Anda di halaman 1dari 16

i

KATA PENGANTAR
Puji syukur kita ucapkan kepada Allah SWT yang memberikan segala
nikmat-Nya hingga penulis bisa menyelesaikan makalah tentang “Sejarah
Perkembangan Tafsir” tepat pada waktunya.
Tanpa bantuan dari Allah SWT, penulis bukanlah siapa-siapa. Shalawat beseta
salam tak lupa kita hadiahkan kepada junjungan umat yakninya nabi Muhammad
salallahu’alaihi wassalam
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas terstruktur dalam mata kuliah
“Ilmu Tafsir” Program Studi Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi tahun 2019.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis mendapat dukungan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Maka dengan ini, pemakalah mengucapkan
terimakasih kepada Ibu Dini Mardina yang telah membimbing selama
penyusunan makalah ini. Dan juga kepada teman-teman yang telah mendukung
dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, maka kritik dan
saran yang membangun dibutuhkan demi sempurnanya makalah ini. Semoga
makalah ini dapat berguna bagi pembaca terutama bagi pembaca dalam
memahami makalah ”Sejarah Perkembangan Tafsir”.

Bukittinggi, Agustus 2019

Penulis
i

DAFTAR ISI
KATAPENGANTAR……………………………………………1

DAFTAR ISI ………………………………………………........2

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.........................................................3

1.2 Rumusan Masalah....................................................3

1.3 Tujuan penulisan......................................................3

BAB 2 SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR

2.1 Pada Masa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi

wassalam……………………………………………..…..4

2.2 Pada Masa Sahabat..................................................5

2.3 Pada Masa Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in........................8

2.4 Pada Masa Klasik.....................................................9

2.5 Pada Masa Modern...................................................10

BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan............................................................15

3.2 Saran......................................................................15

DAFTARPUSTAKA...............................................................16
1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia dan paling tinggi
kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang
merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil.Ilmu tafsir
telah dikenal sejak zaman Rasulullah Saw.dan berkembang hingga di
zaman modern sekarang ini. Adapun perkembangan ilmu tafsir dibagi
menjadi limaperiode yaitu: pada masa nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi
wassalam, pada masa sahabat, pada masa Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in, pada
masa klasik dan pada masa modern.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan tafsir pada masa Rasul?
2. Bagaimana perkembangan tafsir pada masa Sahabat?
3. Bagaimana Perkembangan tafsir pada masa Tabi’in dan Tabi’
Tabi’in?
4. Bagaimana perkembangan tafsir pada masa klasik?
5. Bagaimana perkembangan tafsir pada masa modern?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dan memahami perkembangan tafsir pada masa Rasul.
2. Mengetahui dan memahami perkembangan tafsir pada masa sahabat.
3. Mengetahui dan memahami perkembangan tafsir pada masa tabi’in
Dan Tabi’ Tabi’in
4. Mengetahui dan memahami perkembangan tafsir pada masa klasik.
5. Mengetahui dan memahami perkembangan tafsir pada masa modern.
2

PEMBAHASAN
A. Penafsiran Pada Masa Nabi Muhammad Shalallahu ‘laihi wassallam
1. Kondisi Penafsiran Pada masa Nabi Muhammad Saw.
Beliau berfungsi sebagai mubayyin atau mufassir (pemberi penjelasan)
kepada para sahabat-sahabatnya tentang kandungan dari Al-Qur`an khususnya
tentang ayat-ayatnya belum dipahami.1

Hal ini dijelaskan dalam QS. An-Naẓl [16] : 44

ِ ‫الذ ْكَر لِتَُبنِّي َ لِلن‬


‫َّاس َما نُِّز َل ِإلَْي ِه ْم َولَ َعلَّ ُه ْم َيَت َف َّك ُرو َن‬ ِّ ‫ك‬َ ‫َأنزلْنَا ِإلَْي‬
َ ‫الزبُِر َو‬
ِ َ‫بِالْبِّين‬
ُّ ‫ات َو‬ َ
Artinya:

“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan


kepadamu Al-Qur`an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”

2. Karakteristik Penafsiran Pada Masa Nabi Saw


a. Menafsirkan Al-Qur`an dengan Al-Qur`an
Ketika beliau ditanya tentang siapakah “Orang-orang yang diberi nikmat?”
sebagaimana disebutkan dalam QS.al-Fātiḥah [1] : 6-7

ِ ‫غض‬
َ‫وب َعلَي ِه ْم َوال‬ ُ ‫مت َعلَي ِه ْم َغ ِري امل‬
َ ‫َأنع‬
َ ‫ين‬
َ ‫) ِصَرا َط الَّ ِذ‬6( ‫الصَرا َط املستَ ِقيم‬ ِ
ِّ ‫اهدنَـ ــا‬
َ ُ
)7( ‫ني‬ َ ِّ‫الضَّال‬
Artinya:
“Tunjukilah kami jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau
beri nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka yang dimurka dan bukan (pula
jalan) mereka yang sesat.”

Nabi Muhammad Saw. menjelaskan dengan QS. An-Nisā’ [4] : 69


1
Kementrian Agama, Tafsir-Imu Tafsir(Jakarta:Kementrian Agama 2014 ),Hal.35.
3

‫ني‬ ِ ِّ ‫ول فَُأولَـِئك مع الَّ ِذين َأْنعم اللّه علَي ِهم ِّمن النَّبِيِّني و‬ َّ ‫َو َمن يُ ِط ِع اللّهَ َو‬
َ ‫الصدِّيق‬ ََ َ ْ َ ُ َ َ َ َ َ َ ْ َ ‫الر ُس‬
‫ك َرفِي ًقا‬
َ ‫ني َو َح ُس َن ُأولَـِئ‬ِ‫والشُّه َداء و َّ حِل‬
َ ‫الصا‬ َ َ َ
Artinya:
“Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-
sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi,
para Shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka
itulah teman yang sebaik-baiknya”.
b. Menafsirkan al-Qur`an dengan Ilmu Nabi Muhammad Saw.
Nabi Muhammad Saw.adalah Nabi dan Rasul Allah Swt. Seluruh
perbuatan dan perkataan beliau dijaga dan selalu dalam bimbingan Allah Swt. Hal
ini dipertegas oleh Allah Swt. dalam QS. an-Najm [53] : 3-4

‫ِإ‬ ‫ِإ‬ ِ
َ ُ‫) ْن ُه َو اَّل َو ْح ٌي ي‬3( ‫َو َما يَنط ُق َع ِن اهْلََوى‬
)4( ‫وحى‬
Artinya:
“Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya (Muhammad). Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya).”
Hal ini juga menjadi dasar bahwa walaupun penjelasan yang berasal dari
beliau sendiri juga mendapat petunjuk dari Allah Swt. Beberapa contoh dari
penafsiran
Beliau adalah penjelasan beliau tentang tata cara shalat sebagaimana
diperintahkan Allah Swt. dalam QS. Al-Baqarah [2] : 43

ِ ِ َّ ‫الز َكاةَ وار َكعواْ مع‬ ِ


‫ني‬
َ ‫الراكع‬ َ َ ُ ْ َ َّ ْ‫الصالَةَ َوآتُوا‬
َّ ْ‫يموا‬
ُ ‫َوَأق‬
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang
yang rukuk”.2

2
Al-Qur’an
4

Perintah mendirikan shalat tersebut masih berbentuk umum yang


memerlukan penjelasan, seperti tentang bagaimana tata cara shalat, bagaimana
bacaan-bacaannya dan lain-lain. Maka untuk menjelaskannya Rasulullah naik ke
atas bukit kemudian melakukan ṣalāt hingga sempurna, lalu bersabda:

‫صلوا كما رايتموني ا صلي‬


“Shalatah kamu, sebagaimana kamu telah melihat aku shalat” (HR Bukhari).

