Anda di halaman 1dari 14

PENGERTIAN AL-QUR’AN, TAFSIR, HADITS DAN SYARAH

(Makalah Diajukan untuk Memenuhi Tugas Studi Naskah Tafsir Hadits)

Dosen Pengampu : Dr. H. Hasani Ahmad Said, M.A.

Disusun Oleh :

Kelompok 1

1. M. Taqwa Arridho 11180340000086


2. Sri Astuti Khairunisa 11180340000063
3. Yenny Afiyah Novianti 11180340000150

PROGRAM STUDI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2020
1

DAFTAR ISI

BAB I ............................................................................................................................................... 2

PENDAHULUAN ............................................................................................................................ 2

A. Latar Belakang .................................................................................................................... 2

B. Rumusan Masalah ............................................................................................................... 2

C. Tujuan Penulisan ................................................................................................................. 2

BAB II .............................................................................................................................................. 3

ISI

A. Konsep Kesempurnaan Al-Qur’an...................................................................................... 3

B. Pengertian dan Syarat-Syarat Sebagai Mufassir ................................................................ 4

C. Pemaknaan Kehadiran Hadits ............................................................................................ 6

D. Fungsi Syarah Hadits ......................................................................................................... 10

BAB III .......................................................................................................................................... 12

PENUTUP...................................................................................................................................... 12

A. Kesimpulan ............................................................................................................................ 12

B. Kritik dan Saran .................................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................... 13


2

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang menjadi penyempurna dari kitab-
kitab sebelumnya. Posisi Al-Qur’an dalam kehidupan umat Islam memegang peranan penting
dan yang utama karena buku ini berisikan petunjuk kehidupan bagi seluruh manusia. Namun
selain Al-Qur’an, terdapat pula sumber atau petunjuk lainnya bagi manusia selain Al-Qur’an,
yaitu hadits. Keharusan mengikuti haditst bagi umat Islam, baik berupa perintah maupun
larangan sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-Qur’an. Karena kedua hal tersebut,
maka urgensi pengkajian teks-teks tafsir Al-Qur’an dan hadits menjadi sangat penting. Untuk
itulah, dalam makalah ini penulis mencoba memberikan pemaparan awal mengenai pengertian
Al-Qur’an, tafsir, hadits dan syarah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep kesempurnaan Al-Qur’an?
2. Apa saja syarat-syarat sebagai mufassir?
3. Bagaimana memaknai kehadiran hadits?
4. Apa saja fungsi syarah hadits?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui konsep kesempurnaan Al-Qur’an.
2. Memahami syarat-syarat sebagai mufassir.
3. Mampu memaknai kehadiran hadits.
4. Mengetahui fungsi dari syarah hadits.
3

BAB II

ISI

A. Konsep Kesempurnaan Al-Qur’an


Al-Qur’an merupakan kalamullah yang menjadi mukjizat yang diturunkan ke dalam
hati Nabi Muhammad Saw. diriwayatkan kepada kita secara mutawatir dan membacanya
dinilai sebagai ibadah. Kitab suci Al-Qur’an merupakan sebuah mukjizat yang kapanpun tidak
ada dan tidak akan pernah ada padanannya. Gerbang rahmat dan berkatnya selalu tetap terbuka
serta tetap cemerlang dan nyata di setiap zaman sebagaimana keadaannya ketika di masa yang
mulia Rasulullah Saw.1 Dengan Al-Qur’an, manusia mengetahui jalan keselamatan dunia dan
akhirat. Ia adalah wahyu Ilahi yang bersih dari kesalahan, tali Allah yang kokoh dan jalan-Nya
yang lurus. Barangsiapa yang berpegang teguh dengannya, maka ia terbimbing ke jalan yang
lurus. Barangsiapa yang berpaling darinya, maka ia pasti tersesat.

