Anda di halaman 1dari 20

Metode Kritik Tafsir Modern di Dunia Islam dan Barat

Makalah
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Metodologi Kritik Tafsir

Oleh:

MOH. NOER TONDO WIJOYO


NIM (322440109)

Dosen Pengampu:

Dr. K.H. Ahmad Munif Suratmaputra, MA


Dr. H. Ulinnuha, MA

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR (IAT)


PROGRAM PASCA SARJANA (S3)
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA
1444 H/2022 M
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara garis besar, penafsiran Al-Qur`an dilakukan dengan dua cara yakni dengan
tekstual dan kontekstual. Penafsiran secara tekstual pernah dilakukan oleh sahabat nabi sendiri
yang mencoba menafsirkan surat al baqarah ayat 187 khususnya pada lafadz al-khayt al-
abyadh dan al-khayt al aswad dan penafsiran sahabat pada lafadz al zhulm pada surat al
An’âm. 1
Sahabat Nabi saat itu menafsiri surat al Baqarah ayat 187 pada lafadz al khayt al-abyadh
dan al-khayt al aswad secara tektualis. Sahabat tersebut menceritakan kepada Rasul bahwa
sahabat tersebut mengambil dua tali berwarna hitam dan putih, kemudian melihatnya
sepanjang hari, namun ketika malam warna tali tersebut terlihat tidak begitu jelas. Keesokan
harinya ia datang kepada Nabi saw. dan menceritakan kejadian tersebut. Kemudian
Rasulullah mengkritik penafsiran sahabat tersebut, bahwa yang dimaksud dari ayat tersebut
adalah gelapnya malam dan terangnya siang. Penafsiran yang serupa juga terjadi pada surat
al-An’âm ayat 82. Ayat 82 tersebut pernah membingungkan sememntara sahabat Nabi saw.
“siapakah di antara kita yang tidak melakukan kedzaliman atas dirinya?” yakni siapakah yang
tidak berdosa sehingga tidak mencampurkan keimanannya dengan kedzaliman? Jika demikian
kita semua dalam bahaya dan tidak memperoleh keamanan. Nabi saw. menjelaskan bahwa
makna ayat ini bukan seperti yang kalian duga.”Tidakkah kalian mendengar/mengetahui apa
yang dikatakan hamba Allah yang saleh (lukman as.) bahwa: “Sesungguhnya syirik adalah
penganiyayaan yang besar”2
Dua contoh penafsiran diatas merupakan contoh penafsiran tekstual yang langsung
mendapat kritik dari Rasul saw. Adanya penafsiran tekstual tentu memunculkan penafsiran
kontekstual. Misalnya tafsir karya Bashîr al Dîn Mahmûd 1965 M, yang menafsirkan kata
rajul dalam surat al-Qashash ayat 20 sebagai Mirza Ghulam Ahmad. Penafsiran tersebut
terinspirasi dari keyakinan pengarang bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang nabi yang

1
Muhammad Ulinnuha, ''Rekonstruksi Metodologi Kritik Tafsir : Studi Buku Al-Dakhil Karya Fayed (1936-
1999 M)'', Disertasi, (Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah, 2015), h. 1
2
M. Quraisy Shihab, Tafsîr al-Misbâh Vol. 3 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 524
datang dari ujung negeri. Dengan banyaknya penafsiran-penafsiran yang meresahkan, muncul
beberapa pemikir yang mencoba untuk mengevaluasi kualitas dari penafsiran yang sudah ada.
Beberapa diantaranya adalah Muhammad Abduh yang cenderung menggunakan pendekatan
kritik modernism Islam. Amîn al-Khullî dengan kritik sastranya, Nashr Hâmid Abû Zayd
dengan metode hermeneutikanya dan lain sebagainya.3 Tidak hanya sarjana Islam yang kritis
terhadap penafsiran al Qur’an, dalam latar belakang Disertasi Ulinnuha, sarjana Barat pun
turut serta melakukan kritik Hermeneutik terhadap tafsir al-Thabarî dan Tafsir Ibn Katsîr.4

B. Rumusan Masalah
Dalam latar belakang di atas, pemakalah akan merumuskan beberapa masalah yang akan
menjadi fokus pembahasan di dalam makalah ini, diantaranya:
1. Bagaimanakah metode dan aplikasi kritik tafsir pada abad modern di dunia Islam dan
Barat, serta siapa tokoh-tokohnya?

3
Muhammad Ulinnuha, ''Rekonstruksi Metodologi Kritik Tafsir : Studi Buku Al-Dakhil Karya Fayed (1936-
1999 M)'' Disertasi, h. 4
4
Muhammad Ulinnuha, ''Rekonstruksi Metodologi Kritik Tafsir : Studi Buku Al-Dakhil Karya Fayed (1936-
1999 M)'' Disertasi, h. 10
BAB II
METODE, APLIKASI, DAN TOKOH KRITIK TAFSIR ABAD MODERN DI DUNIA
ISLAM DAN BARAT

Tradisi kritik dalam khazanah intelektual Islam terlebih dahulu dimulai dalam tradisi ‘ulûm
al-hadîs. Istilah kritik menjadi semakin populer ketika ‘ulûm al-hadîs menjadi disiplin ilmu yang
mapan dan baku, dengan munculnya pemikiran kritik sanad (naqd al-sanad). Munculnya
kritisisme di bidang hadis, dilatarbelakangi oleh munculnya pemalsuan hadis yang disebabkan
oleh kepentingan-kepentingan politik, aliran (ideologi) dan ekonomi. Tradisi kritisisme hadis tidak
berhenti pada wilayah kritik sumber (critical source), tetapi telah sampai kepada kritik matan
(naqd al-matan).5

Seiring dengan tradisi kritik dalam ‘ulûm al-hadîs, budaya kritisisme mulai menyebar hingga
ke bidang penafsiran Al-Qur`an. Merebaknya penafsiran Al-Qur`an yang berbau politis-ideologis
mendorong umat muslim berinteraksi dengan budaya kritis. Meskipun sebenarnya embrio dari
tradisi kritik tafsir telah dimulai sejak zaman Rasulullah. Seperti riwayat yang mengisahkan
bahwa Rasulullah melakukan kritik terhadap pola pemahaman para sahabat dalam menafsirkan al-
Qur’an. Kritik Rasulullah ditujukan untuk mengevaluasi atau meluruskan metodologi (cara
memahami), pendapat, dan perbuatan (aktualisasi) yang dilakukan sahabat berdasarkan
pemahaman yang kurang tepat terhadap Al-Qur`an.6

