Anda di halaman 1dari 4

Nama : Selfia Darmawati

NIM : 11170130000089

Potret Indonesia Pasca-Kemerdekaan dalam Novel Bukan Pasar Malam


Di negara demokrasi engkau boleh membeli barang yang engkau sukai. Tapi kalau engkau tak
punya uang, engkau hanya boleh menonton barang yang engkau ingini itu. Ini juga semacam
kemenangan demokrasi.—Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer lahir pada 6 Februari 1925 di Kampung Jetis, Blora, Jawa
Tengah.1 Pramoedya Ananta Toer meninggal dunia pada 30 April 2006. Ia merupakan penulis
yang karyanya berulang kali dianggap pantas mendapat Hadiah Nobel. 2 Sebelum tahun 1950-an,
Pram secara umum dilihat sebagai eksponen humanisme-universal, ideologi budaya liberal dan
individualistik sebagai asosiasi para penulis, seniman dan intelektual yag sering disebut sebagai
kelompok Gelanggang Seniman Merdeka. Setelah kunjungannya ke Tiongkok yang dibiayai oleh
Lekra pada akhir tahun 1956, pergeseran kesetiaan Pramoedya mulai terlihat.3 Setelah itu
tercatatlah Pram yang sebelumnya menganut humanisme-universal berubah haluan menjadi
anggota Lekra. Bahkan, diantara para pengkritik Lekra, Pram menjadi pengkritik humanisme-
universal yang paling keras dan intens.4
Dari uraian tersebut, berkaitan dengan novel Bukan Pasar Malam yang terbit tahun 1951,
dapat diketahui mungkin Pram belum terpengaruh gagasan kiri. Namun, benih pemikiran kiri
dapat ditemukan dalam karya ini.5 Novel Bukan Pasar Malam adalah cerita tidak bertanggal
yang ditulis segera sesudah Pramoedya melakukan perjalanan ke Blora, dalam bulan Mei 1950,
berhubungan dengan penyakit dan kematian ayahnya. 6 Dalam novel otobiografis ini, pencerita
lama mengenang perjuangan sia-sia yang bertahun-tahun dilakukan ayahnya sebagai seorang
nasionalis. Kenangannya diselang-selingi gambaran tentang kemiskinan yang diderita oleh
anggota keluarganya.7
Meski saat itu Pram masih menganut humanisme-universal, dalam karya ini nampak jelas
ciri khas seorang Pram, yaitu selalu mengangkat gejolak sosial. Dalam novel ini pun, Pram
menggambarkan perbedaan kelas dalam masyarakat. Kaum proletar adalah kelas sosial bawah
yang lemah secara ekonomi. Kaum borjuis atau kelas atas adalah mereka yang mempunyai akses
langsung terhadap alat produksi.8 Karl Marx menulis, borjuasi senantiasa makin bersemangat
menghapuskan keadaan terpencar-pencar dari penduduk, dari alat-alat produksi, dan dari milik.
Ia telah menimbun penduduk, memusatkan alat-alat produksi, dan telah mengkonsentrasi milik
ke dalam beberapa tangan.9

