MAKALAH
Oleh:
2020
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Lahirnya Pemikiran Ormas-Ormas Islam Di Indonesia
2. Pembahasan
2.1 Nahdatul Ulama (NU)
Organisasi (Jami’yah) Nahdlatul Ulama, didirikan oleh KH. Hasyim Asy‟ari, pada tanggal
31 Januari 1926, di Kertopaten, Surabaya. Nahdlatul Ulama berarti “Kebangkitan Ulama”, karena
hampir semua pemrakarsa berdirinya NU adalah para Kiai Jawa. Para ulama tersebut pada mulanya
membahas tentang penujukkan delegasi Komite Hijazz, yakni utusan Muslim Indonesia, yang
hendak dikirim untuk menyampaikan pesan kepada Raja Abdul Azis ibnu Saud penguasa baru
Hijaz (Saudi Arabia) yang berfaham Wahabi. Tetapi karena belum memiliki organisasi yang
bertindak sebagai sebagai pengirim delegasi, maka secara spontan dibentuk organisasi yang
kemudian diberi nama Nahdlatul Ulama, setelah sebelumnya terjadi perdebatan sengit mengenai
nama organisasi perkumpulan ulama tersebut.namun delegasi tersebut gagal berangkat ke Hijaz.
Delegasi yang diutus ke sana justeru para tokoh muslim modernis dari Muhammadiyah. Di antara
tokoh-tokoh yang menggagas lahirnya NU di Surabaya itu adalah oleh KH. Hasyim Asy‟ari
(Ketua) dari Jombang, KH. Bisri Sansuri dari Jombang, KH. Wahhab Chabullah (sebagai tuan
rumah) dari Surabaya, KH. Asnawi dari Kudus, KH. Nawawi dari Pasuruan, KH. Ridlwan dari
Semarang, KH. Ma‟sum dari Lasem, Rembang, dan beberapa Kiai sepuh NU lainnya, bahkan ada
seorang Syeikh dari Mesir yang bernama Syaikh Ahmad Ghanaim
Dalam statute “Perkoempoelan Nahdlatul Oelama”, pasal 3 tahun 1926 disebutkan bahwa
tujuan organisasi NU antara lain :
1) menghubungkan jaringan ulama yang bermadzab empat dan berhaluan ahlusunnah wal
Jama’ah,
2) memperbanyak madrasah, surau, dan masjid, dan pondok pesantren
3) memperhatikan nasib anak yatim, fakir miskin
4) mendirikan badan-badan untuk memajukan bidang pertanian dan perniagaan yang
sesuai dengan Islam.
Dari perspektif ini terlihat bahwa NU berjuang dibidang pendidikan, dakwah, sosial dan
ekonomi Islam dan hal ini terlihat beberapa titik yakni konsens dibidang pendidikan, dakwah dan
bidang sosial-ekonomi.
Dalam kitab tersebut Hasyim Asyari menekankan tentang etika dalam menuntut
ilmu. Pembahasan tentang etika menuntut ilmu menjadi masalah krusial dalam perspektif
tradisi intelektual di kalangan pesantren. Dalam kitab tersebut terdiri dari delapan bab, kitab
itu dimulai pembahasannya, tentang keutamaan menuntut ilmu dan keutamaan dalam
proses belajar, kemudian secara panjang-lebar dibahas tentang etika seorang peserta didik
dalam proses pembelajaran, juga etika guru dalam menyampaikan pelajaran. Nuansa
sufisme sangat kental dalam pembahasan tentang proses pendidikan dan pengajaran.Dalam
konteks ini, pengaruh Tasawuf Akhlaqi sangat dominan. Hal ini bisa dilacak dari gagasan-
gagasan Hasyim Asy‟ari tentang sikap-sikap utama yang harus dimiliki oleh guru ataupun
murid, misalnya sifat Qanaah, Sabar, Wara’(hati-hati terhadap hal-hal yang Syubhat),
meninggalkan hal-hal yang bersifat maksiyat dan lain sebagainya, ketika sedang menuntut
ilmu.
