Anda di halaman 1dari 110

HUKUM TRADISI “MAPPATABE”

DALAM KERANGKA KAIDAH AL-„ĀDAH MUḤAKKAMAH


(STUDI DI DESA PITUMPIDANGE
KECAMATAN LIBURENG KABUPATEN BONE)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana Hukum
Pada Jurusan Syariah Program Studi Perbandingan Mazhab
Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab (STIBA) Makassar

OLEH

ANDI MIRNAWATI
NIM/NIMKO : 141012428/8581414428

JURUSAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI ILMU ISLAM DAN BAHASA ARAB
(STIBA) MAKASSAR
1439 H./2018 M.
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Dengan penuh kesadaran, penyusun yang bertanda tangan di bawah

ini menyatakan bahwa skripsi ini benar adalah hasil karya penyusun sendiri. Jika

kemudian hari terbukti bahwa ia merupakan duplikat, tiruan, plagiat atau dibuat

oleh orang lain, sebagian atau seluruhnya, maka skripsi dan gelar yang diperoleh

karenanya batal demi hukum.

Makassar, 28 Dzulqa‟dah 1439 H


10 Agustus 2018 M

Penyusun,

Andi Mirnawati
NIM/NIMKO: 141012428/8581414428

ii
iii
KATA PENGANTAR

‫تِس ِْى هللاِ انرَّحْ ًَ ٍِ ان َّر ِح ْْ ِى‬

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah swt. atas limpahan rahmat
dan hidayah-Nya serta nikmat yang tidak terhitung sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini dengan baik. Limpahan
salawat dan salam semoga tetap tercurah kepada baginda Rasulullah saw. yang
telah menunjukkan kepada umatnya jalan keselamatan dari jalan yang sesat
kepada jalan yang lurus.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa memulai hingga mengakhiri skripsi
yang berjudul, “Tradisi Mappatabe’ dalam Kerangka Kaidah al-‘Ādah
Muḥakkamah (Studi di Desa Pitumpidange Kecamatan Libureng Kabupaten
Bone)” tidaklah mudah, kecuali dengan izin Allah swt. yang Maha Besar. Dzat
yang mampu memudahkan segala macam perkara yang dianggap besar oleh
manusia.
Penulisan skripsi ini merupakan rangkaian salah satu syarat kelulusan dan
mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Jurusan Syariah Program Studi
Perbandingan Mazhab.
Penyelesaian skripsi dalam kurun waktu kurang lebih 4 bulan ditambah
dengan berbagai macam kegiatan di dalamnya, menjadikan penyelesaian skripsi
ini terasa sempit, sehingga berbagai macam kekurangan akan ditemukan
dalam penulisan skripsi ini. Maka dari itu, saran serta kritikan yang membangun
sangat dibutuhkan demi kesempurnaan skripsi ini.
Setelah selesainya penyusunan skripsi ini, tentunya banyak pihak yang
telah membantu serta memberikan support sehingga tugas akhir ini dapat
terselesaikan pada waktunya. Ucapan terima kasih yang paling pertama adalah
kepada ayah tercinta Andi Cakka dan ibunda tersayang Andi Suka yang telah
membesarkan, mendidik, memberi kasih sayang, perhatian, dorongan kepada
penulis untuk sukses di dunia dan di akhirat dengan tulus dan ikhlas dari kecil

iv
sampai kematian memisahkan kami. Selanjutnya ucapan terima kasih penulis
ingin menghaturkan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ustadz H. Muhammad Yusram, Lc., M.A., Ph.D. selaku Ketua STIBA
Makassar serta seluruh jajarannya.
2. Ustadzah Armida Abdurrahman, Lc., selaku kepala bagian keputrian STIBA
Makassar.
3. Ustadz H. Kasman Bakry, SHI., MHI. selaku pembimbing I dan Ustadzah
Hijrayanti Sari, S.Sos., M.I.Kom. selaku pembimbing II yang penuh
kesabaran, meluangkan waktu dan pikirannya memberikan bimbingan,
arahan dan petunjuk dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Ustadzah Munawwarah, SH., ustadzah Mar‟atu Shaleha, SH., ustadzah
Sartini La Mbajo, Lc. yang telah memberikan semangat dan tidak
bosan-bosannya untuk mengingatkan tentang deadline pengumpulan skripsi.
5. Seluruh Dosen serta seluruh karyawan Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa
Arab (STIBA) Makassar yang telah memberikan ilmu yang merupakan
warisan para Nabi serta pelayanan yang layak dan berguna dalam
penyelesaian studi penulis.
6. Kepala perpustakaan Universitas Islam Negeri Makassar dan Kepala
Perpustakaan Daerah beserta staf yang memberikan fasilitas untuk membaca,
menulis dan meminjam buku-buku di perpustakaan.
7. Sahabat-sahabat seperjuangan, terutama kelas Perbandingan Mazhab 8 D
angkatan 2014, yang selama ini telah meluangkan waktu dan pikirannya
untuk membantu penulis dalam menjawab berbagai macam pertanyaan serta
memecahkan masalah. Juga memberikan motivasi, bantuan dan menjadi
teman diskusi yang hebat bagi penulis.
8. Saudara Annur Bryan Nugroho, yang juga selalu memotivasi serta
memberikan banyak bantuan dalam tekhnik penulisan skripsi ini.
9. Keluarga tercinta yang selalu memberikan motivasi serta membiayai semua
kebutuhan penulis dari awal hingga selesainya studi penulis.
10. Seluruh informan yang telah bersedia untuk diwawancarai dan memberikan
informasi yang akurat.

v
Semoga Allah swt. senantiasa membalas amal baik dan bantuan yang telah
diberikan. Demikian penyusunan tugas akhir ini, penulis berharap dengan
hadirnya skripsi ini dapat dijadikan sebagai rujukan serta referensi bagi umat
Islam.

Makassar, 28 Dzulqa‟dah 1439 H


10 Agustus 2018 M

Penyusun,

Andi Mirnawati
NIM/NIMKO:141012428/8581414428

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i


PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ....................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... ix
PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................. x
ABSTRAK ..................................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1-11
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Fokus Penelitian/Deskripsi Fokus ....................................................... 6
C. Rumusan Masalah ............................................................................... 6
D. Pengertian Judul .................................................................................. 7
E. Kajian Pustaka ..................................................................................... 8
F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................................ 10

BAB II TINJAUAN TEORITIS .................................................................. 12-58

A. Al-Qawā‟id al-Fiqhiyyah .................................................................... 12


B. Kaidah al-„Ādah Muḥakkamah ............................................................ 29
C. Tradisi Mappatabe‟ .............................................................................. 46
D. Mappatabe‟ dalam Konteks Islam …………………………………… 49
E. Kerangka Konseptual ………………………………………………… 58

BAB III METODOLOGI PENELITIAN .................................................... 59-65

A. Jenis dan Lokasi Penelitian ................................................................. 59


B. Pendekatan Penelitian ......................................................................... 59
C. Sumber data ......................................................................................... 60
D. Metode Pengumpulan Data ................................................................. 61
E. Penentuan Informan ............................................................................ 63
F. Instrumen Penelitian ............................................................................ 64
G. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ................................................ 64
H. Pengujian Keabsahan Data .................................................................. 65

vii
BAB IV TRADISI MAPPATABE’ DALAM TINJAUAN KAIDAH AL-ĀDAH

MUHAKKAMAH ……………………………………………… ..66-79

A. Gambaran Umum Daerah Penelitian .................................................. ..66


1. Kabupaten Bone ............................................................................ 66
2. Profil Desa Pitumpidange Kecamatan Libureng ........................... 69
B. Mappatabe‟ Dalam Tinjauan Sosiologis Desa Pitumpidange ............. 73
1. Pemahaman Masyarakat Tentang Tradisi Mappatabe‟.................. 73
2. Penerapan Tradisi Mappatabe‟ ..................................................... 73
3. Bentuk-bentuk Mappatabe‟ .......................................................... 77
C. Mappatabe‟ Dalam Kerangka Kaidah al-„Ādah Muḥakkamah .......... 78

BAB V PENUTUP .......................................................................................... 80-81

A. Kesimpulan ......................................................................................... 80
B. Saran Penelitian ................................................................................... 81

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 82

LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

viii
DAFTAR TABEL

Tabel. 1 Perbandingan Al-Qawā‟id al-Uṣūliyyah dan Al-Qawā‟id al-Fiqhiyyah..23

Tabel. 2 Data Potensi Desa …………………………………………………… ..70

Tabel. 3 Data Penduduk …………………………………………………………71

Tabel. 4 Penduduk Berdasarkan Umur ……………………………………….....72

Tabel. 5 Tinjauan Kaidah dalam Tradisi Mappatabe‟…………………………...79

ix
PEDOMAN TRANSLITERASI

A. Transliterasi Arab-Latin

1. Konsonan

Huruf-huruf bahasa Arab yang ditransliterasikan ke dalam huruf latin

sebagai berikut:

Huruf Arab Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin


‫ا‬ A ‫ض‬ ḍ
‫ب‬ B ‫ط‬ ṭ
‫خ‬ t ‫ظ‬ ẓ
‫ث‬ ṡ ‫ع‬ „
‫ج‬ j ‫غ‬ G
‫ح‬ ḥ ‫ف‬ F
‫خ‬ kh ‫ق‬ Q
‫د‬ d ‫ك‬ K
‫ذ‬ ż ‫ل‬ L
‫ر‬ r ‫و‬ M
‫ز‬ z ٌ N
‫ش‬ s ً W
‫ش‬ sy ‫ه‬ H
‫ص‬ ṣ ُ Y

2. Konsonan Rangkap

Konsonan rangkap (tasydīd) ditulis rangkap

Contoh:

‫ُيقَ ِّد َيح‬ : muqaddimah

ُ‫ان ًَ ِد ّْنَحُ ان ًُنَ ٌَّ َرج‬ : al-madinah al-munawwarah

Vokal

a. Vokal Tunggal

Fatḥah ََ ditulis a contoh َ‫قَ َرأ‬

Kasrah َِ ditulis i contoh ‫َر ِح َى‬

x
ḍammah َُ ditulis u contoh ‫ُكتُة‬

b. Vokal Rangkap

Vokal rangkap ِْ ‫( َس‬fathah dan ya) ditulis “ai”

Contoh: ‫ = َز ّْنَة‬Zainab َ‫ = َك ْْف‬Kaifa

Vokal rangkap ٌْ‫( َس‬fathah dan waw) ditulis “au”

Contoh: ‫ = َحٌْ َل‬ḥaula ‫ = قٌَْ َل‬qaula

3. Vokal Panjang (maddah)

‫ َسا‬dan َ‫َس‬ (fathah) ditulis ā contoh: ‫قَا َيا‬ = qāmā

َ‫ِس‬ (kasrah) ditulis ī contoh: ‫َر ِحْْى‬ = rahīm

ٌُ‫س‬ (dammah) ditulis ū contoh: ‫ُعهٌُْ و‬ = „ulūm

4. Ta Marbūṭah

Ta Marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun ditulis /h/

Contoh: ‫َي َّكحُ ان ًُ َك َّر َيح‬ : Makkah al-Mukarramah

ُ‫ان َّش ِر ّْ َعحُ ا ِال ْسالَ ِيَّْح‬ : al-Syarī‟ah al-Islāmiyyah

Ta Marbūṭah yang hidup, transliterasinya /t/

Contoh: ُ‫ان ُح ُكٌْ َيحُ ا ِال ْسالَ ِيَّْح‬ : al-Ḥukūmatul-islāmiyyah

ُ‫ان ُّسنَّحُ ان ًُتَ ٌَاتِ َرج‬ : al-Sunnatul-mutawātirah

5. Hamzah

Huruf hamzah (‫ )ء‬di awal kata ditulis dengan vokal tanpa didahului oleh

tanda apostrof („)

Contoh: ٌ‫اِ ّْ ًَا‬ = īmān, bukan „īmān

‫اِتِّ َحا ُد األُ َّي ِح‬ = ittiḥād al-ummah, bukan „ittiḥād al-ummah

xi
6. Lafẓu Jalālah

Lafẓu Jalālah (kata ‫ )هللا‬yang berbentuk fase nomina ditransliterasi tanpa

hamzah.

Contoh: ‫َع ْث ُد هللا‬ ditulis „Abdullāh, bukan Abd Allah

‫َجا ُر هللا‬ ditulis Jārullāh

7. Kata Sandang “al-”

a. Kata sandang “al-” tetap ditulis “al-”, baik pada kata yang dimulai dengan

huruf qamariah maupun syamsiah.

Contoh: ُ‫األَ َيا ِكٍُ ان ًُقَ َّد َسح‬ : al-amākin al-muqaddasah

ُ ‫ان ِسَْا َسحُ انشَرْ ِعَّْح‬ : al-siyāsah al-syar‟iyyah

b. Huruf “a” pada kata sandang “al-” tetap ditulis dengan huruf kecil, meskipun

merupakan nama diri.

Contoh: ُ‫ان ًَا ًَرْ ِد‬ = al-Mawardī

‫األَ ْزىَا ُر‬ = al-Azhar

ُ‫ان ًَ ْنصٌُْ َرج‬ = al-Manṣūrah

c. Kata sandang “al-” di awal kalimat dan pada kata “Al-Qur‟an” ditulis dengan

huruf capital.

Contoh:Al-Afgani adalah seorang tokoh pembaharu.

Saya membaca Al-Qur‟an al-Karim.

B. Singkatan:

Beberapa singkatan yang dibakukan adalah:

swt. = subḥānahu wa ta‟ālā

saw. = ṣallallāhu „alaihi wa sallam

xii
ra. = radiyallāhu „anhu

Q.S. = Al-Qur‟an Surah

UU = Undang-undang

M. = Masehi

H. = Hijriyah

t.p. = tanpa penerbit

t.t.p. = tanpa tempat terbit

Cet. = cetakan

t.th. = tanpa tahun

h. = halaman

xiii
ABSTRAK

Nama : Andi Mirnawati


NIM/NIMKO : 141012428/8581414428
Judul Skripsi : Hukum Tradisi “Mappatabe” dalam Kerangka Kaidah
al-Adah Muhakkamah (Studi di Desa Pitumpidange
Kecamatan Libureng Kabupaten Bone)

Penelitian dalam skripsi ini bertujuan untuk mengetahui konsep kaidah


al-„ādah muḥakkamah sebagai landasan istinbāt hukum, bagaimana deskripsi
mappatabe‟ di desa Pitumpidange Kecamatan Libureng Kabupaten Bone serta
mengetahui tradisi mappatabe‟ dalam tinjauan sosiologis dan dalam kaidah
al-„ādah muḥakkamah. Permasalahan yang penulis angkat dalam masalah ini
yaitu: Bagaimana konsep kaidah kubrā „al-„ādatu muḥakkamah” sebagai salah
satu landasan istinbāṭ hukum. Kedua, Bagaimana deskripsi mappatabe‟ di desa
Pitumpidange kecamatan Libureng kabupaten Bone. Ketiga, Bagaimana tradisi
mappatabe‟ dalam tinjauan sosiologis dan kaidah al-„ādah muḥakkamah.
Untuk mendapatkan jawaban terhadap permasalahan di atas, penulis
menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif (non-statistik) dan lokasi
penelitian ini terletak di Desa Pitumpidange Kecamatan Libureng Kabupaten
Bone, dengan menggunakan pendekatan sosiologis dan fenomenologi. Data-data
dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan sekunder, sedangkan dalam
pengumpulan data menggunakan metode observasi, wawancara dan dokumentasi.
Selanjutnya data yang diperoleh dari lapangan akan diolah dan dianalisis demi
mendapatkan sebuah kesimpulan dengan mengaitkannya dengan konsep kaidah
fikih.
Hasil penelitian ditemukan adalah sebagai berikut; Pertama, Kaidah
al-„ādah muḥakkamah adalah sebuah adat kebiasaan dan „urf yang dapat
dijadikan sebagai sandaran untuk menetapkan hukum syariat apabila tidak
terdapat naṣ atau lafaz ṣarīh (tegas) yang bertentangan dengannya. Kedua,
Mappatabe‟ menurut masyarakat Bugis Bone terkhusus desa Pitumpidange adalah
sebuah bentuk kesopanan, tata krama, bentuk permisi, tanda rendah hati, tanda
penghormatan kepada sesama serta tanda kemuliaan yang dipraktekkan dengan
gerakan badan dan tangan. Ketiga, Tradisi mappatabe‟ dalam tinjauan sosiologis
adalah sebuah sikap menghormati antara satu dengan yang lainnya sedangkan
tradisi mappatabe‟ dalam tinjauan kaidah al-ādah muḥakkamah. Mappatabe‟
dalam bentuk ucapan adalah hal yang dapat dijadikan sebagai sandaran hukum.
Adapun Mappatabe‟ dalam bentuk ucapan dan perbuatan maka hal ini juga
diperbolehkan selama tidak dijadikan sebagai ibadah.

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Akhlak yang mulia adalah suatu perbuatan yang sangat dianjurkan dalam

agama yang mulia ini, bahkan memerintahkan umatnya agar memiliki akhlak

yang baik. Akhlak adalah cerminan dari iman seseorang. Allah swt. berfirman

tentang akhlak Rasulullah saw. dalam Q.S. al-Qalam/68:4,

    


Terjemahnya:

“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur”.1

Sedangkan dalam hadis, Rasulullah saw. bersabda:

ِ ‫ ما شئ أَثْ َقل ِِف ِمي ز ِان املؤِم ِن ي وم‬:‫ال‬


‫القيَ َام ِِ ِم ْن‬ َ ْ َ ُْ َ ْ ْ ُ َ َ َ َ‫صلَّى اهلل َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ق‬ ّْ ِ‫َن الن‬
َ ‫َِّب‬ َّ ‫َع ْن اَِ ِْب الد َّْرَداء أ‬
2 ِِ
)‫ش البَ ِذى ) َرَواهُ التّْ ْرمذي‬ ِ
َ ‫ض ال َفاح‬
ُ َ‫َن اهلل لَيَْب غ‬َّ ‫ َوأ‬،‫ُخلُ ٍق َح َس ٍن‬
Artinya:

“Dari Abī Dardā' ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda: Tidak ada amal
saleh lebih berat bagi timbangan seorang hamba yang beriman pada hari
kiamat selain dari akhlak yang mulia. Sesungguhnya Allah swt. murka
terhadap orang yang berlaku kotor lagi kasar".

Akhlak yang baik harus meliputi berbagai aspek kehidupan seorang

muslim, baik dalam perkataan, perbuatan, ibadah dan muamalahnya dengan

sesama makhluk.

1
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Quran al-Karim dan Terjemahnya (t. Cet;
Surabaya: Halim, 1434 H./2013 M), h. 564.
2
Muḥammad bin „Īsā bin Saurah bin Mūsā bin al-Ḍaḥḥak al-Sulami al-Tirmiżī, al-Jāmi‟
al-Ṣahīh, Juz IV (Cet. II; t.t.p.: t.p., 1978 M.), h. 362.

1
2

Ibnul Qoyyim ra. berkata: Rasulullah saw. menggabungkan antara

bertakwa kepada Allah swt. dan berakhlak yang baik, sebab bertakwa kepada

Allah swt. akan menjadikan hubungan baik antara seorang hamba dengan

Rabb-Nya dan akhlak yang baik akan memperbaiki hubungan seorang hamba

dengan hamba yang lain, maka bertakwa kepada Allah swt. akan mendatangkan

kecintaan Allah swt. dan akhlak yang baik akan mengarahkan orang lain untuk

mencintai dirinya.3 Tidak akan sempurna iman seseorang sehingga dia diberikan

taufik untuk berakhlak yang baik.

Sebagai salah satu akhlak atau kewajiban antara muslim yang satu dengan

yang lainnya adalah saling menghormati dan memberikan penghormatan. Bentuk

penghormatan yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. adalah dengan mencium

tangan, menundukkan kepala dan berdiri ketika menyambut orang lain.

Sebagaimana dalam hadis, Rasulullah saw. bersabda:

‫ُس َامَِ َع ْن ُش ْعبََِ َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن ُمَّرَة َع ْن َعْب ِد‬ َ ‫س َوغُْن َدٌر َوأَبُ ْو أ‬ ِِِ ِ ٍ
َ ْ‫َحدَّثَنَا أَبُ ْو بَ ْكر َحدَّثَنَا َعْب ُد اهلل بْن ا ْدري‬
‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َوِر ْجلَْي ِو‬ ِ ِ َّ :‫ص ْف َوا َن بْ ِن َع َّس ٍال‬ ِ
ّْ ِ‫أن قَ ْوًمأ م َن اليَ ُه ْود قَبَّ ْلوا يَ َد الن‬
َ ‫َِّب‬ َ ‫اهلل بْ ِن َسلَ َم َِ َع ْن‬
4
)‫اجو‬
َ ‫( َرَواهُ ابْ ُن َم‬
Artinya:

“Telah menceritakan kepada kami Abū Bakr (ia berkata): telah


menceritakan kepada kami Abdullāh bin Idrīs, Gundar dan Abū Usāmah,
dari Syu‟bah, dari „Amr bin Murrah, dari „Abdillāh bin Salamah, dari
Ṣofwān bin „Assāl, bahwa sebuah kaum dari Yahudi mencium tangan dan
kedua kaki Rasulullah saw.”

3
Amīn Bin Abdullāh al-Syaqāwī, Ḥusnul Khuluq (Berakhlak Mulia), Terj. Muzaffar
Syahidu (t. Cet; t.t.p.: Islam House, 2009 M.), h. 4.
4
Abū „Abdillāh Muḥammad Ibn Yazīd al-Qazwīnī Ibn Mājah, Sunan Ibnu Mājah, Juz II
(t. Cet; Semarang: Thoha Putera, t.th), h. 1220.
3

ِ ِ ِِ
‫َح ًدا َكا َن أَ ْشبَوَ َسَْتًا َو َى ْديًا‬ َ‫ت أ‬ ُ ْ‫ت َما َرأَي‬ ْ َ‫ني َعائ َشَِ َرض َي اللَّوُ َعنْ َها أَن ََّها قَال‬ َ ‫َع ْن أ ُّْم الْ ُم ْؤمن‬
‫صلَّى‬ ِ ِ ِ َّ ‫السمت وا ْْل ْدي والد‬ ِ
َ ‫َّل ب َر ُسول اللَّو‬ َ َ َ َ َ ْ َّ ‫ال ا ْْلَ َس ُن َحديثًا َوَك ََل ًما َوََلْ يَ ْذ ُك ْر ا ْْلَ َس ُن‬ َ َ‫َو َد ًِّّل َوق‬
‫َخ َذ بِيَ ِد َىا‬ ِ
َ ‫ت َعلَْيو قَ َام إِلَْي َها فَأ‬ ْ َ‫ت إِذَا َد َخل‬
ِ ِ ِ
ْ َ‫اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم م ْن فَاط َمَِ َك َّرَم اللَّوُ َو ْج َه َها َكان‬
ِِ ِ ِِِ
ُ‫َجلَ َس ْتو‬ْ ‫ت بِيَده فَ َقبَّ لَْتوُ َوأ‬
ْ ‫َخ َذ‬َ ‫ت إِلَْيو فَأ‬
ْ ‫َجلَ َس َها ِِف َمَْلسو َوَكا َن إِذَا َد َخ َل َعلَيْ َها قَ َام‬ ْ ‫َوقَبَّ لَ َها َوأ‬
5
)‫ِِف َمَْلِ ِس َها ( َرَواهُ أَبُو َد ُاود‬
Artinya:

“Dari Ummul Mukminin 'Āisyah ra. Ia berkata, "Aku tidak pernah


melihat seseorang yang mirip dalam kesopanan, ketenangan, kesabaran
dan dalam memberi petunjuk - al-Hasan menyebutkan, "Dalam berbicara
dan bertutur kata namun al-Hasan tidak menyebutkan 'kesabaran dan
dalam memberi petunjuk- dengan Rasulullah saw. selain dari pada
Fāṭimah -semoga Allah swt. memuliakan wajahnya-. Jika Fāṭimah
datang menemui beliau, maka beliau berdiri, meraih tangannya, mencium
dan mendudukkannya ditempat duduknya. Dan jika beliau datang
menemuinya, maka ia akan meraih tangan beliau, mencium dan
mendudukkannya di tempat duduknya".

