Anda di halaman 1dari 29

AS

Makalah
Ditulis Untuk Memenuhi Mata Kuliah
Studi Qur’an Hadith Iqtishodiah

Dosen Pengampu:
Dr. Kasman, M.Fil.I

Oleh:
SITI MUTMAINAH
NIM: 223206040010

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


PASCASARJANA IAIN JEMBER
SEPTEMBER 2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................ii


BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah................................................................................... 3
C. Tujuan ..................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Wahyu ..................................................................................... 4
B. Cara-cara turunnya wahyu kepada Malaikat dan Para Nabi......................6
C. Al-Qur’an dan Hadis sebagai wahyu.........................................................12
D. Sejarah turunnya Al-Qur’an......................................................................15
E. Proses pembukuan Al-Qur’an dan Hadis..................................................17
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Agama Islam memiliki dua sumber ajaran dasar, yaitu Al-Qur’an dan
hadis Nabi Muhammad telah berlangsung dalam sejarah yang cukup lama.
Secara garis besar bahwa sejarah islam terbagi menjadi tiga fase, yaitu klasik,
pertengahan dan moderen. Periode klasik (650-1250 M) merupakan zaman
kemajuan islam. Fase pertengahan (1250-1800 M) merupakan fase
kemunduran. Sementara fase moderen adalah fase kebangkitan umat Islam.
Perkembangan dan kemajuan berpikir manusia senantiasa disertai oleh
wahyu yang sesuai dan dapat memecahkan problem-problem yang dapat
dihadapi oleh kaum setiap rasul saat itu, sampai perkembangan itu mengalami
kematangannya. Allah menghendaki agar risalah Muhammad muncul didunia
ini. Maka diutuslah beliau disaat manusia sedang manusia mengalami
kekosongan para rasul, untuk menyempurnakan “bangunan” saudara-saudara
pendahulunya dengan syariat yang universal dan abadi serta dengan kitab
yang diturunkan kepadanya, yaitu Al-Qur’anul Karim.1
Al-Qur’an merupakan kitab suci terakhir umat Islam sebagai pedoman
hidup dan penyempurna dari ajaran-ajaran agama sebelumnya. Al-Qur’an
merupakan wahyu ilahi yang menjadi tolak ukur wawasan keislaman yang
diyakini kebenarannya. Al-Qur’an merupakan kitab suci yang keajaibannya
tidak akan berakhir dan tidak akan pernah usang, sebanyak apapun uraian dan
diskusi dilakukan terhadapnya.2 Hal itu terbukti karena semakin al-Qur’an
dikaji semakin banyak pula muncul penemuan atau ide baru tentang al-
Qur’an.
Keberadaan Alquran akan terus dikaji dan diteliti dari segala hal,
karena Alquran memuat berbagai petunjuk yang erat kaitannya dengan
kehidupan manusia dan alam, baik sebagai makhluk individu maupun sosial.

1
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Bogor: Litera AntarNusa, 2016), cet ke-17,
hlm.10-12.
2
M. Quraisy Shihab, Mukjizat Al-Quran, (Bandung: Mizan, 2013), hal-279
1
Alquran dalam realisasinya mampu membentuk karakter dan kesadaran
manusia akan Tuhannya sekaligus sebagai khalifah di bumi.
Pada hakikatnya setiap manusia berusaha mengenal, memperhatikan
dan mempelajari Alquran secara menyeluruh agar dalam kehidupannya
tercipta kebermanfaatan dan kebaikan bagi sesama. Sesuai dengan firman
Allah SWT dalam QS. Muhammad ayat 24:

ٍ ْ‫اَفَاَل يَتَ َدبَّرُوْ نَ ْالقُرْ ٰانَ اَ ْم ع َٰلى قُلُو‬


‫ب اَ ْقفَالُهَا‬
Artinya: “Tidakkah mereka merenungkan Al-Qur’an ataukah hati mereka
sudah terkunci?”.
Kajian kritis terhadap wahyu dalam ulumul Qur’an dengan berbagai
metode dan pendekatannya selalu mengalami perkembangan yang dinamis
seiiring dengan tuntutan dan perkembangan pemikiran manusia, dihubungkan
dengan perkembangan zamannya. Hal ini dikarenakan, wahyu sebagai bagian
dari seputar kajian Al-Qur’an senantiasa menerima perubahan dalam
pemahaman, meski terkadang menimbulkan kontroversi ditengah masyarakay
Islam.3
Hadis sebagai sumber dalam ajaran Islam bersama dengan al-Qur’an,
menjadi panduan khusus yang memegang kunci dalam menerangkan ayat al-
Qur’an yang bersifat universal. Keabsahan hadis menjadi sumber utama
dalam Islam juga ditegaskan oleh al-Qur’an secara langsung, yaitu pada QS.
An-Nisa ayat 80 dengan lafadz:
ۗ ‫َم ْن ي ُِّط ِع ال َّرسُوْ َل فَقَ ْد اَطَا َع هّٰللا َ ۚ َو َم ْن ت ََو ٰلّى فَ َمٓا اَرْ َس ْل ٰنكَ َعلَ ْي ِه ْم َحفِ ْيظًا‬
Menurut Wahbah az-Zuhaili bahwa apabila seseorang taat pada Nabi
SAW maka secara otomatis juga taat pada Nabi SAW. Hal ini mendasari
bahwa apa yang diperintahkan oleh Nabi SAW bukanlah berdasarkan hawa
nafsu tetapi dari wahyu Allah. Periwayatan al-Qur’an dan hadis telah terjaga
keotentikannya dengan peran Nabi Muhammad SAW secara langsung, dan
para sahabat. Sama halnya seperti al-Qur’an, hadis sebagai sumber kedua
dalam Islam juga mengalami berbagai perkembangan dari masa ke masa. Di
samping itu, validitas hadis dan al-Qur’an sebagai kajian dalam keilmuan
3
Badrudin, Ulumul Qur’an, (Serang: A-Empat, 2020), hlm 24

2
Islam menjadi sentral kajian keislaman baik bagi para sarjana barat maupun
sarjana muslim. Salah satunya adalah kritik historis pada keshahihan hadis
yang kerap dilakukan oleh para sarjana barat, seperti teori “Common Link”
yang digagas oleh Joseph Schacht.4
Berdasarkan uraian di atas, maka makalah ini akan menjelaskan
tentang “WAHYU, AL-QUR’AN DAN HADIS”.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan wahyu?
2. Bagaimana cara-cara turunnya wahyu kepada Malaikat dan Para Nabi?
3. Apa yang dimaksud Al-Qur’an dan Hadis sebagai wahyu?
4. Bagaimana sejarah turunnya Al-Qur’an?
5. Bagaimana proses pembukuan Al-Qur’an dan Hadis?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami tentang wahyu.
2. Untuk mengetahui konsep-konsep turunnya wahyu kepada Malaikat dan
Para Nabi.
3. Untuk memahami materi tentang Al-Qur’an dan Hadis sebagai wahyu.
4. Untuk memahami tentang sejarah turunnya Al-Qur’an.
5. Untuk mengetahui proses pembukuan Al-Qur’an dan Hadis.

4
Aisyatur Rosyidah, Nur Kholis, Jannatul Husna, Periodisasi Hadis dari Masa ke Masa (Analisis
Peran Sahabat dalam Transmisi Hadis Nabi Saw), Islamadina: Jurnal Pemikiran Islam, e-ISSN :
2580-5096 Volume 22, No. 2, September 2021 : 137-150 p-ISSN : 1412-4777 DOI :
10.30595/islamadina.v%vi%i.9506 137

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Wahyu
Wahyu adalah pemberitahuan Allah yang diturunkan kepada salah
seorang dari Nabi-nabi dan Rasul-rasulnya.5 Secara etimologi (lugawi)
pengertian wahyu adalah sebagai berikut:6
1. Isyarat yang cepat melalui isyarat, seperti isyarat Zakariya sebagaimana
yang terdapat dalam QS. Maryam ayat 11

