Anda di halaman 1dari 4

Nyanyian Cinta Antara Persma dan Pergerakan1

Oleh : Rijal Asep Nugroho2

Kepada : Yang Tersayang Pers Mahasiswa.

Masa-masa sulit, paska 98

Dearest, Persma Bagaimana khabarmu? Ini masa-masa sulit bagi percintaan kita, namun kuharap ini tidaklah cukup membuat kita patah hati. Karena kita tetaplah satu hati, dan semestinya-lah kita satu hati toek menjadi tempat sampah orangorang yang tertindas. Ya.. Tetaplah beri ruang curhat bagi tiap bayi yang terlahir dengan menanggung beban hutang 7,5 juta rupiah. Masih ingatkah nostalgia kita dahulu? Kala penindasan terjadi pada rakyat-rakyat jelata, orang-orang lanjut usia yang tak mampu lagi bekerja harus rela terlantar karena pemerintah dan negara lebih senang mengurusi konglomerat. Kala kawan-kawan kita dipukuli tentara ketika ingin berbicara, kala petani terpaksa harus membeli benih import yang mahal karena koperasi tak lagi menjual benih lokal, kala buruh seenaknya saja dipecat tanpa pernah diperhatikan kesejahteraannya. Masih ingatkah dahulu.pemerintah merampas lahan-lahan petani untuk didirikan pabrik sepatu NIKE? Padahal toch keuntungan dari pabrik itu, yang dikerjakan oleh buruh-buruh dengan gaji murah itu., yang bahan-bahan bakunya dikeruk dari tanah subur kita.. Semua keuntungannya diangkut ke negeri seberang di negeri paman Sam, sementara buruh-burtuh tertindas tetaplah melarat. Persma yang terkasih..Bagaimana kini, tetap! Tetaplah sama, perubahanperubahan yang terjadi hanyalah perubahan kekuasaan!!! Dari Soeharto sampai Megawati hanyalah berubah figur penindasnya, sedang penindasan tetap terjadi, kemiskinan tetap dipelihara menghiasi kemegahan rumah-rumah birokrat. Ya. Demokrasi tak pernah terwujud karena militer tetap saja bercokol di puncak singgasana. Namun, kenapa kelihatannya Engkau sakit? Apakah Engkau kehilangan arah dan orientasi? Apakah Kau pikir Kita telah kehilangan musuh bersama semenjak Soeharto tumbang? Apakah ke-bete-an kini menyergapmu? Tidak! Tidak sayang musuh kita masih ada dan tetap sama, karena barisanbarisan antidemokrasi masih angkuh berdiri menindas rakyat, karena kekuatan militer telah menjadikan minoritas menguasai kehendak mayoritas. Sayang...Bukankah kita tetap sehati? SayangPerjalanan cinta kita telah teruji, kita telah melewati berbagai masamasa sulit, bagaimana kita bersetubuh untuk melawan kolonialisasi imperialisasi penjahat Belanda, bagaimana kita bersatu mempertahankan kemerdekaan, melawan tirani rezim orde baru dan hingga kini. Sudah semestinya pula kita tetap bahu membahu dalam jalinan cinta untuk melawan dibangkitkannya rezimrezim antidemokrasi. Apalagi kini posisi kita juga masih terus dihantam oleh perspers umum yang bangsat, memperbudak dirinya untuk kepentingan kapitalis, dan kekuasaan. Sayang..Yakinkanlah Kau akan mampu melewati masa-masa sulit ini, melepaskan belenggu kebetean untuk terus berjuang bersama rakayat, merebut kembali kedaulatan rakyat yang telah dirampas militer, konglomerat dan birokrat negara. MariMari bahu membahu merebut kedaulatan rakayat!!!!!!!!!!!!!!!!! Yang Selalu Sehati Denganmu, Ttd. Pergerakan Mahasiswa Kali persma membaca surat ini, hatinya sedih dan pedih, karena saat ini kondisi pers mahasiswa (persma) terasa cukup memprihatinkan seiring dengan adanya ke-bete-an nasional. Persma cenderung menempatkan dirinya secara ekslusiv dan melupakan peran dan tanggung jawabnya terhadap pergerakan mahasiswa. Akhirnya persma pun tak mengakar di akar mahasiswa, dan dikhawatirkan akan kehilangan ruh-nya. Persma terlena dalam kenikmatan
1

