Anda di halaman 1dari 10

BAB III

BIOGRAFI KH MAS ABDURAHMAN

KH Mas Abdurrahman adalah tokoh pembaharu Islam yang menerapkan


sistem madrasah pada lembaga pendidikan Islam yang didirikannya. KH Mas
Abdurahman dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama. Kemudian ia
berangkat haji, dan di Mekkah itulah ia banyak belajar tentang ilmu agama di
Mesjidil Haram selama sepuluh tahun. Ketika kembali ke Nusantara ia
mendirikan suatu lembaga pendidikan dengan sistem madrasah dan
mengabdikan tenaga, pikiran serta waktunya untuk mengajar di lembaga yang
ia dirikan tersebut. Tidak hanya itu KH Mas Abdurahman pun banyak mengatur
sistem-sistem kegiatan di lembaga pendidikannya. Sesuai dengan sistematika
yang tercantum pada bab I maka penulis akan membicarakan kelahiran,
keluarga, pendidikan serta karya-karya KH Mas Abdurahman.

A. Kelahiran dan Keluarga KH Mas Abdurahman


Mas Abdurahman, nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Ia
dilahirkan di Kampung Janaka1 Desa Ciput Kecamatan Labuhan, Kabupaten
Pandeglang, Provinsi Banten pada tahun 1875.2 Gelar Mas merupakan gelar
kehormatan yang diberikan secara turun menurun berasal dari nama seorang
Senopati Pajajaran bernama Mas Jong dan Agus Ju. Mereka adalah tangan
kanan raja Pajajaran bernama Pucuk Umun. Ketika kerajaan Pajajaran
ditaklukan oleh Sultan Maulana Hasanudin putra Sunan Gunung Jati, Pucuk
Umun lari ke selatan, sedangkan Senopati Mas Jong dan Agus Ju
menyerahkan diri. Keduanya kemudian memeluk agama Islam serta
1
Janaka adalah sebuah dusun di lereng gunung Haseupan, termasuk ke daerah
Labuhan. Apabila kita ingin mengetahui tempat tersebut maka dari kota Menes kita menuju
arah utara jika ditempuh dengan kendaraan 7 Km karena letaknya sukar ditempuh dengan
kendaraan maka harus ditempuh dengan berjalan kaki juga 7 Km karena tempatnya adalah di
atas gunung lihat M. Nahid Abdurrahman, Abdurrahman: Pendiri Mathla’ul Anwar tahun 1916
(Rangkasbitung: Penerbit Tawekal, t.th.), hlm. 2
2
Mengenai tanggal dan bulan kelahiran KH Mas Abdurahman belum dapat diketahui dengan
pasti. Ibid. Hlm. 2

1
mendapat kedudukan penting sebagai Senopati3 Kesultanan Banten dengan
gelar kehormatan Ratu Bagus Ju dan Kimas Jong.
Pada masa keruntuhan Kesultanan Banten, para ulama, guru agama
serta keluarga besar Kesultanan meninggalkan istana masuk ke pedalaman.
Mereka menjauhkan diri dari keramaian kota, karena Kesultanan Banten
sudah berubah menjadi Karesidenan Banten yang dipimpin oleh seorang
Residen Pemerintah Kolonial Belanda.Para ulama dan guru agama yang
semula bertugas secara resmi sebagai pejabat Kesultanan, kini menjadi
orang buronan yang selalu diawasi dan dikejar-kejar serta dianggap sebagai
sumber malapetaka dan pemberontak terhadap pemerintah Kolonial
Belanda, termasuk keturunan Mas Jong dan Agus Ju pergi meninggalkan
istana Kesultanan masuk ke pedalamam Lereng Gunung Haseupan tepatnya
di Dusun Janaka dalam rangka menyusun strategi dan kekuatan untuk
bergerilya melawan Belanda.4
Setelah mukim selama sepuluh tahun di Mekkah, Mas Abdurrahman
kembali ke Menes pada tahun 1910. Kepulangannya ini tidak lepas dari
permintaan khusus dari salah seorang ulama Banten yang mempunyai
kharismatik tinggi dan dikenal sebagai faqih (ahli hukum Islam) yakni Kiai
Haji Muhamad Tubagus Sholeh5 yang nantinya menikahkan Mas
Abdurrahman dengan salah seorang putrinya bernama Nyai Enong. Akan
tetapi pernikahan ini tak berlangsung lama karena istrinya meninggal dunia
pada saat menjalankan ibadah haji di Mekkah. Setelah itu, Mas
Abdurrahman menikah tiga kali secara berurutan antara lain dengan Ibu
3
Senopati adalah istilah yang digunakan untuk menyebut jabatan panglima dalam
sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa. Senopati mempunyai tugas sebagai panglima perang dalam
setiap pertempuran. Istilah ini merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta, yaitu sena yang
bermakna "prajurit" dan pati yang bermakna
"pemimpin"https://islammataram.wordpress.com/2014/03/11/sistem-pemerintahan
kerajaanmataramislam/. Diaksespada 29 Desember 2016. lihat juga http://saefulhistory-sejarah
saefulhistory.blogspot.com/2012/02/sistim-politik-kerajaan-mataram-islam.html. diakses pada
29 Desember 2016
4
Buletin Mathla Edisi 08 September 1999, hlm 15
5
Didin Nurul Rosyidin. Wajah Baru Islam Indonesia ( Kontestasi Gerakan Keislaman
Awal Abad 20 ), Op. Cit. Hlm. 33