Pembagian metode kritik tafsir yang akan disajikan penulis berdasarkan penelitian Ulinnuha
yang dapat diaplikasikan atau diadopsi dengan sedikit penyesuaian untuk kegiatan kritik
penafsiran. Di antara metode-metode tersebut yakni metode kritik sejarah, metode kritik sastra,
metode kritik hermeneutic, metode kritik al-inhirâf, dan metode kritik ad-dakhîl.7

A. Metode Kritik Sejarah


Metode kritik sejarah (historical-critical method) secara umum dapat didefinisikan
sebagai suatu usaha untuk mendapatkan informasi mengenai setting dari suatu teks (suci)

5
Fazlur Rahman, Islamic Methodo-logy in History (Islamabad: Islamic Research Institute, 1995), h. 27
6
Muhammad Ulinnuha, Rekonstruksi Metodologi Kritik Tafsir, (Jakarta: Qaf, 2019), h. 42
7
Muhammad Ulinnuha, ''Rekonstruksi Metodologi Kritik Tafsir : Studi Buku Al-Dakhil Karya Fayed (1936-
1999 M)'' Disertasi, h. 59-72
dengan tujuan untuk memberikan pertanggungjawaban historis yang akurat mengenai apa
yang sesungguhnya terjadi pada teks yang dipertanyakan tersebut. Spinoza (1632-1677)
adalah perintis dari metode kritik sejarah. Bahkan ia disebut the father of high criticism.
Metode ini dulu digunakan untuk mengkritisi Bibel. Metode ini menyerukan pentingnya
mempelajari dan mengetahui dengan tepat siapa penulis sesungguhnya kitab tafsir,
background sosio-intelektual, waktu penulisan, peristiwa yang terjadi dan tujuan utama
penulisannya.8
Cara kerja metode ini adalah menentukan teks yang paling awal, watak kesusastraannya,
kondisi-kondisi yang memunculkannya dan makna asalnya. Kritik historis juga berusaha
untuk memisahkan legenda dan mitos dari fakta, mengkaji mengapa para penulis tafsir
melaporkan dengan versi yang berbeda-beda, dan berusaha menemukan mana tafsir yang
paling tepat. Metode ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Johann Salomo Semler
(1725–1791 M) yang menyarankan suatu pendekatan sejarah murni di dalam mempelajari
teks-teks kitab suci dan bukannya memperlakukannya sebagai tulisan sakral dan teologis.9
Selain kritik sejarah, dalam tradisi biblical criticism ada juga beberapa jenis kritik lain
yang saling terkait, diantaranya source criticism (kritik sumber), form criticism (kritik
bentuk), tradition criticism (kritik tradisi), phylological study (studi filologi), textual
criticism(kritik teks) dan redaction criticism (kritik redaksi). Tiga pendekatan yang pertama
lebih bersifat historis dalam arti menelusuri ke belakang (diachronic), sedangkan dua bentuk
kritik yang terakhir adalah melihat kondisi akhir dari literatur yang sudah ada (synchronic).
Jika dikaji secara mendalam, beberapa jenis metode kritik di atas, baik yang bersifat
diakronik maupun sinkronik sejatinya memiliki titik temu dengan kajian tafsir dan ulumul
Quran. Kajian diakronik misalnya, mirip dengan diskursus lughât al Qur`ân (bahasa Al-
Qur’an), terutama dari sisi genealoginya. Sementara kajian sinkronik mirip dengan
diskursus i’râb al-Qur`ân (kedudukan kata perkata dalam Al-Qur’an), ma’âni al-mufradât
(makna gramatikal), ma‘âni> al Qur’ân (makna-makna Al-Qur’an).
Dari keterangan di atas, dapat diketahui bahwa secara genealogis tradisi kritisisme
sesungguhnya memiliki akar yang cukup kuat dari khazanah keilmuan Islam. Beberapa

8
Muhammad Ulinnuha, ''Rekonstruksi Metodologi Kritik Tafsir : Studi Buku Al-Dakhil Karya Fayed (1936-
1999 M)'' Disertasi, h. 60
9
Muhammad Ulinnuha, ''Rekonstruksi Metodologi Kritik Tafsir : Studi Buku Al-Dakhil Karya Fayed (1936-
1999 M)'' Disertasi, h. 60
diskursus yang disebutkan di atas, bahwa bahasa Al-Qur’an adalah bahasa Arab, namun
dalam kitab tersebut, ia berhasil menjabarkan dangan data-data akurat berbagai bahasa kabilah
dan klan yang dipakai dalam Al-Qur’an. kendati term kritik/naqd belum disebutkan secara
eksplisit, menjadi bukti betapa variabel kritisisme penafsiran sudah mentradisi dan menjadi
bagian dari kajian akademik mereka.

B. Metode Kritik Sastra


Al-Qur`an memang bukan kitab sastra. Namun nuansa sastrawinya dapat dirasakan dan
bahkan diakui oleh banyak orang. Dimensi sastrawi yang dikandungnya selalu menimbulkan
efek psikologis yang sangat mendalam bagi para pembaca dan pendengarnya. Bahkan aspek
bahasa dan sastra ini menjadi unsur yang sangat dominan dalam memengaruhi orang Arab
ketika Al-Qur’an diturunkan. Maka tak heran bila para pakar menganggap bahasa Al-
Qur’an (lughât al-Qur’ân) sebagai sisi kemukjizatannya yang pertama dan utama.
Barangkali sisi sastrawi inilah yang berhasil memikat hati sebagian tokoh klasik seperti
Ibn ‘Abbas (w. 68 H/687 M), Qatadah ibn al-Nu‘man al-Anshari> (w. 120 H), Mujahid ibn
Jabr al-Makhzumi> (w. 104 H/722 M), Ibn Jurayj al-Qurayshi (w.150 H/767 M) dan Muqathil
ibn Sulayman al-Balkhi > (w. 150 H/767 M) untuk mengkaji dan menafsirkan Al-Qur`an
dengan pendekatan kesusastraan (kebahasaan).
Kajian kesusastraan terhadap Al-Qur’an terus dikembangkan hingga era modern. Di
antara tokoh yang memiliki andil besar dalam meletakkan konsep dasar pendekatan sastrawi
ke dalam kajian tafsir Al- Qur’an adalah Muhammad ‘Abduh (1849-1905 M) lalu
dilanjutkan Taha H{usayn (1889-1973 M), dan pada puncaknya, pendekatan kritik sastra
terhadap tafsir Al-Qur’an berhasil diteoritisasikan oleh Amîn Khulli (1895-1967 M).
Teorinya kemudian dipaparkan lebih rinci oleh Muh}ammad Ahmad Khalafullah (l. 1916 M)
dalam disertasinya, al-Fann al Qashash fî al Qur’ân, M. Shukri Ayyad> (w. 2000 M) dalam
Yawm al-Dîn wa al-Hisâb fi al Qur`ân, dan ‘Aisyah ‘Abdurrahman bint al-Shâtî’ (w. 1998
M) dengan al-Tafsîr al Bayânî li al Qurân al Karîm, serta Nashr Hamîd Abû Zayd (1943-2010 M)
dengan Mafhum
> al-Nas-}nya.10

