural. Hal ini yang biasanya digugat oleh berbagai gerakan keagamaan
(harakah) pada umumnya. Sebab, mereka mengklaim telah memahami,
memiliki, dan bahkan menjalankan nilai-nilai suci itu secara murni dan
konsekuen. Keyakinan tersebut menjadi legitimasi dari semua perilaku
pemaksaan konsep-konsep gerakannya kepada manusia lain yang berbeda
keyakinan dan pemahaman dengan mereka. Armahedi Mahzar sebagaimana
dikutip Adeng Muchtar Ghazali menyebutkan bahwa absolutisme,
eksklusivisme, fanatisme, ekstrimisme, dan agresivisme adalah "penyakit"
yang biasanya menghinggapi aktifis gerakan keagamaan. Absolutisme adalah
kesombongan intelektual; eksklusivisme adalah kesombongan sosial;
fanatisme adalah kesombongan emosional; ekstremisme adalah berlebih-
lebihan dalam bersikap; dan agresivisme adalah berlebih-lebihan dalam
melakukan tindakan fisik. Tiga penyakit pertama adalah wakil resmi
kesombongan (ujub). Dua penyakit terakhir adalah wakil resmi sifat berlebih-
lebihan.
15

Toleransi merupakan salah satu tata pikir yang diajarkan oleh Islam,
terutama toleransi mengenai beragama. Salah satu ajaran Islam yang
digariskan oleh Tuhan untuk menjadi pegangan kaum Muslimin dalam
kehidupan beragama ialah ayat yang berbunyi:
Artinya: Tidak ada paksaan dalam agama (karena) sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar dari jalan yang salah. Orang-orang
yang tidak percaya kepada thagut (berhala, syaithan dan
lain-lain) dari hanya percaya kepada Allah, sesungguhnya
dan telah berpegang kepada tali yang teguh dan tidak akan

15
Adeng Muchtar Ghazali, Agama dan Keberagamaan Dalam konteks Perbandingan
Agama, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2005), hlm. 18 19
19
putus. Tuhan itu mendengar dan mengetahui". (Q.S. Al-
Baqarah : 256).

Pada ayat tersebut di atas ditegaskan bahwa agama (Islam) tidak
mengenal unsur-unsur paksaan. Hal ini berlaku mengenai cara, tindak laku,
sikap hidup dalam segala keadaan dan bidang, dan dipandang sebagai satu hal
yang pokok. Islam bukan saja mengajarkan supaya jangan melakukan
kekerasan atau paksaan, tapi diwajibkannya pula supaya seorang Muslim
menghormati agama-agama lain dan menghargai pemeluk-pemeluknya dalam
pergaulan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa toleransi merupakan
prinsip yang dianjurkan Islam, dan sebaliknya fanatisme merupakan sikap
yang tidak diajarkan dalam Islam. Sebab arti kata "Islam" sebagaimana
diartikan oleh Mukti Ali adalah masuk dalam perdamaian, dan seorang
muslim adalah orang yang membikin perdamaian dengan Tuhan dan dengan
manusia.
16

B. Toleransi Beragama Pada Masa Rasulullah
Agama Islam diturunkan guna kepentingan umat manusia itu sendiri.
Karena itu Islam tidak memaksa seseorang untuk memeluk agama. Sebab
agama Islam bukanlah suatu ideologi yang kosong, atau suatu ideologi yang
mencari keuntungan dibaliknya.
17
Demikian pula Rasulullah sebagai utusan
Tuhan tidak pernah memaksa seseorang untuk memeluk agama yang
dibawanya, karena itu ia dikagumi baik oleh yang seagama maupun non Islam.
Itulah sebabnya Michael H. Hart mengatakan :
Sebuah contoh yang mencolok mata tentang hal ini ialah tata urutan
(rangking) yang saya susun yang menempatkan Muhammad lebih tinggi
daripada Jesus (Isa), terutama disebabkan karena keyakinan saya bahwa
Muhammad secara pribadi jauh lebih berpengaruh pada perumusan agama
yang dianut orang Islam, daripada Jesus pada perumusan agama
KristenJatuhnya pilihan saya kepada Muhammad untuk memimpin di
tempat teratas dalam daftar pribadi-pribadi yang paling berpengaruh di dunia

16
Mukti Ali, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, (Bandung: Mizan, 1991),
hlm. 50
17
Yunus Ali Almuhdar, Toleransi-Toleransi Islam, (Bandung: Iqra, 1983), hlm. 3 4
20
ini, mungkin mengejutkan beberapa pembaca dan mungkin pula
dipertanyakan oleh yang lain, namun dia memang orang satu-satunya dalam
sejarah yang telah berhasil secara unggul dan agung, baik dalam bidang
keagamaan maupun dalam bidang keduniaanTambahan pula, berbeda
dengan Jesus, Muhammad itu seorang pemimpin keduniaan dan sekaligus
keagamaan. Nyatanya, sebagai kekuatan yang mendorong kemenangan-
kemenangan orang-orang Arab (Muslim), dia seyogyanya menempati urutan
sebagai pemimpin politik yang paling berhasil sepanjang masa.
18


Keterangan di atas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW
sebagai nabi yang berhasil dalam segala bidang. Ia memiliki beberapa
keistimewaan antara lain tiga keistimewaan yang dimiliki oleh Muhammad
SAW daripada Rasul-rasul terdahulu.
Pertama, beliau adalah Nabi/Rasul terakhir. Tidak akan datang lagi
nabi dan rasul sesudahnya. Risalahnya sudah sempurna buat memimpin
manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat. Kedua, beliau adalah
nabi/rasul internasional. Risalahnya universal, ditujukan kepada seluruh
manusia, semua ras, bangsa dan bahasa, sampai ke ujung zaman. Ketiga,
Muhammad SAW adalah semulia-mulia Nabi dan Rasul daripada Nabi/Rasul
terdahulu. Dari sekian Rasul yang dikisahkan dalam al-Qur'an sejak dari
Adam a.s yang berjumlah 25 itu, maka lima di antaranya disebut Ulul Azmi
, artinya rasul-rasul yang terkenal keras kemauan dan cita-citanya. Mereka itu
ialah Muhammad SAW, Nuh AS, Ibrahim AS, Musa A.S., dan Isa A.S.
19

Menurut Philip K.Hitti, Muhammad adalah pembawa kitab yang
diyakini oleh seperdelapan penduduk bumi sebagai sumber ilmu pengetahuan,
kebijakan dan teologi.
20
Muhammad Husain Haekal menggambarkan
keteladanan Nabi Muhammad SAW dengan mengatakan:
Muhammad sendiri teladan yang baik sekali dalam melaksanakan
kebudayaan seperti dilukiskan al-Qur'an. Terlihat misalnya bagaimana
rasa persaudaraannya terhadap seluruh umat manusia dengan cara
yang sangat tinggi dan sungguh-sungguh itu dilaksanakan. Saudara-
saudaranya di Mekkah semua sama dengan dia sendiri dalam

18
Michhael H. Hart, 1994, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam sejarah,
Terj. Mahbub Djunaidi, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1998), hlm. 27, 33 dan 39.
19
Nasruddin Razak,, Dienul Islam, (Bandung: PT.al-Ma'arif, 1973), hlm. 194-195.
20
Philip K.Hitti, History of The Arabs, Terj. R.Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet
Riyadi, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005), hlm. 153
21
menanggung duka dan sengsara. Bahkan dia sendiri yang lebih banyak
menanggungnya.
21


Nabi besar Muhammad s.a.w., baik sebagai manusia biasa maupun
selaku pemimpin ummat dan negara senantiasa menunjukkan sikap bersahabat
terhadap pemeluk-pemeluk agama lain, yang mencerminkan sifat toleransi itu.
Perbedaan agama tidaklah menjadi halangan bagi beliau untuk mengunjungi
upacara-upacara perkawinan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Beliau
kerapkali menjenguk orang-orang yang kematian (ta'ziah) yang berlainan
agama. Beliau melihat mereka di waktu sakit, selalu berkunjung dan bertamu
kepada keluarga- keluarga orang-orang Yahudi dan Nasrani. Yang dilakukan
Nabi saat itu memberi nasihat-nasihat dengan bijak, misalnya sewaktu
mengunjungi yang sakit, maka Nabi menyuruh bersabar, ketika menjenguk
orang yang meninggal, maka Nabi menyuruh keluarganya untuk tabah.ketika
memasak masakan yang banyak, maka Nabi menyuruh istrinya memberi
kepada tetangga walaupun ia seorang Yahudi. Sebagaimana sabda Rasulullah
SAW:



Artinya: Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah Saw. berkata:
Wahai Abu Dzar, apabila kamu memasak gulai,
perbanyaklah kuahnya dan perhatikanlah tetanggamu. (HR.
al-Bukhari).

Tatkala suatu delegasi orang-orang Nasrani dan Najran datang
mengunjungi beliau, maka beliau membuka jubahnya dan membentangkannya
di atas lantai untuk tempat duduk tamunya itu, sehingga utusan-utusan tersebut
kagum terhadap penerimaan beliau yang begitu hormat. Seperti diketahui,
utusan-utusan itu akhirnya memeluk agama Islam bahkan menarik pula kaum
mereka masuk agama Islam. Jika pada suatu ketika beliau mengalami

21
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Terj. Ali Audah, (Jakarta:
Litera antar Nusa, 2003), hlm. 629
22
kesempitan dan memerlukan uang, maka biasanya beliau meminjam kepada
orang-orang yang beragama Nasrani atau Yahudi, walaupun Sahabat-sahabat
beliau yang akrab senantiasa siap-sedia meringankan kesulitan itu. Sengaja
beliau meminjam kepada orang-orang yang berlainan agama untuk
memberikan contoh yang bersifat pendidikan (edukatif) mempraktekkan sikap
dan sifat toleransi itu.
22

Menurut Nurcholish Madjid, kehadiran Nabi SAW sebagai pemilik
syari'at yang berwenang penuh dan menjadi referensi hidup serta teladan nyata
juga amat besar dalam penanggulangan setiap perselisihan.
23
Rasulullah
senantiasa menunjukkan jiwa besar menghadapi pemeluk-pemeluk agama lain
yang nyata-nyata melakukan sikap permusuhan terhadap beliau dan
ummatnya, tanpu terguris sedikit jugapun dalam hati beliau untuk membalas
dendam.

C. Toleransi Beragama Pada Masa Khulafa al-Rasyidin
Istilah Al-Khulafa Ar-Rasyidin menurut Abul Ala AI-Maududi adalah
sebutan terhadap empat dari para sahabat Nabi yang diangkat sebagai khalifah
secara bergantian. Umat Islam telah menanamkan sistem khilafah ini sebagai
"khilafah yang adil dan benar" (Al-Khulafa Ar-Rasyidin).
24
Oleh karena itu,
dari karakteristik kekhalifahan ini sedikitnya dapat diketahui bahwa Al-
Khulafa Ar-Rasyidin pada dasarnya bukan hanya merupakan suatu
pemerintahan politik, tetapi ia merupakan perwakilan sempurna dan
menyeluruh dari nubuwwah, yakni memiliki fungsi bukan hanya menjalankan
tatanan negara serta menjaga keamanan dan membela batas-batas negeri saja,

22
M. Yunan Nasution, Pegangan Hidup bagian Jilid 3, (Solo: Ramadhani, tt), hlm.
122-123.
23
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 2000), hlm. 164
24
Abul Ala Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Terj. Muhammad Al-Baqir,
(Bandung: Mizan 1996), hlm. 111.
23
tetapi ia juga memerankan kewajiban-kewajiban seorang mursyid, guru, dan
pendidik.
25

Setelah Rasulullah wafat maka politik toleransi menghadapi agama-
agama lain dan pemeluknya, begitu juga menghadapi musuh, dilanjutkan oleh
Khulafaur Rasyidin yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Toleransi dan
kebijaksanaan yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar Siddik (wafat 12
H/634 M), di antaranya tergambar dalam perintah-harian yang
disampaikannya kepada Panglima Usamah bin Zaid serta pasukannya, tatkala
Usamah diutus ke medan perang Ubna, di sebelah timur kota Syam. Beliau
mengeluarkan satu perintah yang dinamakan dengan istilah "larangan yang
sepuluh".
Abu Bakar Siddik mengatakan: "Saya amanahkan kepada kamu 10
(sepuluh) perkara, yang harus kamu pelihara sebaik-baiknya, yaitu:
1. Jangan berkhianat;
2. jangan membalas dendam;
3. jangan bertindak kejam;
4. jangan menyiksa orang;
5. jangan membunuh anak-anak;
6. jangan membunuh orang-orang tua;
7. jangan membunuh kaum wanita;
8. jangan menebang atau membakar pohon korma;
9. jangan menebang pohon yang sedang berbuah;
10. jangan menyembelih binatang ternak, kecuali jika perlu karena ketiadaan
makanan.
26

Kesepuluh larangan Khalifah Abu Bakar Siddik itu menunjukkan
toleransi yang harus dipelihara di zaman perang, apalagi di zaman damai.

25
Sistem ini yang membedakan dengan sistem kerajaan yang lebih bersifat dinasti
dan hanya bersifat politis. Hal ini dapat dibedakan melalui perjalanan keempat sahabat yang
terpilih menjadi khalifah (Al-Khulafa Ar-Rasyidin) dengan Bani Umayyah dengan sistem
kerajaan. Berkuasanya Muawiyah merupakan tahapan peralihan dari sistem khilafah ke sistem
kerajaan; Lihat A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid I, (Jakarta: AL-Husna Zikra,
1997), hlm. 309.
26
M. Yunan Nasution, Pegangan Hidup bagian Jilid 3, (Solo: Ramadhani, tt), hlm.
127 - 128
24
Umar ibn al-Khaththab, r.a. (wafat/terbunuh 22 H/ 644 M). Masa
pembebasan (fat'h) dalam ekspansi militer dan politik ke daerah-daerah luar
Jazirah Arabia. Islam menguasai "heart land" dunia yang terbentang dari
sungai Nil ke Oxus (Amudarya). Praktek pemerintahan 'Umar dianggap
contoh ideal pelaksanaan Islam sesudah masa Nabi, dan kelak menjadi bahan
rujukan utama dalam usaha pencarian preseden hukum Islam.
27
Di zaman
Khalifah Umar bin Khattab, beliau memperbuat dan memperluas perjanjian-
perjanjian persahabatan dengan pemeluk-pemeluk agama lain di negeri-negeri
yang baru dikuasai. Tatkala tentara Islam merebut kemenangan di Iliya'
(Baitulmakdis), Khalifah Umar bin Khattab sendiri berangkat ke kota itu
melakukan pasifikasi. Di sana beliau menandatangani satu perjanjian dengan
orang-orang Nasrani yang berisi jaminan terhadap jiwa, harta benda, gereja-
gereja, salib-salib dan lain-lain berkenaan dengan soal-soal antar-hubungan
agama. Gereja-gereja tidak boleh dijadikan asrama untuk tentara Islam, tidak
boleh dirusak atau diruntuhkan. Dalam perjanjian tersebut dilarang melakukan
tindakan kekerasan terhadap pemeluk-pemeluk agama Nasrani dan tindakan-
tindakan lainnya yang merugikan kepada mereka.
Ketika Khalifah Umar bin Khattab di kala itu sedang berada dalam
gereja Al-Qiamah, datanglah waktu bersembahyang. Beliau lantas keluar dari
dalam gereja itu dan bersembahyang pada suatu tempat di luar gereja tersebut.
Beliau menerangkan kepada pendeta gereja itu, bahwa sengaja beliau mencari
tempat bersembahyang di luar gereja untuk menghindarkan kekhawatiran agar
kaum Muslimin di belakang hari jangan menjadikan gereja jadi mesjid atau
tempat bersembahyang.
Di lapangan kehidupan sosial, banyak pula contoh-contoh toleransi
yang ditunjukkan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Pada suatu hari, beliau
bertemu dengan seorang Yahudi yang sudah tua dan lemah sedang meminta-
minta di tengah jalan. Beliau menuntun dan membawa Yahudi itu ke rumah
beliau sendiri dan diberikannya keperluan-keperluan yang dibutuhkan oleh
Yahudi tua itu. Kemudian diantarkannya Yahudi tua itu kepada pengurus Kas

27
Nurcholish Madjid, op. cit, hlm. 165
25
Negara (Baitulmal) dengan surat pengantar yang berbunyi: "Perhatikan dan
santunilah orang tua ini dan orang-orang lainnya yang menderita senasib
seperti itu. Tidaklah adil apabila di zaman mudanya dipungut pajak (jizyah)
daripadanya, dan kemudian di kala dia sudah tua dan lemah dibiarkan saja
hidup terlantar dan terlunta-lunta".
28

Diceriterakan pula dalam riwayat, bahwa seorang Yahudi pernah
mengadu kepada Umar bin Khattab karena Yahudi tersebut merasa
diperlakukan oleh Ali bin Abi Thalib dengan cara yang tidak pantas. Khalifah
Umar mengkonfrontir antara kedua orang yang bersengketa itu. Pada
kesempatan itu, Umar memberikan nasehat kepada Ali bin Abi Thalib supaya
memperlakukan pemeluk-pemeluk agama lain seperti perlakuan terhadap
pemeluk-pemeluk Islam. Ketika itulah keluar ucapan Umar bin Khattab yang
penuh mengandung hikmat, yang berbunyi: "Kenapakah anda memperlakukan
manusia sebagai seorang budak, pada hal manusia sama-sama dilahirkan dari
perut ibunya masing-masing dalam keadaan merdeka?".
29


D. Dialog Antar Umat Beragama
1. Pengertian dan Hakikat Dialog
Dialog selalu bermakna menemukan bahasa yang sama, tetapi
bahasa bersama ini diekspresikan dengan kata-kata yang berbeda. Dialog
didefinisikan sebagai pertukaran ide yang diformulasikan dengan cara
yang berbeda-beda. Oleh karena itu, setiap usaha mendominasi pihak lain
harus dicegah; kebenaran satu pihak tidak berarti ketidakbenaran di pihak
lain. Bahasa bersama lebih dari sekadar kemiripan pembahasan; dia
berdasarkan kesadaran akan masalah bersama, kita butuh alat untuk
mencapai landasan bersama.
30


28
M.Yunan Nasution, op. cit, hlm. 128
29
Ibid, hlm. 129
30
Adeng Muchtar Ghazali, Agama dan Keberagamaan dalam Konteks Perbandingan
Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm. 167
26
Akhir-akhir ini wacana tentang toleransi beragama, dialog antar
agama, pluralitas agama dan masalah-masalah yang mengitarinya semakin
menguat dan muncul ke permukaan. Buku-buku, tulisan- tulisan media
massa, dan acara-acara seminar, kongres, simposium, diskusi, dialog
seputar hubungan antarumat beragama semakin sering disaksikan dalam
berbagai tingkat, baik lokal, nasional, maupun internasional.
Kecenderungan menguatnya perbincangan seputar pluralitas agama dan
hubungan antarumat beragama ini akan semakin kuat di masa-masa
mendatang dan tidak akan pernah mengalami masa kadaluarsa. Sebab
topik ini adalah topik yang selalu aktual dan menarik bagi siapa pun yang
mencita-citakan terwujudnya perdamaian di bumi ini.
Banyak hal yang melatarbelakangi mengapa wacana ini semakin
marak. Di antaranya:
Pertama, perlunya sosialisasi bahwa pada dasarnya semua agama
datang untuk mengajarkan dan menyebarkan damai dan perdamaian dalam
kehidupan umat manusia. Kedua, wacana agama yang pluralis, toleran,
dan inklusif merupakan bagian tak terpisahkan dari ajaran agama itu
sendiri. Sebab pluralitas apa pun, termasuk pluralitas agama, dan
semangat toleransi dan inklusivisme adalah hukum Tuhan atau
sunnatullah yang tidak bisa diubah, dihalang-halangi, dan ditutup-tutupi.
Oleh karena itu, wacana pluralitas ini perlu dikembangkan lebih lanjut di
masyarakat luas. Hal ini bukan untuk siapa-siapa, melainkan demi cita-
cita agama itu sendiri, yaitu kehidupan yang penuh kasih dan sayang
antarsesama umat manusia. Ketiga, ada kesenjangan yang jauh antara cita-
cita ideal agama-agama dan realitas empirik kehidupan umat beragama di
tengah masyarakat. Keempat, semakin menguatnya kecenderungan
eksklusivisme dan intoleransi di sebagian umat beragama yang pada
gilirannya memicu terjadinya konflik dan permusuhan yang berlabel
agama. Kelima, perlu dicari upaya-upaya untuk mengatasi masalah-
masalah yang berkaitan dengan kerukunan dan perdamaian antarumat
beragama. Beberapa latar belakang di atas menjadi sebab mengapa tema
27
pluralitas agama dan cita-cita kerukunan menjadi semakin menarik untuk
dikaji dan didalami.
31

Lebih jauh, berdasarkan analisis Hugh Goddard, penulis dapat
menyimpulkan bahwa akar dan sumber konflik adalah berikut ini.
1. Karena "ketidaktahuan". Di antara penganut agama, khususnya
Kristen-Islam yang saling tidak tahu-menahu jauh lebih besar
dibandingkan mereka yang saling pengertian. Ketidaktahuan tentang
ajaran agama orang lain, dicontohkan kalangan kaum muslim bahwa
orang Kristen menyembah tiga Tuhan. Bagaimana pun, pandangan ini
akan ditolak oleh sebagian besar orang Kristen dan sesuai dengan
keyakinan Kristen yang sesungguhnya, harus dikatakan bahwa
pandangan ini didasarkan atas ketidaktahuan. Saling ketidaktahuan ini
menjadi rintangan untuk mencapai saling pengertian di antara
penganut agama yang berbeda.
2. Ada hubungannya dengan yang pertama, akibat ketidaktahuan itu,
hubungan antara umat beragama yang berbeda, khususnya muslim
dengan Kristen adalah penerapan 'standar ganda'. Dengan kata lain,
kaum muslim dan Kristen masing-masing menerapkan serangkaian
standar atau kriteria untuk keyakinannya sendiri dan serangkaian
standar yang sama sekali berbeda untuk kepercayaan orang lain.
32

Penerapan standar ganda, sebenarnya bukan merupakan persepsi
baru. Karl Marx yang pertama kali menerapkan standar ganda itu sehingga
menarik perhatian ' teolog, menegaskan bahwa kepercayaannya sendiri
berasal dari Tuhan, sedangkan kepercayaan orang lain hanyalah konsepsi
manusia, sebagaimana terungkap dalam bukunya The Poverty of
Philosophy.
33


