Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
FAKULTAS TARBIYAH
TAHUN 2022
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah , segala puja dan puji marilah senantiasa kita ucapkan atas
limpahan rahmat dan nikmatnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah
yang di berikan kepada kami. Sholawat bersamaan dengan salam juga mari
hadiahkan kepada baginda nabi kita Muhammad SAW.Semoga kita, orang tua
kita,nenek dan kakek kita,guru-guru dan orang terdekat kita mendapat syafaat beliau
di yaumil mahsyar kelak. Aamiin ya rabbal alamiin.
Adapun tujuan utama penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam semester ganjil dan judul makalah ini adalah
“Inklusivisme dan Transformasi Pendidikan Islam”.Kami ucapkan terima kasih
kepada bapak Ahmad Habibi, M.Hum. selaku dosen pengampu,dan kepada semua
pihak yang sudah membantu dalam penulisan makalah dari awal hingga selesai.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................... 1
C. Tujuan ......................................................................................... 2
A. Kesimpulan ................................................................................. 11
B. Saran ............................................................................................ 11
Daftar Pustaka
iii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
dirinya sebagai yang paling benar, tapi tidak menyalahkan agama lain dalam
artian membiarkan mereka untuk mengakui bahwa agama mereka benar,
sehingga tidak memandang yang lain murtad, kafir dan sejenisnya. Dalam
keadaan demikian maka timbul proses tidak saling menyalahkan dan
mengkafirkan, timbul adanya dialog dan keterbukaan yang memunculkan
adanya saling menghargai antar umat beragama.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Inklusivisme
1
Rofiq N, Syamsul H, dkk, “Dialektika Inklusivisme dan Eksklusivisme Islam Kajian
Semantik terhadap Tafsir Al-Quran te ntang Hubungan Antaragama”, Jurnal Kawistara, Vol. 3, No.
1, April 2013, hlm. 59.
2
Abu Bakar, “Argumen Al-Quran Tentang Eksklusivisme, inklusivisme dan Pluralisme”,
Vol. 8, No. 1, Januari 2016, hlm. 46.
3
group. Inklusivisme sendiri bersifat lebih longgar dan terkesan fleksibel
terhadap sesuatu yang di luar dirinya, tidak kaku dan memberi jalan kepada
selain dirinya untuk mengakui kebenaran mereka.3
Jadi, asumsi dasar inklusivisme agama adalah mengakui bahwa kebenaran
hanya terdapat dalam agama sendiri, namun memberi kesempatan atau jalan
bagi mereka yang berlain keyakinan untuk mengakui bahwa agama mereka juga
benar. Pernyataan seperti ini dikenal dengan kategori traditional inklusivisme.
Kategori yang kedua adalah relatif inklusivisme yaitu anggapan kebenaran yang
hanya terdapat di dalam agama sendiri, tetapi juga mengakui bahwa tidak ada
kebenaan yang absolut yang betul-betul benar sehingga semua agama
kelihatannya menuju kebenaran absolut.4
C. Inklusivisme Pendidikan Islam
3
Iskandar Zukarnain “Realitas keagamaan di Indonesia dan inklusivitas Islam”(Lor in solo
2012), hlm. 18
4
Ibid, hlm. 35-36
5
Made Saihu, “Pendidikan Moderasi Beragama: Kajian Islam Wasathiyah menurut
Nurcholish Madjid", Andragogi: Jurnal Pendidikan Islam dan Manajemen Pendidikan Islam, Vol.
3, No. 1, 2021. hlm. 29
4
Dalam islam memandang pendidikan merupakan hak bagi setiap
orang, agar mereka dapat saling mengenal dan terjalin interaksi yang baik serta
dapat bersikap saling menghormati dan menghargai orang lain. Islam tidaklah
mengajarkan eksklusivisme yakni membeci agama selain Islam, menghina
non-Muslim ataupun memusuhinya dengan cara kasar dalam menyuarakan
kebenaran. Bahkan dengan Islam inklusif semakin menyiarkan toleransi
beragama dan saling kerja sama. 6
Agama dan pendidikan adalah dua hal yang satu dengan yang lainnya
selalu berhubungan. Hal itu dikarenakan keharusan saling mempengaruhi
antara keduanya dalam sistem tertentu. Agama jika dihubungkan dengan sistem
pendidikan nasional pada dasarnya menjadi bagian dari kurikulum. seperti
diungkap oleh M. Dawam Raharjo, karena agama dimaksudkan untuk
membentuk manusia Indonesia seutuhnya, dengan pertama-tama mengarahkan
anak didik menjadi “manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa”.
Selain itu, hal yang paling fundamental dengan adanya Pendidikan
Agama di sekolah adalah diharapkan lahirnya sosok yang benar-benar mampu
memahami substansi agama itu sendiri sekaligus dapat
mengimplementasikannya dalam kehidupan yang di antara indikasinya adalah
adanya kecenderungan mengedepankan kedamaian, toleransi, keadilan dan
kejujuran.7
Inklusivisme ajaran Islam yang merupakan substansi dari ajaran Islam
dalam materi Pendidikan Agama Islam agar Islam tampil dalam wajahnya yang
sesungguhnya yaitu: toleran, humanis, transformatif, aktual dan egalitarian.
