Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH ULUM Al-QUR’AN

“AL-MUHKAMAT WA AL-MUTASYABIHAT DAN FAWATIH AS-SUWAR"

Disusun Oleh :
KELOMPOK 9
Fikri Amani/10120210022
Naharuddin/10120210052

Fakultas Agama Islam


Pendidikan Agama Islam
Universitas Muslim Indonesia
Makassar
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan
hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjud
ul "Al-Muhkamat Wa Al-Mutasyabihat" dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah Ulum Al-


Qur’an. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan
tentang Ulum Qur’an bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayah Ilyas Thahir selak


u Dosen Mata Kuliah Ulum Al-Qur’an. Ucapan terima kasih juga disampa
ikan kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikannya maka
lah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh


sebab itu, saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempu
rnaan makalah ini.

Makassar, 14 November 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang..........................................................................................1

B. Rumusan Masalah.....................................................................................1

C. Tujuan Masalah.........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................4

A. Pengertian Al-Muhkamat Wa Al-Mutasyabihat........................................4

B. Pengertian Fawatih As-Suwar...................................................................5

C. Sikap Ulama Dalam Menafsirka Ayat Ayat Mutasyabihat........................6

D. Hikmah Adanya Ayat Mutasyabihat..........................................................8

BAB II PENUTUP.................................................................................................10

A. Kesimpulan.............................................................................................10

B. Saran........................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................11

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Adalah al Quran Kitab Suci yang diturunkan Allah melalui Jibril kepada Nabi
Muhammad SAW sebagai Kitab Suci yang terakhir dan suatu ringkasan dari Kitab-Kitab
Suci yang pernah diturunkan Allah. Bahkan al Quran acapkali diseru oleh seluruh
penganutnya untuk mengesahkan berbagai macam prilaku, memotivasi berbagai
perjuangan, melandasi berbagai aspirasi, mensugesti dalam memenuhi segudang harapan
dan memperteguh jati diri manusia yang meyakininya dalam menghadapi berbagai
tantangan perkembangan zaman.
Bahkan bila dilihat pendapat Muhammad Abduh yang selaras dengan tendensi
rasionalitasnya di bidang tafsir bahwa kemukjizatan al Quran menunjukkan adanya
ketidakberdayaan zaman untuk menggugurkan apapun darinya. Ia juga menegaskan
bahwa hanya al Quranlah satu-satunya kitab yang memuat berbagai masalah alam, secara
empiris maupun sosial (Abdussalam, 1999: 132). Oleh karena itu al Quran adalah salah
satu naskah atau risalah yang berjangkauan universal yang sering diperbincangkan dan
didiskusikan, meski demikian kurang kita pahami secara keseluruhan. Mengingat
penjelasan pesan-pesan Allah dan segala hikmahnya itu masih menjadi misteri bagi
kebanyakan manusia. Sehingga kaum muslimin harus menakwilkannya dan harus
mengeluarkan dari seluruh fenomenanya untuk disesuaikan dengan berbagai fenomena
dan tradisi atau teori sains. Sehingga perkembangan ilmu pengetahuan manusia sesuai
dengan realitasnya yang benar-benar riil dalam al Quran.
Misalkan dalam permasalahan muhkam dan mutasyabih yang terdapat dalam ayat-
ayat al Quran. Bila umat Islam tidak memahami dengan baik dan benar keduanya,
tentunya akan menimbulkan permasalahan yang mendasar dalam memahami al Quran.
Untuk lebih jelasnya akan diuraikan secara terinci hal-hal yang berkaitan dengan kedua
permasalahan tersebut di bawah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Muhkamat dan Mutasyabihat
2. Apa Pengertian Fawatih As-Suwar
3. Bagaimana Sikap Ulama Terhadap Penafsiran Ayat Ayat Mutasyabihat
C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Pengertian Muhkamat Dan Mutasyabihat
2. Untuk Mengetahui Pengertian Fawatih As-Suwar
3. Untuk Mengetahui Sikap Ulama Terhadap Penafsiran Ayat Ayat Mutasyabihat
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Muhkamat Wa Al-Mutasyabihat
Al-Quran mengandung ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat. Allah swt.
menjelaskannya dalam firman-Nya:
ٌ َ‫ب َوُأ َخ ُر ُمتَ َشابِه‬
‫ات‬ ِ ‫ات ه َُّن ُأ ُّم ْال ِكتَا‬ َ ‫ه َُو الَّ ِذي َأ ْنزَ َل َعلَ ْيكَ ْال ِكت‬
ٌ َ‫َاب ِم ْنهُ آي‬
ٌ ‫ات ُمحْ َك َم‬

“Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya


ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Quran dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyabihat.” (QS. Ali Imran: 7)
Ayat muhkamat adalah ayat yang jelas arti dan maksudnya, sedangkan ayat
mutasyabihat adalah ayat yang makna dan maksudnya belum jelas, bahkan terdapat
perbedaan antara zhahir lafal dengan makna yang dikehendaki, seperti yang terdapat pada
ayat-ayat permulaan surat.
Imam Al-Qurthubi mengatakan bahwa ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang
kandungan makna dan maksudnya hanya diketahui oleh Allah swt. Tidak ada seorang pun
yang mengetahuinya dan tidak ada jalan bagi siapapun untuk mengetahuinya. Contoh ayat
mutasyabihat itu seperti kapan datangnya kiamat, keluarnya Ya’juj Ma’juj, keluarnya
Dajjal, dan lain sebagainya.
Penjelasan mengenai ayat mutasyabihat dalam surat Ali Imran di atas bertujuan
untuk membantah kaum Nasrani yang berusaha mencari dalil-dalil dari Al-Quran yang
secara zhahir menerangkan bahwa Nabi Isa as. berbeda dari manusia-manusia lainnya.
Mereka (kaum Nasrani) berargumen bahwa Al-Quran telah menjelaskan bahwa
Isa adalah Ruh Allah dan kalimat-Nya yang Dia sampaikan kepada Maryam serta ruh
dari-Nya, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:

ُ‫ِإنَّ َما ْٱل َم ِسي ُح ِعي َسى ٱبْنُ َمرْ يَ َم َرسُو ُل ٱهَّلل ِ َو َكلِ َمتُ ٓۥهُ َأ ْلقَ ٰىهَٓا ِإلَ ٰى َمرْ يَ َم َورُو ٌح ِّم ْنه‬
“Sesungguhnya Al-Masih, Isa putera Maryam adalah utusan Allah dan (yang
diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan
tiupan) roh dari-Nya.” (QS. An-Nisa: 171).
Namun dalam masalah ini, mereka abai terhadap firman Allah swt. dalam ayat
lain, yaitu:

‫ِإ ْن هُ َو ِإاَّل َع ْب ٌد َأ ْن َع ْمنَا َعلَ ْي ِه َو َج َع ْلنَاهُ َمثَاًل لِبَنِي ِإ ْس َراِئي َل‬

“Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya nikmat
(kenabian) dan Kami jadikan dia sebagai tanda bukti (kekuasaan Allah) untuk Bani
lsrail.” (QS. Az-Zukhruf: 59).
Mereka melakukan ini karena menakwilkan Al-Quran dengan intepretasi yang
tidak sesuai hakekatnya serta sekehendak sendiri mengubahnya dengan mengikuti hawa
nafsu, tradisi, dan ajaran warisan nenek moyang mereka, dengan mengabaikan dasar
pokok yang bersifat muhkam (jelas dan pasti), yaitu penghambaan dan ketaatan Isa
kepada Allah swt.
Suatu ketika Rasulullah saw. membaca ayat tersebut (Ali Imran: 7), lalu beliau
bersabda: “Jika kalian melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat, maka
mereka adalah orang-orang yang disebutkan Allah swt. dalam ayat ini, maka waspadalah
dan berhati-hatilah terhadap mereka.” (HR. Muslim).
Orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat, adakalanya karena ingin
menimbulkan keraguan terhadap Al-Quran dan menyesatkan orang awam. Seperti yang
dilakukan oleh golongan Zanadiqah dan Qaramithah yang menyangsikan kebenaran Al-
Quran.
Adakalanya pula mereka meyakini bahwa yang dimaksudkan dalam ayat-ayat
mutasyabihat adalah sesuai makna zhahirnya, seperti golongan Mujassimah yang
menyakini bahwa Allah SWT memiliki jisim dan bentuk. Mahasuci Allah dari itu semua.
Ayat mutasyabihat seperti di atas diturunkan antara lain untuk memotivasi para
ulama agar giat melakukan studi, menalar, berpikir, teliti dalam berijtihad, dan
menangkap pesan-pesan agama. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Dr.
Quraisy Syihab dalam kitab tafsirnya.

