Disusun Oleh :
Kelompok 1
FAKULTAS USHULUDDIN
2020
1
DAFTAR ISI
BAB I ............................................................................................................................................... 2
PENDAHULUAN ............................................................................................................................ 2
BAB II .............................................................................................................................................. 3
ISI
PENUTUP...................................................................................................................................... 12
A. Kesimpulan ............................................................................................................................ 12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang menjadi penyempurna dari kitab-
kitab sebelumnya. Posisi Al-Qur’an dalam kehidupan umat Islam memegang peranan penting
dan yang utama karena buku ini berisikan petunjuk kehidupan bagi seluruh manusia. Namun
selain Al-Qur’an, terdapat pula sumber atau petunjuk lainnya bagi manusia selain Al-Qur’an,
yaitu hadits. Keharusan mengikuti haditst bagi umat Islam, baik berupa perintah maupun
larangan sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-Qur’an. Karena kedua hal tersebut,
maka urgensi pengkajian teks-teks tafsir Al-Qur’an dan hadits menjadi sangat penting. Untuk
itulah, dalam makalah ini penulis mencoba memberikan pemaparan awal mengenai pengertian
Al-Qur’an, tafsir, hadits dan syarah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep kesempurnaan Al-Qur’an?
2. Apa saja syarat-syarat sebagai mufassir?
3. Bagaimana memaknai kehadiran hadits?
4. Apa saja fungsi syarah hadits?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui konsep kesempurnaan Al-Qur’an.
2. Memahami syarat-syarat sebagai mufassir.
3. Mampu memaknai kehadiran hadits.
4. Mengetahui fungsi dari syarah hadits.
3
BAB II
ISI
a) Al-Qur’an mempunyai sumber teks yang sama maknanya dengan kitab samawi lainnya,
sebagai contoh adalah dalam kitab Mazmur 37:29 tertulis demikian:
"Orang-orang benar mewarisi bumi dan mereka akan tinggal selama-lamanya di
bumi." (Tehilim 37:29).
Al-Qur’an juga mempunyai ayat yang sejajar, yaitu meneguhkan pernyataan kitab
Mazmur dan mengkonfirmasinya, yakni berkaitan dengan keberadaan orang-orang
benar ataupun orang-orang saleh. Sebagai contoh adalah QS. Al-Anbiya [21] : 105 yang
berbunyi
b) Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam dimana banyak kajian-kajian yang telah
dilakukan oleh muslim dan non muslim. Dan semua kajian tersebut membuktikan
bahwa Al-Qur’an dan Islam merupakan agama yang sempurna. 2 Menurut Kiai Muchit
1 Mirza Ghulam Ahmad, Inti Ajaran Islam (Jakarta: Neratja Press, 2014) hlm. 15
2 Ulinuha Firdausa, Telaah Makna Kesempurnaan Agama Dalam Al-Qur’an Surah Al-Maidah Ayat 3 (Skripsi
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2017) hlm. 31
4
Manzdi, umur Al-Qur’an sudah berusia lima belas abad. Namun keontetikannya tetap
terjaga sekalipun sudah bergumul dengan situasi dan kondisi zaman yang beraneka
ragam.3 Telaah dan kajian terhadap Islam secara kritis sudah dilakukan beribu-ribu kali,
bukan saja oleh umat Islam sendiri, tapi juga oleh non muslim. Dan hasil studi yang
dilakukan selalu semakin membuktikan kesempurnaan agama Islam dan Al-Qur’an itu
sendiri, benarlah firman Allah Swt. dalam QS. Ali Imran [3] : 95 yang berbunyi
c) Al-Qur’an mudah diingat dan setiap membacanya itu berpahala. Menurut cendikiawan
muslim Qurasih Shihab, Al-Qur’an diambil dari kata qara'a yang artinya membaca. Al-
Qur’an adalah bacaan. Huruf Alif pada kata Quran, lanjut Quraish Shihab mengandung
arti kesempurnaan. Dengan demikian Al-Qur’an adalah bacaan yang sempurna. Tidak
hanya sempurna akan kandungannya, namun juga redaksi serta petunjuknya.