Muhammad Ulinnuha, ''Rekonstruksi Metodologi Kritik Tafsir : Studi Buku Al-Dakhil Karya Fayed
10 10

(1936-1999 M)'' Disertasi, h 64


Dalam al Tafsîr Ma’âlim Hayâtihi, Manhajuhu al Yauma (1962), Amîn al-Khûlî dapat
memanfaatkan teori sastra kontemporer dalam mengkaji teks Al-Qur’an dengan
menggabungkan kritik intrinsik (al-naqd al Dâkhilî>) dan kritik ekstrinsik (al-naqd al
Khariji). Menurutnya, kritisisme terhadap tafsir Al-Qur’an dapat dilakukan dari dua sisi, yaitu
studi kritis seputar Al-Qur’an (Dirâsah mâ haula al-Qurân) dan studi kritis terhadap teks Al-
Qur’an itu sendiri (Dirâsah mâ fî al Qurân). Poin pertama meliputi studi atas setting sejarah,
kultural, geografis, antropologis, sosiologis, dan segala hal material dan spiritual yang
melatarbelakangi bangsa Arab pada abad VII ketika Al-Qur’an diturunkan. Selain itu, dalam
mengkaji Al-Qur`an, seorang mufasir juga dituntut untuk menguasai pembahasan-
pembahasan yang tercakup dalam Ulum al Qur`ân.11
Sedangkan studi kritis terhadap mâ fî al Qur`ân menitikberatkan pada perhatian yang
teliti terhadap struktur kata dan kalimat Al-Qur`an,gaya bahasa, serta aspek-aspek lain yang
menjadi bagian dari disiplin linguistik kebahasaan. Ini semua ditujukan untuk mengungkap
aspek estetis yang terkandung dalam redaksi dan lafal ayat-ayat Al-Qur’an. Maka diperlukan
perangkat-perangkat bahasa dan sastra semisal gramatika dan retorika. Model kritik semacam
ini diharapkan dapat menyuguhkan pesan-pesan Al-Qur`an secara lebih menyeluruh dan bisa
menghindarkan diri dari tarikan-tarikan individual-ideologis yang pragmatis dari seorang
mufasir. Model kritik sastra al-Khu>li> inilah yang akan digunakan sebagai pisau analisis
dalam menstrukturisasi dan merekonstruksi metodologi kritik tafsir Al-Qur`an. 12
Al-Khuli menawarkan metode tafsir yang lebih dikenal dengan tafsir susastra terhadap
al-Qur’an (al-tafsir al-adabi li al-qur’an). Sasaran metode ini adalah untuk mendapatkan
pesan al-Qur’an secara menyeluruh dan bisa diharapkan terhindar dari tarikan-tarikan
individual-ideologis. Dengan selogan yang ia ciptakan, “awal pembaharuan adalah
pemahaman turats secara paripurna” (awwal tajdid atl al-qadim fahman), al-Khuli pertama-
tama menempatkan al-Qur’an sebagai kitab sastra Arab terbesar (kitab al-arabiyya al-akbar),
yang berimplikasi bahwa sebelum langkah studi al-Qur’an diambil, al-Qur’an harus dianggap

11 11
Muhammad Ulinnuha, ''Rekonstruksi Metodologi Kritik Tafsir : Studi Buku Al-Dakhil Karya Fayed
(1936-1999 M)'' Disertasi, h 65
12 12
Muhammad Ulinnuha, ''Rekonstruksi Metodologi Kritik Tafsir : Studi Buku Al-Dakhil Karya Fayed
(1936-1999 M)'' Disertasi, h 66
sebagai teks sastra suci. Oleh karenanya, agar bisa memahami al-Qur’an secara proporsional,
seseorang harus menempuh metode pendekatan sastra (al-manhaj al-adabi).13
Mengingat studi al-Qur’an disejajarkan dengan studi karya sastra, al-Khuli
mengedepankan dua prinsip metodologis, yakni studi sekitar al-Qur’an (dirasah ma hawl al-
qur’an) dan studi tentang teks itu sendiri (dirasah fi al-Qur’an nafsih). Kajian pertama
diarahkan kepada investigasi latar belakang al-Qur’an, dimulai dari proses pewahyuan,
perkembangn dan sirkulasinya dalam masyarakat Arab sebagai obyek wahyu, beserta
kodifikasi dan variasi cara baca sebuah kajian yang kemudian lebih dikenal dengan disiplin
‘Ulumul Qur’an.14
Sesungguhnya apa yang diinginkan al-Khuli adalah sebuah obsesi besar untuk
mengemukakan metodologi penafsiran yang dia sebut Metodologi Penafsiran Sastra (al-
manhaju al-adabi li at-tafsir). Hanya saja, nampaknya dia justru teraniaya oleh penamaan
metodologi itu sendiri, karena metodologi itu justru menganut prinsip-prinsip ketat yang dia
letakkan sendiri. Prinsip-prinsip tersebut antara lain: Satu, kajian mendalam atas karakter
jazirah Arab; sejarah, Bahasa dan kebudayaan sebelum Islam. Dua, pengetahuan tentang al-
Qur’an sebagai Kitab. Tiga, klasifikasi al-Qur’an secara tematik. Keempat, klasifikasi ayat-
ayat dan surah-surah al-Qur’an menurut kronologi sejarahnya. Kelima, kajian atas tema-tema
yang ingin ditafsirkan, dimulai dari kosa kata, sampai rangkaian kalimat, dengan perhatian
khusus pada aspek psikologis dan sosial kandungannya.15
Hubungan yang dibangun oleh Al-Khûli untuk memahami teks adalah bagaimana
hubungan antara pembaca dengan teks. Penempatan al-Qur’an sebagai kitab sastra Arab
terbesar merupakan suatu pandangan bahwa ketika seorang pembaca yang benar-benar ingin
memahami ayat-ayat Al-Qur`an, harus secara intens meneliti dan melihat sisi dari teks
tersebut. Sehingga inti kajian Al-Qur`an adalah menangkap hidayah dari kitab suci tersebut
bisa diungkap. Dalam kaitannya dengan hal ini, yaitu hubungan pembaca dengan teks,
terdapat tiga bentuk hubungan hermeneutik: teoritis, filosofis, dan kritis.16