Makalah ini dibuat untuk Diskusi Jurnalistik (DJ) Maestro 2001 (Jumat, 2 November 2001). Inti sari makalah ini pernah disampaikan pada TIKIKITIKMA D4 Pariwisata Unud (Senin, 27 Agustus 2001) 2 Mahasiswa Teknik, Pemimpin Redaksi PMM Maestro FT Unud Periode 2000/2001.

birokrasi dalam sebuah UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) dan melupakan historis dan tradisinya sebagai media perjuangan. Tentu saja spirit ini harus kembali ditiupkan, ruh persma harus kembali disematkan dalam dada pegiat-pegiat persma agar persma dapat kembali sinergis dalam sebuah nyanyian cinta pergerakan mahasiswa. Jika mungkin pegiat persma saat ini masih dalam bayangbayang kebimbangan akan manisnya cinta yang telah disemai dalam masa-masa kurun waktu, uraian di bawah ini bisa menjelaskan bagaimana falsafah dan ideologi persma selama ini ditinjau dari historis dan tradisinya, meyakinkan indahnya cinta yang bersemi dalam medan perjuangan bersama rakyat. Inilah Mula Berseminya Benih Cinta (Pers Dalam Pergerakan Rakyat, Pergerakan Pemuda) Perjuangan kemerdekaan Indonesia dimulai oleh pergerakan rakyat yang dimotori oleh golongan komunis. Komunis yang sangat radikal menentang kolonialisme melakukan pemberontakan, namun pemberontakan ini gagal karena kurang cermat dalam menghitung kekuatan massa. Semaun, yang waktu itu terdesak akibat gagalnya pemberontakan komunis, memberikan tongkat estafet pergerakan kepada kelompok studi (waktu itu kelompok studi yang kuat adalah kelompok studi yang digawangi oleh Hatta, Perhimpunan Indonesia/PI di Belanda, dan kelompok studi yang digawangi oleh Soekarno, Kelompok Studi Umum). Bahkan aset-aset pergerakan dilimpahkan kepada Hatta agar menruskan perlawanan terhadap imperialisme. Bersamaan dengan itu, pers sebagi perlawanan terhadap imperialisme tumbuh, diawali dengan lahirnya majalah berkala Retnodoemilah (1901) dimana redakturnya, dr. Wahidin Sudirohusodo yang kemudian mencetuskan Boedi Oetomo (perkumpulan elit priyayi) pada tanggal 20 Mei 1909 dengan pendirinya adalah dr Sutomo. Pada tahun itu pula (1909), RM Tirtohadisuryo, redaktur majalah Medah Prijaji membentuk SDI di Jakarta yang pada tahun 1912 berubah menjadi SI. Kemudian pada tanggal 28 Oktober 1928, sekelompok pemuda-pelajar mencoba untuk membangun ikrar bersama lewat Soempah Pemoeda, dimana pada saat ini pula muncul istilah Pers Nasional. Pada jaman penjajahan ini, pers nasional berperan sebagai pembangkit kesadaran nasional, pemberi inspirasi, penggugah cita-cita dan penggeloraan semangat perjuangan menuju kemerdekaan dan kedaulatan bangsa dan negara.Namun Pers Nasional dengan karakter perlawanan terhadap imperialisme ini mempunyai dua sikap yang berbeda dalam metode gerak, yaitu kooperatif dan nonkooperatif. Pada tahun 1931 tak kurang dari 400 penerbitan sebagi media pergerakan muncul, di jakarta (1909) ada Mingguan Boemipoetera yang didirikan oleh Sutan M Salim. Adapun penerbitan pergerakan yang terkenal ialah Fikiran Rajat Bandung oleh Sukarno, Daulat rakjat Jakarta oleh Hatta serta berbagai penerbitan lain seperti Boemipoetera, Pewarta Deli, Pertja Barat, Benih Merdeka (1916), Sinar Merdeka, Sora Merdeka, Obor Rakjat dll. Kali ini Bung Hatta dan Soekarno menjadi ujung tombak untuk menjadikan pers Indonesia sebagai alat perjuangan, bagaimana Soekarno dan Bung Hatta bergerilya lewat wacana, membuka borok penjajah dengan tulisan yang tajam berargumen. Menjamurnya media perlawanan ini membuat Belanda menerapkan pembatasan Pers Nasional dengan langkah Persbreidel Ordonantie-nya. Dalam kurun waktu tahun 45-50 pers nasional berperan sesuai dengan tuntutan dan kondisi perjuangan fisik. Ia berperan mengobarkan semangat perjuangan rakyat Indonesia mengusir kaum kolonialis yang mencoba menginjakinjak kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Ketika rakyat Indonesia terkotak-kotak di dalam wadah negara Republik Indonesia Serikat yang federalis, Pers Nasioanal berperan menggugah kembali kesadaran berbangsa-bertanah air- berbahasa satu. Ia berhasil ikut mengantarkan rakyat Indonesia kembali ke dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pers nasional berhasil pula melewati masa perjuangan demokrasi dalam bentuk partisipasi fungsional yang liberal dan kemudian terpimpin. Kenyataan obyektif dalam kurun waktu 50-59 dan 59-65 memang ditandai perkembangan politik ideologi itu. Pers berperan sebagai alat perjuangan partai tertentu. Pers menjadi corong partai yang tentu saja pemberitaannya tidak obyektif namun lebih propagandis buta terhadap kepentingan partai. Namun dengan keadaan ini justru liberalisasi pers juga terwujud, setidaknya tidak dikenal pembredelan pers, yang