Sebagian orang menganggap bahwa tidak boleh memberikan

penghormatan yang berlebihan, karena penghormatan tersebut menyerupai

penghormatannya kepada Allah swt. Komentar ini adalah penggalan dari

pendapat Raja „Abdullāh tentang penolakan dari ajakan untuk tidak mencium

tangan kepada orang lain kecuali orang tua, karena hal tersebut (mencium

tangan) juga menyebabkan ketundukan, yang merupakan pelanggaran pada

hukum Allah swt. Semua bentuk ketundukkan hanya kepada Allah swt. saja. 6

Namun sebagian berpendapat bahwa penghormatan sesama manusia

5
Abū Dāwud Sulaimān bin al-Asy‟aṡ al-Sijistānī, Sunan Abī Dāwud, Juz IV (t. Cet; t.t.p.:
Dār al-Fikr, t.th), h. 355.
6
Ahmad Qurtubi, “Penghormatan dalam Islam Perspektif Hadits”, Skripsi (Makassar:
Fak. Uṣuluddīn, 2011 H.), h. 3.
4

tidak terlarang jika penghormatan tersebut sesuai dengan „urf (kebiasaan) pada

daerah tersebut.

Sebuah tradisi atau adat kebiasaan adalah sesuatu yang lumrah dalam

sebuah masyarakat, bahkan tradisi ini harus diwariskan dari generasi

ke generasi, agar tradisi tersebut tidak punah, yang berbeda antara satu wilayah

dengan wilayah yang lain, yang menunjukkan keidentikan wilayah tersebut.

Diantara tradisi tersebut adalah mappatabe‟ yang berkembang di wilayah

Bugis-Makassar.

Suku Bugis-Makassar termasuk masyarakat yang memiliki perhatian

terhadap adat-istiadat yang sangat tinggi, misalnya dengan memperhatikan

hubungan harmonis antar sesama manusia. Hal tersebut bisa ditandai dengan

kebiasaan orang Bugis ketika melewati orang yang lebih tua, menunduk setengah

badan sambil mengatakan tabe‟ yang dalam bahasa Indonesia berarti permisi,

kemudian mengucapakan iye‟ atau iya dengan nada yang lembut dan sopan,

selain itu diajarkan pula untuk menghargai yang tua dan menyayangi yang muda.

Perilaku seperti inilah yang disebut dengan mappatabe‟.

Sikap mappatabe‟ sangat biasa saja, namun hal ini sangat penting dalam

tata krama masyarakat di daerah Sulawesi Selatan khususnya pada Suku Bugis.

Sikap tabe‟ dapat memunculkan rasa keakraban meskipun sebelumnya tidak

pernah bertemu atau tidak saling kenal. Apabila ada yang melewati orang lain

yang sedang duduk sejajar tanpa sikap tabe‟ maka yang bersangkutan akan

dianggap tidak mengerti adat sopan santun sehingga terkesan sombong

dan kurang ajar.


5

Meskipun tradisi ini sangat dijunjung tinggi bagi para pewarisnya. Akan

tetapi, secara umum mappatabe‟ dilakukan sambil membungkukkan badan

(seperti posisi rukuk ketika salat) sambil menjulurkan tangan kanan ke bawah.

Sedangkan membungkukkan badan di hadapan manusia adalah sesuau yang

terlarang. Rasulullah saw. bersabda:

ُ‫ال أَفَيَ ْلتَ ِزُمو‬


َ َ‫ ق‬.»‫ال «ًّل‬ َ َ‫ص ِديْ َقوُ أَيَْن َح ِِن لَوُ ق‬
َ ‫َخاهُ أ َْو‬
ِ َّ ‫ال رجل يا رسو ُل اهلل‬
َ ‫الر ُج ُل منَّا يَْل َقى أ‬ ْ ُ َ َ ٌ ُ َ َ َ‫ق‬
7
)‫(رَواهُ التّْ ْرِم ِذي‬
َ »‫ال «نَ َع ْم‬ َ َ‫صافِ ُحوُ ق‬ ِِ ِ
َ ُ‫ال أَفَيَأْ ُخ ُذ بيَده َوي‬
َ َ‫ ق‬.» َ‫ال« ًّل‬
َ َ‫َويُ َقبّْ لُو ق‬
Artinya:

“Seorang laki-laki bertanya: “Wahai Rasulullah! Ada seorang di antara


kami berjumpa dengan saudaranya atau temannya, apakah dia boleh
menundukkan badan kepadanya?” Jawaban Rasulullah saw. “Tidak
boleh.” “Apakah boleh memeluk dan menciumnya?”, tanya orang
tersebut. “Tidak boleh,” jawab Rasulullah saw. “Apakah boleh memegang
tangannya dan menjabatnya?”, tanya orang tersebut kembali. Jawaban
Rasulullah saw. “Boleh”.”

Sebagai umat Islam yang sangat mengharapkan keridhaan Rabbnya

di setiap perkataan, langkah-langkah, akhlak dan seluruh aspek kehidupannya.

Maka, seorang Muslim harus teliti dalam segala hal, karena Islam adalah agama

yang sempurna, Allah swt. berfirman dalam Q.S. al-Māidah/5:3,

           …

Terjemahnya:

“ …Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu dan telah
Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu dan telah Aku ridhai Islam sebagai
agamamu…”8

7
Imām Tirmiżī, al-jāmi‟ al-ṣahīh wa huwa sunan at-tirmiżī, Juz: IV (t. Cer; Semarang:
Thoha Putera), h. 172.
8
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Quran al-Karim dan Terjemahnya, h. 107.
6

Ini merupakan nikmat Allah swt. terbesar yang diberikan kepada umat ini,

tatkala Allah swt. menyempurnakan agama Islam. Sehingga umat ini tidak

memerlukan agama yang lain dan tidak pula Nabi lain selain

Nabi Muḥammad saw. Oleh karena itu, Allah swt. mengutus Rasulullah saw.

kepada seluruh manusia dan jin sehingga tidak ada yang halal, kecuali yang beliau

halalkan; tidak ada yang haram, kecuali yang diharamkannya; dan tidak ada

agama, kecuali yang telah disyari‟atkan.9

Sehingga, untuk mengetahui hukum dari tradisi ini, perlu dilakukan

tinjauan terhadap sebuah kaidah fikih. Maka judul penelitian ini adalah “Hukum

Tradisi Mappatabe’ dalam Kerangka al-‘Ādah Muḥakkamah (Studi di Desa

Pitumpidange Kecamatan Libureng Kabupaten Bone)”.

B. Fokus Penelitian/Deskripsi Fokus

Untuk menghindari kesalahpahaman dan adanya pemikiran baru pada

penelitian ini, maka fokus dari penelitian ini adalah pengaplikasian Mappatabe‟

di Desa Pitumpidange kecamatan Libureng kabupaten Bone dalam tinjauan kaidah

al-„ādah muḥakkamah.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian masalah di atas, maka rumusan masalah pada

penelitian ini adalah:

1. Bagaimana konsep kaidah „al-„ādah muḥakkamah” sebagai salah satu

landasan istinbāṭ hukum?

9
„Abdullāh bin Muḥammād Alu Syaikh, Lubābut Tafsīr Min Ibni Kaṡīr, terj. M. „Abdul
Ghoffar E.M, Tafsir Ibnu Katsir, Juz 3 (Cet. IX; Jakarta: Pustaka Imām Syāfi‟ī, 2016 M.), h. 22.
7

2. Bagaimana deskripsi mappatabe‟ di desa Pitumpidange Kecamatan

Libureng Kabupaten Bone?

3. Bagaimana tradisi mappatabe‟ dalam tinjauan sosiologis dan kaidah

al-„ādah muḥakkamah?

D. Pengertian Judul

1. Tradisi

Tradisi adalah adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang)

yang masih dijalankan dalam masyarakat.10

2. Mappatabe‟

Tradisi tabe‟ merupakan kebiasan yang dilakukan masyarakat

Bugis sebagai adat kesopanan. Tradisi mappatabe‟ yang dimaksud adalah

sikap anak saat lewat di depan orang tua dengan membungkukkan badan

sambil menjulurkan tangan kanannya ke bawah.

3. Kaidah

Kaidah adalah perumusan dari asas-asas yang menjadi hukum,

aturan yang tentu, patokan dan dalil.11

4. Al-„ādah muḥakkamah

Al-„ādatu muḥakkamah adalah sebuah adat kebiasaan yang

dijadikan sebagai sandaran hukum.12

10
Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia (t. Cet; Jakarta: Pusat Bahasa, 2008 M.),
h. 1543.
11
Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, h. 615.
12
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar al-Sidawi, Pengantar Tentang Kaidah Fiqih (t. Cet;
t.t.p.: t.p., 1437 H./2015 M.) h. 8.
8

E. Kajian Pustaka

Setelah berbagai macam pencarian yang dilakukan, belum didapatkan

referensi penelitian yang persis sama dengan judul ini. Namun terdapat beberapa

rujukan yang berkaitan atau memiliki kemiripan, sehingga dapat dijadikan sebagai

referensi, yang terdiri dari penelitian lapangan terdahulu (field research) dan

kajian pustaka (library research). Sehingga penelitian tersebut akan sangat

membantu dalam penelitian ini. Penelitian tersebut adalah:

Penelitian Mursyid A. Jamaluddin 2016, yang berjudul, “Tradisi

Mappatabe‟ dalam Masyarakat Bugis di Kecamatan Pulau Sembilan Kabupaten

Sinjai”. Inti pembahasannya adalah:

1. Bahwa tradisi mappatabe‟ dalam interaksi sosial di Kecamatan Pulau

Sembilan cenderung mengalami pergeseran karena dipengaruhi

oleh penggunaan teknologi yang mendoktrin pemikiran masyarakat supaya

lebih memilih trend budaya zaman sekarang serta pengaruh dari

lingkungan.

2. Pemaknaan mappatabe‟ dalam interaksi sosial pada komunikasi Bugis

Sinjai di kecamatan Pulau Sembilan merupakan komunikasi verbal dan

nonverbal dalam konteks apapun, sebagai bentuk dasar adaptasi

lingkungan. Mappatabe‟ juga bermakna saling menghargai, beretika, adab

kesopanan, dan sebuah perilaku yang bersifat sakral.13

13
Mursyid A. Jamaluddin, “Tradisi Mappatabe‟ dalam Masyarakat Bugis di Kecamatan
Pulau Sembilan Kabupaten Sinjai”, Skripsi (Makassar: Fak. Dakwah dan Komunikasi UIN
Alauddian, 2016 M.), h. 74.
9

Penelitian Salma 2017, yang berjudul, “Budaya Appatabe‟ di Kalangan

Masyarakat Desa Panaikang Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa”. Inti

pembahasannya adalah

1. Masyarakat di wilayah ini memahami bahwa tradisi appatabe‟ merupakan

suatu bentuk kesopanan, saling menghormati dan saling menghargai

sesama manusia. Namun, sebagian masyarakat tidak mengetahui makna

yang terkandung dari tradisi tersebut.

2. Pada umumnya, yang melaksanakan tradisi ini adalah orang tua, adapun

anak-anak dan orang dewasa cenderung tidak mempraktikkan tradisi

tersebut, dikarenakan kurangnya kesadaran pada diri sendiri yang

disebabkan oleh berbagai macam faktor.

Penelitian Ahmad Qurtubi 2011, yang berjudul “Penghormatan dalam

Islam Perspektif Hadis”. Dalam penelitian ini, penulis menyebutkan hadis-hadis

yang berkaitan tentang penghormatan kemudian men-takhrīj-nya (mengeluarkan

hukumnya). Inti dari pembahasannya adalah:

1. Mencium tangan, inhinā‟ (membungkukkan badan) dan berdiri

menyambut orang merupakan bentuk penghormatan yang dilakukan

masyarakat sebagai bentuk penghormatan terhadap orang yang memiliki

keutamaan.14

2. Segala bentuk penghormatan pada hakikatnya adalah sunnah. Dengan

syarat, bahwa penghormatan tersebut dilakukan kepada orang-orang yang

mempunyai keutamaan seperti dalam hal keilmuannya, kesalehannya

14
Ahmad Qurtubi, “Penghormatan dalam Islam Perspektif Hadits”, Skripsi (Jakarta:
Fak. Ushuluddin Jur. Tafsir Hadits Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2011), h. 72.
10

dan kezuhudannya bukan karena kekayaannya atau segala bentuk

ke duniawiannya.15

Kitab al-Wajīz fi īḍāḥi Qawā‟id al-Fiqh al-Kuliyyah karya Syeikh

Dr. Muḥammad Ṣadqī bin Ahmad bin Muḥammad Al Būrnū. Kitab ini

menjelaskan tentang Qawā‟id Al Kuliyyah Al Kubrā beserta cabang-cabangnya,

yang menjadi pembahasan kami disini adalah Al Adatu Muhakkamah yang

berkaitan tentang tradisi.

Kitab al-Mumti‟ fi al-Qawā‟id al-Fiqhiyyah karya Dr. Musallam

bin Muḥammad bin Mājid al-Dausarī. Kitab ini menjelaskan tentang Qawā‟id

al-Kubrā seperti kitab al-Wajīz di atas.

Kitab Qā‟idah al-„Ādah Muḥakkamah karya Dr. Yaqūb bin „Abdi

al-Wahhab al-Bāhsīn. Kitab ini membahas tentang makna dari kaidah al-„Ādah

Muḥakkamah serta pentingnya, rukun dan syarat kaidah, sebab munculnya „urf

dan adat, dalil „urf dan adat dan pembahasan lainnya.

F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penentuan tujuan adalah adalah langkah pertama dalam membuat

perencanaan agar lebih terarah dan selesai sesuai dengan tujuan dan manfaat yang

diharapkan.

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui konsep kaidah al-„ādah muḥakkamah sebagai landasan

istinbāt hukum.

15
Ahmad Qurtubi, “Penghormatan dalam Islam Perspektif Hadits”, h.73.
11

b. Untuk mengetahui deskripsi mappatabe‟ di desa Pitumpidange kecamatan

Libureng kabupaten Bone.

c. Untuk mengetahui mengetahui tradisi mappatabe‟ dalam tinjauan sosiologis

dan dalam kaidah al-„ādah muḥakkamah.

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan Teoritis

1). Menambah wawasan di lapangan mengenai tradisi mappatabe‟.

2). Sebagai suatu karya ilmiah, skripsi ini diharapkan dapat mengambil

peran dalam pengembangan ilmu pengetahuan Islam, khususnya pada

wacana-wacana fikih dan menambah peningkatan khazanah pengetahuan

keagamaan.

3). Skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan untuk para peneliti

dalam studi penelitian yang sama.

b. Kegunaan Praktis

1). Diharapkan penelitian ini dapat menjadi masukan dan bahan referensi

sekaligus petunjuk bagi para mahasiswa muslim yang menggeluti

ilmu-ilmu Islam (Islamic studies) khususnya di bidang fikih.

2). Masyarakat dapat mengetahui pandangan Islam terhadap tradisi ini.


BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Al-Qawā’id al-Fiqhiyyah

Keberadaan al-qawā‟id al-fiqhiyyah dalam kehidupan sehari-hari umat

Islam adalah suatu hal yang sangat penting dalam memahami maksud-maksud

ajaran Islam (maqāṣidu al-syarī‟ah). Pemahaman al-qawā‟id al-fiqhiyyah mutlak

diperlukan bagi para ahli usul (uṣūliyyūn) maupun para fuqahā dalam

memutuskan perkara ijtihād16 yang belum ditemukan hukumnya.

1. Pengertian al-Qawā’id al-Fiqhiyyah

Al-qawā‟id al-fiqhiyyah berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari

ِ ‫ ) قَ ٌَا‬dan fiqhiyyah )ُ‫ (فِ ْق ِيَّْح‬. Qawā‟id


dua suku kata, yaitu qawā‟id (‫ع ُد‬

adalah bentuk jamak dari kata qā‟idah )ُ‫ع َدج‬


ِ ‫ (قَا‬yang secara etimologi

berarti dasar-dasar sesuatu.17 Kaidah dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia adalah perumusan dari asas-asas yg menjadi hukum, aturan yang

tentu, patokan dan dalil.18

16
Ijtihād adalah usaha para ulama untuk mencapai putusan hukum mengenai kasus yang
penyelesaiannya belum ada dalam al-Qur‟an. Lihat: Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia
(t. Cet; Jakarta: Pusat Bahasa, 2008 M.), h. 539.
17
Al-Rāgib al-Aṣfahānī, al-Mufradāt fī Garīb al-Qur‟ān (t. Cet; Mesir: Musṭafa al-Bābī
al-Halābi, 1961 M.), h. 409.
18
Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia (t. Cet; Jakarta: Pusat Bahasa, 2008 M.), h. 615.

12
13

Dasar atau pondasi memiliki 2 sifat yaitu:

a. Bersifat ḥissī (konkrit, bisa dilihat) seperti dasar atau fondasi rumah.

Sebagaimana firman Allah swt. dalam Q.S. al-Baqarah/2: 127,

          

    


Terjemahnya:

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan fondasi Baitullah


bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan Kami, terimalah (amal)
dari Kami. Sungguh Engkaulah yang Maha mendengar, Maha
Mengetahui".19

b. Bersifat ma‟nāwī (abstrak, tidak bisa dilihat) seperti dasar-dasar agama.

Sedangkan secara terminologi, kaidah memiliki beberapa pengertian

yaitu:

a. Menurut al-Taftāzānī kaidah adalah “Hukum yang bersifat universal (kullī)

dan dapat diterapkan pada seluruh bagian-bagiannya, sehingga

persoalan-persoalan bagian (juz‟ī) tersebut dapat dikenali darinya”.20

b. Menurut al-Jurjānī kaidah kaidah adalah proposisi/peristiwa (qaḍiyyah)

universal yang dapat diterapkan pada seluruh bagian-bagiannya.21

Adapun fiqhiyyah, berasal dari kata fiqh )‫ )فِ ْقو‬yang ditambah ya )ُ(
َ

nisbah, gunanya untuk menentukan jenis. Secara etimologi, kata fikih berasal

19
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur‟an al-Karim dan Terjemahnya, (t. Cet;
Surabaya: HALIM, 1434 H./2013 M), h. 20.
20
Al-Taftāzānī, al-Tahwīḥ „alā al-Tauḍīḥ, Juz I (t. Cet; Mesir: Maṭba‟ah Syan al-
Hurriyyah, t.th.), h. 20.
21
Al-Jurjānī, Kitābu al-Ta‟rīfāt, (t. Cet; Beirut: Maktabah Lebanon, 1985 M.), h.77.
14

dari kata fiqhan (‫ (فِ ْقيًا‬yang merupakan masdar dari kata faqiha )َ‫ (فَقِو‬yang berarti

paham.22 Allah swt. berfirman dalam Q.S. Hud/11:91

           

         


Terjemahnya:

“Mereka berkata: "Wahai Syu'aib! Kami tidak banyak mengerti tentang


apa yang engkau, sedang kenyataannya kami memandang engkau seorang
yang lemah di antara kami. Kalau tidak karena keluargamu, tentu Kami
telah merajam engkau, sedang engkau pun bukan seorang
yang berpengaruh di lingkungan kami”.23

Fikih juga bermakna pemahaman yang mendalam, sehingga untuk sampai

padanya diperlukan pemahaman serta pemikiran secara sungguh-sungguh. Allah

swt. berfirman dalam Q.S. al-An‟am/6:65,

       . . .


Terjemahnya:

“...Perhatikanlah, bagaimana Kami menjelaskan berulang-ulang


tanda-tanda (kekuasaan Kami) agar mereka memahami(nya)".24

Fikih dalam al-Qur‟an dan Sunnah lebih dekat kepada ilmu. Allah swt.

berfirman dalam Q.S. at-Taubah/9:122,

           

         

22
Toha Andiko, Ilmu Qawa‟id Fiqhiyyah (Cet. I; Yogyakarta: Teras, 2011 M.), h. 3.
23
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur‟an al-Karim dan Terjemahnya, h. 232.
24
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur‟an al-Karim dan Terjemahnya, h. 135.
15

  


Terjemahnya:

“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan
perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak
pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka
dapat menjaga dirinya”.25

Adapun dalam hadis, Rasulullah saw. bersabda:

)‫ّْين(رَواهُ البُ َخا ِري‬ ِ ْ ‫َم ْن يُِرِد اهللُ بِِو َخْي را يُ َفق‬
َ ‫ّْهوُ ِف الد‬
26
ً
Artinya:

“Siapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, Allah anugrahkan ilmu


tentang agama padanya”.

Dari ayat dan hadis di atas, maka fikih yang dimaksudkan adalah

pengetahuan agama yang bersifat umum yang meliputi berbagai aspek.

Sedangkan dalam kajian uṣūl fiqh, fikih adalah pengetahuan tentang

hukum-hukum syariat yang bersifat „amaliyyah (pekerjaan) yang diambil

dari dalil-dalil yang terperinci.27 Pengertian ini menegaskan bahwa fikih

merupakan hasil ijtihād para ulama, melalui kajian terhadap dalil-dalil hukum,

baik yang disebutkan secara langsung maupun tidak langsung dalam al-Qur‟an

dan sunnah.28

25
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur‟an al-Karim dan Terjemahnya, h.206.
26
Abū Abdillāh Muḥammad bin Ismā‟īl al-Bukhārī, al-Jāmi‟ al-Ṣahīh, Juz I (Cet. I;
Qahirah: al-Salafiyyah, 1400 H.), h. 42.
27
Muḥammad Abū Zahrah, Uṣūl al-Fiqh (t. Cet; Mesir: Dār al-Fikr al-„Arabī, t.th.), h. 6.
28
Toha Andiko, Ilmu Qawa‟id Fiqhiyyah, h. 5.
16

Adapun pengertian dari al-qawā‟id al-fiqhiyyah, memiliki beberapa

pengertian, dua di antaranya adalah:

‫َح َك ٌام َما َد َخ َل ََْتتَ َها‬ ِ ُ ‫ضبَّ ٍِ أَ ْغلَبِيَّ ٍِ ي تَ عَّر‬


ِ َ‫حكْم َشر ِعي ِِف ق‬
ْ ‫ف مْن َها أ‬ ََ ْ ّّ ْ ٌ ُ
29

Artinya:

“Hukum syariat tentang peristiwa yang bersifat mayoritas, yang darinya


dapat dikenali hukum yang masuk ke dalam ruang lingkupnya”.