ِ ‫فَخَ َر َج ع َٰلى قَوْ ِم ٖه ِمنَ ْال ِمحْ َرا‬


‫ب فَاَوْ ٰ ٓحى اِلَ ْي ِه ْم اَ ْن َسبِّحُوْ ا بُ ْك َرةً َّو َع ِشيًّا‬
Artinya: “Lalu, (Zakaria) keluar dari mihrab menuju kaumnya lalu dia
memberi isyarat kepada mereka agar bertasbihlah kamu pada waktu pagi
dan petang”
2. Ilham al-fitri li al-insan (ilham yang menjadi fitrah manusia), seperti wahyu
terhadap ibu Nabi musa, sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Qashash
ayat 7
ٓ
‫ ِه فِى ْاليَ ِّم َواَل‬Š‫ ِه فَا َ ْلقِ ْي‬Š‫ت َعلَ ْي‬ِ ‫ا ِ َذا ِخ ْف‬Šَ‫ ِع ْي ۚ ِه ف‬Š‫ض‬ِ ْ‫ى اَ ْن اَر‬Š‫ٓا اِ ٰلى اُ ِّم ُموْ ٰ ٓس‬ŠŠَ‫َواَوْ َح ْين‬
َ‫اعلُوْ هُ ِمنَ ْال ُمرْ َسلِ ْين‬ِ ‫ك َو َج‬ ِ ‫تَخَافِي َواَل تَحْ َزنِ ْي ۚاِنَّا َر ۤا ُّدوْ هُ اِلَ ْي‬
Artinya: “Kami mengilhamkan kepada ibu Musa, “Susuilah dia (Musa). Jika
engkau khawatir atas (keselamatan)-nya, hanyutkanlah dia ke sungai (Nil
dalam sebuah peti yang mengapung). Janganlah engkau takut dan janganlah
(pula) bersedih. Sesungguhnya Kami pasti mengembalikannya kepadamu
dan menjadikannya sebagai salah seorang rasul.”
3. Ilham yang berupa Insting (naluri) pada binatang, seperti wahyu kepada
lebah, sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Nahl ayat 68

5
Muhammad gufron dan Rahmawati, Ulumul Qur’an Praktis dan Mudah, (yogyakarta: penerbit
teras, 2013) hlm 1
6
Manna' al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2006), hlm 34

4
َّ َ‫ا َّو ِمن‬Šً‫ا ِل بُيُوْ ت‬Šَ‫ ِذيْ ِمنَ ْال ِجب‬Š‫ ِل اَ ِن اتَّ ِخ‬Šْ‫ك اِلَى النَّح‬
‫ َج ِر َو ِم َّما‬Š‫الش‬ َ ُّ‫َواَوْ ٰحى َرب‬
َ‫ْر ُشوْ ۙن‬
ِ ‫يَع‬
Artinya: “Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah, Buatlah sarang-sarang di
pegunungan, pepohonan, dan bangunan yang dibuat oleh manusia.”
4. Bisikan dan tipu daya seperti bisikan setan untuk menghias yang buruk agar
tampak indah dalam diri manusia, sebagaimana QS. Al-An’am ayat 121
َّ ‫ق َواِ َّن‬
َ‫وْ ن‬Šُ‫ ٰي ِط ْينَ لَيُوْ ح‬Š‫الش‬ ٌ ۗ Š‫ ِه َواِنَّهٗ لَفِ ْس‬Šْ‫َواَل تَْأ ُكلُوْ ا ِم َّما لَ ْم ي ُْذ َك ِر ا ْس ُم هّٰللا ِ َعلَي‬
ࣖ َ‫اِ ٰلٓى اَوْ لِيَ ۤا ِٕى ِه ْم لِيُ َجا ِدلُوْ ُك ْم َۚواِ ْن اَطَ ْعتُ ُموْ هُ ْم اِنَّ ُك ْم لَ ُم ْش ِر ُكوْ ن‬
Artinya: “Janganlah kamu memakan sesuatu dari (daging hewan) yang
(ketika disembelih) tidak disebut nama Allah. Perbuatan itu benar-benar
suatu kefasikan. Sesungguhnya setan benar-benar selalu membisiki kawan-
kawannya) agar mereka membantahmu. Jika kamu menuruti mereka,
sesungguhnya kamu benar-benar musyrik.”
5. Apa yang disampaikan Allah kepada para malaikat-Nya berupa suatu
perintah untuk dikerjakan.
Secara terminologis pengertian wahyu sebagai berikut:7
a. Muhammad ‘Abd al-‘Adzim az-Zarqani mendefinisikan wahyu sebagai
pemberitahuan Allah SWT kepada hamba-Nya yang terpilih mengenai
segala sesuatu yang ia kehendaki untuk dikemukakan-Nya, baik berupa
petunjuk maupun ilmu, namun penyampaiannya dengan cara rahasia dan
tersembunyi serta tidak serta terjadi dalam manusia biasa.
b. Muhammad Abduh dalam Risalah at-Tauhid mengatakan, wahyu adalah
pengetahuan yang didapati seseorang dalam dirinya dengan suatu keyakinan
bahwa pengetahuan itu datang dari Allah, baik dengan melalui perantaraan
ataupun tidak. Yang pertama melalui suara yang terjelma dalam telinganya
atau bahkan tanpa suara.
c. Hasbi alsh-Shiddieqy memberi pengertian wahyu sebagai menerima
pembicaraan secara rohani, kemudian pembicaraan itu berbentuk dan
tertulis dalam hati. Wahyu merupakan limpahan ilmu yang dituangkan
7
Badrudin, Ulumul Qur’an, (Serang: A-Empat, 2020), hlm 30-31

5
Allah kedalam hati para Nabi dan Rasul. Dengan demikian terukirlah ibarar-
ibarat atau gambaran-gambaran, lalu dengan ibarat-ibarat itu nabi
mendengar pembicaraan yang tersususn rapi.
Al-Wahyu (wahyu) adalah kata masdar (infinitif). Dia menunjuk pada
dua pengertian dasar, yaitu, tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu, dikatakan,
“Wahyu ialah informasi secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan
kepada orang tertentu tanpa diketahui orang lain. Namun, terkadang juga
bermaksud al-muha, yaitu pengertian isim maf’ul, maknanya yang
diwahyukan, dalam Al-Qur’an wahyu diulang sebanyak 78 kali, yaitu dalam
bentuk kata benda (isim) sebanyak 6 kali, dan dalam bentuk kaya kerja (fi’il)
sebanyak 72 kali.8
Berdasarkan beberapa definisi diatas, penulis mengambil kesimpulan
bahwa wahyu merupakan Informasi yang Allah berikan kepada Para Nabi dan
Rasulnya yang berupa isyarat, ilham pada manusia, naluri/insting pada
binatang, bisikan dan tipu daya syetan serta apa yang disampaikan Allah
kepada para malaikat-Nya berupa suatu perintah untuk dikerjakan dan suatu
larangan untuk ditinggalkan.

B. Cara Turunnya Wahyu Kepada Malaikat Dan Para Nabi


Proses turunnya wahyu kepada malaikat, antara lain:
1. Kalam Allah kepada malaikat, sebagaimana penjelasan dalam QS.Al-
Baqarah: 30, sebagai berikut:
ٰۤ ْ
‫ا َم ْن‬ŠŠَ‫ ُل فِ ْيه‬Š‫الُ ْٓوا اَتَجْ َع‬ŠŠَ‫ةً ۗ ق‬Šَ‫ض خَ لِ ْيف‬
ِ ْ‫ر‬ َ ‫اْل‬ ‫ا‬ ‫ى‬ِ ‫ف‬ ‫ل‬
ٌ Š‫ع‬ِ ‫ا‬ ‫ج‬
َ ‫ي‬ ْ ِّ ‫ن‬ِ ‫ا‬ ‫ة‬
ِ Š ‫ك‬َ ‫ى‬
ِٕ ‫ل‬ ‫ك لِل َم‬َ ُّ‫ا َل َرب‬ŠŠَ‫َواِ ْذ ق‬
‫ا اَل‬ŠŠ‫ك ال ِّد َم ۤا ۚ َء َونَحْ ُن نُ َسبِّ ُح بِ َح ْم ِدكَ َونُقَ ِّدسُ لَكَ ۗ قَا َل اِنِّ ْٓي اَ ْعلَ ُم َم‬ ُ ِ‫يُّ ْف ِس ُد فِ ْيهَا َويَ ْسف‬
َ‫تَ ْعلَ ُموْ ن‬
Artinya: (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku
hendak menjadikan khalifah) di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau
hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana,

8
Herni Indriani, Konsep Wahyu Menurut Al-Qur’an

6
sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia
berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Wahyu Allah kepada para Malaikat sebagaimana penjelasan dalam QS. Al-
Anfal: 12, sebagai berikut:
ۤ
ِ ْ‫و‬ŠŠُ‫ا ُ ْلقِ ْي فِ ْي قُل‬Š ‫وْ ۗا َس‬ŠŠُ‫وا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمن‬ŠŠُ‫اِ ْذ يُوْ ِح ْي َربُّكَ اِلَى ْال َم ٰل ِٕى َك ِة اَنِّ ْي َم َع ُك ْم فَثَبِّت‬
‫ب‬
‫َاق َواضْ ِربُوْ ا ِم ْنهُ ْم ُك َّل بَنَا ۗ ٍن‬ ِ ‫ق ااْل َ ْعن‬ َ ْ‫ب فَاضْ ِربُوْ ا فَو‬ َ ‫الَّ ِذ ْينَ َكفَرُوا الرُّ ْع‬
Artinya: “(Ingatlah) ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat,
“Sesungguhnya Aku bersamamu. Maka, teguhkanlah (pendirian) orang-
orang yang beriman. Kelak Aku akan menimpakan rasa takut ke dalam hati
orang-orang yang kufur. Maka, tebaslah bagian atas leher mereka dan
potonglah tiap-tiap ujung jari mereka.”
Malaikat mengurus urusan dunia sebagaimana penjelasan dalam QS. Adz
Dzariyat: 4 dan QS.An Naziat: 5, sebagai berikut:

‫ت اَ ْمر ًۙا‬
ِ ٰ‫فَ ْال ُمقَسِّم‬
Artinya: “Dan demi (malaikat-malaikat) yang membagi-bagi segala urusan”.

