32 Votes
Tokoh-Tokoh
Tokoh-tokoh yang mempolopori Kebangkitan Nasional, antara lain yaitu :
1. Dr. Sutomo
2. Ir. Soekarno
3. Dr. Tjipto Mangunkusumo
4. Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EYD: Suwardi Suryaningrat,
sejak 1922 menjadi Ki Hajar Dewantara)
5. dr. Douwes Dekker dan Lain-Lain
Asal usul Kebangkitan Nasional
Pada tahun 1912 berdirilah Partai Politik pertama di Indonesia (Hindia Belanda),
Indische Partij. Pada tahun itu juga Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang
Islam (di Solo), KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah (di Yogyakarta),
Dwijo Sewoyo dan kawan-kawan mendirikan Asuransi Jiwa Bersama Boemi
Poetra di Magelang. Kebangkitan pergerakan nasional Indonesia bukan berawal
dari berdirinya Boedi Oetomo, tapi sebenarnya diawali dengan berdirinya Syarekat
Dagang Islam pada tahun 1905 di Pasar Laweyan, Solo. Sarekat ini awalnya
berdiri untuk menandingi dominasi pedagang Cina pada waktu itu. Kemudian
berkembang menjadi organisasi pergerakan sehingga pada tahun 1906 berubah
nama menjadi Syarekat Islam.
Suwardi Suryaningrat yang tergabung dalam Komite Boemi Poetera, menulis “Als
ik eens Nederlander was” (“Seandainya aku seorang Belanda“), pada tanggal 20
Juli 1913 yang memprotes keras rencana pemerintah Hindia Belanda merayakan
100 tahun kemerdekaan Belanda di Hindia Belanda. Karena tulisan inilah dr.
Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat dihukum dan diasingkan ke
Banda dan Bangka, tetapi karena “boleh memilih”, keduanya dibuang ke Negeri
Belanda. Di sana Suwardi justru belajar ilmu pendidikan dan dr. Tjipto karena
sakit dipulangkan ke Hindia Belanda. Saat ini, tanggal berdirinya Boedi Oetomo,
20 Mei, dijadikan sebagai Hari Kebangkitan Nasional.(Wikipedia.org)
Incoming Search: memperingati hari Kebangkitan Nasional, Refleksi Kebangkitan
Nasional, sejarah hari Kebangkitan Nasional, momen Kebangkitan Nasional, tokoh
pergerakan Nasional, Budi utomo, tiga serangkai
—————————————–
Galery hari Kebangkitan nasional
—————————————–
Navigasi pos
← Perspektif dan refleksi hari kebangkitan nasional
Budi Utomo →
Tema dan Logo Hari Sumpah Pemuda 2017
477.253 hits
Mencari Artikel
Cari
Arsip
Arsip
Top Posts & Halaman
Guru Masih terlalu Dominan di Kelas
Metode Belajar Perkalian dengan Jari Tangan
Kapolsek Perempuan Pertama di Langsa Aceh, AKP Fitrisia Kamila
Sejarah Kelahiran Polwan Indonesia
Polri Restui Polwan Berjilbab
Fatin Sidqia Lubis Juara X Factor Indonesia I
Macam-Macam Metode pembelajaran
Sekolah Taman Siswa
Tjoet Nyak Meutia
Faktor Penyebab Kesulitan Siswa dalam Belajar
Tulisan Terakhir
COMMENTS
Baik pemuda zaman now dan pemimpin muda zaman now memiliki
tantangan yang berbeda dengan pemuda 1928 dan pemimpin awal-
awal Kemerdekaan. Jadi ingat! Bukan sekadar meniru gaya
berpakian, berpidato dan lain sebagainya, tapi tirulah kesederhanaan
serta ambil platform pemikirannya untuk membuat Indonesia Menjadi
Raya!
Karena bisa jadi, pemimpin hebat bukan datang dari golongan ningrat
yang banyak duit, atau pemilik partai politik. Melainkan lahir dari
Rakyat Biasa. Oleh karena itu Pemimpin Hebat adalah pemimpin
yang bisa menghentikan sistem demokrasi kapitalistik yang oligopoli
dan melahirkan demokrasi yang sama rasa sama bahagia di dalam
Rumah Bagi Seluruh Anak Bangsa Indonesia.