‫ضعِ َها‬ ٍ ‫اب مت عد‬ ِ ِ ‫أ‬


ُ ‫ت َم ْو‬
َ ‫ضايَا ََْت‬ َ َ َُ ٍ ‫ض َّم ُن اَ ْح َك ًاما تَ ْش ِريْ َعًِ َع َّام ًِ م ْن أَبْ َو‬
َ ‫ّْدة ِِف ال َق‬ َ َ‫َص ٌل ف ْق ِه ّّي ُكلّْ ّّي يَت‬
ْ
30

Artinya:

“Dasar fikih yang bersifat universal yang mengandung hukum-hukum


syari‟at yang bersifat umum dari berbagai bab tentang peristiwa-peristiwa
yang masuk ke dalam ruang lingkupnya”.

Berdasarkan defenisi di atas, maka ulama terbagi 2 dalam memaknai

al-qawā‟id al-fiqhiyyah dari segi keberlakuannya:

a. Al-qawā‟id al-fiqhiyyah bersifat aglabī (mayoritas), kaidah ini memiliki

pengecualian, sehingga penyebuatan universal terhadap al-qawā‟id

al-fiqhiyyah menjadi kurang tepat.

b. Al-qawā‟id al-fiqhiyyah bersifat kullī (universal), kaidah ini memiliki

pengecualian yang sedikit dan berpegang kepada kaidah bahwa pengecualian

(al-istiṡnā‟) tidak mempunyai hukum, sehingga tidak mengurangi sifat kullī

pada al-qawā‟id al-fiqhiyyah.31

Dari perbedaan di atas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa kedua kelompok

ulama di atas sepakat akan adanya istiṡnā‟ (pengecualian) dalam penerapan


29
Alī Aḥmad al-Nadawī, al-Qawā‟id al-Fiqhiyyah (t. Cet; Damaskus: Dār al-Qalam, t.th.),
h. 43.
30
Alī Aḥmad al-Nadawī, al-Qawā‟id al-Fiqhiyyah h. 45.
31
Fathurrahman Azhari, Qawa‟id Fiqhiyyah Muamalah (Cet. I; Banjarmasin: Lembaga
Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU), 2015 M.), h. 8-9.
17

al-qawā‟id al-fiqhiyyah, namun berbeda pendapat dalam pengaruh pengecualian

tersebut dalam keuniversalan al-qawā‟id al-fiqhiyyah.

Dengan demikian, al-qawā‟id al-fiqhiyyah adalah hukum atau pondasi

yang bersifat umum untuk memahami permasalahan fikih yang masuk ke dalam

pembahasannya.32

2. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan al-Qawā’id al-Fiqhiyyah

Menurut Alī Aḥmad al-Nadawi, secara garis besar periode

penyusunan al-qawā‟id al-fiqhiyyah terbagi atas tiga periode yaitu periode

kelahiran, pertumbuhan-pembukuan, dan penyempurnaan.33

a. Periode kelahiran

Al-Jawāmi‟ al-kalim adalah kalimat yang ringkas, tapi mempunyai

makna yang luas. Inilah keutamaan yang dimiliki oleh Rasulullah saw. yakni

kefasihan dalam menyampaikan sesuatu. Semakin fasih sebuah kalimat,

semakin mudah untuk dipahami dan diingat.34 Misalnya,

35
ً‫اْلَ ّْق َم َقاًّل‬
ْ ‫ب‬ ِ ‫دعوه فَِإ َّن لِص‬
ِ ‫اح‬ َ ُ َُ
Artinya:

“Biarkan dia, karena seorang yang mempunyai hak, berhak untuk


berkata-kata.”

32
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaidah-kaidah Praktis Memahami Fiqih
Islam (Cet. 6; Gresik: Yayasan al-Furqan al- Islami, 2016 M.), h. 2.
33
Ali Aḥmad al-Nadawi, al-Qawā‟id al-Fiqhiyyah, h. 89.
34
Ferdiansyah Aryanto, “al-Jawami‟ al-Kalim”, Blog Ferdiansyah Aryanto.
http://pusatbukusunnah.com/blog/al-jawamiul-kaliim/ (23 April 2018).
35
Ibnu Ḥajar al-Asqalānī, Fatḥ al-Bārī bisyarḥi Ṣahīh al-Bukhārī, Juz V (Cet. I; Riyad: t.p,
1421 H./2001 M.), h. 75.
18

Terpengaruh dengan gaya ucapan Rasulullah saw. yang singkat

namun memiliki makna yang luas, para sahabat maupun tābi‟īn36 mencoba

meneladaninya untuk menyelesaikan berbagai macam masalah.37 Hal ini

tergambar ketika memutuskan beberapa perkara, seperti:

Perkataan Umar bin Khaṭṭāb ra.:

38
‫اط َع اْلُُق ْو ِق ِعْن َد الش ُُّرْوط‬
ِ ‫م َق‬
َ
Artinya:

“Penerimaan hak berdasarkan pada syarat-syarat”.

Perkataan Alī bin Abī Ṭālib:

39
‫ُك ُّل َش ْي ٍء ِ ِْف الْ ُق ْرأ َِن أ َْو أ َْو فَ ُه َو ُِمَيَّ ٌر َوُك ُّل َش ْي ِء(فَِا ْن ََلْ ََِت ُد ْوا) فَ ُه َو األ ََّو ُل فَ ْاأل ََّو ُل‬

Artinya:

“Setiap pernyataan dalam al-Qur‟an yang memakai kata “aw”


bermakna pilihan dan setiap pernyataan yang memakai kata “fa inlam
tajidū” bermakna berurutan”.

Al-Jawāmi‟ al-kalim semakin berkembang, sehingga para tābi‟īn dan

imam mazhab berlomba-lomba untuk membuat kaidah yang dapat

memudahkan dalam mengelompokkan masalah fikih untuk menjawab

berbagai macam problematika yang terus berkembang seiring berkembangnya

zaman.

36
Tābi‟īn adalah penganut ajaran Rasulullah saw. yang merupakan generasi kedua dari
jemaah muslimin setelah generasi para sahabat yang hidup sezaman dengan Rasulullah saw.
Lihat: Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, h. 1405.
37
Toha Andiko, Ilmu Qawa‟id Fiqhiyyah, h. 8.
38
Badruddīn al-„Ainī, „Umdatu al-Qārī Syarḥ Ṣahīh al-Bukhārī, Juz XIII (Cet. I; Beirut:
Dārul Kutub al-„Ilmiyyah, 1421 H./2001 M.), h. 425.
39
Abd al-Razzāq, Muṣannaf, Juz IV (Cet. I; Beirut: Majelis al-„Ilmi, 1391 H./1972 M.),
h. 395.
19

Beberapa kaidah yang muncul pada masa ini misalnya:

Perkataan Qāḍ ī Syuraiḥ bin Hāriṡ al-Kindī:

40
‫َم ْن َشَر َط َعلَى نَ ْف ِس ِو طَ ِاء ًعا َغْي َر َمك ُْرهٍ فَ ُه َو َعلَْي ِو‬

Artinya:

“Siapa yang menanggung pengelolaan harta, (maka) ia berhak


mengambil keuntungan harta tersebut”.

Dari serangkaian uraian kajian kaidah di atas dapat disimpulkan

bahwa:

1). Al-qawā‟id al-fiqhiyah telah ada dan tertanam dalam pemikiran ulama

dalam periode salaf. Walaupun belum disebut al-qawā‟id al-fiqhiyah

dan belum menjadi cabang ilmu sendiri, namun kaidah yang mengalir

dari lisan para ulama tersebut sudah menyerupai al-qawā‟id al-fiqhiyah

pada abab-abad terakhir.

2). Āṡār atau ungkapan-ungkapan ulama salaf dapat dijadikan batu loncatan

bagi ulama mutaakhirīn (yang datang belakangan) dalam merumuskan,

mengumpulkan, menulis dan mengembangkan al-qawā‟id al-fiqhiyah.41

b. Periode Perkembangan dan Penulisan

Pada abad ini, terjadi penurunan dinamika berpikir dalam bidang

hukum dan mulai munculnya kecenderungan taqlīd42 dan melemahnya

ijtihād. Hal ini merupakan akibat dari tersisanya warisan fikih yang sangat

40
Toha Andiko, Ilmu Qawa‟id Fiqhiyyah, h. 9.
41
Syafruddin Halimy Kamaluddin, “Sejarah Perumusan dan Perkembangan Qawa‟id
Fiqhiyyah”, al-Muqāranah V, no. 1 (2014), h. 85.
42
Taqlīd adalah keyakinan atau kepercayaan kepada suatu paham (pendapat) ahli hukum
tanpa mengetahui dasar atau alasannya, peniruan. Lihat: Tim Penyusun, Kamus Bahasa
Indonesia, h. 1418.
20

kaya berkat pembukuan pemikiran fikih yang disertai dengan dalil-dalil

dan perbedaan pendapat antar mazhab serta hasil perbandingannya (tarjīh).

Oleh karena itu, pekerjaan yang tersisa pada periode ini adalah upaya takhrīj,

yaitu mempergunakan sarana metodologis yang telah tersedia dalam mazhab

tertentu untuk menghadapi kasus-kasus hukum baru.43

Al-qawā‟id al-fiqhiyyah mulai muncul sebagai disiplin ilmu tersendiri,

ditandai dengan dihimpunnya al-qawā‟id al-fiqhiyyah dalam karya yang

terpisah dari bidang lain, al-Nadawī memilih abad IV H. sebagai permulaan

era pertumbuhan dan pembukuan al-qawā‟id al-fiqhiyyah.44

Pada periode pembukuan, al-qawā‟id al-fiqhiyyah telah dibukukan

dan dapat dipastikan bahwa kaidah tersebut dapat diwariskan sebagai salah

satu khazanah ilmu Islam yang berharga. Abū Ṭāhir al-Dabbās, seorang

fuqahā45 yang hidup pada abad ketiga dan keempat hijriah adalah orang

pertama yang mengumpulkan al-qawā‟id al-fiqhiyyah sebanyak 17 kaidah.

Usaha ini kemudian diteruskan oleh Abū Hasan al-Karakhī (w. 340 H.)

dengan menghimpunkan sejumlah 39 kaidah. Kemudian Abū Zaid Abdillāh

Ibn Umar al-Dīn al-Dabūsī al-Ḥanafī (w. 430H.), telah menyusun Kitab

Ta‟sīs al-Naẓar. Kitab ini memuat sejumlah 86 kaidah dengan pembahasan

yang terperinci. Periode pertumbuhan dan perkembangan terus dilanjutkan

43
Abdul Mun‟im Saleh, Hukum Manusia Sebagai Hukum Tuhan (t. Cet; Yogjakarta:
Pustaka Pelajar, 2009 M.), h. 186.
44
Abdul Mun‟im Saleh, Hukum Manusia Sebagai Hukum Tuhan, h. 191.
45
Fuqahā dalah ahli hukum Islam. Lihat: Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, h. 420.
21

oleh ulama dari abad ke abad yang berakhir dengan tampilnya Majallah

al-Aḥkām al-„Adliyyah pada abad ke 11 H. 46

c. Periode Penyempurnaan

Pada abad ke 11 H, lahirlah kitab Majallah al-Aḥkām al-Adliyyah

dalam versi yang telah disempurnakan.

Misalnya kaidah:

47
‫ك الْغَ ِْْي بََِل اِ ْذنِِو‬
ِ ‫ف ِِف ِم ْل‬ ٍ ِ
َ َ‫ًَّل ََيُ ْوُز ًّلَ َحد أَ ْن يَت‬
ْ َ ‫صَّر‬
Artinya:

“Tidak berhak bagi seseorang, bertindak dengan kehendaknya sendiri


atas milik orang lain tanpa izin pemliknya”.

Pada abad ke 11 H. telah dilakukan pensyarahan terhadap kitab

al-qawā‟id al-fiqhiyyah. Aḥmad bin Muḥammad al-Hanāwī adalah seorang

fuqahā yang telah mensyarahkan kitab al-Asybāh wa al-Naẓāir, karangan

Zain al-„Ābidīn Ibrāhīm Ibn Nujaim al- Miṣrī yang memuat 25 kaidah dalam

kitabnya yang berjudul Gamzu „Uyūn al-Baṣāir.48

Pada pertengahan abad yang ke-12 Hijriah, seorang fuqahā yang

bernama Muḥammad Saīd al-Khadimī (w. 1154 H.) telah menyusun sebuah

kitab uṣūl fiqh yang diberi nama Majma„ al-ḥaqāiq. Kemudian meneruskan

kitab ini, sebanyak 154 kitab yang disusun mengikuti urutan susunan huruf

kamus (susunan abjad) dihimpunkan dalam karya tersebut. Kemudian kitab

46
Fathurrahman Azhari, Qawa‟id Fiqhiyyah Muamalah, h. 34.
47
Abd al-Karīm Zaidān, al-Madkhūl Liddirāsāti al-Syarī‟ah al-Islāmiyyah (t. Cet;
Iskandaria: Dār Umar Bin al-Khaṭṭāb, 1388 H/ 1969 M.), h. 104.
48
Fathurrahman Azhari, Qawa‟id Fiqhiyyah Muamalah, h. 39.
22

ini disyarahkan juga oleh Muṣṭafā Muḥammad dengan nama Manāfi‟

al-Ḥaqāiq.49

3. Perbedaan al-Qawā’id al-Fiqhiyyah dan al-Qawā’id al-Uṣūliyyah

Al-qawā‟id al-uṣuliyyah membicarakan tentang dalil-dalil syariat

yang bersifat umum, sedangkan al-qawā‟id al-fiqhiyyah membicarakan

tentang hukum-hukum yang bersifat umum.50 Perbedaan al-qawā‟id

al-fiqhiyyah dan al-qawā‟id al-uṣūliyyah secara lebih terperinci dapat

diketahui dalam uraian di bawah ini:51

49
Fathurrahman Azhari, Qawa‟id Fiqhiyyah Muamalah, h. 39.
50
Taqī al-Dīn Abū al-Abbās bin Abd al-Salām bin Taimiyah al-Harrānī, Majmu‟
al-Fatāwā, Juz XXIX (t. Cet; Riyad: Mathba‟ah Riyad, 1381 H), h. 167.
51
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawa‟id Fiqhiyyah (t. Cet; Jakarta: Media Pratama, 2008 M.),
h. 31-32.
23

Tabel I

Perbandingan Al-Qawā‟id al-Uṣūliyyah dan Al-Qawā‟id al-Fiqhiyyah52


No. Al-Qawā‟id al-Uṣūliyyah Al-Qawā‟id al-Fiqhiyyah
1 Kaidah bersifat umum Himpunan hukum yang dapat
sehingga dapat diterapkan diterapkan kepada mayoritas
pada semua bagian objeknya bagian-bagiannya
2 Metode untuk meng-istinbāṭ- Ketentuan (hukum) yang bersifat
kan (mengeluarkan) hukum umum atau kebanyakan
secara benar dan terhindar meliputi sebagian masalah fikih.
dari kekeliruan. Objek kajian al-qawā‟id
Kedudukannya persis sama al-fiqhiyyah selalu menyangkut
dengan ilmu nahwu yang perbuatan mukallaf
berfungsi melahirkan
pembicaraan dan tulisan yang
benar. Sebagai metode
melahirkan hukum dari dalil-
dalil terperinci sehingga objek
kajiannya selalu berkisar
tentang dalil dan hukum.
Misalnya, setiap „amr atau
perintah menunjukkan wajib
dan setiap nahy atau larangan
menunjukkan haram
3 Metode untuk menggali, Himpunan hukum-hukum fikih
menemukan dan merumuskan yang serupa, mempunyai satu
hukum syariat yang „illat (sifat) yang dihimpunnya
bersifat „amaliyah (pekerjaan)
secara bersamaan
4 Ada sebelum al-qawā‟id Ada setelah al-qawā‟id
al-fiqhiyyah karena al-
al-uṣūliyyah, karena al-qawā‟id
qawā‟id al-uṣūliyyah
al-fiqhiyyah berasal dari
digunakan fuqahā untuk
kumpulan masalah fikih yang
melahirkan hukum fikih serupa, ada hubungan dan sama
substansinya
5 Himpunan persoalan yang Himpunan masalah yang meliputi
meliputi dalil yang dapat hukum-hukum fikih yang berada
dipakai untuk menetapkan di bawah cakupannya saja
hukum

52
Ade Dedi Rohayana, h. 31-32.
24

4. Hubungan Antara Uṣūl Fiqh, Fikih dan al-Qawā’id al-Fiqhiyyah

Uṣūl fiqh adalah metode, fikih adalah hasilnya dan al-qawā‟id

al-fiqhiyyah merupakan ringkasan dari masalah-masalah fikih terdahulu

yang dibuat dalam bentuk ungkapan singkat, yang dijadikan bahan

pertimbangan pedoman dalam menetapkan hukum berbagai peristiwa

yang terjadi di kemudian hari, termasuk masalah yang tidak ditemukan

naṣ yang mengaturnya secara langsung.53

Jika diibaratkan dalam suatu proses produksi, maka uṣūl fiqh

merupakan mesin produksi, fikih adalah barang hasil produksi dan

al-qawā‟id al-fiqhiyyah adalah kumpulan atau paket kemasan dari hasil

produksi. Dalam hal ini, al-qawā‟id al-fiqhiyyah merupakan hasil

produksi para mujtahid54 dalam bentuk hukum Islam yang

dikelompokkan menurut jenis dan kesamaan lainnya.55

Misalnya, Allah swt. berfirman tentang wajibnya mendirikan salat

dan menunaikan zakat dalam Q.S. al-Baqarah/2: 43,

...‫االزَكا َة‬ َّ ‫وأَقِْي ُموا‬...


َّ ‫الص ََل َة َواَتُو‬ َ
Terjemahnya:

“…dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat”.56

Firman Allah swt. di atas berbentuk perintah yang menurut uṣūl

ِ ٌُْ‫)األَصْ ُم فِِ األَ ْي ِر نِ ْه ٌُج‬.


fiqh, perintah pada asalnya menunjukan wajib (‫ب‬

53
Toha Andiko, Ilmu Qawa‟id Fiqhiyyah, h. 22.
54
Mujtahid adalah ahli hukum Islam yang menafsirkan al-Qur‟an dan hadis menurut
pendapatnya sendiri. Lihat: Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, h. 977.
55
Toha Andiko, Ilmu Qawa‟id Fiqhiyyah, h. 22.
56
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur‟an al-Karim dan Terjemahnya, h. 7.
25

Adapun al-qawā‟id al-fiqhiyyah adalah kerangka acuan

untuk mengetahui hukum perbuatan seorang mukalaf. Seperti, kewajiban

salat lima waktu yang harus dikerjakan pada waktunya. Ketika seorang

mukalaf mendapatkan ancaman ketika menunaikan perintah ini, seperti

ancaman pembunuhan. Dalam kasus seperti ini, mukalaf boleh menunda

salat dari waktunya karena jiwanya terancam. Hukum boleh dapat

ditetapkan lewat pendekatan al-qawā‟id al-fiqhiyyah, dengan

menggunakan kaidah : ‫َّر ُر ُّسَ ا ُل‬


َ ‫( انض‬bahaya wajib dihilangkan).57

57
Fathurrahman Azhari, Qawa‟id Fiqhiyyah Muamalah, h. 22.
26

Alur hubungan al-qawā‟id al-fiqhiyyah, fikih dan uṣūl fiqh dapat

dilihat pada gambar di bawah ini:58

‫ني‬ ِ ِ َّ ‫االزَكا َة وارَكعوا مع‬


َ ْ ‫الراكع‬ َ َ ْ ُ ْ َ َّ ‫اص ََلةَ َواَتُو‬ َّ ‫َوأَقِْي ُموا‬
‫ني كِتَابًا َم ْوقُ ْوتًا‬ ِِ
َ ْ ‫ت َعلَى املُْؤمن‬ َّ ‫اِ َّن‬
ْ َ‫الص ََلةَ َكان‬

Uṣūl fiqh/qā‟idah uṣuliyyah


‫َص ُل ِِف األ َْم ِر لِْل ُو ُج ْو ِب‬
ْ ‫األ‬

Kewajiban salat lima waktu


Dikerjakan pada waktunya = Hukum fikih

Ancaman bunuh apabila salat dikerjakan pada waktunya


(Kemudaratan)

Qā‟idah fiqhiyyah
)‫الضََّرُر يَُز ُال (الض َُّرْوَرةُ تُبِْي ُح امل ْحظُْوَرات‬
َ

Kebolehan salat tidak pada waktunya


(Hukum darurat)

58
Fathurrahman Azhari, Qawa‟id Fiqhiyyah Muamalah, h. 23-24.
27

Proses Penyusunan al-Qawā’id al-Fiqhiyyah

Al-Qur‟an Uṣūl fiqh Fikih Al-qā‟idah


Hadits al-fiqhiyyah

Verifikasi al-qā‟idah
al-fiqhiyyah

Al-qā‟idah Fikih Qānūn


al-fiqhiyyah

5. Sumber al-Qawā’id al-Fiqhiyyah

Jika ditinjau dari sumbernya, al-qawā‟id al-fiqhiyyah terbagi 2 yaitu:

a. Dari naṣ al-Qur‟an dan Sunnah

Allah swt. berfirman dalam Q.S. al-Baqarah/2 :188,

 …     


Terjemahnya:

“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang
batil...”.59

Ayat ini merupakan sebuah kaidah tentang haramnya semua jenis

transaksi dan perbuatan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak

benar. Rasulullah saw. bersabda:

)‫اجو‬ ِ
َ ‫(رَواهُ ابْ ُن َم‬
َ ‫ضَرَر َوًَّل ضَر َار‬
َ ‫ًَّل‬
60

59
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur‟an al-Karim dan Terjemahnya, h. 29.
60
Abū Abdillāh Muḥammad bin Yazīd al-Quzwainī, Sunan Ibnu Mājah (Cet. I; Riyad:
Maktabah al-Ma‟ārif , 1417 H.), h. 400.
28

Artinya:

“Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri maupun


orang lain”.