B. Penafsiran Pada Masa Sahabat


Setelah Nabi Saw meninggal dunia, metode para sahabat dalam
menafsirkan suatu ayat Al-Qur’an lebih dulu mencarinya dalam al-Qur’an, apakah
ada ayat yang bisa menafsirkannya atau tidak ada sama sekali. Kemudian setelah
mereka tidak menemukan ayat yang bisa menafsirkannya, mereka beralih ke
sunnah atau hadis-hadis Nabi Saw, sebagai contoh, penafsiran atas kalimat alHajj
al-Akbar dalam QS. al-Taubah [09]: 3

ِ ‫َوَأذَا ٌن ِّم َن اللّ ِه َو َر ُسولِِه ِإىَل الن‬


ِ‫َّاس َي ْو َم احْلَ ِّج اَأل ْكرَب‬

Artinya:
“Dan (inilah) suatu permakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada umat
manusia pada Haji Akbar.”
Kemudian, apabila mereka tidak menemukan ayat Al-Qur’an dan hadis
Nabi Saw yang bisa menafsiri, mereka melakukan penalaran dan ijtihad dengan
segala kemampuan yang dimiliki mereka. Dalam berijtihad, sahabat telah
memiliki beberapa sumber yang bisa dijadikan sebagai bahan untuk melakukan
ijtihad. Di antaranya adalah:
1. Pengetahuan yang memadai tentang kosa kata, gramatikal dan sastra bahasa
Arab. Hal ini dapat membantu mereka guna mengetahui tafsir sebuah ayat yang
ada kaitannya dengan pemahaman akan kebahasaan.
2. Pengetahuan akan adat istiadat dan moral bangsa Arab yang bisa membantu
dalam menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan kebiasaan dan akhlak
mereka,seperti penafsiran QS. alBaqarah [02]: 189
5

artinya:

‫وت ِمن‬َ ُ‫س الْرِب ُّ بَِأ ْن تَْأُت ْواْ الُْبي‬ ِ ِ ُ ِ‫األهلَّ ِة قُ ْل ِهي َم َواق‬ ِ ‫يسَألُونَك ع ِن‬
َ ‫يت للنَّاس َواحْلَ ِّج َولَْي‬ َ َ َ َْ
‫وت ِم ْن َْأب َواهِبَا َو َّات ُقواْ اللّهَ لَ َعلَّ ُك ْم ُت ْفلِ ُحو َن‬ ِ
َ ُ‫ظُ ُهو ِر َها َولَـك َّن الْرِب َّ َم ِن َّات َقى َوْأتُواْ الُْبي‬

“Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi


kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-
rumahitu dari pintu-pintunya dan bertakwalah kepada Allah agar kamu
beruntung.”
Pada masa jahiliah, orang-orang Arab yang berihram pada waktu haji
memasuki rumah dari belakang bukan dari depan. Dengan pengetahuan atas
kebiasaan (adat istiadat) dan moral bangsa Arab jahiliah tersebut, para sahabat
merasa terbantu dalam menafsirkan ayat ini.
3. Pengetahuan tentang tingkah dan keadaan orang-orang Yahudi dan Nashrani di
Jazirah Arab pada saat turunnya Al-Qur’an. Hal ini sangat membantu dalam
menafsiri ayat-ayat yang menceritakan orang-orang Yahudi dan Nasrani serta hal-
hal yang mereka rencanakan dan lakukan terhadap orang Islam.
4. Pengetahuan tentang asbabunuzul (kronologi turunnya sebuah ayat). Dalam hal
ini semua sahabat tentu tidak sama pengetahuannya tentang kronologi turunnya
sebuah ayat. Hanya orang-orang yang sering bersama Nabi Saw. saja yang banyak
mengetahui asbabunuzul. Hal ini juga sangat berperan dalam penafsiran para
sahabat atas ayat-ayat Al-Qur’an. Karena pengetahuan akan suatu sebab bisa
menimbulkan pengetahuan tentang akibatnya.
5. Kemampuan penalaran dan daya tangkap. Dengan kemampuan ini, para sahabat
bisa menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, meskipun setiap sahabat tidak mesti sama
daya tangkap dan kekuatan intelegensinya.
Pada tahap selanjutnya, sahabat juga menyandarkan sumber penafsiran
terhadap orangorang Yahudi dan Nasrani (Ahli kitab). Rujukan ini dilakukan
kalau memang mereka sudah tidak menemukan apa-apa dalam Al-Qur’an dan
hadis sebagai landasan dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an. Dalam perujukannya
6