2
Menot Aminah binti Haji Ali dari Soreang Menes, Ibu Ijot Khodijah binti
Kiai Samin berasal dari Soreang Menes, dan Ibu Enjoh binti Haji Safik
berasal dari Langensari, Pandeglang.
Dari ketiga pernikahan ini, ia memiliki lima belas anak yakni Emed,
Muhammad Habri atau Abeh, Hamid, Enong, Eno, Adung Abdurrahman,
Mariah, Bayi, Khalid, Muslim, Muslimah, Muhammad Nahid, Zahriah,
Zahra, dan Munjiah.6 Ketika KH Mas Abdurahman memiliki anak, ia pun
mengajari anak-anaknya dasar-dasar ilmu agama Islam dan setelah itu
menitipkan mereka di pesantren lain dengan tujuan mendapatkan
pengalaman apa yang ia dapatkan ketika ia seusia anaknya, lebih khususnya
pengalaman pesantren. Untuk memenuhi biaya rumah tangga, KH Mas
Abdurahman bertani seperti menanam pohon karet, kelapa, tanaman darat,
menanam padi di sawah serta berjualan kitab-kitab hasil karangannya
sendiri atau karangan orang lain yang dipergunakan untuk madrasah dan
lain sebagainya.
KH Mas Abdurahman memiliki perawakan yang tinggi kurus,
kulitnya sawo matang, bentuk wajahnya bulat telur (lonjong), sinar matanya
tajam, dan berjenggot tebal. Apabila sedang berdiri tegak, nampak
kepalanya agak miring kesebelah kanan. Jika sedang berjalan selalu
menunduk seolah-olah ada yang difikirkannya dan selalu memakai tongkat.
Bila mendapatkan benda yang sekiranya akan mengganggu orang berjalan
selalu disingkirkannya ke tepi jalan. Ia memiliki watak yang keras dan jika
berbicara seolah-olah seperti orang yang sedang marah tetapi sangat
menyayangi anak yatim, apabila bertemu ia mengajak bersalaman dan
diusap kepalanya serta diberinya uang.
Apabila sedang berpidato atau istilahnya memberikan nasehat baik
itu di tempat yang sedang hajat maupun di forum resmi, memakai bahasa
sehari-hari yakni sunda dan isinya mengemukakan kewajiban Umat Islam
untuk selalu berbuat baik. Dalam berpakaian, KH Mas Abdurahman selalu
6
Ibid. Hlm. 21