31
Nur Achmad (ed), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta:
Penerbit Kompas, 2001), hlm. ix
32
Huge Goddard, Menepis Standar Ganda: Membangun Saling Pengertian Muslim-
Kristen, Terj. Ali Noerzaman, (Yogyakarta: Qalam, 2000), hlm. 2 3.
33
Ibid, hlm. 3
28
Dari sudut pandang lain bahwa pada umumnya konflik yang
mengatasnamakan agama disebabkan oleh penyimpangan arah proses
sosial yang berkorelasi logis dengan bentuk-bentuk menyimpang interaksi
sosial antarumat beragama. Apabila agama adalah cinta dan kasih,
interaksi sosial antarumat beragama mestinya didasarkan pada prinsip-
prinsip cinta dan kasih itu.
2. Dialog Dalam Pendekatan Ilmu Perbandingan Agama
Terjadinya dialog atau proses dialog ada hubungannya dengan
pemahaman agama orang lain yang bukan hanya memahami agama kita
sendiri. Oleh karena itu, memahami agama orang lain adalah penting bagi
para pelaku dialog, sehingga tidak terjadi salah pengertian dan dialog pun
berjalan secara harmonis. Secara akademik, memahami agama orang lain
dapat dilakukan salah satunya, melalui ilmu perbandingan agama. Melalui
disiplin ini pula, para penganut agama yang berbeda dapat terjalin saling
pengertian, saling menghormati dan saling menjunjung tinggi nilai-nilai
moral dan nilai-nilai universal yang ada pada masing-masing agama.
Sebab, kedua nilai itu merupakan "esensi kemanusiaan" yang diajarkan
semua agama.
Untuk memahami agama orang lain haruslah pemahaman yang
bersifat integral bukan parsial. Oleh karena itu, diperlukan beberapa
persyaratan dan kelengkapan,
1. Sifatnya intelektual. Untuk memahami agama atau fenomena agama
secara menyeluruh, informasi yang penuh perlu dimiliki. Salah satu
kelengkapan intelektual yang sangat penting adalah mempelajari dan
memahami bahasa agama.
2. Kondisi emosional yang cukup. Dalam memahami agama orang lain,
harus ada feeling, perhatian, matexis, atau partisipasi. Salah satu cara
untuk menimbulkan rasa simpati adalah dengan bergaul dengan
mereka yang berbeda agama.
29
3. Kemauan. Kemauan orang yang ingin mempelajari agama orang lain
harus diorientasikan ke arah tujuan yang konstruktif.
34

Yang harus dijadikan patokan oleh Ilmu Perbandingan Agama,
mengutip pandangan Husein Shahab adalah kriteria-kriteria filosofis tanpa
terjebak oleh simbol-simbol agama. Apabila seorang penganut keyakinan
mengukur keyakinan agama lain melalui kacamatanya sendiri,
penilaiannya mengandung banyak unsur subjektivisme, dan hal demikian
pasti akan menimbulkan kontradiksi; Apabila Realitas Tertinggi pada
hakikatnya adalah satu, secara otomatis, prinsip-prinsip filosofis yang
digunakan semua agama adalah satu juga. Inilah yang harus dijadikan
kriteria. Yang seharusnya dipertahankan bukanlah simbol agama,
melainkan kebenaran yang sebenarnya dikejar oleh setiap (penganut)
agama.
35

Apabila fenomena beragama komunitas manusia seperti di atas,
konflik beragama mustahil ada. Kalaupun terjadi, konflik tidak timbul
karena miskonsepsi penganut tentang kebenaran, melainkan pada faktor-
faktor kepentingan eksternal, seperti politik dan ekonomi. Kalau seorang
pastor duduk dengan seorang ulama, bila keduanya benar-benar
memahami prinsip-prinsip universal, konflik agama tidak akan ada.
Sebab, yang dikejar oleh kedua pihak adalah kebenaran sejati. Jadi, tidak
perlu ada seorang Kristiani berjiwa muslim atau seorang muslim berjiwa
Kristiani agar tercipta hubungan harmonis antarumat beragama.
36

Ilmu Perbandingan Agama sangat berperan dalam proses
menciptakan dan memelihara kultur kebersamaan antarpemeluk agama.
Hal ini dilakukan, misalnya, dalam bentuk dialog, baik bilateral maupun
multilateral, baik lokal, regional maupun internasional. Pada tahun 1958,
di Tokyo, diadakan kongres internasional oleh The International

34
A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999),
hlm. 61-63.
35
Husein Shahab, "Kata Pengantar" dalam Andito (Editor), Atas Nama Agama:
Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 23.
36
Ibid, hlm. 23 24.
30
Association for The History of Religions yang merupakan kongres
kesembilan dan yang pertama diadakan di luar Eropa. Dalam kongres itu,
Friedrich Heiler menyampaikan uraian tentang The History of Religions as
a Way to Unity of Religions yang menerangkan bahwa "memberi
Penerangan tentang kesatuan semua agama merupakan salah satu dari
tugas-tugas yang amat penting dari Ilmu Perbandingan Agama".
Ilmu perbandingan agama merupakan pencegah yang paling baik
melawan eksklusivisme, karena di dalamnya ada cinta; di mana ada cinta,
di situ ada kesatuan dalam jiwa. Betapa dekatnya agama-agama itu satu
sama lain; dengan membandingkan strukturnya, keyakinan dan amalan-
amalannya, ia dibawa kepada sesuatu yang "transenden" yang melampaui
semua, namun tetap imanen dalam hati manusia.
37


E. Toleransi di Indonesia
Menjelang tutup tahun 1996, bangsa Indonesia dihentakkan oleh tiga
peristiwa kekerasan yang digolongkan sebagai SARA (suku, agama, ras, dan
antargolongan). Kerusuhan terakhir terjadi di Sanggau Ledo, Kabupaten
Sambas, Kalimantan Barat, pada 30 Desember 1996 dengan akibat lima orang
tewas dan ratusan warga harus diungsikan. Kedua peristiwa lainnya di tahun
1996 terjadi di daerah basis Nahdlatul Ulama (NU) di Jawa. Pertama,
peristiwa kerusuhan yang melanda Situbondo pada 10 Oktober 1996. Dalam
peristiwa ini terjadi perusakan rumah-rumah ibadah non-Islam oleh Sejumlah
massa yang mengamuk. Kerugian ditaksir Rp 629 juta. Sejumlah orang yang
disangka perusuh telah ditangkap dan ditahan, bahkan sejak 16 Desember
1996 telah mengadili 10 tersangka. Salah seorang tersangka yang ditahan telah
meninggal dunia. Keterangan pihak aparat keamanan menyatakan bahwa
tersangka itu meninggal dunia akibat sakit.
38

Kedua, ledakan kerusuhan yang melanda Tasikmalaya pada 26-27
Desember 1996. Berawal dari penganiayaan terhadap guru sebuah pesantren

37
Mukti Ali, op.cit, hlm. 84-85
38
Nur Achmad (Editor), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta:
kompas, 2001), hlm. 35-39.
31
yang kemudian berbelok menjadi kerusuhan anti-polisi serta sekaligus
perusakan rumah-rumah ibadah non-Islam, anti-Cina dan perusakan dan
pembakaran harta benda. Kerusuhan ini sempat merembet ke Ciawi. Bupati
Tasikmalaya mengungkapkan kerugian material ditaksir Rp 84,963 miliar.
Dari peristiwa-peristiwa itu, perlu disimak dengan arif dan jernih
karena awalnya bukanlah masalah perbedaan SARA, namun ujungnya
bermuara pada SARA. Hal yang patut ditelusuri adalah keindonesiaan yang
berbaur dalam keanekaragaman suku, etnis, ras, dan agama pada dasarnya tak
punya akar secara politik, namun dengan gampang memercikkan api.
Setidaknya bisa menduga bahwa sumbernya bukan ihwal SARA.
Peristiwa-peristiwa di atas akan lebih lengkap bila menengok
peristiwa sejak jatuhnya kekuasaan Orde Baru, setiap hari masyarakat banyak
disuguhi berita yang cukup mengejutkan seperti keberingasan dan agresivitas
massa bernuansa SARA (agama) yang terjadi di beberapa daerah, baik dalam
skala masif seperti di Maluku, Ambon maupun bersifat insidental seperti di
Mataram dan Doulas Cipayung.
39

Selain dari ayat al-Qur'an yang menerangkan tentang perintah toleransi
juga Nabi saw sendiri telah menguatkan dalam berbagai macam sabda yang
menganjurkan untuk selalu bertoleransi, misalnya dengan bersikap lemah
lembut terhadap sesama manusia. Hal ini sebagaimana sabda beliau sebagai
berikut:
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Muhammad bin al-
Musanna dari Yahya bin Said dari Sufyan dari Mansyur
dari Tamim bin Salamah dari Abdurrahman bin Hilal
dari Jarir, dari nabi s.a.w. beliau bersabda: "Barangsiapa

39
Syamsul Ma'arif, Pendidikan Pluralisme Di Indonesia, (Yogyakarta: Logung Pustaka,
2005), hlm. 13-14.
40
Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahh Muslim,
Juz. 4, Mesir: Tijariah Kubra, tt., hlm. 22.
32
yang terhalang bersikap lembut, maka berarti dia
terhalang dari kebajikan (HR. Muslim)


Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Ishaq dari Jarir dari
al-'Amasyi dari tamim bin Salamh dari Abdurrahman bin
Hilal al-'Absi, dia berkata: Aku pernah mendengar Jarir
bin Abdullah berkata: Aku pernah mendengar Rasulallah
s.a.w. bersabda: "Barangsiapa yang terhalang bersikap
lembut, maka berarti dia terhalang dari kebajikan (HR.
Muslim)


Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Yahya
dari Abdul Wahid bin Ziad dari Muhammad bin Abi
Ismail dari Abdurrahman bin Hilal, dia berkata: "Saya
pernah mendengar Jarir bin Abdullah berkata:
"Rasulallah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa yang
terhalang bersikap lembut, maka berarti dia terhalang
dari kebajikan. Atau barangsiapa yang dihalangi dari
sikap lembut, maka berarti dia dihalangi dari kebajikan
(HR. Muslim).

Apabila diperhatikan hadis-hadis di atas, dapat dimengerti bahwa Nabi
saw adalah seorang yang paling tinggi budi pekertinya. Nabi saw berwasiat
sedemikian ini agar dapat dijadikan sebagai pedoman oleh umatnya untuk
selalu bertoleransi kepada siapa saja walaupun hal itu kepada musuh.


41
Ibid.,
42
Ibid.,
33
BAB III
TOLERANSI BERAGAMA MENURUT NURCHOLISH MADJID


A. Biografi Nurcholish Madjid
1. Latar Belakang Nurcholish Madjid
Nurcholish Madjid dilahirkan di Desa Mojoanyar, Jombang, Jawa
Timur. la lahir pada tanggal 17 Maret 1939 M/26 Muharram 1358 H, dari
kalangan keluarga pesantren. Ayahnya bernama H. Abdul Madjid, seorang
alim Pesantren Tebuireng, dan murid kesayangan Hadratus Syekh K.H.
Hasyim Asyari, Ra'is Akbar dan pendiri NU. Pendidikan yang
ditempuhnya dimulai di dua sekolah tingkat dasar, yaitu di Sekolah
Rakyat (SR) pada pagi hari dan di Madrasah Al-Wathaniyah (madrasah
milik ayahnya) pada sore hari, kedua sekolah tersebut terletak di
Mojoanyar, Jombang.
1

Pada usianya yang ke-21, (tahun 1960), Nurcholis Madjid
menyelesaikan pendidikannya di Pondok Pesantren Modern Gontor dan
pada tahun itu pula ia sempat mengabdikan dirinya sebagai pengajar di
pesantren yang telah membesarkannya selama kurang lebih satu tahun.
2

Ditilik dari pendidikan dasar dan menengah yang diterimanya,
dapat dilihat bahwa Nurcholish Madjid dididik dalam ilmu-ilmu
keislaman, ditambah dengan kemampuan berbahasa internasional Arab-
Inggris, ia dapat mengakses bacaan buku-buku umum yang cukup luas,
termasuk literatur asing Arab maupun Inggris dan khazanah kitab-kitab
klasik.
Nurcholish Madjid berhasil menyelesaikan program sarjana
lengkapnya pada tahun 1966, dengan menulis skripsi; Al-Quran,

1
Greg Berton, Gagasan Islam Liberal Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish
Madjid, Djohan Effendi Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, terj. Nanang Tahqiq, (Jakarta:
Paramadina, 1999), Cet ke-1, hlm. 74.
2
Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Muslim, (Bandung: Mizan, 198)4, hlm. 24.
34
Arabiyyun Lughatan wa 'Alamiyyun Ma'nan, yang maksudnya adalah Al-
Quran dilihat secara bahasa bersifat lokal. sedangkan dari segi makna
mengandung sifat universal (ditulis dengan menggunakan bahasa Arab).
3

Skripsi yang disusunnya ini semakin menunjukkan kecenderungannya
terhadap hal-hal tersebut di atas. Di sisi lain, skripsi itu juga menunjukkan
kecenderungannya untuk melakukan analisis filosofis-inklusufistik
terhadap ajaran dasar agama Islam.
4

Setelah menyelesaikan program sarjana, Nurcholish Madjid
menjadi tenaga pengajar di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus
bekerja di LEKNAS/LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) sebagai
peneliti. Setelah beberapa tahun mengajar di almamaternya tersebut,
Nurcholish Madjid tertarik untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang
lebih tinggi, yakni tingkat doktoral di Chicago University, Amerika
Serikat, antara tahun 1978-1984. Pada mulanya, ia belajar ilmu politik
yang menurutnya bersifat instrumental. Lalu, setelah merasa cukup
dengan ilmu politik, ia pindah ke bidang filsafat dan pemikiran Islam.
Pendidikan doktoralnya dilalui selama enam tahun, dengan menulis
disertasi berjudul Ibnu Taimiyah on Kalam and Falsafah: Problem of
Reason and Revelation in Islam
5

Genap satu tahun, tepatnya pada hari Senin, 25 Agustus 2005 yang
lalu, di rumah sakit Pondok Indah Jakarta, Allah telah memanggil kembali
hambanya, Prof. Dr. Nurcholish Madjid atau yang akrab di sapa Cak Nur
dalam usia 66 tahun. Bangsa Indonesia jelas telah kehilangan salah
seorang tokoh multidimensi yang cerdas dan bijak. Tanpa bermaksud
mencampuri rahasia Allah, Cak Nur dikenal oleh masyarakat luas sebagai

3
Ibid., hlm. 24.
4
Paham inklusufisme ini semakin berkembang lantaran pergaulannya yang begitu dekat
dengan almarhum Buya Hamka selama lima tahun. Ketika itu sebagai mahasiswa, Nurcholish
Madjid tinggal di asrama Masjid Agung al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta, la sering
mengemukakan respek dan kekagumannya pada Buya Hamka yang dinilainya mampu
mempertemukan pandangan kesufian, wawasan budaya, dan semangat Al Quran sehingga dakwah
dan paham keislaman yang ditawarkannya sangat menyentuh dan efektif untuk Masyarakat Islam
kota, Lihat Komaruddin Hidayat, loc. cit
5
Nurcholish Madjid, Tidak Ada Negara Islam: Surat Menyurat Antara Nurcholish Madjid
dan Moehammad Roem, op. cit., hlm.12.
35
tokoh yang berhati bersih "seputih kapas dan selembut awan". Ucapannya
pun lembut, santun serta jarang melukai orang lain, kendati orang itu
sedang dikritiknya.
6

Namun, dibalik kelembutan hatinya, salah satu organ tubuhnya
(hepar) Cak Nur justru sering mengalami gangguan dalam beberapa tahun
terakhir. Ya, organ hatinya mulai mengeras, dan sejumlah dokter
menyebutnya terserang hepatisis. Ketika organ vitalnya itu kian mengeras,
Cak Nur tak bisa menolak ketika rekan-rekannya dipelopori oleh Arifin
panigoro membawanya berobat ke Cina. Apalagi dokter yang
merawatnya menganjurkan agar Cak Nur menjalani operasi tranplantasi
hati. Maka, tanggal 3 Juli 2004, atau dua had menjelang pemilihan
presiden tahap pertama, Cak Nur menjalani operasi tersebut di RS Ghuang
Cho, Cina.
Setiba di tanah air, kesehatan Cak Nur masih belum membaik.
Terpaksa ia menjalani perawatan intensif di National University Hospital
Singapura, sejak 19 Agustus 2004. Sempat membaik hingga beberapa
bulan, Cak Nur kembali harus menjalani perawatan di RS Pondok Indah
Jakarta Selatan, sejak awal Pebruari 2005 lalu. Itu karena organ hati yang
baru dicangkokkan ke tubuhnya mengalami gangguan yang sama
mengeras. Sejak awal bulan agustus 2005 yang lalu, dia harus balik lagi ke
rumah sakit yang sama, ketika penyakitnya makin parah, dan Allah pun
tak ingin menambah penderitaan Cak Nur dengan cara memanggilnya
agar segera bisa menghadap di sisi-Nya.
7


2. Karyanya

Nurcholish Madjid dapat dikelompokkan sebagai seorang
cendekiawan Muslim Indonesia yang produktif. Kajian dan penelusuran
terhadap karya-karya Nurcholish Madjid dianggap perlu dalam rangka

6
Mohammad Masrur, "Mengenang Cak Nur: Dari Pembaharu Sampai Guru Bangsa"
dalam Jurnal Wahana Akademika, Volume 8, Nomor 2 Agustus 2006, Semarang: Koordinator
Perguruan Tinggi Agama Islam Wilayah X Jawa Tengah, hlm. 337.
7
Ibid., hlm. 337.
36
mencari mata rantai gagasan dan pemikirannya, serta hubungannya
dengan konsep-konsep pembaruan yang menjadi bahasan sentral tulisan
ini. Dalam pembahasan ini, karya-karya yang dihasilkan Nurcholish
Madjid, baik berupa buku, artikel atau tinjauan buku, tidak akan diungkap
dan dijelaskan semua. Pembahasan hanya akan ditekankan kepada
beberapa karyanya yang dianggap mewakili gagasan-gagasan sentralnya.
Karya Nurcholish Madjid yang telah beredar adalah sebagai berikut:
8

Khazanah Intelektual Islam (1984). Karya suntingan ini
dimaksudkan untuk memperkenalkan salah satu segi kejayaan Islam di
bidang pemikiran, khususnya yang berkaitan dengan filsafat dan teologi.
Nurcholish Madjid memperkenalkan tokoh-tokoh Muslim klasik, seperti
Al-Kindi, Al-Asy'ary, Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn
Taimiyyah, Ibn Khaldun, Al-Afghani, dan Muhammad Abduh.
Sebagaimana dikatakan secara "jujur" oleh Nurcholish Madjid, buku ini
merupakan sekadar pengantar pemikiran kepada kajian yang lebih luas
dan mendalam tentang kha2anah kekayaan pemikiran Islam.
9

Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan (1987). Eksistensi buku
ini mampu menunjukkan "giginya" dengan beberapa kali cetak ulang.
Buku ini hanya semacam kumpulan tulisan yang "tercecer" yang dikemas
dalam rentang waktu dua dasawarsa sebagai wujud respon terhadap isu-
isu yang berkembang saat itu. Signifikansi buku ini terlihat dengan jelas
bagaimana Nurcholish Madjid "menganyam" pemikiran dalam gagasan-
gagasan di sekitar kemodernan, keislaman, dan keindonesiaan. Di bawah
prinsip "untuk mencari dan terus mencari kebenaran", bahwa Tuhan
adalah kebenaran yang mutlak.
10

Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (1992). Sebuah buku

8
Junaidi Idrus, Rekonstruksi Pemikiran Nurcholish Madjid Membangun Visi dan Misi
Baru Islam Indonesia, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004), hlm. 50-55
9
Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta Bulan Bintang, 1984, hlm. v-vi
10
Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987),
hlm. 1
37
yang menunjukkan "kesempurnaan" dan kelengkapan muatan isinya,
bukan karena jumlah halamannya tetapi perspektif yang utuh dan
komprehensif sekaligus merupakan karya monumentalnya. Franz Magnis
Suseno, seorang rohaniawan Katolik mengomentarinya, sebagai buku
tentang 'Islam Ideal' yang memuat secara mendalam dan substantif
argumen-argumen pembaruan Islam di Indonesia yang dirintisnya sejak
tahun 70-an.
11
Di dalamnya terungkap "misteri" tema Tauhid dan
Emansipasi Harkat Manusia, disiplin ilmu keislaman tradisional,
membangun masyarakat etis serta universalisme Islam dan kemodernan.
Dalam pengantarnya, Nurcholish Madjid menyebutkan bahwa
agama Islam mengajarkan manusia untuk menjaga dirinya di masa datang
untuk keselamatan dunia dan akhirat. Selanjutnya Nurcholish Madjid
memaparkan lebih jauh bagaimana manusia mempunyai tujuan hidup
yang transendental berdasarkan Iman yang dinyatakan dalam bentuk amal,
kebajikan sosial, menciptakan masyarakat egaliter dan inklusif dalam
mencari kebenaran dan keadilan.
12

Islam, Kerakyatan dan Keindonesiaan: Pikiran-pikiran Nurcholish
Madjid "Muda" (1994). Sebagaimana terungkap dalam buku Islam
Kemodernan dan Keindonesiaan, dalam buku ini Nurcholish Madjid
berbicara mengenai keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan, dengan
penekanan bagaimana menciptakan masyarakat berkeadilan dengan nilai-
nilai tauhid.
Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi
Doktrin Islam dalam Sejarah (1995). Dalam buku refleksi ini pemikiran-
pemikiran Nurcholish Madjid lebih tertuang dan terarah pada makna dan
implikasi penghayatan iman terhadap perilaku sosial. Lebih jauh
Nurcholish Madjid menyatakan bahwa sejarah umat Islam mengalami

11
Franz Magnis Suseno, Nurcholish Madjid, Islam dan Modernitas, dalam Mengkaji
Ulang Pembaharuan Pemikiran Islam: Respon dan Kritik terhadap Gagasan Nurcholish Madjid,
Ulumul Qur'an, (Jakarta: 1993), hlm. 36
12
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000),
hlm. xxxix
38
perkembangan dan sekaligus distorsi di tangan umat Islam sendiri
sehingga menjadi mitos dan dongeng. Diungkapkan oleh Komaruddin
Hidayat, sebagai "kata pengantar", Nurcholish Madjid menunjukkan
konsistensinya sebagai pemikir yang apresiatif, memiliki akses intelektual
terhadap khazanah Islam klasik, dan tetap konsisten dengan cita-cita
humanisme dan modernisme Islam. Ditambah lagi kesempurnaan
Nurcholish Madjid dengan wawasan kesejarahan dan sosiologis telah
memungkinkan Nurcholish Madjid menyuguhkan interpretasi doktrin
Islam yang terbebas dari pemihakan kepada kepentingan politik praktis.
13

Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru
Islam Indonesia (1995). Sebagaimana buku Islam Doktrin dan Peradaban,
buku ini memiliki mainstream yang sama, yaitu menghadirkan ajaran
Islam secara lebih human, adil, inklusif, dan egaliter. Perbedaannya
Nurcholish Madjid menyuguhkannya dengan gaya yang lebih
kosmopolit.dan universal dan mempertimbangkan aspek kultural paham-
paham keagamaan yang berkembang. Muhammad Wahyuni Nafis dalam
kata pengantar buku ini menyatakan Nurcholish Madjid mengajak
bagaimana memahami mana yang benar-benar agama yang karenanya
bersifat mutlak dan mana yang benar-benar sebagai budaya yang
karenanya relatif dan sementara sifatnya.
14

Masyarakat Religius (1997). Buku ini dengan muatan lima bab
mengetengahkan Islam dan konsep kemasyarakatan, komitmen pribadi
dan sosial, konsep keluarga Muslim, prinsip medis dan kesehatan keluarga
Muslim serta konsep mengenai eskatologis dan kekuatan supraalami.
Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai lslam Dalam Wacana Sosial
Politik Kontemporer (1997). Karya Nurcholish Madjid ini "hanya" sebuah
wawancara, sehingga berbeda dengan buku Nurcholish Madjid lainnya.

