Anda di halaman 1dari 20

Sejarah di Balik Lahirnya Lagu ‘Kebangsaan’ Yaa Lal Wathan

Jumat 9 September 2016 9:21 WIB


Bagikan:

KH A. Wahab Chasbullah (Dok. Perpustakaan PBNU).


Menteri Sosial RI Khofifah Indar Parawansa mengusulkan lagu gubahan Pahlawan Nasional
KH Abdul Wahab Chasbullah yang popluer berjudul Yaa Lal Wathan dijadikan sebagai lagu
perjuangan nasional karena terbukti menyemayamkan cinta tanah air dan nasionalisme kuat
di dada para pejuang terutama anak-anak muda saat itu. Peresmian lagu tersebut rencananya
akan dilaksanakan pada momen Hari Pahlawan Nasional 10 November 2016 mendatang. 

Di balik rasa bangga dengan hasil karya nyata Mbah Wahab yang mampu membakar
semangat perjuangan bangsa Indonesia tersebut, baik kiranya masyarakat Indonesia
mengetahui sejarah di balik penciptaan lagu itu. Semangat Abdul Wahab muda sekitar tahun
1914 setelah pulang dari menuntut ilmu di Mekkah merasa tidak bisa memaksimalkan
seluruh kemampuan berpikir dan bergeraknya saat menjadi salah satu bagian dari Syarikat
Islam (SI) dengan tokoh utamanya Haji Oemar Said Tjokroaminoto (1883-1934 M). 

Kiai Wahab merasa tidak puas jika belum mendirikan organisasi sendiri. Karena dalam
pandangannya, SI terlalu mengutamakan kegiatan politik, sedangkan dirinya menginginkan
tumbuhnya nasionalisme di kalangan pemuda melalui kegiatan pendidikan.

Singkatnya pada tahun 1916, KH Wahab Chasbullah berhasil mendirikan perguruan


Nahdlatul Wathan atas bantuan beberapa kiai lain dengan dirinya menjabat sebagai Pimpinan
Dewan Guru (keulamaan). Sejak saat itulah Nahdlatul Wathan dijadikan markas
penggemblengan para pemuda. Mereka dididik menjadi pemuda yang berilmu dan cinta tanah
air (Choirul Anam, 2010: 29). 
Bahkan setiap hendak dimulai kegiatan belajar, para murid diharuskan terlebih dahulu
menyanyikan lagu perjuangan dalam bahasa Arab ciptaan Mbah Wahab sendiri. Kini lagu
tersebut sangat populer di kalangan pesantren dan setiap kegiatan Nahdlatul Ulama (NU),
yakni Yaa Lal Wathan yang juga dikenal dengan Syubbanul Wathan (pemuda cinta tanah air).
Benih-benih cinta tanah air ini akhirnya bisa menjadi energi positif bagi rakyat Indonesia
secara luas sehingga perjuangan tidak berhenti pada tataran wacana, tetapi pergerakan sebuah
bangsa yang cinta tanah airnya untuk merdeka dari segala bentuk penjajahan. Berikut syair
lagu yang kini masyhur itu:

‫يَا لَ ْل َوطَن يَا لَ ْل َوطَن يَا لَ ْل َوطَن‬


‫حُبُّ ْال َوطَن ِم َن اإْل ِ ْي َمان‬
‫َواَل تَ ُك ْن ِم َن ْال ِحرْ َمان‬
‫اِ ْنهَض ُْوا أَ ْه َل ْال َوطَن‬
ْ‫إِ ْن ُدونَيْسيَا بِ ْياَل ِدي‬
‫ان ْالفَ َخا َما‬ ُ ‫ت ُع ْن َو‬ َ ‫أَ ْن‬
‫ك يَ ْو َما‬ َ ‫ُكلُّ َم ْن يَأْتِ ْي‬
‫ق ِح َما َما‬ َ ‫طَا ِمحًا يَ ْل‬
“Pusaka hati wahai tanah airku
Cintamu dalam imanku
Jangan halangkan nasibmu
Bangkitlah, hai bangsaku!
Indonesia negriku
Engkau Panji Martabatku
S’yapa datang mengancammu
‘Kan binasa dibawah dulimu!”

