Anda di halaman 1dari 18

TRADISI, METODE, TOKOH DAN APLIKASI KRITIK TAFSIR PADA

ERA RASULULLAH

MAKALAH

Disusun dan ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Kajian Metodologi Kritik
Tafsir

Dosen Pengampu:

Dr. K.H. Ahmad Munif Suratmaputra, MA

Dr. H. Muhammad Ulinnuha, MA

Disusun oleh:

Syaifullah

NIM: 322440112

PROGRAM DOKTORAL PASCASARJANA INSTITUT ILMU

AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA

1444 H/2022 M

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Kritik tafsir bukanlah hal yang baru, namun kritik terhadap suatu pemahaman
yang didapat dari suatu ayat ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW;1 sebagai
mufassir pertama, yang Allah utus untuk menjelaskan kalam-Nya kepada umat
manusia QS. an-Nahl [16]: 44;

َ َّ َ َ َّ َ َ َ َ ُ َّ َ َ ُ َ ْ َ َْ َ ْ َ َْ َ
‫اس َما ن ِزل ِال ْي ِه ْم َولعل ُه ْم َيتفك ُر ْون‬
ِ ‫لن‬‫ل‬ِ ‫ن‬‫ي‬ ‫ب‬‫ت‬
ِ ِ ‫ل‬ ‫ر‬‫ك‬ ‫الذ‬
ِ ‫ك‬ ‫ وانزلنآ ِالي‬...

“...Dan Kami turunkan Ad-Dzikr (Al-Qur'an) kepadamu, agar engkau menerangkan


kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka
memikirkan.” (QS. an-Nahl [16]: 44)
Kritik Nabi terhadap tafsir bermula dari kesimpulan para sahabat tentang suatu
penafsiaran atau kesulitan sahabat Nabi di dalam memahami ayat Al-Qur’an, yang
kemudian mereka menanyakannya kepada Nabi, jawaban dan penjelasan Nabi itulah
yang kemudian menjadi titik terang (tashhîh) dari pendapat sementara itu atau ketidak
fahaman para sahabat tentang suatu ayat dari Al-Qur’an.2

A. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang singkat di atas, pemakalah akan merumuskan beberapa
masalah yang akan menjadi fokus pemabahasan di dalam makalah ini, di antaranya;

1. Seperti apa tradisi dan metode kritik tafsir pada era Rasulullah?

2. Bagaimana aplikasi kritik tafsir pada era Rasulullah?

1
‘Abdussalâm ibn Shalih ibn Sulaimân al-Jârullâh, Naqd ash-Shahâbah wa at-Tabi’în li at-Tafsîr
Dirasah Naszariyyah Tathbiqiyyah, (Riyâdh: Dâr Tadmuriyyah, 2008), cet. I, h. 26
2
Abdussalâm ibn Shalih ibn Sulaimân al-Jârullâh, Naqd ash-Shahâbah wa at-Tabi’în li at-Tafsîr Dirasah
Naszariyyah Tathbiqiyyah,... h. 26

2
BAB II
Kritik Tafsir Pada Era Rasulullah
A. Tradisi kritik tafsir pada era Nabi Muhammad
Nabi Muhammad ibn ‘Abdullâh adalah manusia pilihan Allah untuk menerima
wahyu (kalam-Nya) dan menjelaskannya kepada umat manusia QS. an-Nahl [16]: 44.
Amanah yang berikan kepada Nabi Muhammad, yakni menjelaskan maksud-maksud
yang terkandung dalam Al-Qur’an, ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW
adalah manusia yang paling faham terhadap Al-Qur’an baik secara global maupun
secara terperinci, pemahaman dan penjelasan Nabi tentang Al-Qur’an dijamin
langsung oleh Allah SWT;3 QS. Al-Qiyâmah [75]: 17-19
ْ
ٗ َ َ َ َ ْ َ َ َّ َُّ ٗ َ ٰ ْ ُ ْ َّ َ ُ ٰ َ َ َ َ ٗ َ ٰ ْ ُ َ ٗ َ ْ َ َ ْ َ َ َّ
‫ِان علينا جمعه وقرانهۚ ف ِاذا قرأنه فات ِبع قرانهۚ ثم ِان علينا بيانه‬

Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (di dadamu) dan


membacakannya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah
bacaannya itu. Kemudian sesungguhnya atas jaminan Kami penjelasannya. (QS.
Al-Qiyâmah [75]: 17-19)
Oleh karena itu, Nabi Muhammad selain bertugas menyampaikan Al-Qur’an,
beliau juga sebagai penafsirnya.4 Hanya saja para ulama’ berbeda pendapat terkait ayat
Al-Qur’an yang ditafsirkan oleh Nabi Muhammad. Ibnu Taimiyah (w. 728 H)5
berpendapat bahwa Nabi Muhammad telah menjelaskan makna Al-Qur’an keseluruhan
kepada para sahabat, bahkan semua makna perkalimah yang ada dalam Al-Qur’an.
Berdalilkan QS. an-Nahl [16]: 44 dan hadits Nabi yang berkenaan dengan para sahabat
Nabi belajar Al-Qur’an tidak melebihi sepuluh ayat hingga faham dan
mengamalkannya.6

Sebagian yang lain berpendapat, bahwa Nabi hanya sedikit saja dalam
mengajarkan makna Al-Qur’an kepada para sahabat. Pendapat ini didudukung oleh al-

3
Muhammad Husain adz-Dzahabî, at-Tijâhât al-Munharifah Fî Tafsîr Al-Qur’ân al-Karîm Dawâfi’uhâ
wa Daf’uhâ, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1986), cet. II, h. 10
4
Muhammad Husain adz-Dzahabî, at-Tijâhât al-Munharifah Fî Tafsîr Al-Qur’ân al-Karîm Dawâfi’uhâ
wa Daf’uhâ,.. h. 10
5
Nama lengkapnya adalah Taqiyuddîn Ahmad ‘Abdul Halîm Ibn ‘Abdus Salâm Ibn ‘Abdullâh Ibn Abî
al-Qâsim al-Hidhr an-Namîrî al-Hirânî ad-Dimasyqî lahir Hirân pada tahun 661 H/1263 M dan wafat pada tahun
728 H/1328 M. Lihat Khairuddîn az-Ziriklî, al-A’lâm Qamûs Tarâjim al-Asyhar ar-Rijâl wa an-Nisâ’ Min al-
‘Arab wa al-Mustaghrain wa al-Mustasyriqîn, (Bairut: Dâr al-‘Ilm Li al-Malâyîn, 2002), cet XV, jilid I, h. 144
6
Taqiyuddîn Ahmad ‘Abdul Halîm, Muqaddimah Fî Ushûl at-Tafsîr, (t.tp.,: t.p, 1972), cet. II, h. 35