13
Komaruddin Hidayat, "Kata Pengantar", Dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama
Peradaban, Membangun Makna Dan Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta:
Paramadina, 2000), hlm. xvi-xvii.
14
Muhammad Wahyuni Nafis, "Kata Pengantar", Dalam Nurcholish Madjid, Islam
Agama Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. vii.
39
Wawancara ini pernah dimuat dalam berbagai media massa sekitar tahun
1970 sampai 1996 dengan tema yang sangat beragam dan spontan,
meliputi berbagai persoalan aktual; politik, budaya, pendidikan, sampai
peristiwa 27 Juli "kelabu". Fachry Ali seorang pengamat politik dalam
kata pengantar buku ini mengomentari, "sangat menarik dan menjadi
pendukung penting untuk dapat menangkap semua gagasan yang pernah
dilontarkan Nurcholish Madjid"
15

Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi (1999). Sebuah karya
Nurcholish Madjid yang dapat dikatakan merupakan perjalanan panjang
pandangan sosial politik Nurcholish Madjid dalam wacana perpolitikan
Islam di Indonesia. Buku ini berisi semua gagasan dalam pembaruan
pemikiran yang pernah dilontarkan Nurcholish Madjid dalam berbagai
bidang tranformasi nilai-nilai Al-Qur'an dalam mewujudkan masyarakat
madani istilah ini semakin populer dalam wacana intelektual Indonesia
saat ini.
Dari karya-karya tulis Nurcholish Madjid yang telah disebutkan,
ada satu karakteristik kuat yang dapat diangkat ke permukaan. Semuanya
berangkat dari keprihatinan yang mendalam terhadap kondisi umat Islam.
Dari sikap itu, Nurcholish Madjid lalu mengajukan alternatif agar Islam
menjadi agama yang benar-benar fungsional dalam kehidupan. Untuk itu,
Al-Qur'an dan Sunnah Nabi harus ditafsirkan secara kreatif, kritis dan
bertanggung jawab serta dipahami secara keseluruhan dengan
menggunakan metode filosofis sehingga nilai-nilai universal yang
dikandungnya mampu menjadi landasan yang kukuh bagi segala tindakan
umat, dan dapat sesuai dengan kehidupan konkret. Nurcholish Madjid
tidak diragukan lagi telah memberikan kontribusi yang cukup berharga
bagi pengembangan wacana keislaman modern, khususnya di Indonesia.


15
Fachry Ali, dan Bachtiar Effendi, 1997, "Intelektual, Pengaruh Pemikiran dan
Lingkungannya" dalam Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan, Artikulasi Nilai Islam dalam
Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm xxi-xxiii
40
B. Pendapat Nurcholish Madjid tentang Toleransi Beragama
1. Nilai keislaman dalam Asas Kerukunan Antar Umat Beragama
Mendiskusikan masalah asas kerukunan antar umat beragama,
berarti langsung atau tidak langsung kita telah mengasumsikan adanya
kemungkinan berbagai penganut agama bertemu dalam suatu landasan
bersama (common platform). Maka sekarang pertanyaannya ialah, adakah
titik-temu agama-agama itu? Pertanyaan yang hampir harian itu kita
ketahui mengundang jawaban yang bervariasi dari ujung ke ujung, sejak
dari yang tegas mengatakan "ada", kemudian yang ragu dan tidak tahu
pasti secara skeptis atau agnostis, sampai kepada yang tegas
mengingkarinya. Mungkin, mengikuti wisdom lama, yang benar ada di
suatu posisi antara kedua ujung itu, berupa suatu sikap yang tidak secara
simplistik meniadakan atau mengadakan, juga bukan sikap ragu dan penuh
kebimbangan.
16

Karena kita bangsa Indonesia sering membanggakan atau
dibanggakan sebagai bangsa yang bertoleransi dan berkerukunan agama
yang tinggi, maka barangkali cukup logis jika jawaban atas pertanyaan di
atas kita mulai dengan suatu sikap afirmatif. Sebab logika toleransi,
apalagi kerukunan, ialah saling pengertian dan penghargaan, yang pada
urutannya mengandung logika titik-temu, meskipun, tentu saja, terbatas
hanya kepada hal-hal prinsipil. Hal-hal rinci, seperti ekspresi-ekspresi
simbolik dan formalistik, tentu sulit dipertemukan. Masing-masing agama,
bahkan sesungguhnya masing-masing kelompok intern suatu agama
tertentu sendiri, mempunyai idiomnya yang khas dan bersifat esoterik,
yakni, "hanya berlaku secara intern".
17

Karena itulah ikut-campur oleh seorang penganut agama dalam
urusan rasa kesucian orang dari agama lain adalah tidak rasional dan
absurd. Misalnya, agama Islam melarang para penganutnya berbantahan

16
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan visi Baru
Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 91.
17
Ibid.,
41
dengan para penganut kitab suci yang lain melainkan dengan cara yang
sebaik-baiknya, termasuk menjaga kesopanan dan tenggang rasa
disebutkan kecuali terhadap yang bertindak zalim dan orang Islam
diperintahkan untuk menegaskan bahwa kita semua, para penganut kitab
suci yang berbeda-beda itu, sama-sama menyembah Tuhan Yang Maha
Esa dan sama-sama pasrah kepada-Nya. Bahkan biarpun sekiranya kita
mengetahui dengan pasti bahwa seseorang lain menyembah sesuatu obyek
sesembahan yang tidak semestinya, bukan Tuhan Yang Maha Esa (sebagai
sesembahan yang benar), kita tetap dilarang untuk berlaku tidak sopan
terhadap mereka itu. Sebab, menurut al-Qur'an, sikap demikian itu akan
membuat mereka berbalik berlaku tidak sopan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, sesembahan yang benar, hanya karena dorongan rasa permusuhan
dan tanpa pengetahuan yang memadai. Terhadap mereka inipun pergaulan
duniawi yang baik tetap harus dijaga, dan di sini berlaku adagium "bagimu
agamamu dan bagiku agamaku. Ungkapan ini bukanlah pernyataan yang
tanpa peduli dan rasa putus asa, melainkan karena kesadaran bahwa
agama tidak dapat dipaksakan, dan bahwa setiap orang, lepas dari soal
agamanya apa, tetap harus dihormati sebagai manusia sesama makhluk
Tuhan Yang Maha Esa. Sebab Tuhan sendiripun menghormati manusia,
anak cucu Adam di mana saja.
18

Sementara demikian itu ajaran tentang hubungan dan pergaulan
antar umat beragama suatu hubungan dan pergaulan berdasarkan
pandangan bahwa setiap agama dengan idiom atau syir'ah dan minhaj
masing-masing mencoba berjalan menuju kebenaran maka para penganut
agama diharapkan dengan sungguh-sungguh menjalankan agamanya itu
dengan baik. Agaknya sikap yang penuh inklusifisme ini harus kita
pahami betul, demi kebaikan kita semua. Bahwa setiap pemeluk agama
diharapkan mengamalkan ajaran agamanya dengan sungguh-sungguh, dari
sudut pandang Islam dapat dipahami dan sederetan firman Tuhan tentang
kaum Yahudi, Nasrani, dan Muslim sendiri. Kemudian untuk umat-umat

18
Ibid., hlm. 92.
42
yang lain, seperti telah diteladankan oleh para 'ulama' dan umara' lslam
zaman klasik, dapat diterapkan penalaran analogis.
19

Untuk kaum Yahudi telah diturunkan Kitab Taurat yang memuat
petunjuk dan jalan terang, dan yang digunakan sebagai sumber hukum
bagi kaum Yahudi oleh mereka yang pasrah kepada Tuhan, dan oleh para
pendeta dan sarjana keagamaan mereka. Mereka harus menjalankan ajaran
bijak atau hukum itu. Kalau tidak, mereka akan tergolong kaum yang
menolak kebenaran (kafir). Juga diturunkan hukum yang rinci kepada
kaum Yahudi, seperti mata harus dibalas dengan mata, hidung dengan
hidung, dan telinga dengan telinga, dan mereka harus menjalankan itu
semua. Kalau tidak, mereka adalah orang-orang yang zalim.
20

Kitab Taurat diturunkan Tuhan kepada kaum Yahudi lewat Nabi
Musa as. Sesudah Nabi Musa as. dan para Nabi yang lain yang langsung
meneruskannya, Tuhan mengutus 'Isa al-Masih as. dengan Kitab Injil
(Kabar Gembira). Para pengikut 'Isa al-Masih as. menyebut Injil itu
"Perjanjian Baru", berdampingan dengan Kitab Taurat yang mereka sebut
"Perjanjian Lama". Kaum Yahudi, karena tidak mengakui 'Isa al-Masih as.
dengan Injilnya, menolak ide perjanjian "lama" dan "baru" itu, namun al-
Qur'an mengakui keabsahan kedua-duanya sekaligus. Al-Qur'an. juga
mengatakan bahwa Injil yang diturunkan kepada 'Isa al-Masih as. itu
menguatkan kebenaran Taurat, dan memuat petunjuk dan cahaya serta
nasehat bagi kaum yang bertaqwa. Para pengikut Injil diharuskan
menjalankan ajaran dalam Kitab Suci itu, sesuai dengan yang diturunkan
Tuhan. Kalau tidak, mereka adalah fasiq (berkecenderungan jahat).
21


2. Asas Kerjasama Antar Umat Beragama
Jika para penganut agama itu semua mengamalkan dengan
sungguh-sungguh ajaran agama mereka, maka Allah menjanjikan hidup
penuh kebahagiaan, baik di dunia ini maupun dalam kehidupan sesudah

19
Ibid., hlm. 93.
20
Ibid.,
21
Ibid., hlm. 94.
43
mati nanti, di Akhirat. Suatu firman yang secara umum ditujukan kepada
semua penduduk negeri menjanjikan bahwa kalau memang mereka itu
benar-benar beriman dan bertaqwa, maka Tuhan akan membukakan
berbagai barkah-Nya dari langit (atas) dan dari bumi (bawah).
22

Dan sebuah firman yang ditujukan kepada para penganut kitab suci
mana saja menyatakan bahwa kalau mereka benar-benar beriman dan
bertaqwa maka Allah akan mengampuni segala kejahatannya dan akan
memasukkan mereka ke dalam surga-surga kebahagiaan abadi. Kemudian
sebuah firman yang ditujukan kepada kaum Yahudi dan Kristen yang
langsung atau tidak langsung menunjukkan pengakuan akan hak eksistensi
agama dan ajaran mereka menjanjikan kemakmuran yang melimpah-ruah
"dari atas mereka (langit) dan dari bawah kaki mereka (bumi)" jika
mereka benar-benar menegakkan ajaran Taurat dan Injil dan ajaran yang
diturunkan kepada mereka dari Tuhan. Sementara itu, kaum Muslim yang
di negeri ini kebetulan merupakan golongan terbesar diajari untuk beriman
kepada kitab-kitab Taurat dan Injil, ditambah Zabur Nabi Dawud as., dan
kepada kitab suci manapun juga. Hal ini dapat disimpulkan dari suatu
penegasan kepada Nabi Muhammad saw. bahwa beliau harus menyatakan
beriman kepada kitab apa saja yang diturunkan Allah kepada umat
manusia. Sikap mi ada dalam rangkaian petunjuk dasar hubungan beliau
dengan agama-agama yang ada, yang berdasarkan kitab suci.
23

Logika beriman kepada kitab suci manapun juga yang telah
diturunkan Tuhan ialah karena Tuhan telah mengutus Utusan yang
membawa ajaran kebenaran kepada setiap umat, dan sebagian dari para
Utusan itu dituturkan dalam al-Qur'an, sebagian lagi tidak. Kemudian
ajaran kebenaran itu memang sebagian besar disampaikan secara lisan
(sehingga kebanyakan Nabi dan Rasul yang dituturkan dalam al-Qur'an
pun tidak disebutkan punya kitab suci), tapi sebagian lagi disampaikan
dengan ditopang kitab-kitab suci. Dan sebagaimana tidak semua Rasul

22
Ibid.,
23
Ibid., hlm. 95.
44
dituturkan dalam al-Qur'an, maka logis saja bahwa begitu pula halnya
dengan kitab-kitab suci, tidak semuanya disebutkan dalam al-Qur'an.
Pandangan serupa ini telah dikembangkan oleh para 'ulama' Islam, klasik
maupun modern, seperti Rasyid Ridla yang mengatakan:
Yang nampak ialah bahwa al-Qur'an menyebut para penganut
agam-agama terdahulu, kaum Sabi'in dan Majusi, dan tidak
menyebut kaum Brahma (Hindu), Budha dan para pengikut
Konfusius karena kaum Sabi'in dan Majusi dikenal oleh bangsa
Arab yang menjadi sasaran mula-mula adres al-Qur'an, karena
kaum Sabi'm dan Majusi itu berada berdekatan dengan mereka di
Irak dan Bahrain, dan mereka (orang-orang Arab) belum
melakukan perjalanan ke India, Jepang dan Cina sehingga mereka
mengetahui golongan yang lain. Dan tujuan ayat suci telah
tercapai dengan menyebutkan agama-agama yang dikenal (oleh
bangsa Arab), sehingga tidak perlu membuat keterangan yang
terasa asing (ighrab) dengan menyebut golongan yang tidak
dikenal oleh orang yang menjadi adres pembicaraan itu di masa
turunnya al-Qur'an, berupa penganut agama-agama yang lain. Dan
setelah itu tidak diragukan bagi mereka (orang Arab) yang
menjadi adres pembicaraan (wahyu) itu bahwa Allah juga akan
membuat keputusan perkara antara kaum Brahma, Budha, dan
lain-lain.
24


Di zaman klasik, Ibn Taimiyyah juga sudah terlibat dalam usaha
menjelaskan kepada anggota masyarakatnya masalah para pengikut kitab
suci ini, dengan penjelasannya yang sejalan dengan apa yang kemudian
dipertegas oleh Rasyid Ridla di atas itu. Tetapi lebih penting lagi ialah
pendapat Ibn Taimiyyah bahwa dalam kitab-kitab suci terdahulu itu, di
luar perubahan oleh tangan manusia yang mungkin menyimpangkannya,
sampai sekarang masih terdapat unsur-unsur ajaran yang berlaku,
termasuk untuk umat Islam. Ayatullah Khumaini, pemimpin Revolusi
Iran, juga berpendapat sama, dengan menegaskan bahwa beriman kepada
para Nabi terdahulu tidak berarti sekedar mengetahui adanya para Nabi itu
dan membenarkan tugas mereka sebagai pengemban syari'at, tetapi jelas
mengandung arti memikul atau menerima dan melaksanakan syari'at

24
Ibid.,
45
mereka juga, sepanjang syari'at itu bukan bagian yang diabrogasikan oleh
al-Qur'an dan Nabi Muhammad saw.

3. Etika Beragama
Tulisan ini dibuat di saat bangsa kita sedang menghadapi masalah-
masalah besar yang belum sepenuhnya terselesaikan. Malah tampak
semakin menyesakkan dada. Salah satu masalah besar itu adalah
kenyataan bahwa akhir-akhir ini kita menyaksikan dengan perasaan
mencekam suasana hubungan antarumat beragama di Tanah Air mulai
terusik, bahkan telah pula menelan banyak korban jiwa, kehormatan dan
harta benda. Padahal, bangsa Indonesia sering membanggakan atau
dibanggakan sebagai bangsa yang memiliki tingkat toleransi dan
kerukunan beragama yang amat tinggi. Namun, intensitas konflik di
masyarakat kita akhir-akhir ini yang diduga telah melibatkan penganut
agama-agama dengan tingkat kekejaman yang sulit diterima akal sehat,
maka barangkali cukup logis jika diajukan pertanyaan, "Adakah sesuatu
nilai yang mampu mempertemukan agama-agama di negeri ini sehingga
membuat mereka (para umat beragama itu) tidak harus saling
menghancurkan?"
25

Pertanyaan ini, jika jatuh ke tangan masyarakat yang pesimis,
biasanya dengan mudah mereka segera meragukannya, malahan
mengingkarinya. Akan tetapi, bila hal ini ditanyakan kepada masyarakat
yang optimis. niscaya tanpa ragu secuil pun mereka juga segera
menjawab, " ada", kendatipun hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat
prinsipil. Hal-hal rinci, seperti ekspresi-ekspresi simbolik dan formalistik,
tentu sulit dipertemukan. Masing-masing agama, bahkan sesungguhnya
masing-masing kelompok intern suatu agama, mempunyai idiom yang
khas, yang hanya berlaku secara intern. Karena itulah, ikut campur

25
Nurcholish Madjid, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, (Jakarta: Mediacita,
2001), hlm. 3.
46
penganut agama tertentu terhadap rasa kesucian orang dari agama lain,
adalah tidak masuk akal dan hasilnya pun akan nihil.
26

Firman Allah yang termaktub di dalam surat Al-Ankabut/29 ayat
46 secara tandas melarang umat Islam berbantahan dengan para penganut
kitab suci lain, melainkan dengan cara yang sebaik-baiknya, termasuk
menjaga kesopanan dan tenggang rasa, kecuali terhadap mereka yang
bertindak zhalim. Umat Islam pun diperintahkan untuk senantiasa
menegaskan bahwa kita semua, para penganut kitab suci yang berbeda-
beda itu, sama-sama menyembah Tuhan Yang Maha Esa, dan sama-sama
juga pasrah (muslimun) kepada-Nya.
27

Bahkan biarpun sekiranya kita mengetahui dengan pasti bahwa
orang lain menyembah suatu obyek sembahan yang bukan Allah Yang
Maha Esa, kita pun tetap dilarang berlaku tidak sopan terhadap orang itu.
Menurut Al-Qur'an, sikap demikian itu akan membuat mereka berbalik
menyerang dan melakukan tindakan ketidaksopanan yang sama terhadap
Allah Yang Maha Esa, sebagai akibat dari dorongan rasa permusuhan
tanpa pengetahuan yang memadai. Terhadap mereka yang melakukan
penyerangan dan ketidaksopanan pun, pergaulan duniawi yang baik tetap
harus dijaga. Dan di sini berlaku adagium, "Bagimu agamamu bagiku
agamaku." (Q.S. Al-Kafirun/109 : 6).
Ungkapan ini bukanlah pernyataan tanpa peduli terhadap agama
lain, apalagi rasa putus asa, melainkan karena terdorong oleh kesadaran
bahwa agama memang tidak dapat dipaksakan, dan bahwa setiap orang,
lepas dari soal apa agamanya, tetap harus dihargai sebagai manusia
sesama makhluk Allah Yang Maha Esa. Sebab Allah sendiri pun
menghormati manusia, anak cucu Adam di mana saja ia berada, dengan
segala potensi dan perbedaannya. Bahkan potensi dan perbedaan itu
dibuat-Nya menjadi semenarik mungkin sehingga selalu dirasakan indah,
baik-baik saja, oleh masing-masing penganut agama, meskipun

26
Ibid.,
27
Ibid., hlm. 4.
47
sesungguhnya salah. Maka ajakan kepada kebenaran, jika kita merasa
yakin memiliki kebenaran itu, haruslah dilakukan hanya dengan cara-cara
yang penuh kearifan, kesopanan, tutur kata yang baik dan argumentasi
yang masuk akal.
28

Pandangan dasar bahwa Tuhan Yang Maha Esa telah menetapkan
idiom, cara, metode, dan jalan untuk masing-masing kelompok manusia
sehingga antara sesama manusia tidak dibenarkan terjadi saling
menyalahkan dan memaksakan kehendak satu atas lainnya guna mengikuti
idiom, cara, metode dan jalannya sendiri, melainkan manusia hendaknya
berangka dari posisi masing-masing, lalu berlomba-lomba meraih
kebaikan yang banyak.
29
Allah berfirman:

Artinya: "Dan Kami (Tuhan) menurunkan kepada engkau (Muhammad)
kitab suci (Al-Qur'an) sebagai pendukung kebenaran kitab suci
yang ada sebelumnya, dan untuk menopang kitab suci itu. Maka
jalankanlah hukum (ajaran kebijakan) antara mereka sesuai
dengan yang diturunkan Allah, dan janganlah mengikuti
keinginan mereka menjauhi dari kebenaran yang telah datang
kepadamu. Untuk masing-masing di antara kamu (umat
manusia) kami buatkan syir'ah (jalan menuju kebenaran) dan
minhaj (metode pelaksanaannya). Seandainya. Allah
menghendaki tentulah Dia jadikan kamu sekalian (umat
manusia) menjadi umat yang tunggal. Tetapi (dibuat bermacam-
macam) agar Dia menguji kamu sekalian berkenaan dengan bal-
hal (jalan dan metode) yang telah dianugerahkan kepada kamu
itu. Maka berlomba-lombalah kamu sekalian menuju kepada
kebaikan. Dan hanya kepada Allah tempat kembalimu. Kelak