3
memakai jas tutup berwarna putih, berkain pelekat, selalu memakai sorban
yang dililitkan, bersepatu apabila musim hujan atau memakai sandal jika
musim kemarau, serta memakai wangi-wangian.
KH Mas Abdurahman sudah tidak asing lagi di mata masyarakat
Menes Banten, kepercayaan ini datang ketika ia mempunyai kekuatan luar
biasa serta ketinggian ilmu yang telah dipelajarinya baik itu di Nusantara
maupun di Mekkah. Di Mekkah ia pernah belajar pada Kiai Nawawi Al-
Bantani7yang merupakan ulama terkenal yang mempunyai banyak murid,
baik itu yang berasal dari Indonesia atau dari negara Islam lainnya yang
mempunyai majelis di Mesjidil Haram Mekkah bahkan KH Mas
Abdurahman pernah dijadikan badal8 mengajar oleh Kiai Nawawi Al
Bantani sehingga membuat ia dikenal luas oleh para pelajar terutama yang
berasal dari Banten.
Menjelang akhir hayatnya, Indonesia berada dalam masa penjajahan
Jepang. Pada saat itu kondisi fisik KH Mas Abdurahman sudah menurun
dan sakit-sakitan terutama ia telah lama menderita penyakit jantung dan
pegal linu. Dengan demikian KH Mas Abdurahman harus membatasi diri
dari kegiatannya dan menetap di suatu tempat yaitu di Cikaliung dan
7
Syaikh Nawawi semasa hidup dikenang dengan julukan 'Sayyidul Hijaz' atau Penjaga
Hijaz, wilayah barat Arab Saudi yang kini mencakupi dua kota suci Makkah dan Madinah. Dia
masuk dalam jajaran ulama besar dan bergengsi di sana. Saking hebatnya dalam ilmu agama
Syaikh Nawawi sampai dijuluki 'The Second Nawawi' alias Nawawi kedua, penerus ulama yang
disegani dunia, Imam Nawawi. Syaikh Nawawi bernama lengkap dengan gelarnya yakni Abu
Abdullah Al-Mu'thi Muhammad Nawawi bin Umar Al-Tanari Al-Bantani Al-Jawi. Dia lahir di
Kampung Pesisir, Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten. Ayahnya seorang kyai
besar dan konon kabarnya beliau punya garis keturunan cucu Nabi Muhammad SAW, Imam
Hussein. Diusia 15 tahun ayah Syaikh Nawawi sudah mengirimkannya ke Saudi untuk belajar
dengan ulama paling terkemuka, Syaikh Ahmad Khatib Sambas. Hingga Akhirnya Syaikh
Ahmad menyukai kecerdasan muridnya lalu diangkatlah Syaikh Nawawi menggantikan posisi
sang guru menjadi imam dan pengajar majelis di Masjidil Haram. Beliau meminta izin untuk
pulang ke Indonesia. Namun Syaikh Nawawi diusir oleh Belanda untuk kembali ke Makkah.
Sejak terusir itulah dia tak menginjakkan kaki lagi di negeri ini sampai akhir hayat. Syaikh
Nawawi juga terkenal sebagai penulis yang menghasilkan banyak karya. Manuskripnya
disebarkan dan diterbitkan ribuan kali bahkan tanpa royalti. Syaikh Nawawi wafat di Makkah
pada 1879. Dia dimakamkan di sana. Lihat Muhammad Ulul Fahmi, Ulama Besar Biografi dan
Karyanya, (Kendal : Pustaka Amanah, 2007), hlm.9, lihat juga Suwito dan Fauzan, Sejarah 
Para Tokoh Pemikiran Pendidikan, (Bandung: Angkasa, 2003), hlm. 286
8
Badal yaitu menjadi pengganti guru ngaji karena sudah memiliki ilmu pengetahuan
yang mumpuni dan luas ilmu pengetahuannya.

4
sebagai gantinya para istri harus mendatanginya. Kondisinya semakin hari
semakin parah dan pada saat yang kritis ia pun masih sempat memberikan
pesan kepada para putra, kawan serta muridnya.9
Setelah beberapa lama menderita sakit dan masih ditakdirkan Allah
untuk dapat mengambil air wudhu dan sholat walaupun dengan berbaring,
akhirnya pada hari Rabu tanggal 27 Sya’ban 1363 H bertepatan dengan 16
Agustus 1944 dengan disaksikan oleh sebagian istri dan anak-anaknya, KH
Mas Abdurahman pulang ke Rahmatullah untuk selama-lamanya. Beribu-
ribu umat Islam hadir serta pejabat Pemerintah Jajahan Jepang dari
Kabupaten Pandeglang dan Banten hdadir untuk memberikan penghormatan
terakhir kepada KH Mas Abdurahman yang dilakukan di daerah Cikaliung
Sodong.