Ada beberapa konsep yang mengandung kesempurnaan Al-Qur’an, diantaranya adalah:

a) Al-Qur’an mempunyai sumber teks yang sama maknanya dengan kitab samawi lainnya,
sebagai contoh adalah dalam kitab Mazmur 37:29 tertulis demikian:
"Orang-orang benar mewarisi bumi dan mereka akan tinggal selama-lamanya di
bumi." (Tehilim 37:29).
Al-Qur’an juga mempunyai ayat yang sejajar, yaitu meneguhkan pernyataan kitab
Mazmur dan mengkonfirmasinya, yakni berkaitan dengan keberadaan orang-orang
benar ataupun orang-orang saleh. Sebagai contoh adalah QS. Al-Anbiya [21] : 105 yang
berbunyi

َّ َّٰ ‫ِى ٱل‬


َ‫ص ِل ُحون‬ َ ‫ٱلذ ْك ِر أَ َّن ْٱل َ ْر‬
َ ‫ض يَ ِرث ُ َها ِعبَاد‬ ِ ‫ور ِم ۢن بَ ْع ِد‬ َّ ‫َولَقَدْ َكتَ ْبنَا فِى‬
ِ ُ‫ٱلزب‬
“Dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh
Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh.”

b) Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam dimana banyak kajian-kajian yang telah
dilakukan oleh muslim dan non muslim. Dan semua kajian tersebut membuktikan
bahwa Al-Qur’an dan Islam merupakan agama yang sempurna. 2 Menurut Kiai Muchit

1 Mirza Ghulam Ahmad, Inti Ajaran Islam (Jakarta: Neratja Press, 2014) hlm. 15
2 Ulinuha Firdausa, Telaah Makna Kesempurnaan Agama Dalam Al-Qur’an Surah Al-Maidah Ayat 3 (Skripsi
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2017) hlm. 31
4

Manzdi, umur Al-Qur’an sudah berusia lima belas abad. Namun keontetikannya tetap
terjaga sekalipun sudah bergumul dengan situasi dan kondisi zaman yang beraneka
ragam.3 Telaah dan kajian terhadap Islam secara kritis sudah dilakukan beribu-ribu kali,
bukan saja oleh umat Islam sendiri, tapi juga oleh non muslim. Dan hasil studi yang
dilakukan selalu semakin membuktikan kesempurnaan agama Islam dan Al-Qur’an itu
sendiri, benarlah firman Allah Swt. dalam QS. Ali Imran [3] : 95 yang berbunyi

َ‫ِيم َحنِيفًا َو َما َكانَ ِمنَ ْٱل ُم ْش ِركِين‬ ۟ ُ‫ٱَّللُ ۗ فَٱتَّبِع‬


َ ‫وا ِملَّةَ إِب َّٰ َْره‬ َ ‫قُ ْل‬
َّ َ‫صدَق‬
“Katakanlah: "Benarlah (apa yang difirmankan) Allah". Maka ikutilah agama Ibrahim
yang lurus dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.

c) Al-Qur’an mudah diingat dan setiap membacanya itu berpahala. Menurut cendikiawan
muslim Qurasih Shihab, Al-Qur’an diambil dari kata qara'a yang artinya membaca. Al-
Qur’an adalah bacaan. Huruf Alif pada kata Quran, lanjut Quraish Shihab mengandung
arti kesempurnaan. Dengan demikian Al-Qur’an adalah bacaan yang sempurna. Tidak
hanya sempurna akan kandungannya, namun juga redaksi serta petunjuknya.
Kesempurnaan lain yang dimiliki Al-Qur’an, lanjut Quraish Shihab karena ia mudah
diingat. Tidak hanya untuk orangtua, anak-anak pun sangat mudah menghafalnya. Hal
ini juga ditegaskan dalam QS. Al-Isra [17] : 9 yang berbunyi

‫ت أَ َّن لَ ُه ْم‬
ِ ‫ص ِل َّٰ َح‬ َ ‫إِ َّن َّٰ َهذَا ْٱلقُ ْر َءانَ يَ ْهدِى ِللَّتِى ه‬
َّ َّٰ ‫ِى أَ ْق َو ُم َويُبَش ُِر ْٱل ُمؤْ ِمنِينَ ٱلَّذِينَ يَ ْع َملُونَ ٱل‬
‫يرا‬ً ِ‫أَ ْج ًرا َكب‬
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus
dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal
saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.”