Semangat nasionalisme Kiai Wahab yang berusaha terus diwujudkan melalui wadah
pendidikan juga turut serta melahirkan organisasi produktif seperti Tashwirul Afkar yang
berdiri tahun 1919. Selain itu, terlibatnya Kiai Wahab di berbagai organisasi pemuda seperti
Indonesische studie club, Syubbanul Wathan, dan kursus Masail Diniyyah bagi para ulama
muda pembela madzhab tidak lepas dari kerangka tujuan utamanya, yakni membangun
semangat nasionalisme bangsa Indonesia yang sedang terjajah. 

Kiai Wahab telah membuktikan diri bahwa internalisasi semangat nasionalisme sangat efektif
diwujudkan melalui ranah pendidikan. Hal ini dilakukan dengan masif di berbagai pesantren
sehingga peran kalangan pesantren sendiri diakui oleh dr Soetomo (Bung Tomo) sebagai
lembaga yang sangat berperan dalam membangun keilmuan kokoh bagi bangsa Indonesia
sekaligus dalam pergerakan nasional untuk mewujudkan kemerdekaan. (Fathoni)

Tags:
#fragmen
Bagikan:
Selasa 23 Agustus 2016 18:30 WIB
Propaganda NU Lewat Jam’iyyatun Nashihin
Ilustrasi: Kantor NU pertama di Jalan Bubutan VI/2 Surabaya
Keberadaan Jam’iyyatun Nashihin dalam tubuh Nahdlatul Ulama (NU) masih jarang
disinggung. Padahal lewat lembaga ini, NU yang semula hanya berpusat di Surabaya bisa
menyebar ke seluruh penjuru Nusantara. KH Maimun Zubair seringkali dalam ceramah-
ceramahnya menyinggung keberadaan Jam’iyyatun Nashihin yang menjadi cikal bakal
berkembangnya NU.

Mbah Maimun menjelaskan: “Jam’iyyah Nashihin ini adalah sebuah organisasi yang ada
kaitannya dengan masalah pengajian. Dahulu namanya nasehat. Kalau sekarang namanya
diganti menjadi pengajian”. Embrio Jam’iyyatun Nashihin itu sudah ada sebelum NU berdiri.
Amirul Ulum (2014) menyebutkan, di Jawa Tengah, sesepuh Jam’iyyatun Nashihin adalah
KHR Asnawi Kudus, KH Ma’shum Ahmad dan KH Khalil Masyhuri dibantu dengan ulama
muda, KH Zubair Dahlan (ayah KH Maimun Zubair).

Setelah NU dideklarasikan 1926, keberadaannya sudah mulai dikenal oleh masyarakat. Para
kiai menginisiasi pengembangan organisasi ulama pesantren ini. Maka dalam Muktamar
ketiga di Surabaya tahun 1928, Majelis Khamis (Komisi Lima) memutuskan pembentukan
Lajnatun Nashihin. Sidang Majelis Khamis saat itu dipimpin oleh KH Sholeh Banyuwangi
dengan anggota: KH M Hasyim Asy’ari Jombang, KH Bisyri Syansuri Jombang, KHR
Asnawi Kudus dan KH Muharram Kediri.

Salah satu tujuan utama dibentuknya Jam’iyyatun Nashihin ini adalah melakukan
pengembangan organisasi NU dengan mendirikan Cabang NU di seluruh Indonesia. Posisi
Jam’iyyatun Nashihin sebagai komisi propaganda yang meyakinkan kepada masyarakat agar
membentuk organisasi NU, mengamalkan akidah Ahlussunnah wal jama’ah dan mencintai
bangsa Indonesia yang saat itu sedang mempersiapkan proses kemerdekaan.

