Anda di halaman 1dari 3

Tragedi Klasik di Tubir Kemerdekaan

Oleh : Novi Ramadani

Mungkin ini adalah pertanyaan ke-76 kali yang dilontarkan oleh rakyat Indonesia
setiap kali menyambut hari bersejarah Negara kita. “Apakah kita sudah merdeka?”

Sukarno tidak pernah absen menjadi ikon revolusi nasional Indonesia yang paling menonjol.
Negeri ini memanggilnya dengan sebutan Bung Karno. Dalam konteks modern ini, namanya
tetap menjadi yang terdepan dan dicintai oleh rakyatnya. Namanya tertanam di lubuk hati paling
dalam bangsa Indonesia. Menjadi sosok yang berjasa besar dalam mengkonstruk kesadaran
masyarakat untuk meraih kemerdekaan. Pidatonya membuat jiwa-jiwa yg mendengarnya
bergetar. Membakar bara api semangat setiap telinga yang mendengar. Menggelorakan sikap
para rakyat untuk menjaga negaranya. Di negeri sendiri, ia menjadi panutan. Di negeri lain,
sosoknya dianggap bukan hanya sebagai politisi, tetapi juga sang orator yang berpengaruh. Dari
lembah Sungai Nil hingga semenanjung Balkan, dari Aljazair hingga India, namanya dikenang
sebagai salah satu juru bicara Asia-Afrika paling lantang dalam melawan “Imperialisme dan
Kolonialisme Barat”. Bersama Hatta disampingnya, Sukarno meghadapi masa-masa awal
kemerdekaan yang sulit. Namun, keduanya sukses menangkis tantangan serius baik dalam negeri
maupun luar negeri. Tapi semua tidak berlangsung lama. Pada Tahun 1959 menjadi tanda awal
kejatuhan Sukarno. Tahun yang secara ironis disebutnya sebagai “Tahun Penemuan Kembali
Revolusi Kita”. Kesalahan terbesar Sukarno dalam politik mungkin ialah tidak sepenuhnya
mempercayai prosedur demokrasi, dia hanya menyantuni prinsip kedaulatan rakyat hanya secara
subtansial. Tidak jauh berbeda dengan Soeriokoesoemo: penganut elitisme di bidang politik.
Sukarno percaya pada keabsahan esensial atau keabsahan tujuan, tetapi Sukarno gagal
menangkap keabsahan prosedural atau keabsahan cara. Pada 5 Juli, Sukarno mengeluarkan dekrit
presiden yang cukup fenomenal. Seperti tidak sabar menyaksikan eksperimen demokrasi
parlementer yang penuh kisruh, Sukarno membubarkan Konstituante___Dewan Perwakilan
Rakyat hasil pemilu demokratis 1955. Sukarno mengubur tuntas “setan sistem multipartai yang
menjerumuskan kita ke neraka” dengan meniadakan partai sama sekali. Sukarno
memproklamasikan Demokrasi Terpimpin. Sukarno menyusun kabinet sendiri, menunjuk
perdana menteri dan mengangkat semua anggota parlemen. Mengangkat anggota DPRGR dan
MPRS tanpa melalui pemilihan umum. Menjadikan lembaga legislatif mainan lembaga eksekutif
juga membuat lembaga yudikatif tidak bergigi, dimainkan oleh lembaga yang sama. Ini adalah
obsesi besar Sukarno akan “ Persatuan dan Kesatuan “ dengan Demokrasi Terpimpin yang jelas
bukan Demokrasi yang sesuai dengan iklim bumi pertiwi. Padahal sudah jelas bahwa konsep
negara hukum memiliki hal mutlak yakni konstitusi. Pada konstitusilah, sebagai sumber tertinggi
di tiap negara. Ini membuat Sukarno yang kerap dijuluki “Singa Podium” berubah menjadi
demagog dengan slogan-slogan kosong. Semakin agresif terhadap lawan-lawan politiknya dan
menanggalkan citranya sebagai Sukarno sang penyatu. Bahkan, pers diberangus dan
memenjarakan para pengkritiknya, termasuk Sutan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia pertama,
yang kemudian meninggal secara tragis dalam status sebagai tahanan. Setelah partai Islam
Praktis tersingkir, Sukarno mencoba berdiri di tengah menjaga keseimbangan yang rawan antara
tentara dan Partai Komunis Indonesia. Namun gagal, Sukarno terbakar di tengah-tengah
persaingan dua kubu dalam sebuah drama paling berdarah 1965. Kita semua tahu tentang tragedi
berdarah 1965 oleh Partai Komunis Indonesia yang saat itu berada di bawah pimpinan D.N Aidit.
Meskipun demikian, tidak sedikit juga yang berspekulasi sebagian dosa dibalik keberlangsungan