B. Pendidikan
Pada masa muda KH Mas Abdurahman keadaan pendidikan di
Indonesia memiliki dua sistem yakni sistem pendidikan yang disediakan
untuk para santri Muslim di pesantren yang memfokuskan hanya kepada
ilmu agama, dan sistem pendidikan Barat.
Sistem ini dikenalkan di Indonesia oleh pemerintah Kolonial
Belanda, tujuannya bukan untuk memajukan kaum pribumi menjadi cerdas
dan bisa memajukan negara Indonesia, akan tetapi sekolah-sekolah
tersebuthanya untuk menjadi pegawai administrasi pemerintah kolonial
Belanda baik untuk tingkat rendah maupun tingkat menengah. Sekolah
tersebut diperuntukan bagi anak-anak pejabat seperti bupati, residen,10
9
Pesan KH Mas Abdurahman yaitu pertama tidak memperindah kuburannya, hal ini
dikarenakan ia takut kalau dianggap kramat oleh orang-orang yang masih awam. Kedua
Meneruskan perjuangan Mathla’ul Anwar sebagai upaya Amar Ma’ruf Nahi Mungkar untuk
tetap dipelihara dengran sebaik-baiknya. M. Nahid Abdurrahman, Abdurrahman: Pendiri
Mathla’ul Anwar tahun 1916 (Rangkasbitung: Penerbit Tawekal, t.th.), hlm 24
10
Residen adalah kepala administratif dalam sebuah provinsi di Hindia Belanda
(Indonesia) hingga tahun 1950-an atau kalau jaman sekarang disebut gubernur.Sebuah
karesidenan (regentschappen) terdiri atas beberapa afdeeling (kabupaten).Tidak di semua
provinsi di Indonesia pernah ada karesidenan.Hanya di pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Bali,
Lombok dan Sulawesi saja.Biasanya ini daerah-daerah yang penduduknya banyak.Semenjak

5
kepala desa serta anak-anak orang Eropa, Timur Asing seperti Cina dan
Arab.11 Pemerintah Kolonial Belanda memandang sebelah mata kepada
kaum pribumi Indonesia yang miskin.
Atas situasi demikian, maka masyarakat pribumi lebih memilih
pesantren yang memiliki akses yang lebih baik dan terarah. Di samping itu
belajar di pesantren lebih terjangkau karena letak geografisnya tidak terlalu
jauh dari tempat tinggal mereka, baik yangada didalam maupun di luar desa.
Belajar di pesantren dipandang memiliki tingkat ibadah yang baik yang
berbeda dibandingkan dengan pendidikan yang diselenggarakan pemerintah
Kolonial Belanda. Bahkan masyarakat menilai bahwa pendidikan yang
diterapkan oleh pihak kolonial itu dihukumi haram karena karakter
sekulernya.12
KH Mas Abdurahman mempunyai ayah yang merupakan salah
seorangkiai yang dihargai didaerahnya namanya yakni Kiai Mas Jamal.
Walaupun tinggal di sebuah dusun terpencil yang sukar dijangkau namun ia
memiliki perhatian dan motivasi yang tinggi terhadap masa depan putranya.
Ia berfalsafah “ bahwa ia tidak ingin meninggal dunia sebelum putranya
berhasil atau memiliki bekal ilmu pengetahuan yang memadai’.13
Atas dasar falasafah tersebut KH Mas Abdurahman mendapat
pendidikan agama secara baik sejak masa kanak-kanak dari lingkungannya

krisis pada tahun 1950-an, sudah tidak ada karesidenan lagi dan yang muncul faktor
kekuasaannya adalah kabupaten. M.C. Ricklefs .Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 . Edisi
revisi, (Yogyakarta : Serambi, 2005), hlm. 283
11
Kartodirjo, Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emperium
Sampai Imperium Jilid I. (Jakarta : Penerbit PT Gramedia, 1987), hlm. 349
12
Umat Islam sangat mencurigai maksud pemerintah Belanda untuk mendirikan
sekolah untuk kaum pribumi. Mereka memandang sekolah-sekolah itu sebagai alat untuk
mengkristenkan anak mereka. Kecurigaan itu sering muncul dalam ungkapan bahwa
“menyebarnya agama Kristen adalah motif utama di balik pendirian sekolah-sekolah pribumi”.
Banyak umat Islam Indonesia menuduh umat Islam lain yang mengirimkan anak mereka ke
sekolah-sekolah itu telah mengkristenkan mereka. Didin Nurul Rosyidin. Wajah Baru Islam
Indonesia ( Kontestasi Gerakan Keislaman Awal Abad 20 ), Op. Cit. Hlm. 40
13
Falsafah itu artinya sebagaimana halnya pohon pisang walaupun ditebang beberapa
kali tetap akan terus mengeluarkan tunasnya, setelah menghasilkan buahnya untuk beberapa
kali baru ia rela untuk mati.lihat M. Nahid Abdurrahman, Abdurrahman: Pendiri Mathla’ul
Anwar tahun 1916. (Rangkasbitung: Penerbit Tawekal, t.th)hlm 26