28
Ibid.,
29
Ibid., hlm.5.
48
Dia akan menjelaskan kepadamu tentang hal-bal yang pernah
kamu perselisihkan." (QS. Al-Maidah/5: 48)".
30


Begitulah ajaran tentang hubungan dan pergaulan berdasarkan
pandangan bahwa setiap agama dengan cara dan jalannya sendiri-sendiri
mencoba berjalan menuju kepada kebenaran. Maka para penganut agama-
agama diharapkan dengan sungguh-sungguh memahami dan menjalankan
perintah agamanya itu tanpa perasaan terusik dan terancam, apalagi
bersalah. Karenanya, sikap keberagamaan yang inklusif (terbuka) pada
setiap individu umat beragama adalah menjadi kebutuhan mendesak yang
perlu diupayakan terus menerus agar terwujudkan secara membahagiakan
di republik yang plural ini.
31

Bahwa setiap pemeluk agama diharapkan mengamalkan ajaran
agamanya dengan serius, sejalan dengan ajaran para Nabi, menurut
pandangan Islam, adalah benar adanya. "Sesungguhnya," kata Allah,
"Kami (Allah) telah menurunkan Taurat, di dalamnya berisi petunjuk dan
cahaya, yang dengan kitab itu para Nabi yang pasrah (aslamu) kepada
Allah menjalankan hukum untuk mereka yang menganut agama Yahudi;
Juga para Rabi dan 'ulama yang mengikuti Kitab Allah yang mereka selalu
pelihara dengan baik, dan mereka menjadi saksi atas kitab itu." (Q.S. Al-
Maidah/5:44).
Jadi firman Allah ini dengan tandas sekali memperlihatkan bahwa
pemeluk Yahudi pun kalau dia menjalankan agamanya dengan benar
sesuai yang diajarkan para Nabi yang pasrah, dia juga tergolong orang-
orang yang pasrah (muslim). Sehingga lanjutan ayat ini memperingatkan
kepada kaum Yahudi yang tidak menjalankan agama sesuai dengan
hukum Allah. Justru mereka dikategorikan sebagai orang-orang kafir
(menolak kebenaran), karenanya mereka bukan orang-orang yang pasrah
(muslim). 'Janganlah kamu takut kepada sesama manusia." Allah
menghimbau, "dan takutlah kepada-Ku, dan janganlah kamu menjual ayat-

30
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya,
Departemen Agama, 1986, hlm. 168.
31
Nurcholish Madjid, Kehampaan, op.cit., hlm. 6.
49
ayatKu dengan harga murah. Barangsiapa tidak menjalankan hukum
dengan yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang kafir
(menolak kebenaran)."
32

Kepada kaum Yahudi juga diturunkan hukum-hukum yang rinci,
seperti mata harus dibayar dengan mata, hidung dengan hidung, dan
telinga dengan telinga. Mereka harus menjalankan itu semua, kalau tidak,
mereka termasuk orang-orang yang zhalim. (Q.S. Al-Maidah/5 : 45).
Kitab Taurat, sebagaimana kita ketahui, diturunkan Allah kepada
kaum Yahudi melalui Nabi Musa as dan Nabi-Nabi lain yang langsung
meneruskannya. Kemudian Allah mengutus 'Isa Al-Masih dengan Kitab
Injil (Kabar Gembira). Para pengikut 'Isa Al-Masih menyebut Kitab Injil
sebagai "Perjanjian Baru", berdampingan dengan Kitab Taurat yang
mereka sebut sebagai "Perjanjian Lama". Kaum Yahudi, karena tidak
mengakui 'Isa Al-Masih dengan Kitab Injilnya, menolak ide" Perjanjian
Lama" maupun "Perjanjian Baru" itu, namun Al-Qur'an mengakui
keabsahan kedua-duanya sekaligus. Al-Qur'an juga menegaskan bahwa
Injil yang diturunkan kepada Nabi 'Isa Al-Masih itu menguatkan
kebenaran Taurat, memuat petunjuk dan cahaya serta nasihat bagi kaum
yang bertaqwa. Mereka harus mengakui kenyataan ini, kalau tidak, sekali
lagi; mereka termasuk orang-orang yang fasik (berkecenderungan yang
jahat). (Q.S. Al-Maidah/5 : 46-47).
33

Sebuah firman Allah yang ditujukan kepada para penganut kitab
suci mana saja menyatakan bahwa kalau mereka benar-benar beriman dan
bertaqwa, maka Allah akan mengampuni segala kejahatan mereka dan
akan memasukkan mereka ke dalam surga-surga kebahagiaan abadi.
Kemudian firman lainnya yang ditujukan kepada kaum Yahudi dan
Nasrani yang langsung atau tidak langsung menunjukkan pengakuan akan
eksistensi agama dan ajaran mereka menjanjikan kemakmuran yang
melimpah-ruah dari atas mereka (langit) dan dari bawah kaki mereka

32
Ibid.,
33
Ibid., hlm. 7.
50
(bumi), jika mereka benar-benar menegakkan ajaran Taurat dan Injil serta
ajaran yang diturunkan Tuhan kepada mereka. (Q.S. Al-Maidah/5 : 66).
Sementara itu, kaum Muslimin yang di negeri ini merupakan
golongan umat terbesar, diajarkan untuk beriman kepada kitab-kitab
Taurat dan Injil, ditambah Kitab Zabur yang diturunkan Allah kepada
Nabi Dawud as, termasuk kitab suci yang lainnya. Hal ini dapat kita
simpulkan dari suatu penegasan Allah kepada Nabi Muhammad saw,
bahwa beliau harus menyatakan beriman kepada kitab suci apa saja yang
diturunkan Allah kepada umat manusia. Sikap ini ada dalam rangkaian
petunjuk dasar hubungan beliau dengan agama-agama yang ada pada
waktu itu, yaitu agama-agama yang berdasarkan kitab suci yang
diturunkan Allah S\VT kepada mereka yang hidup sezaman dengan
Rasulullah saw. (Q.S. Al-Nahl/16 : 26).
Sikap keberagamaan yang ditauladankan beliau itulah semestinya
kita kembangkan untuk pembangunan masyarakat dan bangsa kita yang
majemuk ini. Kendatipun cara, metode atau jalan keberagamaan menuju
Tuhan berbeda-beda, namun Tuhan yang hendak kita tuju adalah Tuhan
yang sama, Tuhan yang maha Esa. Tuhan yang pada-Nya semua tangan
ingin menggapai dan mendapatkan perlindungan-Nya. Tuhan yang semua
kehinaan berharap mendapatkan kemuliaan-Nya, dan semua kesulitan
merindukan kemudahan-Nya. Itulah Tuhan semua umat manusia, tanpa
kecuali.
34


4. Menuju Persamaan Sejati dan Doa Bersama
Logika beriman kepada kitab suci manapun juga yang telah
diturunkan Allah ialah, karena Allah telah mengutus Rasul yang
membawa ajaran kebenaran kepada setiap umat, dan sebagian dari Rasul
itu diberitakan dalam Al-Qur'an, sedangkan sebagian lagi tidak. Disadari
sepenuhnya bahwa, ajaran kebenaran itu memang sebagian besar
disampaikan secara lisan (sehingga kebanyakan para Nabi dan Rasul yang

34
Ibid., hlm. 8.
51
diceritakan dalam Al-Qur'an pun tidak disebutkan punya kitab suci), tetapi
sebagian lagi disampaikan dengan ditopang oleh kitab suci. Sebagaimana
tidak semua Rasul diceritakan dalam Al-Qur'an, maka logis saja bahwa
begitu pula halnya dengan kitab-kitab suci, tidak semuanya disebutkan
dalam Al-Qur'an. Pandangan serupa ini telah dikembangkan oleh 'ulama-
'ulama Islam, baik klasik maupun modern, seperti Rasyid Ridla yang
mengatakan, "Yang nampak bahwa Al-Qur'an menyebut para penganut
agama-agama terdahulu, kaum Sabi'in dan Ma;'usi, serta tidak menyebut
kaum Brahma (Hindu), Budha dan para pengikut Konfusius, karena kaum
Sabi'in dan Majusi yang dikenal oleh bangsa Arab dan menjadi sasaran
mula-mula adres Al-Qur'an, karena kaum Sabi'in dan Majusi itu berada
berdekatan dengan mereka di Irak dan Bahrain, dan karena mereka orang-
orang Arab itu belum melakukan perjalanan ke India, Jepang dan Cina
sehingga mereka belum mengetahui golongan umat yang lain."
35

Menurut Rasyid Ridla, "Tujuan ayat suci telah tercapai dengan
menyebut agama-agama yang dikenal (oleh bangsa Arab), sehingga tidak
perlu membuat keterangan yang terasa asing (ighrab) dengan menyebut
golongan yang tidak dikenal oleh orang yang menjadi sasaran
pembicaraan di masa turunnya Al-Qur'an, yaitu penganut agama-agama
yang lain." Sungguh pun demikian, Rasyid Ridla mencoba memberikan
apresiasi terhadap agama-agama yang tidak disebutkan dalam Al-Qur'an
dengan mengatakan, "Dan setelah itu, tidak diragukan lagi bahwa mereka
(orang Arab) yang menjadi sasaran pembicaraan (wahyu) itu
menunjukkan Allah juga akan membuat keputusan atas perkara antara
kaum Brahma, Budha, dan lain-lain."
36

Di zaman klasik, Ibnu Taimiyah juga sudah terlibat dalam usaha
menjelaskan kepada masyarakatnya berkaitan dengan masalah persamaan
misi antarpara pengikut kitab suci, dengan memberikan penjelasan yang
sejalan dengan apa yang kemudian dipertegas oleh Rasyid Ridla di atas.

35
Ibid., hlm. 8.
36
Ibid.,
52
"Sesungguhnya," ucap Ibnu Taimiyah dalam Ahkam Al-Zawaj, "Ahli
Kitab tidaklah termasuk ke dalam kaum musyrikin. Memandang Ahli
Kitab sebagai bukan kaum musyrikin dengan argumen bahwa asal-usul
agama mereka ialah mengikuti kitab-kitab yang diturunkan Allah yang
membawa ajaran Tauhid, bukan ajaran syirik. Jadi jika dikatakan bahwa
Ahli Kitab itu dengan alasan bukan kaum musyrik, karena kitab suci yang
berkaitan dengan mereka itu tidak mengandung syirik, sama dengan jika
dikatakan bahwa kaum Muslimin dan umat Muhammad tidaklah terdapat
pada mereka itu syirik dengan alasan yang sama, walaupun dalam
kenyataannya kaum Muslimin juga banyak melakukan bid'ah dan .syirik
kepada Allah."
37

Ibnu Taimiyah juga tidak menutup mata terhadap adanya gejala
penyimpangan terhadap kitab suci yang dilakukan oleh para pemeluknya,
namun di luar perubahan oleh tangan-tangan manusia itu, tentu sampai
sekarang masih terdapat unsur-unsur ajaran yang masih berlaku, termasuk
untuk umat Islam. Ayatullah Khumaini, pemimpin Revolusi Iran, juga
berpendapat yang sama. Beliau menegaskan bahwa, beriman kepada para
Nabi terdahulu berarti sekedar mengetahui adanya para Nabi' itu dan
membenarkan tugas mereka sebagai pengemban syari'at, tetapi jelas
mengandung arti memikul atau menerima dan melaksanakan syari'at
mereka juga, sepanjang syari'at itu bukan bagian yang diabrogasikan
(diralat) oleh Al-Qur'an dan Nabi Muhammad saw.
Sungguh suatu komitmen keimanan yang menggembirakan
manakala kita menangkap dengan baik apa yang disampaikan para
pemuka agama Islam itu. Dan manakala hal ini kita bawa masuk ke Tanah
Air kita yang tengah bergolak dengan keras masalah suku, ras, agama, dan
antargolongan (SARA), rasa-rasanya kita pantas menundukkan kepala
sejenak, sambil dengan hati bersih dan pikiran jernih buat mengenang para
korban jiwa yang melayang, harta benda yang ludes terbakar, kehormatan
yang tercampakkan, dan menyambung kembali titik temu yang sempat

37
Ibid., hlm. 9.
53
tercabik. Bahkan, dengan penuh kesungguhan hati, kita ingin meluhurkan
persamaan-persamaan sejati yang pernah tergores, meski kita harus
bangkit dengan getir di atas puing-puing reruntuhan. Mau tidak mau, dari
sekarang, kita harus memulai secara tulus memperlihatkan kedewasaan
kita sebagai umat beragama, sebagai bangsa yang bersatu, dan sebagai
manusia yang sederajat.
38

Karenanya, mari kita sambut hari esok dengan kepala tegak, bibir
tersenyum sambil menyapa Tanah Air yang kita cintai bersama-sama
dengan lambaian kasih-sayang sejati. Kita tunjukkan kepada dunia bahwa
bangsa kita adalah bangsa beradab, bangsa yang berperikemanusiaan dan
berperikeadilan. Lupakan permusuhan dan pertikaian yang mengganjal di
dada, hapuskan dendam dan kebenaran yang tersimpan di hati, dan
tegakkanlah perdamaian abadi dalam kekudusan-Nya. Semoga Allah
mengabulkan permohonan kami dan permohonan kami, memaafkan
kesalahan kami dan kesalahan kamu.
39

Dalam konteksnya dengan doa bersama, dalam perspektif
Nurcholish Madjid, dkk bahwa doa bersama antar muslim dan muslim
adalah dibolehkan. Alasannya karena al-Qur'an surat At-Taubah ayat 80
dan 84 serta surat al-Munaafiquun ayat 6 hanya melarang berdoa
memintakan ampun bagi non muslim yang munafik dan musyrik,
sedangkan berdoa memintakan ampun bagi non muslim yang tidak
munafik dan musyrik maka ayat tersebut tidak melarang. Ini berarti doa
bersama antara umat muslim dan non muslim pun diperbolehkan karena
tidak semua orang non muslim munafik dan musyrik. Dengan demikian,
di antara masalah fiqih yang agak meresahkan orang banyak terutama
kaum muslimin adalah seputar pendapat Nurcholish Madjid et al, yang
membolehkan doa bersama muslim dengan non muslim Pernyataan
Nurcholish Madjid dianggap kontroversial atau bertentangan dengan
hukum Islam yang dianggap telah mapan dan disepakati oleh sebagian

38
Ibid., hlm. 10.
39
Ibid.,
54
ulama. Dari sini peneliti tertarik untuk mengungkap hukumnya doa
bersama antara muslim dan non muslim.
Menurut Nurcholish Madjid,dkk, peristiwa-peristiwa doa bersama
menarik untuk diperhatikan agar menjadi jelas bagaimana Islam
memandang doa antaragama tersebut. Selanjutnya Nurcholish Madjid,dkk
memberikan beberapa contoh empiris sebagai berikut: salah satu contoh
doa bersama adalah doa bersama untuk kedamaian dunia yang diprakarsai
oleh Paus Yohanes Paulus 11. Doa itu diadakan pada 26 Oktober 1986 di
Assisi, kota Santo Francis, Italia bagian tengah. Dalam pertemuan agung
itu wakil-wakil dari masing-masing agama, termasuk wakil dari Islam,
secara bergantian membacakan doa dengan caranya masing-masing,
dengan bentuk dan ekspresinya masing-masing. Doa bersama ini
dilakukan dengan sebuah teks bersama yang dibaca oleh semua peserta
bersama-sama di bawah komando salah seorang peserta, untuk
menghindari kebingungan yang mungkin terjadi dalam pertemuan resmi
seperti itu.
40

Contoh lain doa bersama diambil dari Mesir, salah satu negara
yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Sejak awal 1990-an orang-
orang Muslim dan orang-orang Kristen yang bergabung dalam
Persaudaraan Keagamaan (al-Ikha' al-Dini), sebuah asosiasi persaudaraan
keagamaan Islam-Kristen di Kairo, sering mengadakan pertemuan untuk
doa bersama, baik dengan ekspresi bebas wakil-wakil dari masing-masing
agama maupun dengan membaca sebuah teks bersama untuk semua
peserta. Pada akhir setiap pertemuan, semua peserta secara bersama
membaca teks sebuah doa yang disusun oleh almarhum Syaikh Ahmad
Hasan al-Baquri, yang semasa hidupnya pernah menjadi Menteri Wakaf
Mesir dan Rektor Universitas al-Azhar. Dalam doa terakhir ini pada
umumnya lebih disukai menghindari penggunaan teks-teks resmi

40
Nurcholish Madjid, et al., Fiqih Lintas Agama, Jakarta: Paramadina, cet ke-5, 2004,
hlm. 89

55
peribadatan salah satu agama dalam organisasi ini (Islam dan Kristen)
untuk mengindari kebingungan.
Contoh lain doa bersama kata Nurcholish Madjid,dkk adalah doa
bersama yang dilakukan ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
merayakan hari ulang tahunnya yang ke-50 di Markas Besarnya di New
York. Doa bersama itu dilakukan dengan diikuti oleh semua peserta dari
negara-negara anggota PBB yang hadir pada pertemuan agung itu. Di
antara para peserta itu adalah para peserta Muslim dari negara-negara
yang pada umumnya mayoritas penduduknya adalah Muslim. Uskup
Desmond Tutu dari Afrika Selatan memimpin para hadirin dalam doa itu.
Contoh lain doa bersama adalah doa bersama yang dilakukan pada
acara pelantikan Nelson Mandela sebagai Presiden Afrika Selatan. Wakil-
wakil dari masing-masing agama yang para penganutnya hidup di negara
itu membacakan doa sesuai dengan caranya masing-masing. Dengan
mudah dapat diduga bahwa salah seorang wakil yang membacakan doa
dalam acara itu adalah Muslim, yang tentu saja membacakan doa dengan
cara Islam.
41

Lebih jauh Nurcholish Madjid,dkk menegaskan bahwa contoh doa
bersama dapat pula ditemukan di Indonesia. Pada Jumat, 5 Juni 1998,
MADIA (Masyarakat Dialog Antaragama) sebuah organisasi Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) yang memajukan dialog antaragama di
Indonesia, mengorganisir acara doa bersama solidaritas antaragama di
rumah kediaman KH Abdurrahman Wahid, yang pada waktu itu adalah
Ketua PB NU, di Ciganjur, Jakarta Selatan. Tujuan doa bersama itu adalah
memohon agar bangsa Indonesia diberi kekuatan sehingga dapat
menciptakan suasana rukun dan damai agar mampu mengatasi persoalan-
persoalan dan kemelut yang melanda bangsa ini. Kelompok-kelompok
agama dan aliran kepercayaan yang mengikuti acara itu adalah kelompok-
kelompok dari Islam, Hinduisme, Buddhisme, Konfusianisme, Katolik,
Protestan, Kristen Ortodoks Suriah, Penghayat Kepercayaan kepada

41
Ibid, hlm. 89
56
Tuhan Yang Maha Esa, dan Brahma Kumaris. Wakil-wakil tampil secara
bergantian memimpin membaca doa menurut caranya masing-masing.
Pada akhir acara ini, salah seorang yang telah diminta oleh panitia
memimpin semua hadirin membaca sebuah teks doa yang berjudul "Doa
Bersama untuk Reformasi." Teks doa yang disusun oleh panitia itu
berbunyi sebagai berikut:
42

DOA BERSAMA UNTUK REFORMASI
Ya Tuhan, Pencipta dan Pemelihara Kehidupan,
segala puji syukur kami panjatkan ke hadirat-Mu
karena kami dapat berkumpul dan berdoa bersama,
bersatu dalam rasa damai
meskipun banyak perbedaan di antara kami.
Kami mensyukuri dan merayakan
kebhinekaan latar belakang agama,
nilai-nilai, tradisi, ras dan suku yang Kau karuniakan,
terlebih kami bersyukur karena di tengah kebhinekaan
kami dapat bersatu dalam rasa damai.
Ya Tuhan, Sumber Kehidupan dan Pengharapan,
kami datang ke hadirat-Mu untuk memohon kekuatan dari-Mu
karena memburuknya kehidupan berbangsa kami.
Setiap hari kehidupan yang Kau karuniakan ini terancam,
bahkan nyawa dapat dengan mudah melayang.
Mereka yang menyerukan hati nurani rakyat
dipenggal kehidupannya.
Ratusan bahkan ribuan rakyat jelata
harus mati dengan cara yang menyedihkan.
Nafsu kuasa telah membuat bangsa ini terkoyak,
dan persaudaraan terancam berubah menjadi permusuhan.
Kau ciptakan kami sebagai makhluk pekerja
demi kelangsungan hidup kami.
Namun kini
sungguh banyak di antara kami telah kehilangan pekerjaan.
Sebagai manusia kami membutuhkan makan.
Namun kini
harga makanan makin tak terjangkau
oleh sebagian terbesar dari kami.
Ya Tuhan, Sumber Karunia dan Pengampunan,
kami adukan kepada-Mu rasa cemas dan khawatir kami
menjalani hari-hari yang akan kami jelang
sebagai pribadi maupun sebagai bangsa.