13
M. Nur Kholis Setiawan, Al-qur’an Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006), cet. 2, h. 11
14
M. Nur Kholis Setiawan, Al-qur’an Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006), cet. II, h.
12
15
Gamal al-Banna, Evolusi Tafsir; Dari Jaman Klasik Hingga Jaman Modern, terj. Novriantoni Kahar
(Jakarta: Qisthi Pres, 2004), h. 198-199
16
Muhammad Aminullah, “Hermeneutika dan Linguistik Perspektif Metode Tafsir Amin Al-Khuli” dalam
jurnal Institut Agama Islam Muhammadiyah Ranggo, Vol. IX No. 2, Juli-Desember 2016, h. 342
Prinsip kedua yang penting dalam metodologi yang digagas al-Khuli adalah persoalan
tertib sejarah. Disini kita berbenturan dengan sedikitnya pengetahuan dan simpang siurnya
riwayat. Hanya saja, persoalan ini tidak akan berarti bagi kajian yang tekun, perbandingan
dinisbatkan kepada Ali ibn Abi Thalib dan Ibnu Abbas. Persoalan tertib sejarah juga tidak
berfungsi selain sebagai fungsi pelengkap atau penjelas. Sebab, kajian tematis lah yang akan
memberikan kita pengetahuan tentang wawasan al-Qur’an.17
Karya paling penting yang berbicara tentang sastra dan kritik sastra adalah fi al-Adab al-
Mishri (1943) dan Fann al-Qawl (1947). Keduanya merupakan upaya al-Khuli untuk
mendekonstruksi wacana sastra Arab. Poin terpenting dalam dua buku tersebut adalah dua
metode kajian yang dikedepankan. Yaitu metode kritik ekstrinsik (al-naqd al-khariji), dan
kritik instrinsik (al-naqd al-dakhili). Ia menumbuhkan budaya kritik terhadap berbagai karya
kesarjanaan, khususnya di bidang sastra Arab. Baginya, kritik merupakan ruh intelektual, dan
selalu dibarengi dengan upaya-upaya pembongkaran dan pembaharuan.18
Kritik sastra terbagi menjadi tiga jenis. Pertama, kritik sastra ilmiah (scientific critism),
yaitu kritik sastra yang dilakukan dengan pendekatan ilmiah. Kedua, kritik sastra estetis
(aestehetic critism). Yaitu kritik sastra yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan
estetika, yang mengutamakan segi keindahan suatu karya sastra. Ketiga, kritik sastra sosial
(sosiological critism), yaitu kritik sastra yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan
sosiologis. Artinya, suatu karya ditelaah dari segi-segi sosial kemasyarakatan yang berada di
sekitar kelahiran karya tersebut, serta sumbangan yang di berikan terhadap pembinaan tata
kehidupan masyarakat.19

C. Metode Kritik Tafsir Hermeneutik


Kalangan ilmuan klasik dan modern telah sepakat tentang pengertian
hermeneutika, yang diartikan sebagai proses mengubah sesuatu dari situasi ketidaktahuan
menjadi mengerti. pengertian tersebut merupakan peralihan antara sesuatu yang abstrak dan

17
Gamal al-Banna, Evolusi Tafsir; Dari Jaman Klasik Hingga Jaman Modern, terj. Novriantoni Kahar
(Jakarta: Qisthi Pres, 2004), h. 200
18
M. Nur Kholis Setiawan, Al-qur’an Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006), cet. II, h. 9
19
Akhmad Muzakki, Stilistika Al-Qur’an: Gaya Bahasa dalam Konteks Komunikasi (Malang: UIN-Malang
Press, 2009), h. 34
gelap kepada ungkapan yang jelas dalam bentuk Bahasa yang dipahami manusia.
Hermeneutika juga diartikan dengan menerjemahkan dan bertindak sebagai penafsir.20
Hermeneutika, sebagai sebuah teori dan metode penafsiran, setidaknya dapat diklasifikan
dalam tiga model. Pertama, hermeneutika objektif yang dikembangkan tokoh-tokoh klasik,
khususnya Friedrick Schleiermacher (1768- 1834), Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan Emilio
Betti (1890-1968). Menurut model pertama ini, penafsiran berarti memahami teks
sebagaimana yang dimaksudkan pengarang, sebab apa yang disebut teks, menurut
Schleiermacher, adalah ungkapan jiwa pengarangnya, sehingga seperti juga disebutkan dalam
hukum Betti, apa yang disebut makna atau tafsiran atasnya tidak didasarkan atas kesimpulan
kita melainkan diturunkan dan bersifat intruktif.21
Oleh Karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut, menurut Schleiermacher, ada dua cara
yang dapat ditempuh: lewat bahasanya yang mengungkapkan hal-hal baru, atau lewat
karakteristik bahasanya yang ditransfer kepada kita. Ketentuan ini didasarkan atas konsepnya
tentang teks. Menurut Schleiermacher, setiap teks mempunyai dua sisi: (1) sisi linguistik yang
menunjuk pada bahasa yang memungkinkan proses memahami menjadi mungkin, (2) sisi
psikologis yang menunjuk pada isi pikiran si pengarang yang termanifestasikan pada style
Bahasa yang digunakan. Dua sisi ini mencerminkan pengalaman pengarang yang pembaca
kemudian mengkonstruksinya dalam upaya memahami pikiran pengarang dan
pengalamannya.22
Mengikuti metode hermenutika objektif di atas, dalam aplikasinya pada teks keagamaan,
misalnya dalam penafsiran atas teks-teks al-Qur‘an, maka yang harus dilakukan adalah, (1)
kita berarti harus mempunyai kemampuan gramatika bahasa Arab (nahw-saraf) yang
memadai, (2) memahami tradisi yang berkembang di tempat dan masa turunnya ayat, sehingga
dengan demikian kita dapat benar- benar memahami apa yang dimaksud dan diharapkan oleh
teks-teks tersebut.23