3
Khuwaibi sebagaimana dikutip oleh as-Suyûthî (w. 911 H)7 dalam al-Itqân dan as-
Suyûthî mensetujui pendapat al-Khuwaibî.8
‘Abdurrahmân Ibn Muhammad al-Mishrî mengutip dari perkataan salah satu
ulama’ mufassir yang mengatakan; Seandainya Nabi Muhammad SAW menafsirkan Al-
Qur’an secara keseluruhan, maka terkunci pintu bagi orang yang ingin menafsirkan
Al-Qur’an.9
Sudah maklum, bahwa ketika Allah ingin berbicara kepada umat manusia, maka
Allah mengutus seorang Rasul yang mempunyai bahasa yang sama dengan umat
tersebut, supaya mereka memahami apa yang Allah inginkan. Al-Qur’an Allah
turunkan dengan menggunakan bahasa Arab kepada orang Arab yang afshah al-‘Arab
(paling fasihnya orang Arab), sehingga mereka bisa memahaminya secara global dan
hukum-hukum yang di dalamnya, sedangkan pemahaman yang terperinci akan mereka
dapatkan setalah melakukan pengkajian, penalaran dan bertanya atau mendengarkan
penjelasan dari Nabi Muhammad SAW.10
Pada zaman Nabi sangat minim ditemukan para sahabat salah dalam memahami
Al-Qur’an, karena ketika Al-Qur’an turun, Rasulullah—sebagai penyampai maksud
kalam Allah—sendiri yang langsung menjelaskan maksud dari ayat tersebut. Namun
jika para sahabat salah dalam memahami, maka Nabi meluruskan dan memberikan
pemahaman yang benar.11 Misalnya, ‘Adî ibn Hâtim (w. 67 H/688 M) tentang Q.S. Al-
Baqarah [2]: 187;

ْ َْ َ َ ْ َْ
ْ ُ ََْْ ُ ْ َْ ُ َ َ َّ َ ّٰ َ ُْ ْ َ َُُْ
َْ َ ُ َ َ
...ِۖ‫ وكلوا واش َربوا حتى يتبين لكم الخيط الابيض ِمن الخي ِط الاسو ِد ِمن الفجر‬...
ِ
“...Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang
putih dan benang hitam, yaitu fajar...” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 187)
Tantang ayat tersebut ‘Adî ibn Hâtim mengadu kepada Rasulullah, bahwa ia
telah melaksanakan semua yang Nabi wasiatkan kepadanya, hanya saja ada satu hal

7
Nama lengkapnya ‘Abdurrahmân Ibn al-Kamâl Abî Bakr Ibn Muhammad Ibn Sâbiq ad-Dîn Ibn Fakr
‘Utsmân Ibn Nâdziruddîn al-Himâm al-Khadîrî al-Asyûthî, beliau lahir setelah magrib awal bulan rajab pada
tahun 849 H dan wafat pada waktu sahur/akhir malam Jum’at tanggal 19 Jumâdil Ulâ tahun 911 H. Lihat
‘Abdurrahmân Ibn al-Kamâl Abî Bakr as-Suyûthî, al-Itqân Fî ‘Ulûm Al-Qur’ân, (Libanon: Dâr al-Fikr, 2010),
jilid I, h. 1 dan 15-16
8
‘Abdurrahmân Ibn al-Kamâl Abî Bakr as-Suyûthî, al-Itqân Fî ‘Ulûm Al-Qur’ân, … jilid II, h. 547
9
‘Abdurrahmân Ibn Muhammad al-Mishrî, at-Tafsîr an-Nabawî Âyât Qur’âniyyah Fassarahâ an-Nabiyy
Shallâhu ‘Alaihi wa Sallam, (Thanthâ: Dâr al-Majdi li an-Nasyr wa at-Tauzî’, 2018), cet. I, h. 5
10
Badruddîn Muhammad ibn ‘Abdullâh az-Zarkasyî, al-Burhân fî ‘Ulûm Al-Qur’ân, (Kairo: Dâr Ibn al-
Jauzî, 2013), cet. I, h. 11
11
Abdussalâm ibn Shalih ibn Sulaimân al-Jârullâh, Naqd ash-Shahâbah wa at-Tabi’în li at-Tafsîr
Dirasah Naszariyyah Tathbiqiyyah,... hal. 26

4
yang ia belum terlaksana, yakni membedakan benang hitam dan putih di kegelapan
malam. Nabi bertanya kepada ‘Adî ibn Hâtim: “Apa yang menghalangimu (sehingga
kamu tidak bisa melaksanakannya) wahai ibn Hâtim?” seraya Nabi tersenyum seakan-
akan Nabi mengetahui apa yang telah dilakukan oleh ibn Hâtim. Kemudian ibn Hâtim
menjawab: “Saya mengikat kedua benang putih dan benang hitam, lalu saya lihat di
kegelapan malam dan saya mendapatinya tidak ada bedanya antara kedua benang
tersebut!”. Mendengar tersebut, Nabi tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya,
kemudian beliau bersabda: “Bukankah sudah saya katakan kepadamu “min al-Fajr”
(yang dimaksud adalah Fajar)? Sesungguhnya yang dimaksud adalah terangnya siang
dan gelapnya malam.12
Berbeda dengan dewasa ini, Al-Qur’an dikaji dari berbagai sisi. Menafsirkan
Al-Qur’an dengan hadits dan isrâîliyyat yang tidak diketahui jalur periwatannya,
penafsiran dengan menggunakan rasio yang tidak bersandarkan dengan keilmuan yang
benar dan lain sebagainya. Sehingga perlu adanya peninjauan ulang dan kritik untuk
mengevaluasi, memilah dan memilih tafsir yang mendakati kebenaran dan yang jauh
dari pemahaman yang seharusnya.
B. Metode dan aplikasi kritik tafsir pada zaman Nabi Muhammad
Metode yang digunakan oleh Nabi Muhammad di dalam mengkritik atau
meluruskan pemahaman yang salah terkait suatu penafsiran, ada tiga yaitu:
1. Menggunakan ayat Al-Qur’an.
Salah satu metode kritik Nabi terhadap pemahaman sahabat yang salah
dalam memahami Al-Qur’an, yaitu dengan menggunakan Al-Qur’an yang sudah
diturunkan sebelumnya. Misalnya dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
‘Abdullâh ibn Mas’ûd bahwa ketika turun Q.S. Al-An’âm [6]: 82

ْ ُ ْ ُ َ َ ْ ْ ُ ْ َ ْ َ َ ْ ُ َ ٰ َ ْ ََّ
... ‫ال ِذين امنوا ولم يلبسوٓا ِايمانهم ِبظل ٍم‬
ِ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka
dengan kedzaliman…” (Q.S. Al-An’âm [6]: 82).
Para sahabat bertanya kepada Nabi: “Wahai Rasulullah adakah dari kami
yang tidak mendzalimi dirinya sendiri?”. Kemudian Nabi menjawab: “Bukan
seperti apa yang kalian katakan, yang dimaksud bi dzulmin (dengan kedzaliman)

12
Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr ath-Thabarî, Tafsîr ath-Thabarî Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Ây Al-
Qur’ân, (Kairo: Dâr Ibn al-Jauzî, 2015), Cet. I, Jilid II, hal. 17

5
adalah syirik. Apakah kalian tidak mendengar perkataan Luqmân kepada
anaknya:

َ ْ َُ َ َّ ّٰ ْ ْ ُ َ َّ َ ُ ٰ ٗ ُ َ َ ُ َ ْ ُ ٰ ْ ُ َ َ ْ َ
‫الش ْرك لظل ٌم ع ِظ ْي ٌم‬
ِ ‫ن‬ ‫اّٰلل ِا‬
ِ ‫واِ ذ قال لقمن ِلاب ِن ٖه وهو ي ِعظه يبني لا تش ِرك ِب‬
“Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi
pelajaran kepadanya, “Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan
Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman
yang besar.” (Q.S. Luqmân [31]: 13)13
Misalnya juga ketika ‘Aisyah istri Nabi Muhammad membaca Q.S. Al-
An’âm [6]: 94;

َ
َ َ ََّ ْ ُ ٰ ْ َ َ َ ٰ ُ َْ ُْ
… ‫ولقد ِجئت ُمونا ف َرادى كما خلقنكم اول مَّر ٍة‬
ْ َََ