‫ت اَ ْمر ًۘا‬
ِ ‫فَ ْال ُم َدب ِّٰر‬
Artinya: “Dan (malaikat) yang mengatur urusan (dunia)”.
2. Al Quran telah ditulis dilaufudz mahfudz sebagaimana penjelasan dalam QS
Al Buruj: 21-22, sebagai berikut:

ࣖ ‫ح َّمحْ فُوْ ٍظ‬ ۙ ٰ


ٍ ْ‫بَلْ هُ َو قُرْ ا ٌن َّم ِج ْي ٌد فِ ْي لَو‬
Artinya: “Bahkan, (yang didustakan itu) Al-Qur’an yang mulia (21). Yang
(tersimpan) dalam (tempat) yang terjaga (Lauh Mahfuz) (22).
Al-Qur’an diturunkan sekaligus ke Baitul Izzah yang berada dilangit dunia
pada malam lailatul qadar Ramadhan sebagaimana penjelasan dalam QS. Al
Qadr: 1), sebagai berikut:

‫اِنَّٓا اَ ْنز َْل ٰنهُ فِ ْي لَ ْيلَ ِة ْالقَ ْد ِر‬


Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada
Lailatul qadar”.

7
Keistimewaaan wahyu adalah berupa mukjiat, kepastiannya mutlak,
membacanya dianggap ibadah, wajib disampaikan dengan lafadznya. Cara
Wahyu oleh Allah diturunkan kepada kepada Para Rasul adalah sebagai
berikut:9
1. Perantara Jibril, sebagaimana penjelasan dalam QS. Asy Syura:51

ٍ ‫ ا‬ŠŠ‫ا اَوْ ِم ْن َّو َر ۤاِئ ِح َج‬ŠŠً‫ هُ هّٰللا ُ اِاَّل َوحْ ي‬ŠŠ‫ ٍر اَ ْن يُّ َكلِّ َم‬ŠŠ‫انَ لِبَ َش‬ŠŠ‫ا َك‬ŠŠ‫َو َم‬
‫ َل‬ŠŠ‫ب اَوْ يُرْ ِس‬
‫َرسُوْ اًل فَيُوْ ِح َي بِا ِ ْذنِ ٖه َما يَ َش ۤا ُء ۗاِنَّهٗ َعلِ ٌّي َح ِك ْي ٌم‬
Artinya: “Tidak mungkin bagi seorang manusia untuk diajak berbicara
langsung oleh Allah, kecuali dengan (perantaraan) wahyu, dari belakang
tabir, atau dengan mengirim utusan (malaikat) lalu mewahyukan kepadanya
dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha tinggi
lagi Maha bijaksana”.
2. Tanpa perantara dari malaikat, seperti :
a. Rukyah Shadiqah (mimpi yang benar dalam tidur), seperti mimpi Nabi
Ibrahim ketika diperintahkan menyembelih anaknya.

‫ الرؤي الصالحة في النوم فكان ليري‬،‫ أول مابدئ به‬:‫عن عائشة قالت‬
)‫رؤيا إل جاءت مثل فلق لصبح (متفق عليه‬
b. Kalam ilahi dari balik tabir tanpa melalui perantara sebagaimana
penjelasan dalam QS. Al A'raf: 143 dan An Nisa': 164, sebagai berikut:

‫ا َل لَ ْن‬ŠŠَ‫ك ق‬ َ ۗ Š‫رْ اِلَ ْي‬ŠŠُ‫ا َل َربِّ اَ ِرنِ ْٓي اَ ْنظ‬ŠŠَ‫هٗ َربُّهٗ ۙ ق‬ŠŠ‫ا َو َكلَّ َم‬ŠŠَ‫ى لِ ِم ْيقَاتِن‬Š‫َولَ َّما َج ۤا َء ُموْ ٰس‬
‫رىنِ ۚ ْي فَلَ َّما تَ َج ٰلّى‬Šٰ Šَ‫وْ فَ ت‬Š‫هٗ فَ َس‬ŠŠَ‫تَقَ َّر َم َكان‬Š‫اس‬ ْ ‫ت َٰرىنِ ْي َو ٰل ِك ِن ا ْنظُرْ اِلَى ْال َجبَ ِل فَا ِ ِن‬
‫ك‬َ Š‫ْت اِلَ ْي‬
ُ ‫ب ْٰحنَكَ تُب‬Š ‫ا َل ُس‬ŠŠَ‫ق ق‬ َ ‫ص ِعقً ۚا فَلَ َّمٓا اَفَا‬
َ ‫َربُّهٗ لِ ْل َجبَ ِل َج َعلَهٗ َد ًّكا َّوخَ َّر ُموْ ٰسى‬
َ‫َواَن َ۠ا اَ َّو ُل ْال ُمْؤ ِمنِ ْين‬
Artinya: “Ketika Musa datang untuk (bermunajat) pada waktu yang telah
Kami tentukan (selama empat puluh hari) dan Tuhan telah berfirman
(langsung) kepadanya, dia berkata, “Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-
Mu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.” Dia berfirman, “Engkau
9
Muhammad gufron dan Rahmawati, Ulumul Qur’an Praktis dan Mudah, (yogyakarta: penerbit
teras, 2013) hlm 17

8
tidak akan (sanggup) melihat-Ku, namun lihatlah ke gunung itu. Jika ia
tetap di tempatnya (seperti sediakala), niscaya engkau dapat melihat-Ku.”
Maka, ketika Tuhannya menampakkan (keagungan-Nya) pada gunung
itu, gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa
sadar, dia berkata, “Mahasuci Engkau. Aku bertobat kepada-Mu dan aku
adalah orang yang pertama-tama beriman.” (QS. Al A'raf: 143)

ُ ‫ك ۗ َو َكلَّ َم هّٰللا‬ ْ ‫اًل لَّ ْم نَ ْقص‬Š‫ُس‬


َ Šْ‫هُ ْم َعلَي‬Š‫ُص‬ ُ ‫ ُل َور‬Š‫كَ ِم ْن قَ ْب‬ŠŠ‫صصْ ٰنهُ ْم َعلَ ْي‬
َ َ‫وَ ُر ُساًل قَ ْد ق‬
‫ُموْ ٰسى تَ ْكلِ ْي ًم ۚا‬
Artinya: “Ada beberapa rasul yang telah Kami ceritakan (kisah) tentang
mereka kepadamu sebelumnya dan ada (pula) beberapa rasul (lain) yang
tidak Kami ceritakan (kisah) tentang mereka kepadamu. Allah telah
benar-benar berbicara kepada Musa (secara langsung)”. (QS. An Nisa':
164)
Cara penyampaian wahyu oleh malaikat kepada Rasul, yaitu dengan
cara antara lain:10

1. Malaikat mewahyukan Al-Qur’an ke dalam hatinya. Dalam hal ini


Rasulullah tidak melihat sesuatu apapun, hanya beliau merasa bahwa wahyu
al-Qur’an sudah berada dalam hatinya.
2. Datang kepadanya dengan suara seperti gemerincing lonceng dan suara
yang amat kuat yang memepengaruhi faktor kesadaran (cara yang paling
berat).
3. Malaikat menampakkan dirinya kepada Rasulullah tidak berupa seorang
laki-laki, namun menampakkan wujud yang asli, sebagaimana yang terdapat
dalam QS. An-Najm: 13-14.

‫َولَقَ ْد َر ٰاهُ ن َْزلَةً اُ ْخ ٰر ۙى ِع ْن َد ِس ْد َر ِة ْال ُم ْنت َٰهى‬


Artinya: “Sungguh, dia (Nabi Muhammad) benar-benar telah melihatnya
(dalam rupa yangasli) pada waktu yang lain, (yaitu ketika) di
Sidratulmuntaha.”