20
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika Al-Quran Mazhab Yogja, (Yogyakarta: Islamika, 2003) h. 54
21
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1985), h. 9-10
22
Achmad Khudori Soleh, Membandingkan Hermeneutika dan Ilmu Tafsir. Jurnal Tsaqofah. Vol. 7, No. 1,
April 2011, h. 35
23
Nur Fuadi Rahman, Hermenuetika Al-Quran dalam Jurnal Transformatif (Islamic Studies) Volume 1,
Nomor 2, Oktober2017
Kedua, hermeneutika subjektif yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh modern khususnya
Hans Georg Gadamer (1900-2002) dan Jacques Derida (l.1930).24 Menurut model yang kedua
ini, hermeneutika bukan usaha menemukan makna objektif yang dimaksud si penulis seperti
yang diasumsikan dalam model hermeneutika. objektif melainkan memahami apa yang tertera
dalam teks itu sendiri. Titik tekan model kedua ini adalah isi teks itu sendiri secara mandiri
bukan pada ide awal si penulis. Inilah perbedaan mendasar antara hermeneutika objektif dan
subjektif.25
Dalam pandangan hermeneutika subjektif, teks bersifat terbuka dan dapat
diinterpretasikan oleh siapapun, sebab begitu sebuah teks dipublikasikan dan dilepas, ia telah
menjadi berdiri sendiri dan tidak lagi berkaitan dengan si penulis. Karena itu, sebuah teks
tidak harus dipahami berdasarkan ide si pengarang melainkan berdasarkan materi yang tertera
dalam teks itu sendiri.26
Dalam konteks keagamaan, teori hermeneutika subjektif ini berarti akan
merekomendasikan bahwa teks-teks al-Qur‘an harus ditafsirkan sesuai dengan konteks dan
kebutuhan kekinian, dan apa yang dimaksud sebagai asbâl al-nuzûl adalah realitas historis saat
ini.27
Ketiga, hermeneutika pembebasan yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh muslim
kontemporer seperti Hasan Hanafi, Farid Esack, dan termasuk Nasr Hamid Abu Zaid.
Hermeneutika ini sebenarnya didasarkan atas pemikiran hermeneutika subjektif, khususnya
dari Gadamer. Namun, menurut para tokoh hermeneutika pembebasan ini, hermeneutika
mestinya tidak hanya berarti ilmu interpretasi atau metode pemahaman tetapi lebih dari itu
adalah aksi. Apa yang diinginkan dalam model hermeneutika pembebasan adalah lebih dari
sekedar pemahaman. Sebab, kenyataannya hermeneutika sampai sejauh itu memang masih
lebih banyak berkutat dalam lingkaran wacana, belum pada aksi.28
Menurut model ketiga ini, maka fokus kerja kritisisme penafsiran terletak pada tiga hal:
(1) secara historis, menelisik tingkat otentifikasi dan ketersambungan sebuah interpretasi

24
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad, h. 13
25
Nur Fuadi Rahman, Hermenuetika Al-Quran dalam Jurnal Transformatif (Islamic Studies) Volume 1,
Nomor 2, Oktober2017 h. 191
26
Achmad Khudori Soleh, Membandingkan Hermeneutika dan Ilmu Tafsir. Jurnal Tsaqofah. Vol. 7, No. 1,
April 2011. h. 37
27
Nur Fuadi Rahman, Hermenuetika Al-Quran dalam Jurnal Transformatif (Islamic Studies) Volume 1,
Nomor 2, Oktober 2017 hal. 192
28
Abd Mustaqim, Studi Al-Qur`an Kontemporer, (Yogyakarta,Tiara Wacana, 2002), h. 163
terhadap makna-makna asal yang berkembang pada masa pewahyuan; (2) secara teoritis-
teknis, mengevaluasi tingkat kesesuaian hasil interpretasi dengan pakem gramatikal Arab dan
metodologi ilmiah ulumul Quran; dan (3) secara aplikatif, melihat seberapa besar tingkat
manfaat yang diberikan sebuah interpretasi terhadap kehidupan manusia dan kemanusiaan.
Salah satu tokoh kritik hermeneutik yakni Nasr Hamid Abu Zayd, guru besar untuk studi
Islam di Universitas Leiden, Belanda, dan terakhir lebih aktif menjadi Profesor pada
Universitas for Humanistics di Utrecth, selain juga menjadi pembimbing beberapa mahasiswa
yang sedang menulis desertasi tentang penafsiran dalam Islam pada beberapa Universitas di
Eropa, seperti Jerman, Prancis, dan sebagainya. Dengan kondisi yang jauh dari Mesir pada
saat itu, Abu Zayd meras nyaman berada di Eropa karena pemikirannya terus berkembang.
Sehingga Abu Zayd lebih dekat dalam mengkaji hermeneutika barat.29
Abu Zayd sangat akrab dengan pemikiran Heidegger denga teori hermeneutiknya, Hans
Gadamer dengan melalui bahasa serta hermeneutika filosofisnya, Schleiermacher dengan
lingkaran hermeneutisnya, serta Emillio Betti dengan penempatan hermeneutic sebagai
metode ilmu Humaniora. Dengan keakrabannya itu mendorongnya untuk melihat kembali ke
khazanah Turatst dengan maksud melihat elemen-elemen kritis dalam pemikiran filsafat
bahasa dan sastra. Maka dalam pemikiran hermeneutikanya, Dimensi Bahasa, Sastra dan
Budaya menjadi metodologi terhadao konsep hermeneutik Abu Zayd.
Di bawah pengaruh teori hermeneutika, filsafat dan epistemology Barat, Abu Zayd
meneliti hakikat konsep teks yang menjadi problem mendasar dalam sistem hermeneutika
karena wahyu Allah telah turun dengan medium bahasa manusia, sebab jika tidak maka tentu
tidak akan bisa difahami manusia. Penyebab pertama yang membuat pemikiran Islam
tertinggal dan berhenti dari peredaran sejarah, menurut Abu Zayd adalah karena terpusat pada
masalah teologis. Dia menjelaskan dengan tegas bahwa Al-Qur’an adalah perkataan
Muhammad yang diriwayatkan bahwa dia adalah Wahyu Illahi.30
Menurut Nasr Hamid, teks ilahi telah berubah menjadi teks manusiawi sejak dia pertama
kali turun kepada Nabi Muhammad SAW. Hal itu karena teks, menurut dia, sejak pertama kali
turun dna sejak dibaca oleh Nabi SAW. Ketika proses pewahyuan, telah berubah dari teks