6
sendiri yakni dari ayahnya, yang mempunyai cita-cita yang tinggi
inginMas Abdurahman menjadi alim ulama dan meneruskan
pembelajarannya sampai ke Mekkah.
Setelah menginjak usia remaja ia dikirim untuk melanjutkan
studinya ke berbagai pesantren di Jawa Barat diantaranya kepada Kiai Sohib
pemilik Pondok Pesantren Kedung Pinang, yang tidak jauh dari rumahnya.
Ia juga belajar mengaji kepada Kiai Ma’mun yang terkenal dengan Bacaan
Al-Qur’annya (Qiraah).Merasa tidak puas dalam menuntut ilmu,
Abdurahman remaja kemudian merantau ke Jawa Tengah untuk belajar di
Pondok Pesantren Sarang, Rembang di bawah asuhan Kiai Arif dan Kiai
Zubair, terutama untuk memperdalam ilmu Al-Qur’an dan ilmu Nahwu dan
Sharaf. Untuk melengkapi keilmuannya, KH Mas Abdurahman belajar ilmu
Tasawuf dan Tarekat di bawah bimbingan Kiai Tubagus Bachri dari
Purwakarta, Jawa Barat.
Mengarungi kedalaman ilmu agama Islam dari satu pesantrenke
pesantren lainnya, merupakan karakteristik para santri pada umumnya,
apalagi pesantren-pesantren yang disinggahi oleh Mas Abdurahman ini
memiliki spesialisasi dalam pengajaran ilmu agama masing-masing. Oleh
karena itu, selain mendapatkan pengalaman hidup di pesantren, para santri
juga mendapatkan spesifikasi ilmu agama sesuai dengan keinginannya.
Pada tahun 1903, Mas Abdurahman mendapat berita duka yakni
ayahnya, Kiai Haji Mas Jamal, yang sedang melaksanakan ibadah haji di
Mekkah meninggal dunia hal ini memaksa untuk kembali ke kampung
halaman pada saat itu juga. Namun demikian, semangatnya untuk
meningkatkan pengetahuan agama tidak pernah padam. Hal itu terbukti
pada tahun 1905, Mas Abdurrahman pergi ke Mekkah walaupun hanya
mempunyai bekal cukup untuk ongkos pergi saja, tetapi dengan tekad dan
kemauan keras beliau berangkat dengan tujuan menunaikan ibadah haji.
Kepergiannya ke Mekkah mempunya dua tujuan utama. Pertama, ia ingin
mencari makam ayahandanya walaupun tidak jelas di mana kuburannya

7
karena kuburan di sana tidak memilkik tanda yang tertulis dalam batu nisan
seperti di Indonesia, namun ia merasa puas dapat berziarah ke makam
almarhum ayahandanya secara dekat. Kedua, ia ingin melanjutkan studi
agamanya ke beberapa guru agama di sana yang sudah sangat terkenal di
Nusantara, di antaranya Syaikh Nawawi al-Bantani ulama besar asal
Banten, Syaikh Ahmad Khatib dari Minangkabau14 dan Syaikh Mahfuzh
dari Termas.15Untuk tujuan keduanya ini, semua hambatan dan tantangan