Tradisi intelektual itu begitu kokohnya dan melembaga di kalangan para pendidik
dan peserta didik yang menuntut ilmu di berbagai pondok-pondok pesantren salaf di
Indonesia hingga sekarang. Pada umunya disamping teori akhlak yang dikemukakan oleh
Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy‟ari tersebut, sebenarnya secara akademik tradisi
pendidikan di pesantren-pesantren tradisional mengacu pada konsep etika pendidikan yang
berasal dari kitab monumental Talîm al-Muta’alim karya imam AzZarnuji yang menjadi
referensi wajib para santri di pesantren tradisional dan kitab al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûmuddîn.
Etika pendidikan Islam di lingkungan pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama (NU) itu
kemudian dikembangkan lagi oleh tokoh-tokoh Nahdliyin lainnya, seperti KH. Ahmad
Sidiq, yang kemudian mengintrodusir konsep Tasammuh (toleransi), Tawazzun
(keseimbangan), Ukhuwah Wathâniyah, dan Ukhuwah Insâniyah, di samping Ukhuwah
Islâmiyah. Tradisi pemikiran Nahdlatul Ulama terkenal dalam semboyannya sebagai
organisasi Islam ala Ahlusunnah wal Jama‟ah (Aswaja), yang menjaga tradisi ajaran Islam
berdasarkan al-Qur‟an dan Sunnah Nabi, serta pendapat-pendapat para Ulama tentang
ajaran Islam.
2.2 Muhammadiyah
Kyai Dahlan, sebagaimana para pembaru Islam lainnya, dengan tipologi yang khas,
memiliki cita-cita membebaskan umat Islam dari keterbelakangan dan membangun kehidupan
yang berkemajuan melalui tajdid (pembaruan) yang meliputi aspek-aspek tauhid (‘aqidah), ibadah,
mu’amalah, dan pemahaman terhadap ajaran Islam dan kehidupan umat Islam, dengan
mengembalikan kepada sumbernya yang asli yakni Al-Quran dan Sunnah Nabi yang Shakhih,
dengan membuka ijtihad. Dahlan ingin membersihkan aqidah Islam dari segala macam syirik,
dalam bidang ibadah, membersihkan cara-cara ibadah dari bid’ah, dalam bidang mumalah,
membersihkan kepercayaan dari khurafat, serta dalam bidang pemahaman terhadap ajaran Islam,
ia merombak taklid untuk kemudian memberikan kebebasan dalam berijtihad.
1) bahwa pendidikan Islam hendaknya diarahkan untuk membentuk manusia muslim yang
berbudi pekerti yang luhur, alim dalam agama, luas pandangannya dan paham masalah
ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya.
2) pendidikan Islam hendaknya dapat mengakomodasi berbagai ilmu pengetahuan, baik
umum maupun agama, untuk mempertajam daya intelektualitas dan daya spritualitas
peserta didik.
3) Proses pendidikan harus bersifat integral, karena proses pendidikan yang demikian itu pada
akhirnya akan mampu mencetak kader-kader ulama yang intelektual dan para intelektual
yang ulama. Berpijak pada pandangan diatas, sesungguhnya KH. Ahmad Dahlan berusaha
merealisasikan pandannganya bahwa pengelolaan pendidikan Islam harus dilakukan secara
modern, sehingga pendidikan yang dilaksanakan akan mampu memenuhi kebutuhan
peserta didik dalam menghadapi dinamika zamannya. Untuk itu pendidikan Islam harus
inovatif dan progresif. Gagasan pembaruan pendidikan sejak awal berdirinya
Muhammadiyah tahun 1912, telah dikembangkan oleh generasi penerus Muhammadiyah
di kemudian hari dengan jalan mendirikan sejumlah sekolah yang ada dalam berbagai
jenjang pendidikan dari tingkat paling rendah (Taman Kanak-kanak) TK Aisyah Bustanul
Atfal, hingga pendidikan tinggi seperti Universitas Muhammadiyah, yang tersebar di
seluruh Indonesia.
b) Bidang Sosial-Sejahtera
Pembaruan Islam yang cukup orisinal dari Kyai Dahlan dapat dirujuk pada pemahaman
dan pengamalan Surat Al-Ma’un. Gagasan dan pelajaran tentang Surat Al-Maun, merupakan
contoh lain yang paling monumental dari pembaruan yang berorientasi pada amal sosial-
kesejahteraan, yang kemudian melahirkan lembaga Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO).
Langkah momumental ini dalam wacana Islam kontemporer disebut dengan ”teologi
transformatif”. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan Muhammadiyah pada prinsipinya bukan hanya
inisiatif pemimpinnya saja, tetapi juga banyak mencontoh model misionaris Kristen seperti
menolong orangorang fakir miskin, menolong anak terlantar, yatim piatu, penggalangan zakat dan
membuat kepanduan (hizbul wathan/pramuka). Selain itu Muhammadiyah juga mendirikan
Aisyiah ormas wanita untuk memberikan penyuluhan bagi ibu-ibu dalam mendidik anak,
pengembangan karir dll.
c. Analisis Pemikiran Terhadap KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah)
Persatuan Islam (Persis) didirikan di Bandung tahun 1920 M ketika di daerahdaerah lain
pada dasarnya telah lebih dulu maju dengan ormas lain. Keterlambatan ini merupakan cambuk
bagi Persis untuk mengejar ketertinggalan. Ide pendirian organisasi ini adalah dari tokoh Haji
Zamzam dan Haji Muhammad Yunus. Asal mula yang melatar belakangi ormas ini lahir adalah
karena ada pertikaian muncul dalam hal keagamaan yang di kupas di Al-Munir dan al-Manar, serta
makin maraknya paham komunis yang mampu memecah belah Sarikat Islam. Persis lahir tidak
memberikan penekanan bagi kegiatan organisasi, perkaderan dan membuka cabang di daerah-
daerah serta memperbanyak anggota sebagaimana Muhammadiyah dan NU.
A.M. Suryanegara dalam buku Api Sejarah menulis bahwa atas prakarsa Haji Zamzam
(1894-1952 M) dan Haji Yunus di Bandung pada tanggal 12 September 1923 M. didirikan
organisasi masyarakat Persatuan Islam (Persis) bertujuan untuk menyatukan pemahaman
keislaman di masyarakat Indonesia dengan berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah
Persis banyak dipengaruhi aliran Wahabiyah, Arab Saudi, tampil berdakwah sekaligus
menentang segala praktik-praktik keagamaan yang berasal dari luar ajaran Islam. Selain berupaya
memurnikan akidah umat Islam, juga menurut AM Suryanegara, ormas ini ikut andil menentang
imperialis Barat, Kerajaan Protestan Belanda dan pemerintahan kolonial Belanda yang bercokol
di Indonesia.
Pengaruh Persis besar karena cita-cita dan pemikirannya disebarkan lewat media pamflet,
majalah (Al-Muslimun), tabligh, khotbah, sekolah-sekolah dan buku-buku. Referensi buku atau
materi itu banyak menjadi acuan bagi guru, mubaligh dari AlIrsyad, Muhammadiyah dll. Dalam
kegiatan tersebut Persis beruntung mendapatkan dukungan dari tokoh penting yaitu Ahmad Hasan
(priode berikutnya ia menjadi gurunya Persis) dan dukungan dari M. Natsir ( di kemudian hari ia
menjadi penggagas berdirinya Masyumi).
Pada dasarnya, persis ditujukan pada faham Al-Qur’an dan sunnah, hal ini dilakukan berbagai
macam aktifitas diantaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tablgh, khutbah,
kelompok studi, tadarus, mendirikan sekolah-sekolah (pesantren), menerbitkan majalah-majalah
dan kitab-kitab, serta, serta berbagai aktifitas keagamaan lainnya, tujuan utmanya adalah
terlaksananya syari’at islam secara kaffa dalam segala aspek kehidupan, untuk mencapai tujuan
jam’iyyah, persis melaksanakan berbagai kegiatan antara lain pendidikan yang mulai dengan
mendirikan pesaantren persis pada tanggal 4 maret 1936, dari pesantren persis ini kemudian
berkembang berbagai lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul Athfal (taman kanak-kanak )
hingga perguruan tinggi, kemudian menerbitkan berbagai buku, kitab-kitb, dan majalah antaralain
majalah pembela Islam (1929 ), majalah Al-fatwa,(1931), Al-lissan (1935), majalah At-taqwa
(1937) majalah Al-hikam (1939), majalah Aliran islam (1948), majalah risalah (1962), serta
berbagai majalah yang di terbitkan di cabang-cabang persis. Selain pendidikan dan penerbitan,
kegiatan rutin adalah menyelenggarakan pengajian dan diskusi yang banyak di gelar di daerah-
daerah, baik atas inisiatif pimpinan pusat persis maupun permintaan dari cabang-cabang persis,
undang-undang dari organisasi islam lainnya, serta masyarakat luas.
Didirikan di Solo pada tanggal 11 November 1912 M. Semula organisasi ini tumbuh dari
organisasi Sarikat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh Tamar Jaya dan Haji Saman Hoedi
tanggal 16 Oktober 1905 M. Alasan berdirinya SI adalah:
1) kompetisi yang meningkat di bidang perdagangan batik pribumi (muslim) dengan etnik
Cina.
2) sikap superioritas orang-orang Cina terhadap pribumi sehubungan dengan berhasilnya
revolusi Cina tahun 1911 M.
3) munculnya tekanan dari orang Indonesia terutama dari kalangan bangsawan yang banyak
mendapat hak istimewa dari Belanda, tidak mengindahkan hak-hak rakyat biasa, rakyat
dilarang memakai pakaian tertentu; atau melalui jalan-jalan tertentu.
Sarikat Islam pada fase selanjutnya memperoleh dukungan tokoh-tokoh penting yang
mengendalikan organisasi seperti Haji Oemar Said Cokroaminoto. Ia termasuk tokoh yang sangat
radikal dalam membela hak-hak rakyat yang ditindas Belanda, Cina dan kaum bangsawan. Haji
Agus Salim masuk SI tahun 1915. ia tokoh penting setelah HOS Cokroaminoto. Selain itu ada juga
Abdul Muis. Dua tokoh terakhir mampu membentengi SI dari penetrasi paham komunis yang telah
merasuki sebagian besar organisasi lain termasuk SI.
b. Ide Pokok Pemikiran Serikat Islam
a) bidang politik, menuntut berdirinya dewan daerah; perluasan hak volksraad (dewan
rakyat) untuk menjadi lembaga legislatif dan menyampaikan aspirasi rakyat;
disamping itu SI juga menuntut dihapuskannya kerja paksa dan sistem izin ketika
mau bepergian naik haji.
b) bidang pendidikan, SI menuntut penghapusan peraturan yang diskriminatif untuk
penerimaan murid di sekolah-sekolah, perbaikan lembaga pendidikan, dan perlunya
ditambah jumlah sekolah.
c) bidang agama, SI menuntut dihapuskannya segala macam UU dan peraturan yang
menghambat tersebarnya Islam; pembayaran gaji guru dan penghulu seimbang
dengan gaji pendeta; subsidi bagi lembaga pendidikan Islam; dan pengakuan hari-
hari besar Islam.
d) bidang Agraria, SI menuntut penghapusan particuliere landerijen (milik tuan
tanah); industri-industri yang menyangkut orang banyak harus dinasionalisasi bukan
dimonopoli. Dan bidang keuangan, SI menuntut agar pajak berdasar proporsional,
melarang pekerja dari kalangan anak-anak. Seiring dengan perubahan waktu,
akhirnya SI diberi pengakuan sebagai Badan Hukum oleh Belanda pada bulan Maret
tahun 1916.
Kebangkitan Islam sudah dimulai sejak akhir abad ke-19 M. dan terus menunjukkan
gairahnya pada awal abad ke-20 M. dengan tokoh-tokoh awal Syaikh Ahmad Khatib
alMinangkabui Masa kebangkitan Islam di Indonesia pada awal abad ke 20 M di tandai dengan
lahirnya ormas-ormas Islam yang dapat di kategorikan tradisionalis dan modernis yaitu organisasi
kelompok tradisional adalah Nahdhatul Ulama (1926), Sedangkan organisasi modernis adalah
Muhammadiyah (1912), Persis (1920), dan Sarikat Islam (1912).