Hadis ini merupakan sebuah kaidah umum tentang berbagai hal, mulai

dari masalah makanan, pergaulan, muamalah dan lainnya. Jika hal ini

mengakibatkan bahaya bagi diri sendiri maupun orang lain maka diharamkan.

b. Al-qawa‟id al-Fiqhiyyah yang teksnya tidak diambil langsung dari naṣ

al-Qur‟an dan Sunnah, namun kandungannya sesuai dengan al-Qur‟an dan

Sunnah. Misalnya,

ّ ‫ني ًَّل يَ ُزْو ُل بِا لش‬


‫َّاك‬ ِ
ُ ْ ‫اليَق‬
61

Artinya:

“Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keragu-raguan”

Kaidah ini berdasarkan kepada banyak hadis, diantaranya adalah hadis

Abū Sa‟īd al-Khudrī:

ِ ْ َ‫َّك ولْي‬ ِِ ‫ك أَح ُد ُكم ِِف‬


‫ْب‬ َ ‫ص ََلتو فَلَ ْم يَ ْد ِر َك ْم‬
َ َّ ‫صلَّى ثَََلثًاً أ َْم أ َْربَ ًعاَ فَ ْليَطَْرِح الش‬ َ ْ ْ َ َّ ‫إ َذا َش‬
62
)‫(رَواهُ البَ ْي َح ِقي‬
َ ‫استَ ْي َقن‬
ْ ‫َعلَى َما‬
Artinya:

“Apabila salah seorang di antara kalian ragu-ragu dalam sholatnya


dan dia tidak mengetahui sudah berapa rakaat dia salat, apakah tiga
ataukah empat rakaat, maka hendaklah dia membuang keraguan
tersebut dan berpeganglah pada sesuatu yang meyakinkan”.

61
Muḥammad Ṣidq bin Aḥmad bin Muḥammad al-Burnū, al-Wajīz fī Īḍāhi Qawā‟id
al-Fiqh al-Kulliyyah (Cet. V; Beirut: al-Resalah Publisher, 1422 H./2002 M.), h. 166.
62
Abū Bakr Aḥmad bin al-Ḥusain bin „Alī al-Baiḥaqī, Sunan al-Kubrā, Juz II (Cet. III;
Beirut: Dār Kutub al-Ilmiyyah, 1424 H./2003 M. h. 468.
29

c. Al-qawā‟id al-fiqhiyyah yang tersusun berdasarkan ijtihād para ulama.

Didasarkan atas sebuah qiyās atau ta‟līl (melihat sebab dari sebuah hukum)

atau sifat hukum syariat secara umum serta maqāṣid al- syarī‟ah (maksud

dan tujuan dari sebuah hukum) atau yang lainnya.63 Hal ini perlu dirincikan

sesuai dengan perincian sumber kaidah fikih:

1. Jika teks kaidah diambil dari naṣ al-Quran dan Sunnah, maka kaidah

tersebut adalah hujjah, karena ber-hujjah dengan kaidah tersebut

berarti ber-hujjah dengan naṣ yang menjadi sandaran utamanya.

2. Jika teks kaidah tidak langsung diambil dari naṣ, namun disusun

oleh ulama, namun kandungan maknanya berdasarkan al-Quran

dan Sunnah, maka tersebut adalah hujjah, karena berhujjah dengan

kaidah tersebut, berarti ber-hujjah kepada dalil yang mendasarinya.

3. Adapun kaidah fikih yang tersusun berdasarkan ijtihād para ulama

atau berdasarkan dalil qiyas, maqāṣid al-syarī‟ah maupun lainnya,

maka hukumnya adalah hukum berdalil dengan asal dari kaidah

tersebut.64

B. Kaidah al-‘Ādah Muḥakkamah )‫(العَا َد ُة ُم َح َّك َم ُة‬

Al-qawā‟id al-fiqhiyyah memiliki banyak bagian, yang mencakup

hampir seluruh bab fikih Islam yaitu ٍ‫ع ُد ان ُكهَِّّْحُ ان ُكث َْر‬
ِ ‫انقَ ٌَا‬. Jumlah kaidah yang

masyhur di kalangan ulama adalah lima kaidah, namun sebagian ulama

63
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaidah-kaidah Praktis Memahami Fiqih
Islam, h. 3-5.
64
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaidah-kaidah Praktis Memahami Fiqih
Islam, h. 5-6.
30

menambahkan satu kaidah sehingga berjumlah enam, satu di antaranya akan

dibahas pada bab ini, yaitu kaidah al-„Ādah Muḥakkamah.

1. Landasan kaidah

a. Dari naṣ al-Qur‟an

Allah swt. berfirman dalam Q.S.al-A‟rāf/7:199,

       

Terjemahnya:

“Jadilah pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma‟rūf, serta


jangan pedulikan orang-orang yang bodoh”.65

Dalam ayat lain, Allah swt. berfirman dalam Q.S. al-Baqarah/2:178

 …     …


Terjemahnya:

“…Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan


dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan
cara yang baik…”.66

Di dalam al-Qur‟an lafaz ma‟rūf disebutkan sebanyak 37 kali.

b. Dari Sunnah

Hadis yang menyebutkan kata ma‟rūf secara langsung:

)‫(رَواهُ البُ َخا ِري‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ


َ ‫ُخذي َما يَكْفيك َوَولَ َدك بالْ َم ْع ُروف‬
67

65
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur‟an al-Karim dan Terjemahnya, h. 176.
66
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur‟an al-Karim dan Terjemahnya, h 27.
67
Abū „Abdillāh Muḥammad bin Ismā‟īl al-Bukhārī, Ṣahīh al-Bukhārī, Juz VII (t. Cet;
Beirut: Dār Ibnu Kaṡir, 1987 H.), h. 2052.
31

Artinya:

“Ambillah secukupnya untuk kamu dan anakmu dengan cara yang


ma‟rūf (kebiasaan yang baik)”.

ِ ‫ًَّل جنَاح علَى من ولِي ها أَ ْن يأْ ُكل بِا لْمعرو‬


)‫ف) َرَواهُ البُ َخا ِري َو ُم ْسلِم‬ ُْ ْ َ َ َ َ َ َ ْ َ َ َ ُ
68

Artinya:

“Tidak mengapa bila orang yang mengurusnya untuk memakan


hasilnya atau memberi kepada temannya secara ma‟rūf”

Hadis yang menyebutkan kata ma‟ruf secara tidak langsung:

‫ َم ْن‬:‫ال‬
َ ‫ني الثَلث فَ َق‬ َّ ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم الْ َم ِدينََِ َوُى ْم يُ ْسلِ ُفو َن ِِف الث َّْما ِر‬
ِ ْ َ‫السنَت‬ ِ
ُّ ِ‫قَد َم الن‬
َ ‫َِّب‬
)‫(رَواهُ البُ َخا ِري‬ ٍ ٍِ ٍ ٍ ِ ٍ ِ َ َ‫َسل‬
َ ‫َج ٍل َم ْعلُوم‬َ ‫ف ِف شيء ففى َكْي ٍل َم ْعلُوم َوَوْزن َم ْعلُوم إ َل أ‬ ْ‫أ‬
69

Artinya:

“Ketika Nabi saw. tiba di kota Madinah, penduduk Madinah telah


biasa memesan buah kurma dalam dua tahun sampai tiga tahun. maka
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa memesan sesuatu, maka
hendaknya ia memesan dalam takaran, timbangan dan tempo yang
jelas (diketahui oleh kedua belah pihak).”

Dalam hadis ini, Rasulullah saw. membolehkan penjualan salaf

(menjual barang yang tidak ada). Pada saat itu, manusia saling bermuamalah

dengan jual beli ini dan Rasulullah saw. menyetujuinya, maka diaturlah tata

cara pertukaran agar tidak terjadi perselisihan. Inilah yang dimaksud dengan

„urf dalam pentuk perbuatan. Penjualan salaf dibolehkan dengan dalil iqrār

(penyetujuan) dari Rasulullah saw. yang dilandasi dengan „urf yang ada.

68
Abū Bakar Aḥmad bin Ḥusain bin Alī bin Abdillāh al-Baihaqī, Juz VI, h. 159.
69
Abū „Abdillāh Muḥammad bin Ismā‟īl al-Bukhārī, al-Jāmi‟ al-Ṣahīh, Juz II (Cet. 1;
Qahirah: al-Salafiyyah wa Maktabatuhā, 1403 H.), h. 124.
32

2. Makna Kaidah

Al-„ādah (ُ‫ )ان َعا َدج‬secara bahasa berasal dari kata ‫ ان َعٌْ ُد‬dan ُ‫اً َدج‬
َ ‫ان ًُ َع‬

yaitu pengulangan, juga berarti perbuatan atau ucapan yang dilakukan

berulang-ulang sehingga mudah untuk dilakukan, karena sudah menjadi

kebiasaan. Jumhur ulama mengatakan bahwa, pengulangan tersebut bisa

dikatakan adat jika berulang minimal tiga kali secara berurutan.

Muḥakkamah )ُ‫ح َّك ًَح‬


َ ‫ ( ُي‬secara bahasa adalah isim maf‟ūl dari kata ‫تَحْ ِكْْى‬

yang berarti menghukumi dan memutuskan perkara manusia.70

Dari uraian di atas maka secara bahasa kaidah al-„ādah muḥakkamah

adalah sebuah adat kebiasaan bisa dijadikan sandaran untuk memutuskan

perkara perselisihan antara manusia. Adapun secara istilah al-„ādah

muḥakkamah adalah sebuah adat kebiasaan dan „urf dapat dijadikan

sebagai sandaran untuk menetapkan hukum syariat apabila tidak terdapat

naṣ atau lafaz ṣarīh (tegas) yang bertentangan dengannya.71

3. Antara Adat dan „Urf

Menurut al-Jurjānī, sesuatu yang disebut „urf bukan semata karena

dapat diterima tabiat, tetapi juga harus sejalan dengan akal manusia.

Sedangkan yang disebut adat bukan semata-mata sejalan dengan akal

sehat, tetapi juga telah dipraktekkan manusia secara terus menerus

sehingga menjadi tradisi di kalangan mereka. Begitu pula Khālid

70
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaidah-kaidah Praktis Memahami Fiqih
Islam, h. 104.
71
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaidah-kaidah Praktis Memahami Fiqih
Islam, h. 104-105.
33

bin Ibrāhīm dalam kitabnya Syarah manẓumah al-qawā‟id al-fiqhiyyah

juga membedakannya, bahwa adat lebih umum dari „urf. Adat lebih umum

dan berlaku selamanya, sedangkan „urf berlaku lebih khusus dan terbatas.

Adat berlaku secara umum, sedangkan „urf berlaku khusus pada suatu

daerah.72

Sebagian ulama mengatakan bahwa adat dan „urf adalah

ketentraman hati yang dinilai baik oleh akal. Maka dari itu, „urf adalah

adat yang ma‟rūf (baik). Sehingga „urf dan adat adalah dua kata dengan

makna yang sama,73 walaupun terdapat ulama yang membedakannya.

4. Macam-macam ‘Urf dan Adat Kebiasaan

„Urf dan Adat jika ditinjau dari umum dan khususnya ada dua

macam yaitu:

a. „Urf „Ām (umum)

Yaitu „urf yang berlaku di seluruh negeri muslim, sejak zaman dahulu

sampai sekarang. Para ulama sepakat bahwa „urf umum dapat dijadikan

sebagai sandaran umum. Misalnya, jika seseorang bersumpah agar tidak

menginjakkan kakinya di wilayah seseorang, dia melanggar sumpahnya jika

ia memasukkan badannya di wilayah tersebut dan kakinya berada di luar.

Akan tetapi, dia tidak melanggar sumpahnya, jika ia hanya memasukkan

kakinya di wilayah tersebut namun badannya berada di luar, karena maksud

72
Khālid bin Ibrāhīm, Syaraḥ Manẓumah al-Qawā‟id al-Fiqhiyyah, Juz I (t. Cet; t.t.p: t.p,
t.th), h. 53.
73
Muḥammad Ṣidq bin Aḥmad bin Muḥammad al-Burnū, al-Wajīz fī Īḍāhi Qawā‟id
al-Fiqh al-Kulliyyah, h. 276.
34

dari menginjakkan kaki pada masyarakat umumnya adalah masuk dan bukan

sekedar menginjakkan kakinya saja.74

b. „Urf khās (khusus)

Yaitu sebuah „urf yang hanya berlaku di sebuah daerah tertentu

dan tidak berlaku pada daerah lainnya. „Urf ini diperselisihkan oleh ulama.

Jumhur ulama tidak membolehkannya sedangkan sebagian ulama Hanafiyyah

dan Syāfi‟iyyah membolehkannya. Inilah pendapat yang sahih, jika dalam

sebuah negeri terdapat „urf tertentu maka akad dan muamalah yang terjadi

padanya akan mengikuti „urf tersebut. Misalnya, jika dalam suatu daerah,

si A menyuruh seorang makelar untuk menawarkan tanahnya pada pembeli,

sedangkan „urf yang berlaku di daerah tersebut, makelar mendapat 2% jika

tanahnya telah terjual dari harga tanah yang ditanggung berdua antara penjual

dan pembeli. Maka inilah yang berlaku, tidak boleh bagi penjual maupun

pembeli menolaknya kecuali jika terdapat perjanjian sebelumnya.75

Sedangkan „urf bila ditinjau dari sisi ucapan dan perbuatan terbagi dua

macam, yaitu:

a. „Urf Qaulī (Ucapan)

Yaitu sebuah kata yang dalam masyarakat tertentu yang difahami

bersama dengan makna tertentu bukan makna lainnya. „Urf jika berlaku

umum di seluruh negeri muslim ataupun beberapa daerah saja maka bisa

dijadikan sandaran hukum. Misalnya, seseorang berkata: “Demi Allah swt.

74
Muḥammad Ṣidq bin Aḥmad bin Muḥammad al-Burnū, al-Wajīz fī Īḍāhi Qawā‟id
al-Fiqh al-Kulliyyah, h. 277.
75
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaidah-kaidah Praktis Memahami Fiqih
Islam, h. 109.
35

saya hari ini tidak akan makan daging”. Kemudian dia makan ikan, maka

orang tersebut tidak dianggap melanggar sumpahnya, karena kata “daging”

dalam kebiasaan masyarakat, tidak dimaksudkan kecuali daging binatang

darat seperti kambing, sapi dan lainnya.

b. „Urf „Amalī (Perbuatan)

Yaitu sebuah perbuatan yang sudah menjadi „urf dan kebiasaan

masyarakat tertentu. Ini juga bisa dijadikan sandaran hukum meskipun tidak

sekuat „urf qauli. Misalnya, dalam masyarakat tertentu, orang bekerja dalam

sepekan libur pada hari jum‟at. Kemudian seorang datang melamar pekerjaan

menjadi tukang jaga toko dan bersepakat untuk dibayar setiap bulan sebesar

Rp. 500.000,- maka pekerja tersebut berhak libur setiap hari jum‟at dan tetap

mendapatkan gaji tersebut.76

5. Syarat ‘Urf

„Urf dapat dijadikan sebagai sandaran hukum jika memenuhi syarat

berikut:

a. „Urf tersebut berlaku umum

„Urf difahami oleh semua lapisan masyarakat, tidak dikhususkan pada

daerah tertentu saja. „Urf yang berlaku pada orang tertentu saja, maka tidak

bisa dijadikan sebagai sebuah sandaran umum.

b. Tidak bertentangan dengan naṣ syar‟ī

Sebuah „urf jika dihubungkan dengan naṣ al-Qur‟an dan Sunnah ada

beberapa kemungkinan:

76
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaidah-kaidah Praktis Memahami Fiqih
Islam, h. 110.
36

1). „Urf yang sesuai dengan naṣ syariat

„Urf ini wajib dikerjakan, berdasarkan dalil bukan karena „urf.

Misal: Seorang suami harus memberikan tempat tinggal untuk istrinya.

„Urf seperti ini berlaku dan harus dikerjakan karena Allah swt.

Sebagaimana Allah swt. berfirman dalam Q.S. al-Ṭalaq/65 :6,

 . . .      

Terjemahnya:

“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat


tinggal menurut kemampuanmu...”.77

2). „Urf yang bertentangan dengan dalil syar‟ī

„Urf seperti ini harus dilihat dari berbagai sudut:

a). „Urf yang bertentangan secara total dengan dalil

„Urf seperti ini batil, misalnya dalam sebuah„urf resepsi pernikahan,

kedua pengantin dipertontonkan di depan tamu dengan segala hiasannya. „Urf

ini wajib ditinggalkan karena berbenturan dengan banyak dalil mengenai

perintah menundukkan pandangan, larangan tabarruj bagi wanita dan lainnya.

Contoh lain adalah menaruh uangnya di sebuah Bank Konvensional

akan mendapatkan “bunga” (baca: riba) maka tidak boleh bagi si pemilik

rekening untuk memanfaatkannya. Bunga adalah uang riba yang jelas

keharamannya dengan dalil al-Quran dan Sunnah.

77
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Qur‟an al-Karim dan Terjemahnya, h. 559.
37

b).„Urf yang berbenturan dengan dalil dalam sebagian permasalahannya saja.

Dalil yang sifatnya umum dan sebuah „urf bertentangan dengan dalil

pada sebagian masalah saja. „Urf ini bisa digunakan jika sifatnya umum

di semua negeri muslim. Misalnya: Rasulullah saw. melarang jual beli yang

belum diketahui barangnya, namun ada „urf yang berlaku di seluruh negeri

muslim, bahwa jual beli pesanan (walaupun barangnya tidak ada),

diperbolehkan.

c). Jika sebuah naṣ didasarkan pada „urf yang berlaku pada zaman turunnya

wahyu, kemudian „urf tersebut berubah, maka bolehkah menetapkan hukum

dengan „urf baru ataukah tidak?

Misalnya: Jual beli gandum dengan gandum yang lain harus sama

ukuran takarannya sebagaimana dalam hadis tentang riba. Padahal, gandum

sama gandum jika sama takarannya belum tentu timbangannya sama.

Kemudian zaman berubah, jual beli gandum menggunakan ukuran timbangan,

maka bolehkah jual beli gandum satu kilo dengan satu kilo? Meskipun hal ini

akan menyebabkan beda ukuran dalam bentuk takaran?

Masalah ini dipersilisihkan oleh ulama. Jumhur ulama melarangnya,

namun sebagian ahlul ilmi seperti Imām Abū Yusuf dan Syaikhul Islām Ibnu

Taimiyah membolehkannya sebagaimana yang dinukil oleh Imām Ibnu

al-Muflīh dalam al-Furū‟ 4/157.

d). Jika sebuah „urf bertentangan dengan sebuah hukum yang dibangun oleh

ulama mujtahid sebelumnya atas dasar „urf yang berlaku pada zaman mereka.

Jika „urf berubah, hukum juda dapat berubah.


38

3). „Urf sudah berlaku sejak lama, bukan sebuah „urf baru terjadi

Jika seseorang mengatakan, “Wallāhi saya tidak akan makan daging

selamanya”. Saat dia mengucapkan kata tersebut, yang dimaksud dengan

daging adalah daging kambing dan sapi. Lima tahun kemudian „urf

masyarakat berubah, daging adalah semua jrnis hewan yang memiliki

daging termasuk daging ikan. Lalu orang tersebut memakan daging ikan,

maka dia tidak dihukumi melanggar sumpahnya karena sebuah lafaz

tidak didasarkan pada „urf yang muncul belakangan.

4). Tidak berbenturan dengan taṣrīḥ

Sebuah „urf jika berbenturan dengan taṣrīḥ (ketegasan seseorang

dalam sebuah masalah) maka „urf tersebut tidak berlaku. Misal: Jika

seseorang bekerja di sebuah kantor dengan gaji bulanan Rp.500.000, tapi

pemilik kantor mengatakan bahwa, gaji Rp.500.000, diberikan jika

pekerja masuk kantor setiap hari termasuk di hari libur dan pekerja

menyetujuinya. Maka wajib bagi pekerja untuk masuk setiap hari

meskipun „urf masyarakat yang berlaku bahwa hari ahad libur.78

78Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaidah-kaidah Praktis Memahami Fiqih
Islam, h. 110-114.
39

6. Cabang-cabang dari Kaidah Al-‘Ādah Muḥakkamah

a. Kaidah pertama:

‫ب الْ َع َم ُل ِِبَا‬
79 ِ ُ ‫اِ ْستِ ْع َم‬
ِ ‫ال الن‬
ُ ‫َّاس ُح َّجٌِ ََي‬
Artinya:

“Apa yang digunakan oleh masyarakat sebagai hujjah maka wajib


dikerjakan”.

Makna kaidah:

Kaidah ini semakna dengan kaidah umum, yaitu bahwa apa yang

digunakan oleh manusia sehingga menjadi sebuah adat kebiasaan mereka,

maka dapat dijadikan sebagai sebuah sandaran amal yang wajib digunakan.

Adapun masalah, apakah sebuah amal perbuatan yang sudah menjadi adat

kebiasaan ini berlaku semuanya atau hanya adat umum saja dan bukan adat

khusus, maka permasalahannya sama dengan kaidah umumnya.

Contoh penerapan kaidah: Jika ada seseorang yang minta tolong pada

orang lain untuk menjualkan tanah miliknya. Lalu setelah tanah itu terjual,

yang diminta tolong tersebut minta bagian upah atau presentase dari apa yang

dia usahakan, maka hal ini dikembalikan kepada „urf yang berlaku. Apabila

„urf masyarakat setempat demikian, maka wajib memberikannya.

b. Kaidah kedua:

80 ِ ‫ب الشَّائَ ِع ًَّل لِلن‬


‫َّاد ِر‬ ِ ِ‫العِْب رةُ لِْلغَال‬
َ

79
Muḥammad Ṣidqī bin Aḥmad bin Muḥammad al-Burnū, al-Wajīz fī Īḍāhi Qawā‟id
al-Fiqh al-Kulliyyah, h. 292.
80
Muḥammad Ṣidqī bin Aḥmad bin Muḥammad al-Burnū, al-Wajīz fī Īḍāhi Qawā‟id
al-Fiqh al-Kulliyyah, h. 295.
40

Artinya:

“Yang dijadikan dasar adalah yang berlaku umum bukan yang


jarang”.

‫ت‬
ْ َ‫ت أ َْو َغلَب‬ َ ‫إََِّّنَا تُ ْعتَبَ ُر‬
ْ ‫الع َادةُ إِ َذا إِطََّرَد‬
81

Artinya:

“Sebuah adat dianggap apabila berlaku menyeluruh atau


kebanyakannya seperti itu”.

Makna kaidah:

Dalam tiga ungkapan diatas, terdapat tiga lafaz, yaitu: ‫ اِطِّ َراد‬atau

‫ ُيطَّ َرد‬yaitu sebuah adat yang berlaku menyeluruh untuk semua kalangan

dan pada semua kejadian. Sedangkan lafaz : ُ ‫ ان َغهَثَح‬adalah sebuah adat yang

berlaku pada kebanyakan kejadian dan dilakukan oleh sebagian besar

masyarakat. Adapun lafaz َّ ‫ان‬


‫شائِ ُع‬ adalah adat yang masyhur di kalangan

masyarakat.