“Dan kamu benar-benar datang sendiri-sendiri kepada Kami sebagaimana


Kami ciptakan kamu pada mulanya...” (Q.S. Al-An’âm [6]: 94).
Dari ayat di atas, ‘Aisyah berasumsi bahwa; ketika manusia—laki-laki
dan perempuan—di kumpulkan pada hari kiamat dalam keadaan telanjang dan
tidak menggunakan alas kaki, mereka masih sempat untuk memperhatikan satu
sama yang lain. Kemudian ‘Aisyah berkata kepada Nabi: “Alangkah buruknya!
Semua laki-laki dan perempuan dikumpulkan (di suatu tempat) sebagian melihat
keburukan sebagian yang lain!”. Menanggapi pemahaman, sangkaan atau ucapan
‘Aisyah tersebut, kemudian Rasulullah membacakan Q.S. ‘Abasa [80]: 37;

ْ ٌ ْ َ ْ ْ ‫ل ُكل‬
‫ئ ِمن ُه ْم َي ْو َمى ٍِٕذ شأن ُّيغ ِن ْي ِه‬ ‫ر‬
ٍ ِ ‫ام‬ ِ ِ
“Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang
menyibukkannya.” (Q.S. ‘Abasa [80]: 37).
Dan Nabi bersabda: “Seorang laki-laki tidak sempat memperhatikan atau
melihat perempuan (yang ada di sekitarnya) dan tidak pula sebaliknya, mereka
disibukkan dengan urusan mereka masing-masing”.14
2. Menggunakan wahyu
Yang dimaksud dengan penggunaan wahyu di dalam mengkritik
pemahaman sahabat yang salah di sini, adalah Allah menurunkan wahyu kepada

13
H.R. al-Bukhârî no hadits 32. Lihat Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhârî, Shahîh al-
Bukhârî, (Damskus: Dâr Ibnu Katsîr, 2002), Cet. I, h. 18
14
Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr ath-Thabarî, Tafsîr ath-Thabarî Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Ây Al-
Qur’ân, (Kairo: Dâr Ibn al-Jauzî, 2015), cet. I, Jilid V, h. 48

6
Nabi Muhammad sebagai pelengkap dari Al-Qur’an yang diturunkan
sebelumnya. Seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Sahl ibn Sa’ad,
bahwasanya ia berkata: Ketika Allah menurunkan QS. Al-Baqarah [2]: 187

َ ْ َْ
ْ ُ ََْْ ُ ْ َْ ُ َ َ َّ َ ّٰ َ ُْ ْ َ َُُْ
َْ َ ُ َ َ
…‫ وكلوا واش َربوا حتى يتبين لكم الخيط الابيض ِمن الخي ِط الاسود‬...

“...Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang


putih dan benang hitam, … (QS. Al-Baqarah [2]: 187).

ْ َْ
Sebelum turunnya ayat ‫( ِم َن الفج ِر‬yaitu fajar). Dulu para sahabat ketika

hendak berpuasa, salah satu dari mereka mengikatkan benang putih dan benang
hitam pada kedua kakinya, mereka tidak berhenti makan hingga ketika melihat
kedua benang itu menjadi tampak. Kemudian Allah menurunkan ayat setelahnya
ْ َْ
‫( ِم َن الفج ِر‬yaitu fajar), kemudian para sahabat mengerti yang dimaksud dengan

ayat sebelumnya—benang putih dan benang merah—adalah malam dan siang.15


3. Menggunakan Ijtihad16
Dalam meluruskan pemahaman sahabat yang salah tentang suatu
penafsiran, Nabi juga berijtihad17 sesuai dengan apa yang beliau fahami dari Al-
Qur’an. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam asy-Syâfi’î (w. 204 H) yang
dikutip oleh Muhammad ibn ‘Umar ibn Sâlim Bâzamûl:

ْ َ ْ َ ُ َ َ َّ َ ُ َ َ َّ َ َ ْ َ َ ُ َّ َّ َ َّ ُ ُ َ َ
َ َ َ ُّ ُ
18
.‫آن‬
ِ ‫اّٰلل صلى اّٰلل علي ِه وسلم فهو ِِما ف ِهمه ِمن القر‬
ِ ‫كل ما حكم ِب ِه رسول‬

“Setiap Rasulullah memutuskan hukum pada sesuatu, hal itu berdasarkan apa
yang beliau fahami dari Al-Qur’an.”

15
H.R Imam al-Bukhâri no hadits 1917 dan 4511. Lihat Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ismâ’îl al-
Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, … h. 461 dan 1105
16
Yang dimaksud dengan Ijtihâd di sini adalah keseriusan atau ketekunan seorang mufassir untuk
memahami makna-makna Al-Qur’an, menyingkap makna lafazh dan tujuannya, ijtihâd ini hanya berputar pada
nash yang ada dalam batasan bahasa dan syara’ atau penjelasan tentang nash dan menyingkap hukum-hukum,
nasehat, pelajaran dan sesuatu yang berhubungan dengan tugas tafsir dan seorang mufassir. Lihat; Khâlid
‘Abdurrahmân al-‘Ak, Ushûl at-Tafsîr wa Qawâ’iduh, (Bairut: Dâr an-Nafâis, 1986 M), cet. II, h. 176-177
17
Terkait Ijtihad Nabi, para ulama’ masih dalam perdebatan. Misalnya Abû ‘Alî al-Jubba’î (w. 915 H)
berpendapat bahwa Nabi tidak berijtihad baik dalam masalah syari’at maupun dunia. Ibn Hazm (w. 1064 M), Ibnu
Taimiyah (w. 728 H), dan Kamâl al-Humâm berpendapat bahwa Nabi berijtihad baik dalam masalah syari’at
maupun dunia. Sedangkan Qadhi ‘Iyâdh (w. 544 H) dan Ibn Khaldûn (w. 808 H) berpendapat bahwa Nabi hanya
berijtihad dalam urusan dunia saja. Lihat Muhammad Ihwan, Studi Analisis Ijtihad Rasul SAW Dalam Kitab
Ijtihad Rasul SAW, dalam jurnal Istidlal Volume 2, Nomor 2, Oktober 2018, h .169-174
18
Muhammad ibn ‘Umar ibn Sâlim Bâzamûl, at-Tafsîr bi al-Ma’tsûr Mafhumuh wa Anwâ’uh wa
Qawâ’iduh, (Kairo: Dâr al-Istiqâmah, 2011), cet. I, h. 28

7
Di antara kritik Nabi dengan menggunakan ijtihad, yaitu: Ketika ‘Aisyah
membaca QS. Al-Mu’minûn [23]: 60

َ ُ ٰ ُ ََّ ٌ َ ُ ُ ُُ َٰ َ ُ ْ َ ْ َّ
ۙ‫َوال ِذين ُيؤت ْون َمآ ات ْوا َّوقل ْوبه ْم َو ِجلة انه ْم ِالى َر ِب ِه ْم ٰر ِجع ْون‬

“Dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (sedekah) dengan
hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan
kembali kepada Tuhannya.” ( QS. Al-Mu’minûn [23]: 60)
‘Aisyah berasumsi bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang
melakukan suatu perbuatan yang terus-menerus mereka lakukan adalah perbuatan
maksiat, sehingga meraka hatinya merasa khawatir. ‘Aisyah mengkomfirmasikan
tentang asumsinya kepada Rasulullah: “Apakah yang dimaksud dalam ayat
tersebut orang yang mencuri, berzina, meminum khamr?. Rasulullah menjawab:
“Tidak seperti itu wahai anak perempuan ash-Shiddîq, mereka adalah orang
yang berpuasa, bersedekah dan shalat, namun mereka khawatir (semua amalnya)
tidak diterima oleh Allah”.19
Misalnya juga ketika Allah menurunkan QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 98
َ ْ ُ ٰ َ َ ْ ُ ْ َ َ َّ َ َ ُ َ َ ّٰ ْ ُ ْ َ ْ ُ ُ ْ َ َ َ ْ ُ َّ
‫اّٰلل حصب جهنم انتم لها و ِردون‬ ِ ‫ِانكم وما تعبدون ِمن دو ِن‬
“Sungguh, kamu (orang kafir) dan apa yang kamu sembah selain Allah,
adalah bahan bakar Jahanam. Kamu (pasti) masuk ke dalamnya.” (QS. Al-
Anbiyâ’ [21]: 98).
‘Abdullâh ibn az-Zab’arî mendatangi dan mendebat Nabi Muhammad—
ketika Nabi berada di dalam masjid bersama para sahabat—ia berkata: “Setiap
yang disembah dan yang menyembah selain Allah akan dimasukkan ke dalam
Neraka, sedangkan kami menyembah Malaikat, Yahudi menyembah ‘Uzair,
Nasrani menyembah ‘Isâ ibn Maryam, mendengar perkataan az-Zab’arî tersebut,
al-Walid ibn al-Mughîrah dan para sahabat kaget, karena az-Zab’arî telah
berhujjah dan mendebat Nabi. Kemudian Nabi berkata: “Semua yang
menyembah selain Allah, maka mereka bersama dengan sesembahannya—di

19
Hadits tersbut diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah dalam hadits no. 419, lihat Abû ‘Abdillâh Muhammad
ibn Yazîd al-Qashwînî, Sunan Ibnu Mâjah, (t.tp., Dâr Ihyâ’ al-Kitub al-‘Arabiyyah, t.t), Jilid I, hal. 1404, dan
diriwayatkan juga oleh at-Tirmidzî no hadits 3175, lihat Abû ‘Isâ Muhammad ibn ‘Isâ at-Tirmidzî, al-Jâmi’ al-
Kabîr, (Bairut: Dâr al-‘Arab al-Islâmî, 1996 M), cet. I, Jilid V, hal. 235

8
Neraka—sesungguhnya mereka menyembah setan dan orang yang menyuruh
untuk menyembahnya.”20
Al-Jârullâh menuliskan bahwa ada beberapa metode menafsirkan Al-Qur’an
yang dicela, dikritik dan diwaspadai oleh Nabi Muhammad. Namun Nabi tidak
mengkritik secara keseluruhan, hanya pada beberapa keadaan tertentu,21 di antaranya
yaitu;
1. Kritik metode tawil ayat mutasyâbihât
Yang dimaksud dengan mentakwil ayat mutasyâbihât22di sini adalah
mentawil dengan tujuan untuk menjadikan manusia ragu terhadap Al-Qur’an dan
menyesatkannya, atau terkadang karena mengikuti madzhab yang bathil23
kemudian mereka mencari legitimasi dari Al-Qur’an. Jika tidak menemukan dari
ayat yang muhkamât,24 mereka berpegang teguh pada ayat-ayat mutasyâbihât
yang mereka tafsirkan sesuai dengan hawa nafsunya dan tujuan yang fâsidah

20
Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsir al-Qurasyî ad-Dimasyqî, Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Adzîm,
(Riyâdh: Dâr Thayyibah, 1999), cet. II, jilid V, h. 380, Ibrâhîm ‘Abdurrahmân Muhammad Khalîfah, ad-Dakhîl
Fî at-Tafsîr, (Kairo: Maktabah al-Îmân, 2018), cet. I, h. 49
21
Abdussalâm ibn Shalih ibn Sulaimân al-Jârullâh, Naqd ash-Shahâbah wa at-Tabi’în li at-Tafsîr
Dirasah Naszariyyah Tathbiqiyyah,... hal. 27
22
Mutasyâbih secara etimologi diambil dari akar kata Syabaha/syibhu yang berarti serupa, antara dua
perkara atau lebih atau bisa juga bermakna problem/masalah. Mutasyâbih sendiri bermakna problem/masalah,
serupa, sehingga bisa diartikan problem yang serupa satu sama lainnya. Lihat Ibn Munzhûr, Lisân al-‘Arab,
(Bairut, Dâr Shâdr, 2019), cet. X, jilid VIII, h. 17, Nûr ad-Dîn ‘Itr, ‘Ulûm Al-Qur’an al-Karîm, (Rembang: al-
Maktabah alAnwâriyyah, tt), h. 120, Ahmad bin Fâris bin Zakariyyâ, Maqîs al-Lughghah, (Kairo: Dâr al-Hadîts,
2008), h. 469. Sedangkan secara terminologi bermakna lafal yang samar/tidak jelas tafsirnya sebab serupa dengan
lainya. Al-Qaththân mengatakan bahwa Mutasyâbih secara terminologi minimal ada tiga makna, yaitu: Pertama;
Ayat-ayat yang hanya Allah yang mengetahui maksudnya. Kedua; Ayat-ayat yang mengandung banyak makna.
Ketiga; Ayat-ayat yang pemahamannya membutuhkan pada penjelasan pendukung. Lihat Nûr ad-Dîn ‘Itr, ‘Ulûm
Al-Qur’an al-Karîm, ... h. 120, dibandingkan dengan Mannâ’ al-Qaththân, Mabâhits Fî ‘Ulûm Al-Qur’ân, (t.tp.,
Mansyûrat al-‘Ashr al-Hadîts, 1990), h. 216
23
Bâthil adalah pemahaman yang membedai atau bertentangan dengan Al-Qur’an. Lihat Muhammad Ibn
Muhammad Abû Syahbah, al-Isrâiliyyât wa al-Maudhû’at Fî Kutub at-Tafsîr, (t.tp., Maktabah as-Sunnah, t.t), h.
13. Menurut istilah ahli fikih, bâthil adalah sesuatu yang tidak sah karena sama sekali tidak memiliki landasan.
Berbeda dengan fâsid, yang secara umum sah, tetapi ada sebagian syarat yang tidak terpenuhi. Lihat Sya’bân
‘Abdul ‘Âthî ‘Âthiyyah, dkk. al-Mu’jam al-Wasîth, (Mesir: Maktabah asy-Syurûq ad-Dauliyyah, 2004), cet. IV,
h. 61
24
Muhkam secara bahasa etimologis diambil dari hakama yang memiliki makna mana’a (mencegah).
Orang Arab berkata hakamtu ad-Dâbbah (saya mencegah/melarang binatang dengan hikmah). Lihat ar-Râghib
al-Ashfahâni, Mu’jam Mufradât Alfâzh Al-Qur’ân, (Bairut: Dâr al-Fikr, t.t), h. 126. Sedangkan menurut
terminologi ayat-ayat muhkam mempunyai beberapa makna, yaitu: pertama; ayat-ayat yang mudah diketahui
maksudnya. Kedua; ayat-ayat hanya bisa difahami dengan satu pengertian saja. Ketiga; ayat-ayat yang dapat
difahami secara langsung, tidak membutuhkan penjelasan yang lain. Lihat Mannâ’ al-Qaththân, Mabâhits Fî
‘Ulûm Al-Qur’ân, ... h. 216