Anggota Jam’iyyatun Nashihin terdiri sembilan orang, yaitu: KH M Hasyim Asy’ari, KH


Bisyri Syansuri, KHR Asnawi, KH Ma’shum, KH Mas Alwi, KH Musta’in, KH Abdul
Wahab Chasbullah, KH Abdul Halim dan KH Abdullah Ubaid. Tugas para Kiai itu adalah
hadir ke daerah-daerah untuk meyakinkan tokoh masyarakat bersama masyarakat mendirikan
NU dengan menjelaskan visi-misi dan tujuan NU. Dalam tahap pertama, tugas pembentukan
Cabang NU fokus di Jawa dan Madura.

Pembagian tugas propaganda ini antara lain: KH Bisyri Syansuri, KHR Asnawi, KH Abdul
Wahab Chasbullah dan KH Abdul Halimbertugas untuk pengembangan NU di Jawa Tengah
dan Jawa Barat. Sedangkan KH M Hasyim Asy’ari, KH Ma’shum, KH Mas Alwi, KH
Musta’in, dan KH Abdullah Ubaid mempropagandakan NU di Jawa Timur dan Madura.

Kerja tim Jam’iyyatun Nashihin disebutkan oleh Choirul Anam (2015) sangat ampuh dan
efektif. Terbukti dalam waktu tidak terlalu lama, NU Cabang sudah mulai bermunculan di
Jawa dan Madura. Tugas itu kemudian dikembangkan lagi dengan menguatkan basis NU di
luar Jawa dan Madura. Karena NU sudah tidak fokus di Surabaya saja, maka mulai
Muktamar keempat, NU sudah melaksanakan rapat besar di luar Surabaya.

Periode perintisan dan pengenalan model propaganda NU selama delapan tahun (1926-1933)
ini memang mengambil para tokoh orator yang handal dan sangat dekat masyarakat. Sukses
mendirikan NU di Jawa dan Madura kala itu juga sudah mulai disambut baik oleh ulama
Kalimantan (Banjar Martapura). Dan itulah yang membuat para Kiai semakin kuat tekadnya
untuk mengembangkan NU di seluruh Nusantara.

Masa perintisan ini bukan hanya dihabiskan untuk propaganda saja, tetapi lebih dari itu
bahwa kiai NU tetap menunjukkan komitmen kebangsaannya dalam bidang pendidikan,
dakwah dan ekonomi. Jalan yang dipakai adalah dengan memperkuat akidah NU dengan pola
mengikuti Statuen Perkoempoelan Nahdlatoel Oelama (AD-ART). Isi dari aturan organisasi
NU adalah melakukan hubungan para ulama dengan model mengikuti empat madzhab
dengan mengerjakan apa saja untuk kemaslahatan agama dan bangsa.

Melihat pola pengembangannya dengan model dakwah atau pengajian oleh para Kiai orator
ini, maka banyak sekali NU menyebar ke pedesaan. Jam’iyyatun Nashihin ini menjadi
inspirasi sekaligus refleksi keberadaan NU di masa sekarang. Sebab kekuatan basis pesantren
dan Kiai selalu menjadi modal kuat dalam menjadikan NU sebagai organisasi yang dimiliki
oleh banyak umat Islam di Indonesia.

Perlu sekali mengembalikan potensi kiai orator dalam pengembangan NU di basis-basis yang
belum tersentuh oleh NU. Termasuk mencari intelektual orator yang mempropagandakan NU
di luar basis pesantren. Dengan demikian, pengembangan-pengembangan NU yang pernah
dilakukan di masa perintisan masih tetap abadi di masa sekarang.

Maka sekarang sudah mulai bangkit semangat berorganisasi NU, baik di dalam negeri hingga
luar negeri. Termasuk NU yang hanya berkembang di pedesaan, sekarang sudah mulai
muncul di Kota besar. NU yang semula hanya di pesantren, sudah mulai bangkit di perguruan
tinggi dan perkantoran. Wallahu a’lam.