14
Syekh Ahmad Khatib adalah seorang ulama besar yang mengajar di masjidil Haram,
Ahmad Khatib adalah putra minang kabau yang berjuang di Mekkah untuk bangsa Indonesia.
Tidak sedikit murid-muridnya yang menjadi ulama dan pejuang kemerdekaan di Indonesia,
terutama ulama-ulama Islam yang ada di Minangkabau semua bekas muridnya.Selain itu,
Ahmad Khatib Minangkabau terkenal cukup produktif, ia menulis bukan saja dalam bahasa
arab, melainkan juga dalam bahasa melayu sebagai bahasa ibunya. Karya-karyanya banyak
diterbitkan dengan bantuan dana dari mertuanya selaku distributor kitab keagamaan. Walaupun
Ahmad Khatib Minangkabau tidak sempat kembali lagi ke tanah airnya, ia tetap termasuk salah
seorang tokoh pembaharu di Sumatra Barat. Pikiran-pikirannya disebarluaskan ke tanah air baik
melalui buku-bukunya maupun melalui mereka yang datang ke Mekkah untuk beribadah haji
dan kemudian menyempatkan diri belajar kepadanya. Diantara murid-murid muridnya adalah :
yang berasal dari daerah minang kabau, Syekh Muhammad Jamil Jambek, Haji Abdul Karim
Amrullah, haji Abdulah Ahmad. Yang berasal dari luar minang kabau :  Syekh Muhammad
Nur, Syekh hasan ma’asum, syekh Muhammad saleh, syekh Muhammad zain. Adapun yang
berasal dari jawa yaitu kiai Haji Hasyim Asyari pendiri pesanteren tebu ireng, yang kemudian
menjadi pemimpin Nahdatul Ulama (NU). Dan Ahmad Khatib Minangkabau meninggal pada
1916 (1334 H). Karel A. Steenbrink, Beberapa aspek tentang Islam di Indonesia abad ke-19,
(Jakarta : Bulan Bintang,1984), hlm. 139, lihat juga Harun Nasution, Ensiklopedi Islam di
Indonesia,(Jakarta : IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1992), hlm. 87

15
Nama lengkapnya adalah Muhammad Mahfudh bin Al-Allamah Haji Abdullah bin
Haji Abdul Manan bin Abdullah bin Ahmad At-Turmusi. Lahir di desa Termas (Pacitan), Jawa
Timur. Pada tanggal 12 Jumadil Awal 1285 H./ 31 Agustus 1868 M. ia adalah ulama nusantara
yang terkenal di Mesjidil haram. Ciri khas Syekh Mahfudh ketika mengajar di Masjidil Haram
adalah kefasihannya dalam berbahasa Arab, serta selingan-selingan bahasa Jawa. Sampai akhir
hayatnya (w. 1338 H.), beliau tetap tinggal di Makkah. Sementara itu nama Syekh Mahfudh
telah sedemikian masyhur, bahkan daerah asalnya, Termas ikut terangkat di kancah
internasional, karena beliau selalu mencantumkan "At-Turmusi" di belakang nama-nya,
termasuk pada kitab-kitab yang disusunnya. Bahkan dua kitabnya menyebut langsung nama
Termas. Disamping mengajar, waktu beliau hampir seluruhnya digunakan untuk menulis kitab-
kitab. Kemampuan intelektualnya yang tinggi menyebabkan Syekh Mahfudh tidak hanya
membuat ringkasan kitab-kitab, melainkan membuat syarah, atau menulis kitab-kitab baru. Di
banyak negara Islam, termasuk di Indonesia, Malaysia, Singapura dan negara-negara Asia
Tenggara, kitab-kitab susunan Syekh Mahfudh banyak dipelajari dan diajarkan orang. Di antara
kitab-kitab beliau yang sudah terbit adalah sebagai berikut: As-Siqayatul Mardliyyah, Minhatul
Kimiriyyah, Mauhibatu Dzil-Fadl, Minhaju Dzawinnazhar. Wan Moh. Shagir Abdullah,
Ulama’ Hadis Dunia Melayu. Lihat Syekh Mahfudh At-Turmusi, Al-Mathba’ah Al-Amiroh Al-
Syarfiyyah bin Misr Al-Hammiyah, Ngawi, Jawa Timur, Vol. IV.

8
telah dihadapinya, seperti hambatan karena terbatasnya uang saku, serta
tantangan kondisi alam karena kondisi alam di Mekkah tidak seperti di
Indonesia.16 Namun karena tekad dan keinginan yang kuat untuk menuntut
ilmu pengetahuan telah tertanam dalam hati sanubarinya, segala hambatan
dan kesusahan hidupnya tersebut dapat diatasinya dengan baik.
Selama di Mekkah KH Mas Abdurahman tidak memiliki
pemondokan yang tetap apalagi sewaan, tempatnya selama bermukim
adalah Mesjidil Haram, baik tidur ataupun belajar. 17 Namun banyak
keuntungan yang diperoleh KH Mas Abdurahman dengan bertempat tinggal
di Mesjidil Haram diantaranya adalah setiap guru memberikan
pelajarannya dengan berbagai ilmu, jadi setiap hari KH Mas Abdurahman
tidak pernah absen dalam mengikuti pelajaran dari setiap guru yang
mengajar tersebut.
Seluruh pelajaran diikutinya dengan penuh perhatian dan ketekunan
walau sarana serta peralatan menulis tidak lengkap, kebanyakan cukup
mendengarkan. Tetapi keberhasilan dan kemahirannya dalam menyerap
ilmu pengetahuan khususnya di bidang agama sangat mendalam,
diantaranya ilmu tauhid, fiqih, bahasa Arab, tafsir, dan hadits. Dengan
keberhasilannya tersebut, KH Mas Abdurahman direncanakan akan
diangkat menjadi badal (Asisten Dosen) pengajian di Mesjidil Haram, tetapi