10
Muhammad gufron dan Rahmawati, Ulumul Qur’an Praktis dan Mudah, (yogyakarta: penerbit
teras, 2013) hlm 17-18

9
4. Malaikat menjelma kepada Rasul sebagai seorang laki laki dalam bentuk
manusia. Bukan berarti Jibril melepaskan sifat kerohaniannya atau dzatnya
telah berubah menjadi seorang laki lakai tetapi yang dimaksud adalah dia
nampak diri dalam bentuk manusia adalah untuk menyenangkan Rasulullah.
Dalil tentang keadaan Rasulullah:

‫ سأل النبي فقال أحيانا‬, ‫روت عائشة رضي ال عنها أن حارث نب هشام‬
‫د وعيت‬ŠŠ‫ني وق‬ŠŠ‫م ع‬ŠŠ‫فيفص‬. ‫ده علي‬ŠŠ‫يأتيني مثل صلصة – الجرس وهو أش‬
‫ وأ أحيانا يتمثل لي الملك رجل فيكلمني فأعي عنه يقول‬. ‫عنه ماقال‬
Dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat yang menerangkan bahwa Allah
berbicara kepada para malaikat-Nya, seperti QS. Al-Baqarah Ayat 30 dan Al-
Anfâl Ayat 12 dan juga hadits riwayat Thabrani yang bersumber dari sahabat
Al-Nawas ibn Sam’an. Dalam riwayat tersebut terdapat keterangan bahwa yang
membawa wahyu dari Allah itu adalah malaikat yang bernama Jibril. Namun di
sini ada perbedaan pendapat mengenai tata cara (kaifiyyah) pewahyuan dari
Allah kepada Jibril. Ada tiga pendapat yang masyhur di kalangan ulama
mengenai perkara ini, yaitu:
1. Malaikat Jibril mengambil Al-Qur’an dari Allah secara simâ’ dengan lafazh
yang khusus tanpa adanya perantara. Ini adalah pendapat mayoritas ulama
dari golongan ahl al-sunnah sebagaimana yang dikuatkan oleh riwayat Al-
Nawas ibn Sam’an di atas. Maka berdasar keterangan ini Al-Qur’an itu
memang bersumber dari Allah dan harus disandarkan kepada Allah
sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. Al-Naml Ayat 6, Al-Taubah Ayat 6,
dan juga ayat yang lainnya. Maka Al-Qur’an itu adalah kalâmullâh bukan
perkataan Jibril ataupun Nabi.

‫َواِنَّكَ لَتُلَقَّى ْالقُرْ ٰانَ ِم ْن لَّ ُد ْن َح ِكي ٍْم َعلِي ٍْم‬


Artinya: “Sesungguhnya engkau (Nabi Muhammad) benar-benar telah
diberi Al-Qur’an dari sisi (Allah) Yang Mahabijaksana lagi Maha
Mengetahui. (Q.S. Al-Naml Ayat 6)

10
ٗ‫َواِ ْن اَ َح ٌد ِّمنَ ْال ُم ْش ِر ِك ْينَ ا ْستَ َجا َركَ فَا َ ِجرْ هُ َح ٰتّى يَ ْس َم َع َك ٰل َم هّٰللا ِ ثُ َّم اَ ْبلِ ْغهُ َمْأ َمنَه‬
ࣖ َ‫ٰۗذلِكَ بِاَنَّهُ ْم قَوْ ٌم اَّل يَ ْعلَ ُموْ ن‬
Artinya: “Jika seseorang di antara orang-orang musyrik ada yang meminta
pelindungan kepada engkau (Nabi Muhammad), lindungilah dia supaya
dapat mendengar firman Allah kemudian antarkanlah dia ke tempat yang
aman baginya. (Demikian) itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum
yang tidak mengetahui. (Al-Taubah Ayat 6)
2. Malaikat Jibril menghafalkan Al-Qur’an dari Al-Lauh Al-Mahfûzh.
Pendapat kedua ini merupakan pendapat yang tidak bisa dipegang. Karena
adanya Al-Qur’an di Al-Lauh Al-Mahfûzh itu seperti perkara gaib lainnya
yang tercantum di sana.
3. Malaikat Jibril hanya mengambil maknanya saja dari Allah, dan lafazhnya
dari Jibril atau dari Nabi. Namun pendapat ini lebih cocok untuk
disandarkan kepada sunnah, bukan untuk Al-Qur’an. Karena sunnah itu
merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi melalui
perantara Jibril secara maknawi, kemudian Nabi mengungkapkan makna
tersebut dengan ungkapannya sendiri.

ٌ ْ‫ق ع َِن ْالهَ ٰوى اِ ْن هُ َو اِاَّل َوح‬


ۙ‫ي يُّوْ ٰحى‬ ُ ‫َو َما يَ ْن ِط‬
Artinya: “Dan tidak pula berucap (tentang Al-Qur’an dan penjelasannya)
berdasarkan hawa nafsu(-nya). Ia (Al-Qur’an itu) tidak lain, kecuali wahyu
yang disampaikan (kepadanya)”. (QS. An-Najm: 3-4)
Dan inilah maksud dari Q.S. Al-Najm Ayat 3 dan 4. Kiranya sungguh
tepat bila Al-Zarqani dalam Manâhil Al-‘Irfân menyatakan, “Sebagian orang
menduga bahwa Jibril hanya menurunkan makna Al-Qur’an kepada Nabi, lalu
Nabi menungkapkannya dalam bahasa Arab. Sedangkan sebagian lainnya
menduga bahwa lafazh Al-Qur’an berasal dari Jibril dan Allah hanya
mewahyukan kepadanya maknanya Dari sinilah para ulama memperbolehkan
meriwayatkan hadits secara makna. Namun, dikarenakan Al-Qur’an itu
langsung dari Allah, baik segi lafadz atau maknanya maka tidak boleh
membaca Al-Qur’an dari maknanya saja.

11
Penulis sependapat dengan sebagian ulama yang mengharamkan
penulisan Al-Qur’an dari terjemahnya saja dan tanpa menyertakan ayatnya,
karena hal ini seolah membenarkan bahwa Al-Qur’an diturunkan oleh Allah
hanya maknanya saja. 11
C. Al Qur’an dan Hadis Sebagai Wahyu
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang bernilai mukjizat yang diturunkan
pada Rasulullah melalui malaikat Jibril yang ditawarkan secara mutawatir dan
membacanya bernilai ibadah.12 Kata Al-Quran disebut oleh Manna’Al-Qotthon
bersal dari kataQara’a mempunyai arti mengumpulkan dan menghimpun, dan
qira’ah berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain
dalam suatu ucapan yang tersusun rapi. Qur’an pada mulanya seperti qira’ah
yaitu masdar (infinitif) dari kata qara’a, qira’atan, qur’anan.13 Allah
berfirman: al qiyamah ayat 17-18

ۚ ٗ‫اِ َّن َعلَ ْينَا َج ْم َعهٗ َوقُرْ ٰانَهٗ ۚ فَا ِ َذا قَ َرْأ ٰنهُ فَاتَّبِ ْع قُرْ ٰانَه‬
Artinya: “Sesungguhnya tugas Kamilah untuk mengumpulkan (dalam hatimu)
dan membacakannya. (17) Maka, apabila Kami telah selesai membacakannya,
ikutilah bacaannya itu.(18)
Para ulama menyebutkan bahwa definisi Al Quran adalah Kalam
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam,
berpahala bagi yang membacanya yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
yang pembacanya merupakan suatu ibadah, sebagaimana yang terdapat QS. Al
Kahfi:109 dan QS. Luqman:27 sebagai berikut:
ُ ٰ‫ت َرب ِّْي لَنَفِ َد ْالبَحْ ُر قَب َْل اَ ْن تَ ْنفَ َد َكلِم‬
ْ‫ت َرب ِّْي َولَو‬ ِ ٰ‫قُلْ لَّوْ َكانَ ْالبَحْ ُر ِمدَادًا لِّ َكلِم‬
‫ِجْئنَا بِ ِم ْثلِ ٖه َم َددًا‬

11
Shidqy Munjin, Konsep Asbab Al-Nuzul Dalam Ulumul Al-Qur’an, AL TADABBUR:
JURNAL ILMU ALQURAN DAN TAFSIR Vol: 04 No. 1 Mei 2019 P-ISSN: 2406-9582 E-ISSN:
2581-2564 DOI: 10.30868/at.v4i01.311
12
Muhammad gufron dan Rahmawati, Ulumul Qur’an Praktis dan Mudah, (yogyakarta: penerbit
teras, 2013) hlm 1
13
Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,
2011), hlm 16