FRAGMEN
Bagikan:
Selain riyadhoh yang setiap hari dilakukan oleh para kiai sebagai bagian dari perjuangan batin,
mereka juga melakukan perang kebudayaan dengan melarang para santri dan rakyat secara umum
untuk meniru gaya pakaian penjajah. Puncaknya ketika Pendiri NU, Hadratussyekh Muhammad
Asy’ari (1841-1947) mengeluarkan Fatwa Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 untuk mengusir
pasukan sekutu usai Jepang menyerah. Dalam puncak pertempuran hebat ada 10 November, para
santri dan kiai terlibat langsung peperangan fisik, baik dengan tentara Jepang maupun sekutu.
Gelora dan semangat perjuangan mereka tidak terlepas dari benih-benih pergerakan yang dilakukan
oleh para kiai jauh sebelum proklamasi kemerdekaan tercapai bangsa Indonesia dengan
mencancapkan ruh cinta tanah air kepada para generasi muda bangsa.
Ialah Kiai Haji Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971), ulama asal Jombang, murid sekaligus teman
seperjuangan KH Hasyim Asy’ari, motor pergerakan perjuangan pesantren dalam melawan penjajah,
dan inisiator gerakan pemuda bernama Syubbanul Wathan (pemuda cinta tanah air) melalui
Perguruan Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air) yang didirikannya pada 1916.
Konsep cinta tanah air melalui pendidikan ini menyadarkan para generasi muda agar bersatu
melawan penjajah demi kemerdekaan bangsa Indonesia. KH Wahab Chasbullah berhasil mendirikan
perguruan Nahdlatul Wathan atas bantuan beberapa kiai lain dengan dirinya menjabat sebagai
Pimpinan Dewan Guru (keulamaan). Sejak saat itulah Nahdlatul Wathan dijadikan markas
penggemblengan para pemuda. Mereka dididik menjadi pemuda yang berilmu dan cinta tanah air.
Bahkan setiap hendak dimulai kegiatan belajar, para murid diharuskan terlebih dahulu menyanyikan
lagu perjuangan dalam bahasa Arab ciptaan Mbah Wahab sendiri. Kini lagu tersebut sangat populer
di kalangan pesantren dan setiap kegiatan Nahdlatul Ulama (NU), yakni Yaa Lal Wathan yang juga
dikenal dengan Syubbanul Wathan. Benih-benih cinta tanah air ini akhirnya bisa menjadi energi
positif bagi rakyat Indonesia secara luas sehingga perjuangan tidak berhenti pada tataran wacana,
tetapi pergerakan sebuah bangsa yang cinta tanah airnya untuk merdeka dari segala bentuk
penjajahan.
Semangat nasionalisme Kiai Wahab yang berusaha terus diwujudkan melalui wadah pendidikan juga
turut serta melahirkan organisasi produktif seperti Tashwirul Afkar (gerakan pencerahan) yang
berdiri tahun 1919 dan Nahdlatut Tujjar (gerakan kemandirian ekonomi). Selain itu, terlibatnya Kiai
Wahab di berbagai organisasi pemuda seperti Indonesische studie club, Syubbanul Wathan, dan
kursus Masail Diniyyah bagi para ulama muda pembela madzhab tidak lepas dari kerangka tujuan
utamanya, membangun semangat nasionalisme bangsa Indonesia yang sedang terjajah.
Dalam mengembangkan Madrasah Nahdlatul Wathan dan Tashwirul Afkar ini, Kiai Wahab berupaya
menyebarkan 'virus' cinta tanah air (hubbul wathan) secara luas di tengah masyarakat dengan
membawa misi tradisi keilmuan pesantren. Perjuangan mulia ini tentu harus digerakkan secara
terus-menerus melalui setiap lembaga pendidikan yang ada saat ini sehingga cita-cita luhur pendiri
bangsa untuk memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) semakin kuat dan tak
pernah surut.
Tidak bisa dipungkiri, semangat cinta tanah air dari sang inisiator gerakan pemuda sekaligus sang
arsitek pegerakan nasional Kiai Wahab Chasbullah inilah yang sedikit banyak menginspirasi dan
menggerakaan para pemuda sesudahnya dalam forum sumpah pemuda pada 1928, dua tahun
setelah NU berdiri pada 1926 di Surabaya. Berdirinya NU sendiri merupakan puncak pergerakan Kiai
Wahab yang sebelumnya mendirikan sejumlah perkumpulan sebagai embrio lahirnya Nahdlatul
Ulama.