9
(rusak).25 sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Zindiq dan
Qaramithah.26
Nabi mengingatkan untuk berhati-hati terhadap orang yang
memperdagangkan nash-nash syri’at, ‘Aisyah—istri Nabi—berkata: “Ketika
Nabi membaca QS. Âli ‘Imrân [3]: 7;

ََّ َ ٌ ٰ ٰ َ ُ َ ُ َ ٰ ْ ُّ ُ َّ ُ ٌ َ ْ ُّ ٌ ٰ ٰ ُ ْ َ ٰ ْ َ ْ َ َ َ َ ْ َ ْ َّ َ ُ
‫ي انزل عليك ال ِكتب ِمنه ايت محك ٰمت هن ام ال ِكت ِب واخ ُر متش ِبهت فاما‬ ٓ ‫هو ال ِذ‬
ْ ْ َّ
ُ‫الذيْ َن ف ْي ُق ُل ْوبه ْم َز ْي ٌغ َف َيَّتب ُع ْو َن َما تَ َش َاب َه م ْن ُه ْابت َغا َۤء الف ْت َنة َو ْابت َغا َۤء َتأو ْيلهۚ َو َما َي ْع َلم‬
ِٖ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ
َّ َّ ََّ َ َ َ َ ْ ْ
ُ
ُ َّ َ ٰ َ ْ ُ ْ ُ َ ْ ْ َ ْ ُ ّٰ َ ُ ّٰ َّ ٗ َ ْ ْ َ
‫م‬
‫تأ ِويل ٓه ِالا اّٰللۘوالر ِسخون ِفى ال ِعل ِم يقولون ا نا ِب ٖهۙ كل ِمن ِعن ِد ر ِبناۚ وما يذكر ِال ٓا‬
َ َْْ ُ ُ
‫اب‬ ِ ‫اولوا الالب‬
“Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad). Di
antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-
Qur'an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam
hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk
mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang
mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya
mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur'an), semuanya dari
sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang
yang berakal.”
Kemudian Nabi bersabda: “Jika kamu (‘Aisyah) melihat orang yang
mengikuti ayat-ayat mutasyâbihât, merekalah yang Allah sebutkan—dalam QS.
Âli ‘Imrân [3]: 7—maka berhati-hatilah kalian terhadap mereka.”27
Ibnu Jarîr ath-Thabarî (w. 310 H) menyebutkan suatu riwayat yang
diriwayatkan oleh ar-Rabî’, bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan utusan
Nashrâni Najrân yang mendebat Nabi. Mereka berkata: “Bukankan kamu
mengatakan bahwa ‘Isâ adalah ruh Allah dan kalimah-Nya?.” Nabi menjawab:
“Betul”. Mereka berkata: “Ungkapan tersebut sudah cukup bagi kami”.
Kemudian Allah menurunkan QS. Âli ‘Imrân [3]: 7, dan Allah juga menurunkan
QS. Âli ‘Imrân [3]: 59.28

25
Abdussalâm ibn Shalih ibn Sulaimân al-Jârullâh, Naqd ash-Shahâbah wa at-Tabi’în li at-Tafsîr
Dirasah Naszariyyah Tathbiqiyyah,... hal. 27
26
Abî ‘Abdillâh Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abî Bakr al-Qurthubî, al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân wa al-
Mubayyin Limâ Tadhammanah Min as-Sunnah wa Ay al-Furqân, (Bairut: Muassasah ar-Risâlah, 2006), cet. I,
jilid V, h. 22
27
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhârî dalam kitab shahîhnya no hadits 4547. Lihat Abû
‘Abdillâh Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, ... h. 1114
28
Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr ath-Thabarî, Tafsîr ath-Thabarî Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Ây Al-
Qur’ân, ... jilid II, h. 862

10
ُ ْ ُ َ َ ْ ُ ٗ َ َ َ َُّ َ ُ ْ ٗ َ َ َ َ َ ٰ َ َ َ ّٰ َ ْ ٰ ‫اَّن َم َث َل ع ْي‬
‫اب ثم قال له كن فيكون‬ ٍ ‫ر‬ ‫ت‬ ‫ن‬ ‫م‬
ِ ‫ه‬ ‫ق‬ ‫ل‬‫خ‬ ‫م‬‫د‬ ‫ا‬ ‫ل‬ِ ‫ث‬ ‫م‬‫ك‬ ‫اّٰلل‬
ِ ‫د‬ ‫ن‬‫ع‬ِ ‫ى‬ ‫س‬ ِ ِ
“Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allah, seperti
(penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah, kemudian Dia berkata
kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu.” (QS. Âli ‘Imrân [3]: 59)
Al-Jârullâh mengatakan; Orang-orang Nashrani berkeyakinan bahwa
Nabi ‘Isâ adalah Tuhan, mereka mencari legitimasi dari Al-Qur’an, dan mereka
menakwilkan ayat-ayat mutasyâbihât dengan menyangka bahwasanya ayat
tersebut menunjukkan atas ketuhanan Nabi ‘Isâ. Oleh karena itu, mereka berkata
kepada Nabi Muhammad: “Bukankan kamu mengatakan bahwa ‘Isâ adalah ruh
Allah dan kalimah-Nya?.” Nabi menjawab: “Betul”. Mereka berkata:
“Ungkapan tersebut sudah cukup bagi kami”.29
2. Kritik metode penafsiran dengan isrâiliyyât
Sebagian mufassir menjadikan isrâiliyyât30 sebagai salah satu metode
dalam menafsirkan Al-Qur’an. Muhammad Husaîn adz-Dzahabî (w. 1977 M)
menyebutkan bahwa pada zaman para sahabat pun isrâiliyyât dijadikan sebagai
sumber penafsiran, karena sebagian masalah dalam Al-Qur’an ada kesamaan
dengan Taurat terutama dalam masalah kisah para Nabi dan umat terdahulu.
Begitu juga dengan Injîl, seperti kisah tentang kelahiran Nabi ‘Isâ ibn Maryam
dan mu’jizatnya.31
Hal ini juga karena sudah mendapatkan legalitas dari Nabi Muhammad
SAW;

َ َ َ َ ْ َ ُ َ
32
‫ح ِدثوا ع ْن َب ِني ِإس َر ِائيل َولا ح َرج‬

29
Abdussalâm ibn Shalih ibn Sulaimân al-Jârullâh, Naqd ash-Shahâbah wa at-Tabi’în li at-Tafsîr
Dirasah Naszariyyah Tathbiqiyyah,... hal. 28
30
Isrâ’îliyât adalah bentuk plural dari kata isrâ’îliyyah, kalimah ini disandarkan pada banî isrâ’îl, yang
dimaksud dengan isrâ’îl adalah Ya’qûb Ibn Ishâq Ibn Ibrâhîm. Kata isrâ’îl berasal dari bahasa Ibrani, yang
tersusun dari kata isrâ bermakna ‘Abd (hamba) atau shafwah (pilihan atau terbaik) dan kata îl bermakna Allah,
sehingga makna isrâ’îl adalah ‘Abdullâh wa shafwatih min khalqih (hamba Allah yang terbaik atau terpilih dari
ciptaannya).sedamgkan secara istilah isrâ’îliyât adalah kisah-kisah atau kabar-kabar yang masuk ke dalam
kebudayaan Islam berdasarkan informasi ahli kitab, Yahudi dan Nasrani. Lihat Muhammad Ibn Muhammad Abû
Syahbah, al- Isrâ’îliyât wa al-Maudhû‘at fî Kutub at-Tafsîr, (Kairo: Mahtabah as-Sunnah, 1408 H), cet. IV, h. 12.
Lihat juga Muhammad Husain adz-Dzahabî, al- Isrâ’îliyât fî at-Tafsîr wa al-Hadîts, (Kairo: Maktabah Wahbah,
t.t), h. 13, Ramzî Na‘na‘ah, al- Isrâ’îliyât wa Atsâruha fî Kutub at-Tafsîr, (Bairut: Dâr adh-Dhiyâ’ 1970), cer. I,
h. 72, ‘Abdul Wahhâb ‘Abdul Wahhâb Fâyed, ad-Dakhîl fî at-Tafsîr Al-Qur’ân al-Karîm, (Kairo: Matba’ah
Hassân, 1978), cet. I, jilid I, h. 109.
31
Muhammad Husain adz-Dzahabî, at-Tafsîr wa al-Mufassirûn,(t.tp., Maktabah Mush’ab Ibn ‘Umar al-
Islâmî, t.t), jilid I, 47-48
32
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abû Daûd no hadits 3662. Lihat Abû Daûd Sulaimân Ibn al-‘Asy’âts
al-Azdî as-Sijistânî, Sunan Abî Daûd, (Damaskus: Dâr ar-Risâlah al-‘Âlamiyyah, 2009), jilid V, h. 503