kepada Ahli kitab, sahabat hanya menanyakan ayat-ayat yang masih ada kaitannya
dengan kitab Taurat mupun Injil, seperti ayat-ayat yang berisi cerita-cerita nabi
dan umat-umat terdahulu yang memang di dalam Al-Qur’an dan hadis tidak
dijelaskan secara rinci3.
Kendati demikian, sahabat tidak terlalu banyak merujuk kepada pendapat
Ahli kitab dan tetap memilah-milah apa yang mereka dengar dari Ahli kitab,
apakah sesuai dengan akidah dan syariat Islam atau tidak. Rujukan terhadap Ahli
kitab ini dilakukan hanya untuk mengambil aspek nasehat (al-‘Izhzhah) dan
pelajaran (al-‘Ibrah) yang ada di dalam ayat itu saja.
Dari kalangan sahabat, hanya sedikit yang terkenal sebagai ahli tafsir
(mufassir). Hal ini bisa dimaklumi karena mereka lebih mengandalkan Nabi Saw.
untuk menafsirkan sebuah ayat. Kondisi yang ada saat itu juga tidak terlalu
menuntut adanya penafsiran yang berlebih, yang mencakup semua ayat-ayat yang
terdapat dalam al-Qur’an. Semua itu bisa dilihat dari sedikitnya jumlah ayat-ayat
yang ditafsirkan dan sahabat yang meriwayatkan tafsir pada masa ini. Beberapa
sahabat yang dikenal sebagai ahli tafsir adalah al-Khulafa al-Arba’ah, yakni: Abu
Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin ‘Affan, Ali bin Abi Talib,
Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin ‘Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Sabit, Abu
Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair. Selain kesepuluh orang sahabat tersebut,
ada beberapa sahabat yang pernah meriwayatkan tafsir meskipun sedikit sekali
dan penafsirannya pun tidak setenar kesepuluh orang di atas. Di antara mereka
adalah: Anas bin Malik, Abi Hurairah, Abdullah bin Umar, Jabir bin ‘Abdullah,
Abdullah bin Amr bin al-‘Ash, ‘Aisyah binti Abu Bakar.
Hakikat penafsiran yang dilakukan para sahabat memiliki ciri tersendiri.
Beberapa ciri tersebut di antaranya adalah:
a. Mereka tidak menafsirkan semua ayat-ayat Al-Qur’an. Yang mereka tafsir
adalah ayat-ayat yang masih samar, tidak jelas dan sulit dipahami.
b. Perbedaan dalam pemahaman makna di antara mereka relatif sedikit.

3
Muhamad Ali Mustofa Kamal,”Pembacaan Epistemologi Ilmu Tafsir
Klasik”,dalammaghza:Jurnal Sejarah Perkembangan tafsir volume 01,nomor 01, Januari-juni
2016, (Wonosobo, Jawa tengah: UNSIQ Jawa tengah), Hal. 70
7