Seperti yang dikemukakan oleh Nurcholish Madjid bahwa watak
inklusif Islam adalah pikiran bahwa yang dikehendaki Islam ialah suatu sistem
yang menguntungkan semua orang termasuk mereka yang non-Muslim. Hal
6
Nasri Kurnialoh, “Pendidikan Agama Islam Berwawasan Inklusif-Pluralis, Jurnal
Insania, Vol. 18, No. 3, Desember 2013, hlm. 392
7
M. Dawam Rahadjo, Islam dan Transformasi Budaya-The International Insitute of
Islamic Thought Indonesia dan Lemabga Studi Agama dan Filsafat, (Yogyakarta: Bhakti Prima
Yasa, 2002), hlm. 85
5
tersebut memandang ini memperoleh dukungannya sejarah Islam sendiri. Atau
mengambil legitimasi dari Al-Qur’an bahwa Islam pada hakikatnya
sebagaimana Rasulullah saw sendiri merupakan “rahmatan lil’alamin”.8
D. Transformasi Pendidikan Islam
1. Pengertian Transformasi
8
Nurcholish Madjid, Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat, (Jakarta: Paramadina,
1999), hlm. 13.
6
menurut Soebagio, konsep kepemimpinan dalam pendidikan Islam
memerlukan perhatian utama karena produk pendidikan yang berkualitas
selalu diawali dengan kepemimpinan yang baik. pendidikan tidak harus
dimaknai sebagai proses yang berlangsung di ruang kelas saja, namun juga
terjadi di luar kelas. Karena itu, upaya mensinergikan antara unit keluarga,
sekolah, dan masyarakat perlu dilakukan.9
9
Madan Sarup, Strukturalisme dan Postmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis
(Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 15
10
St. Sularto, “Tentang Mimpi Besar Indonesia”, dalam A. Ferry Indratno (ed.), Kurikulum
yang Mencerdaskan: Visi 2030 dan Pendidikan Alternatif (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008),
hlm. 100
7
hal ini dikarenakan Perbedaan kontek kalimatnya dalam pengunaan istilah
tersebut. Akan tetapi dalam Keadaan tertentu semua istilah itu memiliki
makna yang sama, yakni pendidkan.11
Pendidikan Islam menurut Dr.Hasan langgulung ialah pendidikan
yang memiliki empat macam fungsi,Yaitu :
a. Menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu
dalam masyarakat pada masa yang akan datang.
b. Memindahkan ilmu pengetahuan yang bersangkutan pada peranan-
peranan tersebut dari generasi tua ke generasi muda.
c. Memindahkan nilai-nilai yang bertujuan memelihara keutuhan dan
kesatuan masyarakat yang menjadi syarat mutlak bagi kelanjutan hidup
suatu masyarakat dan peradaban.Dengan kata lain,tanpa keutuhan
(Integritas) dan kesatuan (Integration)suatu masyarakat,tidak akan
terpelihara yang akhirnya akan berkesudahan kehancuran masyarakat
sendiri.12
11
Poerwadamanita, WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976),
hlm. 250
12
Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam (Jakarta: Putaka Firdaus, 1996), hlm. 23 .
8
didik,3) menciptakan kondisi yang keislaman dan menanamkan keislaman,
4) bermuatan nilai, estetika, moralitas,logika, 5) menyediakan pengalaman
pendidikan yang beragam.13
13
H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis Dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), Hal.29-31
14
Zakiah Derajat, dkk, Pendidikan Islam Keluarga dan Sekolah (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1995) 86 9Muhammad Fathurrohman, Sulistyorini, Meretas Pendidikan Berkualitas
dalam Pendidikan Islam (Yogyakarta: Teras, 2012)Hal. 8-9
9
1) pendekatan analisis tugas (task analisy) untuk menentukan daftar
kompetensi. Berdasarkan analisis tugas-tugas yang harus
dilakukan oleh guru disekolah sebagai tenaga professional, yang
pada gilirannyaditentukan kompetensi- kompetensi apa yang
diperlukan.
2) Pendekatan the need of school leaner (memusatkan pada
kebutuhan- kebutuhan siswa di sekolah) langkah pertama dalam
pendekatan ini adalahbertitik tolak dari ambisi, nilai-nilai dan
pandangan para siswa.
Hal inimenjadi landasan dalam mengidentifikasi dalam
kompetensi.Jadi pendekatan ini berdasarkan asumsi bahwa terdapat hubungan yang
erat sekali antara persiapan guru dan hasil yang diinginkan.15
15
A.M. Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (Jakarta: Raja Grafindo, 1994)
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
11
DAFTAR PUSTAKA