Makna dari ketiga lafaz ini memiliki kemiripan, yaitu: sebuah adat

kebiasaan dapat dijadikan sebagai sebuah sandaran hukum jika berlaku secara

menyeluruh untuk semua kalangan kebanyakan masyarakat. Akan tetapi, jika

adat kebiasaan tersebut dilakukan oleh sebagian kecil dari mereka atau jarang

dilakukan maka itu tidak berlaku sebagai sandaran hukum.

c. Kaidah ketiga

82 ‫الَل ِح ِق‬ َّ ‫السابِ ُق ُد ْو َن املتَأ‬


َّ ‫َخ ِر‬ َّ ‫ظ إََِّّنَا ُى َو امل َق َار ُن‬ ِ َّ‫ف ا‬
ُ ‫لذ ْي َُْت َم ُل َعلَْي ِو األَلْ َفا‬ ُ ‫العُ ْر‬
ُ ُ
81
Muḥammad Ṣidqī bin Aḥmad bin Muḥammad al-Burnū, al-Wajīz fī Īḍāhi Qawā‟id
al-Fiqh al-Kulliyyah, h. 295.
82
Muḥammad Ṣidqī bin Aḥmad bin Muḥammad al-Burnū, al-Wajīz fī Īḍāhi Qawā‟id
al-Fiqh al-Kulliyyah, h. 297.
41

Artinya:

“Urf yang digunakan untuk membawa lafaz kepadanya adalah „urf


yang sedang berlaku dan sudah terjadi sejak waktu lampau, bukan „urf
yang akan datang belakangan”.

Makna kaidah: sebuah lafaz, baik lafaz syar‟ī maupun perkataan

manusia dibawa pada makna yang berlaku pada zaman itu dan bukan pada

makna yang yang muncul belakangan. Misal lafaz syar‟ī:

83
)‫(رَواهُ الت ّْْرِم ِذي‬...
َ ‫َِّت‬ ِ ِ
ْ ‫…فَ َعلَْي ُك ْم ب ُسن‬
Artinya:

“Berpegang teguhlah kalian pada sunnahku”.

Sunnah yang dimaksud adalah jalan dan cara hidup yang ditempuh oleh

Rasulullah saw. secara umum dan inilah makna sunnah pada zaman

Rasulullah saw. Kemudian muncul di zaman sekarang, bahwa sunnah adalah

apa yang dikerjakan mendapatkan pahala dan ketika ditinggalkan tidak

berdosa. Maka, tidak boleh membawa makna hadis pada makna kedua karena

ia adalah istilah yang menjadi „urf di antara para fuqahā belakangan hari.

d. Kaidah keempat

‫الع َاد ِة‬ ِ ِ ِ


َ َِ‫اْلَقْي َقُِ تُْت َرُك ب َدًَّلل‬
84

Artinya:

“Sebuah hakikat bisa ditinggalkan disebabkan oleh sebuah adat


kebiasaan”.

83
Muḥammad bin „Īsā bin Saurah bin Mūsā bin al-Ḍaḥḥak al-Sulami al-Tirmiżī, al-Jāmi‟
al-Ṣahīh, Juz IV (Cet. II; t.t.p.: t.p, 1398 H/1978 M.), h. 44.
84
Muḥammad Ṣidqī bin Aḥmad bin Muḥammad al-Burnū, al-Wajīz fī Īḍāhi Qawā‟id
al-Fiqh al-Kulliyyah, h. 299.
42

Makna kaidah: Pada dasarnya sebuah lafaz harus dibawa pada

maknanya yang hakiki. Dan makna hakiki adalah makna asal untuk sebuah

lafaz. Namun, terkadang makna hakiki harus ditinggalkan karena „urf atau

adat kebiasaan yang berlaku menggunakan lafaz tersebut untuk makna lain.

Sehingga yang diterapkan adalah makna yang difahami menurut„urf tersebut.

Misal: Jika seseorang berkata, “Wallāhi, saya tidak akan angkat kaki

dari sini!” Secara bahasa, kata “angkat kaki” adalah orang yang mengangkat

kaki, baik untuk berjalan ataupun diam di tempat. Namun, secara „urf kata ini

digunakan untuk seseorang yang meninggalkan tempat. Sehingga, jika

seseorang mengangkat kakinya tanpa meninggalkan tempat, maka tidak

dihukumi melanggar sumpah. Akan tetapi, jika seseorang meninggalkan

tempat walaupun sebenarnya bisa dilakukan tanpa angkat kaki, maka dia telah

melanggar sumpahnya.

e. Kaidah kelima

‫ان‬ ِ ‫اْل َشارات الْمعهودةُ لِ ْْلَخر ِس َكالْب ي‬


ِ ‫ان بِاللّْس‬ ِ
َ ََ َْ َ ُْ َ ُ َ ْ
85

Artinya:

“Sebuah isyarat yang bisa difahami bagi seseorang yang yang bisu
seperti keterangan dengan kata-kata.”

Makna kaidah: Bagi orang yang bisu, maka isyarat yang dapat

difahami adalah seperti keterangan dengan kata-kata untuk dijadikan dasar

dalam menetapkan sebuah hukum. Hal ini disebabkan karena seorang yang

bisu tidak dapat melakukan semua kebutuhannya seperti jual beli, nikah

85
Muḥammad Ṣidqī bin Aḥmad bin Muḥammad al-Burnū, al-Wajīz fī Īḍāhi Qawā‟id
al-Fiqh al-Kulliyyah, h. 302.
43

dan lain lain kecuali dengan tiga cara yaitu: ada seseorang yang mewakilinya,

dengan tulisan dan dengan isyarat. Jika dengan wakil dan tulisan, maka hal

ini tidak mungkin dilakukan pada semua kesempatan dan akan memberatkan.

Oleh karena itu, diperbolehkan baginya untuk menggunakan isyarat yang bisa

difahami.

f. Kaidah keenam

ِ ‫وف عرفًا َكالْم ْشر‬


‫وط َش ْرطًا‬ُ َ ْ ُ ُ ‫الْ َم ْع ُر‬
86

Artinya:

“Sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan seperti sebuah syarat.”

Atau dengan ungkapan lain:

ّْ ‫ني بِالن‬ ِ
‫َّص‬ ُ ْ ِ‫ني بِالعُ ْرف َكالت َّْعي‬
ُ ْ ِ‫الت َّْعي‬
87

Artinya:

“Yang ditentukan dengan „urf seperti yang ditentukan dengan


ketegasan lafaz”.

Makna kaidah: Sesuatu yang telah menjadi kebiasaan bersama, maka

hukumnya seperti sebuah syarat yang harus dipenuhi atau seperti kata yang

ṣarīh. Dengan catatan, jika „urf ini tidak bertentangan dengan sebuah taṣrīḥ

sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Sehingga:

1) Jika ada dua orang yang melakukan akad, maka konsekuensi dari akad

tersebut mengikuti adat kebiasaan yang berlaku di daerah setempat. Misal,

seseorang yang membeli sepeda motor sedangkan „urf yang berlaku

86
Muḥammad Ṣidqī bin Aḥmad bin Muḥammad al-Burnū, al-Wajīz fī Īḍāhi Qawā‟id
al-Fiqh al-Kulliyyah, h. 306.
87
Muḥammad Ṣidqī bin Aḥmad bin Muḥammad al-Burnū, al-Wajīz fī Īḍāhi Qawā‟id
al-Fiqh al-Kulliyyah, h. 306.
44

pada daerah penjual mendapat garansi mesin selama satu tahun, maka

garansi wajib dipenuhi oleh pihak penjual meskipun tidak disebutkan

dalam akad.

2) Nafkah yang boleh dituntut oleh seorang istri atas suaminya adalah yang

menjadi kebiasaan masyarakat setempat menurut kadar kaya

dan miskinnya suami.

3) Seorang tamu boleh memakan makanan yang tersaji di meja ruang tamu,

tanpa dipersilahkan oleh tuan rumah, jika adat yang berlaku seperti itu.

g. Kaidah ketujuh

88 ِ
‫األزمان‬ ‫بتغْي‬ ِ
ُِّ ‫األحكام‬ ‫ًّل يُْن َك ُر تغيّ ُر‬

Artinya:

“Tidak diingkari perubahan hukum ijtihādiyyah karena perubahan


zaman”.

Makna kaidah: Hukum Islam secara garis besar ada dua:

1) Hukum yang tetap, tidak berubah dengan perubahan tempat dan zaman.

Ini adalah hukum yang telah ditetapkan oleh syariat secara

terperinci. Misal, tata cara salat, puasa, zakat, hukum warisan bahwa

anak laki-laki mendapatkan dua bagian anak wanita, hukum aurat bahwa

laki-laki dari lutut sampai pusar dan bagi wanita adalah seluruh tubuh

kecuali wajah dan telapak tangan menurut sebagian mazhab para ulama

dan sebagainya tanpa terkecuali, maka hukum-hukum ini tetap dan tidak

berubah dengan perubahan waktu dan tempat.

88
Muḥammad Ṣidqī bin Aḥmad bin Muḥammad al-Burnū, al-Wajīz fī Īḍāhi Qawā‟id
al-Fiqh al-Kulliyyah, h. 310.
45

2) Hukum yang dapat berubah dengan perubahan zaman

Ini adalah hukum-hukum ijtihādiyyah, yang dibangun di atas

dasar „urf dan adat yang berlaku pada zaman tertentu, jika „urf dan adat

tersebut berubah dengan perubahan waktu dan tempat maka hukum akan

berubah. Misal:

a) Larangan Rasulullah saw. untuk ziarah kubur di awal masa Islam, kemudian

beliau membolehkannya.

b) Larangan Rasulullah saw. menyimpan daging kurban di atas tiga hari,

kemudian beliau membolehkannya.

c) Tata cara belajar ilmu syar‟ī dengan didirikannya sekolah yang menggunakan

kelas, meskipun pada zaman dahulu tidak menggunakan kelas.89

C. Tradisi Mappatabe’

Tradisi Mappatabe‟ adalah tradisi yang menggunakan komunikasi

nonverbal yaitu komunikasi yang disampaikan tidak menggunakan kata-kata.

Walaupun terkadang mengucapakan kata tabe‟, namun hal ini tidak diharuskan.

1. Pengertian Tradisi Mappatabe’

Tradisi merupakan pengulangan sesuatu dan kebiasaan yang

dilakukan berulang-ulang hingga melekat dan diterima di dalam

benakmasyarakat.90 Tradisi juga merupakan suatu tatanan yang melekat

dalam pola perilaku dan pola hidup masyarakat secara terus-menerus,

89
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaidah-kaidah Praktis Memahami Fiqih
Islam, h. 114-123.
90
Abdul Karīm Zaidān, al-Wajīz fī Syarḥi al-Qawā‟id al-Fiqhiyyah fi al-Syarī‟ah
al-Islāmiyah, Terj. Muhyiddin Mas Rida, Al-Wajiz 100 Kaidah Fikih Dalam Kehidupan
Sehari-hari, (t. Cet; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2015 M.), h. 164.
46

bahkan diartikan sebagai bagian dari adat kebiasaan. Sedangkan kebiasaan,

berlaku temporer dan belum melembaga dalam tatanan kehidupan.91

Sedangkan tradisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

memiliki 2 arti:

a. Tradisi adalah adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih

dijalankan dalam masyarakat.

b. Tradisi adalah penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada

merupakan yang baik dan benar.92

Mappatabe‟ adalah sebuah tradisi penghormatan pada masyarakat

Bugis-Makassar sebagai bentuk sopan santun kepada orang yang lebih dituakan.

Bentuk dari tradisi ini ada 2 yaitu:

a. Mengucapkan tabe‟ (permisi) dengan membungkukkan badan sambil

menjulurkan tangan ke bawah ketika lewat dihadapan orang.

b. Sekedar mengucapkan tabe‟ (permintaan bantuan) kemudian meminta sesuatu

kepada orang lain

2. Implementasi Tabe’ Sebagai Tata Krama Masyarakat Bugis

a. Tabe‟ sebagai pola asuhan

Pola berarti corak, model, atau cara kerja, sedangkan asuh berarti

menjaga, mendidik, membimbing dan memimpin. Jadi, pola asuhan dalam

budaya tabe‟ adalah pengasuhan dengan menampilkan orang tua sebagai

model yang menghargai, menghormati, mengingatkakan, memimpin sesuai

dengan budaya tabe‟, yaitu sopan mendidik anak. Sehingga mencetak anak
91
Ahmad Saransi, Tradisi Masyarakat Islam di Sulawesi Selatan (Cet. I; Makassar:
Bidang Agama Biro KAAP Setda Propinsi Sulawesi Selatan, 2003 M.), h. iv.
92
Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, h. 1543.
47

yang berkarakter. Budaya tabe‟ berperan besar dalam pembentukan karakter

anak dalam perkembangan sifat santun dan hormat.93 Oleh karena

mengaktualkan sikap tabe‟ dalam menghormati orang yang lebih tua demi

nilai etika dan budaya yang harus diingat. Sebab, tabe‟ merupakan sejenis

kecerdasan sikap yang memungkinkan terbentuknya nilai-nilai luhur bangsa

atas anak didik atau generasi muda.

Tabe‟ menurut orang Bugis merupakan nilai budaya yang sudah

menjadi sebuah karakter yang sarat dengan muatan pendidikan yang memiliki

makna anjuran untuk berbuat baik, bertata krama melalui ucapan maupun

gerak tubuh. Pola asuhan keluarga sangat mempengaruhi keawetan budaya

tabe‟ dalam masyarakat Bugis. Didikan keluarga akan mencetak generasi

yang beradat, sopan, dan saling menghargai.94

b. Tabe‟ Dalam Kehidupan Sehari-hari Masyarakat Bugis

Menerapkan budaya tabe‟ dengan implementasi makna konseptual

dengan tidak menyeret sandal atau menghentakkan kaki, tetapi dengan

mengucapkan salam atau menyapa dengan sopan, sikap tabe‟ juga merupakan

permohonan untuk melintas.95 Tabe‟ mengoptimasi untuk tidak berkacak

pinggang dan tidak usil mengganggu orang lain. Tabe‟ berakar sangat kuat

93
Rahim R, Nilai-nilai Utama Kebudayaan Bugis (t. Cet; Ujung Pandang: Hasanuddin
University Press, 1985 M.), h. 155.
94
Mursyid A. Jamaluddin, “Tradisi Mappatabe‟ dalam Masyarakat Bugis di Kecamatan
Pulau Sembilan Kabupaten Sinjai”, Skripsi (Makassar: Fak. Dakwah dan Komunikasi UIN
Alauddian, 2016 M.), h. 31-32.
95
Mattulada, Demokrasi dalam Perspektif Budaya Bugis-Makassar. Dalam Najib, dkk
(Ed.) Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara LKPSM (t. Cet; Yogyakarta:Bandung, t.th.),
h.21-90.
48

sebagai etika dalam tradisi seperti pelajaran dalam hidup yang didasarkan

pada akal sehat dan rasa hormat terhadap sesama.96

Tradisi tabe‟ adalah bahasa adat kesopanan/perilaku yang berarti

permisi, yakni kata sapaan yang sifatnya lebih halus umumnya diucapkan

ketika lewat di depan orang, khususnya orang yang dihormati, teman,

sahabat, orang tua. Mengucapkan tabe‟ sambil menatap dengan ramah kepada

orang yang berada di depan, menundukkan kepala dan menurunkan tangan

kanan.97

Budaya tabe‟ yaitu mengucapkan tabe‟ (permisi) sambil berbungkuk

setengah badan ketika melewati orang tua yang sedang bercerita.

Mengucapkan iyé‟, jika menjawab pertanyaan sebelum mengutarakan alasan,

ramah dan menghargai orang yang lebih tua serta menyayangi yang muda.

Inilah di antaranya ajaran–ajaran suku Bugis. Sesungguhnya yang termuat

dalam Lontara„ yang harus direalisasikan dalam kehidupan sehari–hari oleh

masyarakat Bugis.98

c. Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Tradisi Mappatabe‟

Pembangunan insan yang berbudaya dan bermoral dapat

dikembangkan melalui pelestarian nilai-nilai luhur dalam budaya tabe‟.

96
Mursyid A. Jamaluddin, “Tradisi Mappatabe‟ dalam Masyarakat Bugis di Kecamatan
Pulau Sembilan Kabupaten Sinjai”, h. 32.
97
Mursyid A. Jamaluddin, “Tradisi Mappatabe‟ dalam Masyarakat Bugis di Kecamatan
Pulau Sembilan Kabupaten Sinjai”, h. 32.
98
Mursyid A. Jamaluddin, “Tradisi Mappatabe‟ dalam Masyarakat Bugis di Kecamatan
Pulau Sembilan Kabupaten Sinjai”, h. 32.
49

Adapun nilai-nilai luhur yang terkandung dalam budaya tabe dikenal dengan

falsafah 3-S99 sebagai berikut:

Sipakatau: Mengakui segala hak tanpa memandang status sosial. Juga

diartikan sebagai rasa kepedulian sesama.

Sipakalebbi: Sikap hormat terhadap sesama, senantiasa memperlakukan orang

dengan baik. Budaya tabe‟ menunjukkan bahwa yang ditabe‟ki

(orang yang diberikan sikap tabe‟) dan yang mentabe‟ (orang

yang memberikan sikap tabe‟) adalah sama-sama tau (orang)

yang dipakalebbi (harus diberikan kemuliaan).

Sipakainge:Tuntunan bagi masyarakat Bugis untuk saling mengingatkan.100

Demikianlah kearifan lokal masyarakat Bugis. Sangat sederhana,

namun memiliki makna yang mendalam agar saling menghormati dan tidak

mengganggu satu sama lainnya.101

D. Mappatabe’ dalam Konteks Islam

Menyempurnakan akhlak adalah salah satu sebab diutusnya

Rasulullah saw. di muka bumi. Ketakwaan, keimanan dan pengamalan ilmu

seseorang dapat dilihat dari akhlaknya. . Saling menghormati dan menghargai satu

sama lain termasuk akhlak. Allah SWT berfirman dalam QS. al-Baqarah/2: 83:

 …  …

99
Rahim, Nilai-nilai Utama Kebudayaan Bugis, h. 21.
100
Mursyid A. Jamaluddin, “Tradisi Mappatabe‟ dalam Masyarakat Bugis di Kecamatan
Pulau Sembilan Kabupaten Sinjai”, h. 33.
101
Mursyid A. Jamaluddin, “Tradisi Mappatabe‟ dalam Masyarakat Bugis di Kecamatan
Pulau Sembilan Kabupaten Sinjai”, h. 33.
50

Terjemahnya:

“…Dan bertutur baiklah kepada manusia…”.102

Ayat di atas berisi perintah untuk berbicara dengan baik, sopan dan santun

kepada sesama. Sehingga mappatabe‟ dalam bentuk ucapan ini sangat sesuai

dengan ayat di atas bahkan dianjuarkan. Salah satu akhlak yang baik menurut

suku Bugis adalah mappatabe‟ yang dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan

memuliakan orang yang lebih tua. Orang yang tidak mempraktikkan tradisi ini

pada saat melewati orang yang lebih tua akan dianggap sebagai orang yang

sombong dan tidak berakhlak. Bentuk-bentuk penghormatan yang dijelaskan oleh

Rasulullah saw. dalam hadis-hadis adalah: mencium tangan, menundukkan

badan dan berdiri ketika menyambut tamu.

. Salah satu bentuk penghormatan yang akan dibahas pada penelitian

ini adalah inhina‟.

1. Pengetian Inḥinā’ (Membungkukkan Badan)

Secara bahasa Inḥinā‟ berasal dari bahasa arab yaitu inḥanā yang

berarti miring, doyong, membungkuk dan menunduk.103

2. Dalil Inḥinā’

،‫الس ُد ْو ِسي‬ َ َ‫َحدَّثَنَا َعلِ ّّي بْ ِن ُُمَ َّم ُد ق‬


َّ ‫ َع ْن َحْنظَلَِ بْ ِن‬،‫ َع ْن َج ِريْ ِربْ ِن َحا ِزم‬،‫ َحدَّثَنَا َوكِْي ُع‬:‫ال‬
ُّ ‫الر ْْحَ ِن‬
‫ قُ ْلنَا أَيُ َعانِ ُق‬.» َ‫ال « ًّل‬ ٍ ‫ض َن لِبَ ْع‬
َ َ‫ض ق‬ ِ
ُ ‫ قُ ْلنَا يَا َر ُسو َل اللَّو أَيَْن َح ِِن بَ ْع‬:‫ال‬
َ َ‫ك ق‬ٍ ِ‫س ب ِن مال‬
َ ْ ِ َ‫َع ْن أَن‬
)‫اجو‬ ِ
َ ‫)رَواهُ ابْ ُن َم‬ َ ‫صافَ ُحوا‬ َ َ‫ال ًّلَ َولَك ْن ت‬
َ َ‫ضا؟ ق‬ً ‫ضنَا بَ ْع‬
ُ ‫بَ ْع‬
104

102
Kementrian Agama Republik Indonesia, al-Quran al-Karim dan Terjemahnya, h.12
103
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir (Cet. XIV; Surabaya: Pustaka Progressif,
1997 M.), h. 305.
51

Artinya:

“Telah menceritakan kepada kami Alī bin Muḥammad, beliau


berkata: Telah menceritakan kepada kami Waqī‟ dari Jarīr bin
Ḥāzim, dari Hanẓalah bin Raḥman al-Sudūsī, dari Anaṣ bin Mālik,
kami bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, apakah
sebagian kami boleh membungkukkan badan kepada orang yang dia
temui?”. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak boleh”. Kami bertanya
lagi, “Apakah kami boleh berpelukan jika saling bertemu?”.
Rasulullah saw. bersabda, “Tidak boleh. Akan tetapi hendaklah
kalian saling berjabat tangan”.

a). Asbābūl Wurūd al-Ḥadīs

Munculnya hadis ini adalah ketika seorang sahabat bertanya kepada

Rasulullah saw. tentang bagaimana sikap seorang muslim ketika bertemu

dengan muslim lainnya, apakah muslim tersebut harus menundukkan

badannya? Rasulullah saw. menjawab: “Tidak”, lalu bertanya lagi, apakah

kami harus memeluknya dan menciumnya? Rasulullah saw. menjawab,

“Tidak Boleh”. Lalu sahabat ra. bertanya lagi, apakah boleh menjabat

tangannya?” Rasulullah saw. menjawab, “Boleh jika dia mau”.105

b). Uraian Hadis

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Tirmiżī (2/121), Ibnu Mājah (3702),

al-Baihaqī (7/100), Aḥmad bin Ḥanbal (3/198). Dari Hanẓalah bin „Abdillāh

al-Sudūsī beliau berkata: Dari Anaṣ bin Mālik. Hadis ini menerangkan

bagaimana sikap seseorang ketika bertemu dengan sesama muslim, salah

seorang sahabat ada yang bertanya ُ ‫ أََّ ْن َحنِ ِْ نَو‬apakah kami harus

membungkukkan badan serta punggung kami, maka Rasulullah saw.