Satu tahun sebelum deklarasi Sumpah Pemuda, tepatnya pada 9 Oktober 1927, para kiai dalam
forum tertinggi NU memutuskan untuk menabuh genderang perang kebudayaan. Dalam perang
kebudayaan ini, para kiai NU di antaranya melakukan pelarangan budaya Belanda yang tersimbol
dalam ornamen mode pakaian.
Keputusan NU tahun 1927 tersebut bentuk perlawanan budaya para kiai terhadap penjajah. Perang
kebudayaan yang digelorakan para kiai NU itu dalam implementasinya berwujud boikot dan
delegitimasi atas budaya yang bersumber dari penjajah. Perang kebudayaan tersebut secara ekstrem
juga berwujud legitimasi para kiai NU untuk berperang melawan penjajah.
Keputusan NU tentang perang kebudayaan tersebut secara langsung melahirkan hukum kewajiban
muslim Nusantara untuk berperang mengangkat senjata. Sebab untuk kali pertama, NU
menggolongkan penjajah saat itu sebagai kaum kafir yang harus diperangi dan ditundukkan.
Keputusan NU untuk perang kebudayaan itu menyebar ke tengah masyarakat. Muslim Nusantara
merespon cepat dengan melakukan pergerakan melawan penjajah. Segala macam asesoris,
ornamen, simbol yang berbau penjajah mendapat penolakan keras dari masyarakat desa.
Selama satu tahun NU melakukan perang kebudayaan dengan berbagai konsekuensinya. Babak
selanjutnya terjadi pada tanggal 9 September 1928 saat NU menggelar Muktamar sebulan sebelum
deklarasi Sumpah Pemuda. Saat Muktamar NU 1928 tersebut para kiai memutuskan untuk
melanjutkan perang kebudayaan menghadapi penjajah. Para kiai pun menambah agenda baru
konfrontasi dengan Belanda dengan memasukkan isu ekonomi dan politik.
Pada isu ekonomi para kiai melakukan delegitimasi mata uang penjajah. Sedangkan isu politik
digulirkan dengan mempertanyakan keabsahan kekuasaan penjajah di bidang keagamaan. Maka
menjelang Sumpah Pemuda, perlawanan para kiai NU maju dua langkah. Pertama, menyisir dari
kelemahan mata uang penjajah. Kedua, menyisir dari kelemahan kekuasaan penjajah di bidang
keagamaan.
Satu bulan pasca Muktamar NU ke-3, tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1928, Sumpah Pemuda
dideklarasikan dengan digawangi oleh Sugondo Djojopuspito, RM. Djoko Marsaid, Muhammad
Yamin, dan Amir Sjarifuddin. Tema besar Sumpah Pemuda cepat direspon masyarakat mengingat
Sumpah Pemuda adalah bagian dari babak perjuangan anak bangsa, termasuk NU yang sejak awal
sudah melakukan sejumlah perjuangan. Inilah yang dimaksud bahwa NU adalah bagian dari gerakan
sistematik kebangkitan nasional. Termasuk membangun kesadaran berbangsa para
pemuda. (Fathoni)
Tags:
#fragmen
Bagikan:
RABU 25 OKTOBER 2017 22:0 WIB
Foto: buntetpesantren.org
Bicara tentang media sosial, kita tak lepas dari status, komentar, dan publikasi ulang terhadap link
atau status yang dibuat orang lain. Mudahnya mengakses media sosial tersebut membuat orang
gemar membuat status atau mengisi kolom komentar. Publikasi ulang juga sering dilakukan.
Media sosial kerap kali bukan lagi menjadi media untuk berinteraksi antarindividu, tetapi seakan
meluas pada media psikologi. Ya, tentu kita sering melihat bagaimana orang-orang mengungkapkan
perasaannya di situs Facebook, misalnya. Hal-hal yang seharusnya menjadi privasi diri sendiri, kini
sangat mudah dikonsumsi oleh masyarakat umum. Status yang kita buat tidak terbatas hanya pada
lingkup regional atau nasional, tapi bahkan internasional, tidak terbentur tembok batas kenegaraan.
Penulis jadi ingat saat upacara tiap hari Senin di Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama (MANU) Putra
Buntet Pesantren Cirebon, tempat penulis mengaji. Pembina Upacara KH Ade Nasihul Umam dalam
amanatnya menyampaikan satu syiir dengan bahr thowil karya KH Akyas Abdul Jamil berikut.