42
Ibid, hlm. 90-91
57
Di hadapan-Mu kami merenung dan menunduk
memohon ampunan dan rahmat-Mu semata
karena sebagai umat-Mu kami sering lalai
menjaga karunia kebhinekaan, luhurnya kehidupan
dan rasa kemanusiaan yang telah Kau berikan.
Ya Tuhan, Pencipta dan Pemelihara Kehidupan,
Engkaulah sumber harapan dan hidup kami.
Berilah kami daya kehidupan yang berasal dari-Mu:
daya kehidupan yang penuh kegembiraan
daya kehidupan yang luhur dan penuh cinta kasih,
daya kehidupan yang memampukan kami bangkit kembali
membina persaudaraan.
Berilah kami semangat dan harapan,
gairah yang menyala demi membangun dan membela
kehidupan yang Engkau ciptakan dan karuniakan.
Bimbinglah kami agar kami mampu bekerja bersama
memperbaiki puing-puing reruntuhan tanah air kami,
agar menjadi tempat yang layak bagi kami semua
untuk hidup bersaudara sebagai sesama ciptaan-Mu
Amin

Doa bersama dalam pertemuan lintas agama itu menurut
Nurcholish Madjid,dkk dilakukan dengan dua cara. Pertama, setiap wakil
dari masing-masing kelompok keagamaan, kepercayaan, dan spiritual
membaca doa dengan caranya sendiri. Kedua, semua hadirin secara
bersama membaca sebuah teks doa.
Yang tidak kalah menarik adalah doa bersama yang
diselenggarakan pada detik-detik terakhir pergantian tahun, 31 Desember
1999, di Pesanggrahan Kobaran di puncak Gunung Lontar, Desa Kobaran,
Kecamatan Panggang, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Acara doa bersama itu dihadiri oleh para penganut agama-agama yang
berbeda, yang terdiri dari para seniman, aktivis LSM, petani, rohaniawan,
intelektual, dan masyarakat biasa. KH Abdul Muhaimin, pemimpin
Pondok Pesantren Nurul Ummahat, Kotagede, Yogyakarta, adalah salah
seorang yang ikut berdoa bersama ratusan hadirin dari berbagai agama
dalam pertemuan.itu. Silih berganti dengan cara masing-masing, mereka
memohon pulihnya kondisi bangsa dan negara yang terpuruk, dan tidak
ada lagi kebencian dan dendam antarumat. Doa bersama itu adalah
58
aktivitas gabungan antara Forum Persaudaraan antar-Umat Beriman
(FPUB) DIY, Komunitas Sekar Setaman, Pesamuan Dharmo Sriniwahyo,
Paguyuban Panyuwunan Kawula Yogyakarta Hadiningrat, dan masyarakat
luas.
43

Kita sering kata Nurcholish Madjid,dkk menyaksikan contoh-
contoh doa bersama pada tingkat nasional di Indonesia, misalnya, pada
peristiwa-peristiwa peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (17
Agustus), Hari Sumpah Pemuda (28 Oktober), dan Hari Pahlawan (10
Nopember). Pada acara-acara tingkat nasional seperti ini biasanya seorang
tokoh atau pemuka Muslim yang diminta oleh panitia memimpm semua
hadirin berdoa untuk kedamaian, kesejahteraan, kemakmuran,
keselamatan dan kesentosaan bangsa Indonesia. Doa bersama ini biasanya
bukan saja untuk orang-orang yang masih hidup tetapi juga untuk arwah
para pahlawan yang telah meninggal. Orang-orang yang didoakan itu tentu
saja tidak semuanya Muslim, banyak juga non-Muslim. Yang memimpin
doa bersama ini adalah orang Muslim karena mayoritas penduduk
Indonesia menganut Islam.
Lebih lanjut Nurcholish Madjid,dkk mengatakan, doa (kata Arab:
du'a) dalam Islam adalah "seruan, permintaan, dan permohonan
pertolongan, dan ibadah kepada Allah subhanahu wa ta'ala supaya
terhidar dari bahaya dan mendapatkan manfaat." Doa demikian pendapat
Nurcholish Madjid,dkk adalah cara yang dilakukan manusia untuk
berkomunikasi dengan Tuhan. Doa bukan hanya milik Islam, tetapi juga
milik agama-agama lain. Dapat dikatakan bahwa doa adalah fenomena
umum yang dapat ditemukan dalam semua agama. Doa adalah salah satu
segi utama kehidupan keagamaan umat manusia. Selanjutnya Nurcholish
Madjid,dkk mengutip pendapat Friederich Heiler (1892-1967), seorang
fenomenolog agama terkemuka kelahiran Jerman, mengatakan bahwa
"orang-orang beragama, para pengkaji agama, para teolog semua
kepercayaan dan kecenderungan, sepakat dalam berpendapat bahwa doa

43
Ibid, hlm. 92
59
adalah fenomena utama seluruh agama, jantung seluruh kesalehan," dan
karena alasan ini, "tidak bisa diragukan sama sekali bahwa doa adalah
jantung dan pusat seluruh agama.
44

Dewasa ini tandas Nurcholish Madjid,dkk, kelompok-kelompok
dari tradisi-tradisi keagamaan yang berbeda, seperti dikemukakan di atas,
sering mengadakan acara doa bersama. Perbedaan tradisi-tradisi
keagamaan tidak menghalangi mereka untuk mengadakan doa bersama,
Doa bersama, sebenarnya, adalah suatu bentuk perjumpaan dan dialog
antara kelompok-kelompok dari tradisi-tradisi keagamaan yang berbeda.
Oleh sebab itu, "doa bersama" dapat disebut "doa antariman" atau "doa
antaragama."
Untuk memperkuat pendapatnya, Nurcholish Madjid,dkk mengutip
pendapat Nicolas Jonathan Woly, seorang sarjana teologi dari Protestan
Indonesia, doa dapat diklasifikasikan ke dalam empat tipe. Pertama
adalah doa yang dilakukan ketika para pengikut dari suatu kelompok
keagamaan atau anggota mana pun dari kelompok itu berdoa untuk orang-
orang yang menjadi anggota komunitas iman atau agama lain. Contoh doa
antaragama tipe ini, seperti disampaikan di atas, adalah doa yang
dipanjatkan oleh Shahid Athar ketika memberikan sambutan pada acara
berbuka puasa bersama, yang dihadiri pula oleh para penganut agama-
agama lain, pada bulan Ramadan tahun 1993 di Masjid al-Fajr, di
Indianapolis. la berdoa untuk orang-orang non-Muslim yang mencap
bahwa semua orang Muslim adalah teroris sementara mereka sendiri
melakukan semua bentuk kekejaman terhadap orang-orang Muslim.
Dalam doa itu ia berkata: "Kami berdoa kepada Tuhan agar membimbing
orang-orang kelompok pertama (orang-orang non-Muslim yang mencap
semua orang Muslim teroris).
45

Dalam suatu masyarakat multi-iman atau multi-agama seperti
ditemukan di Indonesia, persoalan berdoa untuk orang-orang lain yang

44
Ibid, hlm. 92-93
45
Ibid, hlm. 94
60
berbeda agama, tanpa melekatkan label "iman atau agama yang sama,"
dipandang paling wajar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Bagaimanapun, kesulitan- kesulitan mungkin timbul. Apakah ajaran
keagamaan agama-agama yang berbeda itu menyetujui doa seperti itu?
Apa konsekuensi-konsekuensi menolak atau mengizinkan praktik-praktik
seperti itu bagi kehidupan keagamaan dalam suatu masyarakat multi-iman
atau multi-agama? Dalam konteks Islam, apakah ajaran Islam
membolehkan seorang Muslim atau orang-orang Muslim berdoa untuk
orang-orang non-Muslim? Jika orang-orang Muslim menolak atau
membolehkan praktik-praktik seperti itu, apa konsekuensi-konsekuensinya
bagi kehidupan keagamaan dalam suatu masyarakat multi-iman atau
multi-agama?
Kedua adalah doa ketika seorang individu atau suatu kelompok
keagamaan meminta doa untuknya atau untuk mereka sendiri dari orang-
orang lain yang bukan dari iman yang sama atau agama yang sama. Ini
akan menjadi praktik yang umum dalam suatu masyarakat multi-iman atau
multi-agama seperti di Indonesia. Sebuah persoalan akan segera muncul
dalam pikiran. Apakah orang-orang yang meminta doa dan orang-orang
yang diminta untuk berdoa percaya pada dan menyembah Tuhan yang
sama, meskipun mereka adalah para penganut iman-iman atau agama-
agama yang berbeda? Dalam konteks Islam, kata Nurcholish Madjid,dkk
tiap orang dapat menambahkan sebuah pertanyaan. Apakah ajaran Islam
membolehkan orang-orang Muslim meminta doa untuk mereka dari
orang-orang non-Muslim?
Ketiga adalah doa yang dilakukan ketika pada suatu peristiwa yang
dihadiri oleh para penganut agama-agama yang berbeda, satu orang
memimpin mereka semua dalam melakukan doa itu. Doa seperti ini sering
dilakukan di Indonesia ketika pemimpin doa adalah wakil dari suatu
agama mayoritas di suatu wilayah atau daerah tertentu. Contoh doa
bersama dapat pula ditemukan di Indonesia. Contohnya adalah doa
bersama pada akhir pertemuan yang diorganisir oleh MADIA di rumah
61
kediaman KH Abdurrahman Wahid di Ciganjur pada Jumat, 5 Juni 1998,
seperti disebut di atas. Pada tingkat nasional, pemimpin doa biasanya
adalah seorang Muslim karena Indonesia adalah negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam dan mempunyai populasi Muslim terbesar
dari negara manapun di dunia. Contoh-contoh doa bersama pada tingkat
nasional di Indonesia, adalah doa-doa bersama pada peristiwa-peristiwa
peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus), Hari
Sumpah Pemuda (28 Oktober), dan Hari Pahlawan (10 Nopember).
46

Di Mesir tegas Nurcholish Madjid,dkk, seperti disebutkan di atas,
orang dapat menemukan contoh doa bersama yang diadakan orang-orang
Muslim dan orang-orang Kristen yang bergabung dalam Persaudaraan
Keagamaan (al-Ikha' al-Dini) pada akhir setiap pertemuan yang mereka
lakukan untuk acara itu. Pada tingkat internasional, seperti dipaparkan di
atas, contoh tipe doa bersama adalah doa bersama yang dilakukan ketika
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merayakan hari ulang tahunnya yang
ke-50 di Markas Besarnya di New York. Doa bersama itu dipimpin
dipimpin oleh Uskup Desmond Tutu dari Afrika Selatan.
Berkaitan dengan doa bersama tipe ketiga ini menurut Nurcholish
Madjid,dkk muncul beberapa pertanyaan dalam pikiran. Haruskah
pemimpin doa bersama dalam situasi seperti itu memperhatikan watak
pluralis acara itu, dan mengubah doanya sesuai dengan watak pluralis
acara itu? Apakah sebenarnya ada satu bentuk doa yang dapat diterima
bagi semua kelompok? Apakah ajaran keagaman yang dianut oleh para
peserta dari agama-agama yang berbeda pada peristiwa seperti itu
memperkenankan jenis "doa bersama" ini? Dalam konteks Islam, apakah
ajaran Islam membolehkan praktik doa bersama tipe ini?
Keempat adalah doa pada suatu peristiwa atau pertemuan yang
dipimpin oleh para wakil dari masing-masing agama yang para
anggotanya hadir dalam pertemuan itu dengan cara mereka masing-
masing. Doa bersama jenis keempat ini dilakukan di Indonesia pada

46
Ibid, hlm. 95
62
tahun-tahun terakhir ini. Contohnya adalah doa bersama pada pertemuan
yang diorganisir oleh MADIA di rumah kediaman KH Abdurrahman
Wahid di Ciganjur pada Jumat, 5 Juni 1998, sebelum doa bersama tipe
ketiga pada akhir pertemuan itu, seperti disebut di atas.
Lebih lanjut Nurcholish Madjid,dkk menguraikan, orang dapat
pula menemukan contoh-contoh doa bersama jenis ini di negara-negara
lain, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat internasional.
Contoh-contohnya pada tingkat nasional dapat ditemukan di Mesir dan
Afrika Selatan, seperti disebutkan di atas. Contoh di Mesir adalah doa
bersama yang diadakan oleh orang-orang Muslim dan orang-orang Kristen
yang bergabung dalam Persaudaraan Keagamaan (al-Ikha' al-Dini) di
Kairo dalam setiap pertemuan untuk doa besama sebelum doa bersama
tipe ketiga di akhir setiap pertemuan itu. Contoh di Afrika Selatan adalah.
doa bersama yang diadakan pada acara pelantikan Nelson Mandela
sebagai Presiden Afrika Selatan. Contoh doa bersama jenis ini pada
tingkat internasional adalah doa bersama untuk kedamaian dunia yang
diprakarsai oleh Paus Yohanes Paulus II. Doa itu diadakan pada 26
Oktober 1986 di Assisi, Itali.
47

Berkenaan dengan doa bersama jenis terakhir ini, muncul sebuah
persoalan. Apakah setiap penganut suatu "agama"' yang diwakili oleh satu
pemimpin dalam doa, berdoa kepada "Tuhannya sendiri' atau apakah
semua penganut agama-agama berdoa kepada Tuhan yang sama,
meskipun mereka menggunakan tradisi-tradisi doa yang berbeda? Dalam
konteks Islam tegas Nurcholish Madjid,dkk dapat menambahkan sebuah
pertanyaan. Apakah ajaran Islam membolehkan praktik doa bersama jenis
ini?
Sekarang menurut Nurcholish Madjid,dkk perlu melihat
bagaimana hukum empat doa bersama ini menurut Islam. Apakah ajaran
Islam membolehkan para penganutnya mempraktikkan empat jenis doa
bersama ini? Sesuai dengan klasifikasi doa bersama ini menjadi empat

47
Ibid, 96
63
jenis, dapat dirinci pertanyaan ini menjadi empat pertanyaan berikut. (1)
Apakah ajaran Islam membolehkan orang-orang Muslim berdoa untuk
orang-orang non-Muslim? (2) Apakah ajaran Islam membolehkan orang-
orang Muslim meminta doa untuk mereka dari orang-orang non-Muslim?
(3) Apakah ajaran Islam membolehkan orang-orang Muslim berdoa dalam
suatu pertemuan yang dihadiri oleh para penganut agama-agama yang
berbeda apabila satu orang memimpin para hadirin dalam memanjatkan
doa itu? (4) Apakah ajaran Islam membolehkan orang-orang Muslim
berdoa dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh para penganut agama-
agama yang berbeda apabila. wakil-wakil dari masing-masing agama
memimpin membaca doa dengan cara mereka masing-masing?
Menjawab pertanyaan pertama, "Apakah ajaran Islam
membolehkan orang-orang Muslim berdoa untuk orang-orang non-
Muslim? sebuah pendapat demikian menurut Nurcholish Madjid,dkk
menyatakan bahwa Allah melarang berdoa untuk orang-orang non-
Muslim. Ibn Taimiyah kata Nurcholish Madjid,dkk mendukung pendapat
ini. la mengatakan bahwa ciptaan yang paling utama adalah Muhammad,
kemudian Ibrahim. Nabi Muhammad berhenti memintakan ampun untuk
pamannya Abu Thalib, setelah sebelumnya beliau berkata: "Aku benar-
benar akan memintakan ampun untuk engkau selama aku tidak dilarang
(memintakan ampun) untuk engkau," dan sebelumnya beliau menyalatkan
dan mendoakan orang-orang munafik. Dikatakan bahwa firman Allah,
"Dan janganlah engkau sekali-kali menyalatkan (jenazah) seorang yang
meninggal di antara mereka (orang-orang munafik), dan janganlah engkau
berdiri (mendoakannya) di kuburnya," (QS. 9:84) adalah teguran terhadap
Nabi. Sebelum teguran ini, Allah telah berfirman kepada beliau,
"Meskipun engkau memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali,
Allah sekali-kali tidak akan memberikan ampun kepada mereka." (QS.
9:80). Namun demikian beliau berkata: "Seandainya aku mengetahui
bahwa jika aku tambah lebih dari tujuh puluh kali Dia akan memberi
mereka ampun, tentu akan aku tambah." Maka Allah berfirman: "Sama
64
saja bagi mereka, apakah engkau memintakan ampun bagi mereka atau
engkau tidak memintakan ampun bagi mereka; Allah sekali-kali tidak
akan memberikan ampun kepada mereka." (QS. 63: 6).
48

Menurut Nurcholish Madjid,dkk larangan berdoa memintakan
ampun dalam ayat-ayat ini (QS. 9: 80, 84; QS. 63: 6) adalah larangan
berdoa memintakan ampun bagi orang-orang munafik. Dua ayat terakhir
(QS. 9: 84; 63: 6) turun berkaitan dengan peristiwa ketika Abdullah ibn
Ubbai, pemimpin orang-orang munafik, meninggal. Anaknya memohon
kepada Nabi agar beliau menyalatkan dan memintakan ampun baginya.
Meskipun dicegah oleh Umar agar mengurungkan niatnya untuk
memenuhi permohonan itu karena larangan Allah (QS. 9:81), Nabi tetap
menyalatkannya. Maka turunlah larangan lain (QS. 9: 84). Ada juga
riwayat yang menceritakan bahwa Abdullah ibn Ubbai menolak usul agar
ia memohon kepada Nabi untuk memintakan ampun baginya, tetapi usul
itu ia tolak dengan sombong. Maka turunlah ayat (QS. 63: 6) sebagai
teguran terhadap Nabi.
49

Larangan berdoa memintakan ampun untuk orang-orang non-
Muslim didasarkah pula pada firman Allah: "
Tidaklah patut bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan
ampun untuk orang-orang musyrik meskipun mereka adalah kaum
kerabatnya sendiri setelah nyata bagi mereka bahwa sesungguhnya
mereka adalah penghuni neraka Jahannam. Dan permohonan ampun
Ibrahim untuk bapaknya tidak lain kecuali karena suatu janji yang
telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala nyata baginya
bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, ia berlepas diri daripadanya.
Sesungguhnya Ibrahim adalah orangyang benar-benar lembut dan
penyantun" (QS. 9: 113- 114).

Larangan ini menurut Nurcholish Madjid,dkk terkait dengan
sebuah peristiwa yang diceritakan oleh Ali ibn Abi Thalib kepada Nabi
s.a.w. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Ali ibn Abi Thalib
mendengar seorang laki-laki sedang berdoa memintakan ampun untuk

48
Ibid, hlm. 98-99
49
Ibid, hlm. 99
65
kedua orang tuanya yang musyrik. Maka, Ali bertanya kepada laki-laki
itu: "Apakah engkau memintakan ampun untuk kedua orang tua engkau
sedangkan keduanya adalah orang musyrik?" la menjawab: "Bukankah
Ibrahim memintakan ampun untuk bapaknya yang musyrik?" Lalu, Ali
melaporkan masalah itu kepada Nabi s.a.w. Maka turunlah firman Allah
ini (QS. 9:113- 114).
50

Karena itu, menurut Nurcholish Madjid,dkk semestinya ayat-ayat
di atas (QS. 9: 80,84; 63: 6; 9: 113-114) dipahami dalam konteks larangan
berdoa untuk orang-orang munafik dan orang-orang musyrik,
51
khususnya
yang telah meninggal. Dan, perlu segera ditambahkan, bahwa tidak semua
orang non-Muslim itu munafik dan musyrik. Di antara non-Muslim
terdapat orang-orang yang bertauhid dan mempunyai hubungan baik dan
bersahabat dengan Nabi dan orang-orang Muslim, seperti Abu Thalib,
Raja Negus, dan Mukhairiq. Karena itu, larangan berdoa untuk orang-
orang non-Muslim yang bukan munafik dan bukan pula musyrik tidak
dapat diterapkan. Nabi Muhammad s.a.w. mengajari Ali cara
memandikan, mengafani dan upacara penguburannya, dan berdoa kepada
Allah untuk keselamatan ruhnya yang telah pergi. Beberapa hadis yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari melalui Abu Hurairah dan Jabir ibn
Abdillah memberitahukan kepada kita bahwa Nabi Muhammad
memberitahu kematian Negus, Raja Etiopia, kepada para sahabat pada
hari wafatnya dan beliau pergi keluar bersama mereka menyalatkan Raja
itu dengan empat takbir.
52

Ketika Nabi.Muhammad merasakan betapa beratnya beban
dakwah Islam yang beliau pikul karena mendapat tekanan-tekanan keras

50
Ibid, hlm. 100
51
Pada zaman dahulu, munafik adalah orang yang mengaku Islam tetapi dalam hatinya
beriman pada agama lain. Sedangkan Munafik pada saat ini adalah orang yang berpura-pura atau
ingkar; apa yang diucapkannya tidak sesuai dengan yang ada di dalam hati dan tindakannya.
Misalnya: lisannya mengaku beriman tetapi dalam hati dan tindakannya ingkar atau kafir. Adapun
Musyrik, perbuatannya disebut syirik yaitu di samping menyembah Allah juga patung atau berhala
seperti Latta, Mana'ta dan Uzza. Pada masa sekarang, khususnya dalam perspektif di Indonesia,
yaitu perbuatan, anggapan atau iktikad menyekutukan Allah SWT dengan yang lain, seakan-akan
ada yang Maha Kuasa di samping Allah SWT.
52
Ibid, hlm. 100-101
66
dari orang-orang musyrik Quraisy, beliau pernah berdoa: "Ya Allah,
kuatkanlah Islam dengan salah seorang dari dua orang ini, Abu al-Hakam
ibn Hisyam atau Umar ibn al-Khattab!" Melalui ucapan ini, Nabi secara
tidak langsung berdoa untuk Abu al-Hakam dan Umar agar salah seorang
dari mereka masuk Islam dan dengan demikian Islam akan semakin kuat.
Abu al-Hakam adalah salah seorang musuh terbesar Islam yang oleh
orang-orang Muslim dijuluki Abu Jahl (Bapak Kebodohan). Umar
sebelum masuk Islam adalah juga salah seorang musuh terbesar Islam.
Doa Nabi dikabulkan oleh Tuhan: Umar, salah seorang dari mereka masuk
Islam.
Ajakan Nabi Muhammad s.a.w. kepada penduduk Taif untuk
masuk Islam dan permintaan beliau untuk membantunya melawan musuh-
musuhnya mereka tolak. Bahkan ketika bergerak meninggalkan mereka,
beliau mendapat cacian dan lemparan batu-batu yang mengakibatkan kaki
beliau luka dengan mengeluarkan darah. Dalam situasi yang tidak
menguntungkan itu, Nabi berdoa: "Ya Allah, berilah kaumku petunjuk,
karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui." Meskipun dakwah beliau
ditolak oleh orang-orang Taif, beliau tidak mengutuk mereka dan tidak
memohon agar Tuhan menimpakan siksaan atas mereka. Sebaliknya,
beliau berdoa agar Allah memberi mereka petunjuk.
Peristiwa-peristiwa di atas dapat menjadi dalil dibolehkannya
mendoakan non-Muslim. Hukum dibolehkannya mendoakan non-Muslim
juga dapat didasarkan pada bolehnya mengucapkan salam kepada orang-
orang non-Muslim karena, seperti dijelaskan di atas, salam (al-salam
'alaykum) adalah doa. Nabi mengucapkan salam melalui suratnya kepada
Negus meskipun Raja itu bukan seorang Muslim.
53
Beberapa ayat al-
Qur'an yang menjadi dasar hukum mengucapkan salam dapat dijumpai
antara lain dalam surat an-Nisaa (4) ayat 86; surat an- Nuur (24) ayat 27,
61; surat adz Dzaariyaat (51) ayat 24, 25.
Dalam al-Qur'an surat an-Nisaa (4) ayat 86 ditegaskan:

53
Ibid, hlm. 101-102
67







Artinya: Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka
balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau
balaslah (dengan yang serupa).
54
Sesungguhnya Allah
memperhitungkan segala sesuatu. (QS 4:86).
55



Ahmad Mustafa al-Maragi dalam tafsirnya memaparkan, jawaban
yang baik kadang-kadang bisa dilakukan dengan makna maupun cara
penyampaiannya, meskipun dengan kata-kata yang sama diucapkan oleh
orang yang memulai atau lebih pendek dari itu. Jika ada orang yang
mengucapkan As-Salamu'alaikum dengan suara rendah yang menunjukkan
kurangnya perhatian, lalu membalas dengan Wa'alaikumus-salam dengan
suara yang lebih keras dan penyambutan yang menunjukkan besarnya
perhatian, maka penyambutan dan penghormatan seperti itu, berarti orang
itu telah membalasnya dengan ucapan selamat yang lebih baik, dilihat dari
sifatnya, meskipun kata-katanya sama.
56

Singkatnya menurut Ahmad Mustafa al-Maragi bahwa jawaban
terhadap ucapan selamat mempunyai dua martabat : yang paling rendah
ialah jawaban dengan yang sebanding, sedangkan yang paling tinggi ialah
jawaban dengan yang lebih baik daripadanya. Orang yang menjawab
bebas memilih antara keduanya. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas,
bahwa Rasulullah saw. bersabda:

54
Penghormatan dalam Islam ialah dengan mengucapkan "Assalamu ' alaikum".
55
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya,
Depag RI, 1986, hlm. 133
56
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir al-Maragi, Mesir: Mustafa Al-Babi Al-Halabi,
1394 H/1974 M, hlm. 180
68
57

Artinya: Barangsiapa di antara makhluk Allah mengucapkan salam
kepadamu, maka jawablah ia, meskipun dia seorang yang
beragama Majusi. Sebab, Allah berfirman : Apabila kalian
diberi penghormatan dengan suatu penghormatan, maka
balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik
daripadanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang
serupa).