11
“Sampaikanlah dari Bani Isrâîl tidak dosa”.
Dalam hadits yang lain, Nabi Muhammad didatangi salah satu pendeta
kemudian ia berkata kepada Nabi: “Wahai Muhammad! Sesungguhnya kami
menjumpai dalam kitab suci kami bahwa Allah akan meletakkan langit di atas
satu jari, air di atas satu jari, tanah di atas satu jari, dan seluruh makhluk di atas
satu jari, kemudian Allah berfirman: “Akulah Raja.”
Tatkala mendengarnya, Rasulullah tertawa sehingga tampak gigi-gigi
geraham beliau, karena membenarkan ucapan pendeta Yahudi itu, kemudian
beliau membaca QS. az-Zumar [39]: 6733
ٌ ّٰ ْ َ ُ ٰ ٰ َّ َ َ ٰ ْ َ ْ َ ٗ ُ َ ْ َ ً ْ َ ُ ْ َ ْ َ ْ َ َّ َ َ ّٰ َ َ
ٌۢ‫اّٰلل حق قد ِر ٖهِۖ والارض ج ِميعا قبضته يوم ال ِقيم ِة والسموت مط ِويت‬ ‫َو َما قد ُروا‬
َ ْ ُ ْ ُ َّ َ ٰ ٰ َ َ ٗ َ ٰ ْ ُ ْ َ
‫ِبي ِمي ِن ٖه سبحنه وتعلى عما يش ِركون‬

“Dan mereka tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya padahal


bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari Kiamat dan langit
digulung dengan tangan kanan-Nya. Mahasuci Dia dan Mahatinggi Dia dari
apa yang mereka persekutukan.” (QS. az-Zumar [39]: 67).
Namun di sisi yang lain, ketika ‘Umar ibn Khaththâb mendatangi Nabi
dengan membawa sebuah kitab yang ia dapatkan dari ahli kitab, setelah Nabi
membacanya, lalu beliau marah dan bersabda: “Apakah engkau termasuk orang
yang ragu—terhadap apa yang aku bawa—wahai Ibnul Khaththâb? Demi Dzat
yang jiwaku berada di Tangan-Nya, sungguh aku telah datang kepada kalian
dengan membawa agama yang putih bersih. Jangan kalian bertanya sesuatu
kepada mereka (Ahlul Kitab), karena bisa jadi mereka mengabarkan sesuatu
yang benar kepada kalian, namun kalian mendustakannya, atau mereka
mengabarkan satu kebatilan lalu kalian membenarkan kebatilan tersebut. Demi
Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa ‘alaihissalam masih
hidup niscaya tidak diperkenan baginya melainkan dia harus mengikutiku.”34

33
Hadits ini diriwayatkan oleh imam Bukhârî no hadits 4811. Lihat Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn
Ismâ’îl al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, ... h. 1211
34
Imâm Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, t.t), jilid XXIII,
h. 349. Dalam kesempatan yang lain ada sekelompok kaum muslimin yang datang kepada Nabi dengan membawa
beberapa kitab yang telah ditulisnya dan di dalamnya terdapat perkataan orang Yahudi, ketika Nabi melihat kitab
tersebut, lalu beliau melemparkannya seraya bersabda: “Cukuplah itu sebagai kedunguan suatu kaum—atau
kesesatan suatu kaum—mereka telah menolak/meninggalkan apa yang dibawa oleh Nabi mereka, sedangkan
mereka mengambil apa yang dibawa oleh bukan Nabi mereka.” Kemudian turunlah QS. al-‘Angkabût [29]: 51.
Lihat Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr ath-Thabarî, Tafsîr ath-Thabarî Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Ây Al-Qur’ân,
... jilid X, h. 47

12
Nabi marah kepada ‘Umar karena Nabi khawatir manusia akan berpaling
dari apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad, mereka akan menerima kitab-kitab
dari ahli kitab sebagai sandaran dan mengikutinya.
Adapun sabda Nabi “Apakah engkau termasuk orang yang ragu—
terhadap apa yang aku bawa—wahai Ibnul Khaththâb?” dan diperkuat dengan
sabda berikutnya; “Seandainya Musa ‘alaihissalam masih hidup niscaya tidak
diperkenan baginya melainkan dia harus mengikutiku.” Hal ini menunjukkan
bahwa seorang mufassir tidak boleh berpaling dari Al-Qur’an dan as-Sunnah pada
isrâîliyyât yang tidak dapat dipercaya atau bertentangan dengan apa yang dibawa
oleh Nabi Muhammad SAW.35
3. Kritik metode pembenturan ayat dengan ayat yang lain
Nabi melarang saling memperselisihkan ayat-ayat Al-Qur’an, suatu ketika
Nabi mendengar dua orang yang saling memperselisih suatu satu ayat, kemudian
Nabi keluar dengan wajah marah lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya umat
terdahulu binasa karena mereka saling memperselisihkan kitab-kitab mereka.”36
Dalam hadits yang lain disebutkan, bahwa suatu ketika Nabi mendengar
orang-orang yang saling berselisih/berdebat, kemudian belaiu bersabda:
Sesungguhnya umat terdahulu binasa dengan sebab hal ini—saling berselisih
atau berdebat—mereka saling membenturkan (ayat-ayat) Al-Qur’an satu sama
yang lain. Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan untuk membenarkan ayat yang
satu dengan ayat yang lain, maka janganlah kalian mendustakan sebagian
dengan sebagain yang lain. Jika kalian mengetahui—penafsirannya—maka
berbicaralah—tentang maksud ayat tersebut—dan jika kalian tidak
mengetahuinya, maka pasrahkanlah kepada orang mengetahuinya.37
Sebagian ulama’ melarang berselisih tentang Al-Qur’an, khususnya
memperselisihkan lafadz dan huruf yang terdapat dalam Al-Qur’an, dan tidak
pula tentang penafsiran dan takwilnya,38 karena terdapat riwayat yang
menjelaskan bahwa, suatu ketika ada dua orang yang saling berdebat tentang