Tushowwitu tang ting tung wa tot tet wa tot wa laa # tubali bijironin faqouluka dloi’un
Kamu bicara tang ting tung dan tot tet tot (macam-macam) dan tidak memperhatikan tetanggamu,
maka ucapanmu itu sia-sia
Jauh sebelum media sosial itu lahir, Muqoddam Tarekat Tijani itu sudah mengingatkan kita untuk
tidak perlu banyak berkomentar ataupun menulis status jika hanya mengganggu tetangganya. Dalam
konteks media sosial, tentu mengganggu pembaca atau pengguna media sosial lainnya.
Secara langsung, beliau tidak mengatakan demikian. Tapi, jika kita maknai lebih jauh lagi akan
beroleh kesimpulan ke sana. Atau lebih halusnya, adik Kiai Abbas Buntet itu membolehkan siapapun
berkomentar, asalkan baik dan bermanfaat.
Oleh karena itu, dalam bermedia sosial, jari kita perlu dijaga. Jangan sampai dengan mudah
membagikan link sebelum diyakini kevalidannya. Perihal pengunggahan status pun, mestinya kita
perhatikan betul. Masihkah kita perlu berbuat kesia-siaan? (Syakir Niamillah Fiza/Kendi Setiawan)
Ungkapan itu dikemukakan oleh sang pendekar pena, kolomnis ternama, H. Mahbud Djunaidi, pada
suatu kesempatan di kantor perwakilan Harian Umum Pelita Jawa Barat, Gedung Milamar, Jalan Asia
Afrika, Bandung.
Pada hari-hari tertentu, bisa bertemu dengan Mahbub di kantor perwakilan Harian Umum Pelita
(1980 – 1982), karena ia yang tinggal di Jalan Turangga 1, Bandung itu, merupakan penasihat
perwakilan Harian Umum Pelita Jawa Barat, sedangkan kepala perwakilannya, Agus Suflihat Manaf
atau Agus SM.
Mahbub berpenampilan sangat sederhana. Terkadang kepergok mengenakan pakaian olahraga (baju
dan celana singlet). Jika bertemu selalu memberi nasihat-nasihat tentang kewartawanan, tentang
tulis menulis, ya termasuk nasihatnya, "Dek kalau ingin kaya, jangan jadi wartawan, jadilah
pengusaha. Kalau penakut jangan jadi wartawan, jadilah tukang mie bakso."
Memang, jadi wartawan jangan berharap kaya. Memang jadi wartawan bukan untuk mengerjar
kekayaan. Pada masa-masa itu, orang jadi wartawan, karena tuntutan nurani, sehingga dikenal dan
lahir sebutan wartawan idealis. Artinya wartawan yang benar-benar menjalankan tugas dan
fungsinya tanpa pamrih, wartawan hakikatnya pejuang. Apalagi pada masa-masa perjuangan
sebelum Indonesia merdeka, wartawan berjuang dengan kekuatan penanya untuk kemerdekaan
negeri ini.
Wajarlah jika pada masa-masa itu, jadi wartawan jangan berharap kaya sebagaimana dikemukakan
mantan Ketua PWI, dan mantan Ketua NU periode tahun itu. Pada masa-masa itu, wartawan yang
memiliki kendaraan beroda dua, dan empat sangat jarang. Mahbub pun memiliki kendaraan sedan
VW berwarna biru telur asin, mungkin bukan dari hasil jadi wartawan, karena ayahnya Pak Djunaidi,
merupakan tuan tanah, orang kaya Betawi.
Walaupun pada masa-masa itu, sebut saja pada masa Orde Baru, kebebasan wartawan dikekang,
tetapi harkat derajat wartawan sangat tinggi, dihormati oleh pejabat maupun masyarakat. Pejabat,
masyarakat sangat segan terhadap yang namanya wartawan. Wartawan terutama di daerah
jumlahnya sangat sedikit. Dapat dihitung dengan jari. Di satu kabupaten paling banyak rata-rata
sembilan atau 11 orang.
Kondisi seperti itu, tentunya jauh berbeda dengan kondisi sekarang, terutama sejak era reformasi.
Ketika kran kebebasan dibuka, jumlah wartawan di daerah, di salah satu kabupaten, wow, bisa
mencapai 300 orang, bahkan lebih.