12
Artinya: Katakanlah (Nabi Muhammad), “Seandainya lautan menjadi tinta
untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, niscaya habislah lautan itu sebelum
kalimat-kalimat Tuhanku selesai (ditulis) meskipun Kami datangkan tambahan
sebanyak itu (pula).” (QS. Al Kahfi:109)
ۢ
ٍ Š‫ ْب َعةُ اَ ْب ُح‬Š ‫ض ِم ْن َش َج َر ٍة اَ ْقاَل ٌم َّو ْالبَحْ ُر يَ ُم ُّد ٗه ِم ْن بَ ْع ِد ٖه َس‬
‫ر‬Š ِ ْ‫َولَوْ اَ َّن َما فِى ااْل َر‬
‫هّٰللا‬ ‫َت َكلمٰ ُ هّٰللا‬
‫َز ْي ٌز َح ِك ْي ٌم‬
ِ ‫ت ِ ۗاِ َّن َ ع‬ ِ ْ ‫َّما نَفِد‬
Artinya: “Seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi
tinta) ditambah tujuh lautan lagi setelah (kering)-nya, niscaya tidak akan
pernah habis kalimatullah (ilmu dan hikmahnya) ditulis dengannya.
Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana”. ( QS. Luqman:27)
Secara istilah pengertian Al-Qur’an banyak sekali, namun demikian
pengetian-pengertian yang akan penulis mengedepankan dua pengrtian,yaitu:
1. Pendapat yang dikemukakan Dr. Wahbah Al-Dakhili yang mengutip dari
pandangan para pakar ushul al-fiqh. Al-Qur’an adalah Kalamullah, sebagai
mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Mhammad dalam bahasa arab yang
ditulis dalam mushaf-mushaf, terhiung ibadah bagi yang membacanya,
dinukil secara mutawatir (urut), diawali dengan surat Al-Fatihah dan di
Akhiri dengan surat Al-Nas.
2. Al-Jurjani menyebutkan dalam bukunya, Al-Ta’tifat bahwa Al-Qur’an
adalah ilmu laduni yang menyeluruh yang di dalamnya tekumpul
kebenaran-kebenaran.14
Dari dua definisi di atas tampak perbedaan yang sangat mendasar.
Namun, Jika dua definisi di atas ini dikompromikan, dirinci serta Kodifikasi
Wahyu (Menyoal Kesejarahan Pembukuan Naskah Al-Qur’an) diurutkan,
maka sebagai berikut. Kalamullah, diturunkan kepada Nabi Muhammad,
dengan perantara malaikat Jibril, sebagai mu’jizat, ditulis dalam mushaf,
dinukil, secara mutawatir, dinilai ibadah bagi yang membacanya, diawali
dengan surat Al-Fatihah dan di akhiri dengan surat Al-Nas, ilmu laduni yang
14
Zen Amrullah, Muhammad Hifdil Islan, Muhammad Idris bin Ishak, Kodifikasi Wahyu
(Menyoal Kesejarahan Pembukuan Naskah Al-Qur’an), Humanistika: Jurnal Keislaman Vol. 6 No
2 2020. Hal. 210-230 ISSN (Print): 2460-5417 ISSN (Online): 2548-4400 DOI:
https://doi.org/10.36835/humanistika.v6i1.319

13
bersifat menyeluruh, yang terkumpul semua prinsip kebenaran, yang
diturunkan dengan bahasa arob.
Dengan melihat rincian ini, maka definisi Al-Qur’an dapat dijabarkan
sebagai berikut. Al-Quran adalah kalamullah yang mengecualikan kitab-bitab
dan mushaf samawi lainnya yang diturunkan kepada Nabi-nabi dan Rasul-rasul
sebelumnya. Termasuk yang dapat dikecualikan adalah hadis qudsy. Sebab
hadis qidsy redaksionalnya di buat oleh Nabi Muhammad berbeda dengan al-
Qur’an, baik redaksi maupun subtansinya bersumber dari Allah yang
diturunkan melalui malaikat Jibril.
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa Wahyu adalah Al-Qur’an bukan hanya karena seluruh kandungan
wahyu terdapat dalam Al-Qur’an, tetapi juga Al-Qur’an secara jelas dinyatakan
sebagai wahyu. Bagi umat nabi Muhammad saw, wahyu adalah Al-Qur’an.
Akan tetapi tidak semua wahyu merupakan Al-Qur’an. Dalam konteks ini,
yang dimaksud dengan Al-Qur’an adalah bacaannya, Alquran bagi manusia
berfungsi sebagai nasehat (mau’izhah), obat (syifa’), petunjuk (hūdan), rahmat,
dan pembeda (furqān). Sedangkan wahyu adalah kitab yaitu semua firman
Allah termasuk kedalam wahyu contohnya kitab zabur, kitab taurat, kitab injil
dan kitab al-Qur'an. Sedangkan Al-Qur'an adalah firman atau wahyu Allah
yang Allah turunkan khusus kepada nabi Muhammad Saw melalui malaikat
Jibril dan hukum membacanya termasuk kedalam ibadah.15
2. Hadis
Menurut Ibn Manzhur, kata ‘hadis’berasal dari bahasa arab, yaitu al-
hadits, jamaknya al-ahadits, dan al-hudtsan. Secara etimologis, kata ini
memiliki banyak arti, diantaranya al-jadid (yang baru) lawan dari al-qadim
(yang lama), dan al-khabar, yang berarti kabar atau berita. Disamping
pengertian tersebut, M.M. Azami mendefinisikan bahwa kata ‘hadis’ (arab:al-

15
Muhammad Dahlan Thalib, Konsep Iman, Akal dan Wahyu Dalam Al-Qur’an, AL-ISHLAH
Jurnal Pendidikan Islam Volume : 20 Nomor : 1 Tahun : 2022

14
hadits), secara etimologi (lughawiyah), berarti komunikasi, kisah, percakapan,
regular atau secular, historis atau kontemporer.16
Hadis adalah segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW,
yang menjadi tumpuan umat Islam hingga saat ini. Ajaran agama Islam
memiliki kitab suci AlQuran sebagai petunjuk hidup. Hadis sebagai sumber
hukum kedua setelah AlQuran. Keberadaan hadis, menjadi pelengkap dan
menyempurnakan supaya umat tidak salah paham dalam memaknai setiap ayat
atau ajaran agama. Saat umat mempertanyakan hal baru dan belum terdapat
di AlQuran serta hadis, maka diambil dari Ijma'. Kemudian berlanjut baru
dijelaskan dan diperkuat dengan adanya Qiyas.
Periwayatan al-Qur’an dan hadis telah terjaga keotentikannya dengan
peran Nabi Muhammad SAW secara langsung, dan para sahabat. Sama halnya
seperti al-Qur’an, hadis sebagai sumber kedua dalam Islam juga mengalami
berbagai perkembangan dari masa ke masa.

D. Sejarah Turunnya Al Qur’an


Al-Qur’an diturunkan dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22 hari yaitu
mulai malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi sampai 9 Dzulhijjah
Haji Wada’ tahun 63 dari kelahiran Nabi atau tahun 10 Hijriyah.
Adapun tahapan-tahapan diturunkannya al-Qur’an adalah sebagai
berikut:
1. Al-Qur’an tersimpan di Lauhul Mahfudz, Allah berfirman,

ࣖ ‫ح َّمحْ فُوْ ٍظ‬ ۙ ٰ


ٍ ْ‫بَلْ هُ َو قُرْ ا ٌن َّم ِج ْي ٌد فِ ْي لَو‬
Artinya: ”Bahkan, (yang didustakan itu) Al-Qur’an yang mulia. Yang
(tersimpan) dalam (tempat) yang terjaga (Lauh Mahfuz).
Hikmahnya: Menunjukkan keberadaan bahwa lauful mahfudzitu sendiri
sebagai tempat tahapan dari segala hal yang ditentukan dan diputuskan.
2. Allah menurunkan secara sempurna di Baitul izzah (langit dunia) pada
malam lailatul qadar.

16
M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011), hlm
13

15
‫اِنَّٓا اَ ْنز َْل ٰنهُ فِ ْي لَ ْيلَ ِة ْالقَ ْد ِر‬
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada
Lailatul qadar (malam kemuliaan).”
Hikmahnya: Diturunkannya Al-Qur’an sekaligus di Baitul izzah adalah
untuk menyatakan kehebatan al-Qur’an dan kemuliaan orang yang
kepadanya al-Qur’an diturunkan.
3. Dari Baitul izzah ke bumi (kepada Rasulullah) secara berangsur-angsur
selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, sejak Rasulullah ditetapkan sebagai Nabi
hingga beliau meninggal.

