Anda di halaman 1dari 4

Kalangan pesantren gigih melawan kolonialisme dengan membentuk organisasi

pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun 1916.
Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul
Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan
keagamaan kaum santri. Selanjutnya didirikanlah Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum
Sudagar) yang dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan
adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi
juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki
cabang di beberapa kota.

Berikut adalah sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) dengan lebih lengkap dan rinci:

1. Latar Belakang:
Pada awal abad ke-20, Indonesia sedang mengalami perubahan sosial dan
politik yang signifikan akibat pengaruh kolonialisme Belanda dan modernisasi
yang diusung oleh gerakan-gerakan pembaruan Islam, seperti
Muhammadiyah. Muhammadiyah mengajukan gagasan tentang pentingnya
pembaruan agama dan penghapusan tradisi-tradisi lokal yang dianggap tidak
sesuai dengan ajaran Islam murni.

2. Munculnya Tantangan:
Pembaruan yang diusung oleh Muhammadiyah menghadirkan tantangan bagi
ulama-ulama tradisional di Jawa, yang cenderung lebih mempertahankan
aspek-aspek keagamaan dan budaya lokal. Mereka merasa bahwa tradisi dan
praktik-praktik keagamaan yang sudah ada harus dipertahankan, tanpa harus
mengorbankan budaya lokal.

3. Pertemuan Ulama:
Pada tahun 1926, Hasyim Asy'ari, seorang ulama dari Jombang, Jawa Timur,
mengumpulkan sekelompok ulama tradisional dari berbagai wilayah di Jawa.
Pertemuan ini bertujuan untuk membahas bagaimana merespons pengaruh
Muhammadiyah dan gerakan pembaruan Islam lainnya. Ulama-ulama ini
memiliki keprihatinan terhadap dampak dari modernisasi terhadap tradisi
agama dan budaya Jawa.

4. Deklarasi Berdirinya NU:


Pada tanggal 31 Januari 1926, pertemuan ulama ini menghasilkan deklarasi
berdirinya Nahdlatul Ulama. Nama "Nahdlatul Ulama" dipilih untuk
mencerminkan semangat kebangkitan ulama dalam mempertahankan tradisi
dan nilai-nilai Islam yang telah lama ada dalam masyarakat. Hasyim Asy'ari
terpilih sebagai ketua pertama NU.

5. Misi dan Tujuan:


NU bertujuan untuk mempertahankan dan mengamalkan ajaran Islam yang
sejalan dengan budaya lokal. Organisasi ini tidak menolak modernitas
sepenuhnya, tetapi lebih menekankan pentingnya mengintegrasikan nilai-nilai
Islam dengan nilai-nilai budaya Jawa dan Indonesia secara harmonis.
Tujuan berdirinya NU adalah mengembangkan ajaran-ajaran Islam
Ahlussunnah wal Jamaah dan melindunginya dari penyimpangan kaum
pembaru dan modernis.

6. Pembedaan Dengan Muhammadiyah:


Salah satu tujuan utama pendirian NU adalah untuk menjaga dan
mempertahankan tradisi-tradisi keagamaan dan budaya lokal yang dianggap
Muhammadiyah mengabaikannya dalam usahanya memodernisasi Islam. NU
ingin menjaga keharmonisan antara Islam dan budaya lokal, sambil tetap
mempertahankan prinsip-prinsip agama.

7. Perkembangan dan Pertumbuhan:


NU mulai tumbuh dan mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan
masyarakat, terutama di daerah Jawa. Pesantren-pesantren di bawah
naungan NU menjadi pusat pendidikan Islam yang mengajarkan ajaran agama
sambil mempertahankan budaya lokal.

8. Peran dalam Perjuangan Nasional:


Selama masa penjajahan Belanda, NU turut serta dalam perjuangan nasional
melawan kolonialisme. Beberapa tokoh NU seperti KH. Hasyim Asy'ari dan KH.
Wahid Hasyim terlibat aktif dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia.

9. Pasca Kemerdekaan:
Setelah Indonesia meraih kemerdekaan pada tahun 1945, NU terus berperan
dalam politik dan masyarakat. Organisasi ini mendukung pembentukan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan mendukung Pancasila sebagai
dasar negara.

10. Pemimpin NU dalam Pemerintahan:


Beberapa tokoh NU, seperti KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), berhasil
mencapai jabatan-jabatan tinggi dalam pemerintahan. Gus Dur bahkan
menjadi Presiden Indonesia pada tahun 1999.

11. Pemeliharaan Tradisi dan Moderasi:


NU terus memainkan peran penting dalam memelihara tradisi keagamaan
dan budaya lokal sambil tetap mengedepankan prinsip-prinsip moderasi,
toleransi, dan kerukunan antaragama.
Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama telah berkontribusi besar
dalam membentuk wajah Islam Indonesia yang berakar pada tradisi lokal sambil memegang
prinsip-prinsip agama yang kuat.

Tokoh-tokoh pendiri nahdlatul ulama


1. KH. M.Hasyim Asyaari
2. KH Abdul Wahid Hasyim
3. KH Zainul Arifin
4. KH Zainal Mustofa
5. KH idham Chalid
6. KH Abdul Wahab Chasbullah
7. KH As’as Syamsul Arifin
8. KH Syam’un
9. KH masykur

1. Perbedaan NU dan Muhammadiyah dalam Hal Pengaruh Guru


KH. Ahmad Dahlan dipengaruhi oleh Syeikh Muhammad Khatib al-Minangkabawi,
Syeikh Nawawi al-Bantani, Kiai Mas Abdullah dan Kiai Faqih Kembang. Ibnu
Taimiyyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Muhammad ibn Abdul Wahhab, Jamaludin al-
Afghany, Muhammad Abduh, dan Rasyid Rida sebagai guru-gurunya.
Kecenderungan orientasi keagamaan yang dibawa oleh para guru kepada pendiri
Muhammadiyah ini adalah soal Reformisme (Tajdîd) Islam, Puritanisasi atau Purifikasi
(pemurnian) ajaran Islam, Islam Rasional, dan Pembaruan sistem pendidikan Islam.
Sementara pada KH. Hasyim Asy’ari, para guru yang berpengaruh adalah KH Kholil
Bangkalan, KH Ya‟kub, Syaikh Ahmad Amin al-Atthar, Syaikh Sayyid Yamani, Sayyid
Sultan Ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan al-Atthar, Sayyid Alawy Ibn Ahmad Al-
Saqqaf, Sayyid Abas Maliki, Sayid al-Zawawy, Syaikh Shaleh Bafadal dan Syaikh Sultan
Hasym al-Dagastany.
Kecenderungan orientasi keagamaan yang dibawa oleh para guru ini adalah soal
Penganjur Fiqih Madzhab Sunni terutama madzhab Syafi'i, menekankan pendidikan
tradisional (pesantren), dan praktek Tasawuf dan /tarekat , dan Faham Ahlusunnah
Wal Jama'ah.
2. Perbedan NU dan Muhammadiyah dalam Hal Faham Keagamaan
Nahdlatul Ulama:
Membaca Qunut dalam sholat Subuh Membaca Sholawat/puji-pujian setelah Adzan
Tarawih 20 Rakaat Niat shalat dengan membaca Ushalli Niat puasa dengan membaca
nawaitu sauma ghadin dengan jahr, niat berwudulu dengan nawaitu Wudu’a lirafil
hadats Tahlilan, Dibaiyah, barjanzi dan selamatan (kenduren) Bacaan Dzikir setelah
sholat dengan suara Nyaring Adzan subuh dengan lafad Ashalatu khair minan naum
Adzan Jum'at 2 kali Menyebut Nabi dengan kata Sayyidina Muhammad Shalat Id di
masjid Menggunakan Madzhab Empat dalam Fikih (Syafii, Maliki, Hambali dan
Hanafi)
Muhammadiyah:
Tidak membaca Qunut dalam Shalat Subuh Tidak membaca puji-pujian/sholawat
Tarawih 8 rakaat Niat Shalat tidak membaca Ushalli Niat Puasa dan Wudlu tanpa
dijahr-kan. Tidak boleh Tahlilan, Dibaiyah, Berjanzi dan Selamatan (kenduren) Dzikir
setelah shalat dengan suara pelan Adzan Subuh tanpa Ashalatu khairu minan Naum
Adzan Jum'at 1 kali Tidak menggunakan kata Sayyidina Shalat Id di lapangan Tidak
terikat pada madzab dalam fikih

Anda mungkin juga menyukai