29
Charles Hirsckind, “Heresy or Hermeneutics, the Case of Nasr Hamid Abu Zayd, Sehr. Vol 5. Issu 1.
30
Charles Hirsckind, “Heresy or Hermeneutics, the Case of Nasr Hamid Abu Zayd, Sehr. Vol 5. Issu 1, h.
96
ilahi menjadi teks manusiawi. Pemahaman Nabi atas Al-Qur’an adalah fase pertama
pergerakan teks dalam interaksinya dengan akal manusia.31 Teks Al-Qur’an terbentuk dalam
realitas kultur dalam waktu lebih dari 20 tahun, dan oleh karena itu Al-Qur’an adalah produk
budaya sebagaimana ia juga produsen budaya, karena ia sebagai teks sentral dan hegemonic
yang menjadi rujukan teks-teks lain. Abu Zayd juga mengasumsikan Al-Qur’an sebagai teks
bahasa karena melihat realitas dan kultur yang lekat dengan bahasa manusia. Realitas, kultur
dan bahasa adalah fenomena historis, dan masing-masing memiliki kondisinya yang khusus.
Karena alasan-alasan itulah, menurutnya, Al-Qur’an juga adalah teks historis.32 Historisitas
teks, realitas, kultur, dan bahasa menunjukan tanpa sedikitpun keraguan bahwa Al-Qur’an
adalah teks manusia.
Kenyataan yang menunjukan bahwa teks Al-Qur’an senantiasa mempunyai hubungan
dialektika dengan masyarakat Arab dimasa pewahyuan merupakan hal yang nyata yang
memberikan pengertian bahwa secara tidak langsung teks Al-Qur’an dibentuk oleh realitas
peradaban Arab yang ada di satu sisi, namun disisi yang lain juga teks Al-Qur’an berperan
dalam perombakan peradaban lewat pesan atau konsep-konsep yang ditawarkan dari Al-
Qur’an itu sendiri. Jadi proses keduanya salin terkait, tidak bisa dipisahkan. Oleh karena
proses inilah Abu Zayd mengatakan bahwa Al-Qur’an merupakan produk budaya. Ide dasar
tersebut berasumsi bahwa inspirasi Al-Qur’an adalah Allah, akan tetapi ketika memasuki
realitas semesta, wahyu tersebut tersejarahkan dan termanusiakan oleh intervensi budaya
dalam bingkai sistem bahasa. Pernyataan Abu Zayd yang menuai banyak kritik dari kalangan
penentangnya ini sesungguhnya merepresentasikan sisi kognitif pengertian Al-Qur’an, yang
bisa ditelusuri di antaranya melalui paradigm semiotik.33
Abu Zayd telah menyalahkan penafsir para ulama Islam terhadap Al-Qur’an karena lebih
mengedepankan sisi metafisik sehingga mengalahkan sisi ilmiah dan objektif untuk mengkaji
Al-Qur’an. Logika Abu Zayd menyatakan bahwa “keimanan terhadap wujud Metafisik Al-
Qur’an akan menghalangi sebuah pemahaman ilmiah terhadap fenomena teks Al-Qur’an.34

31
Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khithab ad-Diniy, (Kairo: Sina li Nasyr, 1992), h.93
32
Nasr Hamid Abu Zayd, Cosmopolitanism: Identity and Authenticity in the Middle East, (Surrey: Curzon
Pers) h. 74
33
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina,
1996), h. 146
34
Nasr Hmid Abu Zayd, Mafhum An-Nash Dirâsah fî ‘Ulûm al-Qur`an, (Beirut: Markaz as-Saqafi al-Arabi,
1998), h. 24
Dengan mengganggapnya sebagai teks manusia, seperti teks-teks pada umumnya, dia
berharap kajian Al-Qur’an dapat dinikmati oleh siapa saja orang Islam, Kristen, bahkan atheis
sekalipun.
Menurut Nasr Hamid, penafsiran adalah wajah lain dari teks. Teks Al-Qur’an telah
ditundukan pada interpretasi sejak masa pewahyuannya, dan Nabi Muhammad adalah penafsir
pertama. Abu Zayd lebih berarti pada penjelasan dalam klarifikasi. Adapun bacaan lebih
bersifat luar. Abu Zayd menitik beratkan konsep takwil dari pada tafsir, sedangkan pembacaan
kemudian sering ia pakai dalam pengertian ta’wil. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa
dalam ta’wil, peran seorang pembaca dalam memahami dan menangkap makna teks memang
lebih signifikan dibandingkan dengan tafsir. Oleh karena itu pembaca harus mempunyai
kesadaran untuk menghindari diri dari penundukan teks kepada kecenderungan ideologis-
subjektifnya.35 Interpretasi yang cenderung kepada ideologis tertentu atau subjektifitas ini
disebutnya sebagai talwin (mewarnai/memberi warna pada teks). Ta’wil menurut Abu Zayd
adalah sebuah pembacaan produktif yang didasarkan atas prinsip epistemologis tentang
objektifitas, sedangkan talwin adalah pembacaan ideologis-subjektif-tendensius atas teks.
Namun Abu Zayd mengakui bahwa tidaklah ada pembacaan yang bersih karena tidak ada
pengetahiuan yang berangkat dari ruang hampa, dan pembaca selalu dibatasi oleh horizon
pembacanya sendiri. Namun, juga tidaklah berarti bahwa pembaca diperkenalkan dengan
bgitu saja untuk memaksakan kepentingan ideologis pragmatiknya terhadap makna dan
signifikansi teks.36
Setelah Abu Zayd merasa perlu untuk meneruskan lebih lanjut pendekatan hermeneutic
dialektisnya dalam dimensi vertical dimana Al-Qur’an diperlakukan sebagai tempat terjadinya
komunikasi antara Allah dan manusia ke focus dalam dimensi Horizontal kajian AL-Qur’an
sebagai pengalaman penyebaran pesan melalui korpus tafsir. Abu Zayd memaknai dimensi
horizontal sebagai apa yang terkandung di dalam struktur Al-Qur’an dan yang
termanifestasikan selama proses komunikasi antara Al-Qur’an dan audiensinya berlangsung.
Dimensi vertical ini merupakan dimensi tekstualitas Al-Qur’an, sementara dimensi Horizontal
ialah dimensi wacana Al-Qur’an. Dimensi wacana ini adalah area yang hidup dan yang

35
Moch. Nur Ikhwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Quran: Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd,
(Bandung, Teraju, 2003), h. 85
36
Moch. Nur Ikhwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Quran: Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd, h.
86
dinamis, merujuk pada awalnya proses pewahyuan dikenal sebagai fenomena Al-Qur’an,
wacana tertutur. Wacana Al-Qur’an mewujud dalam konteks kehidupan sehari-hari, sehingga
ia tidak hanya bertutur dengan bahasa Arab dimana wahyu itu diturunkan, tapi juga
mempengaruhi pemikiran dan kebudayaan penerimanya. Sebagaimana Abu Zayd menulis
“the Qur’an in everyday life”. Al-Qur’an begitu berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari
umat Islam, dia melacak pengaruh tersebut dalam implementasi rukun Islam, budaya
pilantropi muslim, perhatian muslim terhadap yatim piatu, tentang makanan dan minuman, dll
Abu Zayd menyimpulkan bahwa : “Pada level bahasa lah, elemen yang membentuk pemikiran
dan masyarakat, apakah melalui media bahasa yang bersifat material, maupun audio visual,
baik melalui bentuk pembacaan ataukah seni kerajinan penulisan.”37
Abu Zayd mempunyai tujuan untuk menghadirkan kembali momen historis
transformative, dari masyarakat non muslim ke masyarakat muslim. Abu Zayd melihat bahwa
upaya menghadirkan kembali fenomena yang hidup, Al-Quran sebagai wacana, walau
disadari ulama terdahulu, belum pernah mampu dihadirkan oleh para ulama. Hermeneutika
Al-Quran difahami dalam konteks keragaman pengalaman keagamaan sebagai bagian dari
keragaman kemanusiaan. Al-Qur`an sebagai wacana kemudian meniscayakan pengkaitan
makna antara makna Al-Qur`an dengan makna kehidupan, dimana Al-Qur`an dianggap
sebagai hasil dialog, debat, pengembangan, penerimaan dan penolakan.38
Dalam Konstruksi Al-Quran sebagai wacana, Abu Zayd mempertentangkan antara Al-
Quran dan Mushaf. Hal ini pertama terjadi pada peristiwa artibrase antara Mu`awiyah dan Ali
bin Abi Thalib. Pada saat Ali berkuasa dan pemberontakan dilakukan muawiyah, muawiyah
mengajukan solusi bahwa Al-Quran sebagai jalan penengah dalam peperangan tersebut,
sehingga Ali menyetujuinya dan kekuasaan pun diambil alih oleh Mu`awiyah. Setelah di
tengahi oleh Amru bin As. Pilihan Ali tersebut menurut Abu Zayd, berimplikasi sangat besar
karena memberikan ruang tidak hanya untuk menafsirkan ulang tapi juga manipulasi Al-
Quran untuk kepentingan politik. Kejadian ini dengan kata lain menegaskan pentingnya
mempertingkan Al-Quran sebagai fenomena yang hidup untuk menghindari manipulasi,
seperti politik, dalam kejadian artribrase tersebut.39