ٍ ‫اس ع َٰلى ُم ْك‬


‫ث َّونَ َّز ْل ٰنهُ تَ ْن ِز ْياًل‬ ِ َّ‫َوقُرْ ٰانًا فَ َر ْق ٰنهُ لِتَ ْق َراَ ٗه َعلَى الن‬
Artinya: “Al-Qur’an Kami turunkan berangsur-angsur agar engkau (Nabi
Muhammad) membacakannya kepada manusia secara perlahan-lahan dan
Kami benar-benar menurunkannya secara bertahap.”
Hikmahnya: menguatkan hati Rasulullah dalam menghadapi orang-orang
kafir yang membangkang, sebagai kasih saying pada Rasulullah ketika
turunnya wahyu, serta sebagai argumentasi suatu peristiwa yang terjadi.
Menunjukkan al-Qur’an diturunkan dari sisi yang maha agung, karena ada
keterkaitan antara ayat satu dan lainnya.
Adapun hikmah diturunkannya a-Qur’an adalah:17
a. Menunjukan kehebatan dan kemukjizatan al-Qur’an, yang diturunkan
tidak sama dengan kitab-kitab sebelumnya.
b. Menjelaskan kebesaran Nabi Muhammad SAW yang menerima kitab
suci al-Qur’an ini.
c. Memberitahukan kepada para malaikat, para nabi dan rasul terdahulu,
mengenai kemulian dan ketinggian Nabi Muhammad SAW sebagai rasul
penghabisan dan kitab suci terakhir yang diterimanya.

E. Proses Pembukuan Al Qur’an dan Hadis


1. Proses Pembukuan Al-Qur’an

17
Ajahari, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Aswaja Pressido, 2018), Cet. 1, hlm 14-15

16
a. Pada masa Nabi
Kedatangan wahyu merupakan sesuatu yang dirindukan Nabi.
Bentuk kerinduaan nabi terhadap kedatangan wahyu tidak saja
diekspresikan dalam bentuk hafalan, tetapi dalam bentuk tulisan. Nabi
mempunyai sekretaris pribadi yang khusus bertugas mencatat wahyu.
Mereka adalah Abu Bakar,Umar,Utsman,Ali,Abban bin Said,Khalid bin
Said,dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Proses penulisan Al-Qur’an pada masa nabi sangat sederhana dan
berupa lontaran kayu, pelepah kurma, tulang belulang, dan batu.
Kegiatan tulis- menulis Al-Qur’an pada masa nabi disamping dilakukan
oleh sekretaris nabi , juga dilakukan para sahabat nabi lainnya
kegiatannya itu didasarkan kepada hadits nabi sebagaimana yang telah
diriwayatkan oleh Muslim. Diantara faktor yang mendorong penulisan
Al-Qur’an pada masa nabi adalah:
1) Mem-Back up hafalan yang telah dilakukan oleh nabi dan para
sahabatnya.
2) Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna, karna
bertolak dari hafalan para sahabat saja tidak cukup karena terkadang
mereka lupa atau sebagian dari mereka sudah wafat adapun tulisan
akan tetap tepelihara walaupun pada masa nabi, Al-Qur’an tidak
ditulis ditempat tertentu.
b. Pada masa Khulafa’ur Al-Rasyidin
1) Pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq
Pada dasarnya seluruh Al-Qur’an sudah ditulis pada waktu
Nabi masih ada. Hanya saja, pada saat itu surat-surat dan ayat-ayatnya
ditulis dengan terpencar-pencar. Dan orang pertama kali menyusunnya
dalam satu mushaf adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Penulisan Al-
Qur’an bukanlah sesuatu yang baru. Sebab, Rosullah pernah
memerintahkannya.18 Hanya saja, saat itu tulisan Al-Qur’an berpencar

18
Anwar, Roshihon. Ulum Al-Qur’an. Bandung 2012 hlm. 31-33

17
pencar pada pelepah kurma, Batu halus, Kulit, Tulang Unta dan
bantalan kayu.
Abu Bakar kemudian berinisiatif menghimpun semua, usaha
pengumpulan tuisan Al-Qur’an yang dilakukan Abu Bakar terjadi
setelah perang yamamah pada tahun 12 Hijriah. Peperangan yang
bertujuan menumpas para pemurtad yang juga para pengikut
musailamah Al-Khadzab itu ternyata telah menjadikan 700 kaum
sahabat peghafal Al-Qur’an syahid hawatir akan semakin hilangnya
para penghafal Al-Qur’an sehingga kelestarian Al-Qur’an ikut
terancam, Umar datang menemui khalifah pertama, Abu Bakar agar
segera menginstruksikan pengumpuan Al -Qur’an dari berbagai
sumber, baik yang tersimpan didalam hafalan maupun tulisan.
c. Pada masa Utsman Bin Affan
Sejarah penulisan dapat dirumuskan dalam beberapa poin :
1) Bahwa penulisan pada Utsman adalah upaya standarisasi terhadap
mushaf Al-Qur’an , setelah adannya kerusuhan-kerusuhan yang
disebabkan banyaknnya versi Mushaf yang beredar, termasuk Mushaf
Abu Bakar dan Mushaf sahabat-sahabat lain.
2) Utsman bertekad melakukan standarisasi bacaan Al-Qur’an, dengan
menulis kembali satu mushaf induk, yang bisa dijadikan pegangan
bersama secara seragam. Jadi motif utamannya adalah karena
perbedaan bacaan kaum muslimin yang mengarah pada perpecahan.
3) Inspirasi ini berawal dari kegelisahan Hudzaifah bin Yaman yang
disampaikan kepada Utsman, ketika terjadi konflik umat seputar
ragam bacaan yang diajarkan para sahabat pasca futuhat . Tepatnnya
ketika islam telah meluas hingga penaklukan Armenia dan
Azarbaijan.
4) Utsman memulai usahannya ini dengan mengemukakan idennya lebih
dahulu kepada dewan permusyawaratan umat, yang terdiri dari
pembesar-pembesr sahabat, dan mereka pun setuju dengan ide
unifikasi yang brilliant ini.

18
Pada masa pemerintahan Ustman, wilayah Negara Islam telah
meluas sampai ke Tripoli Barat, Armenia dan Azarbaijan. Pada waktu
itu,Islam sudah tersebar ke beberapa wilayah di Afrika,Syira dan Persia.
Para penghafal Al –Qur’an pun akhirnya menjadi tersebar,
sehigga menimbulkan persoalan baru, yaitu saling dikalangan kaum
muslimin mengenai bacaan (qiraat) Al – Qur’an. Para pemeluk islam di
masing-masing daerah mempelajari dan menerima bacaan Al-Qur’an dari
sahabat ahli qiraat, di daerah yang bersangkutan. Penduduk Syam
misalnya, belajar Al-Qur’an pada Ubay bin Ka’bah. Warga kuffah
berguru pada Abdullah bin Mas’ud sementara penduduk yang tinggal di
Basrah berguru dan membaca Al-Qur’an dengan qiraat Abu Musa al
Asy’ari. Ketika terjadi perang Armenia dan Azarbaijan, diantara orang
yang ikut menyerbu kota tersebut adalah Khuzaifah bin Alyaman. Ia
melihat banyak perbedaan dalam cara-cara membaca Al- Qur’an, bahkan
ia mengamati sebagian qiraat itu bercampur dengan kesalahan.
Utsman segera mengundang para sahabat dari Anshar dan
Muhajirin bermusyawarah mencari jalan keluar dari masalah serius
tersebut. Akhirnya, dicapai suatu kesepakatan agar mushaf Abu Bakar
disalin kembali beberapa mushaf. Mushaf-mushaf itu nantinya dikirim ke
berbagai kota atau daerah untuk dijadikan rujukan bagi kaum muslimin
terutama manakala terjadi perselisihan tentang qiraat Al- Qur’an antar
mereka. Untuk terlaksana tugas tersebut, Khalifah Utsman menunjuk satu
tim yang terdiri dari empat orang sahabat, yaitu: Zaid ibn Tsabit,
Abdullah ibn Zubair, Said ibn Al-‘As dan Abd Al-Rahman ibn al- Haris
ibn Hisyam. Ke empat orang ini para penulis wahyu. Tentang jumlah
mushaf yang ditulis, berapapun jumlahnya tidak menjadi persoalan. Yang
pasti, upaya tersebut telah berhasil melahirkan mushaf baku sebagai
rujukan kaum muslimin dan menghilangkan perselisihan serta
perpecahan diantara mereka.
d. Penyempurnaan Penulisan Al-Qur’an setelah masa Khalifah