35
Abdussalâm ibn Shalih ibn Sulaimân al-Jârullâh, Naqd ash-Shahâbah wa at-Tabi’în li at-Tafsîr
Dirasah Naszariyyah Tathbiqiyyah,... hal. 28
36
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim no hadits 2666. Lihat Abû al-Husain Muslim al-Hajjâj al-
Qusyairî an-Naisâbûrî, Shahîh Muslim, (Riyâdh: Dâr ath-Thayyinah, 2006), cet. I, jilid I, h. 1230
37
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad no hadits 6741. Lihat Imâm Ahmad Ibn Hanbal, Musnad
Ahmad Ibn Hanbal, ... jilid XI, h. 353-354
38
Abdussalâm ibn Shalih ibn Sulaimân al-Jârullâh, Naqd ash-Shahâbah wa at-Tabi’în li at-Tafsîr
Dirasah Naszariyyah Tathbiqiyyah,... h. 37

13
suatu ayat. Salah seorang dari mereka berkata: “Ayat ini saya pelajari dari
Rasulullah.” Dan yang lainnya berkata demikian, kemudia mereka mendatangi
dan menanyakannya kepada Nabi, lalu beliau bersabda: “Al-Qur’an dibaca
dengan sab’ah ahruf (bermacam-macam bacaan), maka janganlah kalian
berselisih/berdebat tentang Al-Qur’an, karena memperdebatkannya merupakan
bentuk kekafiran.”39
4. Kritik metode tafsir bi ar-Ra’y
Terdapat beberapa hadits yang mengkritik metode tafsir dengan ar-Ra’y
(rasio).40 Namun yang dimaksud di sini adalah tafsîr bi ar-Ra’y al-Madzmûm
(penafsiran Al-Qur’an dengan rasio yang tercela).41 Nabi bersabda;
ْ
َّ َ ُ َ َ ْ َ َََْ ْ ْ َ ُ َ َ ْ َ
42
‫رآن ِبغي ِر ِعل ٍم فليتبوأ مقعده ِمن الن ِار‬
ِ ‫من قال ِفي الق‬
“Siapa saja yang menafsirkan dengan tanpa ilmu, maka hendaknya ia
persiapkan tempat duduknya di Neraka.”
ْ
َّ َ ُ َ َ ْ َ َََْ ُ َ َ ْ َ
43
‫ فليتبوأ مقعده ِمن الن ِار‬،‫رأي ِه‬
ِ ‫رآن ِب‬
ِ ‫من قال ِفي الق‬
“Siapa saja yang menafsirkan Al-Qur’an dengan rasionya sendiri, maka
hendaknya ia persiapkan tempat duduknya di Neraka.”

39
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad no hadits 17542. Lihat Imâm Ahmad Ibn Hanbal, Musnad
Ahmad Ibn Hanbal, ... jilid XXIX, h. 85
40
Tafsîr bi ar-Ra’y adalah Penafsiran dengan menggunakan ijtihâd yang berdasarkan asas yang shahîh,
kaidah-kaidah yang berlaku dan diakui, siapa saja ingin mendapatkan mutiara dalam menafsirkan Al-Qur’an atau
menampilkan penjelasan makna-makna Al-Qur’an, maka hendaknya berpegang teguh padanya, yang dimaksud
bukan hanya berdasarkan pendapat semata (tanpa ilmu) atau hawa nafsu, atau menafsirkan Al-Qur’an sesuai
dengan apa yang terlintas di hati manusia atau sesuai dengan keinginan. Lihat Muhammad Alî ash-Shabûnî, at-
Tibyân fî ‘Ulûm Al-Qur’ân, (Teheran: Dâr Ihsân, 2003), cet. III, h. 155. Ijtihâd yang dimaksud di sini bukan
ijtihâd sebagaimana dikatakan oleh ulama’ ushûl fiqh, yakni kesungguh-sungguhan untuk sampai pada hukum
syara’ dengan menggunakan dalil-dalil yang tafshîlî (detail) dari dalil-dalil beberapa hukum yang telah syâri’
(pembuat syari’at) tetapkan. Lihat; ‘Abdul Wahhâb Khallâf, Ilm Ushûl al-Fiqh, (Kairo: Maktabah ad-Da’wah al-
Islâmiyyah Syabâb al-Azhâr, t.t), h. 216. Akan tetapi yang dimaksud dengan ijtihâd di sini adalah keseriusan atau
ketekunan seorang mufassir untuk memahami makna-makna Al-Qur’an, menyingkap makna lafazh dan
tujuannya, ijtihâd ini hanya berputar pada nash yang ada dalam batasan bahasa dan syara’ atau penjelasan tentang
nash dan menyingkap hukum-hukum, nasehat, pelajaran dan sesuatu yang berhubungan dengan tugas tafsir dan
seorang mufassir. Lihat; Khâlid ‘Abdurrahmân al-‘Ak, Ushûl at-Tafsîr wa Qawâ’iduh, (Bairut: Dâr an-Nafâis,
1986 M), cet. II, h. 176-177
41
Tafsîr bi ar-Ra’y al-Madzmûm adalah Perkataan/penjelasan tentang Al-Qur’an tanpa didasari dengan
ilmu, baik kerena kebodohan atau karena keterbatasan dalam keilmuannya atau karena hawa nafsu yang
mendorongnya pada sesuatu yang bententangan dengan yang benar. lihat Musâ’id bin Sulaimân bin Nâshir ath-
Thayyâr, Maqâlât fî ‘Ulûm Al-Qur’ân wa Ushûl at-Tafsîr, (Riyadh: Dâr al-Muhaddits, 1425 H), cet. I, h. 225
42
Hadits ini di riwayatkan oleh at-Tirmidzî no hadits 2950. Lihat Abû ‘Isâ Muhammad Ibn ‘Isâ at-
Tirmidzî, al-Jâmi’ al-Kabîr, (Bairut: Dâr al-Gharb al-Islâmî, 1996), cet. I, jilid V, h. 65. Imam Ahmad no hadits
2069. Lihat Imâm Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, ... jilid III, h. 496
43
Hadits ini di riwayatkan oleh at-Tirmidzî No. hadits 2951. Lihat Abû ‘Isâ Muhammad Ibn ‘Isâ at-
Tirmidzî, al-Jâmi’ al-Kabîr, ... jilid V, h. 66

14
َ ْ َ ْ َ َ َ َ َ ْ َ
َ َ َ َ ُ
44
‫رأي ِه فأصاب فقد أخطأ‬‫ب‬
ِ ِ ِ‫رآن‬‫الق‬ ‫ي‬ ‫ف‬
ِ ‫من ق‬
‫ال‬

“Siapa saja yang menafsirkan Al-Qur’an dengan rasionya kemudian benar,


maka ia telah salah”
Yang dimaksud dengan hadits di atas adalah menafsirkan Al-Qur’an
dengan hawa nafsunya, tanpa bersandar pada ilmu yang benar—yakni perangkat
ilmu pendukung untuk memahami Al-Qur’an—jika menafsirkan Al-Qur’an tanpa
ilmu, maka termasuk dalam hadits tersebut.45

44
Hadits ini di riwayatkan oleh at-Tirmidzî No. hadits 2953 Lihat Abû ‘Isâ Muhammad Ibn ‘Isâ at-
Tirmidzî, al-Jâmi’ al-Kabîr, ... jilid V, h. 66. Muhammad Nasiruddîn al-Bânî, Dha’îf al-Jâmi’ ash-Shaghîr wa
Ziyâdatuh al-Fath al-Kabîr, (t.tp., Maktabah al-Islâmî, t.t.), h. 827
45
Abdussalâm ibn Shalih ibn Sulaimân al-Jârullâh, Naqd ash-Shahâbah wa at-Tabi’în li at-Tafsîr
Dirasah Naszariyyah Tathbiqiyyah,... hal. 39