1
Muhammad Rifai, Biografi Singkat 1925-2006: Pramoedya Ananta Toer, (Depok: Garasi House of Books,
2016), h. 37
2
August Hans den Boef & Kees Snoek, Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir: Esai dan Wawancara dengan
Pramoedya Ananta Toer, (Depok: Komunitas Bambu, 2008), h. vii
3
Keith Foulcher, On a Roll: Pramoedya and the Postcolonial Transition, (Departemen Studi Indonesia
University of Sydney, 2008), h. 1
4
Iwan Gunadi, Komunitas Sastra di Indonesia: Antara Asap dan Cendawan, (Banten: Dinas Pendidikan
Provinsi Banten, 2012), h. 25
5
Vincentius Gitiyarko Priyatno, “Konteks Sosial dan Ideologi Proletar Tokoh Utama dalam Novel ‘Bukan
Pasar Malam’ Karya Pramoedya Ananta Toer”, diunduh pada laman
https://scholar.google.com/scholar?q=related:oFUcIQIQbPMJ:scholar.google.com/&scioq=&hl=id&as_sdt=0,5#d=
gs_qabs&p=&u=%23p%3DoFUcIQIQbPMJ pada Senin, 1 Oktober 2018 pukul 16.03 WIB
6
A. Teeuw, Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer, (Jakarta: Dunia Pustaka
Jaya, 1997), h. 113
7
Op.Cit, August Hans den Boef & Knees Snoek, h. 32
8
Op.Cit, Vicentius Gitiyarko Priyatno, h. 60
9
Karl Marx dan Friedrich Engels, Manifesto Partai Komunis, dalam Vicentius Gitiarko Priyatno, “Konteks
Sosial dan Ideologi Proletar Tokoh Utama dalam Novel ‘Bukan Pasar Malam’ Karya Pramoedya Ananta Toer”, h.
47-48
Pada novel ini digambarkan betapa menjengkelkannya orang-orang punya atau kaum
bourjuis. Dapat dilihat pada kutipan berikut.
Di kala itu juga aku berpendapat; bahwa orang yang punya itu banyak
menimbulkan kesusahan pada yang tak punya. Dan mereka tak merasai ini.10
Perbedaan status sosial juga sudah menggerogoti pola pikir tokoh yang terdapat dalam
novel tersebut. Masyarakat dengan status sosial yang rendah cenderung merasa kecil dibanding
seseorang dengan status sosial yang lebih tinggi daripada mereka. Dan masyarakat dengan status
sosial yang rendah ini terlihat takut melakukan kesalahan pada seseorang dengan status sosial
yang lebih tinggi meski yang mereka lakukan itu adalah hal yang benar. Hal tersebut tergambar
pada kutipan berikut.
O, alangkah kagetku waktu itu. Anak patih aku pukul. Sedang aku? Aku hanya
anak petani. Bukan main takutku waktu itu.11
Kutipan di atas adalah salah satu dialog dari seorang guru yang memukul anak patih. Di
sini, tergambar jelas bahwa petani merupakan masyarakat dengan status sosial yang rendah, yang
seakan-akan tidak berhak untuk melakukan itu sekalipun yang dilakukannya itu benar.
Tokoh ayah yang berpendirian sebagai nasionalis juga kukuh mempertahankan
prinsipnya. Ia tak mau mengambil tempat dalam bangku kekuasaan, menurutnya semua itu
hanyalah topeng belaka. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.
Perwakilan rakyat? Perwakilan rakyat hanya panggung sandiwara. Dan aku tidak
suka menjadi badut—sekalipun badut besar.12
Tokoh ayah ini lebih memilih menjadi guru karena pendidikan dianggap lebih mampu
untuk memperbaiki masyarakat yang bobrok. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.
“Aku mau jadi nasionalis.” Diam lagi. “Karena itu aku jadi guru.” Diam lagi.
“Membukakan pintu hati anak-anak untuk pergi ke taman—,” tertahan sebentar,
“patriotisme. Dengar?”13
Sastra adalah cermin dari sebuah realitas kehidupan sosial masyarakat. Dengan latar
Indonesia pada masa pasca-kemerdekaan, yaitu tahun 1950, digambarkan secara jelas kondisi
masyarakat pada saat itu. Jika kita lihat, pada saat itu Indonesia memiliki banyak kekosongan.
Seperti yang dikatakan Ajip Rosidi, ternyata mengisi kemerdekaan tidak semudah ketika
memperjuangkannya. Dan seperti yang dikatakan Soekarno, perjuanganku lebih mudah karena
mengusir penjajah, dan perjuangan kalian lebih berat karena melawan bangsa sendiri. Ketika
Indonesia merdeka, orang-orang tidak lagi mempedulikan rakyat. Mereka hanya mempedulikan
partainya sendiri, kelompoknya sendiri, bahkan dirinya sendiri. Keadaan ini terlukis pada kutipan
berikut.
Tapi kala kemerdekaan telah tercapai, mereka itu sama berebutan gedung dan
kursi. Dan barangsiapa tak memperoleh yang diinginkannya, mereka pergi—
karena mereka tak perlu mengharapkan gaji lagi. Dan ayah Tuan tak sanggup
melihat keadaan seperti itu.14
Rebutan kursi pada masa pasca-kemerdekaan ini dapat dipahami karena para petinggi
yang mampu mendapat kursi atau gedung, akan dapat perlakuan yang istimewa. Dan, Ayah dari
tokoh Aku merupakan seorang nasionalis yang benar-benar menginginkan Indonesia ini tidak
bobrok, jadi tokoh Ayah ini turut merasakan derita layaknya rakyat-rakyat miskin yang lain.
Keistimewaan sebagai petinggi negara dapat dilihat pada kutipan berikut.
Sekiranya ayah jadi wakil di perwakilan rakyat, atau jadi koordinator, ayah akan
jadi pegawai tinggi. Dan kalau ayah jadi pegawai tinggi barangkali bisa mendapat
tempat di sonatorium.15