104
Abū Abdillāh Muḥammad bin Yazīd al-Quzwainī, Sunan Ibnu Mājah, h. 613.
105
Abū al-„Ulā Muḥammad al-Mubārakfūrī, Tuḥfatul Aḥważī, Juz VII (t. Cet; t.p.: Dār
al-Fikr, t.th.), h. 513-514.
52

menjawab ‫“ قَا َل َال‬Tidak” karena hal tersebut merupakan rukuk seperti halnya

sujud kepada Allah swt.106 Hadis ini sering dijadikan hujjah (dalil) agar

tidak memberikan penghormatan dengan menundukkan badan.107

c). Kualitas Hadis

Muḥammad bin „Isā at-Tirmiżī berkata: (Hadis hasan sahih) dalam

sunan al-Tirmiżi, pada Bab Mā Jāa fī al-Muṣāfaḥah.108 Dan juga dinilai hasan

oleh Muḥammad Nāṣiruddīn al-Albānī dalam Silsilah al-Ḥadīs al-Saḥīḥah:

wa Syaiun min fiqhiha wa Fawāidihā.109

3. Pendapat Ulama Hadis Tentang Inḥinā’ (Membungkukkan badan)

Para ulama berbeda pendapat mengenai Inḥinā‟ (menundukkan

badan ketika bertemu), sebagian memakruhkan hal tersebut dan sebagian

lainnya mengharamkannya. Ahmad Qurtubi dalam meneliti hadis-hadis

tersebut belum menemukan satu pendapat pun tentang disunnahkannya

inḥinā‟, hanya pada batasan membolehkan hal tersebut. Adapun pendapat

ulama ulama tentang inḥinā‟ adalah sebagai berikut:

Al-Kasymirī pengarang kitab al-„Arfu al-Syażi Syarḥ Sunan

al-Tirmiżi mengomentari hadis inhina‟, mengatakan:

110
ِِ َّ‫الَل ِْْننَاءُ ِعْن َد امل ََلقَاةِ فَ َمك ُْرْوهٌ ََْت ِرْْيًا َك َما ِِف فَتَ َاوى اْلَنَ ِفي‬
ِ ‫و أ ََّما‬
َ
ُ

106
Abū Al-„Ulā Muḥammad al-Mubārakfūrī, Tuḥfatul Aḥważī, h. 514.
107
Ahmad Qurtubi, “Penghormatan Dalam Perspektif Hadis”, Skripsi (Jakarta:
Fak. Uṣūluddīn UIN Syarif Hidayatullah, 2011 M.), h. 49.
108
Muḥammad bin „Īsā bin Saurah bin Mūsā bin al-Ḍaḥḥak al-Sulami al-Tirmiżī, al-Jāmi‟
al-Ṣahīh, Juz IV (t. Cet; Semarang: Thoha Putera, t.th.), h. 172.
109
Muḥammad Nāṣiruddīn al-Albānī, al-Ḥadīs al-Saḥīḥah: wa Syaiun min fiqhiha
wa Fawāidihā, Juz II (t. Cet; Riyad: Maktabah al-Ma‟ārif, 1415 H./1995 M.), h. 298.
110
Abū al-„Ulā Muḥammad al-Mubarakfuri, Tuḥfatul Aḥważī, h. 514.
53

Artinya:

“Dan adapun inḥinā‟ ketika berjumpa maka hukumnya makruh


yang mendekati keharaman sebagaimana yang ada di kitab Fatāwā
al-Ḥanafiyah.”

Al-Munāwī di dalam kitab Faiḍul Qaḍīr mengatakan:

ِ ِ‫اًّل َشارةِ بِ َشي ٍء ِّمَّا ذُكِر أَو ب‬


‫اًّل ِْْننَ ِاء َوًَّل‬ ِ ٍ ِ ِِِ ِ ِ ِ ُّ ِِ ‫ْفي ًِِّلقَام‬ ِ ‫فَ ََل يك‬
ْ َ ْ َ ‫السنَِّ أَ ْن يَأِْتَ بالتَّحيَِّ بغَ ْْي لَ ْفظ َك‬ َ َ
ِ ِ ِ
‫ئ ِ ِْف َج َوابِو اًَّّل‬ َ ‫ب َج َوابَوُ َوَم ْن َسلَّ َم ًَّل ََْي ِز‬ ِ
ْ ‫ك ََلْ ََي‬ َ ‫السَلَِم َوَم ْن فَ َع َل َذل‬ َّ ‫بِلَ ْف ٍظ َغ ِْْي‬
ِ ِ ِ
‫س‬ُ ‫ َو املَ ُج ْو‬،‫َصبَ ُع‬ ْ ‫ َو اليَ ُه ْو ُد اًّل َش َارةُ األ‬،‫ض ُع اليَد َعلَى ال َف ِم‬ َ ‫ ََتيَُِّ الن‬...‫الس ََل َم‬
ْ ‫َّص َارى َو‬ َّ
‫ف‬َ ‫الس ََل ُم َعلَْي ُك ْم َوِى َي أَ ْشَر‬
َّ ‫ َوامل ْسلِ ُم ْو َن‬،‫احا‬ ً ‫صب‬
َ َ ‫ َو امللُ ْو ُك أَنْ َع َم‬،‫اك اهلل‬
َ َّ‫ب َحي‬ ُ ‫العَر‬
َ ‫ َو‬,ُ‫ِاًّل ِْْننَاء‬
ُ ُ ِ
111
‫ات َوأَ ْكَرَم َها‬
ُ َّ‫التَّحي‬

Artinya:

“Maka tidak cukup untuk menghidupkan sunnah, yaitu


menghormati dengan meninggalkan salam, seperti dengan hanya
menggunakan isyarat dengan sesuatu sebagaimana yang telah
disebutkan, atau dengan hanya menundukkan badan tanpa
membarengi dengan salam, dijawab/menghiraukannya, dan siapa
saja yang memberi salam maka tidak diperbolehkan menjawab
dengan kalimat yang lain kecuali salam …. Adapun penghormatan
orang Naṣrani adalah dengan menaruh tangan diatas mulut, orang
Yahudi dengan isyarat tangan, orang Majusi dengan inḥinā‟, orang
Arab mengucapkan ḥayyākallāh, para Raja-raja terdahulu
mengucapkan Tuhan memberikan nikmat pagi ini, dan kaum
Muslim dengan salam assalāmu alaikum dan ucapan tersebut
adalah penghormatan yang paling mulia dan paling mulia di atara
penghormatan.”

Bahkan pen-Syarḥ Riyādu al-Ṡālihīn yaitu Ibnu „Allān berpendapat

bahwa inḥinā‟ termasuk perbuatan bid‟ah (perkara yang diada-adakan

dalam agama) yang mendekati keharaman:

111
Al-Munāwī, Faiḍul Qaḍīr Syarḥ al-Jami‟ al-Ṣagīr, Juz VI (Cet. II; Beirut: Dār
al-Ma‟rifah, 1391 H./1972 M.), h. 402.
54

112
‫اًّل ِْْننَ ِاء ِعْن َد اللّْ َق ِاء َِبِيءَةَ ال ُك ْوِع‬
ِ ِِ ‫ ِمن البِ َد ِع املحَّرم‬:‫ال ابن َع ََّل ُن الشَّافِعِي‬
َ َُ َ ُ ْ َ َ‫ق‬
Artinya:

“Telah berkata Ibnu „Allān al-Syāfi‟ī: termasuk bid‟ah yang


diharamkan adalah menundukkan badan ketika bertemu
menyerupai ruku‟.”

Namun, al-Nawawī di dalam kitab al-Majmū‟ hanya sampai pada

tingkat kemakruhan:

َ َ‫ َوقَ ْولُوُ أَيَْن َح ِِن ق‬... ‫السابِ ِق‬


:‫ال‬ َّ ‫س‬ ِ ‫يكْره حَن الظَّه ِر ِِف ُك ّْل ح ٍال لِ ُك ّْل أَح ٍد ِْل ِدي‬
ِ َ‫ث أَن‬ ْ َ َ َ ْ ْ َ َ َُ َ
ُ‫ضًِ لَو‬
َ ‫ َوًَّل ُم َع َار‬,"‫َ"ًّل‬
113

Artinya:

“Dan telah dimakruhkan menundukkan badan pada setiap


kesempatan untuk siapapun dikarenakan hadis yang diriwayatkan
Anaṣ… dan redaksi tersebut: “Apakah boleh menundukkan badan,
maka Rasulullah saw. menjawab‟ “Tidak”.”

Ibnu Mufliḥ al-Maqdisī dalam kitab al-Ādāb al-Syar‟iyyah

mengutip pendapat Imam al-Nawawi tentang makruhnya Inḥinā‟:

‫َن‬ َّ ‫صافَ َحُِ ال َكافَِر َوذَ َكَر أَبُ ْو َزَك ِريَّا الن ََّوِوي ُم َعانَ َقَِ ال َق ِادِم ِم َن‬
َّ ‫الس َف ِر ُم ْستَ َحبٌَِّ َوأ‬ َ ‫َو تَكَْرهُ ُم‬
114
‫ب‬ّّ ‫الصالِ ِح ُم ْستَ َح‬
َّ ‫الر ُج ِل‬ َّ ‫َن تَ ْقبِْي َل يَ ِد‬
َّ ‫اًّل ِْْننَاءَ َمك ُْرْوهٌ َوأ‬
ِ

Artinya:

“Bahwa telah dimakruhkan berjabat tangan dengan orang kafir, dan


telah menyebutkan Abū Zakaria an-Nawawiy: Bahwa memeluk
orang yang baru pulang dari perjalanan jauh adalah sunnah,

112
Ibnu „Allan, Dalīlu al-Fālihīn li Ṭuruqi Riyāḍu al-Ṣālihīn, Juz VI (t. Cet; Libanon:
Dārul Kitab, t.th), h. 27.
113
Abū Zakariyyā Al-Nawawī, al-Majmū‟, Juz IV (t. Cet; t.t.p.: al-Mamlakah
al-„Arabiyah, t.th.), h. 476.
114
Ibnu Mufliḥ al-Maqdīsī, al-„Ādāb al-Syar‟iyah, Juz II (t. Cet; t.t.p.: t.p., t.th.), h. 249.
55

dan sesungguhnya menundukkan badan ketika berjumpa adalah


makruh, dan mencium tangan seorang yang saleh adalah sunnah.”

4. Analisa Hadis Inḥinā’

Yang dimaksud dengan pengertian Inḥinā‟ di sini adalah

membungkukkan badan ketika jabat tangan hampir menyerupai rukuk,

hal itu dilakukan sebagai pengagungan kepada muslim atasnya.115

Berdasarkan hadis di atas ulama menyimpulkan ada dua

hasil hukum yang disimpulkan:

a. Mubah, sebagimana yang telah biasa dilakukan umat Muslim di dalam

kehidupan sehari-hari.

b. Boleh, yang dimaksud dibolehkannya inḥinā‟ oleh Abū al-Ma‟ālī adalah

sebagaimana kebiasaan inḥinā‟ yang dilakukan sehari-hari, yaitu dengan

sedikit membungkukkan badan ketika kita berjumpa dengan muslim lainnya,

bukan menundukkan badan ketika bertemu dengan seorang yang dianggap

terhormat lalu pada jarak masih jauh dia sudah membungkukkan badannya

dan berjalan dengan berjongkok, hal inilah yang dimaksudkan rukuk ataupun

sujud yang dimaksud para ulama tidak boleh dilakukan terhadap manusia.

c. Haram, menurut Ibnu Ṣalāh. Tunduk atau sujud kepada manusia adalah

haram berdasarkan firman Allah swt. tentang sujudnya saudara-saudara Yusuf

adalah syariat sebelumnya dan tidak berlaku pada syariat ini.116 Telah berkata

para ulama: Bahwa sujud disini adalah sujud penghormatan bukan sujud

ibadah dan beginilah cara mereka mengucapkan salam dengan bertakbir yaitu
115
Departemen Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, al-Mausū‟ah al-Fiqhiyyah
al-Kuwaitiyyah, Juz VI (Cet. 2; Kuwait: Daulah al-Kuwaiti, 1406 H./1986 M.), h. 322.
116
Ibnu „Allan, Dalīlu al-Fālihīn li Ṭuruqi Riyāḍu al-Ṣālihīn, h. 27-28.
56

menundukkan badan, akan tetapi Allah swt. telah menghapus syariat tersebut

dan menjadikan kalām (Assalāmu alaikum warahmatullāhi wabarākatuh)

sebagai pengganti dari menundukkan badan dan berdiri untuk

penghormatan.117

d. Makruh, Imam al-Nawawī berpendapat bolehnya menundukkan badan untuk

mencium tangan, bahkan mensunnahkan hal tersebut. Namun, jika inḥinā‟

dengan membungkukkan hampir seluruh badan maka al-Nawawī

memakruhkannya. Inḥinā‟ juga termasuk penghormatan para malaikat kepada

Nabi Adam as. tentang sujudnya para malaikat, di dalam tafsir Jalālain

dikatakan:

118
‫اًّل ِْْننَ ِاء‬
ِ ِ‫اج ِدين{ سجو ُد ََِتيَّ ِِ ب‬
ِ
ْ ُ ُ َ ْ ‫} فَ َقعُ ْوا لَوُ َس‬
Artinya:

“Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud (tafsirnya:


sujudnya malaikat disini adalah penghormatan dengan menundukkan
badan).”

Berkata Ibnu Taimiyah:

ِ ِِ ِِ ِ ِ ِ ‫وأ ََّما‬
ُ ‫صلَّى اهللُ َعلَْيو َو َسلَّ َم"أَن‬
‫َّه ْم‬ ّْ ِ‫ فَيَ ْن َهى َعْنوُ َك َما ِِف الت ّْْرمذي َع ِن الن‬:ِّ‫اًّل ْْننَاءُ عْن َد التَّحي‬
َ ‫َِّب‬ َ
ِ ِ ِ
َ‫الس ُج ْوَد ًَّل ََيُ ْوُز ف ْعلَوُ اًَّّل هلل‬
ُّ ‫ع َو‬ َ ‫الرُك ْو‬ َّ ‫ َو أل‬:"َ‫ ًّل‬:‫ال‬
ُّ ‫َن‬ َ َ‫َخاهُ يَْن َح َِن لَوُ؟ ق‬ َّ ‫َسأَلُوهُ َع ِن‬
َ ‫الر ُج ِل يَْل َقى أ‬
ِ َّ ِ‫َّحيَّ ِِ ِِف َغ ِْي َش ِري عتِنَا َكما ِِف ق‬ ِ ‫عَّز و ج َّل و اِ ْن َكا َن ى َذا علَى وج ِو الت‬
ُ‫(و َخُّرْوا لَو‬
َ ‫ف‬ َ ‫صِ يُ ْو ُس‬ ْ َ َْ ْ ْ َْ َ َ َ َ َ َ
.َ‫الس ُج ْوِد اًَِّّلاهلل‬
ُّ ‫صلُ ُح‬ ِ
ْ َ‫اي م ْن قَ ْب ِل) َو ِِف َش ِريْ َعتنَا ًَّل ي‬
ِ ‫ت ى َذا تَأْ ِويل رْؤي‬
َ َ ُ ُْ
ِ
َ َ‫ال يَا اَب‬ َ َ‫ُس َّج ًدا َو ق‬
ِ ِ ِ ‫ص‬ ِ ِ‫واملَر ُاد بِا ُّلرُك ْوِع النَّاق‬
ُّ ‫اًّل ِْْننَاء الَّذي ًَّل يَْب لُ َغ َح َّد‬
‫الرُك ْوِع‬
119

117
Ibnu al-„Arabī, Ahkāmu al-Qur‟ān, Juz V (t. Cet; t.t.p.: t.p., t.th.), h. 92.
118
Jalāluddīn al-Maḥalī dan Jalāluddīn al-Suyūṭī, Tafsir Jalālain (t. Cet; t.t.p.: Dār al-Fikr,
1981 M./1401 H.), h. 213.
119
Taqī al-Dīn Abu al-ʿAbbās Aḥmad bin ʿAbd al-Ḥalīm ibn ʿAbd al-Salām ibn Taimiyah
al-Ḥarrānī, Majmū‟ al-Fatāwā, Juz I (t. Cet; t.t.p.: al-Mamlakah al-Haramain, t.th), h. 277.
57

Artinya:

“Dan adapun Inḥinā‟ ketika memberi hormat: Maka dilarang


sebagaimana yang ada pada hadis Tirmiżi dari Nabi saw. mereka
bertanya tentang seseorang yang bertemu dengan saudaranya, apakah
dia harus membukkan badan? Maka Rasulullah saw. menjawab :
“Tidak”, dikarenakan ruku‟ dan sujud tidak boleh dilakukan kecuali
hanya kepada Allah swt. dan adapun sujud penghormatan itu boleh,
akan tetapi bukan dari syariat kita, sebagaimana pada cerita Nabi
Yusuf (Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada
Yusuf. Dan Nabi Yusuf berkata: “Wahai ayahku inilah ta‟bir mimpiku
yang dahulu itu) dan dalam syariat kita tidak dibenarkan sujud kepada
selain Allah.”
58

E. Kerangka Konseptual

“Hukum Tradisi Mappatabe‟


Pada Masyarakat Bugis Dalam Tinjauan Kaidah Al-„Ādah Muḥakkamah
(Studi Sosiologis di Desa Pitumpidange Kecamatan Libureng Kabupaten
Bone)

(X1) (X2) (X3)


Konsep kaidah Deskripsi Tradisi mappatabe‟
kubrā „al-„ādatu mappatabe‟ di desa dalam tinjauan
muḥakkamah” Pitumpidange sosiologis dan

sebagai salah satu kecamatan Libureng kaidah al-„ādah

landasan istinbāṭ kabupaten Bone muḥakkamah

hukum

(y)

Tradisi Mappatabe‟ dibolehkan dengan syarat bahwa tradisi ini tidak


dijadikan sebagai bentuk ibadah dan tidak sampai pada batas rukuk
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Lokasi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian ini adalah kualitatif. Penelitian kualitatif digunakan

untuk memaparkan gejala, fakta atau kejadian tentang tradisi mappatabe‟

ini dalam komunikasi non verbal kemudian mengkajinya dalam kaidah

al-„ādah muhakkamah.

2. Lokasi Penelitian

Berdasarkan judul penelitian ini, maka penelitian akaan dilakukan

di Desa Pitumpidange Kecamatan Libureng Kabupaten Bone.

B. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan adalah jenis pendekatan normatif dan sosiologis.

Pendekatan normatif adalah studi Islam yang memandang masalah dari sudut

legal formal atau normatif yaitu berhubungan dengan halal dan haram, boleh atau

tidak dan sejenisnya. Dengan demikian, pendekatan ini mempunyai cakupan yang

sangat luas. Sebab, seluruh pendekatan yang digunakan oleh ahli usul fiqh

(Usuliyyah), ahli hukum Islam (fuqaha), ahli tafsir (mufassirin) yang berusaha

menggali aspek legal formal dan ajaran Islam dari sumbernya termasuk dalam

pendekatan normatif.120 Adapun pendekatan sosiologis, dalam pendekatan ini

120
Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam (t. Cet; Jogjakarta: academica, 2010 M.),
h. 190.

59
dijelaskan perilaku sosial antara individu dengan individu lainnya ataupun dengan

kelompok.

Oleh karena itu, penelitian akan dilakukan dalam satu wilayah tertentu saja

yaitu di desa Pitumpidange kecamatan Libureng kabupaten Bone.

C. Sumber Data

Sumber data dan teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah:

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diambil dari lapangan. Adapun cara

mengumpulkan data primer yaitu dengan melakukan observasi, wawancara

begitupun dengan dokumentasi:

a. Observasi (pengamatan), pengamatan ini dilakukan untuk mengumpulkan data

terkait dengan tradisi mappatabe.

b. Wawancara, melakukan wawancara kepada informan tertentu dalam lapisan

masyarakat seperti orang tua, remaja dan tokoh adat. Wawancara ini dilakukan

secara langsung agar mendapat informasi yang lebih akurat untuk mendukung

penelitian ini.

2. Data Sekunder

Sumber data sekunder yaitu data yang dikumpulkan untuk melengkapi

data primer yang diambil dari studi kepustakaan maupun dokumentasi yang

terkait dengan penelitian ini. Data sekunder juga dapat diambil dari pemerintahan

setempat, seperti data kantor desa yang akan mendukung penelitian ini, data

sekunder juga berupa dokumentasi sebagai bukti pelaksanaan.

60
61

D. Metode Pengumpulan Data

Ada dua metode pengumpulan data yang digunakan yaitu:

1. Library Research

Library research yaitu mengumpulkan data melalui hasil bacaan maupun

literatur lain yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Data diambil dari

penelusuran bahan bacaan, seperti buku, jurnal, skripsi dan tesis yang berkaitan

dengan tradisi mappatabe‟. Hal tersebut dapat dilakukan melalui beberapa tahap

sebagai berikut:

a. Mendapatkan data dan informasi dengan mengumpulkan dan membaca

sejumlah literatur atau karya ilmiah yang berkaitan dengan al-„ādah

muḥakkamah sebagai sumber data.

b. Penelahan buku-buku yang telah dipilih kemudian mengadakan pemilahan

terhadap isi kitab yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.

c. Menerjemahkan isi kitab yang telah diseleksi ke dalam bahasa Indonesia

(apabila kitab tersebut berbahasa Arab). Adapun istilah teknis akademis

ditulis apa adanya dengan mengacu pada pedoman transliteri yang berlaku.

d. Menganalis data-data atau informasi yang telah dikumpulkan dengan

senantiasa mengacu pada fokus penelitian.121

2. Field Research

Yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengamati objek yang akan diteliti.

Pengamatan langsung ke lapangan untuk megamati objek tersebut untuk

mendapatkan data yang aktual.

121
Cik Hasan Bisri, Penelitian Kitab Fiqih (Cet. I; Bogor: Kencana, 2013 M.), h. 2.
62

Pengumpulan data di lokasi dilakukan dengan menggunakan teknik

sebagai berikut:

a. Observasi

Observasi merupakan studi yang dilakukan dengan sengaja dan sistematis

tentang fenomena atau kejadian sosial serta berbagai pengamatan

dan pencatatan.122

b. Wawancara

Wawancara adalah pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan

secara langsung kepada informan dan jawaban informan dicatat atau direkam

dengan alat perekam. Anggapan yang perlu dipegang dalam menggunakan

metode wawancara adalah sebagai berikut;

1) Bahwa apa yang dinyatakan oleh subjek kepada pewawancara adalah benar

dan dapat dipercaya.

2) Wawancara dimaksudkan untuk dapat memperoleh suatu data berupa

informan, selanjutnya informasi dapat dijabarkan lebih luas melalui

pengolahan data secara komprehensif.123

c. Dokumentasi

Dokumentasi dilakukan untuk memperkuat data hasil dari wawancara

dan observasi.

122
Kartono, Pengertian Observasi (t. Cet; Bandung: Alfabeta, t. th.), h. 142.
123
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif (t. Cet; Bandung: Alfabeta, t.th),
h. 138.
63

E. Penentuan Informan

1. Informan

Informan dalam penelitian adalah orang atau pelaku yang

mengetahui dan mengetahui seluk beluk dari praktik tradisi ini, serta

terlibat langsung dalam masalah penelitian. Informan akan membantu

penelitian untuk menggali informasi yang menjadi dasar dan rancangan

teori yang dibangun. Sedangkan jumlah informan pada penelitian ini,

penulis membatasinya sebanyak 10 orang.

2. Teknik Penentuan Informan

Pemilihan informan sebagai sumber data primer dalam penelitian

ini adalah berdasarkan pada asas subjek yang menguasai praktik tradisi,

hidup di tempat yang mempraktikkannya serta bersedia memberikan

informasi lengkap dan akurat. Informan yang bertindak sebagai sumber

data dan informasi harus memenuhi syarat.