Barangsiapa mengucapkan As-Salamu 'alaikum kepada musuhnya,
berarti dia telah mengamankan dirinya. Orang-orang Arab dahulu
memaksudkan makna ini sebagai salah satu perangainya. Akan tetapi,
kaum Muslimin sekarang tidak suka bila ada kaum lain mengucapkan
selamat kepada mereka dengan As-Salam, sebagaimana tidak suka
membalas salam kepada selain Muslim, seakan-akan mereka lupa bahwa
apabila adab-adab Islami diberlakukan, maka mereka akan mengetahui
keutamaan Islam, dan akan mendorong mereka untuk memeluknya.
58

Bolehnya atau larangan berdoa untuk orang-orang non-Muslim
dalam al-Qur'an tidak mungkin tanpa tujuan Syariah: yakni kemaslahatan.
Kemaslahatan selalu berkaitan dengan konteks kultural dan sosial.
Larangan berdoa memintakan ampun untuk orang-orang munafik dan
musyrik, khususnya yang telah meninggal, adalah untuk kemaslahatan.
Berdoa untuk orang-orang munafik dan musyrik yang telah meninggal
tidak berguna karena nasib mereka di akhirat tidak akan berubah dan
mereka akan tetap masuk neraka. Berdoa untuk mereka adalah "mubazir."
Maka muncullah larangan berdoa untuk mereka. Larangan itu untuk
kemaslahatan, yaitu mengindari "kemubaziran" doa yang tidak berguna.
Berdoa untuk orang-orang munafik yang menolak didoakan dengan
sombong adalah juga tidak bermanfaat karena tidak mengubah mereka
menjadi orang-orang yang beriman dan bertauhid. Karena itu, berdoa
untuk orang-orang seperti ini juga dilarang. Larangan itu adalah untuk
kemaslahatan: mengindari doa yang tidak berguna.

57
Ibid, hlm. 180
58
Ibid, hlm. 180-181
69
Bolehnya berdoa untuk orang-orang non-Muslim adalah untuk
kemaslahatan. Nabi berdoa untuk Abu Thalib dan mengucapkan salam
kepada Negus dan menyalatkannya setelah wafatnya untuk kemaslahatan.
Abu Thalib dan Negus bukan orang musyrik dan munafik. Meskipun
mereka bukanlah orang Muslim secara formal, tetapi mereka adalah orang
muslim secara esensial. Berdoa untuk Abu Thalib adalah untuk
kemaslahatan: keselamatan di akhirat, dan berdoa untuk Negus ketika ia
hidup dan wafat adalah untuk kemaslahatan: persaudaraan (ketika ia
hidup) dan keselamatan di akhirat (ketika ia telah wafat).
Berdoa untuk orang-orang non-Muslim yang bukan musyrik dan
bukan munafik dibolehkan selama bertujuan untuk kemaslahatan.
59

Sekarang kita beralih kepada pertanyaan kedua, yaitu: "Apakah ajaran
Islam membolehkan kaum Muslim meminta doa untuk mereka dari orang-
orang non-Muslim?" Pertanyaan ini tidak dapat dipisahkan dari
pertanyaan lain yang lebih mendasar, yaitu: "Apakah orang-orang yang
meminta doa dan orang-orang yang diminta untuk berdoa percaya dan
menyembah Tuhan yang sama, meskipun mereka adalah para penganut
iman-iman atau agama-agama yang berbeda?" Pertanyaan ini dalam
konteks Islam dapat diubah seperti berikut: "Apakah orang-orang Muslim
(sebagai pihak yang meminta doa untuk mereka) dan orang-orang non-
Muslim (sebagai pihak yang diminta doa) percaya dan menyembah Tuhan
yang satu dan sama?" Apabila jawabannya "Tidak" maka meminta doa
dari orang-orang non-Muslim dilarang karena mereka percaya dan
menyembah "tuhan-tuhan" lain yang bukan Tuhan. Apabila jawabannya
"Ya," maka meminta doa dari orang-orang non-Muslim dibolehkan karena
mereka dan orang-orang Muslim percaya dan menyembah Tuhan yang
satu dan sama meskipun dengan cara-cara yang berbeda.
Kita tidak pernah menemukan contoh meminta doa kepada non-
Muslim pada masa Nabi dan sahabat. Bagi orang-orang Muslim pluralis
sejati, (yang percaya bahwa semua agama, meskipun dengan jalan

59
Ibid, hlm. 102-103
70
masing-masing yang berbeda, menuju satu tujuan yang sama, Yang
Absolut, Yang Terakhir, Yang Riil) meminta doa kepada orang-orang
non-Muslim adalah mungkin dan, karena itu, tidak terlarang. Tidak ada
larangan meminta doa dari non-Muslim, tetapi lebih baik tidak dilakukan
agar terbebas dari ketedakpastian.
Selanjutnya, menurut Nurcholish Madjid,dkk kita melangkah
kepada pertanyaan ketiga, yaitu: "Apakah ajaran Islam membolehkan
orang Muslim berdoa dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh para
penganut agama-agama yang berbeda apabila satu orang memimpin para
hadirin dalam memanjatkan doa itu?" Sebelum menjawab pertanyaan ini,
paling tidak ada dua pertanyaan lain yang perlu dijawab terlebih dahulu,
yaitu: (1) Apakah orang yang memimpin doa bersama itu adalah seorang
Muslim? (2) Apakah doa atau teks doa yang dibaca dalam doa bersama itu
tidak bertentangan dengan ajaran Islam? Biasanya orang yang memimpin
doa bersama dalam suatu pertemuan dalam contoh-contoh empiris adalah
orang yang menganut agama mayoritas. Dalam acara doa bersama di
Indonesia pada tingkat nasional, seperti pada peristiwa-peristiwa
peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus), Hari
Sumpah Pemuda (28 Oktober), dan Hari Pahlawan (10 Nopember),
biasanya, yang menjadi pemimpin adalah seorang Muslim. Dalam acara
doa bersama seperti ini, jika pemimpin doa adalah non-Muslim, mungkin
akan timbul protes dari orang-orang Muslim di seluruh Indonesia.
60

Situasinya akan berbeda apabila doa bersama jenis ini dilakukan di
daerah-daerah tertentu di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah
non-Muslim atau dalam pertemuan-pertemuan tertentu yang pesertanya
adalah non-Muslim. Pemimpin doa dalam situasi seperti itu adalah non-
Muslim. Dalam doa bersama jenis ini di Bali, misalnya, karena mayoritas
penduduknya adalah Hindu, biasanya yang menjadi pemimpin doa adalah
seorang pemuka agama Hindu. Dalam doa bersama jenis ini di Papua
Barat, atau Irian Jaya, karena mayoritas penduduknya adalah Kristen,

60
Ibid, hlm. 104
71
biasanya yang menjadi pemimpin doa adalah seorang pemuka agama
Kristen. Dalam doa bersama tipe ini yang dilakukan oleh organisasi-
organisasi dialog antaragama, biasanya yang menjadi pemimpin doa tidak
selalu dari satu agama tetapi orangnya berganti-berganti: pada suatu
pertemuan seorang Kristen, pada pertemuan lain seorang Muslim, dan
pada pertemuan lain mungkin seorang Hindu.
Biasanya doa atau teks doa yang dibaca dalam doa bersama jenis
ini dirancang sebagai sebuah doa bersama yang dapat diterima oleh semua
peserta dari agama-agama yang berbeda. Apakah doa atau teks doa yang
dibaca dalam doa bersama itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam?
Dalam doa bersama jenis ini, seperti dikatakan di atas, pada umumnya
lebih disukai menghindari penggunaan teks-teks resmi peribadatan salah
satu agama demi mengindari kebingungan. Maka, dibuatlah atau
disusunlah sebuah doa atau teks doa yang disetujui oleh semua peserta
dari agama-agama yang berbeda. Doa atau teks doa seperti itu tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Contohnya adalah "Doa Bersama untuk
Reformasi," yang dibacakan pada pertemuan yang diorganisir oleh
MADIA di rumah kediaman KH Abdurrahman Wahid di Ciganjur pada
Jumat, 5 Juni 1998. Contoh lain yang patut ditampilkan di sini adalah
sebuah doa yang ditulis oleh Hans Kung untuk sebuah komunitas
Ibrahimiah (sebuah komunitas yang anggota-anggotanya adalah Yahudi,
Kristen dan Muslim)
Menurut Nurcholish Madjid,dkk apabila orang yang memimpin
doa bersama ini adalah seorang Muslim dan doa yang dibaca tidak
bertentangan dengan ajaran Islam, doa bersama jenis ini dibolehkan.
Apabila orang yang memimpin doa adalah seorang non-Muslim, apakah
doa bersama ini dibolehkan? Sebenarnya sama saja, apakah orang yang
memimpin doa adalah Muslim atau non-Muslim, karena doa yang dibaca
adalah satu yang dibaca oleh dan untuk semua peserta. Karena itu, doa
bersama seperti ini yang dipimpin oleh seorang non-Muslim dibolehkan.
Apalagi doa bersama jenis ini bertujuan untuk kemaslahatan seperti
72
kedamaian, kerukunan, persaudaraan, dan solidaritas, maka ia dibolehkan,
bahkan bisa meningkat menjadi dianjurkan.
61

Sekarang kita sampai pada pertanyaan keempat dan terakhir
berkenaan dengan doa bersama, yaitu: "Apakah ajaran Islam
membolehkan orang-orang Muslim berdoa dalam suatu pertemuan yang
dihadiri oleh para penganut agama-agama yang berbeda apabila wakil-
wakil dari masing-masing agama memimpin membaca doa dengan cara
mereka masing-masing?" Pertanyaan ini mungkin paling mudah dijawab
apabila tiga pertanyaan sebelumnya telah dijawab. Dengan kata lain,
hukum doa bersama tipe keempat ini lebih mudah diketahui apabila
hukum doa bersama tiga tipe pertama telah diketahui. Persoalannya lebih
ringan dari sudut pandang Islam karena tiga alasan. Pertama, doa yang
dibaca dalam doa bersama jenis terakhir ini bukan untuk orang-orang non-
Muslim tetapi untuk orang-orang Muslim dan orang-orang yang senasib
dan satu kepentingan dengan mereka. Kedua, dalam doa bersama tipe ini
orang-orang Muslim tidak meminta doa untuk mereka dari orang-orang
non-Muslim. Orang-orang Muslim memanjatkan doa mereka sendiri.
Ketiga, dalam doa bersama tipe ini orang yang memimpin doa dari
kelompok Islam adalah wakil mereka, yang tentu saja adalah seorang
Muslim. Keempat, doa yang dipanjatkan atau dibaca adalah doa yang
diajarkan oleh Islam.
Apabila doa bersama tipe-tipe pertama, kedua dan ketiga
dibolehkan menurut ajaran Islam, maka dapat disimpulkan dengan mudah
bahwa doa bersama tipe keempat tentu dibolehkan. Seperti doa bersama
tipe-tipe lain, doa bersama jenis ini, karena bertujuan untuk kemaslahatan
seperti kedamaian, kerukunan, persaudaraan, dan solidaritas, tentu
dibolehkan, bahkan bisa meningkat menjadi dianjurkan.


61
Ibid, 104-106
73
BAB IV
SIGNIFIKANSI PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID BAGI
KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

A. Analisis Pendapat Nurcholish Madjid tentang Toleransi Beragama
Apabila memperhatikan pendapat Nurcholish Madjid tentang toleransi
beragama sebagaimana telah dikemukakan dalam bab tiga skripsi ini, maka
hal yang patut dianalisis sebagai berikut:
a. Asas Kerukunan Antar Umat Beragama
Nurcholish Madjid berpendapat:
Mendiskusikan masalah asas kerukunan antar umat beragama,
berarti langsung atau tidak langsung kita telah mengasumsikan
adanya kemungkinan berbagai penganut agama bertemu dalam
suatu landasan bersama (common platform). Maka sekarang
pertanyaannya ialah, adakah titik-temu agama-agama itu?
Pertanyaan yang hampir harian itu kita ketahui mengundang
jawaban yang bervariasi dari ujung ke ujung, sejak dari yang tegas
mengatakan "ada", kemudian yang ragu dan tidak tahu pasti secara
skeptis atau agnostis, sampai kepada yang tegas mengingkarinya.
Mungkin, mengikuti wisdom lama, yang benar ada di suatu posisi
antara kedua ujung itu, berupa suatu sikap yang tidak secara
simplistik meniadakan atau mengadakan, juga bukan sikap ragu
dan penuh kebimbangan.
1


Menurut Nurcholish Madjid:
Karena kita bangsa Indonesia sering membanggakan atau
dibanggakan sebagai bangsa yang bertoleransi dan berkerukunan
agama yang tinggi, maka barangkali cukup logis jika jawaban atas
pertanyaan di atas kita mulai dengan suatu sikap afirmatif. Sebab
logika toleransi, apalagi kerukunan, ialah saling pengertian dan
penghargaan, yang pada urutannya mengandung logika titik-temu,
meskipun, tentu saja, terbatas hanya kepada hal-hal prinsipil. Hal-
hal rinci, seperti ekspresi-ekspresi simbolik dan formalistik, tentu
sulit dipertemukan. Masing-masing agama, bahkan sesungguhnya
masing-masing kelompok intern suatu agama tertentu sendiri,

1
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan visi Baru Islam
Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 91.
74
mempunyai idiomnya yang khas dan bersifat esoterik, yakni,
"hanya berlaku secara intern".
2


Karena itulah ikut-campur oleh seorang penganut agama dalam
urusan rasa kesucian orang dari agama lain adalah tidak rasional
dan absurd. Misalnya, agama Islam melarang para penganutnya
berbantahan dengan para penganut kitab suci yang lain melainkan
dengan cara yang sebaik-baiknya, termasuk menjaga kesopanan
dan tenggang rasa disebutkan kecuali terhadap yang bertindak
zalim dan orang Islam diperintahkan untuk menegaskan bahwa
kita semua, para penganut kitab suci yang berbeda-beda itu, sama-
sama menyembah Tuhan Yang Maha Esa dan sama-sama pasrah
kepada-Nya. Bahkan biarpun sekiranya kita mengetahui dengan
pasti bahwa seseorang lain menyembah sesuatu obyek sesembahan
yang tidak semestinya, bukan Tuhan Yang Maha Esa (sebagai
sesembahan yang benar), kita tetap dilarang untuk berlaku tidak
sopan terhadap mereka itu. Sebab, menurut al-Qur'an, sikap
demikian itu akan membuat mereka berbalik berlaku tidak sopan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesembahan yang benar, hanya
karena dorongan rasa permusuhan dan tanpa pengetahuan yang
memadai. Terhadap mereka inipun pergaulan duniawi yang baik
tetap harus dijaga, dan di sini berlaku adagium "bagimu agamamu
dan bagiku agamaku. Ungkapan ini bukanlah pernyataan yang
tanpa peduli dan rasa putus asa, melainkan karena kesadaran
bahwa agama tidak dapat dipaksakan, dan bahwa setiap orang,
lepas dari soal agamanya apa, tetap harus dihormati sebagai
manusia sesama makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Sebab Tuhan
sendiripun menghormati manusia, anak cucu Adam di mana saja.
3


b. Asas Kerjasama Antar Umat Beragama
Menurut Nurcholish Madjid:
Jika para penganut agama itu semua mengamalkan dengan
sungguh-sungguh ajaran agama mereka, maka Allah menjanjikan
hidup penuh kebahagiaan, baik di dunia ini maupun dalam
kehidupan sesudah mati nanti, di Akhirat. Suatu firman yang
secara umum ditujukan kepada semua penduduk negeri
menjanjikan bahwa kalau memang mereka itu benar-benar
beriman dan bertaqwa, maka Tuhan akan membukakan berbagai
barkah-Nya dari langit (atas) dan dari bumi (bawah).
4



2
Ibid.,
3
Ibid., hlm. 92.
4
Ibid.,
75
c. Etika Beragama
Menurut Nurcholish Madjid:
Tulisan ini dibuat di saat bangsa Indonesia sedang menghadapi
masalah-masalah besar yang belum sepenuhnya terselesaikan.
Malah tampak semakin menyesakkan dada. Salah satu masalah
besar itu adalah kenyataan bahwa akhir-akhir ini kita menyaksikan
dengan perasaan mencekam suasana hubungan antarumat
beragama di Tanah Air mulai terusik, bahkan telah pula menelan
banyak korban jiwa, kehormatan dan harta benda. Padahal, bangsa
Indonesia sering membanggakan atau dibanggakan sebagai bangsa
yang memiliki tingkat toleransi dan kerukunan beragama yang
amat tinggi. Namun, intensitas konflik di masyarakat kita akhir-
akhir ini yang diduga telah melibatkan penganut agama-agama
dengan tingkat kekejaman yang sulit diterima akal sehat, maka
barangkali cukup logis jika diajukan pertanyaan, "Adakah sesuatu
nilai yang mampu mempertemukan agama-agama di negeri ini
sehingga membuat mereka (para umat beragama itu) tidak harus
saling menghancurkan?"
5



Jika mengkaji dan menyikapi pendapat Nurcholish Madjid tersebut,
dapatlah dianalisis sebagai berikut:
Tuhan menciptakan alam ini di atas sunnah pluralitas dalam sebuah
kerangka kesatuan. Dalam kerangka kesatuan manusia, kita melihat
bagaimana Tuhan menciptakan berbagai macam golongan (partai), suku
bangsa, budaya dan agama. Dalam kerangka sebuah bangsa, Tuhan
menciptakan beragam suku dan sosial budaya. Dalam kerangka kesatuan
bahasa, Tuhan menciptakan berbagai macam dialek. Dalam kerangka kesatuan
agama, Tuhan menciptakan berbagai agama. Dalam kerangka kesatuan
golongan, Tuhan menciptakan partai-partai. Tentunya masih banyak lagi
bentuk pluralitas di alam ini yang tidak dapat disebutkan semuanya.
Dengan adanya pluralisme ini, toleransi keagamaan yang dicanangkan
Nurcholish Madjid menjadi sangat penting karena perbedaan-perbedaan dan
perpecahan antar kelompok keagamaan dapat memicu konflik, dan pada
gilirannya dapat menyebabkan desintegrasi. Karena, pada mulanya hubungan

5
Nurcholish Madjid, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, (Jakarta: Mediacita,
2001), hlm. 3.
76
antara masyarakat yang berbeda-beda agama tersebut tampak harmonis. Tapi
pada akhir-akhir ini terjadi perubahan dalam hubungan tersebut, khususnya
antara Islam dan Kristen. Ini disebabkan antara lain karena agama Kristen dan
agama Islam adalah sama agama missi. Lebih dari itu, agama dalam
kehidupan masyarakat majemuk selain dapat berperan sebagai faktor
pemersatu (integratif) juga sebagai faktor pemecah (disintegratif). Fenomena
ini banyak ditentukan oleh empat hal: (1) Teologi agama dan doktrin
ajarannya, (2) sikap dan perilaku pemeluknya dalam memahami dan
menghayati agama tersebut, (3) lingkungan sosio-kultural yang
mengelilinginya, (4) peranan dan pengaruh pemuka agama tersebut dalam
mengarahkan pengikutnya.
6

Dalam sejarah Islam, toleransi dalam kehidupan beragama telah
dipraktikkan. Salah satu yang sangat menonjol ialah "Piagam Madinah" yang
disusun oleh Rasulullah, sesaat setelah berhijrah dari Madinah ke Mekah dan
pimpinan agama lain. Piagam Madinah itu semacam deklarasi damai
antarumat beragama. Demikian pula ketika Umar bin Khattab memimpin
pemerintahan tahun 15 Hijriah mengadakan perjanjian terhadap penduduk
yang beragama Nasrani Yerusalem, ketika kawasan itu dibebaskan. Dalam
perjanjian itu antara lain disebutkan jaminan untuk jiwa dan harta mereka, dan
untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka, serta yang dalam keadaan sakit
ataupun sehat dan untuk agama mereka secara keseluruhan. Bahkan jauh hari
Al-Qur'an telah mensinyalir akan muncul bentuk klaim kebenaran, baik dalam
wilayah intern umat beragama maupun antarumat beragama. Kedua-duanya
sama-sama tidak menyenangkan dan tidak kondusif bagi upaya membangun
tata pergaulan masyarakat yang sehat.
7

Islam mengakui hak hidup agama-agama lain, dan membenarkan para
pemeluk agama lain tersebut untuk menjalankan ajaran agama masing-masing.
Di sini, terdapat dasar ajaran Islam mengenai toleransi beragama. Toleransi
tidak diartikan sebagai sikap masa bodoh terhadap agamanya, atau bahkan