15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Tradisi kritik tafsir sudah ada pada era Nabi Muhammad, hanya saja sedikit sekali
adanya kesalahan di dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an pada masa ini. Setiap
ada kesalahan di dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an yang dilakukan oleh sahabat,
maka Nabi pasti akan meluruskan pemahaman tersebut.
2. Metode dan aplikasi kritik tafsir pada era Nabi ada tiga, yaitu:
a. Menggunakan Al-Qur’an
b. Menggunakan wahyu
c. Menggunakan Ijtihad

16
DAFTAR PUSTAKA
Kitab/Buku
‘Abdul Halîm, Taqiyuddîn Ahmad. Muqaddimah Fî Ushûl at-Tafsîr, t.tp.,: t.p, cet. II, 1972.
‘Âthiyyah, dkk, Sya’bân ‘Abdul. al-Mu’jam al-Wasîth, Mesir: Maktabah asy-Syurûq ad-
Dauliyyah, cet. IV, 2004.
Abû Syahbah, Muhammad Ibn Muhammad. al-Isrâiliyyât wa al-Maudhû’at Fî Kutub at-Tafsîr,
t.tp., Maktabah as-Sunnah, t.t.
Ad-Dimasyqî, Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsir al-Qurasyî. Tafsîr Al-Qur’ân al-
‘Adzîm, Riyâdh: Dâr Thayyibah, cet. II, 1999.
Adz-Dzahabî, Muhammad Husain. al- Isrâ’îliyât fî at-Tafsîr wa al-Hadîts, Kairo: Maktabah
Wahbah, t.t.
_________________ at-Tafsîr wa al-Mufassirûn, t.tp., Maktabah Mush’ab Ibn ‘Umar al-
Islâmî, t.t.
_________________ at-Tijâhât al-Munharifah Fî Tafsîr Al-Qur’ân al-Karîm Dawâfi’uhâ wa
Daf’uhâ, Kairo: Maktabah Wahbah, cet. II, 1986.
Al-‘Ak, Khâlid ‘Abdurrahmân. Ushûl at-Tafsîr wa Qawâ’iduh, Bairut: Dâr an-Nafâis, cet. II,
1986.
Al-Ashfahâni, ar-Râghib. Mu’jam Mufradât Alfâzh Al-Qur’ân, Bairut: Dâr al-Fikr, t.t.
Al-Bânî, Muhammad Nasiruddîn. Dha’îf al-Jâmi’ ash-Shaghîr wa Ziyâdatuh al-Fath al-Kabîr,
t.tp., Maktabah al-Islâmî, t.t.
Bâzamûl, Muhammad ibn ‘Umar ibn Sâlim. at-Tafsîr bi al-Ma’tsûr Mafhumuh wa Anwâ’uh
wa Qawâ’iduh, Kairo: Dâr al-Istiqâmah, cet. I, 2011.
Al-Bukhârî, Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ismâ’îl. Shahîh al-Bukhârî, Damskus: Dâr Ibnu
Katsîr, cet. I, 2002.
Fâyed, ‘Abdul Wahhâb ‘Abdul Wahhâb. ad-Dakhîl fî at-Tafsîr Al-Qur’ân al-Karîm, Kairo:
Matba’ah Hassân, cet. I, 1978.
Al-Jârullâh, ‘Abdussalâm ibn Shalih ibn Sulaimân. Naqd ash-Shahâbah wa at-Tabi’în li at-
Tafsîr Dirasah Naszariyyah Tathbiqiyyah, Riyâdh: Dâr Tadmuriyyah, cet. I, 2008.
Hanbal, Imâm Ahmad Ibn. Musnad Ahmad Ibn Hanbal, Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, t.t.
Khallâf, ‘Abdul Wahhâb. Ilm Ushûl al-Fiqh, Kairo: Maktabah ad-Da’wah al-Islâmiyyah
Syabâb al-Azhâr, t.t.
Khalîfah, Ibrâhîm ‘Abdurrahmân Muhammad. ad-Dakhîl Fî at-Tafsîr, Kairo: Maktabah al-
Îmân, cet. I, 2018.
Al-Mishrî, Abdurrahmân Ibn Muhammad. at-Tafsîr an-Nabawî Âyât Qur’âniyyah Fassarahâ
an-Nabiyy Shallâhu ‘Alaihi wa Sallam, Thanthâ: Dâr al-Majdi li an-Nasyr wa at-
Tauzî’, cet. I, 2018.
Na‘na‘ah, Ramzî. al- Isrâ’îliyât wa Atsâruha fî Kutub at-Tafsîr, Bairut: Dâr adh-Dhiyâ’ cet. I,
1970.
An-Naisâbûrî, Abû al-Husain Muslim al-Hajjâj al-Qusyairî. Shahîh Muslim, Riyâdh: Dâr ath-
Thayyinah, cet. I, 2006.
Ash-Shabûnî, Muhammad Alî. at-Tibyân fî ‘Ulûm Al-Qur’ân, Teheran: Dâr Ihsân, cet. III,
2003.

17
As-Sijistânî, Abû Daûd Sulaimân Ibn al-‘Asy’âts al-Azdî. Sunan Abî Daûd, Damaskus: Dâr ar-
Risâlah al-‘Âlamiyyah, 2009.
As-Suyûthî, ‘Abdurrahmân Ibn al-Kamâl Abî Bakr. al-Itqân Fî ‘Ulûm Al-Qur’ân, Libanon:
Dâr al-Fikr, 2010.
Ath-Thabarî, Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr. Tafsîr ath-Thabarî Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl
Ây Al-Qur’ân, Kairo: Dâr Ibn al-Jauzî, cet. I, 2015.
Ath-Thayyâr, Musâ’id bin Sulaimân bin Nâshir. Maqâlât fî ‘Ulûm Al-Qur’ân wa Ushûl at-
Tafsîr, Riyadh: Dâr al-Muhaddits, cet. I, 1425.
At-Tirmidzî, Abû ‘Isâ Muhammad ibn ‘Isâ. al-Jâmi’ al-Kabîr, Bairut: Dâr al-‘Arab al-Islâmî,
cet. I, 1996.
Al-Qashwînî, Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Yazîd. Sunan Ibnu Mâjah, t.tp., Dâr Ihyâ’ al-
Kitub al-‘Arabiyyah, t.t.
Al-Qaththân, Mannâ’. Mabâhits Fî ‘Ulûm Al-Qur’ân, t.tp., Mansyûrat al-‘Ashr al-Hadîts,
1990.
Al-Qurthubî, Abî ‘Abdillâh Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abî Bakr, al-Jâmi’ li Ahkâm Al-
Qur’ân wa al-Mubayyin Limâ Tadhammanah Min as-Sunnah wa Ay al-Furqân,
Bairut: Muassasah ar-Risâlah, cet. I, 2006.
Az-Zarkasyî, Badruddîn Muhammad ibn ‘Abdullâh. al-Burhân fî ‘Ulûm Al-Qur’ân, Kairo:
Dâr Ibn al-Jauzî, cet. I, 2013.
Az-Ziriklî, Khairuddîn. al-A’lâm Qamûs Tarâjim al-Asyhar ar-Rijâl wa an-Nisâ’ Min al-‘Arab
wa al-Mustaghrain wa al-Mustasyriqîn, Bairut: Dâr al-‘Ilm Li al-Malâyîn, cet XV,
2002.
Jurnal

Jurnal Istidlal Volume 2, Nomor 2, Oktober 2018.

18

Anda mungkin juga menyukai