c. Mereka mayoritas merasa cukup atas makna-makna yang global dan tidak
terlalu mendalami makna secara terperinci.
d. Mereka membatasi dan mencukupkan diri dengan penjelasan makna bahasa
yang mereka pahami, dengan bahasa yang lebih ringkas.
e. Sedikit sekali penalaran ilmiah yang mereka lakukan dalam masalah hukum-
hukum fikih dan tidak ada motif kefanatikan terhadap mazhab-mazhab agama,
karena belum ada istilah mazhab pada masa ini.
f. Tafsir pada masa ini belum sampai ke taraf pembukuan.
g. Pada masa ini tafsir masih berbentuk riwayat seperti halnya hadis.
C. Penafsiran Pada Masa Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in
Sebagaimana tokoh-tokoh sahabat banyak yang dikenal dalam lapangan
tafsir, maka sebagian tokoh tabi’in yang menjadi murid dan belajar kepada
mereka pun terkenal di bidang tafsir.Para tabi’in berpegang teguh pada sumber-
sumber yang ada pada masa sahabat.

Uztadz Muhammad Husain az-Zahabi berkata:Dalam memahami


kitabullah, para tabi’in berpegang kepada apa yang ada pada Al-Qur’an itu
sendiri, keterangan yang mereka yang mereka riwayatkan dari para sahabat yang
berasal dari Rasulullah, penafsiran yang mereka terima dari para sahabat berupa
penafsiran mereka sendiri, keterangan yang diterima para tabi’in dari Ahli Kitab
yang bersumber dari isi kitab itu sendiri, dan ijtihad serta pertimbangan nalar
mereka terhadap kitabullah sebagaimana yang telah dianugrahkan Allah kepada
mereka.

Kitab–kitab tafsir menginformasikan kepada kita pendapat tabi’in tentang


tafsir yang mereka hasilkan melalui ijtihad, dan penafsiran mereka ini tidak
sedikitpun bukan berasal dari Rasulullah dan sahabat.
Para tabi’in hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami bagi
orang-orang semasa mereka. Kemudian kesulitan ini semakin meningkat secara
bertahap di saat manusia bertambah jauh dari masa Nabi Saw dan sahabat. Maka
8

para tabi’in menekuni bidang tafsir untuk menyempurnakan sebagian


kekurangan.4 Setelah itu muncullah generasi sesudah tabi’in, generasi ini pun
telah berusaha menyempurnakan tafsir Al-Qur’an secara terus menerus
berdasarkan pengetahuan mereka atas bahasa Arab dan cara bertutur kata,
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya Al-Qur’an yang mereka
pandang valid dan pada alat pemahaman serta sarana pengkajian lainnya.
Penaklukan Islam semakin luas. Hal ini yang mendorong tokoh-tokoh
sahabat berpindah ke daerah taklukan dan masing-masing mereka membawa ilmu
yang mereka miliki. Dari tangan mereka inilah para tabi’in belajar dan menimba
ilmu, sehingga timbullah berbagai mazhab dan perguruan tafsir.
Misalnya di Mekah, berdiri perguruan Ibn Abbas, di Madinah, Ubai bin
Ka’ab, di Irak berdirilah perguruan Ibn Mas’ud. Merekalah mufasir-mufasir
terkenal di kalangan para tabi’in di berbagai wilayah Islam, dan dari merekalah
para tabi’in Tabi’in (generasi setelah tabi’in) belajar.
Karakteristik Penafsiran Pada Masa Tābi’īn, Tafsir pada masa Tābi’īn
mempunyai karakter sebagai berikut:

1.Banyak mengambil sumber dari kisah isrā`īliyyāt. Hal ini karena


banyak ahli kitab yang masuk Islam, dan pikiran mereka masih melekat
ajaran kitab suci mereka khususnya pada hal-hal yang tidak berhubungan dengan
hukum syariat, seperti awal penciptaan dan lain-lain.
2.Mulai muncul banyaknya perbedaan dalam penafsiran.
3.Munculnya benih-benih perbedaan mazhab.

D. Pada Masa Klasik

Setelah periode sahabat beserta tabi’in, perkembangan epistemologi tafsir.