Adapun kriteria-kriteria penentuan informan kunci (key informan)

yang tepat, dalam pemberian informasi yang tepat dan akurat mengenai

tradisi mappatabe‟ adalah sebagai berikut:

a. Tokoh adat

b. Tokoh agama

c. Orang yang mempunyai keturunan „Andi‟

d. Kepala desa Pitumpidange kecamatan Libureng kabupaten Bone

e. Warga masyarakat desa Pitumpidange kecamatan Libureng kabupaten Bone


64

F. Instrumen Penelitian

Peneliti merupakan instrument inti dalam penelitian ini. Adapun alat yang

digunakan dalam observasi adalah:

1. Alat tulis menulis, seperti buku, pulpen sebagai alat untuk mencatat

informasi yang didapatkan dari informan pada saat wawancara.

2. Pedoman wawancara, digunakan ketika berada di lokasi wawancara.

3. Dokumentasi berupa kamera dan alat perekam untuk mengambil gambar

di lapangan dan merekam suara dari informan pada saat penelitian atau

pun pada saat observasi.

G. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah diperoleh di lapangan, selanjutnya diolah dan dianalisis

melalui langkah-langkah sebagai berikut:

1. Reduksi Data (Data Reduction)

Reduksi data diperlukan untuk melakukan proses pemilihan atau

pemilahan, fokus dalam penyederhanaan, pengabstrakkan dan

transformasi data kasar yang mucul dari catatan-catatan terrtulis

di lapangan, reduksi dilakukan terus-menerus selama dalam konteks

penelitian.

2. Analisis Perbandingan (Komparatif)

Peneliti mengkaji data yang telah diperoleh dari lapangan secara

sistematis dan mendalam, kemudian membandingkan satu data dengan

data yang lainnya sebelum menarik sebuah kesimpulan.


65

3. Penarikan Kesimpulan (Conclusion drawing/verification)

Setelah data dikumpulkan, maka dilakukan penarikan kesimpulan

dengan menyederhanakan kalimat, alur sebab-akibat yang menjadi inti

pembahasan dalam penelitian berdasarkan data yang diperoleh selama

berada di lapangan. Kesimpulan yang telah ditarik dari penelitian

lapangan akan dihubungkan ke dalam kaidah al-„adah al-muhakkamah

untuk mengetahui hukum dari tradisi tersebut.

H. Pengujian Keabsahan Data

Keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik

triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan

sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau pembanding

terhadap data itu.124 Tringulasi yang digunakan pada penelitian ini adalah

tringulasi sumber data, yang dilakukan dari data wawancara dan observasi, serta

dokumentasi yang berupa rekaman dan gambar. Pengambilan data diambil dari

berbagai sumber dan dianggap valid jika jawaban sumber data sesuai dengan

jawaban sumber lainnya.

124
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (t. Cet; Bandung: Remaja Rosdakarya,
2009 M.), h. 330.
BAB IV

TRADISI MAPPATABE‟
DALAM KERANGKA KAIDAH AL-‘ĀDAH MUḤAKKAMAH

A. Gambaran Umum Daerah Penelitian

1. Kabupaten Bone

a. Letak Geografis dan Iklim125

Kabupaten Bone merupakan salah satu kabupaten yang terletak

di pesisir Timur Provinsi Sulawesi Selatan dan berjarak sekitar 174 km dari

kota Makassar. Luas wilayahnya sekitar 4.559 km2 atau 9,78 persen dari

luas Provinsi Sulawesi Selatan. Wilayah yang besar ini terbagi menjadi 27

kecamatan dan 372 desa/kelurahan. Ibukota Kabupaten Bone adalah

Watampone. Secara geografis Kabupaten Bone berbatasan dengan

wilayah- wilayah berikut:

Utara : Kabupaten Wajo dan Soppeng

Timur : Teluk Bone

Selatan : Kabupaten Sinjai dan Gowa

Barat : Kabupaten Maros, Pangkep, Barru.

125
Pemerintah Kabupaten Bone, “Geografi dan Iklim”, Websute Resmi Pemerintah
Kabupaten Bone, https://bone.go.id/2013/04/26/geografi-dan-iklim/ (19 Mei 2018).

66
67

Secara astronomis Kabupaten Bone terletak pada posisi 4°13‟ – 5°6‟

Lintang Selatan dan antara 119°42‟-120°30‟ Bujur Timur. Letaknya yang

dekat dengan garis khatulistiwa menjadikan Kabupaten Bone beriklim tropis

. Sepanjang tahun 2014, kelembaban udara berkisar antara 77–86 persen

dengan suhu udara 24,4°C-27,6°C.

Wilayah Kabupaten Bone terbagi menjadi dua tipe hujan: tipe

hujan Monsoon dan tipe hujan lokal. Tipe hujan Monsoon memiliki

curah hujan tertinggi saat bertiup angin monsun Asia yaitu bulan

Januari dan Februari. Tipe ini mencakup wilayah Kabupaten Bone bagian

barat. Tipe kedua memiliki kriteria pola hujan terbalik dengan pola monsoon,

yaitu curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Mei-Juni. Tipe ini mencakup

sebagian besar wilayah Kabupaten Bone.

Selain kedua wilayah tersebut, terdapat juga wilayah peralihan, yaitu

Kecamatan Bontocani dan Kecamatan Libureng yang sebagian mengikuti

wilayah Barat dan sebagian lagi mengikuti wilayah timur. Jumlah curah

hujan bulanan di Wilayah Bone bervariasi dengan rata-rata tahunan sebesar

201,25 mm. Curah hujan tertinggi terjadi di bulan Juni yaitu 638 mm dengan

banyaknya hari hujan sebanyak 23 hari. Bagian Timur Kabupaten Bone

bertopografi pesisir menjadikan Bone mempunyai garis pantai sepanjang 138

km dari arah selatan ke utara. Bagian barat dan selatan terdapat pegunungan

dan perbukitan yang celahnya terdapat aliran sungai. Pada tahun 2014,

tercatat 194 sungai mengalir di Kabupaten Bone dan telah dimanfaatkan

untuk kegiatan pertanian. Sungai yang terpanjang adalah Sungai Walanae


68

yang berhulu di Kecamatan Bontocani, mengalir melalui Kabupaten Soppeng

hingga Danau Tempe di Kabupaten Wajo, kemudian mengalir lagi masuk

ke Bone hingga bermuara di Teluk Bone. Panjang sungai tersebut mencapai

60 km khusus di wilayah Kabupaten Bone.

b. Keagamaan126

Masyarakat Kabupaten Bone, sebagaimana masyarakat kabupaten

lainnya di Provinsi Sulawesi Selatan pada umumnya, merupakan pemeluk

Agama Islam yang taat, kehidupan mereka selalu diwarnai oleh keadaan yang

serba Religius. Kondisi ini ditunjukkan dengan banyaknya tempat-tempat

ibadah dan Pendidikan Agama Islam. Sekalipun demikian Penduduk

Kabupaten Bone yang mayoritas pemeluk agama Islam, tetapi di kota

Watampone juga ada Gereja dalam arti pemeluk agama lain cukup leluasa

untuk menunaikan ibadahnya.

Keadaan ini memberikan dampak yang positif terhadap kehidupan

keagamaan karena mereka saling hormat menghormati dan menghargai satu

dengan lainnya. Di samping itu peran pemuka agama teruatama para alim

ulama sangat dominan dalam kehidupan keagamaan bahkan alim ulama

merupakan figur kharismatik yang menjadi panutan masyarakat.

Dari sisi agama, mayoritas penduduk Kabupaten Bone beragama

Islam menurut catatan Kementerian Agama Kabupaten Bone. Dengan

mayoritas penduduk Kabupaten Bone beragama Islam, diikuti juga

126
Pemerintah Kabupaten Bone, “Agama, Adat, Budaya, Pendidikan dan Kesehatan
di Kabupaten Bone”, Website Resmi Pemerintah Kabupaten Bone,
https://bone.go.id/2013/04/25/agama-adat-budaya-pendidikan-dan-kesehatan-di-kabupaten-bone/
(19 Mei 2018).
69

dengan jumlah tempat peribadatan untuk agama Islam yaitu total 1.223

Masjid dan 305 Mushola. Untuk jumlah Jemaah haji di Kabupaten Bone

tahun 2015 adalah 599 jemaah.

2. Profil Desa Pitumpidange Kecamatan Libureng

Desa Pitumpidange adalah sebuah desa yang terdapat

di Kecamatan Libureng Kabupaten Bone. Sebuah desa yang dipimpin

oleh Bapak Andi Muhammad Amran, ST. MSP.

a. Letak Geografis

Desa Pitumpidange adalah salah satu dari 20 kecamatan yang ada

di Kecamatan Libureng. Sedangkan Kecamatan Libureng adalah salah satu

dari 27 kecamatan di Kabupaten Bone.

Desa Pitumpidange mempunyai luas wilayah 20,29 km2. Berada

di antara 2 desa yaitu desa Polewali dan desa Laccibunge. Berdasarkan sistem

database desa dan kelurahan desa Pitumpidange Kecamatan Libureng

Kabupaten Bone 2016, desa ini terbagi atas 4 dusun, yaitu: dusun Parigi, dusun

Bone-bone, dusun Samaenre dan dusun Pattiro.

1). Data Potensi Desa

Potensi desa merupakan segala sumber daya alam maupun

sumber daya manusia yang masih digunakan dalam desa ini. Potensi desa

ini digunakan untuk kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Adapun

potensi desa ini adalah:


71

Tabel II

Data Potensi Desa


No. Data Potensi Desa Keterangan
1. Sarana Peribadatan 5 Masjid
1 Puskesmas
Sarana dan Prasarana
2. 1 Pustu
Kesehatan
3 Posyandu
4 TK/RA
3 SD/MI
3. Sarana Pendidikan 1 SMP/MTs
1 SMA/SM/SMK
1 Taman Bacaan
9 Lapangan Olahraga
4. Sarana Umum Lainnya 3 Tempat Sampah Umum

Sumber Data: Buku Saku Sistem Database Desa 2016

2). Data Penduduk

Desa ini bukanlah termasuk desa yang sangat padat, hal ini

ditunjukkan dengan banyaknya tanah kosong dan tidak dibanguni

bangunan. Dengan demikian, masyarakat ini memanfaatkannya dengan

menanam berbagai jenis tumbuhan seperti sayur, pohon tebu, bunga dan

lain lain. Sebagian lainnya dijadikan sebagai tempat mengembala ternak.

Secara umum, masyarakat pada desa ini memiliki profesi

sebagai petani dan peternak. Sehingga tidak heran jika setiap rumah

memiliki sawah sendiri, yang diolah untuk menjaga kelangsungan hidup.

Hal unik lainnya adalah ketika acara pernikahan, jamuan yang dihidangkan

untuk tamu adalah daging sapi, beda halnya di kota Makassar ini. Hal ini

menandakan bahwa perekonomian di desa ini adalah menengah ke atas,

adapun perekonomian rendah hanyalah sebagian kecil. Jumlah penduduk

serta perekonomian desa ini adalah:


71

Tabel III

Data Penduduk
No. Data Penduduk Keterangan
1. Berdasarkan Jenis 710 Laki-laki
Kelamin 738 Perempuan
Total 1,448 orang
2. Jumlah Kepala Rumah 300 Laki-laki
Tangga berdasarkan Jenis 43 Perempuan
Kelamin Total 343 Kepala Rumah Tangga
3. Status Kepemilikan 253 Rumah Milik Sendiri
Rumah 90 Numpang
4. Status Kepemilikan Sawah 173 Milik Sendiri
Kepala Keluarga
5. Kepemilikan Hewan 207 Sapi/Kerbau
Ternak berdasarkan 2 Kambing
Kepala Keluarga 6 Itik
192 Ayam
6. Kepemilikan Kendaraan 19 Mobil
berdasarkan Kepala 234 Motor
Keluarga 45 Mobil & Motor
1 Motor & Sepeda
7. Penduduk Berdasarkan 120 Petani
Pekerjaan 139 Pedagang/Wirawasta/Sopir
(Usia 10 tahun ke atas) 48 PNS/TNI//POLRI
141 Karyawan Perusahaan/Swasta
47 Tenaga Kontrak/Sukarela
14 Buruh/Tenaga Lepas
25 Pensiunan
11 Aparat Pemerintah Non PNS
539 Tidak Bekerja
Total 1,084
Sumber Data: Buku Saku Sistem Database Desa 2016
72

Tabel IV

Penduduk Berdasarkan Umur


No. Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah
1. 0-4 Tahun 35 33 68
2. 5-9 Tahun 64 58 122
3. 10-14 Tahun 71 75 146
4. 15-19 Tahun 83 60 143
5. 20-24 Tahun 62 68 130
6. 25-29 Tahun 52 55 107
7. 30-34 Tahun 37 44 81
8. 35-39 Tahun 34 34 68
9. 40-44 Tahun 45 62 107
10. 45-49 Tahun 56 66 122
11. 50-54 Tahun 69 64 133
12. 55-59 Tahun 40 49 89
13. 60-64 Tahun 27 25 52
14. 65> Tahun 35 45 80
Total 710 738 1,448
Sumber Data: Buku Saku Sistem Database Desa 2016

Berdasarkan tabel di atas, maka jumlah kelahiran

dan pertumbuhan anak di desa Pitumpidange yaitu, umur 0-4 sebanyak

68 terdiri dari 35 laki-laki dan 33 perempuan, umur 5-9 sebanyak 122

terdiri dari 64 laki-laki dan 58 perempuan, umur 10-14 sebanyak 146

terdiri dari 71 laki-laki dan 75 perempuan, umur 15-19 sebanyak 143

terdiri dari 83 laki-laki dan 60 perempuan, umur 20-24 sebanyak 130

terdiri dari 62 laki-laki dan 68 perempuan. Sedangkan jumlah paruh baya

yaitu umur 60> sebanyak 132 terdiri dari 62 laki-laki dan 70 perempuan.

Dapat disimpulkan bahwa angka kelahiran lebih banyak daripada angka

kematian.
73

B. Mappatabe’ Dalam Tinjauan Sosiologis Masyarakat Desa Pitumpidange

1. Pemahaman Masyarakat Tentang Tradisi Mappatabe‟

Mappatabe‟ menurut masyarakat Bugis Bone terkhusus desa

Pitumpidange adalah sebuah bentuk kesopanan, tata krama, bentuk permisi,

tanda rendah hati, tanda penghormatan kepada sesama serta tanda kemuliaan

yang dipraktekkan dengan gerakan badan dan tangan. Tradisi ini lahir dari

kesadaran individu yang diajarkan dari nenek moyang yang mencakup

hubungan antara individu dengan invividu maupun individu dengan

kelompok.

Hj. Andi Hasbah mengatakan:

“Mappatabe adalah tata krama, tanda rendah hati, penghormatan


kepada saudara kita, tanda kemuliaan seseorang karena tau manue
de‟naissengngitu mappatabe‟, tidak semua orang bisa mappatabe‟,
yang tidak ada ilmu-ilmunya dia tidak tau mappatabe‟, berarti itu
menandakan kemuliaan seseorang. Terus, itu menandakan juga
orang ini mengerti tentang tata krama dan sopan santun”.127

Mappatabe‟ juga berarti sikap menghargai ketika seseorang akan

lewat dihadapannya dan ketika meminta sesuatu.

Seperti yang dikatakan ole ibu Fatmawati:

“Tradisi mappatabe‟ itu kan menghargai, misalnya ada orang


duduk-duduk kita mau lewat, jadi kita mappatabe‟, menghargai
orang yang mau kita lewati”.128

2. Penerapan Tradisi Mappatabe‟

Mappatabe‟ adalah tradisi yang sudah umum di kalangan

masyarakat Bugis, bukan tradisi yang dilakukan oleh sekelompok kecil

127
Andi Hasbah (57 tahun), Guru SMA Negeri 11 Bone, Wawancara, Pitumpidange,
15 Mei 2018 M.
128
Fatmawati (45 tahun), Penjahit, Wawancara, Pitumpidange, 14 Mei 2018 M.
74

kaum saja. Sehingga tradisi ini sangat mudah didapatkan dalam kehidupan

sehari-hari. Bahkan orang selain Bugis setelah berbaur dengan masyarakat

Bugis, ikut menerapkan mappatabe‟ ini. Apalagi masyarakat desa

Pitumpidange merupakan suku asli Bugis. Maka hal ini sudah menjadi

keharusan dalam mempraktikkannya. Namun, praktik tradisi ini hanya

secara umum karena masih ada orang yang tidak mempraktikkannya,

disebabkan karena orang tua yang yang tidak mengajarkannya atau tidak

mendidik anaknya dengan baik.

Seperti yang dikatakan oleh Ibu Andi Nuraeni:

“De‟ engkameto mappatabe, engkameto dena‟, tau mengertie


bangsa idi‟, kalau iya mukki dipasa‟e kalo elokka jekka mappatabe
metoa”.129

Beliau mengatakan bahwa tidak semua orang mempraktikkan tradisi

ini, ada yang mempraktikkannya, ada juga yang tidak. Adapun orang yang

mengerti, maka sudah tentu kalau dia akan mempraktikkannya. Adapun ibu

ini, beliau mappatabe‟ dimana pun bahkan ketika di pasar, ketika akan

lewat, pasti mappatabe‟, baik kepada orang yang dikenal ataupun tidak.

Beda halnya yang dikatakan oleh Bapak Andi Muhammad Amran:

“Sebenarnya ini tidak diterapkan, cuma bersifat sebagai


penghormatan, menghargai yang tua daripada kita karena kalau
tradisi itu harus menyeluruh orang yang lakukan itu, padahal ini kan
ya anak-anak yang bandel ini tidak ada ini pokoknya”.130

129
Andi Nuraeni (55 tahun), Tokoh Adat, Wawancara, Pitumpidange, 14 Mei 2018 M.
130
Andi Muhammad Amran (46 tahun), Kepala Desa Pitumpidange, Wawancara,
Pitumpidange, 16 Mei 2018 M.
75

Adapun Ibu Fatmawati beliau mengatakan:

“Dipraktikkan, maksudnya karena ini kan kita menghargai orang,


secara umum”.131

Dari ketiga argument di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum

mappatabe‟ ini dipraktikkan oleh masyarakat desa Pitumpidange. Adapun

yang tidak mempraktikkannya hanyalah sebagian kecil atau minoritas.

Berbagai macam faktor dapat mengakibatkan hal ini, seperti anak yang tidak

mendapatkan didikan dari orang tua, adanya pendatang dan menetap di desa

ini. Sehingga hal ini sangat mempengaruhi, karena bentuk penghormatan

di setiap wilayah berbeda-beda tergantung dari „urf masing-masing.

Mappatabe‟ dilakukan bukan hanya pada lingkungan keluarga saja

namun kepada siapa saja baik yang dikenal maupun tidak. Mappatabe‟

terlebih dahulu dipraktikkan di keluarga, hal ini sebagai contoh kepada

anak-anak, kemudian dipraktikkan di masyarakat secara umum. Di sinilah

bentuk persamaan antara sesama manusia, tidak membeda-bedakan satu

dengan lainnya. Tidak melihat dari golongan bangsawan ataupun darahnya.

Ibu Masnia mengatakan:

“Bagusnya di masyarakat umum karena itu mappatabe‟ menandakan


kalau kita menghargai semua orang, bukan hanya di lingkungan
keluarga. Namun, di lingkungan keluarga harus diterapkan lagi pada
anak-anak karena itu anak-anak harus diberikan contoh yang baik
karena kalau kita tidak memberikan contoh, bagaimana nanti kalau
dia sudah besar ataupun dia keluar dari lingkungan keluarga”.132

Tradisi ini tidak memiliki waktu dan tempat khusus ketika

dilakukan. Setiap saat dan kapan saja dapat dilakukan. Ketika meminta

131
Fatmawati (45 tahun), Penjahit, Wawancara, Pitumpidange, 14 Mei 2018 M.
132
Masnia (37 tahun), Ibu Rumah Tangga, Wawancara, Pitumpidange, 14 Mei 2018 M.
76

sesuatu, tidak langsung menyuruh orang lain, namun ada sikap tabe‟

terlebih dahulu ataupun ketika lewat dihadapan orang lain. Terlebih lagi

ketika ada acara formal.

Sebagaimana yang dikatakan oleh bapak Andi Muhammad Amran:

“Ini kan tidak ada tempatnya, kuncinya disini, asal lebih tua dari
kita, maka kita harus mappatabe‟, yang jelas pada saat kita
ketemu-ketemu apalagi kalau ada orang yang lebih tua dari kita mau
lewat, seperti itu tidak ada tempat tertentu bahwa dilakukan ini
tradisi, tidak ada. Misalnya pesta adat, tidak ada disini. Kapan dan
dimana dikondisikan mami, tapi bukan misalnya orang duduk-duduk
saja. Misalnya, memberikan informasi seperti kita ini dengan saya
„tabe‟ ta desa‟ seperti itu gambarannya”.133

Tradisi ini tidak berlaku dari anak ke orang tua saja namun orangtua

ke anak juga, walaupun hal ini tidak diwajibkan. Seorang anak mulai

diajarkan sejak kanak-kanak, bahkan ada yang mengajarkan anaknya sejak

ia mulai dapat berbicara ataupun jalan (sekitar umur 1 tahun). Seorang anak

yang pandai mappatabe‟ sejak kecil memiliki pencitraan tersendiri terhadap

orangtuanya, secara spontan orangtua akan merasa bangga dengan anaknya.

Sehingga, ketika anak tumbuh dewasa dan tidak bersikap tabe‟ maka

orangtua akan merasa malu, terpukul dan langsung menegurnya baik secara

langsung ataupun tidak langsung juga dengan kode.

Sebagaimana ibu Hapsawati mengatakan:

“Perasaan kayaknya sedikit terpukul, baru malu, malu juga perasaan


kalau dia lewat begitu saja tanpa mappatabe”.134
Ibu Fatmawati juga mengatakan:

“Kalau saya, saya akan menegur, menegur supaya anak saya tahu
sopan santun sedikit lah, setidaknya mappatabe‟ kalau mau lewat
133
Andi Muhammad Amran (46 tahun), Kepala Desa Pitumpidange, Wawancara,
Pitumpidange, 16 Mei 2018 M.
134
Hapsawati (42 tahun), Guru TK, Wawancara, Pitumpidange, 14 Mei 2018 M.
77

di depan, „kalau begitu nak, jangan lagi begitu di nak! Tabe-tabe-ki


kalau ada orang yang kita mau lewat di depannya kita tabe-tabe, kita
permisi di depannya orang, kita hargai juga orang”.135

Lain halnya yang dikatakan oleh ibu Hj. Andi Hasbah:

“Saya anu nanti, tapi nanti lewat pi orang baru saya kasi tau, nak itu
kelakuanta jelek, tidak baik, jangan begitu, itu salah jangan diulangi.
Saya kasi tau begitu tidak mungkin langsung kucubit di situ,
tidak”.136

Masyarakat desa pitumpidange, tidak ada yang mengetahui asal-usul

mappatabe‟ ini secara jelas dan pasti kecuali dengan berbagai kemungkinan

saja. Hal ini dikarenakan tradisi ini sudah ada sejak dahulu kala dan terus

diwariskan dari generasi ke generasi dari segi praktik saja.