Pers masa sekarang pun adalah pers industri, walaupun tidak dapat menjamin wartawannya hidup
kaya, tetapi paling tidak hidupnya mapan terutama yang bekerja pada penerbitan-penerbitan media
tertentu. Namun, boleh jadi, lebih banyak wartawan yang hidupnya tidak kaya.
Jangan Penakut
Kalau penakut, jangan jadi wartawan, itu ditunjukan oleh Mahbub Djunaidi, bagaimana
keberaniannya menulis sehingga beliau sering disebut sang pendekar pena. Tulisan-tulisannya
ringan, asyik dibaca, berani mengkritik keras pemerintahan, kadang-kadang dengan gaya bahasa
yang halus dan santun.
Suatu hari,saya menulis berita di tempat saya bekerja tentang acara seremonial pelantikan kepala
PGA Negeri 6 Tahun. Kepala Departemen Agama setempat dalam pidatonya
mengatakan"......tingkatkan pembangunan garis miring Golkar." Waktu itu, saya pun mengkonfirmasi
kepala Depag, mempertanyakan ucapannya apa yang dimaksud dengan "tingkatkan pembangunan
garis miring Golkar."
Dua hari kemudian, berita itu dimuat tanggal 26 Desember 1980 (karena waktu itu mengirim berita
ke redaksi di Jakarta melalui pos, sampainya dua hari, karena belum ada fax, apalagi email seperti
sekarang). Mahbub, mengapresiasi berita tersebut, pada tulisan kaki halaman pertama dengan judul
"Orang Depag Cianjur Mesti Ditertibkan."
Tulisan itu, sungguh menghebohkan banyak pihak baik di pemerintahan, maupun masyarakat. Pagi
itu, koran terjual habis di agen dan pengcer. Dampak dari tulisan sang Pendekar Pena, H. Mahbub
Djunaidi, semakin bertambah kental kecurigaan dan julukan yang dialamatkan kepada saya sebagai
wartawan "hijau' (Islam), wartawan PPP (Partai Persatuan Pembangunan), karena pada masa itu,
Islam identik dengan PPP sebagai partai yang berasaskan Islam. Padahal mereka sendiri yang berada
di partai lain, sama-sama pemeluk Islam, bahkan, saya sendiri sering disebut wartawan "hijau"
ekstrem.
Tidak hanya itu, hari-hari berikutnya koran tempat saya bekerja dilarang masuk desa. Dengan begitu,
semakin banyak orang yang penasaran sehingga membeli dan berlanganan koran tersebut. Banyak
PNS yang membeli koran kemudian dilipat di saku belakang atau diselipkan di bagian bokong, untuk
dibaca di rumah, karena kalau dibaca di kantor takut dicurigai atau disebut orang PPP, karena
membaca koran tersebut, identik dengan PPP, identik dengan Islam.
Itulah secuil kenangan dengan Almarhum Mahbub Djunaidi, yang lahir tanggal 27 Juli 1933 di
Jakarta, kini telah tiada. Beliau meninggal dunia di Bandung pada tanggal 1 Oktober 1995. Semasa
hidupnya, pernah jadi Ketua Umum PB PMII tiga periode. Pernah menjabat sebagai Ketua Umum
PWI Pusat, (1979 – 1983), anggota DPR GR (1967-1971), Wakil Ketua PBNU (1984-1989), Wakil
Sekjen DPP PPP, anggota DPR/MPR RI (1971-1982), Ketua Majelis Pendidikan Soekarno dan anggota
mustasyar PBNU (1989-1994).
Beliau adalah penulis yang sangat terkenal pada zamannya, banyak menulis di harian Kompas pada
kolom Asal-Usul, di Harian Umum Pelita dan Pelita Edisi Minggu pada kolom Sekapur Sirih,
Koran Pikiran Rakyat, Sinar Harapan, Tempo, Koran Gala Bandung, dan lainnya. Banyak sudah
tulisannya yang dibukukan. (Man Suparman)
Setelah melalui berbagai pertimbangan, Kiai Hasyim menyetujui langkah Jepang tersebut dengan
syarat para pemuda yang dilatih militer itu berdiri sendiri tidak masuk dalam barisan Jepang. Itulah
awal terbentuknya laskar yang diberi nama oleh Kiai Hasyim sebagai Laskar Hizbullah.
Laskar Hizbullah ini dibentuk pada November 1943 beberapa minggu setelah pembentukan tentara
PETA (Pembela Tanah Air). Meski kedua badan kelaskaran itu berdiri sendiri, tetapi secara teknik
militer berada di satu tangan seorang perwira intelijen Nippon, Kapten Yanagawa.
Sebagai seorang kiai, Hadratussyekh Hasyim Asy’ari cukup mumpuni dalam strategi perang. Di saat
sejumlah orang memandang bahwa keputusan Kiai Hasyim merupakan simbol ketundukan kepada
Jepang karena menyetujui para santri dilatih militer oleh Jepang. Namun di balik semua itu, guru
para kiai di tanah Jawa ini ingin mempersiapkan para pemuda secara militer melawan agresi
penjajah ke depannya.
Betul saja apa yang ada di dalam pikiran Kiai Hasyim, Jepang menyerah kepada sekutu. Namun
Indonesia menghadapi agresi Belanda II. Di saat itulah para pemuda Indonesia melalui Laskar
Hizbullah, dan lain-lain sudah siap menghadapi perang dengan tentara sekutu dengan bekal
gemblengan ‘gratis’ oleh tentara Jepang.
Saat itu, Angkatan pertama latihan Hizbullah di daerah Cibarusa, dekat Cibinong, Bogor awal tahun
1944 diikuti oleh 150 pemuda. Mereka datang dari Karesidenan di seluruh Jawa dan Madura yang
masing-masing mengirim 5 orang pemuda.
Pusat latihan Hizbullah di Cibarusa itu dikeola oleh Markas Tertinggi Hizbullah yang dipimpin oleh
Zainul Arifin. Sebagai sebuah strategi perang, latihan ini perlu dilakukan oleh sebanyak-banyaknya
pemuda. Namun, disayangkan latihan Hizbullah ini diselenggarakan secara minim sekali.
Kondisi ini menjadi perhatian serius KH Wahid Hasyim sebagai penanggung jawab politik dalam
Laskar Hizbullah. “Kita dikejar waktu. Nippon sebenarnya mencurigai tujuan Hizbullah. Yang
menyetujui Hizbullah kan Cuma kita,” ucap Kiai Wahid mengemukakan kegelisahannya.
Tetapi, ayah dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini tidak mau ketinggalan kereta. Walau
bagaimana pun, perjuangan kemerdekaan harus dipersiapkan, baik kekuatan militernya, di samping
kekuatan politiknya. Kekuatan politik yang dimaksud ialah politik kenegaraan yang berkepentingan
memerdekakan Indonesia dari kungkungan penjajah. Langkah ini membutuhkan ongkos yang tidak
sedikit.
Kegundahan Kiai Wahid tersebut mendapat siraman petunjuk dari KH Abdul Wahab Chasbullah. Kiai
Wahab menilai, para kiai dan pemimpin laskar jangan hanya melihat dari ukuran lahir. Karena
menurutnya, belum tentu jika disediakan biaya besar akan berdampak pada hasil yang maksimal.
“Bia menderita asal penggemblengan jiwanya hebat seperti pemuda-pemuda Ashabul Kahfi, hasil
akhir yang maksimal bisa tercapai juga,” tutur Kiai Wahab memberi masukan.
Bicara tentang Ashabul Kahfi, sebenarnya berapakah jumlah pemuda-pemuda itu persisnya?” tanya
KH Mukhtar, salah satu anggota di bawah kepemimpinan Zainul Arifin.
“Al-Qur’an sendiri dengan tegas mengatakan, yang tahu jumlah persisnya hanyalah Allah. Kita tidak
usah berselisih mengenai berapa sebenarnya jumlah pemuda-pemuda Ashabul Kahfi itu,” jawab Kiai
Wahab.
“Dalam Al-Qur’an Cuma disebut bertiga. Adapun yang keempatnya adalah anjing
mereka. Roobi’uhum kalbuhum,” Kiai Wahab melanjutkan.
“Tapi ada yang mengatakan mereka berlima yang keenamnya adalah anjing, saadisuhum kalbuhum,”
sela KH Farid Ma’ruf, anggota lainnya.
“Ada lagi yang mengatakan Ashabul Kahfi itu tujuh orang, yang kedelapan adalah anjing mereka. Wa
tsaaminuhum kalbuhum,” kali ini Kiai Wahid Hasyim menimpali.