Mengalami kemajuan seiring dengan dimulainya pembukuan (kodifikasi)
terhadap hadis Nabi Saw. Gerakan pembukuan ini merupakan kebijakan dan jasa
dari penguasa (khalifah) yang berkuasa pada saat itu (masa akhir dari Dinasti
Umayyah dan awal Dinasti Abbasiyyah). Pada awalnya, tabi’in mengumpulkan
4
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu qur’an(Bogor:Litera AntarNUsa), Hal.479.
9

hadis dari daerah mereka sendiri. Kemudian beberapa tabiin melakukan


perjalanan lintas daerah untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi Saw.
Pada akhir abad ke-3 H. dan permulaan abad ke-4 H., geliat tafsir
mengalami perubahan. Dari pembukuan yang masih menjadi satu dengan hadis-
hadis selain tafsir, menuju pembukuan tersendiri yang hanya memuat riwayat-
riwayat tafsir dan sesuai dengan urutan ayat-ayat Al-Qur’an. Ibn Jarir al-Tabari
(310 H.) diakui sebagai orang pertama yang melakukan terobosan besar ini
melalui karyanya Jami’ al-Bayan fî Ta’wil Ay Al-Qur’an. Kemudian disusul oleh
Abu Bakar Ibn al-Mundzir al-Naisaburi, Ibn Abi Hatim, Abu al-Syaikh Ibn
Hibban al-Hakim, Abu Bakar Murdawaih dan lainnya.5
Metodologi tafsir pada generasi ini masih menggunakan metode riwayat
(naql atau aqli) dari hadis Nabi Saw, sahabat maupun tabi’in dan ulama-ulama
setelahnya lengkap dengan sanadnya. Kebijakan Dinasti Abbasiyyah sangat
mendukung terjadinya pelebaran wilayah kajian tafsir pada periode ini. Pada
masa Dinasti Abbasiyyah, perkembangan keilmuan Islam sangat pesat, sehingga
usaha-usaha penulisan dalam berbagai bidang keilmuan. Mulai periode ini dan
periode setelahnya, metode tafsir yang dulu hanya bersandar pada sumber-sumber
riwayat hadis Nabi Saw, sahabat dan tabiin, mulai bergerak menjalar ke wilayah
nalar-ijtihad (‘aqli). Hakikat penafsiran tidak lagi sekedar hanya menukil riwayat-
riwayat dari para pendahulunya. Ayat-ayat yang tidak atau belum sempat ditafsir
oleh Nabi Saw, maupun sahabat menjadi sasaran empuk untuk dijadikan sebagai
ladang penafsiran dengan al-ra’yi al-ijtihad. Belum lagi penafsiran-penafsiran
pada hal-hal yang tidak begitu penting kaitannya dengan ayat Al-Qur’an. Hakikat
tafsir juga dijadikan sarana pencarian pembenaran (justifikasi) bagi sebagian
golongan. Apalagi dengan maraknya fanatisme bermazhab dalam bidang fikih,
aliran-aliran ilmu kalam sampai bidang gramatika bahasa Arab (nahwu-saraf).
Penafsiran yang dilakukan sesuai dengan golongan atau bidang yang mereka
geluti.

Dalam bidang hukum (fiqih) ayat-ayat hukum ditafsiri sedemikian rupa


untuk mencari dalil tentang hukum yang disesuaikan dengan mazhabnya masing-
5
Ibid, Hal.78.
10

masing dan membantah mazhab-mazhab yang tidak sependapat dengan mereka.