M. Rikza Chamami, Sekretaris Lakpesdam NU Kota Semarang dan Dosen UIN Walisongo

Selasa 23 Agustus 2016 4:43 WIB


Rokok Cerutu Iringi Pejuang Kemerdekaan di Parakan

Jembatan peninggalan Belanda di Parakan.


Sejarah tutur (sebagaimana istilahnya Gus Dur) keberadaannya dapat membantu memperkaya
perspektif pembaca dalam memahami suatu peristiwa sejarah. Utamanya ialah bahwa sejarah
tutur sering dapat mengeksplorasi suasana sebuah peristiwa dan sisi lain dari suatu sejarah
yang kerap tidak tersorot dalam dokumentasi sejarah resmi.  

Buku berjudul Cuplikan Sejarah Bambu Runcing karya KH. Muhaiminan Gunardho Parakan
yang diterbitkan Kota Kembang, Yogyakarta (hanya untuk kalangan sendiri) itu barangkali
dapat dikelompokkan ke dalam kategori sejarah tutur dimaksud. Walaupun hanya kumpulan
cuplikan sejarah yang sudah tentu masing-masing fragmen cerita ditulis tidak secara
komprehensif-holistik, bahkan satu sama lain di antara fragmen peristiwa di dalamnya
terkesan kurang terkait secara padu. Namun cukup mengilustrasikan bagaimana sejarah
singkat Bambu Runcing dan kota Parakan dalam konteks masa perjuangan merebut dan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.       

KH. Muhaiminan Gunardho dalam salah satu fragmen dalam buku ini menggambarkan
suasana kota Parakan. Tidak terhitung lagi banyaknya orang-orang yang datang ke Parakan
siang malam, pagi sore berbondong-bondong tanpa henti-hentinya bagaikan barisan semut.
Mulai dari stasiun, karena waktu itu diadakan kereta istimewa sampai Jetis, jembatan Galeh
sampai jembatan Brangkongan, penuh pemuda beriringan memanggul Bambu Runcing,
kelewang, sujen, dan botol-botol tempat air. 

“Kereta api memuat penumpang bergelantungan sampai di atas atap. Dari stasiun para
pemuda dengan beratur berbaris empat-empat menuju gedung Barisan Muslimin
Temanggung (BMT). Tidak sedikit rombongan yang berjalan kaki dari jalan Kedu, jalan
Bulu, jalan Wonosobo, jalan Ngadirejo, semuanya menuju satu tujuan yaitu gedung BMT
Kauman Parakan, tempat menyepuh Bambu Runcing,” tulis Kiai yang dulu cukup dekat
dengan Gus Dur itu.

Masyarakat dan rakyat Parakan menyambut para pemuda pejuang tersebut dengan sangat
ramah dan penuh suka cita. Mereka dianggap tak ubahnya saudara mereka sendiri. Pada saat
seperti ini banyak masyarakat Parakan yang memberikan kemudahan kepada pengunjung,
yaitu dengan menjual berbagai dagangan, seperti makanan dan minuman, juga Bambu
Runcing, kenthes, angklek keris, botol, tambang, dan tutup botol.

Bila ada rombongan datang sore atau malam hari, selain menawarkan dagangan warga
Parakan juga menawarkan penginapan secara rombongan. Sebab tidak semua rombongan
yang datang sudah lengkap peralatannya. Ada yang sudah membawa perlengkapan dari
daerah asalnya seperti Bambu Runcing, botol dan lainnya, tetapi tidak sedikit pula yang
datang belum membawa perlengkapan apa-apa.

Para penjaja barang-barang ini berjajar memenuhi jalan menuju Masjid Kauman dan gedung
BMT. Bambu Runcing dan kenthes yang dijual kebanyakan berasal dari pring gading (bambu
kuning) yang sering juga dibuat sebagai gagang sapu.