ada adalah pencekalan terhadap pimpinan-pimpinan pers seperti Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis yang pernah mendekam di penjara. Ketika Cinta Selengket Permen Karet (Pers mahasiswa Dalam Pergerakan mahasiswa) Pada kurun waktu 65 sejarah mencatat tidak kecilnya peranan pers dalam percepatan penghancuran PKI dan penggulingan orde lama. Mahasiswa ternyata berafiliasi dengan militer untuk membantu militer melakukan kudeta terhadap kepemimpinan Soekarno. Tercatat tokoh mahasiswa seperti Rahman Toleng dan Gunawan Muhammad terus melakukan pembusukan terhadap rezim Soekarno karena dianggap tidak mampu membawa perubahan pada negeri ini. Generasi ini, kemudian berafiliasi dengan GOLKAR yang kemudian sekitar pada tahun 70an (sampai 74) mengalami kesadaran yang walaupun sudah cukup terlambat bahwa GOLKAR dan Soeharto-nya telah melakukan penindasan kepada rakyat. Adapun ciri dari angkatan 74 yaitu mereka memiliki organisasi formal (Dewan Mahasiswa) dengan isu politik menolak kapitalis Jepang, menuntut pengadilan pemerintah yang korup, menolak kesewenang-wenangan Soeharto. Pada saat rally (turun ke jalan) mahasiswa mulai diidentikkan dengan destruktif dan memancing kerusuhan. Lalu kita pun mengenal buku sejarah peristiwa MALARI. Peristiwa ini nyata menunjukkan bahwa rezim tidak segan-segan bertindak keras terhadap mahasiswa. Hal ini tak terlepas dari faktor kian kukuhnya kekuasaan Negara Orde Baru. Sejak tahun 1974 konsolidasi kekuasaan telah usai. Hal ini ditandai dengan penyingkiran Jendral Soemitro (yang merupakan rival Jendral Ali Murtopo) dari panggung politik. Sejak itu Orde Baru dapat mengendalikan kehidupan sosial politik sesuai dengan kehendaknya. Orde baru telah tumbuh menjadi negara kuat yang mendominasi masyarakat. Pada tahun 1978 kekuatan DEMA melakukan gerakan mahasiswa yang keras dengan menuntut Soeharto mundur. Efeknya ialah DEMA dibubarkan dan diberlakukan NKK/BKK, artinya organisasi intra, maupun organisasi ekstra diredam dan dijinakkan oleh pemerintah. Pada jaman ini, pers mahasiswa dilihat sebagai sebuah unit kegiatan minat bakat, bukan sebagai media perjuangan, maka pers kampus pun berubah nama menjadi UKM PersMa (Unit Kegiatan Mahasiswa Pers Mahasiswa). Penjinakan ini relatif berhasil, Persma hanya menampilkan tema akademis untuk mendukung materi perkuliahan (mendukung sistem pendidikan yang menindas), inipun masih harus ada penasehat dan pembina yang terdiri dari PR III dan dosen, dimana naskah akan disensor terlebih dahulu sebelum diterbitkan. Namun situasi yang begitu meminggirkan mahasiswa ini, mau tidak mau harus merubah strategi perjuangan mahasiswa. Artikulasi yang muncul ialah pergeseran dari kekuatan politik berbasis massa menjadi kekuatan politik berbasis ide. Artikulasi ini bila digarap maksimal misal dengan melakukan aksi informasi- tentu akan menghasilkan output maksimal. Dengan pengertian inilah kembali pers mahasiswa menggeliat untuk menjadikan Pers Mahasiswa sebagai Alternatif gerakan. Hal ini terlihat pada awal tahun 1986, dimana aktivis LSM dan kelompok studi yang kemudian terlibat dalam pendirian pers mahasiswa dan membantu sepenuhnya bahkan menjadi pengurus intinya. Dalam prakteknya aktivis pers mahasiswa tidak melulu menerbitkan majalah atau koran namun juga menggelar acara diskusi, bedah buku, pelatihan dan lainlain yang mengajak mahasiswa untuk berpikir kritis. Hasilnya ialah pada tahun 1987 organisasi Persma dilarang untuk berdiri, Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) dilarang untuk berdiri karena penguasa menganggap bahwa kekuatan mahasiswa yang melakukan perlawanan pada tahun 1987 adalah pers mahasiswa. Pada tahun 1998, tongkat estafet pergerakan mahasiswa diambil alih oleh kekuatan massa, dimana berhasil menumbangkan Soeharto secara pribadi sebagai presiden namun belum berhasil menumbangkan rezim korup orde baru. Pada masa ini, peranan bukan berarti tidak ada, karena pada setiap kurun waktu, metode pergerakan dan perlawanan mahasiswa terhadap rezim yang menindas tetaplah dilakukan secara paralel, baik melalui kekuatan massa (komite aksi) maupun kekuatan ide (kelompok studi) dimana ditindaklanjuti dengan kekuatan informasi (Persma). Pada setiap kurun waktu, salah satu metode menjadi primadona sementara metode lainnya sebagai pelengkap.

Pasca 98, liberalisasi pers digulirkan, pers umum mulai bersikap kritis sehingga seolah-olah persma kehilangan lahan. Namun kemudian terbukti bahwa pers umum memanglah tidak mampu menjawab persoalan keberpihakan kepada publik, hal ini disebabkan Pers umum tidak mampu menumbuhkan civil society, sehingga pemikiran masyarakat pun sulit berkembang. Hal ini disebabkan ketidakpahaman pers terhadap struktur masyarakat dan tanggug jawab sosialnya. Ini terlihat dari keberpihakan pers terhadap kapitalis yang nampak dari ciri-ciri pers umum saat ini, yaitu: Pertama, Pers menggunakan kekuasaannya untuk tujuannya sendiri. Para pemiliknya mempropagandakan pendapatnya sendiri, terutama mengenai politik dan ekonomi, dengan mengorbankan masyarakat dan para penentangnya; Kedua, Pers tunduk pada pengusaha besar dan kadang-kadang para pemasang iklan mengawasi kebijakan dan isi tajuk rencana; Ketiga, Pers merintangi perubahan sosial; Keempat, Pers dalam pemberitaannya acapkali menaruh perhatian yang lebih banyak kepada yang dangkal dan sensasional, dan hiburannya acapkali kekurangan bahan; Kelima, Pers mengancam moral masyarakat; Keenam, Pers diawasi oleh kelas sosialekonomik, kelonggaran bagi kelas usaha, akses kepada industri yang mempersulit pendatang baru; karena itu wahana bebas dan terbuka menjadi terancam3. Dengan kondisi ini tetap menunjukkan bahwa pers umum tidak akan mampu mengemban tanggung jawab sosial pers terhadap masyarakat. Untuk itu, persma tetap menjadi sebuah pers alternatif , sebagai alat perjuangan, dan tidak bisa tergantikan oleh pers umum. Penutup Pada kurun waktu pasca 98 perlu perubahan strategi gerak, dimana harus ada keseimbangan tiga kekuatan mahasiswa (kekuatan massa, kekuatan ide dan kekuatan informasi) dan mensinergiskan dalam sebuah lingkar yang kokoh. Pada setiap kurun waktu memang selalu dimunculkan sebuah metode yang diidolakan, namun pada saat ini dimana konsolidasi pergerakan mahasiswa masih belum mencapai fase yang kuat, maka hubungan lingkar yang sangat kuat tanpa membedakan porsi diantaranya menjadi pilihan yang cukup baik. Sekali lagi, saya ingin menegaskan bahwa pers mahasiswa selalu merupakan alat perjuangan, dan ter-integral dalam sebuah pergerakan mahasiswa. Karena itu, pegiat-pegiat pers mahasiswa, keep and figthKibarkan terus bendera perlawanan terhadap rezim penindasan.

Makalah; Pers di Tengah Dinamika Sosial-Politik Masyarakat Bali; oleh Alit Kelakan, Mei 2001.

Anda mungkin juga menyukai