Anda di halaman 1dari 75

KAMIS, 12 FEBRUARI 2015

KITAB AHKAMUL FUQOHA' Hasil Muktamar NU ke 1


- 7
KITAB AHKAMUL FUQOHA' FI MUQOROROTI MUKTAMAROTI NAHDLOTUL
ULAMA'
HASIL MUKTAMAR NU KE 1-7
Diposting oleh Unknown di 23.59

Sejarah Kebangkitan Nasional


https://generusindonesia.wordpress.com/2013/05/18/sejarah-kebangkitan-nasional/

32 Votes

Sejarah Kebangkitan Nasional


Sobat GenerusIndonesia, Kebangkitan Nasionaladalah Masa dimana Bangkitnya
Rasa dan Semangat Persatuan, Kesatuan, dan Nasionalisme serta kesadaran untuk
memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia, yang sebelumnya tidak pernah
muncul selama penjajahan Belanda dan Jepang. Masa ini ditandai dengan dua
peristiwa penting yaitu berdirinya Boedi Oetomo (20 Mei 1908) dan ikrar Sumpah
Pemuda (28 Oktober 1928). Masa ini merupakan salah satu dampak politik etis
yang mulai diperjuangkan sejak masa Multatuli.

Tokoh-Tokoh
Tokoh-tokoh yang mempolopori Kebangkitan Nasional, antara lain yaitu :

1. Dr. Sutomo
2. Ir. Soekarno
3. Dr. Tjipto Mangunkusumo
4. Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EYD: Suwardi Suryaningrat,
sejak 1922 menjadi Ki Hajar Dewantara)
5. dr. Douwes Dekker dan Lain-Lain
Asal usul Kebangkitan Nasional
Pada tahun 1912 berdirilah Partai Politik pertama di Indonesia (Hindia Belanda),
Indische Partij. Pada tahun itu juga Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang
Islam (di Solo), KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah (di Yogyakarta),
Dwijo Sewoyo dan kawan-kawan mendirikan Asuransi Jiwa Bersama Boemi
Poetra di Magelang. Kebangkitan pergerakan nasional Indonesia bukan berawal
dari berdirinya Boedi Oetomo, tapi sebenarnya diawali dengan berdirinya Syarekat
Dagang Islam pada tahun 1905 di Pasar Laweyan, Solo. Sarekat ini awalnya
berdiri untuk menandingi dominasi pedagang Cina pada waktu itu. Kemudian
berkembang menjadi organisasi pergerakan sehingga pada tahun 1906 berubah
nama menjadi Syarekat Islam.
Suwardi Suryaningrat yang tergabung dalam Komite Boemi Poetera, menulis “Als
ik eens Nederlander was” (“Seandainya aku seorang Belanda“), pada tanggal 20
Juli 1913 yang memprotes keras rencana pemerintah Hindia Belanda merayakan
100 tahun kemerdekaan Belanda di Hindia Belanda. Karena tulisan inilah dr.
Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat dihukum dan diasingkan ke
Banda dan Bangka, tetapi karena “boleh memilih”, keduanya dibuang ke Negeri
Belanda. Di sana Suwardi justru belajar ilmu pendidikan dan dr. Tjipto karena
sakit dipulangkan ke Hindia Belanda. Saat ini, tanggal berdirinya Boedi Oetomo,
20 Mei, dijadikan sebagai Hari Kebangkitan Nasional.(Wikipedia.org)
Incoming Search: memperingati hari Kebangkitan Nasional, Refleksi Kebangkitan
Nasional, sejarah hari Kebangkitan Nasional, momen Kebangkitan Nasional, tokoh
pergerakan Nasional, Budi utomo, tiga serangkai
—————————————–
Galery hari Kebangkitan nasional
—————————————–

Ilustrasi: peringatan Harkitnas (Sumber antaranews.com)


Monumen Kebangkitan Nasional di Solo (gambar: Wikipedia)
Galery Hari Kebangkitan nasional
Sampul Panggil Aku Kartini Saja, dikompilasi oleh Pramoedya
Ananta Toer.

Navigasi pos
← Perspektif dan refleksi hari kebangkitan nasional
Budi Utomo →
Tema dan Logo Hari Sumpah Pemuda 2017
 477.253 hits
Mencari Artikel

Cari
Arsip

Arsip
Top Posts & Halaman


Guru Masih terlalu Dominan di Kelas

Metode Belajar Perkalian dengan Jari Tangan


Kapolsek Perempuan Pertama di Langsa Aceh, AKP Fitrisia Kamila


Sejarah Kelahiran Polwan Indonesia


Polri Restui Polwan Berjilbab


Fatin Sidqia Lubis Juara X Factor Indonesia I


Macam-Macam Metode pembelajaran


Sekolah Taman Siswa


Tjoet Nyak Meutia


Faktor Penyebab Kesulitan Siswa dalam Belajar
Tulisan Terakhir

 Cinta Pada Orang Miskin


 Menjaga Aurat bagi Pria dan Wanita
 Kisah Ashabul Ukhdud
 Makna Mimpi
 Cara Ampuh Mengatasi Rasa Malas
DIALEKTIKA
Sumpah Pemuda 1928: Pemimpin
Zaman Now Punya Andil Besar
Lahirkan Pemuda Hebat
Kolumnis Oleh Amos Sury El Tauruy, S.Sos / Editor oleh Bobby San

Posted on 28 October 2018


STRATEGI.ID
PUNYA ANDIL- BESAR
SUMPAH LAHIRKAN
PEMUDAPEMUDA
1928: PEMIMPIN
HEBAT ZAMAN NOW

COMMENTS

Strategi.id – Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 menjadi tonggak


sejarah Kebangkitan Nasional yang sesungguhnya. Itu harus diakui,
tentunya tanpa mengabaikan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908.
Namun menurut saya, peristiwa 1908 adalah Kebangkitan Nasional
bagi Kaum Priayi Jawa, juga peristiwa yang terjadi pada 18
September 1912 (perubahan nama dari Sarekat Dagang Islam
menjadi Sarekat Islam) merupakan kebangkitan kaum Islam
Nasionalis di bumi Nusantara. Baru lah 28 Oktober 1928, seluruh
anak Bangsa Indonesia dari latar belakang suku dan agama
menyatakan persatuannya.
Di tengah-tengah keterbatasan dan di bawah ancaman
kemungkinan hilangnya nyawa, mereka berani mendeklarasikan
diri sebagai suatu Bangsa yang gagah serta menyatakan sumpah
bertumpah darah satu , tanah air Indonesia, Berbangsa satu,
Bangsa Indonesia dan satu bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Ketika ikrar itu dibacakan, dan lagu Indonesia Raya untuk pertama
kali dilantunkan dengan biola dari WR Supratman, menjadi pertanda
lahirnya Bangsa Indonesia! Peristiwa itu terjadi hampir seabad lalu,
tapi hingga kini ketika kita membaca sejarahnya ataupun melihat
cuplikan adegan Sumpah Pemuda di dalam Film WR Supratman,
semangat nasionalisme akan membuat hati bergetar dan darah
berdesir kencang penuh kebangaan.

Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 menjadi pelengkap semangat


perjuangan untuk memerdekakan Bumi Nusantara dari kolonisasi
bangsa asing, yang menghisap tanah tumpah darah kita selama
ratusan tahun. Juga menjadi cikal bakal berdirinya Negara Republik
Indonesia pada 17 Agustus 1945. Dalam peristiwa berdirinya Bangsa
Indonesia 1928 dan Negara Republik Indonesia 1945, pemuda
memiliki peran yang sangat besar. Dalam perjalanan pasca
kemerdekaan Negara Republik Indonesia, pemuda tetap mengambil
posisi sebagai garda terdepan untuk memberikan penyadaran kepada
bangsa dan negara.
Terlepas dari ketidak sukaan Pemuda Angkatan 66 yang
menumbangkan Presiden Sukarno, harus diakui mereka
memberikan sumbangan sejarah dalam pergerakan pemuda di
Indonesia. Juga pemuda angkatan 1970-an. Serta Pemuda
Angkatan 1998 yang menjadi pelaku sejarah Terbukanya Peran
Demokrasi dan Kebebasan Berbicara/Menyampaikan Pendapat
yang kurang lebih 32 tahun dikekang di bawah pemerintahan
Orde Baru.

Sebagai Pemuda Angkatan Milenial, saya berani mengatakan


harusnya partai-partai yang hari ini ada, termasuk Presiden Jokowi
yang hari ini menjabat sebagai RI-1, berterimakasih kepada Pemuda
Angkatan 1998. Khususnya mereka yang menjadi pelaku sejarah
menumbangkan rezim otoriter Orde Baru. Tanpa mereka, belum tentu
bisa ada partai-partai dan presiden dari luar lingkaran elite
kekuasaan.

Sudah 90 tahun usia Sumpah Pemuda 1928, 20 tahun usia Reformasi


98. Pemuda zaman now, harusnya lebih hebat dari pemuda zaman
1928, 1966 atau bahkan 1998. Namun terkadang kehebatan pemuda
zaman now terbentur pada daya dan dan, serta kadang tak bisa
berbuat apa-apa karena bukan anak siapa-siapa. Tapi itu seharusnya
bukan kendala untuk melakukan sedikit perubahan yang membawa
negeri ini ke arah yang lebih baik, dan menjadikan Indonesia kembali
Raya! Pemuda zaman now harus lebih hebat, demikian pula
pemimpin zaman now.

Baca juga : Pemuda Indonesia Zaman Now, Jangan Mudah


Dihasut dan Terpecah Belah!
Belakangan ada kabar salah satu Cawapres disamakan dengan Bung
Hatta. Juga ada capres yang kelihatannya meniru gaya-gaya Bung
Karno. Harus diingat, zaman Bung Karno dan Bung Hatta sudah lewat
70 tahun lebih. Keduanya mempunyai tantangan di zamannya sendiri,
dan kita mempunyai tantangan di zaman kita sendiri. Platform
pemikiran keduanya memang tak lekang oleh waktu dan tak habis
dimakan zaman, tapi kalau bicara gaya kepemimpinan serta
tantangannya, jelas jauh berbeda.

Baik pemuda zaman now dan pemimpin muda zaman now memiliki
tantangan yang berbeda dengan pemuda 1928 dan pemimpin awal-
awal Kemerdekaan. Jadi ingat! Bukan sekadar meniru gaya
berpakian, berpidato dan lain sebagainya, tapi tirulah kesederhanaan
serta ambil platform pemikirannya untuk membuat Indonesia Menjadi
Raya!

Pemimpin yang hebat bukanlah pemimpin yang hanya


memikirkan dirinya dan masa pada saat dia memimpin saja, tapi
juga memikirkan bagaimana dia mencetak generasi muda yang
akan memimpin setelah dirinya selesai. Pemimpin yang hebat
harus bisa menciptakan iklim demokrasi yang memberikan
peluang bagi setiap pemuda untuk memberikan kontribusi nyata
bagi pembangunan Bangsa dan Negaranya.

Karena bisa jadi, pemimpin hebat bukan datang dari golongan ningrat
yang banyak duit, atau pemilik partai politik. Melainkan lahir dari
Rakyat Biasa. Oleh karena itu Pemimpin Hebat adalah pemimpin
yang bisa menghentikan sistem demokrasi kapitalistik yang oligopoli
dan melahirkan demokrasi yang sama rasa sama bahagia di dalam
Rumah Bagi Seluruh Anak Bangsa Indonesia.

Penulis Amos Sury El Tauruy, S.Sos aktif sebagai Pengamat Masalah


Papua
MORE
TRENDING NOW:Banser Kalbar Adakan Pelatihan Penanggulangan
KebakaranKasatkornas Banser: Tancapkan Bendera Ansor di Setiap Jengkal Tanah

FRAGMEN

Kiai Wahab Chasbullah, Inisiator


Gerakan Pemuda
Sabtu 28 Oktober 2017 7:29 WIB

Bagikan:

KH Abdul Wahab Chasbullah.


Gerakan pemuda memiliki peran penting dalam pergerakan nasional di tengah Indonesia masih
dalam kondisi terjajah. Jiwa, semangat, dan pemikiran mereka dibutuhkan meskipun harus ada
motor penggerak bagi mereka agar energi perjuangannya tumbuh. Semangat menjaga dan
mencintai tanah air harus ditanamkan di dada mereka. Langkah ini bisa dilakukan diantaranya oleh
orang yang lebih tua dan telah makan garam dalam pergerakan nasional melawan penjajah.
Perlawanan terhadap penjajah konsisten dilakukan oleh kalangan pesantren, yaitu santri dan kiai.
Dalam sejarah penjajahan di Indonesia, tercatat hanya lembaga pendidikan Islam klasik ini yang
mampu melakukan perlawanan, baik secara lahir maupun batin, fisik maupun non-fisik. Tidak bisa
diintervensi oleh politik adu domba Belanda.