B. Pengertian dan Syarat-Syarat Sebagai Mufassir


Mufassir adalah orang yang memiliki kapabilitas sempurna yang denganya ia
mengetahui maksud Allah dalam Al-Qur’an sesuai dengan kemampuanya.4 Untuk menafsirkan
ayat Al-Qur’an, seorang mufassir perlu mengetahui syarat-syarat sebagai mufassir sebagai

3 A. Mukti Ali, Ke-Esaan Tuhan dalam al-Qur‘an (Jogjakarta: Yayasan Nida, 1972) hlm. 9-11.
4 Tengku Muhammad hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Semarang: PT. Pustaka Rizqi Putra, 2012)
hlm. 199
5

penunjang utama dalam penafsiran. Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat yang harus
dimiliki setiap mufassir antara lain:

1. Akidah yang benar


Sebab akidah yang benar memiliki pengaruh yang besar terhadap jiwa pemiliknya
dan seringkali mendorongnya untuk mengubah nash-nash, tidak jujur dalam
penyampaian berita.
2. Bersih dari hawa nafsu
Hawa nafsu akan mendorong pemiliknya untuk membela kepentingan mazhabnya,
sehingga ia menipu manusia dengan kata-kata halus dan keterangan menarik seperti
dilakukan Qadariyah, Syi’ah Rafidhah, Mu’tazilah dan para pendukung fanatik
mazhab sejenis lainnya.
3. Menafsirkan lebih dulu Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.
Karena sesuatu yang masih global pada satu tempat telah diperinci di tempat lain
dan sesuatu yang dikemukakan secara ringkas di suatu tempat telah diuraikan di
tempat lain.
4. Mencari penafsiran dari Sunnah.
Karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah Al-Qur’an dan penjelasannya. Al-
Qur’an telah menegaskan bahwa semua ketetapan hukum Rasulullah berasal dari
Allah.

ِ ‫َّللاُ ۚ َو ََل تَ ُك ْن ِل ْلخَا ِئنِينَ خ‬


‫َصي ًما‬ َّ َ‫اس ِب َما أ َ َراك‬ ِ ‫اب ِب ْال َح‬
ِ َّ‫ق ِلت َ ْح ُك َم َبيْنَ الن‬ َ َ‫ِإنَّا أَ ْنزَ ْلنَا ِإلَيْكَ ْال ِكت‬
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang
telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang
yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.” (QS. An-Nisa’
[4] : 105)

5. Apabila tidak didapatkan penafsiran dalam Sunnah, hendaklah melihat pendapat


para sahabat.
Karena mereka lebih mengetahui tentang tafsir Al-Qur’an, merekalah yang terlibat
dalam kondisi ketika Al-Qur’an diturunkan, di samping mereka mempunyai
pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih dan amal yang shaleh.
6. Apabila tidak ditemukan juga dalam Al-Qur’an, Sunnah dan pendapat sahabat,
maka sebagian besar ulama merujuk pada tabi’in.
6

Seperti Mujahid bin Jabr, Sa’id bin Jubair, Masruq bin Ajda’ dan tabi’in lainnya.
7. Pengetahuan bahasa Arab yang baik.
Karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Pemahaman yang baik terhadap
Al-Qur’an amat bergantung pada penguraian mufradat, lafaz-lafaz dan pengertian-
pengertian yang ditunjukkannya sesuai dengan sturktur kalimat.
8. Pengetahuan tentang prinsip-prinsip ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an.
Seperti ilmu qira’at, sebab dengan ilmu ini dapat diketahui cara mengucapkan lafaz-
lafaz Al-Qur’an dan dapat memilih mana yang lebih kuat di antara berbagai ragam
bacaan yang diperkenankan.
9. Pemahaman yang cermat sehingga mufassir dapat mengukuhkan sesuatu makna
atas yang lain atau menyimpulkan makna yang sejalan dengan nash-nash syariat.5

C. Pemaknaan Kehadiran Hadits


Secara etimologi, hadits adalah kata benda (isim) dari kata al-Tahdis yang berarti
pembicaraan. Kata hadits mempunyai beberapa arti yaitu :

1. Jadid (baru), sebagai lawan dari kata “qadim” (terdahulu). Dalam hal ini yang
dimaksud qadim adalah kitab Allah, sedangkan yang dimaksud jadid adalah
hadits Nabi Saw.
2. Qarib yang berarti dekat atau dalam waktu dekat belum lama
3. Khabar yang berarti warta berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan
dipindahkan dari seseorang kepada seseorang. Hadits selalu menggunakan

ungkapan ‫ حدثنا‬,‫أخبرنا‬ (megabarkan kepada kami, memberitahu kepada

kami)6

Secara terminologi, ulama hadits memberikan pengertian hadits sebagai berikut:

‫اقواله صلى هللا عليه وسلم وافعاله واحوله‬


“Segala ucapan Nabi Saw. segala perbuatan dan segala keadaanya.”

Menurut Subhi al-Shalih kata hadits merupakan bentuk isim dari tahdits yang
mengandung arti memberitahukan, mengabarkan. Berdasarkan pengertian inilah selanjutnya

5 Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Terj. H. Aunur Rafiq El-Mazani (Jakarta : Pustaka
Al-Kautsar, 2018) hlm. 414-417
6 Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadis (Ponorogo : IAIN PO Press, 2018) hlm. 1-2
7

setiap perkataan, perbuatan, atau penetapan (taqrir) yang disandarkan kepada Nabi Saw.
dinamai dengan hadits.7

Sedangkan pengertian hadits secara luas sebagaimana yang diberikan oleh sebagian
ulama seperti Ath-Thiby berpendapat bahwa hadits itu tidak hanya meliputi sabda Nabi,
perbuatan dan taqrir beliau (hadits marfu’), juga meliputi sabda, perbuatan dan taqrir para
sahabat (hadits mauquf), serta dari tabi’in (hadits maqthu’).8
Ibn Taimiyyah memberikan batasan bahwa yang dinyatakan sebagai hadits adalah
sesuatu yang disandarkan kepada Rasul sesudah beliau diangkat menjadi Rasul, yang terdiri
atas perkataan, perbuatan dan taqrir.

Sedangkan menurut ahli ushul, hadits adalah:

‫اقواله صلى هللا عليه وسلم وافعاله وتقاريره مما يتعلق به حكم بنا‬
“Segala perkataan, segala perbuatan dan segala taqrir nabi Saw. yang bersangkut

paut dengan hukum.”


Menurut ulama ushul fiqh, yang dimaksud dengan hadits adalah seluruh perkataan,
perbuatan serta taqrir yang berkaitan dengan Rasul Saw. yang pantas untuk dijadikan dalam
dalil penetapan hukum syara’.9
Dari pengertian yang diberikan oleh ahli ushul fiqih di atas, berarti informasi tentang
kehidupan Nabi ketika masih kecil, kebiasaan, kesukaan makan dan pakaian yang tidak ada
relevansinya dengan hukum, maka tidak disebut sebagai hadits.
Kedudukan hadits dari segi statusnya sebagai dalil dan sumber ajaran Islam, menurut
jumhur ulama adalah menempati posisi kedua setelah Al-Qur’an. Al-Qur’an bersifat qath’i,
sedangkan hadits (kecuali yang berstatus mutawattir) sifatnya adalah zhanni al-wurud. Oleh
karenanya, yang bersifat qath’i didahulukan daripada yang zhanni.10 Hadits berfungsi sebagai
penjelas atau tambahan terhadap Al-Qur’an, hadits yang menjadi penjelas tentunya diberikan
peringkat kedua setelah pihak yang dijelaskan (Al-Qur’an). Dengan demikian, segala uraian
dalam hadits berasal dari Al-Qur’an yang mengandung segala permasalahan secara paripurna

7 Nawir Yuslem, Ulumul Hadits (Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya, 2001) hlm. 35-36
8 Khusniati Rofiah, Op. Cit., hlm. 3
9 Nawir Yuslem, Op. Cit., hlm. 37-38
10 Nawir Yuslem, Op. Cit., hlm. 63
8

dan lengkap, baik menyangkut masalah duniawi maupun ukhrawi, tidak ada suatu masalah
yang tertinggal. 11
Al-Qur’an dan al-Hadits merupakan sumber syari’at yang saling terkait. Seorang
muslin tidak mungkin. dapat memahami syari’at. kecuali dengan merujuk kepada keduanya
sekaligus dan seorang mujtahid tidak mungkin mengabaikan salah satunya. 12
Secara garis besar, fungsi hadits terhadap Al-Qur’an dapat dibagi menjadi :
1. Menegaskan kembali keterangan atau perintah yang terdapat dalam Al-Qur’an
(bayan taqrir)
Seperti contoh ayat Al-Qur’an Surat Al-Maidah [5] : 6 tentang keharusan berwudhu
sebelum shalat, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai
dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata
kaki”
Ayat di atas ditaqrir oleh hadits Nabi riwayat Bukhari dari Abu Hurairah yang
berbunyi:

‫قال رسول هللا صلعم لتقبل صالة من أحدث حتى يتوضأ‬


“Rasul Saw. bersabda: Tidak diterima shalat seseorang yang berhadats sebelum ia
berwudhu”13
2. Menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang datang secara mujmal, ‘am
dan muthlaq. Misalnya penjelasan Rasul tentang tata cara pelaksanaan Shalat:
jumlah rakaatnya, waktu pelaksanaannya. Dalam hal ini hadits berfungsi sebagai
bayan tafsir. Dan fungsi ini dapat dirinci lagi pada tiga bentuk, yaitu :
a. Menafsirkan serta memperinci ayat-ayat yang bersifat global. Contohnya,
seperti penjelasan hadits Nabi tentang tata cara pelaksanaan shalat.
b. Mengkhususkan (takhsis) ayat-ayat yang bersifat umum (‘am)
Mentakhsis yang ‘am disini ialah membatasi keumuman ayat Al-Qur’an
sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu. Mengingat fungsinya ini,
maka ulama berbeda pendapat apabila mukhasis-nya dengan hadits ahad.
Menurut asy Syafi’i dan Ahmad bin Hambal, keumuman ayat bisa ditakhsish
oleh hadits ahad yang menunjukkan kepada sesuatu yang khash, sedang

11 Dr. H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 22
12 Khusniati Rofiah, Op. Cit., hlm. 21-22
13 Ibid,. hlm. 29
9

menurut ulama Hanafiah sebaliknya. Contoh hadits yang berfungsi untuk


mentakhsish ayat-ayat Al-Qur’an ialah sabda Rasul Saw. yang artinya
“Pembunuh tidak berhak menerima harta warisan”. (HR. Ahmad)14
Hadits tersebut men-takhsish keumuman firman Allah surat An-Nisa’ [4] : 11
yang artinya “Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk
anak-anakmu. Yaitu bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan....”.
c. Memberikan batasan (taqyid) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat
muthlaq.
Penjelasan Rasul Saw. yang berupa mentaqyid ayat-ayat Al-Qur’an yang
bersifat muthlaq, antara lain dapat dilihat pada sabdanya, yang berbunyi:
“Tangan pencuri tidak boleh dipotong, melainkan pada (pencurian senilai)
seperempat dinar atau lebih”. (HR. Muslim)
Hadits diatas men-taqyid ayat Al-Qur’an yang mengharamkan semua bangkai
dan darah, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Maidah [5] : 38, yang
artinya “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah...”15
3. Menetapkan hukum-hukum yang tidak ditetapkan oleh Al-Qur’an (bayan tasyri’)
Bayan at tasyri’ di sini ialah penjelasan haditst yang berupa mewujudkan,
mengadakan atau menetapkan suatu hukum atau aturan-aturan syara’ yang tidak
didapati nashnya dalam Al-Qur’an.
4. Bayan Naskhi yaitu menghapus (nasakh) hukum yang diterangkan dalam Al-
Qur’an.16
Di antara para ulama yang membolehkan adanya nasakh hadits terhadap Al-Qur’an
juga berbeda pendapat dalam macam hadits yang dapat dipakai untuk
menasakhnya. Dalam hal ini mereka terbagi kepada tiga kelompok.
 Pertama, yang membolehkan menasakh Al-Qur’an dengan segala hadits,
meskipun dengan hadits ahad. Pendapat ini di antaranya dikemukakan oleh
para ulama mutaqaddimin dan Ibn Hazm serta sebagian para pengikut
Zahiriyah.

14 Ibid,. hlm. 32
15 Ibid,. hlm. 30
16 Dr. H. Abdul Majid Khon, Op. Cit., hlm. 17-18
10

 Kedua, yang membolehkan menasakh dengan syarat bahwa hadits tersebut


harus mutawatir. Pendapat ini diantaranya dipegang oleh Mu’tazilah.
 Ketiga, ulama yang membolehkan menasakh dengan hadits masyhur, tanpa
harus dengan hadits mutawatir. Pendapat ini dipegang diantaranya oleh
ulama Hanafiyah.17

D. Fungsi Syarah Hadits


Hadits selain mengandung pesan-pesan ilahi, ia juga mengandung pesan-pesan insani,
yaitu hadits yang muncul karena pengaruh lingkungan, kebudayaan masyarakat setempat atau
karena kehendak zaman dan tuntutan tugas kenabian. Hadits dalam bentuk terakhir, pada
umumnya memiliki kemandirian dalam mengungkapkan dan menyelesaikan masalah yang
dihadapi Nabi Saw. 18
Nabi Saw. menjadi tempat bersandar seluruh sahabat dalam seluruh dimensi yang
terkait dengan ajaran Islam dan dimensi sosial kemasyarakatan. Nabi menjadi teladan dalam
setiap perbuatan bahkan perbuatan Nabi merupakan ‘tafsir’ untuk Al-Qur’an dan sabda-
sabdanya. Di masa Nabi Saw. hidup hampir seluruh permasalahan umat (termasuk hadits-
hadits yang perlu mendapat penjelasan dan hadits-hadits yang bertentangan) dapat diselesaikan
di hadapan Nabi. Penjelasan hadits, dalam term yang dikenal saat ini adalah syarh al-hadits,
pada masa Nabi Saw. adalah satu kesatuan rangkaian hadits itu sendiri mengingat seluruh
rekaman sahabat dari ucapan, perbuatan, sifat dan ketetapan Nabi merupakan hadits dan tidak
disebut sebagai syarh al-hadits. 19

Kata syarh berasal dari bahasa Arab ‫ شرحا – شرح‬- ‫ يشرح‬yang artinya menerangkan,
membukakan dan melapangkan. Istilah syarh biasanya digunakan untuk hadits, sedangkan
tafsir untuk kajian Al-Qur’an. Syarh al-hadits layaknya tafsir Al-Qur’an, yaitu mempunyai
tujuan sebagai penjelas terhadap hal-hal yang belum jelas. Oleh karenanya, dilihat dari segi
maksud dan fungsionalnya, syarh dan tafsir mengandung arti dan maksud yang sama. Istilah
tafsir spesifik bagi Al-Qur’an (menjelaskan arti, maksud, kandungan, atau pesan ayat-ayat Al-
Qur’an), sedangkan istilah syarh diperuntukan bagi disiplin ilmu lain, meliputi hadits yakni
untuk menjelaskan arti, maksud, kandungan, atau pesan hadits.

17 Khusniati Rofiah, Op. Cit., hlm. 35


18 Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 3
19 M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis Era Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: SUKA-Press
UIN Sunan Kalijaga, 2012), hlm. 5-6
11

Definisi ini hanya menyangkut syarah terhadap matan hadits, sedangkan definisi
syarah yang mencakup semua komponen hadits itu, baik sanad maupun matannya, adalah
sebagai berikut:

‫ص َّح ٍة َو ِعلَّ ٍة َوبَيَانُ َمعَانِ ْي ِه‬ ِ ‫ث ه َُو بَيَانُ َمايَتَعَلَّ ُق بِ ْال َح ِد ْي‬
َ ‫ث َمتْنً َاو‬
ِ ‫سنَدًا ِم ْن‬ ِ ‫ش َْر ُح ْال َح ِد ْي‬
ِ ‫وا ْستِ ْخ َرا ُج ا َ ْح َك‬.
‫ام ِه َو ِح َك ِم ِه‬ َ
Syarah hadits adalah menjelaskan keshahihan dan kecacatan sanad dan matan hadits,
menjelaskan makna-maknanya, dan mengeluarkan hukum dan hikmahnya.

Dengan definisi di atas, maka kegiatan syarh hadits secara garis besar meliputi tiga
langkah, yaitu:
1. Menjelaskan kuantitas dan kualitas hadits, baik dari segi sanad maupun matn.
Begitu pula penjelasan tentang jalur-jalur periwayatannya, penjelasan identitas
dan karakteristik para periwayatnya, serta analisis matn dari sudut kaidah
kebahasaan.
2. Menguraikan makna dan maksud hadits. Hal ini meliputi penjelasan cara baca
lafal-lafal tertentu, penjelasan struktur kalimat, penjelasan makna leksikal dan
gramatikal serta makna yang dimaksudkan.
3. Mengungkap hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Hal ini meliputi
istinbat terhadap hukum dan hikmah yang terkandung dalam matn hadits, baik
yang tersurat maupun yang tersirat.

Term atau istilah syarh al-hadits yang dikenal saat ini secara historis merupakan hasil
dari sebuah proses transformatif dari istilah yang telah ada sebelumnya, yaitu fiqh al-hadits
yang merupakan pegangan para faqih al-hadits. Mereka inilah yang telah diberikan oleh Allah
Swt. kemampuan daya kritis dan memiliki pemahaman dari hasil keseriusannya dalam bahasa
maupun pengetahuannya terhadap hukum syariah. Hasil ijtihad mereka dalam memahami
hadits Nabi Saw. disebut fiqh al-hadits. Syarh al-hadits dan fiqh al-hadits memiliki peran yang
sangat penting dalam memahami dan mengamalkan hadits Nabi. 20
Tujuan syarh al-hadits dan fiqh al-hadits agar umat tidak salah dalam memahami dan
menerapkan hadits Nabi Saw., karena tidak semua perbuatan Nabi harus diikuti oleh umatnya,
tetapi ada perbuatan yang memang dikhususkan untuk Nabi Saw.

20 Mujiono Nurkholis, Metodologi Syarah Hadist, (Bandung: Fasygil Grup, 2003) hlm. 2-3
12

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa konsep


kesempurnaan Al-Qur’an diantaranya adalah memiliki teks yang sama maknanya dengan kitab
samawi lainnya, Al-Qur’an merupakan kitab suci penyempurna ajaran sebelumnya dan Al-
Qur’an merupakan kitab suci yang mudah diingat dan mendapatkan pahala di setiap huruf bagi
pembacanya.

Syarat-syarat menjadi mufassir antara lain, memiliki akidah yang benar, bersih hawa
nafsu, menafsirkan lebih dulu Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, bila tidak ada mencari tafsir
dengan sunnah, sahabat dan atau tabi’in. Selain itu, mufassir perlu memiliki pengetahuan
bahasa Arab dan prinsip-prinsip ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an.

Hadits berfungsi sebagai penjelas atau tambahan terhadap Al-Qur’an. Selain itu juga
menetapkan hukum-hukum yang tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an, menghapus hukum yang
diterangkan dalam Al-Qur’an. Syarh al-hadits layaknya tafsir Al-Qur’an, yaitu mempunyai
tujuan sebagai penjelas terhadap hal-hal yang belum jelas. Syarah hadits adalah menjelaskan
keshahihan dan kecacatan sanad dan matan hadits, menjelaskan makna-maknanya, dan
mengeluarkan hukum dan hikmahnya.

B. Kritik dan Saran


Kami menyadari bahwa dalam pembuatan dan makalah ini sendiri terdapat banyak
kekurangan. Maka, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan sebagai
pembelajaran untuk kami kedepan.
13

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Mirza Ghulam. 2014. Inti Ajaran Islam. Jakarta : Neratja Press.
Ali, A. Mukti. 1972. Ke-Esaan Tuhan dalam al-Qur‘an. Jogjakarta: Yayasan Nida.
Al-Qaththan, Syaikh Manna. 2018. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta : Pustaka Al-
Kautsar.
Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad hasbi. 2012. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Semarang: PT.
Pustaka Rizqi Putra.
Firdausa, Ulinuha. 2017. Telaah Makna Kesempurnaan Agama Dalam Al-Qur’an Surah Al-
Maidah Ayat 3 (Skripsi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya).
Khon, Dr. H. Abdul Majid. 2009. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.
Nurkholis, Mujiono. 2003. Metodologi Syarah Hadist. Bandung: Fasygil Grup.
Salam, M. Isa H. A. dan Bustamin. 2004. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Suryadilaga, M. Alfatih. 2012. Metodologi Syarah Hadis Era Klasik hingga Kontemporer
Yogyakarta: SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga

Anda mungkin juga menyukai