Kesempurnaan lain yang dimiliki Al-Qur’an, lanjut Quraish Shihab karena ia mudah
diingat. Tidak hanya untuk orangtua, anak-anak pun sangat mudah menghafalnya. Hal
ini juga ditegaskan dalam QS. Al-Isra [17] : 9 yang berbunyi
ت أَ َّن لَ ُه ْم
ِ ص ِل َّٰ َح َ إِ َّن َّٰ َهذَا ْٱلقُ ْر َءانَ يَ ْهدِى ِللَّتِى ه
َّ َّٰ ِى أَ ْق َو ُم َويُبَش ُِر ْٱل ُمؤْ ِمنِينَ ٱلَّذِينَ يَ ْع َملُونَ ٱل
يراً ِأَ ْج ًرا َكب
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus
dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal
saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.”
3 A. Mukti Ali, Ke-Esaan Tuhan dalam al-Qur‘an (Jogjakarta: Yayasan Nida, 1972) hlm. 9-11.
4 Tengku Muhammad hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Semarang: PT. Pustaka Rizqi Putra, 2012)
hlm. 199
5
penunjang utama dalam penafsiran. Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat yang harus
dimiliki setiap mufassir antara lain:
Seperti Mujahid bin Jabr, Sa’id bin Jubair, Masruq bin Ajda’ dan tabi’in lainnya.
7. Pengetahuan bahasa Arab yang baik.
Karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Pemahaman yang baik terhadap
Al-Qur’an amat bergantung pada penguraian mufradat, lafaz-lafaz dan pengertian-
pengertian yang ditunjukkannya sesuai dengan sturktur kalimat.
8. Pengetahuan tentang prinsip-prinsip ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an.
Seperti ilmu qira’at, sebab dengan ilmu ini dapat diketahui cara mengucapkan lafaz-
lafaz Al-Qur’an dan dapat memilih mana yang lebih kuat di antara berbagai ragam
bacaan yang diperkenankan.
9. Pemahaman yang cermat sehingga mufassir dapat mengukuhkan sesuatu makna
atas yang lain atau menyimpulkan makna yang sejalan dengan nash-nash syariat.5
1. Jadid (baru), sebagai lawan dari kata “qadim” (terdahulu). Dalam hal ini yang
dimaksud qadim adalah kitab Allah, sedangkan yang dimaksud jadid adalah
hadits Nabi Saw.
2. Qarib yang berarti dekat atau dalam waktu dekat belum lama
3. Khabar yang berarti warta berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan
dipindahkan dari seseorang kepada seseorang. Hadits selalu menggunakan
kami)6
Menurut Subhi al-Shalih kata hadits merupakan bentuk isim dari tahdits yang
mengandung arti memberitahukan, mengabarkan. Berdasarkan pengertian inilah selanjutnya
5 Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Terj. H. Aunur Rafiq El-Mazani (Jakarta : Pustaka
Al-Kautsar, 2018) hlm. 414-417
6 Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadis (Ponorogo : IAIN PO Press, 2018) hlm. 1-2
7
setiap perkataan, perbuatan, atau penetapan (taqrir) yang disandarkan kepada Nabi Saw.
dinamai dengan hadits.7
Sedangkan pengertian hadits secara luas sebagaimana yang diberikan oleh sebagian
ulama seperti Ath-Thiby berpendapat bahwa hadits itu tidak hanya meliputi sabda Nabi,
perbuatan dan taqrir beliau (hadits marfu’), juga meliputi sabda, perbuatan dan taqrir para
sahabat (hadits mauquf), serta dari tabi’in (hadits maqthu’).8
Ibn Taimiyyah memberikan batasan bahwa yang dinyatakan sebagai hadits adalah
sesuatu yang disandarkan kepada Rasul sesudah beliau diangkat menjadi Rasul, yang terdiri
atas perkataan, perbuatan dan taqrir.