10
Pramoedya Ananta Toer, Bukan Pasar Malam, (Jakarta: Lentera Dipantara, 2003) h. 9
11
Ibid, h. 53
12
Ibid, h. 65
13
Ibid, h. 88
14
Ibid, h. 102
15
Ibid, h. 70
Di tahun 1950 juga, RI melaksanakan demokrasi parlementer-liberal. Agaknya novel ini
juga menyinggung hal tersebut, dan menyindir hal tersebut. Tergambar pada kutipan berikut.
Demokrasi sungguh sistem yang indah. Engkau boleh jadi presiden. Engkau boleh
memilih pekerjaan yang engkau sukai. Engkau mempunyai hak yang sama dengan
yang lainnya. Dan demokrasi itu membuat aku tak perlu menyembah
menundukkan kepala pada presiden atau menteri atau paduka-paduka lainnya.
Sungguh—ini pun suatu kemenangan demokrasi. Dan engkau boleh berbuat
sekehendak hatimu bila saja masih berada dalam lingkungan batas hukum. Tapi,
kalau engkau tak punya uang, engkau akan lumpuh tak bisa bergerak. Di negara
demokrasi engkau boleh membeli barang yang engkau sukai. Tapi kalau engkau
tak punya uang, engkau hanya boleh menonton barang yang engkau ingini itu. Ini
juga semacam kemenangan demokrasi.16
Dari kutipan tersebut, dapat diketahui bahwa meski demokrasi membebaskan segalanya,
dan adanya kesetaraan hak, jika tidak punya uang, tak akan ada bedanya. Kita tetap lemah tak
berdaya. Begitu jelas materialistik seorang Pram dalam kutipan ini.
Karena masih pada masa pasca-kemerdekaan, kondisi Indonesia juga masih kacau balau.
Kemiskinan dimana-mana, ketimpangan sosial, pembangunan yang belum merata, dan lain-lain.
Mengenai kemiskinan, dapat dilihat pada kutipan berikut.
Dalam kepalaku terbayang: ayah. Kemudian: uang. Dari mana aku dapat uang
untuk ongkos pergi?17
Fasilitas kesehatan masih belum tercukupi. Kalaupun ada, biasanya letaknya jauh dari
perkampungan dan biayanya mahal. Hal ini menyulitkan orang-orang pedalaman, dan orang
miskin khususnya untuk berobat ke rumah sakit yang lebih layak. Hal ini terdapat pada kutipan
berikut.
Ongkos di sanatorium mahal sekarang. Dan kalau tidak begitu jawabannya ialah,
sanatorium? Sanatorium sudah penuh oleh pedagang. Kalau engkau jadi pegawai,
kalau bukan pegawai tinggi, jangan sekali-kali berani mengharapkan mendapat
tempat di sanatorium.18
Kutipan ini juga sekaligus menyindir bahwa selain jauh dan membutuhkan ongkos yang
banyak, sanatorium atau rumah sakit besar hanya tersedia bagi masyarakat golongan atas, seperti
pedagang, dan pegawai tinggi. Masyarakat dengan status sosial yang rendah, tak usah harap
untuk pelayanan kesehatan yang layak.
**
Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu penulis hebat di Indonesia. Karya yang
diciptakannya selalu menyajikan segala sesuatu dengan lengkap. Ia mengungkap kemanusiaan
dengan caranya sendiri dan selalu mampu menyinggung kondisi masyarakat pada masanya.
Seperti kekecewaan pada masa pasca-kemerdekaan karena bobroknya moral bangsa, atau seperti
ketika orang-orang sibuk berebut kekuasaan dan hanya mementingkan golongannya sendiri.
Pram mengemas semuanya dengan sangat apik. Meski-bukunya sempat dibredel, kini buku-buku
Pram sudah boleh diterbitkan kembali. Dan ini adalah salah satu hal yang wajib disyukuri.

16
Ibid, h. 10
17
Ibid, h. 8
18
Ibid, h. 64
DAFTAR PUSTAKA

August Hans den Boef & Kees Snoek. Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir: Esai dan
Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer. (Depok: Komunitas Bambu, 2008).
Foulcher, Keith. On a Roll: Pramoedya and the Postcolonial Transition. (Departemen Studi
Indonesia University of Sydney, 2008).
Gunadi, Iwan. Komunitas Sastra di Indonesia: Antara Asap dan Cendawan. (Banten: Dinas
Pendidikan Provinsi Banten, 2012).
Karl Marx dan Friedrich Engels. Manifesto Partai Komunis, dalam Vicentius Gitiarko Priyatno,
“Konteks Sosial dan Ideologi Proletar Tokoh Utama dalam Novel ‘Bukan Pasar Malam’
Karya Pramoedya Ananta Toer”.
Priyatno, Vincentius Gitiyarko. “Konteks Sosial dan Ideologi Proletar Tokoh Utama dalam
Novel ‘Bukan Pasar Malam’ Karya Pramoedya Ananta Toer”. diunduh pada laman
https://scholar.google.com/scholar?q=related:oFUcIQIQbPMJ:scholar.google.com/&scio
q=&hl=id&as_sdt=0,5#d=gs_qabs&p=&u=%23p%3DoFUcIQIQbPMJ pada Senin, 1
Oktober 2018 pukul 16.03 WIB.
Rifai, Muhammad. Biografi Singkat 1925-2006: Pramoedya Ananta Toer. (Depok: Garasi House
of Books, 2016).
Teeuw, A. Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. (Jakarta:
Dunia Pustaka Jaya, 1997).
Toer, Pramoedya Ananta. Bukan Pasar Malam. (Jakarta: Lentera Dipantara, 2003).

Anda mungkin juga menyukai