6
Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqidah Islam, (Jakarta: Prenada
Media, 2003), hlm. 320 322
7
Harian Suara Merdeka, 3 Januari 2006, hlm. 9.
77
tidak perlu mendakwahkan ajaran kebenaran yang diyakininya itu. Oleh
karena itu, setiap orang yang beriman senantiasa terpanggil untuk
menyampaikan kebenaran yang diketahui dan diyakininya, tetapi harus
berpegang teguh pada etika dan tata krama sosial, serta tetap menghargai hak-
hak individu untuk menentukan pilihan hidupnya masing-masing secara
sukarela. Sebab, pada hakikatnya hanya di tangan Tuhanlah pengadilan atau
penilaian sejati akan dilaksanakan. Pengakuan akan adanya kebenaran yang
dianut memang harus dipertahankan. Tetapi, pengakuan itu harus memberi
tempat pula pada agama lain sebagai sebuah kebenaran yang diakui secara
mutlak oleh para pemeluknya.
8

Islam merupakan agama termuda dalam tradisi Ibrahimi. Pemahaman
diri Islam sejak kelahirannya pada abad ke-7 sudah melibatkan unsur kritis
pluralisme, yaitu hubungan Islam dengan agama lain. Melacak akar-akar
pluralisme dalam Islam, berarti ingin menunjukkan bahwa agama Ibrahimi
termuda ini sebenarnya bisa mengungkap diri dalam suatu dunia agama
pluralistis. Islam mengakui dan menilainya secara kritis, tapi tidak pernah
menolaknya atau menganggapnya salah. Sejak kelahirannya, memang Islam
sudah berada di tengah-tengah budaya dan agama-agama lain. Nabi
Muhammad Saw ketika menyiarkan agama Islam sudah mengenal banyak
agama semisal Yahudi dan Kristen. Di dalam Al-Qur'an pun banyak
ditemukan rekaman kontak Islam serta kaum muslimin dengan komunitas-
komunitas agama yang ada di sana. Perdagangan yang dilakukan bangsa Arab
pada waktu itu ke Syam, Irak, Yaman, dan Etiopia, dan posisi kota Mekah
sebagai pusat transit perdagangan yang menghubungkan daerah-daerah di
sekeliling jazirah Arab membuat budaya Bizantium, Persia, Mesir, dan
Etiopia, menjadikan agama-agama yang ada di wilayah Timur Tengah dan
sekitarnya, tidak asing lagi bagi Nabi Muhammad Saw.
9


8
Adeng Muchtar Ghazali, Pemikiran Islam Kontemporer Suatu Refleksi Keagamaan Yang
Dialogis, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hlm. 55-58
9
Syamsul Ma'arif, Pendidikan Pluralisme Di Indonesia, (Yogyakarta: Logung Pustaka,
2005), hlm. 36-38
78
Pandangan tentang manusia memiliki akar-akarnya dalam setiap segi
ajaran Islam. Bahkan Islam itu sendiri adalah agama kemanusiaan, dalam arti
bahwa ajaran-ajarannya sejalan dengan kecenderungan alami manusia
menurut fitrahnya yang abadi (perennial). Karena itu seruan untuk menerima
agama yang benar itu dikaitkan dengan fitrah tersebut, sebagaimana dapat kita
baca dalam Kitab Suci al-Qur'an surat ar-Rum (30) ayat 30 :
)
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu untuk agama ini sesuai dengan
kecenderungan alami menurut fitrah Allah yang dia telah ciptakan
manusia atasnya. Itulah agama yang tegak lurus, namun sebagian
besar manusia tidak mengetahui (Q.S. ar-Rum (30): 30)".
10


Jadi menerima agama yang benar tidak boleh karena terpaksa. Agama
itu harus diterima sebagai kelanjutan atau konsistensi hakikat kemanusiaan itu
sendiri. Dengan kata lain, beragama yang benar harus merupakan kewajaran
manusiawi. Cukuplah sebagai indikasi bahwa suatu agama atau kepercayaan
tidak dapat dipertahankan jika ia memiliki ciri kuat bertentangan dengan
naluri kemanusiaan yang suci. Karena itu dalam firman yang dikutip di atas
ada penegasan bahwa kecenderungan alami manusia kepada kebenaran
(hanifiyah) sesuai dengan kejadian asalnya yang suci (fitrah) merupakan
agama yang benar, yang kebanyakan manusia tidak menyadari.
11

Kerukunan antar umat beragama kiranya akan menjadi agenda
nasional bahkan internasional yang tak kunjung usai. Ini bisa dipahami karena
masa depan suatu bangsa sedikit banyak tergantung pada sejauh mana
keharmonisan hubungan antarumat beragama ini. Kegagalan dalam
merealisasikan agenda ini akan mengantarkan suatu bangsa pada trauma

10
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya,
Departemen Agama, 1986, hlm. 645
11
Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 24.
79
terpecah belahnya sebagai bangsa.
12
Dalam Al-Quran surat al-Mumtahanah
(60) ayat 8 Allah SWT berfirman:
Artinya: Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan
tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil (Q.S. al-Mumtahanah (60):
ayat 8).
13


Akhir-akhir ini wacana tentang pluralitas agama dan masalah-masalah
yang mengitarinya semakin menguat dan muncul ke permukaan. Buku-buku,
tulisan-tulisan media massa, dan acara-acara seminar, kongres, simposium,
diskusi, dialog seputar hubungan antarumat beragama semakin sering kita
saksikan dalam berbagai tingkat, baik lokal, nasional, maupun internasional.
Kecenderungan menguatnya perbincangan seputar pluralitas agama dan
hubungan antarumat beragama ini akan semakin kuat di masa-masa
mendatang dan tidak akan pernah mengalami masa kadaluarsa. Sebab topik
ini adalah topik yang selalu aktual dan menarik bagi siapa pun yang mencita-
citakan terwujudnya perdamaian di bumi ini.
14
Itulah sebabnya salah satu
tokoh nasional yang pemikiran dan gagasannya banyak menjadi rujukan
berbagai kalangan adalah Prof. Dr. Nurcholish Madjid, atau yang lebih
dikenal dengan panggilan akrab Cak Nur. Doktor lulusan Universitas Chicago
(1984) ini dikenal sebagai tokoh yang sangat concern dan committed terhadap
berbagai persoalan kebangsaan, terutama yang menyangkut persoalan nilai
keislaman dalam konteks dengan toleransi beragama terhadap agama lain.
15


12
Abd. Rohim Ghazali dalam M. Quraish Shihab, Atas Nama Agama: Wacana Agama
Dalam Dialog Bebas Konflik, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1988), hlm.133
13
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, op. cit, hlm. 924.
14
Nur Achmad (ed), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta: Penerbit
Kompas, 2001), hlm. ix
15
Nurcholish Madjid, Jejak Pemikiran dari Pembaharu Sampai Guru Bangsa,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 392
80
Setelah mengkaji pendapat Nurcholish Madjid di atas, penulis hendak
menganalisis sebagai berikut: bahwa pendapat Nurcholish Madjid patut
didukung karena pemikiran dan analisisnya itu sesuai dengan ajaran Islam
yang sangat menghormati keberadaan agama lain. Sebenarnya Islam
merupakan pelopor toleransi, dan Islam sangat mencela sikap fanatisme dalam
arti yang negatif yaitu membabi buta dan mengklaim kebenaran sebagai
otoritas sendiri. Pendapat penulis ini sesuai dengan pendapat M. Natsir yang
menegaskan bahwa agama Islam memberantas intoleransi agama serta
menegakkan kemerdekaan beragama dan meletakkan dasar-dasar bagi
keragaman hidup antaragama. Kemerdekaan menganut agama adalah suatu
nilai hidup, yang dipertahankan oleh tiap-tiap muslimin dan muslimat. Islam
melindungi kemerdekaan menyembah Tuhan menurut agama masing-masing,
baik di mesjid maupun gereja.
16

Sejalan dengan pendapat di atas, menurut Nurcholish Madjid, bahwa
salah satu kesadaran yang sangat berakar dalam pandangan seorang Muslim
ialah bahwa agama Islam adalah sebuah agama universal, untuk sekalian umat
manusia. Meskipun kesadaran serupa juga dipunyai oleh hampir semua
penganut agama yang lain (Yahudi, maka mereka menolak Kristen dan Islam;
dan Kristen sendiri, maka mereka menolak Yahudi dan Islam), namun kiranya
tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pada orang-orang Muslim kesadaran
tersebut melahirkan sikap-sikap sosial-keagamaan yang unik, yang jauh
berbeda dengan sikap-sikap keagamaan para pemeluk agama lain, kecuali
setelah munculnya zaman modern dengan ideologi modern ini. Tanpa
mengurangi keyakinan seorang Muslim akan kebenaran agamanya (hal yang
dengan sendirinya menjadi tuntutan dan kemestian seorang pemeluk suatu
sistem keyakinan), sikap-sikap unik Islam dalam hubungan antaragama itu
ialah toleransi, kebebasan, keterbukaan, kewajaran, keadilan dan kejujuran
(fairness). Prinsip-prinsip itu nampak jelas pada sikap dasar sebagian besar

16
M. Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia, (Jakarta: Media Dakwah, 1983), hlm.. 200.
81
umat Islam sampai sekarang, namun lebih-lebih lagi sangat fenomenal pada
generasi kaum Muslim klasik (salaf).
17

Untuk menciptakan toleransi beragama sehingga nilai-nilai keislaman
dapat dirasakan semua pihak termasuk pihak yang beragama non muslim
maka Harun Nasution, menggulirkan gagasan bahwa jiwa toleransi beragama
rasanya dapat dipupuk melalui usaha-usaha berikut: 1). Mencoba melihat
kebenaran yang ada dalam agama lain. 2). Memperkecil perbedaan yang ada
di antara agama-agama. 3). Menonjolkan persamaan-persamaan yang ada
dalam agama-agama. 4). Memupuk rasa persaudaraan se-Tuhan. 5).
Memusatkan usaha pada pembinaan individu-individu dan masyarakat
manusia baik yang menjadi tujuan beragama dari semua agama monoteis. 6).
Mengutamakan pelaksanaan ajaran-ajaran yang membawa kepada toleransi
beragama. 7). Menjauhi praktik serang-menyerang antaragama.
18

Menyikapi pandangan dan pendapat Nurcholish Madjid serta
pandangan dari para pakar lainnya maka jelaslah akan pentingnya
dikembangkan sikap toleransi, khususnya dalam hubungan antaragama
sehingga nilai-nilai keislaman terefleksikan dalam kehidupan antar sesama
manusia seagama dan agama berbeda.
Toleransi itu membentuk sikap lahiriah tentang antar-hubungan
manusia dalam masyarakat. Ciri-ciri toleransi itu di antaranya tergambar
dalam kebesaran jiwa seseorang, keluasan paham dan pengertiannya,
lapangdada dan sabar menghadapi pendapat-pendapat atau pendirian orang
lain yang bertentangan dengan pendapat dan pikirannya sendiri. Di dalamnya
termasuk toleransi karena perbedaan kepercayaan agama.
Sifat toleransi itu menghendaki, bahwa perbedaan agama, perbedaan
kepercayaan, perbedaan keyakinan dan pendirian, perbedaan paham dan
penilaian dan yang seumpama itu tidak boleh membuat satu garis pemisah
mempengaruhi hubungan di segala bidang-kehidupan.

17
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 2000), hlm. 178-179
18
Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 2000), hlm.
275
82
Harus senantiasa diciptakan hubungan yang harmoni, menjauhkan
sikap yang kaku dan konfrontatif. Toleransi itu membentuk watak manusia
supaya bersikap menahan diri, lapang dada dan luwes. Toleransi itu adalah
salah satu tata pikir yang diajarkan oleh Islam, terutama toleransi mengenai
beragama. Salah satu ajaran Islam yang digariskan oleh Tuhan untuk menjadi
pegangan kaum Muslimin dalam kehidupan beragama ialah ayat yang
berbunyi:
Artinya: Tidak ada paksaan dalam agama (karena) sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar dari jalan yang salah. Orang-orang yang tidak
percaya kepada thagut (berhala, syaithan dan lain-lain) dari hanya
percaya kepada Allah, sesungguhnya dan telah berpegang kepada
tali yang teguh dan tidak akan putus. Tuhan itu mendengar dan
mengetahui". (Q.S. Al-Baqarah : 256)".

Pada ayat tersebut di atas ditegaskan bahwa agama (Islam) tidak
mengenal unsur-unsur paksaan. Hal ini berlaku mengenai cara, tindak laku,
sikap hidup dalam segala keadaan dan bidang, dan dipandang sebagai satu hal
yang pokok. Islam bukan saja mengajarkan supaya jangan melakukan
kekerasan atau paksaan, tapi diwajibkannya pula supaya seorang Muslim
menghormati agama-agama lain dan menghargai pemeluk-pemeluknya dalam
pergaulan.
Dalam Al-Qur'an banyak dijumpai ayat-ayat yang memerintahkan
supaya ummat Islam bersikap toleran, tasamuh.
Di antaranya ialah:

83
Artinya: Dan kalau Tuhan mau, niscaya orang yang ada di bumi ini akan
beriman seluruhnya. Apakah engkau hendak memaksa manusia
supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman? (Q.S. Yunus :
99)".

Pada ayat yang lain disebutkan:
Artinya: Dan janganlah kamu berbantah dengan orang-orang keturunan Kitab,
melainkan dengan cara yang lebih baik, kecuali orang-orang yang
bersalah diantara mereka. Dan katakan: Kami percaya kepada
wahyu .yang diturunkan kepada kamu, dan Tuhan kami dan Tuhan
kamu adalah Satu, dan kepada-Nya. Kami menyerahkan diri. (Q.s.
Al-Ankabut: 46)".

Ada lagi ayat yang menyatakan:
Artinya: Tuhan tidak melarang kamu berbuat kebaikan dan bersikap jujur
terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama
dan tidak mengusir kamu dari kampungmu. Sesungguhnya Tuhan
itu mencintai orang-orang yang jujur. Hanyalah Tuhan melarang
kamu terhadap orang-orang yang memerangi kamu karena agama
dan mengusir kamu dari kampungmu dan membantu (orang-orang
lain) mengusir kamu, mengambil mereka menjadi pemimpin. Dan
barangsiapa yang mengambil mereka menjadi pemimpin, itulah
orang-orang yang zalim". (Q.S. Al-Mumtahanah: 8-9).

Pada ayat-ayat tersebut di atas diletakkan prinsip-prinsip ajaran Islam
bagaimana sikap hidup seorang Muslim memandang dan menghadapi agama-
agama lain dan pemeluk-pemeluknya. Prinsip itu terdiri dari empat patokan.
84
Pertama, harus menjauhkan sikap paksaan, tekanan, intimidasi dan lain-lain.
Islam tidak mengenal tindakan kekerasan. Bukan saja dalam usaha
menyakinkan orang lain terhadap kemurnian ajaran Islam, tapi juga dalam
tindak laku dan pergaulan dengan pemeluk-pemeluk agama lain, harus
dihindarkan cara-cara paksaan dan kekerasan itu. Kedua, Islam memandang
pemeluk-pemeluk agama lain, terutama orang-orang keturunan Kitab,
mempunyai persamaan landasan-akidah, yaitu sama-sama mempercayai
Tuhan Yang Maha Esa. Al-Qur'an mengakui kebenaran dan kesucian kitab
Taurat dan Injil dalam keadaannya yang asli (orisinil). Ketiga, Islam
mengulurkan tangan persahabatan terhadap pemeluk-pemeluk agama lain,
selama pihak yang bersangkutan tidak menunjukkan sikap dan tindakan
permusuhan.
Apabila pemeluk-pemeluk agama lain memulai melakukan tindakan
kekerasan, maka pada saat itu diperkenankan menghadapi kekerasan itu, kalau
perlu dengan kekerasan pula, dalam arti mempertahankan diri (defensif).
Keempat, approach (pendekatan) terhadap pemeluk-pemeluk agama lain
untuk meyakinkan mereka terhadap kebenaran ajaran Islam, haruslah
dilakukan dengan diskusi yang baik, sikap yang sportif dan elegan.
Jelaslah, bahwa toleransi Islam itu ada batas-batasnya, ada ketentuan-
ketentuan yang berdasarkan hukum menurut ajaran Islam. Dalam pada itu,
tentu saja sikap toleransi itu tidak boleh merusak atau merugikan kepada kaum
Muslimin sendiri. Islam tidak mengajarkan, "apabila ditampar orang pipi
kananmu, berikan pula pipi kirimu untuk ditampar" Sikap yang demikian,
menurut pandangan Islam, adalah lambang kelemahan, tidak tahu kehormatan
diri.
Tetapi, Islam juga tidak mengajarkan supaya menampar kembali pipi
orang yang menampar pipi kita itu. Dalam peristiwa seperti itulah ditunjukkan
sikap toleransi itu, dengan tidak melakukan pembalasan yang serupa, tapi
menyadarkan orang yang bersangkutan sedemikian rupa sehingga hati
nuraninya sendiri mengakui bahwa perbuatannya menampar pipi orang lain itu
85
tidak layak, dan kemudian menyesali perbuatannya itu. Syukur kalau dia
akhirnya meminta maaf.
Islam memberikan perlindungan terhadap pemeluk-pemeluk agama
lain yang ingin hidup secara damai dalam masyarakat atau pemerintahan yang
dikuasai oleh kaum Muslimin. Mereka diperlakukan dengan cara yang baik
dan adil, seperti yang berlaku terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani di
zaman pemerintahan Rasulullah di Madinah. Orang-orang Yahudi dan Nasrani
itu diberikan kebebasan menjalankan agamanya seperti kebebasan yang
diberikan kepada orang-orang Islam sendiri. Hak-hak mereka dilindungi dan
dijamin dalam suatu bentuk perjanjian. Menurut hukum antar-golongan dalam
Islam, mereka itu dinamakan kaum Zimmi, yaitu orang-orang yang mendapat
jaminan, perlindungan dari masyarakat Islam.
Kaum Muslimin diikat oleh suatu peraturan supaya hidup bertetangga
dan bersahabat dengan orang-orang yang memeluk agama lain itu. Hak-hak
mereka tidak boleh dikurangi dan tidak boleh dilanggar undang-undang
perjanjian itu. Apabila orang-orang yang memeluk agama lain itu memajukan
suatu pengaduan atau perkara, maka pengaduan itu wajib diperiksa dan
ditimbang secara adil, serupa seperti cara pelayanan terhadap pengaduan
seorang Muslim. Dilarang menganiaya, mengusik, mengganggu dan menghina
pemeluk-pemeluk agama lain itu. Juga dilarang menahan dan merampas hak-
milik mereka.
Perlindungan yang harus diberikan oleh kaum Muslimin terhadap
mereka adalah sedemikian rupa, sehingga orang-orang Islam diwajibkan
memberikan pertolongan apabila ada orang lain yang mengganggu
kemerdekaan agama, kemerdekaan pribadi dan kemerdekaan golongan
mereka. Dalam memperoleh hak-hak yang demikian luas, mereka hanya
mempunyai kewajiban membayar jizyah, yaitu semacam pajak, yang
fungsinya sebagai tanda pengakuan bahwa mereka patuh kepada peraturan-
peraturan masyarakat Islam. Apabila dibandingkan dengan kewajiban-
kewajiban kaum Muslimin sendiri, maka kewajiban yang dipikulkan kepada
pemeluk-pemeluk agama lain itu adalah amat ringan dan minim sekali. Sebab
86
mereka tidak diwajibkan membayar zakat seperti yang diwajibkan kepada
orang-orang Islam. Apabila ada serangan pihak musuh terhadap negara,
mereka tidak diwajibkan masuk dinas militer (militie-plicht) seperti yang
dipikulkan di atas pundak kaum Muslimin. Andaikata mereka secara sukarela
turut dalam satu peperangan mempertahankan negara, maka mereka mendapat
hak menerima pembagian harta-rampasan perang.
Demikianlah di antara perlindungan-perlindungan yang bersifat hak-
hak azasi, yang diberikan oleh Islam kepada pemeluk-pemeluk agama lain
yang ingin tinggal damai di dalam satu masyarakat (negara) Islam.
Keunikan dari pendapat Nurcholish Madjid tentang fanatisme dan
toleransi beragama adalah terletak pada batasan-batasan dalam bentuk
fanatisme dan toleransi beragama itu sendiri, di mana fanatisme dan toleransi
beragama dapat dikatakan positif maupun negatif. Fanatisme beragama
dikatakan negatif bilamana seseorang terlalu kuat dan memaksakan segala
kehendaknya tanpa mau tahu tentang pendapat dan paham orang lain yang
berbeda.
Toleransi beragama dikatakan negatif apabila seseorang terlalu
membuka peluang dengan selebar-lebarnya tentang apa yang orang lakukan
tanpa melihat norma-norma yang berlaku, sehingga dapat dikatakan bahwa
toleransi beragama itu negatif bila dalam memberikan kebebasan tanpa
mempunyai batasan-batasan sebagaimana yang diatur dalam agama.
Fanatisme dan toleransi beragama dikatakan positif, bilamana
seseorang dalam memegang dan mempertahankan ajaran yang diyakininya
secara konsisten, namun tetap menghargai dan menghormati akan ajaran dan
pendapat orang lain dengan bersumber pada kaidah-kaidah agama yang
berlaku, karena pada dasarnya setiap agama menganjurkan akan hidup rukun
demi tercapainya hidup yang harmonis dalam bermasyarakat dan beragama.
Adapun yang membedakan corak pemikiran Nurcholish Madjid
dengan ulama lain yaitu pertama, ia tokoh yang menggabungkan antara fiqih
dan Hadis. Kedua, Ia bersifat moderasi. Di antara karakteristik Fiqih
Nurcholish Madjid adalah pandangannya yang bersifat moderat. Karakteristik
87
ketiga, yaitu memberi kemudahan. Salah satu karakteristik Fiqih Nurcholish
Madjid yang sangat menonjol adalah memberi kemudahan. Karakteristik
keempat, yaitu realistis. Salah satu karakteristik fiqih Nurcholish Madjid
adalah sikapnya yang realistis. Fiqih Nurcholish Madjid semuanya bertumpu
kepada apa yang disebut Fiqih Realitas. Maksudnya adalah fiqih yang
didasarkan pada pertimbangan antara maslahat dan mafsadat (mudharat).
Masalah ini sangat penting bagi seorang fakih, dia diwajibkan untuk
mendalami serta tahu banyak tentang masalah ini.
Karakteristik kelima, bebas dari fanatisme Madzhab. Salah satu
karakteristik utama fiqih Nurcholish Madjid adalah bebas dari fanatisme
madzhab. Artinya ialah dalam fatwa-fatwa dan bahasan-bahasan fiqihnya
sama sekali beliau tidak mendasarkan pada madzhab tertentu.
19