37
Nasr Hamid Abu zayd, “The Qur’an in Everyday Life” dalam Jane Dammen, Encyclopedia of the Qur’an,
Leiden, h. 80
38
Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Quran, (Utrech: Utrech University Press, 2004), h. 10
39
Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Quran, h.12
Dalam rangka menawarkan Al-Quran sebagai wacana, dia memandang bahwa perlu
pemikiran ulang tentang sunnah dalam tataran konstruksi epistemology keilmuan, dimana
sunnah menjadi sumber kedua pedoman setelah Al-Qur’an. Pemikiran ulang tersebut
diarahkan untuk membalikkan proses pemarjinalan ilmu-ilmu selain syariah seperti filsafat,
sufisme, teologi dll, yang dampaknya masih terasa sampai sekarang setelah pertama
diputuskan sejak abad ke dua belas.40 Ia juga menawarkan untuk memikirkan ulang Konsensus
(ijtihad). Dalam arti mengkritik konsesnus lama dan membuka peluang bagi sarjana muslim
baru untuk berijtihad dalam mersepon tantangan zaman. Membuka pintu ijtihad untuk mencari
jawaban-jawaban yang baru.41 Memikirkan ulang sunah dan kritik hadits sebagai pertanda
kemunculan upaya penafsiran baru. Karena upaya sarjana modern untuk melakukan
penafsiran baru demi mendapatkan jawaban-jawaban yang relevan dengan modernitas.42
Al-Quran menurut Abu Zayd adalah fenomena hidup. Karena hermeneutika Al-Quran
humanistik mesti mempertimbangkan aspek Al-Qur’an sebagai fenomena hidup. Al-Qur’an
tidak bisa hanya diperlakukan sebagai teks saja, karena pesan al-Quran disampaikan dalam
konteks pergulatan budaya manusia semasa turunnya wahyu dari mulai proses dialog,
perdebatan, pengembangan, penerimaan sampai penolakan. Kesemuaan tersebut merupakan
wacana Al-Quran yang terekam dalam struktur Al-Quran itu sendiri dan tidak diluar. Dengan
mempertimbangkan aspek fenomena nya, penafsir dituntut untuk menghadirkan pesan Al-
Quran yang paling dekat dengan fitrah manusia sebagai ciptaan Allah.43

D. Metode Kritik al-Inhirâf


Secara bahasa term al-inhirâf berasal dari kata dasar harafa yang berarti menyeleweng,
menyimpang, pinggir atau ujung. Secara terminologi al-inhirâf adalah penyelewengan
penafsiran yang dilakukan oleh seseorang baik karena faktor metodologis, politis, psikologis
maupun ideologis. Orang pertama yang menggunakan teori ini adalah Muh}ammad H{usayn
al-Dhahabi> (1915-1977 M) melalui karyanya yang bertajuk al Ittijâhât al Munharifah fi Tafsîr
al Qur`ân al Karîm: Dawâfu’uhâ wa Daf’uhâ.

40
Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Quran, h. 42
41
Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Quran, h. 44
42
Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Quran, h.48
43
Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Quran, h.62
Menurut al-Dhahabi,> setidaknya ada dua sebab utama yang menjadikan
seseorang melakukan kesalahan atau penyelewengan (al-inhirâf) dalam penafsiran Al-Qur’an,
yaitu pertama, terlalu mendahulukanmakna (pemahaman) yang diyakini kebenarannya
oleh mufasir tanpa mempertimbangkan kemungkinan makna-makna lain yang dikandung
suatu kata atau kalimat. Kedua, terlalu mendewakan teks tanpa memperhatikan konteks
pembicaraan, objek yang dibicarakan, dan susunan redaksinya.
Dua hal ini kemudian dijadikan sebagai parameter untuk mengukur sebuah tafsir, apakah
ia tergolong menyeleweng (munharif) atau tidak. Penafsiran-penafsiran yang hanya
mengedepankan asumsi mufasir dan hanya berbasis pada pemahaman tekstualis dianggap
al-Dhahabi> sebagai tafsir munha}rif. Berdasarkan dua parameter ini, al-Dhahabi> berhasil
mengidentifikasi dan kemudian mengkritik ‘penyelewengan’ penafsiran yang dilakukan oleh
sebagian kelompok sufi, para ahli cerita (al-qashshâsh), ahli linguistik, kelompok muktazilah,
syiah, khawarij, para saintis dan penganut aliran pembaharu Islam. Dengan metode ini pula,
Fâyed terinspirasi untuk menyusun metode kritik tafsir infiltratif (al-dakhîl)-nya. Tentu
dengan sedikit penambahan, pengurangan dan kontekstualisasi.