Di tengah diskusi mereka perihal jumlah pemuda Ashabul Kahfi, tetiba masuklah seorang Nippon
berseragam Sersan Mayor, Sidokan, pelatih Hizbullah. Kedatangannya sekonyong-konyong tanpa
diperkiarakan sebelumnya. Tentu saja menjadi sebuah kejutan tersendiri bagi para kiai.
Namun, Kiai Wahab bereaksi secara cepat dengan datangnya tentara Nippon tersebut. Dengan
nyaringnya ia mengatakan: “Wa taasi’uhum...qirduhum” (yang kesembilan adalah...monyet mereka).
Seketika meledaklah gelak tawa serentak. Orang Nippon tersebut juga ikut ngakak meskipun dia
sama sekali tidak tahu apa yang dimaksud Kiai Wahab kepadanya.
Obrolan tersebut menunjukkan bahwa meskipun dalam kondisi genting memimpin dan
mempersiapkan strategi dalam mengusir penjajah, para kiai tidak lepas dari karakteristik asalanya
yaitu pesantren. Dengan mudahnya mereka mengubah suasana yang membutuhkan pemikiran
serius menjadi kondisi yang riang gembira. (Fathoni Ahmad)
Rekomendasi
Kalam Ulama
Khazanah
Renungan
Baca juga:
Hari Sumpah Pemuda; Mengenal KH Wahab Chasbullah Sang
Inisiator Gerakan
Memaknai Sumpah Pemuda dengan Mengenang Rianto
Habib Ali Kwitang Berpidato di Muktamar NU Bandung 1932
Sumpah Pemuda dan Muktamar NU 1928
Pada kesempatan ini saya merujuk pada dokumen institusi NU saja. Setahun
sebelum deklarasi Sumpah Pemuda, tepatnya pada tanggal 9 Oktober 1927,
para kiai NU dalam forum tertinggi NU memutuskan menabuh genderang
perang kebudayaan. Para kiai NU menyasar pada pelarangan budaya
Belanda yang tersimbolkan dalam ornamen mode pakaian.
Sumber : http://www.muslimoderat.net/2017/10/sumpah-
pemuda-dan-muktamar-nu-1928.html#ixzz5yM3jpoyM
https://semangatpemuda-indonesia.blogspot.com/p/sejarah-sumpah-pemuda.html
Home
Makna Sumpah Pemuda
Sejarah Sumpah Pemuda
Museum Sumpah Pemuda
Pemuda Masa Kini
Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar
Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Indonesia. Atas
inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat.
Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB),
Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Dalam sambutannya, ketua PPPI Sugondo Djojopuspito
berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara
dilanjutkan dengan uraian Moehammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan
pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah,
bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan
Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah
pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat bahwa
anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di
sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.
Pada rapat penutup, di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Sunario
menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan
Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional.
Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan
dalam perjuangan.
Adapun panitia Kongres Pemuda terdiri dari :
Isi Dari Sumpah Pemuda Hasil Kongres Pemuda Kedua adalah sebagai berikut :
PERTAMA : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah
Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Bertumpah Darah Yang Satu, Tanah Indonesia).
KEDOEA : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia.
(Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Berbangsa Yang Satu, Bangsa Indonesia).
KETIGA : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa
Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia).
Dalam peristiwa sumpah pemuda yang bersejarah tersebut diperdengarkan lagu kebangsaan
Indonesia untuk yang pertama kali yang diciptakan oleh W.R. Soepratman. Lagu Indonesia Raya
dipublikasikan pertama kali pada tahun 1928 pada media cetak surat kabar Sin Po dengan
mencantumkan teks yang menegaskan bahwa lagu itu adalah lagu kebangsaan. Lagu itu sempat
dilarang oleh pemerintah kolonial hindia belanda, namun para pemuda tetap terus menyanyikannya.
Apabila kita ingin mengetahui lebih lanjut mengenai banyak hal tentang Sumpah Pemuda kita bisa
menunjungi Museum Sumpah Pemuda yang berada di Gedung Sekretariat PPI Jl. Kramat Raya 106
Jakarta Pusat. Museum ini memiliki koleksi utama seperti biola asli milik Wage Rudolf Supratman
yang menciptakan lagu kebangsaan Indonesia Raya serta foto-foto bersejarah peristiwa Sumpah
Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 yang menjadi tonggak sejarah pergerakan pemuda-pemudi
Indonesia.
128 komentar: