Anda di halaman 1dari 13

MODEL DAKWAH MULTIKULTURAL NU

(Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Dakwah Multikulral)

Dosen Pengampu : Dr. SYAHRUL, M. Ag

Disusun Oleh :

AHMAD MAULANA (0104202121)

M.SALMAN AL FARISI (0104202129)

PRODI MANAJEMEN DAKWAH


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
2022 / 2023
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Atas rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas penulisan
makalah Mata Kuliah Dakwah Multikultural tepat waktu. Tidak lupa
shalawat serta salam tercurah kepada Rasulullah SAW yang syafa’atnya
kita nantikan kelak.

Penulisan makalah Dakwah Multikultural yang berjudul “Model


dakwah multi kultural Nahdatul Ulama”dapat diselesaikan karena bantuan
banyak pihak. Kami berharap makalah ini dapat menjadi referensi bahan
pelajaran yang baik. Selain itu, kami juga berharap agar pembaca
mendapatkan sudut pandang baru setelah membaca makalah ini.

Penulis menyadari makalah berjudul “Model dakwah multi kultural


Nahdatul Ulama” masih memerlukan penyempurnaan,terutama pada bagian
isi. Kami menerima segala bentuk kritik dan saran pembaca demi
penyempurnaan makalah. Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah
ini,kami memohon maaf.

Demikian yang dapat kami sampaikan. Akhir kata, semoga makalah


Dakwah multikultural ini dapat bermanfaat.

Medan, 13 juni 2022

( _____________)
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada NU (Nahdlatul Ulama), dikenal sebagai organisasi yang
berhaluan “tradisional” yang dilawankan dengan “modernis”.
Disebut demikian, karena NU memang bertujuan untuk
mempertahankan atau memelihara tradisi Islam yang disebut
paham “ahlussunnah wa al jamaah” (aswaja). Tradisi ini
sebenarnya adalah sebuah konsensus besar di bidang teologi dan
fikih. Di bidang teologi, NU mengikuti aliran kalam Asy`ariah dan
Maturidiyah. Di bidang fikih, mengikuti empat mazhab besar,
yaitu mazhab Maliki, mazhab Syafi`ie, mazhab Hanafie dan
mazhab Hanbali. Di Indonesia, ada juga organisasi-organisasi
gerakan Islam yang memang mengikuti mazhab yang lebih khusus
lagi, yakni Syafi`ie, sedang di bidang tasawuf mengikuti al Ghazali.
Di dunia Islam, ada juga yang mengikuti mazhab yang lebih
spesifik, misalnya di Pakistan yang umat Islamnya cenderung
mengikuti mazhab Hanafie, di Saudi Arabia, khususnya di
Madinah, mengikuti mazhab Maliki dan di negara-negara Afrika
Utara, banyak mengikuti mazhab Hanbali. Umat Islam Indonesia
sendiri dikenal sebagai penganut mazhab Syafi`ie. Namun NU di
Indonesia lebih “terbuka”, sehingga dalam pembahasan mengenai
fikih atau hukum-hukum agama, NU bisa melakukan analisis
perbandingan mazhab.
B. Rumusan Masalah
1. Sejarah Nahdatul Ulama
2. Keragka Berfikir NU
3. Metode pendekatan Multikultural Dakwah NU
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Sejarah nah NU
2. Untuk mengetahui Kerangka berfikir NU
3. Untuk mengetahui Metode pendekatan Multikultural dakwah
NU
BAB II
PEMBAHASAN

A. SEJARAH NU (NAHDATUL ULAMA)


Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau
Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah
sebuah organisasi Islam yang terbesar di Indonesia.
Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 oleh KH Hasyim
Asy’ari dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan
ekonomi.Tujuan didirikannya NU adalah menegakkan ajaran
Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-
tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Keterbelakangan baik secara
mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia,
akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah
menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk
memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan
pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908
tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat
kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana -
setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan
ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya,
muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kelahiran NU diawali proses yang panjang
sebelumnya. Bermula dari munculnya gerakan nasionalisme
yang antara lain ditandai dengan berdirinya SI (sebelumnya
bernama SDI) telah mengilhami sejumlah pemuda pesantren
yang bermukim di Mekkah untuk mendirikan cabang
perimpunan itu disana. Belum sempat berkembang mereka
segera mudik kembali karena pecah perang dunia. Namun
obsesi mereka masih terus berlanjut setelah mereka menetap
kembali di tanah air.Kalangan pesantren yang selama ini gigih
melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional
tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti
Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916.
Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau
dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran),
sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan
keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan
Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu
dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.
Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar,
selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga
pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki
cabang di beberapa kota.

B. KERANGKA BERFIKIR NU
NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah
pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli
(rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena
itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah,
tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan
realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir
terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-
Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih
lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan
mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam
Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam
lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang
tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-
Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan
syariat.
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984,
merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali
ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali
metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta
merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan
tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran
dan dinamika sosial dalam NU.
Dalam menentukan basis pendukung atau warga NU
ada beberapa istilah yang perlu diperjelas, yaitu anggota,
pendukung atau simpatisan dan Muslim tradisionalis yang
sepaham dengan NU. Jika istilah warga disamakan dengan
istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu dokumen
resmipun yang bisa dirujuk untuk itu. Karena sampai hari ini
tidak ada upaya serius di tumbuh NU di tingkat apapun untuk
mengelola keanggotaannya. Dari segi pendukung atau
simpatisan ada dua cara melihatnya. Dari segi politik, ini bisa
dilihat dari jumlah perolehan suara partai-partai yang berbasis
atau diasosiasikan dengan NU, seperti PKBU, PNU, PKU,
Partai SUNI, dan sebagian dari PPP. Dari segi paham
keagamaan maka bisa dilihat dari jumlah orang yang
mendukung dan mengikuti paham kegamaan NU. Maka
dalam hal ini bisa dirujuk hasil penelitian Saiful Mujani (2002)
yiatu berkisar 48% dari Muslim santri Indonesia. Suaidi Asyari
(Nalar Politik NU & Muhammadiyah, 2009) memperkirakan
ada sekitar 51 juta dari Muslim santri Indonesia dapat
dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU.
Sedangkan jumlah Muslim santri yang disebut sampai 80 juta
atau lebih merupakan mereka yang sama paham
keagamaannya dengan paham kegamaan NU. Belum tentu
mereka ini semuanya warga atau mau disebut berafiliasi
dengan NU. Mayoritas pengikut NU terdapat di pulau Jawa,
Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra. Perkembangan terakhir
pengikut NU mempunyai profesi beragam yang sebagian
besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di
desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara
sosial ekonomi memiliki problem yang sama, selain itu mereka
juga sangat menjiwai ajaran ahlususunnah wal jamaah. Pada
umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia
pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan
cagar budaya NU.

Usaha-usaha yang dilakukan organisasi NU antara lain:

1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah


dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak
pada semangat persatuan dalam perbedaan.
2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan
yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk
muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan
luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga
Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di
berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
3.  Di bidang sosial budaya, mengusahakan
kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai
dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan
kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan,
dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi
rakyat.Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan
Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu
masyarakat.
5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi
masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi
yang terbaik bagi masyrakat.
C. METODE PENDEKATAN MULTIKULTURAL DAKWAH NU

Dalam metodenya NU menggunakan metode yang


digunakan Wali Songo dulu. Nahdlatul Ulama berkomitmen
memperkuat pendekatan budaya sebagai salah satu elemen
penting dakwah Islam di Tanah Air. Sebab, dengan budaya
lah agama Islam dapat diterima baik oleh penduduk pribumi
awal kedatangan Islam. Kebudayaan Islam lokal saat ini kian
terancam oleh beragam budaya dan ideologi baik yang
muncul dari kalangan barat ataupun timur. Akibatnya, upaya
memperkenalkan Islam sebagai agama yang damai dan cinta
keindahan justru semakin buram oleh pertarungan budaya
tersebut.NU melakukan berbagai upaya agar akulturasi
budaya tersebut tetap menjadi khittah kuat organisasi yang
didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari itu. Salah satunya melalui
upaya sosialiasi ke pondok pesantren yang merupakan basis
kaderisasi potensial di kalangan NU. Termasuk pula
memberikan penyadaran kepada warga nahdliyyin akan
pentingnya menggunakan budaya dalam berdakwah. “NU
concern ke kaderisasi sebagai gerakan cultural dan NU tidak
masuk wilayah politik.

Pendekatan budaya, bisa dilakukan memakai berbagai


media mutakhir termasuk melalui film sebagai media dakwah
kebudayaan. Hanya saja, kiprah warga nahdliyin dalam seni
budaya dan perfilman diakui cenderung melemah. Fakta ini
bertolak belakang dengan era 70 an. Ketika itu, beragam
karya berkualitas berhasil disumbangkan oleh kalangan
nahdliyyin dan Kekuatan cultural itulah perlu dikuatkan
lagi.Menurut Muhammad Tholhah Hasan dalam bukunya yang
berjudul “Ahlussunnah Wal-Jama’ah; dalam Persepsi dan
Tradisi NU” mengemukakan bahwa untuk dapat memahami
Ahlussunnah wal Jama’ah secara utuh, tidak mungkin hanya
menggunakan pendekatan doctrinal saja, tetapi sedikitnya
menggunakan tiga macam pendekatan, yaitu :

1. Pertama : Pendekatan Historis, Ahlussunnah wal


Jama’ah ini telah melahirkan konsep dan pandangan
serta doktrin-doktrin yang secara teoritis bersentuhan
dengan perjalanan sejarah umat ini sejak zaman
Rasulullah SAW. sampai zaman mutaakhir. Meskipun
akar-akarnya tetap terkait kuat dengan aqidah “Tauhid”,
dan prinsip-prinsip keimanan yang abadi, tetapi wujud
formulasi konseptualnya bias berbeda.
2. Kedua : Pendekatan Kultural, muncul dan
berkembangnya “Ilmu Kalam” sebagai disiplin keilmuan
Islam yang berkonsentrasi pada masalah-masalah
aqidah dengan menggunakan dalil-dalil ‘aqliyah
(argument rasional) tidak lepas dari factor internal Islam
maupun factor eksternal (terjadinya akulturasi atau
persentuhan antar budaya), seperti perluasan disiplin
keilmuan Islam, ada Ilmu Tafsir, Ilmu Fiqih, Ilmu Hadits,
Ilmu Nahwu dan lain sebagainya, disamping
berkembangnya ilmu-ilmu non-syari’ah, seperti Filsafat,
Kedokteran, Ilmu Alam, Matematika, Kimia, dan lain-
lain, yang kesemuanya secara akumulatif memperluas
cakrawala pemikiran umat Islam.Di tengah-tengah
pergumulan pemikiran yang demikian (intelektualitas
dan religiusitas), para ulama dan pemikir Ahlusunnah
wal Jama’ah mengambil posisi baru, dari pendekatan
Salaf yang mencukupkan diri dengan dalil-dalil
Naqliyah, menjauhi ta’wil dan tafsir ayat-ayat
mutasyabihat dengan sikap tafwidl (penyerahan total)
ke pendekatan Kholaf (yang menggunakan dalil-dalil
‘aqliyah disamping dalil-dalil naqliyah, melakukan
penafsiran ayat-ayat mutasyabihat yang lebih mudah
dicerna awam dan lebih menyelamatkan mereka dari
jebakan faham tasybih/penyerupaan Tuhan dengan
sifat makhluk, dan mentolelir system ta’wil secara kritis
dan hati-hati). Disinilah tokoh-tokoh Ahlussunnah wal
Jama’ah seperti Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu
Manshur Al-Maturidi serta para pengikutnya berperan.
3. Ketiga : Pendekatan Doktrinal, meskipun pada mulanya
Ahlussunnah wal Jama’ah itu menjadi identitas
kelompok/golongan dalam dimensi teologis atau aqidah
Islam, dengan Fokus masalah ushuluddin (fundamental
agama), tetapi dalam perjalanan selanjutnya tidak bisa
lepas dari dimensi ke Islaman lainnya, seperti dimensi
Syari’ah Fiqhiyah atau dimensi Tashawwuf, bahkan
masalah budaya, politik dan social, karena kuatnya
jaringan yang tali-temali antara yang fundamental tadi
dengan cabang-rantingnya.
BAB III
PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan
Islam), disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam yang terbesar di
Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 oleh KH Hasyim
Asy’ari dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.Tujuan
didirikannya NU adalah menegakkan ajaran Islam menurut paham
Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.Dalam metodenya NU
menggunakan metode yang digunakan Wali Songo dulu. Nahdlatul Ulama
berkomitmen memperkuat pendekatan budaya sebagai salah satu elemen
penting dakwah Islam di Tanah Air. Sebab, dengan budaya lah agama
Islam dapat diterima baik oleh penduduk pribumi awal kedatangan Islam.
Kebudayaan Islam lokal saat ini kian terancam oleh beragam budaya dan
ideologi baik yang muncul dari kalangan barat ataupun timur. Akibatnya,
upaya memperkenalkan Islam sebagai agama yang damai dan cinta
keindahan justru semakin buram oleh pertarungan budaya tersebut.

B. Saran

Sekian penyajian makalah yang dapat penulis paparkan.


Penulis yakinin makalah ini masih jauh dalam kata sempurna. Saya
harap pembaca dapat memberikan kritikan dan saran terhadap
makalah, agar penulis dapat menulis yang lebih baik lagi
kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

Asj’ari, Hasjim, 1969, Ihya’ ‘Amal al-Fudala’, Kendal: NU Jawa Tengah.

Haidar, M. Ali, 1998, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia, Jakarta :


PT.GramediaPustaka Utama.

Hasan, Muhammad Tholhah, 2005, Ahlussunnah Wal-Jama’ah; dalam Persepsi


danTradisi NU, Jakarta : Lantabora Press.

Kuntowidjoyo, 1985, Dinamika Sejarah Ummat Islam


Indonesia, Yogyakarta:Salahuddin Press.

Lathief, Hasjim, 1979, Nahdlatul Ulama Penegak Panji Ahlussunnah Wal


jamaah,Surabaya : Pengurus NU Wilayah Jawa Timur

Anda mungkin juga menyukai