Selain riyadhoh yang setiap hari dilakukan oleh para kiai sebagai bagian dari perjuangan batin,
mereka juga melakukan perang kebudayaan dengan melarang para santri dan rakyat secara umum
untuk meniru gaya pakaian penjajah. Puncaknya ketika Pendiri NU, Hadratussyekh Muhammad
Asy’ari (1841-1947) mengeluarkan Fatwa Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 untuk mengusir
pasukan sekutu usai Jepang menyerah. Dalam puncak pertempuran hebat ada 10 November, para
santri dan kiai terlibat langsung peperangan fisik, baik dengan tentara Jepang maupun sekutu.

Gelora dan semangat perjuangan mereka tidak terlepas dari benih-benih pergerakan yang dilakukan
oleh para kiai jauh sebelum proklamasi kemerdekaan tercapai bangsa Indonesia dengan
mencancapkan ruh cinta tanah air kepada para generasi muda bangsa.

Ialah Kiai Haji Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971), ulama asal Jombang, murid sekaligus teman
seperjuangan KH Hasyim Asy’ari, motor pergerakan perjuangan pesantren dalam melawan penjajah,
dan inisiator gerakan pemuda bernama Syubbanul Wathan (pemuda cinta tanah air) melalui
Perguruan Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air) yang didirikannya pada 1916.

Konsep cinta tanah air melalui pendidikan ini menyadarkan para generasi muda agar bersatu
melawan penjajah demi kemerdekaan bangsa Indonesia. KH Wahab Chasbullah berhasil mendirikan
perguruan Nahdlatul Wathan atas bantuan beberapa kiai lain dengan dirinya menjabat sebagai
Pimpinan Dewan Guru (keulamaan). Sejak saat itulah Nahdlatul Wathan dijadikan markas
penggemblengan para pemuda. Mereka dididik menjadi pemuda yang berilmu dan cinta tanah air.

Bahkan setiap hendak dimulai kegiatan belajar, para murid diharuskan terlebih dahulu menyanyikan
lagu perjuangan dalam bahasa Arab ciptaan Mbah Wahab sendiri. Kini lagu tersebut sangat populer
di kalangan pesantren dan setiap kegiatan Nahdlatul Ulama (NU), yakni Yaa Lal Wathan yang juga
dikenal dengan Syubbanul Wathan. Benih-benih cinta tanah air ini akhirnya bisa menjadi energi
positif bagi rakyat Indonesia secara luas sehingga perjuangan tidak berhenti pada tataran wacana,
tetapi pergerakan sebuah bangsa yang cinta tanah airnya untuk merdeka dari segala bentuk
penjajahan.

Semangat nasionalisme Kiai Wahab yang berusaha terus diwujudkan melalui wadah pendidikan juga
turut serta melahirkan organisasi produktif seperti Tashwirul Afkar (gerakan pencerahan) yang
berdiri tahun 1919 dan Nahdlatut Tujjar (gerakan kemandirian ekonomi). Selain itu, terlibatnya Kiai
Wahab di berbagai organisasi pemuda seperti Indonesische studie club, Syubbanul Wathan, dan
kursus Masail Diniyyah bagi para ulama muda pembela madzhab tidak lepas dari kerangka tujuan
utamanya, membangun semangat nasionalisme bangsa Indonesia yang sedang terjajah.

Dalam mengembangkan Madrasah Nahdlatul Wathan dan Tashwirul Afkar ini, Kiai Wahab berupaya
menyebarkan 'virus' cinta tanah air (hubbul wathan) secara luas di tengah masyarakat dengan
membawa misi tradisi keilmuan pesantren. Perjuangan mulia ini tentu harus digerakkan secara
terus-menerus melalui setiap lembaga pendidikan yang ada saat ini sehingga cita-cita luhur pendiri
bangsa untuk memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) semakin kuat dan tak
pernah surut.

NU dan Gerakan Sumpah Pemuda

Tidak bisa dipungkiri, semangat cinta tanah air dari sang inisiator gerakan pemuda sekaligus sang
arsitek pegerakan nasional Kiai Wahab Chasbullah inilah yang sedikit banyak menginspirasi dan
menggerakaan para pemuda sesudahnya dalam forum sumpah pemuda pada 1928, dua tahun
setelah NU berdiri pada 1926 di Surabaya. Berdirinya NU sendiri merupakan puncak pergerakan Kiai
Wahab yang sebelumnya mendirikan sejumlah perkumpulan sebagai embrio lahirnya Nahdlatul
Ulama.

Satu tahun sebelum deklarasi Sumpah Pemuda, tepatnya pada 9 Oktober 1927, para kiai dalam
forum tertinggi NU memutuskan untuk menabuh genderang perang kebudayaan. Dalam perang
kebudayaan ini, para kiai NU di antaranya melakukan pelarangan budaya Belanda yang tersimbol
dalam ornamen mode pakaian.

Keputusan NU tahun 1927 tersebut bentuk perlawanan budaya para kiai terhadap penjajah. Perang
kebudayaan yang digelorakan para kiai NU itu dalam implementasinya berwujud boikot dan
delegitimasi atas budaya yang bersumber dari penjajah. Perang kebudayaan tersebut secara ekstrem
juga berwujud legitimasi para kiai NU untuk berperang melawan penjajah.

Keputusan NU tentang perang kebudayaan tersebut secara langsung melahirkan hukum kewajiban
muslim Nusantara untuk berperang mengangkat senjata. Sebab untuk kali pertama, NU
menggolongkan penjajah saat itu sebagai kaum kafir yang harus diperangi dan ditundukkan.
Keputusan NU untuk perang kebudayaan itu menyebar ke tengah masyarakat. Muslim Nusantara
merespon cepat dengan melakukan pergerakan melawan penjajah. Segala macam asesoris,
ornamen, simbol yang berbau penjajah mendapat penolakan keras dari masyarakat desa.

Selama satu tahun NU melakukan perang kebudayaan dengan berbagai konsekuensinya. Babak
selanjutnya terjadi pada tanggal 9 September 1928 saat NU menggelar Muktamar sebulan sebelum
deklarasi Sumpah Pemuda. Saat Muktamar NU 1928 tersebut para kiai memutuskan untuk
melanjutkan perang kebudayaan menghadapi penjajah. Para kiai pun menambah agenda baru
konfrontasi dengan Belanda dengan memasukkan isu ekonomi dan politik.