19
Mushaf yang ditulis atas perintah Utsman tidak memiliki harakat dan
tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu kharakat yang tujuh.
Setelah banyak orang non-arab memeluk islam, mereka merasa kesulitan
membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu. Pada masa
khalifaf ‘Abd Al-Malik (685-705), ketidak memadainya mushaf ini telah
dimaklumi para sarjana muslim terkemuka saat itu dan karena itu pula
penyempurnaan mulai segera dilakukan Tersebutlah dua tokoh yang
berjasa dalam hal ini, yaitu Ubaidillah Bin Ziyad dan Hajjaj Bin Yusuf
ats-tsaqafi. Ibn Ziyad diberitakan memerintahkan seorang lelaki dari
persia untuk meletakkan alif sebagai pengganti dari huruf yang dibuang.
Adapun Al-Hajjaj melakukan penyempurnaan terhadap mushaf ‘Utsmani
pada sebelas tempat yang karenanya membaca mushaf lebih mudah.
2. Proses Pembukuan Hadis
Adapun peran sahabat dalam periodisasi perkembangan hadis
berdasarkan jejak historisnya adalah sebagai berikut:19
a. Periode Klasik (650 M-1250 M atau dari abad 1-6 H) a.
1) Masa Pewahyuan Nabi Saw Hingga Nabi Saw Wafat
Proses pengkajian hadis sudah dimulai sejak masa Nabi SAW,
seperti halnya penulisan pada al-Qur’an yang sudah dimulai dari
zaman Nabi SAW. Para ulama sepakat bahwa masa ini merupakan
tonggak awal yang mempengaruhi sejarah dalam peradaban islam.
Masa klasik menjadi masa penting bagi fase pertumbuhan keilmuan
Islam pada masa mendatang, terutama terkait dengan kajian Al-
Qur’an dan hadith.
Perkembangan hadis pada masa ini dapat dilihat dari
penjelasan Nabi SAW secara langsung terhadap persoalan wahyu
yang belum sepenuhnya difahami oleh para sahabat dengan
mengutarakan pertanyaan langsung pada Nabi SAW. Pada masa ini,

19
Aisyatur Rosyidah, Nur Kholis, Jannatul Husna, Periodisasi Hadis dari Masa ke Masa (Analisis
Peran Sahabat dalam Transmisi Hadis Nabi Saw), Islamadina: Jurnal Pemikiran Islam, e-ISSN :
2580-5096 Volume 22, No. 2, September 2021 : 137-150 p-ISSN : 1412-4777 DOI :
10.30595/islamadina.v%vi%i.9506 137

20
kontribusi sahabat terhitung besar karena sahabat memegang kunci
untuk memperdalam pemahaman wahyu dari Nabi SAW. Adapun
peran sahabat pada masa ini terkait dengan upaya otentifikasi hadis
adalah sebagai berikut:
a) Hadis sudah dicatat pada masa Nabi Saw
b) Keontentikan hadis sudah terjaga sejak zaman Nabi Saw
c) Sahabat mentransmisikan hadis pada sahabat lain
d) Peran sahabat dalam periwayatan hadis menjadi penguat dalil al-
Qur’an
2) Masa Pembatasan Riwayat Pada Masa Khulafaur Rasyidin
a) Khalifah Abu Bakar
Masa ini diawali dengan kepemimpinan sahabat Abu Bakar.
Pada masa kepemimpinanya, Abu Bakar terhitung sedikit dalam
meriwayatkan hadis, karena beberapa hal berikut ini: Pertama, Abu
Bakar dalam keadaan sibuk saat menjabat sebagai khalifah yang
sibuk. Kedua, kebutuhan hadis pada masa ini tidak terlalu banyak,
sehingga periwayatannya sedikit. Ketiga, jarak waktu wafatnya
Nabi SAW dengan kepemimpinan Abu Bakar tidaklah terlalu
Panjang.
Abu Bakar menggunakan metode syahadah (kesaksian)
dalam menerima suatu hadis Nabi SAW, contohnya saat beliau
menangani kasus seorang nenek yang menanyakan warisan yang
akan diterimanya. Menurut Mughirah bin Syu’bah bahwa bagian
sang nenek adalah seperenam. Abu Bakar ketika itu meminta
kesaksian lain dari sahabat Muhammad bin Muslamah terkait
pernyataan Mughirah, dan sahabat tersebut membenarkanya. Cara
ini dilakukan untuk menghidarkan diri dari kesalahan periwayatan,
dan meminimalisir periwayatan palsu.
b) Khalifah Umar Bin Khattab
Peran Khalifah Umar dalam perkembangan hadis
menggunakan metode bayyinah atau mengumpulkan bukti untuk

21
memperkuat suatu hadis. Contohnya adalah pada kasus ketika
sahabat Abu Musa al-Asy’Ari datang bertamu pada Umar dengan
mengetuk dan memberi salam sebanyak tiga kali, setelah ditunggu
dan tidak ada jawaban, maka Abu Musa pun pulang. Ketika Umar
mengetahuinya, ia menanyakan terkait tiga kali salam dan meminta
Abu Musa untuk memberikannya bukti, maka Ubay bin Ka’ab pun
membantu Abu Musa dengan memberikan buktinya. Periwayatan
hadis yang dilakukan pada masa Umar lebih banyak dari pada masa
Abu Bakar. Hal ini dilakukan karena Umar mendorong umat Islam
untuk menyebarkan ilmu dan tidak menyembunyikannya.
c) Khalifah Ustman Bin Affan
Khalifah Ustman terkenal dengan piawainya yang lembut
dan penyabar. Pada masa kekhalifahannya, periwayatan hadis tidak
terlalu banyak seperti pada masa sebelumnya. Hal ini disebabkan
karena adanya pembatasan riwayat yang tersebar kecuali hadis dari
masa Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
d) Khalifah Ali Bin Abi Thalib
Peran sahabat Ali bin Abi Thalib menurut Syuhudi Ismail
adalah dengan meriwayatkan sebanyak 780 hadis Nabi, dan dalam
membersamai perkembangan hadis adalah dengan menggunakan
istihlaf (sumpah). Sahabat Ali adalah sosok yang membersamai
Nabi SAW dari semenjak beliau remaja. Sehingga, kehati-hatian
Ali dalam mengambil suatu riwayat atau meriwayatkan hadis
adalah upaya yang timbul demi memberantas hadis palsu yang
marak berkembang pada masanya.
Selain keempat khulafa tersebut, sahabat lain juga menerapkan
prinsip untuk tabayun pada hadis yang beredar. Pada masa ini,
pembukuan yang sistematis terkait hadis belum dilakukan, karena
adanya kekhawatiran bila hadis dalam periwayatanya akan bercampur
dengan periwayatan al-Qur’an. Maka dengan kehati-hatian ini para
sahabat membatasinya. Selain itu, sahabat perempuan juga ikut

22
berperan aktif dalam periwayatan hadis. Hal ini dapat dilihat dalam
kitab al-kutub al-tis’ah, bahwa tercatat ada 328 periwayat sahabat
perempuan yang 132 diantaranya termasuk dalam tingkat sahabat
perempuan dengan 26 orang adalah masih keluarga Nabi SAW, dan
lainnya adalah perempuan diluar keluarga Nabi SAW.
3) Masa Perkembangan Riwayat Hingga Tabi’in (klasik)
Menurut Muhammad Abu Zahwa, bahwa setelah masa
Khulafaur Rasyidin, hadis Nabi SAW secara massif tersebar di
wilayah kekuasaan Islam di Jazirah Arab, seperti Makkah, Madinah,
Kuffah, Basrah, Syam, Mesir. Adapun beberapa tokoh tabi’in yang
terkenal di Madinah adalah Said Ibnul Musayyab (w. 93 H), Urwah
Ibn Zubair (w. 93 H), Ibnu Syihab Az-Zuhri (w. 124 H). Tabi’in yang
masyhur di Makah antara lain, Ikrimah Maula Ibnu Abas (w. 185 H),
Atha’ Ibnu Abd Rahah (w. 115 H), dan Mujahid Ibn Jabir (w. 101 H).
Peran mengembangkan hadis Nabi SAW kali ini dipengearuhi
oleh para tabi’in.. Para tabi’in banyak melakukan perjalanan untuk
mendapatkan hadis secara langsung, seperti yang dilakukan oleh
Muhammad bin Syihab Az-Zuhri yang mendiktekan 400 hadis pada
anak Hisyam bin Abdul Malik. Konribusi tabi’in dalam periwayatan
hadis yaitu meneruskan transmisi yang dibawa oleh sahabat hingga
terbukukan dalam karya yang sistematis oleh para mukharij hadis,
seperti al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari, dan kitab lainnya.
Kebijakan tabi’in dalam menyeleksi hadis shahih dinilai lebih ketat,
karena masa sahabat sudah berakhir.
4) Masa Pembukuan Hadis Pada Abad Ke 2 H (klasik)
Pada masa ini, yaitu akhir abad ke 2 H, pembukuan hadis
dimulai secara resmi yang diprakarsai oleh Umar bin Abdul Aziz
dilakukan demi menyelamatkan hadis. Beberapa ulama lain yang
menjad pakar dalam keilmuan tertentu juga sudah terdeteksi di masa
ini, seperti ahli fiqh, ahli tafsir, dll. Adapun masa selanjutnya setelah
tabi’in adalah masa tabi’in at-Tabi’in yang masih sezaman dengan