Meskipun mulanya tidak terkumpulkan dalam satu kitab.
E. Pada Masa Modern Atau Kontemporer

1. Tafsir Al-Qur’an Pada Masa Kontemporer

Tafsir kontemporer mulai muncul berkenaan dengan istilah pembaharuan


yang sangat gencar dipopulerkan oleh beberapa ulama yang menginginkan Islam
sebagai agama yang sudah sejak 14 abad silam. Pemahaman Al-Qur’an yang
terkesan “jalan di tempat”. Kuntowijoyo menyebutkan bahwa Islam perlu dijaga
dari kekakuan yang ada selama ini. Penjabaran yang lebih mendalam tentang
pemahaman Al-Qur’an adalah salah satu substansi agama yang sangat penting.6
2. Sumber, Metode dan Corak serta Karakteristik Tafsir Kontemporer
Ada tiga sumber penafsiran yang sudah masyhur di kalangan paramufassir
yaitu:

a. bil Ma’tsur
b. bil Ra’yi
c. bil Isyaari.

Sayyid Rasyid Ridha mengatakan bahwa tafsir kontemporer memiliki


perpaduan bentuk antara bil Ma’tsur dan bil Ra’yi atau yang disebut dengan
Shahih al-Manqul wa Sharih alMa’qul (menggunakan riwayat yang benar dan
nalar yang bagus). Adapun metode yang kerap kali digunakan oleh para mufassir
kontemporer adalah metode maudhu’i dan metode kontekstual. Quraish Shihab
mengatakan pakar yang pertama sekali merintis metode adalah seorangguru besar
dari Universitas al-Azhar yaitu: Ahmad Al-Kuuny. Sedangkan metode
kontekstual dirintis oleh Fazlur Rahman.

Metode kontekstual setidaknya memiliki tiga definisi penting, yaitu :


a. Upaya pemaknaan dalam rangka mengantisipasi persoalan yang dewasa ini

6
Muhamad Amin,”Konstribusi Tafsir Kontemporer”,dalam menjawab persoalan umat:jurnal
subtantia volume 15 nomor 01, April 2013,(Banda Aceh:Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry
Banda Aceh), hal.3
11

yang umumnya mendesak. Sehingga arti kontekstual identik dengan situasional.


b. Pemaknaan yang melihat keterkaitan masa lalu, dan masa mendatang, dimana
sesuatu akan dilihat dari sudut makna historis dulu, makna fungsional saat ini,
dan memprediksi makna (yang dianggap relevan) dikemudian hari.
c. Mendudukan antara yang sentral dan yang periferi, dalam arti yang sentral
adalah teks Al-Qur`an, dan yang periferi adalah terapannya.

3. Tantangan Tafsir Alquran di Zaman

Kontemporer disadari atau tidak, globalisasi yang melanda dunia memaksa


umat Islam untuk merumuskan kembali berbagai pemikiran keislaman. Pesatnya
teknologi informasi yang berkembang akhir-akhir ini telah menyebabkan
terjadinya perubahan yang demikian kompleks dalam kehidupan umat Islam.
Pergolakan "emansipasi", "demokrasi" dan "reformasi" di bagian wilayah lain
dunia ini dengan begitu mudah diakses umat Islam, dan ini sangat mempengaruhi
kehidupan umat Islam. Perubahan sosial yang diakibatkan oleh globalisasi
menyebabkan pemikiran-pemikiran keislaman lama mengalami "keterasingan"
karena tidak mampu memberikan jawaban atas berbagai tantangan baru yang
muncul akibat perubahan tersebut. Munculnya tantangan-tantangan baru ini
mengharuskan dirumuskannya kembali pemikiran-pemikiran Islam agar bisa
menjawab tantangan-tantangan tersebut. Masuknya gagasan feminisme dan
pluralisme di kalangan umat Islam juga jelas tidak bisa dilepaskan dari
perkembangan global yang melanda umat Islam. Gagasan tentang HAM
merupakan tantangan berikutnya bagi tafsir Al-Quran di zaman kontemporer.
Berbagai persoalan sosial dan kemanusiaan berjalin dengan pencarian jawaban
dari Al-Qur’an tentang isu global ini. Serangan Barat yang demikian ini kepada
Islam yang agaknya menyadarkan pemikir-pemikir Islam untuk merumuskan
kembali ajaran Islam yang secara moral ternyata sangat membela egalitarianisme
dan semangat rahmatan lil ‘alamin. Namun yang sesungguhnya yang lebih
menggerakkan mereka adalah tantangan dunia modern yang menuntun
pelaksanaan Hak Asasi Manusia secara menyeluruh.
12