E. Metode Kritik Tafsir Ad-Dakhîl


Secara etimologi, al-dakhîl berasal dari kata dakhala yang berarti masuk. Ibn Manzûr
(1233-1312 M) mengatakan si fulan masuk ke kaumnya si fulan, jika ia tidak termasuk
bagian dari kaum tersebut. Fairûz Abâdî > (1329-1415 M) dalam kamusnya al-Muhît
mengartikan kata dakhîl dengan penyakit atau zat berbahaya yang masuk ke dalam tubuh atau
akal manusia. Menurut al-Zamakhsharî (467-538 H/1070-1143 M), dakhîl merupakan
suatu penyakit atau aib yg masuk ke dalam tubuh atau ke dalam makanan sehingga
merusaknya. Sedangkan masyarakat Arab memaknainya sebagai suatu kata atau bahasa asing
yang masuk dan bercampur ke dalam bahasa Arab. Dari keterangan tersebut dapat
disimpulkan, arti dakhîl secara bahasa adalah; sesuatu yang tidak memiliki dasar yang kuat,
tidak termasuk dalam satu komunitas, penyelewengan, rekayasa dan kerusakan.44
Sedangkan arti ad-Dakhil secara terminologi adalah sebagai tafsir Al-Qur`an yang tidak
memiliki dasar yang jelas dari ajaran Islam, baik berupa tafsir yang menggunakan riwayat-

44
Jamâl Musthafâ Abd al-Hamîd Abd al-Wahhâb al-Najjâr, Ushûl al-Dakhîl fî Tafsîr Ây al-Tanzîl (Kairo:
Jamiah al-Azhâr, 2009) cet 4 h. 25-26
riwayat hadis lemah dan palsu, ataupun tafsir yang berasal dari pemikiran orang yang tidak
memenuhi syarat sebagai mufasir.45
Berdasarkan definisi tersebut, para ulama tafsir kemudian membagi al-dakhîl menjadi
dua jenis. Pertama, al-dakhîl bi al-athar (riwayat), yang meliputi: (1) Tafsir Al-Qur’an
dengan menggunakan hadis-hadis yang lemah atau palsu, dan (2) Tafsir dengan sumber
israiliyât (riwayat-riwayat yang berasal dari ahlul kitab dan umat terdahulu) yang bertentangan
dengan ajaran Islam. Kedua, al-dakhîl bi al-ra’y al-fâsid, yaitu penafsiran yang hanya
berdasarkan pada akal dan teori-teori serta hawa nafsu (kepentingan) penafsir, tanpa
mengindahkan syarat-syarat dan metodologi tafsir bi al- ra’yi. Termasuk dalam kategori ini
adalah penafsiran yang dilakukan oleh mereka yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagai
mujtahid.
Tokoh metode kritik ad-dakhîl salah satunya adalah Abdul Wahhab Fayed (1936-1999
M). Para penganut metode ini, khususnya Fâyed, menggunakan dua bentuk al-dakhîl tersebut
sebagai alat analisis dalam proses kritisisme penafsiran. Disamping juga menjadikan
dimensi esoterik (makna batin) yang berlawanan dengan syariat agama sebagai bagian dari
bentuk al-dakhîl dari sisi intuisi. Menurut Ulinnuha, penggunaan tiga bentuk al-dakhîl di
atas sebagai alat analisis kritisisme menunjukkan bahwa Fâyed masih terkontaminasi
dengan model pembagian sumber tafsir yang dirumuskan ulama klasik. Ia belum berani
melakukan lompatan metodologis sebagaimana yang pernah dilakukan ulama semacam
Muhammad ‘Abduh, Tâhâ Husayn dan Amîn al- Khûlî yang mengadopsi teori-teori sastra
Barat dalam studi Al-Qur’an. Fakta ini menjadi salah satu alasan kenapa kemudian
rekonstruksi dan restrukturisasi metode kritik tafsir menjadi urgen.46
Ulinnuha mengklasifikasi penerapan kritik tafsir ad-dakhîl dari strukturisasi karya Fayed
menjadi tujuh macam47, yakni:

1. Kritik terhadap tafsir yang bersumber dari hadis maudhu’

2. Kritik terhadap tafsir linguistic

3. Kritik terhadap tafsir bathiniyah

45
Jamâl Musthafâ Abd al-Hamîd Abd al-Wahhâb al-Najjâr, Ushûl al-Dakhîl fî Tafsîr Ây al-Tanzîl (Kairo:
Jamiah al-Azhâr, 2009) cet 4 h. 26
46
Muhammad Ulinnuha, “Rekonstruksi Metodologi Kritik Tafsir”, Disertasi, h. 72
47
Muhammad Ulinnuha, Rekonstruksi Metodologi Kritik Tafsir, h. 130-194
4. Kritik terhadap tafsir sufistik

5. Kritik terhadap tafsir bahaiyah


6. Kritik terhadap tafsir qadyaniyah
Pembahasan ad-Dakhil dalam makalah ini tidak diuraikan secara luas oleh pemakalah
karena akan dibahas pada materi selanjutnya. Dari lima metode kritik tafsir di atas, metode
yang mulanya berasal dari Barat adalah kritik sejarah, hermeneutika dan kritik sastra.
Sementara yang berkembang di Timur adalah metode kritik hadis, kritik al-inhirâf dan kritik
al-dakhîl.
Dari kelima metode kritik di atas, metode kritik ad-dakhîl menurut pemakalah merupakan
metode kritik yang paling efektif digunakan dalam mengkritisi tafsir Al-Qur`an. Karena
metode kritik ad-dakhîl memiliki kriteria yang jelas dan mengaplikasiannya sesuai dengan
standar keilmuan dalam tafsir yang dibuat para ulama terdahulu. Metode kritik ad-dakhîl
menarik hal-hal yang keluar dari al-ashîl yakni sumber-sumber otentik dalam penafsiran
seperti Al-Qur`an, hadis, pendapat sahabat dan tabi’in, Bahasa Arab, dan Ijtihad. Dengan
demikian, subjektifitas penafsir dapat ditekan semaksimal mungkin. Meski dalam penafsiran,
bidang keahlian dan subjektifitas mufasir tidak dapat dinafikan pengaruhnya.
BAB III

KESIMPULAN

Metode kritik tafsir abad modern di Islam dan Barat yakni:

1. Metode kritik sejarah

2. Metode kritik sastra

3. Metode kritik hermeneutik

4. Metode kritik al-inhirâf

5. Metode kritik ad-dakhîl

Dari kelima metode kritik di atas, metode kritik ad-dakhîl menurut pemakalah merupakan
metode kritik yang paling efektif digunakan dalam mengkritisi tafsir Al-Qur`an. Karena metode
kritik ad-dakhîl memiliki kriteria yang jelas dan mengaplikasiannya sesuai dengan standar
keilmuan dalam tafsir yang dibuat para ulama terdahulu. Metode kritik ad-dakhîl menarik hal-
hal yang keluar dari al-ashîl yakni sumber-sumber otentik dalam penafsiran seperti Al-Qur`an,
hadis, pendapat sahabat dan tabi’in, Bahasa Arab, dan Ijtihad. Dengan demikian, subjektifitas
penafsir dapat ditekan semaksimal mungkin. Meski dalam penafsiran, bidang keahlian dan
subjektifitas mufasir tidak dapat dinafikan pengaruhnya.

Anda mungkin juga menyukai