B. Relevansi Toleransi Beragama Perspektif Nurcholish Madjid bagi
Kehidupan Keagamaan di Indonesia
Dewasa ini masyarakat Indonesia sering dikagetkan dengan banyak
peristiwa di luar prediksi nalar manusia. Banyak kejadian jika ditelusuri lebih
jauh dan mendalam merupakan "simbol-simbol" dari apa yang selama ini telah
dilakukan dalam bermasyarakat. Sebagai masyarakat beragama sering
diguncang dengan banyaknya peristiwa yang sentimentil, rasial, dan agama
dengan upaya-upaya mengail di "air keruh" sehingga tampaknya bermuatan
keagamaan. Peristiwa yang sama sekali bukan bermuara agama, berubah
menjadi peristiwa yang sarat dengan sentimen-sentimen keagamaan, sehingga
tidak jarang membuyarkan anganan bahwa agama adalah pembawa damai dan
keselamatan bersama. Agama menjadi semacam ancaman yang bisa dengan
tiba-tiba datang memberangus kehidupan bersama di bumi ini. Perilaku umat
beragama tampak tidak bersesuaian dengan anjuran suci agama-agama.
Suasana paradoks sering mengiringi kehidupan umat. Lebih-lebih bagi mereka
yang merasa dengan melakukan "pelarangan" atau "penghalangan" terhadap

19
Ibid, hlm. 115
88
sesama pemeluk agama adalah sebuah investasi pahala. Perbuatan
menghalangi atau melarang adalah jihad yang didorong oleh justifikasi agama.
Suasana semacam ini akhirnya membawa pada keterbelakangan kehidupan
agama.
20

Perasaan sentimentil pada umat beragama yang telah mengental tidak
berdiri sendiri, ia mendapat legitimasi kekuasaan yang merupakan justifikasi
terkuat, karena disahkan untuk "memaksakan" sebuah kebijakan, sehingga
pada ujung-ujungnya antara umat beragama pun bisa saling "membunuh" atas
nama agama. Sumber legitimasi tersebut barangkali yang memang perlu
mendapatkan perhatian serius, sehingga tidak mendorong agama-agama untuk
"memanfaatkan" momen-momen tertentu yang digunakan sebagai senjata mati
untuk menelikung saudara sebangsa se-Tanah Air.
Kekuatan legitimasi dari wacana agama menjadi semakin kuat
dominasinya dalam sebuah negara yang memang dengan sengaja
"memanfaatkan" agama sebagai sumber justifikasi aras apa yang hendak
difatwakan, walaupun salah satu/sebagian dari anggota masyarakat (warga
negara) itu dirugikan atau banyak orang keberatan karena itu di luar nalar
manusia. Karena merasa mendapatkan angin dari pihak agama (dogma-dogma
agama) dan sekaligus dukungan sebuah rezim politik tertentu maka kebijakan
tersebut tetap ditetapkan/difatwakan secara tegas.
21

Tragis memang, dan mendistorsi wacana agama, tetapi itu sering
menjadi realita yang tidak bisa ditolak kehadirannya. Wacana agama
dikerangkeng dalam sangkar besi yang teramat kuat sehingga tidak terjamah
masyarakat awam dan menjadi sangat eksklusif serta mencekam setiap orang
yang beragama, namun tidak memiliki akses politik kekuasaan. Atau hanya
sedikit akses politik karena telah ditutup segala pintu dan wilayah sehingga
tidak bisa memasuki, karena dijaga "pengawal-pengawal" tradisi politik-
keagamaan yang dominan.

20
Adeng Muchtar Ghazali, Agama dan Keberagamaan dalam Konteks Perbandingan
Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm. 167-182
21
Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan,
2001), hlm 112-115.
89
Jika konsep toleransi yang digulirkan Nurcholish Madjid dihubungan
dengan kehidupan keagamaan di Indonesia, maka jika pendapatnya di
apresiasi dan mendapat tempat serta penerimaan maka kedamaian dalam
beragama bisa terwujud, setidaknya konflik horisontal yang bernuansa agama
dapat diperkecil. Masalah ini bila melihat kondisi kehidupan umat antar agama
di Indonesia maka dapat dijadikan sebuah pelajaran, khususnya terhadap
beberapa peristiwa yang telah terjadi. Menjelang tutup tahun 1996, bangsa
Indonesia dihentakkan oleh tiga peristiwa kekerasan yang digolongkan
sebagai SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Kerusuhan terakhir
terjadi di Sanggau Ledo, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, pada 30
Desember 1996 dengan akibat lima orang tewas dan ratusan warga harus
diungsikan. Kedua peristiwa lainnya di tahun 1996 terjadi di daerah basis
Nahdlatul Ulama (NU) di Jawa. Pertama, peristiwa kerusuhan yang melanda
Situbondo pada 10 Oktober 1996. Dalam peristiwa ini terjadi perusakan
rumah-rumah ibadah non-Islam oleh Sejumlah massa yang mengamuk.
Kerugian ditaksir Rp 629 juta. Sejumlah orang yang disangka perusuh telah
ditangkap dan ditahan, bahkan sejak 16 Desember 1996 telah mengadili 10
tersangka. Salah seorang tersangka yang ditahan telah meninggal dunia.
Keterangan pihak aparat keamanan menyatakan bahwa tersangka itu
meninggal dunia akibat sakit.
22

Kedua, ledakan kerusuhan yang melanda Tasikmalaya pada 26-27
Desember 1996. Berawal dari penganiayaan terhadap guru sebuah pesantren
yang kemudian berbelok menjadi kerusuhan anti-polisi serta sekaligus
perusakan rumah-rumah ibadah non-Islam, anti-Cina dan perusakan dan
pembakaran harta benda. Kerusuhan ini sempat merembet ke Ciawi. Bupati
Tasikmalaya mengungkapkan kerugian material ditaksir Rp 84,963 miliar.
Dari peristiwa-peristiwa itu, perlu disimak dengan arif dan jernih
karena awalnya bukanlah masalah perbedaan SARA, namun ujungnya
bermuara pada SARA. Hal yang patut ditelusuri adalah keindonesiaan yang

22
Nur Achmad (Editor), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta:
kompas, 2001), hlm. 35-39.
90
berbaur dalam keanekaragaman suku, etnis, ras, dan agama pada dasarnya tak
punya akar secara politik, namun dengan gampang memercikkan api.
Setidaknya bisa menduga bahwa sumbernya bukan ihwal SARA.
Peristiwa-peristiwa di atas akan lebih lengkap bila menengok
peristiwa sejak jatuhnya kekuasaan Orde Baru, setiap hari masyarakat banyak
disuguhi berita yang cukup mengejutkan seperti keberingasan dan agresivitas
massa bernuansa SARA (agama) yang terjadi di beberapa daerah, baik dalam
skala masif seperti di Maluku, Ambon maupun bersifat insidental seperti di
Mataram dan Doulas Cipayung. Selain agresivitas massa bernuansa SARA
(agama), juga muncul agresivitas massa yang dipicu oleh konflik bermotif
ekonomi dan sosial seperti antara buruh dan majikan yang diikuti oleh
tindakan perusakan serta tindakan penghakiman sendiri yang masih sering
muncul di tengah masyarakat. Masalah ini terus berkembang terutama akhir-
akhir ini berbagai peristiwa yang terkait dengan isu agama telah memunculkan
beberapa asumsi dan pandangan yang menarik untuk ditelaah. Paling tidak ada
dua asumsi yang dapat diklasifikasikan secara teoretis.
23

Pertama, asumsi yang meletakkan budaya (kultural) sebagai penentu
bagi berlangsungnya transformasi sosial. Berlangsung atau tidaknya sebuah
transformasi dan dalam bentuk apa transformasi itu berlangsung, ditentukan
oleh bagaimana budaya itu dibentuk. Khusus kasus di Situbondo, misalnya,
Abdurrahman Wahid melihat kesalahan pada pola pembinaan dan pengarahan
para pemimpin agama (Islam) kepada umatnya. Secara kultural umat Islam
diarahkan pada sikap eksklusif yang menegasikan keberadaan yang lain.
Alternatif yang ditawarkan oleh perspektif kultural ini adalah pembinaan dan
pengembangan sumber daya umat secara positif. Sehingga terbentuk kerja
sama dan kerukunan antarumat beragama. Khusus dalam konteks ini Gus Dur
masih konsisten dengan pandangannya sebagai sosok modernis.
Kedua, asumsi yang meletakkan struktur sosial sebagai pemicu
munculnya peristiwa-peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini. Dalam konteks ini

23
Syamsul Ma'arif, Pendidikan Pluralisme Di Indonesia, (Yogyakarta: Logung Pustaka,
2005), hlm. 13-14.
91
dapat dilihat asumsi yang dilontarkan oleh Tarmizi Taher, Amir Santoso, dan
Hasan Basri. Peristiwa yang berlatar belakang keagamaan hanyalah
konsekuensi dari akumulasi persoalan atau, meminjam istilah Tarmizi Taher,
limbah politik. Bahkan menurut Amir Santoso ia merupakan bentuk rekayasa
sistematis yang dimotori pihak-pihak tertentu. Masing-masing pandangan
tersebut memiliki konsekuensi dalam menelaah dan menawarkan solusi bagi
proses pembinaan kerukunan umat beragama khususnya, dan dalam
menghindari terulangnya kembali peristiwa serupa. Keduanya memiliki
kesamaan dalam melihat posisi agama sebagai realitas yang memiliki saham
bagi terjadinya gejolak (baca: transformasi) sosial, hanya kadar pengaruhnya
berbeda. Kejutan ini lebih menghentakkan lagi yaitu terjadinya peledakan bom
pada sejumlah gereja umat Kristiani dan berbagai intimidasi secara
terselubung.
Dalam konteks seperti itu, bagaimana wacana agama bisa kita hadirkan
kembali sebagai wacana yang tidak seram dan mencekam penganut agama-
agama, agaknya perlu dipikirkan bersama. Pemegang otoritas dominan atas
tafsir suci teks agama barangkali perlu dikonstruksikan kembali, bahkan kalau
memang diperlukan didekonstruksi sehingga tidak membelenggu wacana
agama itu sendiri.
24

Tugas berat menghadang para penganut agama-agama untuk memilih
suatu pilihan yaitu toleransi dan membuang jauh-jauh sikap fanatisme. Dari
dasar inilah maka konsep Nurcholish Madjid masih relevan untuk
diaplikasikan di Indonesia sebagai bangsa yang plural dalam berbagai aspek
terutama kehidupan agamanya.
Apabila toleransi beragama menurut Nurcholish Madjid dihubungkan
dengan Kehidupan Keagamaan di Indonesia, maka pendapat Nurcholish
Madjid dapat sedikitnya meredam konflik antar agama, sehingga kehidupan
agama dapat hidup secara damai dan berdampingan.
Selain dari ayat al-Qur'an yang menerangkan tentang perintah toleransi
juga Nabi saw sendiri telah menguatkan dalam berbagai macam sabda yang

24
Ibid, hlm. 39.
92
menganjurkan untuk selalu bertoleransi, misalnya dengan bersikap lemah
lembut terhadap sesama manusia. Hal ini sebagaimana sabda beliau sebagai
berikut:

Artinya: Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
aku wasiatkan kepada kamu sekalian agar kamu selalu
bertakwa kepada Allah dan berlaku baik terhadap setiap
muslim. Perangilah dengan nama Allah di jalan Allah
setiap orang yang ingkar kepada Allah. Jangan kamu
berkhianat, jangan kanu berlaku kejam, dan jangan kamu
bunuh anak kecil, kaum wanita maupun orang tua bangka.
Jangan kamu bunuh orang yang mengasingkan dirinya
dalam kuilnya dan jangan kamu rusak pohon kurma,
pohon-pohon lainnya dan jangan kamu hancurkan rumah.
(H.R. al-Bukhari).


Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Harmalah bin
Yahya al-Tujibi dari Abdullah bin Wahb dari Haiwah
dari Ibnu al-Had dari Abu Bakr bin Hazm dari 'Amrah
binti Abdurrahman dari Aisyah, isteri Nabi s.a.w.
sesungguhnya Rasulallah s.a.w. bersabda: 'Wahai
Aisyah, sesungguhnya Allah itu Maha Lembut. Dia suka

25
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn al-Mugirah ibn Bardizbah al-
Bukhari, Sahih al-Bukhari, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M,

hlm. 235
26Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahh
Muslim, Juz. 4, Mesir: Tijariah Kubra, tt., hlm Ibid., hlm. 23
93
akan kelembutan. Allah akan memberikan balasan dari
kelembutan yang tidak Dia berikan atas sikap keras dan
kasar serta sikap-sikap lainnya (HR. Muslim).


Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Syu'bah dari al-
miqdam bin Syuraih bin Hani' dari Bapanknya dari
Aisyah, isteri nabi s.a.w. dari nabi s.a.w. beliau
bersabda: "Sesungguhnya berlaku lembut terhadap
sesuatu apapun itu akan dianggap elok. Dan merenggut
sesuatu dengan kekerasan itu akan dianggap buruk (HR.
Muslim).


Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Syu'bah bercerita:
"Saya pernah mendengar Al Miqdam bin Syuraih bin Hani'
meriwayatkan sebuah hadits yang senada dengan hadits di
atas. Dalam haditsnya ditambahkan: "Aisyah menunggang
seekor onta, tetapi sukar sekali ia menaikinya. Terpaksa
Aisyah harus mengulang-ulang beberapa kali karena tubuh
binatang tersebut bergerak-gerak terus. Melihat hal itu
Rasulallah s.a.w. bersabda kepada Aisyah: "Berlaku
lembutlah". Kemudian Al Miqdam menuturkan cerita yang
sama seperti hadits di atas. (HR. Muslim).

Apabila diperhatikan hadis-hadis di atas, dapat dimengerti bahwa Nabi
saw adalah seorang yang paling tinggi budi pekertinya. Nabi saw berwasiat

27
Ibid.,
28
Ibid.,
94
sedemikian ini agar dapat dijadikan sebagai pedoman oleh umatnya untuk
selalu bertoleransi kepada siapa saja walaupun hal itu kepada musuh. Beliau
tidak saja berwasiat untuk berbuat kepada orang yang hidup saja. Bahkan
beliau dalam hadis tersebut menganjurkan umatnya untuk berbuat baik sampai
kepada benda mati sekalipun seperti pohon dan rumah. inilah salah satu
contoh dari toleransi yang diajarkan oleh Nabi saw kepada umatnya. Hal
seperti ini telah diakui oleh musuh-musuh Islam sendiri bahwa Nabi saw
adalah seorang yang paling tahu bertoleransi.




95
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam bab pertama sampai keempat, maka dapat
diambil kesimpulan:
1. Pendapat Nurcholish Madjid patut didukung karena pemikiran dan
analisisnya itu sesuai dengan ajaran Islam yang sangat menghormati
keberadaan agama lain. Sebenarnya Islam merupakan pelopor toleransi,
dan Islam sangat mencela sikap fanatisme dalam arti yang negatif yaitu
membabi buta dan mengklaim kebenaran sebagai otoritas sendiri.
2. Apabila konsep toleransi yang digulirkan Nurcholish Madjid dihubungan
dengan kehidupan keagamaan di Indonesia, maka jika pendapatnya di
apresiasi dan mendapat tempat serta penerimaan maka kedamaian dalam
beragama bisa terwujud, setidaknya konflik horisontal yang bernuansa
agama dapat diperkecil. Masalah ini bila melihat kondisi kehidupan umat
antar agama di Indonesia maka dapat dijadikan sebuah pelajaran,
khususnya terhadap beberapa peristiwa yang telah terjadi. Dengan kata
lain, apabila toleransi beragama menurut Nurcholish Madjid dihubungkan
dengan Kehidupan Keagamaan di Indonesia, maka pendapat Nurcholish
Madjid dapat sedikitnya meredam konflik antar agama, sehingga
kehidupan agama dapat hidup secara damai dan berdampingan.

B. Saran-Saran
1. Untuk Masyarakat
Hendaknya masyarakat dapat mempertimbangkan pemikiran
Nurcholish Madjid terutama terhadap gagasannya tentang toleransi
beragama.


96
2. Untuk Pemerintah
Pemerintah sebagai institusi penyelenggara negara dan pemerintah
mempunyai sejumlah kewenangan untuk membuat kebijakan-kebijakan
yang strategis. Karena itu konsep Nurcholish Madjid hanya dapat
terwujud apabila pemerintah membuat kebijakan yang dapat meninggikan
nilai keislaman dalam konteks kehidupan beragama.
3. Untuk Perguruan Tinggi
Meskipun konsep Nurcholish Madjid tentang toleransi beragama
kurang bersifat operasional dan kurang rinci namun pemikirannya dapat
dijadikan studi banding oleh peneliti lain. Untuk itu perlu adanya kajian
yang lebih dalam terhadap konsep Nurcholish Madjid. Penjabaran lebih
lanjut akan memudahkan dalam menangkap pikiran-pikiran Nurcholish
Madjid.

C. Penutup
Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, atas rahmat
dan ridhanya pula tulisan ini dapat diangkat dalam bentuk skripsi. Peneliti
menyadari bahwa di sana-sini terdapat kesalahan dan kekurangan baik dalam
paparan maupun metodologinya. Karenanya dengan sangat menyadari, tiada
gading yang tak retak, maka kritik dan saran membangun dari pembaca
menjadi harapan peneliti. Semoga Allah SWT meridhainya.


DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Zainal Arifin, Perkembangan Pikiran Terhadap Agama, jilid 1, (Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1984)
Abdul Muin, Taib Thahir, Ilmu Kalam, (Jakarta: Wijaya, 1992)
Achmad, Nur, (ed), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta:
Penerbit Kompas, 2001)
Ali, A. Mukti, Ilmu Perbandingan Agama Di Indonesia (Bandung: Mizan, 1996)
___________, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, (Bandung: Mizan,
1991)
Al-Maududi, Abul Ala, Khilafah dan Kerajaan, Terj. Muhammad Al-Baqir,
(Bandung: Mizan 1996)
Almuhdar, Yunus Ali, Toleransi-Toleransi Islam, (Bandung: Iqra, 1983)
Amirin, Tatang M., Menyusun Rencana Penelitian, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1995)
Dahlan, Abdul Aziz, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1997)
Daradjat, Zakiah, Perbandingan Agama (Jakarta: Bumi Aksara, 1994)
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002)
Echols, John M., dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia An English-
Indonesia Dictionary, (Jakarta: Gramedia, 2000)
Ghazali, Adeng Muchtar, Agama dan Keberagamaan dalam Konteks
Perbandingan Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2004)
_______, Pemikiran Islam Kontemporer Suatu Refleksi Keagamaan Yang
Dialogis, (Bandung: Pustaka Setia, 2005)
Goddard, Huge, Menepis Standar Ganda: Membangun Saling Pengertian
Muslim-Kristen, Terj. Ali Noerzaman, (Yogyakarta: Qalam, 2000)
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Jilid 1, (Yogyakarta: Andi, 2001)
Haekal, Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad, Terj. Ali Audah,
(Jakarta: Litera antar Nusa, 2003)
Harahap, Syahrin, dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqidah Islam, (Jakarta:
Prenada Media, 2003)
Harian Suara Merdeka, 3 Januari 2006
Hart, Michhael , 998, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam sejarah,
Terj. Mahbub Djunaidi, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1998)
Hitti, Philip K., History of The Arabs, Terj. R.Cecep Lukman Yasin dan Dedi
Slamet Riyadi, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005)
Kahmad, Dadang, Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan
Agama, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000)
Koencaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama), 1970
____________, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1972)
Kusuma, Hilman Hadi, Antropologi Agama Bagian I (Pendekatan Budaya
Terhadap Aliran kepercayaan, Agama Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, di
Indonesia), (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993)
Ma'arif, Syamsul, Pendidikan Pluralisme Di Indonesia, (Yogyakarta: Logung
Pustaka, 2005)
Madjid, Abdul, et.al, al-Islam, Jilid I, (Malang: Pusat Dokumentasi dan Publikasi
Universistas Muhammadiyah, 1989)
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin Dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 2000)
______, Masyarakat Religius, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina Paramadina,
2000)
______, Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik
Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 1998).
Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kulitatif, (Bandung: PT Remaja Rosda
Karya), 2001
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI
Press, 1985)
________, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 2000)
Nasution, M. Yunan, Pegangan Hidup bagian Jilid 3, (Solo: Ramadhani, tt)
Natsir, M., Islam dan Kristen di Indonesia, (Jakarta: Media Dakwah, 1983)
Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1991)
Nazir, Moh., Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1999)
Partanto, Pius A., dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya:
Arkola, 1994)
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai
Pustaka, Cet. 5, 1976)
Razak, Nasruddin, Dienul Islam, (Bandung: PT.al-Ma'arif, 1973)
Romdhon, et. al, Agama-agama di Dunia, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga ,
Press, 1988
Shahab, Husein, "Kata Pengantar" dalam Andito (Editor), Atas Nama Agama:
Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1998)
Shihab, M. Quraish, Atas Nama Agama: Wacana Agama Dalam Dialog Bebas
Konflik, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1988)
Shihab, Alwi, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. (Bandung:
Mizan, 2001)
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1993)
Syalabi, A., Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid I, (Jakarta: AL-Husna Zikra,
1997)
Talimah, Ishom, Manhaj Fikih Yusuf al-Qaradhawi, Terj. Samson Rahman,
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001)
Teall, Edward N. A.M., and C. Ralph Taylor A.M. (Editor), Webster's New
American Dictionary, (New York: Book, Inc, 1958)
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Al-Quran dan
Terjemahnya, Departemen Agama, 1986

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : M. Subkhan
Tempat / Tanggal Lahir : Tegal, 1 Januari 1985
Alamat Asal : Kalikangkung RT 1 RW 2 Tegal
Pendidikan : - MI Kalikangkung Tegal lulus tahun 1999
- MTs Kalikangkung Tegal lulus tahun 2001
- MAK Kalikangkung Tegal lulus tahun 2004
- Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang
Angkatan 2004

Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya.





M. Subkhan

Anda mungkin juga menyukai