16
Negeri Mekkah pada saat itu tergolong negeri yang miskin tidak mempunyai sumber
ekonomi yang tetap. Satu satunya devisa yang ada yaitu ketika telah datang musim haji, saat
itulah penduduk negeri Mekkah mendapat penghasilan untuk bekal satu tahun sampai tiba
musim haji berikutnya. Lihat M. Nahid Abdurrahman, Abdurrahman: Pendiri Mathla’ul Anwar
tahun 1916, Op. Cit. Hlm 28
17
Dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari sangat sukar dipikirkan sebab bekal pun
tak ada. Kadang-kadang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari Mas Abdurahman pergi ke luar
kota mencari kayu bakar dan hasilnya ditukar dengan beras. Karena sangat sulitnya
mendapatkan bahan makanan, beras tersebut dicampurkannya dengan pasir, satu sendok beras
berbanding satu liter pasir ditambah air yang banyak, agar dikala makan dipilihlah butiran nasi
satu persatu, perut menjadi kenyang akibat terlalu lama dan timbulnya rasa kesal memilih
butiran nasi tersebut. Hal ini dilakukan hampir setiap hari selama sepuluh tahun, kecuali jika
musim haji tiba karena banyak mendapat penghasilan dari hasil mengantar jemaa’ah haji yang
berziarah. Ibid hal 29

9
hal ini tidak berlanjut, karena adanya permohonan dari para Ulama/Kiai
Menes, Banten agar segera kembali ke tanah air pada tahun 1910.18
Selama di Mekkah KH Mas Abdurrahman berkawan dan belajar
bersama beberapa mahasiswa yang nantinya menjadi pemimpin agama
ternama di Indonesia, termasuk Syaikh Hasyim Asy’ari, salah satu pendiri
NU yang paling dihormati dan KH Ahmad Dahlan sebagai pendiri
Muhamadiyah.19

C. Karya KH Mas Abdurahman


KH Mas Abdurrahman adalah tokoh yang memiliki sangat banyak
karya melalui sejumlah tulisan yang disusun. Sepanjang hidupnya, menulis
beberapa buku tentang berbagai masalah keagamaan, diantaranya yaitu Al-
Jawa’iz fi Ahkam al-Jana’iz tentang tata cara pemakaman jenazah menurut
Islam.Ilm al-Tajwid tentang aturan baca Al-Quran, Al-Takhfiftentang tata
bahasa Arab, Miftah Bab al-Salam tentang hukum Islam,Fi Arkan al-Iman
wa al-Islam tentang teologi. Semua buku ini ditulis dalam tulisan Melayu
Arab (Jawi), dengan bahasa Sunda sebagai mediumnya.20Semua buku ini
dipersiapkan sebagai rujukan utama untuk studi-studi agama di Madrasah
Mathla’ul Anwar.21
Dari sekian banyak karya KH Mas Abdurahman buku Al-Jawa’iz fi
Ahkam al-Jana’iz merupakan karya yang fenomenal karena buku tersebut
sampai hari ini masih banyak dibaca, dan menjadi buku rujukan dalam
pembelajaran di Mathla’ul Anwar. Buku ini tidak saja diperuntukan untuk
para siswa namun dipakai juga untuk masyarakat umum.

18
Buletin Mathla’ Edisi 08 September 1999, hlm 21
19
M. Nahid Abdurrahman, Loc. Cit
Anonim, Menapak Jejak Mengenal Watak, Sekilas Biografi 20 Tokoh Nahdlatul
20

Ulama, (Jakarta: Yayasan Saifuddin Zuhri, 1994),hlm. 73-87


Aceng Abdul Qodir, Biograpi KH. Mas Abdurrahman Mengenai Didaktik
21

Methodiknya Dalam Pendidikan Agama Islam, skripsi tidak terbit (Cikaliung: Sekolah Tinggi
Agama Islam Mathla’ul Anwar [STAIMA], 1999), hlm. 52-57.

10

Anda mungkin juga menyukai