Sebagaimana yang dikatakan oleh ibu Hapsawati:

“Tidak, kalau dulu itu katanya, misalnya dulu kan orang terlalu
meninggikan derajat seperti bangsawan. Disitu kayaknya mulai dia
mengajarkan kepada anak-anak mappatabe‟ karena kalau orang dulu
kan takut semua pada kerajaan begitu mungkin asal-usulnya karena
itu yang paling saya lihat rata-rata, yang paling kencang itu tradisi
yang keturunan darah nigrat dulu mulainya akhirnya memasyarakat
mi kalau menghargai sesama dengan mappatabe”.137

3. Bentuk-bentuk Mappatabe‟

Mappatabe‟ dibagi atas dua bentuk:

a. Mappatabe‟ Dalam Bentuk Perkataan

Mappatabe‟ dalam bentuk perkataan adalah bentuk permisi,

permohonan maaf dan bantuan kepada orang lain. Seperti, ketika ada orang

yang berdiri di depan pintu kemudian seseorang akan lewat, maka orang

tersebut akan mengucapkan tabe‟ ketika akan melewati orang yang berdiri

135
Fatmawati (45 tahun), Penjahit, Wawancara, Pitumpidange, 14 Mei 2018 M.
136
Andi Hasbah (57 tahun), Guru SMA Negeri 11 Bone, Wawancara, Pitumpidange,
15 Mei 2018 M.
137
Hapsawati (42 tahun), Guru TK, Wawancara, Pitumpidange, 14 Mei 2018 M.
78

di depan pintu tersebut. Sikap seperti ini dilakukan tanpa sikap

membukkukkan badan.

b. Mappatabe‟ Dalam Bentuk Perkataan dan Perbuatan

Mappatabe‟ seperti ini, umumnya dilakukan ketika akan melewati

seseorang ataupun sekelompok orang. Dilakukan dengan membungkukkan

badan sedikit sambil menjulurkan salah satu tangan ke bawah sambil

mngucapkan tabe‟ (permisi). Sebagian besar masyarakat di desa ini

mengharuskan membukkukkan badan sekitar 5-25 derajat yang penting

menunduk sedikit dan tidak sampai rukuk. Tergantung dari orang yang

mempraktikkannya.

Seperti yang dikatakan oleh ibu Fatmawati:

“Yang penting membungkukkan badan, biar cuma 10 derajat saja


yang penting agak membungkuk, bisa juga 5 derajat saja, yang
penting ada walaupun hanya kepala saja yang menunduk”.138

Lain halnya yang dikatakan oleh ibu Andi Lilis Sri Alam yang

merupakan salah satu tokoh agama di desa ini:

“Ya, kalau yang saya ajarkan pada anak-anak saya tidak. Saya tidak
mengajarkan untuk membukkukkan badan, ya sekedar mengatakan
tabe‟ saya mau lewat dulu! Kalau orangtua kita kan mengajarkan
seperti itu menundukkan sedikit badan. Kalau tangan tetap ya ada
sedikit gerakan tangan tapi tetap tidak membungkukkan badan”.139

C. Mappatabe’ Dalam Kerangka al-‘Ādah Muḥakkamah

Kaidah al-„adah muhakkamah adalah sebuah kaidah fiqh yang

dijadikan sebagai sandaran hukum diperbolehkannya adat atau tradisi ketika

tidak bertentangan dengan syariat.


138
Fatmawati (45 tahun), Penjahit, Wawancara, Pitumpidange, 14 Mei 2018 M.
139
Andi Lilis Sri Alam (43 tahun), Tokoh Agama, Wawancara, Pitumpidange, 15 Mei
2018 M.
79

Tradisi mappatabe‟ termasuk dalam „urf khās (khusus) yaitu „urf yang

berlaku pada daerah tertentu dan tidak menyeluruh di setiap wilayah muslim.

Tabel V

Tinjauan Kaidah dalam Tradisi Mappatabe‟


Tradisi Mappatabe‟
No. Syarat „Urf
Bentuk Ucapan Bentuk Perbuatan
Urf tersebut berlaku
1. Berlaku secara umum
umum
„Urf yang
bertentangan
dengan dalil
syar‟ī yaitu „Urf
Tidak bertentangan
„Urf yang selaras yang berbenturan
2. dengan naṣ syar‟ī
dengan nash syar‟i dengan dalil
dalam sebagian
permasalahannya
saja.

„Urf sudah berlaku sejak


3. lama, bukan sebuah „urf Berlaku sejak lama
yang baru terjadi
Tidak berbenturan Tidak berbenturan Perbedaan
4.
dengan taṣrīḥ dengan taṣrīḥ pendapat
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat

ditarik adalah:

1. Al-Qawā‟id al-Fiqhiyyah adalah sebuah kaidah yang menjelaskan tentang

hukum-hukum secara umum. Salah satu dari kaidah fiqh ini adalah kaidah

al-ādah muḥakkamah. Kaidah al-„ādah muḥakkamah adalah sebuah adat

kebiasaan dan „urf yang dapat dijadikan sebagai sandaran untuk

menetapkan hukum syariat apabila tidak terdapat naṣ atau lafaz ṣarīh

(tegas) yang bertentangan dengannya. Adapun syarat „urf yang dapat

dijadikan sebagai sandaran hukum adalah:

a. „Urf tersebut berlaku umum

b. Tidak bertentangan dengan naṣ syar‟ī

c. „Urf sudah berlaku sejak lama, bukan sebuah „urf baru terjadi

d. Tidak berbenturan dengan taṣrīḥ

Jika „urf pada suatu masyarakat sesuai dengan syarat tersebut maka

„urf tersebut dapat dijadikan sebagai sandaran hukum atau dipraktikkan dalam

kehidupan sehari-hari.

80
2. Mappatabe‟ menurut masyarakat Bugis Bone terkhusus desa Pitumpidange

adalah sebuah bentuk kesopanan, tata krama, bentuk permisi, tanda rendah

hati, tanda penghormatan kepada sesama serta tanda kemuliaan yang

dipraktekkan dengan gerakan badan dan tangan.

3. Tradisi mappatabe‟ jika ditinjau dari 2 aspek:

a. Tradisi mappatabe‟ dalam tinjauan sosiologis adalah sebuah sikap

menghormati antara satu dengan yang lainnya. Manusia adalah makhluk

sosial yang tidak bisa hidup sendiri sehingga rasa saling menghormati sangat

dibutuhkan demi, terciptanya kerukunan warga.

b. Tradisi mappatabe‟ dalam tinjauan kaidah al-ādah muḥakkamah.

Mappatabe‟ dalam bentuk ucapan adalah hal yang dapat dijadikan sebagai

sandaran hukum. Adapun Mappatabe‟ dalam bentuk ucapan dan perbuatan

maka hal ini juga diperbolehkan selama tidak dijadikan sebagai ibadah.

B. Saran Penelitian

Saran untuk masyarakat desa Pitumpidange, agar senantiasa menjaga

nilai tabe‟ dan tetap mengajarkannya kepada generasi selanjutnya dan lebih

utama jika sikap membungkukkan badan dihilangkan dan dicukupkan dengan

sikap tabe‟ dalam bentuk perbuatan.

81
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur‟an al-Karim

Al-„Arabī, Ibnu, Ahkāmu al-Qur‟ān, Juz V. t. Cet; t.t.p.: t.p., t.th.

Al-„Ainī, Badruddīn. Umdatu al-Qārī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Juz XIII. Cet. I;
Beirut: Dārul Kutub al-Ilmiyyah, 1421 H./2001 M.

Al-Albānī, Muḥammad Nāṣiruddīn. al-Ḥadīs al-Saḥīḥah: wa Syaiun min fiqhiha


wa Fawāidihā, Juz II. t. Cet; Riyad: Maktabah al-Ma‟ārif,
1415 H./1995 M.

Al-Aṣfahānī, al-Rāgib. al-Mufradāt fī Garīb al-Qur‟ān. Mesir: Musṭafā al-Bābī


al-Halabi, 1961 M.

Al-Asqalānī, Ibnu Ḥājar. Fatḥ al-Bāri‟ bisyarḥi Ṣahīh al-Bukhārī, Juz V. Cet. I;
Riyad: t.p, 1421 H./2001 M.

Al-Baihaqī, Abū Bakr Aḥmad bin al-Ḥusain bin „Alī. Sunan al-Kubrā, Juz VI.
Cet. I; Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1352 H.

_______Sunan al-Kubrā, Juz II. Cet. III; Beirut: Dār Kutub al-Ilmiyyah,
1424 H./2003 M.

Al-Bukhārī, Abū Abdillāh Muḥammad bin Ismā‟īl. al-Jāmi‟ al-Ṣahīh, Juz I.


Cet. I; Qahirah: al-Salafiyyah, 1400 H.

_______. al-Jāmi‟ al-Ṣahīh, Juz IV. Cet. II; t.t.p.: t.p, 1398 H/1978 M.

_______. al-Jami‟ al-Sahih, Juz II. Cet. I; Qahirah: al-Salafiyyah


wa Maktabatuhā, 1403 H.

_______. Ṣaḥīh al-Bukhārī, Juz VII. Beirut: Dār Ibnu Kaṡīr, 1987 H.

Al-Burnū, Muḥammad Ṣidq bin Aḥmad bin Muḥammad. al-Wajīz fī Īḍāḥi


qawa‟id al-Fiqh al-kulliyyah. Cet. V; Beirut: Al-Resalah Publishers,
1422 H./2002 M.
_______. al-Wajīz fī Syarḥi al-Qawā‟id al-Fiqhiyyah fi al-Syarī‟ah al-Islamiyyah,
Terj. Muhyiddin Mas Rida Lc, Al-Wajīz 100 Kaidah Fikih dalam
Kehidupan Sehari-hari. Cet. III; Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar,
2015 M.
Al-Harrānī, Taqī‟ al-Dīn Abū al-Abbās bin Abd al-Salām bin Taimiyah. Majmu‟
al-Fatāwā, Juz XXIX. t. Cet; Riyad: Mathba‟ah Riyad, 1381 H.

82
83

_______. Majmū‟ al-Fatāwā, Juz I. t. Cet; t.t.p.: al-Mamlakah al-Haramain, t.th.

Al-Jurjānī. Kitābu al-Ta‟rīfāt. T. Cet; Beirut: Maktabah Lebanon, 1985 M.

Allan, Ibnu. Dalīlu al-Fālihīn li Ṭuruqi Riyāḍu al-Ṣālihīn, Juz VI. t. Cet; Libanon:
Dārul Kitab, t.th.

Al-Maḥalī, Jalāluddīn dan Jalāluddīn al-Suyūṭī. Tafsir Jalālain. t. Cet; t.t.p.:


Dār al-Fikr, 1981 M./1401 H.

Al-Maqdīsī, Ibnu Mufliḥ. al-„Ādāb al-Syar‟iyah, Juz II. t. Cet; t.t.p.: t.p., t.th.

Al-Mubārakfūrī, Abū al-„Ulā Muḥammad. Tuḥfatul Aḥważī, Juz VII. t. Cet; t.t.p.:
Dār al-Fikr, t.th.

Al-Munāwī. Faiḍul Qādir Syarḥ al-Jamī‟ al-Ṣagīr, Juz VI. Cet. II; Beirut:
Dār al-Ma‟rifah, 1391 H./1972 M.

Al-Nadawī, Alī Aḥmad. al-Qawā‟id al-Fiqhiyyah. Damaskus: Dār al-Qalam, tth.

Al-Nawawī, Abū Zakariyyā. al-Majmū‟, Juz IV. t. Cet; t.t.p.: al-Mamlakah


al-„Arabiyah, t.th.
Al-Qazwainī, Abū „Abdillāh Muḥammad Ibn Yazīd. Sunan Ibnu Mājah. t. Cet;
Juz II: Semarang: Thoha Putera, t.h.
_______. Sunan Ibnu Mājah. Cet. I; Riyad: Maktabah al-Ma‟ārif, 1417 H.

Al-Razzāq, Abdu, Muṣannaf, Juz IV. Cet. I; Beirut: Majelis al-„Ilmi,


1391 H./1972 M.

Al-Sidawi, Abū Ubaidah Yusuf bin Mukhtar. Pengantar kaidah fikih. t. Cet;
t.t.p.,t.p., 1437 H./2005 M.

Al-Sijistānī, Abū Dāwud Sulaimān bin al-Asy‟aṡ. Sunan Abī Dāwud, Juz IV.
t. Cet; t.t.p.: Dār al-Fikr, t.th

Al-Syaqawī, Amīn bin Abdullāh. Ḥusnul Khuluq (Berakhlak Mullia).


terj. Muzaffar Zahidu, t. Cet; t.t.p.: t.p, 2009 M.

Al-Taftāzānī. al-Tahwīh „alā al-Tauḍīh, Juz I. Mesir: Maṭba‟ah Syan


al-ḥurriyyah, t.th.

Al-Tirmiżī , Muḥammad bin „Īsā bin Saurah bin Mūsā bin al-Ḍaḥḥak al-Sulami.
al-Jāmi‟ al-Ṣahīh, Juz 4. t. Cet; Semarang: Thoha Putera, t.th.

Andiko, Toha. Ilmu Qawa‟id Fiqhiyyah. Cet. I; Yogyakarta: Teras, 2011 M.


84

Aryanto, Ferdiansyah. “al-Jawāmi‟ al-Kalim”, Blog Ferdiansyah Aryanto.


http://pusatbukusunnah.com/blog/al-jawamiul-kaliim/ (23 April 2018).

Azhari, Fathurrahman. Qawa‟id Fiqhiyyah Muamalah. Cet. I; Banjarmasin:


Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU), 2015 M.

Bisri, Cik Hasan. Penelitian Kitab Fiqih. Cet. I; Bogor: Kencana, 2013 M.

Departemen Wakaf dan Urusan Islam Kuwait. Al-Mausū‟ah al-Fiqhiyyah


al-Kuwaitiyyah, Juz VI. Cet. II; Kuwait: Daulah al-Kuwaiti,
1406 H./1986 M.

Ibrāhīm, Khālid bin. Syaraḥ manẓumah al-qawāid al-fiqhiyyah, Juz I. t. Cet;


t.t.p.: t.p., t.th.

Jamaluddin, Mursyid A. “Tradisi Mappatabe dalam Masyarakat Bugis


di Kecamatan Pulau Sembilan Kabupaten Sinjai”. Skripsi. Makassar:
Fak. Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin, 2016 M.

Kamaluddin, Syafruddin Halimy. “Sejarah Perumusan dan Perkembangan


Qawa‟id Fiqhiyyah”, al Muqaranah V, no. 1 (2014).

Kartono. Pengertian Observasi. t. Cet; Bandung: Alfabeta, t. th.

Mattulada. Demokrasi dalam Perspektif Budaya Bugis-Makassar. Dalam Najib,


dkk (Ed.) Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara LKPSM. t. Cet;
Yogyakarta: Bandung, t.h.

Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. t. Cet; Bandung: Remaja


Rosdakarya, 2009 M.

Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawwir. Cet. XIV; Surabaya: Pustaka


Progressif, 1997 M.

Nasution, Khoiruddin. Pengantar Studi Islam. t. Cet; Jogjakarta: Academica,


2010 M.

Pemerintah Kabupaten Bone, “Geografi dan Iklim”, Website Resmi Pemerintah


Kabupaten Bone, https://bone.go.id/2013/04/26/geografi-dan-iklim/
(19 Mei 2018).

Qurtubi , Ahmad. “Penghormatan dalam Islam Perspektif Hadits”. Skripsi.


Jakarta: Fak. Ushuluddin Jur. Tafsir Hadits Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, 2011 M.

Rahim, R. Nilai-nilai Utama Kebudayaan Bugis. t. Cet; Ujung Pandang:


Hasanuddin University, 1985 M.
85

Rohayana, Ade Dedi. Ilmu Qawa‟id Fiqhiyyah. Jakarta: Media Pratama, 2008 M.

Saleh, Abdul Mun‟im, Hukum Manusia Sebagai Hukum Tuhan. Yogjakarta:


Pustaka Pelajar, 2009 M.
Saransi, Ahmad. Tradisi Masyarakat Islam di Sulawesi Selatan. Cet. I; Makassar:
Bidang Agama Biro KAAP Setda Provinsi Sulawesi Selatan, 2003 M.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif. t. Cet; Bandung: Alfabeta,
t.th.
Syaikh, Abdullāh bin Muḥammād Alu. Lubābut Tafsīr Min Ibni Kaṡīr, terj. M.
„Abdul Ghoffar E.M, Tafsir Ibnu Katsir, Juz III. Cet. IX; Jakarta: Pustaka
Imām Syāfi‟ī, 2016 M.
Tim Penyusun. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008 M.

Yusuf, Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu. Kaidah-kaidah Praktis Memahami
Fiqih Islam. Cet.6; Jawa Timur: Yayasan Al-Furqan al-Islami, 2016 M.

Zahrah, Muḥammad Abū. Uṣūl al-Fiqh. T. Cet; Mesir: Dār al-Fikr al-„Arabī, t.th.

Zaidān, Abd al-Karīm, al-Maḍkhūl Liddirāsāti al-Syarī‟ah al-Islāmiyyah. t. Cet;


Iskandaria: Dār Umar Bin al-Khaṭṭāb, 1388 H/1969 M.

Zuriah, Nurul. Metodologi Penelitian Sosial Dan Pendidikan. Cet. III; Jakarta:
Pt Bumi Aksara, 2009 M.
L
A
M
P
I
R
A
N
-
L
A
M
P
I
R
A
N
INSTRUMEN WAWANCARA

1. Menurut pemahaman Anda, tradisi mappatabe‟ itu seperti apa?

2. Apakah pada masyarakat desa ini menerapkan tradisi ini?

3. Apakah tradisi ini diterapkan pada masyarakat secara umum ataukah

diterapkan hanya pada keluarga terdekat?

4. Kapan dan dimana tradisi ini dilakukan?

5. Apakah tradisi ini berlaku dari anak keorang tua saja atau sebaliknya juga?

6. Apa yang Anda lakukan jika melihat anak anda lewat di depan orang lain

atau tamu tanpa sikap tabe‟?

7. Pada umur berapa tradisi tabe‟ diajarkan kepada anak-anak?

8. Menurut Anda, apakah tradisi ini wajib untuk diwariskan dari generasi

kegenerasi? Mengapa?

9. Menurut Anda, apakah tradisi ini termasuk akhlak yang baik?

10. Apakah anda tahu asal-usul dari tradisi ini?

11. Apakah tradisi ini harus dilakukan sambil membungkukkan badan?

12. Ketika melakukan tabe‟ dihadapan orang lain berapa derajatkah posisi

membungkukkan badannya?
DAFTAR NAMA INFORMAN

No. NAMA UMUR PEKERJAAN

1. Andi Muhammad Amran, ST. MSP. 46 Tahun Kades Pitumpidange

2. Andi Lilis Sri Alam 43 Tahun Tokoh Agama

3. Hj. Andi Rosmini, S.Pd 65 Tahun Kepala Sekolah SD

Inpres 12/79

Pitumpidange

(Pensiun)

4. Hj. Andi Hasbah, S.Pd 57 Tahun Guru SMA Negeri

11 Bone

5. Hapsawati 42 Tahun Ibu Rumah Tangga

6. Masnia 38 Tahun Petani

7. Fatmawati 45 Tahun Penjahit

8. Andi Nuraeni 55 Tahun Tokoh Adat

9. Andi Kartini 51 Tahun Bidan

10. Novianti 21 Tahun Pedagang


Gambar wawancara dengan informan

Wawancara dengan ibu Hapsawati (42 tahun), Pitumpidange, 14 Mei 2018

Wawancara dengan ibu Andi Kartini (51 tahun), Pitumpidange, 15 Mei 2018
Wawancara dengan ibu Andi Lilis Sri Alam (43 tahun), Pitumpidange, 15 Mei
2018

Wawancara dengan Ibu Masnia (37 tahun), Pitumpidange, 14 Mei 2018


Wawancara dengan ibu Fatmawati (45 tahun), Pitumpidange, 14 Mei 2018

Wawancara dengan Bapak Andi Muhammad Amran (46 tahun), Pitumpidange,


16 Mei 2018
Wawancara dengan Ibu Hj. Andi Hasbah (57 tahun), Pitumpidange, 15 Mei 2018

Wawancara dengan ibu Hj. Andi Rosmini (65 tahun), Pitumpidange, 15 Mei 2018
Wawancara dengan ibu Andi Nuraeni (55 tahun), Pitumpidange, 14 Mei 2018

Wawancara dengan ibu Novianti (21 tahun), Pitumpidange, 14 Mei 2018


RIWAYAT HIDUP

Andi Mirnawati lahir di desa Parigi, Kecamatan

Libureng Kabupaten Bone pada tanggal 21 November

1996. Penulis adalah anak ke-tujuh dari tujuh

bersaudara yang merupakan buah kasih sayang dari

Andi Cakka dan Andi Suka, saat ini penulis

berdomisili di kelurahan Biringkanaya, Daya Kota

Makassar. Setelah studi di Kampus STIBA telah

selesai, maka penulis akan kembali ke Bone. Penulis menempuh pendidikan

pertama pada tahun 2001 di Taman Kanak-kanak di desa Pitumpidange. Tahun

2002 penulis melanjutkan pendidikannya di SD Inpres 12/79 Pitumpidange

selama 6 tahun. Tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri

2 Salomekko. Setelah selesai penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri

1 Libureng yang sekarang telah berganti nama menjadi SMA Negeri 11 Bone

yang bertempat di desa Pitumpidange dan akhirnya lulus pada tahun 2014. Selama

kecil sampai SMA penulis terus bersama dengan orang tua beda dengan saudara

yang lain dari kecil sudah pergi jauh untuk menimbah ilmu.

Setelah pendidikan di SMA 11 Bone telah selesai, pada tahun yang

sama penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi yang ada di

Kota Makassar yakni Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab, penulis

mengambil program studi Perbandingan Mazhab. Selama berstatus sebagai

Mahasiswa, penulis aktif di lembaga kemahasiswaan. Penulis pernah menjabat

sebagai sekretaris di Department TQ2 (Tahsinul Qira‟atil Qur‟an) dan sekretaris


di Department Dakwah pada UKM Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Putri

STIBA Makassar.

Selama kurang lebih 3,5 tahun penulis tinggal di asrama kampus.

Sehingga penulis banyak belajar dari kehidupan asrama atau pesantren, walaupun

banyak orang yang berfikiran negatif karena penulis tidak mempunyai dasar

bahasa Arab sedikit pun, kehidupan di pesantren belum dirasakan pula kemudian

melanjutkan pada perguruan tinggi yang bahasa pengantarnya menggunakan

bahasa Arab. Namun, semua ini hilang ketika penulis bercita-cita untuk menjadi

penghafal Al-Qur‟an dan penulis sangat yakin bahwa salah satu kunci agar

cepat dalam menghafal adalah dengan belajar Bahasa Arab. Tekad ini mulai

muncul ketika penulis dilatih untuk menghafal surah-surah pilihan di halaqah

tarbiyah sehingga penulis merasakan kenikmatan ketika menghafal. Penulis pun

bertekad untuk menyelesaikan hafalan sebelum mengeluarkan kakinya dari

kampus ini.

Anda mungkin juga menyukai