Penjual sepatu juga ada, kebanyakan ukurannya besar sebab sepatu rampasan dari Belanda.
Tidak ketinggalan pedagang rokok pun ikut menawarkan produk rokoknya. Yang unik serta
mengesankan adalah ada pedagang rokok pada waktu itu yang tidak pernah lupa menjual
rokok cerutu raksasa, panjang rokok ini sampai 1,5 meter.

Pada siang hari mulai pukul 08.00 sampai 16.00 di jalan Kauman gedung BMT dipenuhi
orang, terdengar dari gedung itu sangat nyaring suara orang memanjatkan doa bersama-sama
malafalkan:

٣ِ‫( ×بِس ِْم هللاِ بِ َعوْ ِن هللا‬Basmalah 3x)

٣ ُ‫( ×هللا ُيَا َحفِ ْيظ‬Allahu Ya Hafidz 3x)


٣ ‫( ×هللَا ُاَ ْكـبَ ُر‬Allahu Akbar 3x)

٣ ‫×إلهنا يا سيدنا أنت مولنا وانصرنا على القوم الكافرين‬ 

Begitu pula di antara rombongan pejuang yang sudah tiba di Parakan pun terjadi kesibukan
berbeda-beda di antara mereka. Ada yang  mencari masjid, mencari warung, mencari
penginapan, ada yang langsung mendaftar ke kantor BMT dan ada juga yang langsung
menyepuhkan bambu runcingnya. Untuk menampung pendatang malam hari, tidak sedikit
rumah-rumah pribadi dijadikan penginapan sementara. Bagi mereka soal di mana tidurnya
tidak masalah. Asal ada dipan bahkan dengan menggelar tikar lantaipun mereka tidur pulas.
Langgar dan masjidpun selalu penuh.

Keramaian Parakan, dengan sepuh Bambu Runcingnya, akhirnya tercium juga oleh penjajah
yang merasa sangat tidak senang dengan kegiatan tersebut karena dianggap membahayakan
posisinya. Maka mulailah mereka menyebar mata-mata. Akhirnya sejak itu untuk
mengantisipasi dari segala kemungkinan yang tidak diinginkan, pengurus BMT
mengeluarkan ketentuan siapapun yang akan bertemu atau rombongan penting yang akan
masuk ke BMT, harus mendaftar terlebih dahulu. Beruntung Hubungan antara BMT dengan
kepolisian Parakan waktu itu sangat erat. (M. Haromain)

Rabu 17 Agustus 2016 17:0 WIB


Peran KH Hasyim Asy'ari dan Sejarah Awal Penyepuhan Bambu Runcing

Para pejuang dengan bambu runcing/arsip lawas.


Kota Parakan pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI, yaitu tidak lama dari
saat diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Di kota kecil yang
kini masuk kabupaten Temanggung Jawa Tengah ini di dalamnya berdomisili beberapa Kiai
yang oleh masyarakat luas dikenal mempunyai ilmu hikmah yang kemudian di tangan mereka
atas- izin Allah- bambu runcing memiliki pamor atau tuah sebagai bekal senjata perjuangan
tentara dan rakyat dalam menghadapi penjajah kolonial yang hendak kembali menguasai
tanah air Indonesia.

Para kiai sepuh itu pula yang menjadi salah satu pelopor terbentuknya Barisan Muslim
Temanggung (BMT), sebuah organisasi yang mewadahi para ulama dan pemuda-pemuda
santri Temanggung serta kawasan Kedu pada umumnya. Di samping merupakan gerakan
masa yang gigih berjuang mempertahankan kemerdekaan, BMT  salah satunya juga berperan
melayani dan menyambut para pejuang bangsa dari macam-macam elemen kelaskaran dan
daearah saat mereka berdatangan ke Parakan untuk mendapatkan bekal kekuatan spiritual dan
senjata bambu runcing sebelum terjun ke medan pertempuran.

Para Kiai Bambu Runcing yang dikenal memiliki ilmu hikmah tersebut dengan sendirinya
menarik ribuan pejuang dari berbagai daerah untuk mengunjungi Parakan saat itu.  Bahkan
tidak saja para pejuang kelaskaran biasa tetapi juga para tokoh pemimpin bangsa dan tokoh
agama yang menyempatkan datang ke Parakan. Para Kiai dimaksud yang menjadi tokoh
penting di Parakan waktu itu antara lain: K.H. Subkhi (Subuki), K.H.R Sumo Gunardo, serta
para kiai lain di Parakan dan Temanggung seperti K.H. M Ali, K.H. Abdurrahman, K.H.
Nawawi, K.H. Istakhori dan  juga KH. Mandzur dari Temanggung.

Ketika Parakan sedang ramai menjadi pusat penempaan bekal spiritual bagi para pejuang,
Hadhratussyekh Hasyim Asyari berinisiatif mengunjungi Parakan untuk memberi wejangan
kepada Barisan Muslimin Temanggung (BMT) atau yang dikenal juga dengan barisan
Pasukan Bambu Runcing.

Namun, sebagaimana diceritakan KH. Muhaiminan Gunardho (pendiri Pondok Kiai Parak
Bambu Runcing dan putra K.H.R Sumo Gunardo), sebelum KH. Hasyim Asy'ari, Tebuireng
ngrawuhi di Parakan untuk memberi wejangan kepada BMT, Pengurus BMT dan para Ulama
Parakan segera mengadakan musyawarah. 

Musyawarah tersebut memutuskan yaitu jangan sampai Hadlratussyekh KH. Hasyim Asy'ari
rawuh dulu ke Parakan, tetapi kita dulu yang sowan kepada beliau di Tebuireng Jombang.
Maka yang menghadap sowan ke sana adalah KH. Subchi, KH. Nawawi, K. Ali/K. Syahid
Baidhowi. Mereka yang sowan ke Tebuireng, ternyata didawuhi juga oleh KH. Hasyim
Asy'ari untuk menyepuh Bambu Runcing.

Penyepuhan bambu runcing di Jombang dilakukan dengan tata cara sebagaimana di Parakan.
Sejak menghadap KH. Hasyim Asy'ari dan selanjutnya diperintahkan mengasma' bambu
runcing di Jombang, lalu nama KH. Subchi dan Bambu Runcing Parakan mulai dikenal di
Jawa Timur.

Setelah kunjungan para Kiai Parakan ke Jombang, tidak berapa lama datang rombongan
pemuda pejuang Hizbullah Jombang ke Parakan. Mereka memakai pakaian serba hitam, dan
peci hitam. Selain itu banyak tamu terhormat kemudian datang ke Parakan. Di antaranya
ialah KH. Saifudin Zuhri datang bersama Mr. Wongsonegoro, Gubernur Jawa Tengah waktu
itu. Beliau ditemui ketua BMT KH. Nawawi.

KH. Saifudin Zuhri dan Gubernur Wongsonegoro setelah keduanya ditemui di kantor BMT
yang selalu ramai, beliau berdua kemudian diantar ke rumah KH. Subchi oleh KH. Nawawi,
Kiai Ali dan KH. Mandhur yang pada waktu itu ketua laskar Sabilillah Karesidenan Kedu.
Berdasarkan catatan KH. Muhaiminan Gunardho para tokoh penting yang datang ke Parakan
pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI saat itu  adalah:

1. KH. Wahid Hasyim, tokoh Masyumi waktu itu


2. KH. Masykur, ketua pusat Laskar Sabilillah
3. Jendral Soederman beserta divisinya
4. KH. Zainal Arifin, ketua Hizbullah
5. Moh Roem
6. KH. Saifudin Zuhri
7. Wongsonegoro, gubernur Jawa Tengah
8. Ruslan Abdul Ghani

Ada satu fragmen mengesankan yang menunjukkan betapa rendah hatinya Kiai Subkhi yang
merupakan kiai yang paling disepuhkan (dituakan) diantara barisan kiai bambu runcing
ketika KH. Saifudin Zuhri menyampaikan maksud kedatangan beberapa tokoh seperti KH.
Wahid Hasyim, KH. Masykur dan KH. Zainal Arifin.

Setelah mendengar maksud mereka, KH. Subkhi tidak kuasa menahan rasa haru, seraya
berucap dengan bahasa Jawa, "Kengeng menopo panjenengan kok mboten sowan lan nyuwun
dateng KH. Siroj Payaman utawi KH. Dalhar Watucongol. Panjenenganipun kekalih meniko
ulamaipun Gusti Allah." (Kenapa kok kalian tidak menghadap saja kepada KH. Siroj
Payaman atau KH. Dalhar Watucongol (Magelang). Beliau berdua merupakan Ulamanya
Allah. (M. Haromain)

Sebagian besar bahan artikel ini disarikan dari Cuplikan Sejarah Bambu Runcing karya KH.
Muhaiminan Gunardho, Kota Kembang, Yogyakarta: tanpa tahun.

(Red: Fathoni)
Rekomendasi

 Sudahkah Masjid Memenuhi Hak Beribadah Kelompok Difabel?


 Pertanyaan Imam Junaid kepada Orang yang Pulang Haji

 Mbah Moen tentang Wayang dan Kepemimpinan

 Enam Amalan Sunnah di Idul Adha


 Hukum Ibadah Kurban dengan Uang
Opini

 Indonesia Rumah Moderasi Dunia


 Pramuka dan Gerakan Kepemudaan di Tubuh NU
 KH Maimoen Zubair dan 'Al-‘Ulama’ Al-Mujaddidun'
 Dimensi Sosial dalam Ibadah Kurban: Belajar Sifat Asih Nabi Ibrahim
 Sisi Kemanusiaan Ibadah Haji
Terpopular

 1

Syekh Adnan: Terpilihnya Habib Luthfi Berdasar Isyarah Ilahiyah

 2
Pengalaman Saya Berguru ke Habib Luthfi

 3

Videonya Viral di Saudi, Kakek Uhi Diundang Raja Salman Naik Haji

 4

Rasulullah Tegur Abu Bakar karena Melaknat Orang Kafir

 5

Kabar Gembira, Jamaah Umrah Kini Boleh Mengunjungi Semua Wilayah Arab Saudi

 6

FaceApp dan Salah Kaprah Ucapan ‘Mendahului Takdir’

 7

Mengenal Pribadi KH Hasbullah: Jasadnya Utuh Meski 8 Tahun Dikebumikan

 8

PBNU Imbau Penyelenggara Kurban Tidak Pakai Plastik untuk Distribusi Daging

 9

Pemakzulan Presiden Gus Dur: Skenario Elite Politik

 10

Ini Langkah dan Metode Menghafal Al-Qur’an yang Tepat

Berita Terkini Haji 2019

 1

Harlah Ke-85 Mahbub Djunaidi

 2

Kumpulan Khutbah Menyambut Hari Kemerdekaan

 3Kumpulan Khutbah Idul Adha TerfavoritTopik TerkiniRatusan Santri dan Pelajar di


Lombok Timur Masuk IPNU DaerahMahasiswa IAIN Pontianak Ajak Santri Nonton
Film Kebangsaan DaerahBahas Perda Pemuda, PMII Pariaman Temui
DPRD DaerahBPJPH dan Sucofindo Kerja Sama Jaminan Produk
HalalNasionalPercepat Peningkatan Produktivitas, LPN Gandeng
PerguruanTinggiNasional

Warta Foto

1/6

Seminar Internasional Bersama Ulama Lebanon

yaPerang Shiffin dan Akhir Perseteruan Jokowi-PrabowoJangan MarahMuasal Al-


AthlalMenjadikan Buku sebagai SuluhMemilih Pesantren NU agar Toleran

© 2019 | All rights reserved | NU Online

Anda mungkin juga menyukai