Pada isu ekonomi para kiai melakukan delegitimasi mata uang penjajah. Sedangkan isu politik
digulirkan dengan mempertanyakan keabsahan kekuasaan penjajah di bidang keagamaan. Maka
menjelang Sumpah Pemuda, perlawanan para kiai NU maju dua langkah. Pertama, menyisir dari
kelemahan mata uang penjajah. Kedua, menyisir dari kelemahan kekuasaan penjajah di bidang
keagamaan.

Satu bulan pasca Muktamar NU ke-3, tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1928, Sumpah Pemuda
dideklarasikan dengan digawangi oleh Sugondo Djojopuspito, RM. Djoko Marsaid, Muhammad
Yamin, dan Amir Sjarifuddin. Tema besar Sumpah Pemuda cepat direspon masyarakat mengingat
Sumpah Pemuda adalah bagian dari babak perjuangan anak bangsa, termasuk NU yang sejak awal
sudah melakukan sejumlah perjuangan. Inilah yang dimaksud bahwa NU adalah bagian dari gerakan
sistematik kebangkitan nasional. Termasuk membangun kesadaran berbangsa para
pemuda. (Fathoni)

Tags:
#fragmen
Bagikan:
RABU 25 OKTOBER 2017 22:0 WIB

Soal Bermedia Sosial, Ini Pesan Kiai


Akyas Buntet

Foto: buntetpesantren.org
Bicara tentang media sosial, kita tak lepas dari status, komentar, dan publikasi ulang terhadap link
atau status yang dibuat orang lain. Mudahnya mengakses media sosial tersebut membuat orang
gemar membuat status atau mengisi kolom komentar. Publikasi ulang juga sering dilakukan.
Media sosial kerap kali bukan lagi menjadi media untuk berinteraksi antarindividu, tetapi seakan
meluas pada media psikologi. Ya, tentu kita sering melihat bagaimana orang-orang mengungkapkan
perasaannya di situs Facebook, misalnya. Hal-hal yang seharusnya menjadi privasi diri sendiri, kini
sangat mudah dikonsumsi oleh masyarakat umum. Status yang kita buat tidak terbatas hanya pada
lingkup regional atau nasional, tapi bahkan internasional, tidak terbentur tembok batas kenegaraan.

Penulis jadi ingat saat upacara tiap hari Senin di Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama (MANU) Putra
Buntet Pesantren Cirebon, tempat penulis mengaji. Pembina Upacara KH Ade Nasihul Umam dalam
amanatnya menyampaikan satu syiir dengan bahr thowil karya KH Akyas Abdul Jamil berikut.

َ َ‫ان فَقَ ْولُك‬


‫ضاءِّ ع‬ َ ‫طاتْ ت َيتْ َو‬
ٍ ‫ ت ُ َبا ِّل ْي ِّب ِّجي َْر‬# ‫طاتْ َو ََل‬ َ ‫ع َو‬
ْ ‫ِّيع تُو‬
ْ ‫عت‬ َ ُ‫ت‬
ْ ‫ص ِّويْتُ ت َا‬

Tushowwitu tang ting tung wa tot tet wa tot wa laa # tubali bijironin faqouluka dloi’un

Kamu bicara tang ting tung dan tot tet tot (macam-macam) dan tidak memperhatikan tetanggamu,
maka ucapanmu itu sia-sia

Jauh sebelum media sosial itu lahir, Muqoddam Tarekat Tijani itu sudah mengingatkan kita untuk
tidak perlu banyak berkomentar ataupun menulis status jika hanya mengganggu tetangganya. Dalam
konteks media sosial, tentu mengganggu pembaca atau pengguna media sosial lainnya.

Secara langsung, beliau tidak mengatakan demikian. Tapi, jika kita maknai lebih jauh lagi akan
beroleh kesimpulan ke sana. Atau lebih halusnya, adik Kiai Abbas Buntet itu membolehkan siapapun
berkomentar, asalkan baik dan bermanfaat.

Oleh karena itu, dalam bermedia sosial, jari kita perlu dijaga. Jangan sampai dengan mudah
membagikan link sebelum diyakini kevalidannya. Perihal pengunggahan status pun, mestinya kita
perhatikan betul. Masihkah kita perlu berbuat kesia-siaan? (Syakir Niamillah Fiza/Kendi Setiawan)

JUMAT 13 OKTOBER 2017 18:5 WIB

Mahbub Djunaidi: Jangan Jadi


Wartawan Penakut!
Mahbub Djunaidi (Ilustrasi: omah aksoro)
Dek, kalau ingin kaya, jangan jadi wartawan, jadilah pengusaha. Kalau penakut jangan jadi
wartawan, jadilah tukang mie bakso.

Ungkapan itu dikemukakan oleh sang pendekar pena, kolomnis ternama, H. Mahbud Djunaidi, pada
suatu kesempatan di kantor perwakilan Harian Umum Pelita Jawa Barat, Gedung Milamar, Jalan Asia
Afrika, Bandung.

Pada hari-hari tertentu, bisa bertemu dengan Mahbub di kantor perwakilan Harian Umum Pelita
(1980 – 1982), karena ia yang tinggal di Jalan Turangga 1, Bandung itu, merupakan penasihat
perwakilan Harian Umum Pelita Jawa Barat, sedangkan kepala perwakilannya, Agus Suflihat Manaf
atau Agus SM.

Mahbub berpenampilan sangat sederhana. Terkadang kepergok mengenakan pakaian olahraga (baju
dan celana singlet). Jika bertemu selalu memberi nasihat-nasihat tentang kewartawanan, tentang
tulis menulis, ya termasuk nasihatnya, "Dek kalau ingin kaya, jangan jadi wartawan, jadilah
pengusaha. Kalau penakut jangan jadi wartawan, jadilah tukang mie bakso."

Memang, jadi wartawan jangan berharap kaya. Memang jadi wartawan bukan untuk mengerjar
kekayaan. Pada masa-masa itu, orang jadi wartawan, karena tuntutan nurani, sehingga dikenal dan
lahir sebutan wartawan idealis. Artinya wartawan yang benar-benar menjalankan tugas dan
fungsinya tanpa pamrih, wartawan hakikatnya pejuang. Apalagi pada masa-masa perjuangan
sebelum Indonesia merdeka, wartawan berjuang dengan kekuatan penanya untuk kemerdekaan
negeri ini.

Wajarlah jika pada masa-masa itu, jadi wartawan jangan berharap kaya sebagaimana dikemukakan
mantan Ketua PWI, dan mantan Ketua NU periode tahun itu. Pada masa-masa itu, wartawan yang
memiliki kendaraan beroda dua, dan empat sangat jarang. Mahbub pun memiliki kendaraan sedan
VW berwarna biru telur asin, mungkin bukan dari hasil jadi wartawan, karena ayahnya Pak Djunaidi,
merupakan tuan tanah, orang kaya Betawi.