tragedi itu adalah sumbangan Sukarno. Karena prinsip keabsahan prosedural sepenuhnya
dinafikan dan mulai berlakulah preseden sehingga terbukalah pintu selebar-lebarnya bagi praktek
dan kebijakan yang mengarah pada proses menghalalkan segala cara. Sukarno, “Perumus”
Pancasila, memulai sendiri penghapusan “Hikmah kebijaksanaan” yang terpancar dari
“Permusyawaratan perwakilan”, yang kemudian dilaksanakan secara tuntas dan sistematis oleh
rezim Soeharto. Logis saja pada saat itu lawan-lawan politik sang pemimpin berusaha
menjatuhkannya juga lewat penghalalan cara, lewat pematangan situasi yang chaos. Itulah
sumber tragedi nasional yang sangat dramatis di penghujung Demokrasi Terpimpin dan Orde
Baru. Sukarno sebenarnya hendak menyelamatkan nasion kita. Tapi dia gagal menyadari bahwa
dengan menghapus konstitusi, pemisahan kekuasaan dan pemilihan umum, justru membuka
pintu lebar bagi mahabencana atas republik yang amat dicintainya. Bukan hanya kudeta terhadap
kepemimpinannya, melainkan juga penginjak-injakan atas cita-cita kemerdekaan Indonesia serta
pencabikan serat nasion kita. Sukarno tidak melihat hubungan simbiosis antara nasion dan
demokrasi, komplementaritas antara keabsahan esensi dan prosedural, antara tujuan dan cara.
Orde Baru dimulai, dengan mematikan jiwa raga Sukarno tanpa berperikemanusiaan.
Melarangnya untuk bertemu rakyat. Bahkan sampai meninggalpun ia di kubur tidak sesuai
dengan wasiatnya. Orde baru lah yang berinisiatif untuk mengebumikannya di kota Blitar.
Pembantaian ratusan ribu, penahanan jutaan orang dan presekusi tiada habisnya sepanjang tiga
dekade lebih atas saudara sebangsa adalah tikaman yang bertubi dan amat dalam bagi negara
Indonesia. ketika DPR menjadi Dewan Perwakilan Rezim dan MPR menjadi Majelis
Permusyawaratan Rezim, ketika lembaga peradilan menjadi benteng penegak ketidakadilan,
seluruh pelosok tanah air dijarah oleh tangan kekuasaan bersenjata, membuat kian dalam
terkuburnya jiwa, makna dan cita-cita negara. Atas dasar uraian diatas, perlu ditekankan bahwa
jauh melampaui keburukan Demokrasi Terpimpin, Orde Baru telah melakukan pengkhianatan
besar-besaran terhadap cita-cita kebangsaan kita. Ia telah membawa bangsa kita pada
kebangkrutan empat kali lipat: di bidang politik, ekonomi, hukum dan kepemimpinan. Itu semua
karena tidak adanya konstitusi yang benar dan itu bermula, maaf, dari penolakan Sukarno
terhadap konstitusi yang semestinya. Dari obsesi revolusioner Sukarno. Barangkali Sukarno
adalah contoh klasik yang tragis: seorang pemimpin idealistis yang dirusak oleh kekuasaan dan
dikhianati oleh kebanggaan dirinya yang terlalu besar. Dia idealistis sekaligus pragmatis.
Pemberang sekaligus pemaaf. Ekpresi kata-katanya kasar, tapi dia menyukai seni dan keindahan
yang halus. Mungkin perumpamaan pribadi Sukarno dalam buku Bung Karno: Penyambung
Lidah Rakyat bisa kita sepakati “Aku dikutuk seperti bandit dan dipuja bagai dewa”. Seperti
sumpah Sukarno “Sejarahlah yang akan membersihkan namaku!” kampanye puluhan tahun Orde
Baru untuk membenamkannya justru hanya memperkuat kenangan orang akan kebesarannya,
simpati pada epilog hidupnya yang tragis, serta maaf atas kekeliruannya di masa silam. Sejarah
Republik kita telah memberikan pelajaran yang sangat berharga. Pelajaran paling mutakhir
adalah bagaimana Presiden Abdurrahman Wahid ikut menyeret bangsa kita semakin jauh dari
rasionalitas politik lewat sindrom “Gus” yang tidak kenal agenda prioritas reformasi, yang
konsisten dan memorinya parah, yang kembali mengulangi praktek-praktek Orde Baru atau yang
membiarkan Sampit bersimbah darah untuk ramai-ramai bersujud didepan Ka’bah seolah-olah
Allah tidak mencium sangitnya bau korupsi pada rombongan itu.

Kredit: Tempo.2010.Seri Buku Tempo.Jakarta:KPG (Kespustakaan Populer Gramedia)

Anda mungkin juga menyukai