4. Standar Validitas Tafsir Kontemporer

Menurut Thomas Kuhn, sebagaimana dikutip oleh Ian Barbour, teori


dalam sains bergantung pada paradigmanya.7 Oleh karena itu sebuah paradigma
dalam setiap disiplin ilmu menempati poisisi penting. Karena meniscayakan
adanya asumsi metodologis. Asumsi inilah yang akan dipergunakan dalam
menganalisa, ia berupa totalitas premis-presmis dan metodologis yang
menentukan suatu studi ilmiah, serta dasar untuk menyeleksi problem dan pola
untuk memecahkan problem-problem riset. Selain itu, paradigma juga bisa
dimaknai sebagai seperangkat pra-anggapan konseptual, metafisik, dan
metodologi dalam tradisi kerja ilmiah.

a.Tafsir itu harus bersifat solutif dan responsif pada persoalan.


b. Harus mengacu pada spirit Al-Quran dan prinsip nilai universal dalam Al-
Quran.

c.Tafsir sebagai sebuah pemikiran manusia yang tentatif dan relatif maka harus
ada kesesuaian antara tafsir dengan fakta empiris.
d.Tafsir sebagai sebuah produk ilmiah maka harus ada kesesuaian antara hasil
tafsir dengan proposisi-proposisi yang dibangun sebelumnya.

PENUTUP

A. Kesimpulan
Uztadz Muhammad Husain az-Zahabi berkata:Dalam memahami
kitabullah, para tabi’in berpegang kepada apa yang ada pada Al-Qur’an itu
sendiri, keterangan yang mereka yang mereka riwayatkan dari para
sahabat yang berasal dari Rasulullah, penafsiran yang mereka terima dari
para sahabat berupa penafsiran mereka sendiri, keterangan yang diterima

7
Eni Zulaiha,”Tafsir kontemporer:Metodologo, paradigma, dan Standar Vasidalitasnya”, dalam
Sejarah Perkembangan Tafsir :jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, volume 02, nomor 01,
Juni 2013,(Bandung:UIN Sunan Gunung Djati Bandung),Hal.91.
13

para tabi’in dari Ahli Kitab yang bersumber dari isi kitab itu sendiri, dan
ijtihad serta pertimbangan nalar mereka terhadap kitabullah sebagaimana
yang telah dianugrahkan Allah kepada mereka.
Kitab–kitab tafsir menginformasikan kepada kita pendapat tabi’in
tentang tafsir yang mereka hasilkan melalui ijtihad, dan penafsiran mereka
ini tidak sedikitpun bukan berasal dari Rasulullah dan sahabat.
B. Saran
Demikian pokok pembahasan sejarah perkembangan tafsir, besar
harapan kami makalah ini dapat bermanfaat bagi kalangan banyak. Karena
keterbatasan pengetahuan dan referensi , penulis meyadari bahwa makalah
ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang
membangun sangat diharapkan agar makalah ini dapat disusun menjadi
lebih baik kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Agama. 2014. Ilmu Tafsir. Jakarta: Kementrian Agama

Khalil, al Qatan Manna. 1992. Studi ilmu-ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka


Litera Antar Bangsa

Kamal, Muhammad Ali Mustaa. 2016. Pembacaan Epistomologi Ilmu


Tafsir Klasik. Jawa Tengah: UNSIQ Jawa Tengah
14

Zulaiha, Eni. 2017. Tafsir Kontemporer, Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial
Budaya. Jawa Barat: UIN Sunan Gunung Djati

Amin, Muhammad. 2013. Kontribusi Tafsir Kontemporer Dalam Menjawab


Persoalan Umat. Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry

Anda mungkin juga menyukai