Walaupun pada masa-masa itu, sebut saja pada masa Orde Baru, kebebasan wartawan dikekang,
tetapi harkat derajat wartawan sangat tinggi, dihormati oleh pejabat maupun masyarakat. Pejabat,
masyarakat sangat segan terhadap yang namanya wartawan. Wartawan terutama di daerah
jumlahnya sangat sedikit. Dapat dihitung dengan jari. Di satu kabupaten paling banyak rata-rata
sembilan atau 11 orang.

Kondisi seperti itu, tentunya jauh berbeda dengan kondisi sekarang, terutama sejak era reformasi.
Ketika kran kebebasan dibuka, jumlah wartawan di daerah, di salah satu kabupaten, wow, bisa
mencapai 300 orang, bahkan lebih.
Pers masa sekarang pun adalah pers industri, walaupun tidak dapat menjamin wartawannya hidup
kaya, tetapi paling tidak hidupnya mapan terutama yang bekerja pada penerbitan-penerbitan media
tertentu. Namun, boleh jadi, lebih banyak wartawan yang hidupnya tidak kaya.

Jangan Penakut

Kalau penakut, jangan jadi wartawan, itu ditunjukan oleh Mahbub Djunaidi, bagaimana
keberaniannya menulis sehingga beliau sering disebut sang pendekar pena. Tulisan-tulisannya
ringan, asyik dibaca, berani mengkritik keras pemerintahan, kadang-kadang dengan gaya bahasa
yang halus dan santun.

Suatu hari,saya menulis berita di tempat saya bekerja tentang acara seremonial pelantikan kepala
PGA Negeri 6 Tahun. Kepala Departemen Agama setempat dalam pidatonya
mengatakan"......tingkatkan pembangunan garis miring Golkar." Waktu itu, saya pun mengkonfirmasi
kepala Depag, mempertanyakan ucapannya apa yang dimaksud dengan "tingkatkan pembangunan
garis miring Golkar."

Dua hari kemudian, berita itu dimuat tanggal 26 Desember 1980 (karena waktu itu mengirim berita
ke redaksi di Jakarta melalui pos, sampainya dua hari, karena belum ada fax, apalagi email seperti
sekarang). Mahbub, mengapresiasi berita tersebut, pada tulisan kaki halaman pertama dengan judul
"Orang Depag Cianjur Mesti Ditertibkan."

Tulisan itu, sungguh menghebohkan banyak pihak baik di pemerintahan, maupun masyarakat. Pagi
itu, koran terjual habis di agen dan pengcer. Dampak dari tulisan sang Pendekar Pena, H. Mahbub
Djunaidi, semakin bertambah kental kecurigaan dan julukan yang dialamatkan kepada saya sebagai
wartawan "hijau' (Islam), wartawan PPP (Partai Persatuan Pembangunan), karena pada masa itu,
Islam identik dengan PPP sebagai partai yang berasaskan Islam. Padahal mereka sendiri yang berada
di partai lain, sama-sama pemeluk Islam, bahkan, saya sendiri sering disebut wartawan "hijau"
ekstrem.

Tidak hanya itu, hari-hari berikutnya koran tempat saya bekerja dilarang masuk desa. Dengan begitu,
semakin banyak orang yang penasaran sehingga membeli dan berlanganan koran tersebut. Banyak
PNS yang membeli koran kemudian dilipat di saku belakang atau diselipkan di bagian bokong, untuk
dibaca di rumah, karena kalau dibaca di kantor takut dicurigai atau disebut orang PPP, karena
membaca koran tersebut, identik dengan PPP, identik dengan Islam.

Itulah secuil kenangan dengan Almarhum Mahbub Djunaidi, yang lahir tanggal 27 Juli 1933 di
Jakarta, kini telah tiada. Beliau meninggal dunia di Bandung pada tanggal 1 Oktober 1995. Semasa
hidupnya, pernah jadi Ketua Umum PB PMII tiga periode. Pernah menjabat sebagai Ketua Umum
PWI Pusat, (1979 – 1983), anggota DPR GR (1967-1971), Wakil Ketua PBNU (1984-1989), Wakil
Sekjen DPP PPP, anggota DPR/MPR RI (1971-1982), Ketua Majelis Pendidikan Soekarno dan anggota
mustasyar PBNU (1989-1994).

Beliau adalah penulis yang sangat terkenal pada zamannya, banyak menulis di harian Kompas pada
kolom Asal-Usul, di Harian Umum Pelita dan Pelita Edisi Minggu pada kolom Sekapur Sirih,
Koran Pikiran Rakyat, Sinar Harapan, Tempo, Koran Gala Bandung, dan lainnya. Banyak sudah
tulisannya yang dibukukan. (Man Suparman)

KAMIS 5 OKTOBER 2017 17:30 WIB

Saat Kiai Wahab Inginkan Laskar


Hizbullah Seperti Pemuda Ashabul
Kahfi

Laskar Hizbullah (buku Laskar Ulama-Santri).


Pendudukan Jepang atas Indonesia tergoyang ketika mereka kalah perang dengan tentara sekutu
(Inggris-Belanda). Seketika itu pula mereka berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan
kekuatan perangnya dengan melatih para pemuda Indonesia secara militer guna berperang melawan
sekutu. Para pemuda dimaksud tidak lain adalah para santri.
Karena sudah mempunyai kesepakatan diplomatik dengan KH Muhammad Hasyim Asy’ari sebagai
Ketua Jawatan Agama (Shumubu) yang diwakilkan kepada anaknya KH Abdul Wahid Hasyim, Nippon
menyampaikan gagasannya itu kepada Kiai Hasyim.

Setelah melalui berbagai pertimbangan, Kiai Hasyim menyetujui langkah Jepang tersebut dengan
syarat para pemuda yang dilatih militer itu berdiri sendiri tidak masuk dalam barisan Jepang. Itulah
awal terbentuknya laskar yang diberi nama oleh Kiai Hasyim sebagai Laskar Hizbullah.

Laskar Hizbullah ini dibentuk pada November 1943 beberapa minggu setelah pembentukan tentara
PETA (Pembela Tanah Air). Meski kedua badan kelaskaran itu berdiri sendiri, tetapi secara teknik
militer berada di satu tangan seorang perwira intelijen Nippon, Kapten Yanagawa.