B. Pengertian Fawatih As-Suwar


Fawatih as-suwar terdiri dari dua kata, yaitu fawatih dan as-suwar. Fawatih
merupakan jamak dari faatihah yang artinya pembuka. Sedangkan as-suwar merupakan
jamak dari surah yang artinya surah-surah. Dengan demikian, fawatih as-suwar secara
harfiah berarti pembuka surah-surah.
Adapun menurut Manna al-Qattan fawatih as-suwar artinya suatu ilmu yang
mengkaji tentang huruf-huruf, kata atau kalimat permulaan surah-surah al-Quran.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa fawatih as-suwar ialah pembukaan atau permulaan
surah-surah dalam al-Quran karena posisinya yang mengawali perjalanan teks-teks pada
suatu surat al-Quran.
Menurut Badruddin Muhammad Az-Zarkasy, Allah swt. telah memberikan
pembukaan pada surah-surah dalam al-Quran dengan sepuluh macam bentuk fawatih as-
suwar yaitu :

1. Al-Istiftah bi al-tsana (Pembukaan dengan pujian kepada Allah swt.)


Al-Istiftah bi al-tsana yaitu menetapkan sifat-sifat terpuji dengan
menggunakan salah satu lafal: Memakai lafal hamdalah (Alhamdulillah) terdapat
dalam 5 surat yaitu Q.S. Al-Fatihah, Q.S. Al-An’am, Q.S. Al-Kahfi, Q.S. Saba dan
Q.S. Fathir.
Dan memakai lafal tabaaraka yang terdapat dalam 2 surat yaitu Q.S. Al-
Furqon dan Q.S. Al-Mulk. SertaTanzih ‘an sifatin naqshin (Mensucikan Allah dari
sifat-sifat negatif) dengan menggunakan lafal tasbih yang terdapat dalam 7 surat yaitu
Q.S. Al-Isra’, Q.S. Al-A’la, Q.S. Al-Hadid, Q.S. Al-Hasyr, Q.S. As-Shaff, Q.S. Al-
Jumu’ah, Q.S. At-Taghabun.
2. Al-Istiftah bi al-huruf al-muqatha’ah (Pembukaan dengan huruf-huruf yang
terputus) pembukaan dengan huruf-huruf ini terdapat dalam 29 surat dalam al-
Quran. Pembagian ini dibagi menjadi 5 kelompok yaitu:
a) Terdiri dari 1 huruf yang terdapat dalam 3 surat yaitu Q.S. Al-Qalam, Q.S.
Shad dan Q.S. Qof.
b) Terdiri dari 2 huruf yang terdapat dalam 10 surat yaitu Q.S. Al-Mu’minun,
Q.S. Fushilat, Q.S. Asy-Syura, Q.S. Az-Zukhruf, Q.S. Ad-Dukhan, Q.S.
Al-Jatsiyah, Q.S. Al-Ahqaf, Q.S. Thaha, Q.S. An-Naml dan Q.S. Yasin.
c) Terdiri dari 3 huruf yang terdapat dalam 13 surat yaitu Q.S. Al-Baqarah,
Q.S. Ali Imran, Q.S. Al-Ankabut, Q.S. Ar-Rum, Q.S. Luqman, Q.S. As-
Sajdah, Q.S. Yunus, Q.S. Hud, Q.S. Ibrahim, Q.S. Yusuf, Q.S. Al-Hijr,
Q.S. Al-Qashash dan Q.S. Asy-Syu’ara.
d) Terdiri dari 4 huruf yang terdapat dalam 2 surat yaitu Q.S. Ar-Ra’d dan
Q.S. Al-A’raf.
e) Terdiri dari 5 huruf yang terdapat dalam 1 surat yaitu Q.S. Maryam.
3. Ketiga, Al-Istiftah bi al-nida (Pembukaan dengan panggilan) terdapat dalam 10
surah yaitu nida untuk Rasulullah saw. dalam Q.S. Al-Ahzab, Q.S. At-Tahrim,
Q.S. At-Talaq, Q.S. Al-Muzammil dan Q.S. Al-Mudatsir. Sedangkan nida untuk
umat dalam Q.S. An-Nisa, Q.S. Al-Maidah, Q.S. Al-Hajj, Q.S. Al-Hujurat dan
Q.S. Al-Mumtahanah.
4. Keempat, Al-Istiftah bi al-jumlah al-khabariyah (Pembukaan dengan jumlah
khabariyah) terdapat dalam 23 surat yaitu Q.S. At-Taubah, Q.S. An-Nur, Q.S. Az-
Zumar, Q.S. Muhammad, Q.S. Al-Fath, Q.S. Ar-Rahman, Q.S. Al-Haqqah, Q.S.
Nuh, Q.S. Al-Qadr, Q.S. Al-Qari’ah, Q.S. Al-Kautsar, Q.S. Al-Anfal, Q.S. An-
Nahl, Q.S. Al-Qamar, Q.S. Al-Mu’minun, Q.S. Al-Anbiya, Q.S. Al-Mujadalah,
Q.S. Al-Ma’arij, Q.S. Al-Qiyamah, Q.S. Al-Balad, Q.S. ‘Abasa, Q.S. Al-
Bayyinah dan Q.S. At-Takasur.
5. Kelima, Al-Istiftah bi al-qasam (Pembukaan dengan sumpah) terdapat dalam 15
surat yaitu Q.S. Al-‘Asr, Q.S. Al-Adiyat, Q.S. At-Tin, Q.S. Ad-Dhuha, Q.S. Asy-
Syams, Q.S. Al-Lail, Q.S. Al-Fajr, Q.S. At-Thariq, Q.S. Al-Buruj, Q.S. An-
Naziat, Q.S. Al-Mursalat, Q.S. An-Najm, Q.S. At-Tur, Q.S. Az-Zariyat dan Q.S.
AS-Shafat.
6. Keenam, Al-Istiftah bi al-syarat (Pembukaan dengan syarat) terdapat dalam 7
surat yaitu Q.S. At-Takwir, Q.S. Al-Infithar, Q.S. Al-Insiqaq, Q.S. Al-Waqi’ah,
Q.S. Al-Munafiqun, Q.S. Al-Zalzalah dan Q.S. An-Nashr.
7. Ketujuh, Al-Istiftah bi al-amr (Pembukaan dengan perintah) terdapat dalam 5
surat yaitu Q.S. Al-A’laq, Q.S. Al-Jin, Q.S. Al-Kafirun, Q.S. Al-Falaq dan Q.S.
An-Nas.
8. Kedelapan, Al-Istiftah bi al-istifham (Pembukaan dengan pertanyaan) terdapat
dalam 6 surat yaitu pertanyaan positif Q.S. An-Naba, Q.S. Al-Ghasyiyah dan Q.S.
Al-Ma’un. Sedangkan pertanyaan negatif Q.S. Al-Insyirah dan Q.S. Al-Fiil.
9. Kesembilan, Al-Istiftah bi al-du’a (Pembukaan dengan doa) terdapat dalam 3 surat
yaitu Q.S. Al-Muthaffifin, Q.S. Al-Humazah dan Q.S. Al-Lahab.
10. Al-Istiftah bi al-ta’lil (Pembukaan dengan alasan) terdapat dalam 1 surat yaitu
Q.S. Al-Quraisy.
Hikmah yang dapat diambil dari materi Fawatih As-Suwar adalah terungkapnya
mukjizat yang terkandung di dalamnya serta menyadari keterbatasan akal manusia dalam
memahami sesuatu yang sifatnya ghaib dan memberikan pemahaman ilahiah kepada
manusia melalui pengalaman inderawi yang biasa digunakan.
C. Sikap Ulama Dalam Menafsirkan Ayat Ayat Mutasyabihat
Ayat-ayat mutasyabihah timbul karena sifatnya yang mujmal (global) dan itu
tentunya memerlukan takwil. Disisi lain sebagian besar ulama berpendapat, bahwa ayat-
ayat mutasyabihah tidak diketahui takwilnya kecuali oleh Allah. Sementara orang-orang
yang berilmu akan berhenti pada kalimat “dan orang-orang yang berilmu mendalam“,
kalimat tersebut mengindikasikan para ulama ada yang mengetahui takwilnya.
Upaya mencari jalan tengah antara ulama yang berpendapat bahwa ayat
mutasyabih tidak bisa ditakwilkan dengan ulama yang membolehkan takwil, oleh Raghib
al Asfahani mengambil jalan tengah melalui pembagian ayat mutasyabih menjadi tiga
bagian (al Saleh, 2002: 373). Pertama, lafadh atau ayat yang sama sekali tidak dapat
diketahui hakekatnya. Seperti tentang waktu kiamat dan hal-hal ghaib lainnya seperti
dalam Surat al An’am 59:
ؕ‌‫ب اَل يَ ۡعلَ ُمهَ ۤا اِاَّل هُ َو‬
ِ ‫َو ِع ۡند َٗه َمفَاتِ ُح ۡالغ َۡي‬
“Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang ghaib tak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri…
Kedua, ayat-ayat yang setiap orang bisa mengetahui maksudnya melalui penelitian
dan pengkajian. Seperti ayat-ayat mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas,
panjang, urutan, dan seumpamanya. Seperti dalam firman Allah Surat an Nisa 3:
ْ ‫اح َدةً اَوْ َما َملَ َك‬
‫ت‬ َ ‫اب لَ ُك ْم ِّمنَ النِّ َس ۤا ِء َم ْث ٰنى َوثُ ٰل‬
ِ ‫ث َو ُر ٰب َع ۚ فَا ِ ْن ِخ ْفتُ ْم اَاَّل تَ ْع ِدلُوْ ا فَ َو‬ َ ‫ط‬َ ‫َواِ ْن ِخ ْفتُ ْم اَاَّل تُ ْق ِسطُوْ ا فِى ْاليَ ٰتمٰ ى فَا ْن ِكحُوْ ا َما‬
‫ك اَ ْد ٰنٓى اَاَّل تَعُوْ لُوْ ۗا‬
َ ِ‫اَ ْي َمانُ ُك ْم ۗ ٰذل‬
“ Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”(QS an-Nisa: 3).
Penjelasan berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti
pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Islam memperbolehkan
poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan
pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW ayat ini
membatasi poligami sampai empat orang saja.
‫اب لَ ُك ْم ِّمنَ النِّ َس ۤا ِء‬
َ ‫ط‬َ ‫َواِ ْن ِخ ْفتُ ْم اَاَّل تُ ْق ِسطُوْ ا فِى ْاليَ ٰتمٰ ى فَا ْن ِكحُوْ ا َما‬

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim, maka kawinilah wanita-wanita lain…” (QS An Nisa: 3).
Maksud ayat tersebut di atas tidak jelas, dan ditimbulkan akibat lafadnya yang
ringkas. Karena kalimat asalnya berbunyi:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yang
yatim sekiranya kamu kawini mereka, maka kawinilah wanita-wanita selain mereka.”
Ketiga, ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama
tertentu dan bukan semua ulama. Maksudnya yang demikian adalah makna-makna yang
tinggi yang memenuhi hati orang-orang yang jernih jiwanya dan mujtahid.
Para ulama berbeda dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat. Sebagian mereka
cenderung memahaminya secara leterlek (harfiah) dan sebagian yang lain melihatnya
sebagai isyarat kepada takwil. Dalam hal ini sangat ditentukan oleh persepsi mereka
dalam melihat ayat-ayat itu, apakah ia dapat ditafsirkan (ditakwilkan) atau tidak.
Dalam pandangan Subhi As Shalih, ia membedakan pendapat ulama dalam dua
madzhab. Pertama, Madzhab Salaf, yaitu orang-orang yang mempercayai dan meyakini
sifat-sifat mutasyabih dan menyerahkan hakekatnya kepada Allah sendiri (al Saleh, 1995:
211). Karena mereka menyerahkan urusan mengetahui hakekat maksud ayat-ayat
mutasyabihat kepada Allah. Oleh karenanya, mereka disebut Mufawidah atau Tafwid.
Sistem penafsiran tersebut secara umum digunakan Madzhab Salaf dalam memahami
ayat-ayat mutasyabihah. Dalam aplikasinya mereka menggunakan argumen aqli dan
naqli. Kedua. Madzhab Khalaf yaitu ulama yang menakwilkan lafal yang makna lahirnya
mustahil dengan makna yang sesuai dan laik untuk dzat Allah. Oleh sebab itu mereka
disebut Muawwilah atau Madzhab Takwil. Seperti mereka memaknakan istiwa dengan
ketinggian yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam. Kedatangan Allah
diartikan dengan kedatangan perintahnya. Allah berada diatas hamba-Nya dengan Allah
Maha Tinggi, bukan berada suatu tempat. Sisi Allah dengan hak Allah. Wajah dengan
dzat mata dengan pengawasan, tangan dengan kekuasaan dan diri dengan siksa.
Di samping kedua madzhab diatas masih ada lagi madzhab ketiga seperti yang
dikemukakan oleh as Suyuti bahwa Ibnu Daqiq berpendapat jika takwil itu dekat dari
bahasa arab, maka tidak dipungkiri dan jika takwil itu jauh maka kita tawakkuf (tidak
memutuskannya). Jadi kita meyakini maknanya menurut cara yang dimaksudkan serta
mensucikan Tuhan dari sesuatu yang tidak laik bagi-Nya. Seperti sesuatu yang maknanya
lafalnya nyata serta bisa dipahami dari percakapan orang arab kita terima yang demikian
tanpa tawakkuf, contahnya:
ُ ‫ب هّٰللا ِ َواِ ۡن ُك ۡن‬
َ‫ت لَ ِمنَ ال ٰ ّس ِخ ِر ۡي ۙن‬ ِ ‫ت فِ ۡى َج ۢۡن‬ ْ ‫اَ ۡن تَقُ ۡو َل ن َۡفسٌ ٰيّ َح ۡس َر ٰتى ع َٰلى َما فَر‬
ُّ ‫َّط‬

“Supaya jangan ada orang yang mengatakan: ”Amat besar penyesalanku atas
kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang Aku Sesungguhnya
termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah)” (QS az Zumar: 56).
Menurutnya sisi Allah diartikan dengan hak Allah.
Dari ketiga madzhab tersebut, masing–masing mempunyai argumentasi sendiri
dan bisa dikompromikan. Sebab mereka percaya makna yang diambil dari hasil
penakwilan dan penafsiran, bukanlah merupakan makna yang pasti bagi ayat-ayat
mutasyabihat itu, dan tak seorang pun bisa menjamin bahwa itulah makna yang
sebenarnya, dan mereka menyerahkan maknanya kepada Allah, sehingga pada akhirnya
semua pihak bisa menerimanya.
D. Hikmah Adanya Ayat Mutasyabihat
Allah menciptakan segala sesuatu pasti ada hikmahnya, begitu juga dengan
keberadaan ayat-ayat mutasyabihat memiliki hikmah sebagai berikut:

1. Sebagai rahmat Allah kepada manusia agar mereka selalu berpikir. Allah
merahasiakan banyak hal, agar mereka mencari dan berupaya mendapatkan serta
membuka misteri-misteri itu. Maka dengan adanya ayat-ayat mutasyabihat
manusia tidak bergantung secara terus menerus pada penjelasan Allah, tetapi
mereka bisa bergerak sendiri untuk mencari kebenaran dengan bantuan cahaya
ayat-ayat Allah.
2. Sebagai cobaan dari Allah. Maksudnya dengan adanya ayat-ayat mutasyabihat,
manusia diuji keimanannya, apakah mereka tetap percaya dan tunduk kepada
ayat-ayat Allah atau berpaling dan cenderung memperalat ayat-ayat Allah untuk
kepentingan pribadi (mengikuti hawa nafsu).
3. Sesuai dengan perkataan Fakhr ar Raziy, ayat-ayat al Quran ditujukan kepada
semua manusia. Oleh karena itu ia diformulasikan dalam bahasa yang universal
dan mengandung berbagai kemungkinan untuk ditakwilkan. Didalamnya
mengandung berbagai isyarat dan ketentuan-ketentuan yang pasti. Dengan
demikian ayat-ayat mutasyabihat adalah konsekuensi yang tidak dapat dielakkan
untuk menjaga keutuhan dan universalitas al Quran itu sendiri.
4. Untuk menjadi bukti kelemahan manusia atas kebesaran Allah dan ketinggian
ayat-ayat-Nya. Dengan adanya ayat-ayat mutasyabihat, manusia dijadikan tunduk
terhadap ketentuan-Nya dan menghancurkan kesombongannya terhadap
ketetapan-ketetapan Allah. Selanjutnya ayat-ayat mutasyabihat menunjukkan
keterbatasan manusia yang harus mereka sadari setiap saat.
5. Untuk memberikan kebebasan kepada manusia untuk berbeda dalam penafsiran
dalam rangka menjadikan mereka lebih terbuka dan toleran. Sekiranya semua ayat
adalah muhkamat, maka yang terjadi adalah kebekuan dan statis, madzhab hanya
satu, dan manusia tidak lagi berkompetisi dalam mencari kebenaran (Zarqony,
1998: 272).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Ayat muhkamat adalah ayat yang jelas arti dan maksudnya, sedangkan ayat
mutasyabihat adalah ayat yang makna dan maksudnya belum jelas, bahkan terdapat
perbedaan antara zhahir lafal dengan makna yang dikehendaki, seperti yang terdapat pada
ayat-ayat permulaan surat.
Imam Al-Qurthubi mengatakan bahwa ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang
kandungan makna dan maksudnya hanya diketahui oleh Allah swt. Tidak ada seorang pun
yang mengetahuinya dan tidak ada jalan bagi siapapun untuk mengetahuinya. Contoh ayat
mutasyabihat itu seperti kapan datangnya kiamat, keluarnya Ya’juj Ma’juj, keluarnya
Dajjal, dan lain sebagainya.
Fawatih as-suwar terdiri dari dua kata, yaitu fawatih dan as-suwar. Fawatih
merupakan jamak dari faatihah yang artinya pembuka. Sedangkan as-suwar merupakan
jamak dari surah yang artinya surah-surah. Dengan demikian, fawatih as-suwar secara
harfiah berarti pembuka surah-surah. Menurut Badruddin Muhammad Az-Zarkasy, Allah
swt. telah memberikan pembukaan pada surah-surah dalam al-Quran dengan sepuluh
macam bentuk fawatih as-suwar.
Ayat-ayat mutasyabihah timbul karena sifatnya yang mujmal (global) dan itu
tentunya memerlukan takwil. Disisi lain sebagian besar ulama berpendapat, bahwa ayat-
ayat mutasyabihah tidak diketahui takwilnya kecuali oleh Allah. Sementara orang-orang
yang berilmu akan berhenti pada kalimat “dan orang-orang yang berilmu mendalam“,
kalimat tersebut mengindikasikan para ulama ada yang mengetahui takwilnya.
Allah menciptakan segala sesuatu pasti ada hikmahnya, begitu juga dengan
keberadaan ayat-ayat mutasyabihat memiliki hikmah yaitu 1) Sebagai rahmat Allah
kepada manusia agar mereka selalu berpikir, 2) Sebagai cobaan dari Allah, 3) Sesuai
dengan perkataan Fakhr ar Raziy, ayat-ayat al Quran ditujukan kepada semua manusia.
Oleh karena itu ia diformulasikan dalam bahasa yang universal dan mengandung berbagai
kemungkinan untuk ditakwilkan, 4) Untuk menjadi bukti kelemahan manusia atas
kebesaran Allah dan ketinggian ayat-ayat-Nya, dan 5) Untuk memberikan kebebasan
kepada manusia untuk berbeda dalam penafsiran dalam rangka menjadikan mereka lebih
terbuka dan toleran.

B. Saran
Meskipun kami menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan dalam makalah
ini, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu di perbaiki. Hal
ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan saya.
Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat di
harapkan sebagai bahan evaluasi untuk kedepannya. Sehingga bisa terus menghasilkan
penelitian dan karya tulis yang bermanfaat bagi banyak orang.

DAFTAR PUSTAKA

Khoiruddin Arif (2021), Pengertian Ayat Muhkamat Dan Ayat Mutasyabihat Diambil Dari
https://sanadmedia.com/post/pengertian-ayat-muhkamat-dan-ayat-mutasyabihat

Mustofa Fauzia Syifa (2021), PengertianFawatih As-Suwar Berikut Bentuk Bentuknya


Diambil Dari https://iqt.uinsgd.ac.id/pengertian-fawatih-as-suwar-berikut-bentuk-
bentuk-nya/#:~:text=Dengan%20demikian%2C%20fawatih%20as%2Dsuwar,surah
%2Dsurah%20al%2DQuran.

Firdaus Anwar Muhammad (2015), Membincang Ayat Ayat Muhkam Dan Mutasyabih
Diambil Dari
https://www.net/publication/283520412_Membincang_Ayat_ayat_Muka_Dan_Mutas
yabih/fulltext/5688d7ba08ae1e63f1f8a7bb/Membincang-Ayat-ayat-Muhkam-Dan-
Mutasyabihah.pdf

Anda mungkin juga menyukai