اقواله صلى هللا عليه وسلم وافعاله وتقاريره مما يتعلق به حكم بنا
“Segala perkataan, segala perbuatan dan segala taqrir nabi Saw. yang bersangkut
7 Nawir Yuslem, Ulumul Hadits (Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya, 2001) hlm. 35-36
8 Khusniati Rofiah, Op. Cit., hlm. 3
9 Nawir Yuslem, Op. Cit., hlm. 37-38
10 Nawir Yuslem, Op. Cit., hlm. 63
8
dan lengkap, baik menyangkut masalah duniawi maupun ukhrawi, tidak ada suatu masalah
yang tertinggal. 11
Al-Qur’an dan al-Hadits merupakan sumber syari’at yang saling terkait. Seorang
muslin tidak mungkin. dapat memahami syari’at. kecuali dengan merujuk kepada keduanya
sekaligus dan seorang mujtahid tidak mungkin mengabaikan salah satunya. 12
Secara garis besar, fungsi hadits terhadap Al-Qur’an dapat dibagi menjadi :
1. Menegaskan kembali keterangan atau perintah yang terdapat dalam Al-Qur’an
(bayan taqrir)
Seperti contoh ayat Al-Qur’an Surat Al-Maidah [5] : 6 tentang keharusan berwudhu
sebelum shalat, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai
dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata
kaki”
Ayat di atas ditaqrir oleh hadits Nabi riwayat Bukhari dari Abu Hurairah yang
berbunyi:
11 Dr. H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 22
12 Khusniati Rofiah, Op. Cit., hlm. 21-22
13 Ibid,. hlm. 29
9
14 Ibid,. hlm. 32
15 Ibid,. hlm. 30
16 Dr. H. Abdul Majid Khon, Op. Cit., hlm. 17-18
10
Kata syarh berasal dari bahasa Arab شرحا – شرح- يشرحyang artinya menerangkan,
membukakan dan melapangkan. Istilah syarh biasanya digunakan untuk hadits, sedangkan
tafsir untuk kajian Al-Qur’an. Syarh al-hadits layaknya tafsir Al-Qur’an, yaitu mempunyai
tujuan sebagai penjelas terhadap hal-hal yang belum jelas. Oleh karenanya, dilihat dari segi
maksud dan fungsionalnya, syarh dan tafsir mengandung arti dan maksud yang sama. Istilah
tafsir spesifik bagi Al-Qur’an (menjelaskan arti, maksud, kandungan, atau pesan ayat-ayat Al-
Qur’an), sedangkan istilah syarh diperuntukan bagi disiplin ilmu lain, meliputi hadits yakni
untuk menjelaskan arti, maksud, kandungan, atau pesan hadits.
Definisi ini hanya menyangkut syarah terhadap matan hadits, sedangkan definisi
syarah yang mencakup semua komponen hadits itu, baik sanad maupun matannya, adalah
sebagai berikut:
ص َّح ٍة َو ِعلَّ ٍة َوبَيَانُ َمعَانِ ْي ِه ِ ث ه َُو بَيَانُ َمايَتَعَلَّ ُق بِ ْال َح ِد ْي
َ ث َمتْنً َاو
ِ سنَدًا ِم ْن ِ ش َْر ُح ْال َح ِد ْي
ِ وا ْستِ ْخ َرا ُج ا َ ْح َك.
ام ِه َو ِح َك ِم ِه َ
Syarah hadits adalah menjelaskan keshahihan dan kecacatan sanad dan matan hadits,
menjelaskan makna-maknanya, dan mengeluarkan hukum dan hikmahnya.