23
tabi’in, karena transformasi keilmuan mereka masih dalam lingkup
hubungan sebagai guru dan murid. Pada masa ini, syarah hadis belum
terkodifikasikan dalam sebuah kitab, hanya saja pembahasan terkait
syarah hadis masih dalam lingkup kajian internal di madrasah/majelis
keilmuan Islam.
5) Masa Penyeleksian Dari Abad Ke-3 H (klasik)
Setelah Umar bin Abdul Aziz mulai memprakarsai adanya
pembukuan hadis, pada abad ini mulai muncul beberapa kitab hadis
yang sudah terkodifikasi secara sistematis seperti Kitab Shahih al-
Bukhari, Kitab Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan At-Tirmidzi,
Sunan An-Nasa’I, Sunan Ad-Darimi, Sunan Sa’ad Ibn Al-Mansur.
Pada masa ini, dalam kitab hadis terseleksi hadis yang shahih dan
dhoif. Sehingga, dalam masa ini sudah mulai berkembang keilmuan
hadis bahkan keilmuan islam lainnya, termasuk pembahasan terkait
syarah hadis dalam kitab-kitab hadis yang sudah terbukukan.
6) Masa Penyaringan Kitab hadis Abad Ke 4 Hingga Masa Kemunduran
Islam abad ke 6 H (Akhir Masa Klasik-Awal Abad Pertengahan)
Pada masa ini, disamping beberapa kitab hadis telah muncul
pada abad sebelumnya, maka keilmuan terkait hadis shahihs dan dhaif
menjadi lebih sistematis. Sehingga, telah muncul pengklasifikasian
tertentu pada tingkat hadis shahih hingga dha’if. Disamping itu, hadis-
hadis dari sumbernya juga sudah bisa diklasifikasikan, seperti hadis
marfu’ (berasal dari Nabi SAW), hadis mauquf (hadis yang berasal
dari sahabat), dan hadis maqthu’ (berasal dari tabi’in).
b. Periode Pertengahan (Mulai dari tahun 1251 M-1800 M atau abad ke 6-
12 H)
Sebagaimana penjelasan dari Nasrudin baidan saat membagi
periodisasi tafsir, maka pada periode ini dimulai pada akhir tabi’u at-
tabi’in. Pada periode ini, penulisan tafsir/penjelas al-Qur’an yang
diriwayatkan oleh para sahabat dan penjelasan dari Nabi SAW sendiri

24
sudah mulai terpisah dari kajian hadis. Sehingga kodifikasi hadis tidak
lagi bercampur dengan hadis tentang tafsir al-Qur’an.
Pada abad ke 6, periode perkembangan hadis merambat pada
pensyarahan dan juga takhrij. Adapun karya dalam hadis yang
terbukukan pada masa ini adalah Muqaddimah Ibn Salah oleh Abu Amr
Ustman bin Ash-Shalah yang berisikan seluruh keilmuan hadis.
Sedangkan pada abad ke 7-10, keilmuan hadis mengalami pembukuan
dan disempurnakan menjadi cabang disipling keilmuan Islam. Kegiatan
syarah hadis juga mulai gencar dilakukan, dengan para ulama yang
mentakhrij hadis-hadis , membahas kandungannya, dan
mengkodifikasikan hadis-hadis sejenis.
Menurut Syuhudi Ismail, pada masa ini periwayatan hadis secara
lisan mulai ditinggalkan dan penyebaran hadis berkembang dengan
metode ijazah serta mukatabah. Periwayatan dengan ijazah atau
periwayatan dengan izin meriwayatkan dari seorang guru pada muridnya.
Sedangkan mukatabah adalah dengan pemberian catatan guru pada
murid, atau guru mendektekan langsung pada muridnya. Namun, metode
ini tidak berjalan dengan baik, yang pada akhirnya membuat perhatian
terhadap periwayatan hadis menghilang dan para ulama lebih
mengalihkan pada masalah furu’iyah.
c. Periode Kontemporer (Abad 19 M Hingga Saat Ini)
Pada masa kontemporer, kebangkitan islam dari kejumudan
berpikir mulai bangkit pada masa modernisasi Jamaludin al-Afghani di
Mesir. Hal ini menjadikan hadis sebagai kajian ilmu yang mendapat
perhatian.
Adapun pada era kontemporer, keilmuan hadis mengalami
pembagian disiplin ilmu, yaitu ilmu hadis riwayah dan diroyah. Mengutip
pada pendapat Hasbi as-Shiddqie dalam bukunya yang berjudul Sejarah
Pengantar Ilmu Hadis, bahwa pada kajian ilmu hadis riwayah, ilmu ini
berfokus pada jalur transmisi hadis, baik cara penyampaian atau
penerimaannya, kemudian pemeliharaan hafalan, serta penyampaian pada

25
orang lain baik secara verbal atau melalui tulisan. Adapun ilmu hadis
diroyah meliputi penerimaan/penolakan pada sebuah hadis yakni yang
dipengaruhi oleh kekuatan sanad dan tentang matan hadis itu sendiri.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. wahyu merupakan Informasi yang Allah berikan kepada Para Nabi dan
Rasulnya yang berupa isyarat, ilham pada manusia, naluri/insting pada
binatang, bisikan dan tipu daya syetan serta apa yang disampaikan Allah
kepada para malaikat-Nya berupa suatu perintah untuk dikerjakan dan
suatu larangan untuk ditinggalkan.
2. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang bernilai mukjizat yang diturunkan
pada Rasulullah melalui malaikat Jibril yang ditawarkan secara mutawatir
dan membacanya bernilai ibadah.
3. Hadis adalah segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW,
yang menjadi tumpuan umat Islam hingga saat ini. Ajaran agama Islam
memiliki kitab suci AlQuran sebagai petunjuk hidup.
4. Periwayatan al-Qur’an dan hadis telah terjaga keotentikannya dengan
peran Nabi Muhammad SAW secara langsung, dan para sahabat. Sama
halnya seperti al-Qur’an, hadis sebagai sumber kedua dalam Islam juga
mengalami berbagai perkembangan dari masa ke masa.

26
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qattan, Manna Khalil .2016. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Bogor: Litera
AntarNusa. cet ke-17.
Shihab, M. Quraisy. 2013. Mukjizat Al-Quran. Bandung: Mizan.
Badrudin. 2020. Ulumul Qur’an. Serang: A-Empat.
Rosyidah, Aisyatur. Dkk. 2021. Periodisasi Hadis dari Masa ke Masa (Analisis
Peran Sahabat dalam Transmisi Hadis Nabi Saw), Islamadina: Jurnal Pemikiran
Islam, e-ISSN : 2580-5096 Volume 22, No. 2.
Gufron, Muhammad. 2013. Ulumul Qur’an Praktis dan Mudah. Yogyakarta:
Penerbit Teras.
al-Qattan, Manna'. 2006. Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an. terj. Aunur Rafiq.
Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Indriani, Herni. Konsep Wahyu Menurut Al-Qur’an
Munjin, Shidqy. 2019. Konsep Asbab Al-Nuzul Dalam Ulumul Al-Qur’an, AL
TADABBUR: JURNAL ILMU ALQURAN DAN TAFSIR Vol: 04 No. 1
Amrullah, Zen. Dkk. 2020. Menyoal Kesejarahan Pembukuan Naskah Al-
Qur’an), Humanistika: Jurnal Keislaman Vol. 6 No 2 2020. Hal. 210-230 ISSN
Thalib, Muhammad Dahlan. 2022. Konsep Iman, Akal dan Wahyu Dalam Al-
Qur’an, AL-ISHLAH Jurnal Pendidikan Islam Volume : 20 Nomor : 1.
Solahuddin, M. Agus. 2011. Ulumul Hadis. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Ajahari. 2018. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Aswaja Pressido.
Anwar, Roshihon. 2012. Ulum Al-Qur’an. Bandung.

27

Anda mungkin juga menyukai