Sebagai seorang kiai, Hadratussyekh Hasyim Asy’ari cukup mumpuni dalam strategi perang. Di saat
sejumlah orang memandang bahwa keputusan Kiai Hasyim merupakan simbol ketundukan kepada
Jepang karena menyetujui para santri dilatih militer oleh Jepang. Namun di balik semua itu, guru
para kiai di tanah Jawa ini ingin mempersiapkan para pemuda secara militer melawan agresi
penjajah ke depannya.

Betul saja apa yang ada di dalam pikiran Kiai Hasyim, Jepang menyerah kepada sekutu. Namun
Indonesia menghadapi agresi Belanda II. Di saat itulah para pemuda Indonesia melalui Laskar
Hizbullah, dan lain-lain sudah siap menghadapi perang dengan tentara sekutu dengan bekal
gemblengan ‘gratis’ oleh tentara Jepang.

Saat itu, Angkatan pertama latihan Hizbullah di daerah Cibarusa, dekat Cibinong, Bogor awal tahun
1944 diikuti oleh 150 pemuda. Mereka datang dari Karesidenan di seluruh Jawa dan Madura yang
masing-masing mengirim 5 orang pemuda.

Pusat latihan Hizbullah di Cibarusa itu dikeola oleh Markas Tertinggi Hizbullah yang dipimpin oleh
Zainul Arifin. Sebagai sebuah strategi perang, latihan ini perlu dilakukan oleh sebanyak-banyaknya
pemuda. Namun, disayangkan latihan Hizbullah ini diselenggarakan secara minim sekali.

Kondisi ini menjadi perhatian serius KH Wahid Hasyim sebagai penanggung jawab politik dalam
Laskar Hizbullah. “Kita dikejar waktu. Nippon sebenarnya mencurigai tujuan Hizbullah. Yang
menyetujui Hizbullah kan Cuma kita,” ucap Kiai Wahid mengemukakan kegelisahannya.

Tetapi, ayah dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini tidak mau ketinggalan kereta. Walau
bagaimana pun, perjuangan kemerdekaan harus dipersiapkan, baik kekuatan militernya, di samping
kekuatan politiknya. Kekuatan politik yang dimaksud ialah politik kenegaraan yang berkepentingan
memerdekakan Indonesia dari kungkungan penjajah. Langkah ini membutuhkan ongkos yang tidak
sedikit.

Kegundahan Kiai Wahid tersebut mendapat siraman petunjuk dari KH Abdul Wahab Chasbullah. Kiai
Wahab menilai, para kiai dan pemimpin laskar jangan hanya melihat dari ukuran lahir. Karena
menurutnya, belum tentu jika disediakan biaya besar akan berdampak pada hasil yang maksimal.

“Bia menderita asal penggemblengan jiwanya hebat seperti pemuda-pemuda Ashabul Kahfi, hasil
akhir yang maksimal bisa tercapai juga,” tutur Kiai Wahab memberi masukan.

Bicara tentang Ashabul Kahfi, sebenarnya berapakah jumlah pemuda-pemuda itu persisnya?” tanya
KH Mukhtar, salah satu anggota di bawah kepemimpinan Zainul Arifin.

“Al-Qur’an sendiri dengan tegas mengatakan, yang tahu jumlah persisnya hanyalah Allah. Kita tidak
usah berselisih mengenai berapa sebenarnya jumlah pemuda-pemuda Ashabul Kahfi itu,” jawab Kiai
Wahab.

“Dalam Al-Qur’an Cuma disebut bertiga. Adapun yang keempatnya adalah anjing
mereka. Roobi’uhum kalbuhum,” Kiai Wahab melanjutkan.

“Tapi ada yang mengatakan mereka berlima yang keenamnya adalah anjing, saadisuhum kalbuhum,”
sela KH Farid Ma’ruf, anggota lainnya.

“Ada lagi yang mengatakan Ashabul Kahfi itu tujuh orang, yang kedelapan adalah anjing mereka. Wa
tsaaminuhum kalbuhum,” kali ini Kiai Wahid Hasyim menimpali.

Di tengah diskusi mereka perihal jumlah pemuda Ashabul Kahfi, tetiba masuklah seorang Nippon
berseragam Sersan Mayor, Sidokan, pelatih Hizbullah. Kedatangannya sekonyong-konyong tanpa
diperkiarakan sebelumnya. Tentu saja menjadi sebuah kejutan tersendiri bagi para kiai.

Namun, Kiai Wahab bereaksi secara cepat dengan datangnya tentara Nippon tersebut. Dengan
nyaringnya ia mengatakan: “Wa taasi’uhum...qirduhum” (yang kesembilan adalah...monyet mereka).
Seketika meledaklah gelak tawa serentak. Orang Nippon tersebut juga ikut ngakak meskipun dia
sama sekali tidak tahu apa yang dimaksud Kiai Wahab kepadanya.
Obrolan tersebut menunjukkan bahwa meskipun dalam kondisi genting memimpin dan
mempersiapkan strategi dalam mengusir penjajah, para kiai tidak lepas dari karakteristik asalanya
yaitu pesantren. Dengan mudahnya mereka mengubah suasana yang membutuhkan pemikiran
serius menjadi kondisi yang riang gembira. (Fathoni Ahmad)

Rekomendasi
 Kalam Ulama
 Khazanah
 Renungan

MusliModerat.net Muktamar NU Sumpah Pemuda Sumpah Pemuda dan


Muktamar NU 1928

Sumpah Pemuda dan


Muktamar NU 1928
Sabtu, Oktober 28, 2017
MusliModerat.net - Sumpah Pemuda yang dikumandangkan
pada 28 Oktober 1928 hingga kini masih terngiang kuat di
telinga masyarakat Indonesia. Sejarah Sumpah Pemuda
selalu menarik dibaca. Setiap membacanya menghadirkan
gambaran anak muda yang energik yang patriotik.
Generasi muda di era kini perlu mensyukuri kenikmatan
Tuhan yang berbentuk kehidupan merdeka nan damai.
Hanya dengan kondisi seperti ini terbuka kesempatan untuk
merealisasikan cita-cita Sumpah Pemuda.

Baca juga:
 Hari Sumpah Pemuda; Mengenal KH Wahab Chasbullah Sang
Inisiator Gerakan
 Memaknai Sumpah Pemuda dengan Mengenang Rianto
 Habib Ali Kwitang Berpidato di Muktamar NU Bandung 1932
 Sumpah Pemuda dan Muktamar NU 1928

Deklarasi Sumpah Pemuda tentu tidak berdiri sendiri. Waktu


dan momentum Sumpah Pemuda berkaitan erat dengan
dinamika anak bangsa sebelumnya. Spirit Sumpah Pemuda
terbangun dari sejarah bangsa besar yang sedang berproses
mewujudkan cita-cita besar: Merdeka! Maka deklarasi
Sumpah Pemuda boleh saja apa adanya dan dikreasi oleh
anak-anak muda sederhana. Namun faktanya Sumpah
Pemuda telah menjadi penggalan sejarah hebat yang mampu
memberi jejak emas anak muda dalam perjalanan bangsa
Indonesia menuju kemerdekaan.

Sumpah Pemuda termasuk bagian dari proses gerakan


kebangsaan itu. Inilah warna perjuangan baru anak muda
Nusantara menuju kemerdekaan: perang kebudayaan! Anak
muda bersatu yang berupaya memelihara dan memupuk
kekuatan rasa kebangsaan dan cinta Tanah Air.

Agenda besar Sumpah Pemuda tentu kemerdekaan tanah air


dari penjajah. Isu yang diusung pun sangat substansial: satu
bangsa, bahasa dan Tanah Air. Perang kebudayaan yang
tersimbolkan dalam Sumpah Pemuda ini berimbas sosial
politik sangat besar sepanjang sejarah Indonesia.

Penggalan sejarah Sumpah Pemuda sudah banyak yang


menulis dan hingga kini belum kering sumber sejarah itu.
Sumpah Pemuda memang penting dan sangat berharga bagi
bangsa Indonesia. Karena itu tergelitik juga untuk bertanya,
di manakah posisi dan peran Nahdlatul Ulama dalam konteks
Sumpah Pemuda?

Pada kesempatan ini saya ingin menulis secuil catatan


tentang para kiai Nahdlatul Ulama menjelang deklarasi
Sumpah Pemuda. Sebagaimana telah banyak ditulis para
sejarawan bahwa Nahdlatul Ulama dideklarasikan sebagai
muara dari tiga gerakan aktivis pesantren, yaitu gerakan
pencerahan (tashwirul afkar), gerakan nasionalisme
(nahdlatul wathan) dan gerakan kemandirian ekonomi
(nahdlatut tujjar). Kehadiran NU pada 1926 itu tak lebih dari
tahapan dari proses gerakan kebangsaan yang makin
menguat memasuki abad 20.

Pada saat momentum Sumpah Pemuda, NU masih memasuki


umur tahun ke-3. NU belum populer sebagai organisasi
berbasis massa apalagi hidup di era penjajah. Namun meski
masih bayi, tokoh-tokoh NU era itu bukanlah orang asing di
dunia pergerakan. Karena itu NU pun mampu bergerak
cepat.

Pelaku sejarah, almarhum Ruslan Abdul Gani mencatat NU


tumbuh cepat dan nyaris merata. Sehingga terasakan dalam
kelahiran NU terdapat jiwa self help<\/i>. Ruslan menambahkan,
deklarasi NU itu wujudnya adalah gerakan sistematis muslim desa yang
termasuk mata rantai kebangkitan rakyat secara nasional.

Pada kesempatan ini saya merujuk pada dokumen institusi NU saja. Setahun
sebelum deklarasi Sumpah Pemuda, tepatnya pada tanggal 9 Oktober 1927,
para kiai NU dalam forum tertinggi NU memutuskan menabuh genderang
perang kebudayaan. Para kiai NU menyasar pada pelarangan budaya
Belanda yang tersimbolkan dalam ornamen mode pakaian.

Ahmad Syalabi (sejarawan Mesir) mencatat bahwa keputusan NU tahun


1927 tersebut bentuk perlawanan budaya para kiai terhadap penjajah.
Perang kebudayaan yang digelorakan para kiai NU itu dalam
implementasinya berwujud boikot dan delegitimasi atas budaya yang
bersumber dari penjajah. Perang kebudayaan tersebut secara ekstrem juga
berwujud legitimasi para kiai NU untuk berperang melawan penjajah.
Keputusan NU tahun 1927 tentang perang kebudayaan secara langsung
memang melahirkan hukum kewajiban muslim Nusantara untuk berperang
mengangkat senjata. Sebab untuk kali pertama, NU menggolongkan penjajah
saat itu sebagai kaum kafir yang harus diperangi dan ditundukkan.

Keputusan NU tahun 1927 untuk perang kebudayaan cepat tersosialisasi ke


tengah masyarakat. Muslim Nusantara meresponnya dengan patuh dan
dipraktikkan. Segala macam asesoris, ornamen, simbol yang berbau
penjajah mendapatkan penolakan keras dari masyarakat desa. Selama satu
tahun NU melakukan perang kebudayaan dengan berbagai konsekuensi
turunannya. Babak selanjutnya terjadi pada tanggal 9 September 1928 saat
NU menggelar Muktamar sebulan sebelum deklarasi Sumpah Pemuda.

Saat Muktamar NU 1928 tersebut para kiai memutuskan untuk melanjutkan


perang kebudayaan menghadapi penjajah. Para kiai pun menambah agenda
baru konfrontasi dengan Belanda dengan memasukkan isu ekonomi dan
politik. Pada isu ekonomi para kiai melakukan delegitimasi mata uang
penjajah. Sedangkan isu politik digulirkan dengan mempertanyakan
keabsahan kekuasaan penjajah di bidang keagamaan. Maka menjelang
Sumpah Pemuda, perlawanan para kiai NU maju dua langkah: pertama,
menyisir dari kelemahan mata uang penjajah. Kedua, menyisir dari
kelemahan kekuasaan penjajah di bidang keagamaan.

Satu bulan paska Muktamar NU ke-3, tepatnya pada tanggal 28 Oktober


1928, Sumpah Pemuda dideklarasikan. Tema besar Sumpah Pemuda cepat
direspons masyarakat mengingat Sumpah Pemuda adalah bagian dari babak
perjuangan anak bangsa, termasuk Nahdlatul Ulama. Inilah yang dimaksud
Ruslan Abdul Ghani bahwa NU adalah bagian dari gerakan sistematik
kebangkitan nasional.

Catatan ini memang tidak populer di tengah masyarakat Indonesia.


Saifuddin Zuhri, Menteri Agama RI era Bung Karno, mengatakan NU
memang tidak populer dan baru dikenal empat puluh tahun setelah
kelahirannya. Saifuddin menambahkan popularitas NU baru muncul saat
menjadi organisasi massa Islam terbesar di Indonesia.

Sumpah Pemuda memang selayaknya selalu kita jadikan spirit membangun


negeri. KH Mustofa Bisri dalam catatannya di hari Sumpah Pemuda tahun
ini mengajak pemuda Indonesia untuk bangga dengan Indonesia. Sama
seperti para kiai tahun 1927, Gus Mus (begitu biasanya beliau dipanggil)
juga mengingatkan bahwa tidak sepatutnya menganggap semua hal yang
berasal dari luar bangsa kita itu lebih baik. Wallahu A’lam

Dishare dari Tulisan Sulthan Fatoni

Sumber : http://www.muslimoderat.net/2017/10/sumpah-
pemuda-dan-muktamar-nu-1928.html#ixzz5yM3jpoyM
https://semangatpemuda-indonesia.blogspot.com/p/sejarah-sumpah-pemuda.html

 Home
 Makna Sumpah Pemuda
 Sejarah Sumpah Pemuda
 Museum Sumpah Pemuda
 Pemuda Masa Kini

Sejarah Sumpah Pemuda


Peristiwa sejarah Soempah Pemoeda atau Sumpah Pemuda merupakan suatu pengakuan dari
Pemuda-Pemudi Indonesia yang mengikrarkan satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Sumpah
Pemuda dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 hasil rumusan dari Kerapatan Pemoeda-Pemoedi
atau Kongres Pemuda II Indonesia yang hingga kini setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Sumpah
Pemuda
Kongres Pemuda II dilaksanakan tiga sesi di tiga tempat berbeda oleh organisasi Perhimpunan
Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) yang beranggotakan pelajar dari seluruh wilayah Indonesia. Kongres
tersebut dihadiri oleh berbagai wakil organisasi kepemudaan yaitu Jong Java, Jong Batak, Jong,
Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon, dsb serta pengamat dari
pemuda tiong hoa seperti Kwee Thiam Hong, John Lauw Tjoan Hok, Oey Kay Siang dan Tjoi Djien
Kwie.

Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar
Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Indonesia. Atas
inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat.

Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB),
Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Dalam sambutannya, ketua PPPI Sugondo Djojopuspito
berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara
dilanjutkan dengan uraian Moehammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan
pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah,
bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan

Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah
pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat bahwa
anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di
sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.

Pada rapat penutup, di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Sunario
menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan
Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional.
Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan
dalam perjuangan.
Adapun panitia Kongres Pemuda terdiri dari :

Ketua : Soegondo Djojopoespito (PPPI)


Wakil Ketua : R.M. Djoko Marsaid (Jong Java)
Sekretaris : Mohammad Jamin (Jong Sumateranen Bond)
Bendahara : Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond)
Pembantu I : Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond)
Pembantu II : R. Katja Soengkana (Pemoeda Indonesia)
Pembantu III : Senduk (Jong Celebes)
Pembantu IV : Johanes Leimena (yong Ambon)
Pembantu V : Rochjani Soe'oed (Pemoeda Kaoem Betawi)
Peserta :

 Abdul Muthalib Sangadji


 Purnama Wulan
 Abdul Rachman
 Raden Soeharto
 Abu Hanifah
 Raden Soekamso
 Adnan Kapau Gani
 Ramelan
 Amir (Dienaren van Indie)
 Saerun (Keng Po)
 Anta Permana
 Sahardjo
 Anwari
 Sarbini
 Arnold Manonutu
 Sarmidi Mangunsarkoro
 Assaat
 Sartono
 Bahder Djohan
 S.M. Kartosoewirjo
 Dali
 Setiawan
 Darsa
 Sigit (Indonesische Studieclub)
 Dien Pantouw
 Siti Sundari
 Djuanda
 Sjahpuddin Latif
 Dr.Pijper
 Sjahrial (Adviseur voor inlandsch Zaken)
 Emma Puradiredja
 Soejono Djoenoed Poeponegoro
 Halim
 R.M. Djoko Marsaid
 Hamami
 Soekamto
 Jo Tumbuhan
 Soekmono
 Joesoepadi
 Soekowati (Volksraad)
 Jos Masdani
 Soemanang
 Kadir
 Soemarto
 Karto Menggolo
 Soenario (PAPI & INPO)
 Kasman Singodimedjo
 Soerjadi
 Koentjoro Poerbopranoto
 Soewadji Prawirohardjo
 Martakusuma
 Soewirjo
 Masmoen Rasid
 Soeworo
 Mohammad Ali Hanafiah
 Suhara
 Mohammad Nazif
 Sujono (Volksraad)
 Mohammad Roem
 Sulaeman
 Mohammad Tabrani
 Suwarni
 Mohammad Tamzil
 Tjahija
 Muhidin (Pasundan)
 Van der Plaas (Pemerintah Belanda)
 Mukarno
 Wilopo
 Muwardi
 Wage Rudolf Soepratman
 Nona Tumbel
Rumusan Sumpah Pemuda ditulis Moehammad Yamin pada sebuah kertas ketika Mr. Sunario,
sebagai utusan kepanduan tengah berpidato pada sesi terakhir kongres. Sumpah tersebut awalnya
dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh Yamin

Isi Dari Sumpah Pemuda Hasil Kongres Pemuda Kedua adalah sebagai berikut :
PERTAMA : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah
Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Bertumpah Darah Yang Satu, Tanah Indonesia).

KEDOEA : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia.
(Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Berbangsa Yang Satu, Bangsa Indonesia).

KETIGA : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa
Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia).

Dalam peristiwa sumpah pemuda yang bersejarah tersebut diperdengarkan lagu kebangsaan
Indonesia untuk yang pertama kali yang diciptakan oleh W.R. Soepratman. Lagu Indonesia Raya
dipublikasikan pertama kali pada tahun 1928 pada media cetak surat kabar Sin Po dengan
mencantumkan teks yang menegaskan bahwa lagu itu adalah lagu kebangsaan. Lagu itu sempat
dilarang oleh pemerintah kolonial hindia belanda, namun para pemuda tetap terus menyanyikannya.

Apabila kita ingin mengetahui lebih lanjut mengenai banyak hal tentang Sumpah Pemuda kita bisa
menunjungi Museum Sumpah Pemuda yang berada di Gedung Sekretariat PPI Jl. Kramat Raya 106
Jakarta Pusat. Museum ini memiliki koleksi utama seperti biola asli milik Wage Rudolf Supratman
yang menciptakan lagu kebangsaan Indonesia Raya serta foto-foto bersejarah peristiwa Sumpah
Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 yang menjadi tonggak sejarah pergerakan pemuda-pemudi
Indonesia.

dikutip dari : http://www.wikipedia.org


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

128 komentar:

Anda mungkin juga menyukai