Dengan definisi di atas, maka kegiatan syarh hadits secara garis besar meliputi tiga
langkah, yaitu:
1. Menjelaskan kuantitas dan kualitas hadits, baik dari segi sanad maupun matn.
Begitu pula penjelasan tentang jalur-jalur periwayatannya, penjelasan identitas
dan karakteristik para periwayatnya, serta analisis matn dari sudut kaidah
kebahasaan.
2. Menguraikan makna dan maksud hadits. Hal ini meliputi penjelasan cara baca
lafal-lafal tertentu, penjelasan struktur kalimat, penjelasan makna leksikal dan
gramatikal serta makna yang dimaksudkan.
3. Mengungkap hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Hal ini meliputi
istinbat terhadap hukum dan hikmah yang terkandung dalam matn hadits, baik
yang tersurat maupun yang tersirat.
Term atau istilah syarh al-hadits yang dikenal saat ini secara historis merupakan hasil
dari sebuah proses transformatif dari istilah yang telah ada sebelumnya, yaitu fiqh al-hadits
yang merupakan pegangan para faqih al-hadits. Mereka inilah yang telah diberikan oleh Allah
Swt. kemampuan daya kritis dan memiliki pemahaman dari hasil keseriusannya dalam bahasa
maupun pengetahuannya terhadap hukum syariah. Hasil ijtihad mereka dalam memahami
hadits Nabi Saw. disebut fiqh al-hadits. Syarh al-hadits dan fiqh al-hadits memiliki peran yang
sangat penting dalam memahami dan mengamalkan hadits Nabi. 20
Tujuan syarh al-hadits dan fiqh al-hadits agar umat tidak salah dalam memahami dan
menerapkan hadits Nabi Saw., karena tidak semua perbuatan Nabi harus diikuti oleh umatnya,
tetapi ada perbuatan yang memang dikhususkan untuk Nabi Saw.
20 Mujiono Nurkholis, Metodologi Syarah Hadist, (Bandung: Fasygil Grup, 2003) hlm. 2-3
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Syarat-syarat menjadi mufassir antara lain, memiliki akidah yang benar, bersih hawa
nafsu, menafsirkan lebih dulu Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, bila tidak ada mencari tafsir
dengan sunnah, sahabat dan atau tabi’in. Selain itu, mufassir perlu memiliki pengetahuan
bahasa Arab dan prinsip-prinsip ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an.
Hadits berfungsi sebagai penjelas atau tambahan terhadap Al-Qur’an. Selain itu juga
menetapkan hukum-hukum yang tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an, menghapus hukum yang
diterangkan dalam Al-Qur’an. Syarh al-hadits layaknya tafsir Al-Qur’an, yaitu mempunyai
tujuan sebagai penjelas terhadap hal-hal yang belum jelas. Syarah hadits adalah menjelaskan
keshahihan dan kecacatan sanad dan matan hadits, menjelaskan makna-maknanya, dan
mengeluarkan hukum dan hikmahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Mirza Ghulam. 2014. Inti Ajaran Islam. Jakarta : Neratja Press.
Ali, A. Mukti. 1972. Ke-Esaan Tuhan dalam al-Qur‘an. Jogjakarta: Yayasan Nida.
Al-Qaththan, Syaikh Manna. 2018. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta : Pustaka Al-
Kautsar.
Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad hasbi. 2012. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Semarang: PT.
Pustaka Rizqi Putra.
Firdausa, Ulinuha. 2017. Telaah Makna Kesempurnaan Agama Dalam Al-Qur’an Surah Al-
Maidah Ayat 3 (Skripsi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya).
Khon, Dr. H. Abdul Majid. 2009. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.
Nurkholis, Mujiono. 2003. Metodologi Syarah Hadist. Bandung: Fasygil Grup.
Salam, M. Isa H. A. dan Bustamin. 2004. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Suryadilaga, M. Alfatih. 2012. Metodologi Syarah Hadis Era Klasik hingga Kontemporer
Yogyakarta: SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga