Anda di halaman 1dari 12

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DAN PEMBAHARUAN ISLAM DI INDONESIA

OLEH ORMAS-ORMAS ISLAM (SERIKAT ISLAM MUHAMMADIYAH, NU DAN


PERSIS)

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah PPMDI

Oleh:

Rini Riyani (10030118184)

Siti Nurfarikah (10030118185)

M Fadillah Mochtar (10030118187)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

2020
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Lahirnya Pemikiran Ormas-Ormas Islam Di Indonesia

Kebangkitan Islam (Islamic Resurgence) merupakan suatu gerakan yang mengacu


pada pandangan dari umat Islam bahwa Islam menjadi penting kembali, karena Islam
dikaitkan dengan perjalanan masa lalunya yang gemilang hingga masa lalu tersebut
mempengaruhi pemikiran kaum muslimin sekarang, Islam dianggap sebagai satu-satunya
kekuatan alternatif memperbaiki kondisi umat yang sedang mengalami keterpurukan.
Kebangkitan Islam sudah dimulai sejak akhir abad ke-19 M. dan terus menunjukkan
gairahnya pada awal abad ke-20 M, kebangkitan tersebut dilakukan dengan
mengembalikan pendidikan sebagaimana yang terjadi pada zaman kemajuan yaitu ilmu
yang ter-integrated antara ilmu-ilmu naqliyah dan aqliyah.

Salah satu dampak dari masuknya ide-ide pembaharuan pemikiran Islam ke


Indonesia pada awal abad ke 20 adalah lahirnya kesadaran berorganisasi di kalangan kaum
Muslimin hal ini ditandai dengan munculnya berbagai organisasi massa Islam, seperti
Serikat Islam, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU), Persatuan Islam (Persis), dan lain-
lain. Organisai ini bergerak di bidang dakwah, sosial dan pendidikan. Karena kelahiran
organisai ini didorong oleh semangat pembaharuan, maka di dalam mengelola pendidikan
pun organisasi Islam ini juga menerapkan ide-ide pembaharuan tersebut dengan
pembahasan masalah persoalan keagamaan intern atau lingkungan umat Islam dimana
praktek-praktek keagamaan “tradisional” berpengaruh pada lingkungan umat seperti taklid
pada pendapat ulama, praktik tarekat yang banyak mengkultuskan wali, praktek sebagian
umat yang banyak mengeramatkan benda-benda atau tempat tertentu, berkembangnya
paham Islam sinkretis, khurafat, tahayul dan praktik bid’ah. Semua praktek tersebut
dipandang kelompok revivalis atau pembaru (Wahabi) sebagai bid’ah dan menyimpang
dari al-Quran dan Hadits. Munculnya organisasi Islam dan peranan organisasi Islam dalam
menyebarluaskan pemurnian ajaran Islam, menjadi perdebatan antar kelompok ormas
tersebut antara lain, Taklid, Tarekat-tarekat, dan Wasillah Sarana penunjang bagi
tersebarnya pemurnian Islam adalah tokoh pembaharu awal yaitu pemikiran dari Timur
Tengah adalah Syaikh Ahmad Khatib alMinangkabui. Ia adalah imam besar masjid Al-
Haram di Mekah. Ia tidak pernah pulang ke kampung halaman karena, sistem adat warisnya
yang tidak mau berubah dan menentang sistem tarekat yang berkembang saat itu.
Pemikiran Ahmad Khatib banyak disebarluaskan oleh para muridnya seperti Syeikh
Muhammad Jamil Djambek, Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), Haji Abdullah
Ahmad, KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), Sulaiman Ar-Rasuli dan KH
Hasyim Asy’ari (Pendiri NU). Dua tokoh terakhir masih menganut sistem tradisi atau tidak
sejalan dengan kelompok pembaharu termasuk dengan gurunya, karena liberalnya Ahmad
Khatib dalam memberikan materi pada muridnya agar menggali dari berbagai sumber.
1.2 Pembahasan Makalah

a. Bagaimana Pemikiran KH Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdatul Ulama)?


b. Bagaimana Pemikiran KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah)?
c. Bagaimana Pemikiran H. Zam-Zam Dan H. Muhammad Yunus (Pendiri Persatuan Islam)?
d. Bagaimana Pemikiran Tamar Jaya dan Haji Saman Hoedi (Pendiri Serikat Islam)?

2. Pembahasan
2.1 Nahdatul Ulama (NU)

a. Biografi KH Hasyim Asy’ari (Nahdatul Ulama)

Organisasi (Jami’yah) Nahdlatul Ulama, didirikan oleh KH. Hasyim Asy‟ari, pada tanggal
31 Januari 1926, di Kertopaten, Surabaya. Nahdlatul Ulama berarti “Kebangkitan Ulama”, karena
hampir semua pemrakarsa berdirinya NU adalah para Kiai Jawa. Para ulama tersebut pada mulanya
membahas tentang penujukkan delegasi Komite Hijazz, yakni utusan Muslim Indonesia, yang
hendak dikirim untuk menyampaikan pesan kepada Raja Abdul Azis ibnu Saud penguasa baru
Hijaz (Saudi Arabia) yang berfaham Wahabi. Tetapi karena belum memiliki organisasi yang
bertindak sebagai sebagai pengirim delegasi, maka secara spontan dibentuk organisasi yang
kemudian diberi nama Nahdlatul Ulama, setelah sebelumnya terjadi perdebatan sengit mengenai
nama organisasi perkumpulan ulama tersebut.namun delegasi tersebut gagal berangkat ke Hijaz.
Delegasi yang diutus ke sana justeru para tokoh muslim modernis dari Muhammadiyah. Di antara
tokoh-tokoh yang menggagas lahirnya NU di Surabaya itu adalah oleh KH. Hasyim Asy‟ari
(Ketua) dari Jombang, KH. Bisri Sansuri dari Jombang, KH. Wahhab Chabullah (sebagai tuan
rumah) dari Surabaya, KH. Asnawi dari Kudus, KH. Nawawi dari Pasuruan, KH. Ridlwan dari
Semarang, KH. Ma‟sum dari Lasem, Rembang, dan beberapa Kiai sepuh NU lainnya, bahkan ada
seorang Syeikh dari Mesir yang bernama Syaikh Ahmad Ghanaim

b. Ide Pemikiran KH Hasyim Asy’ari (Nahdatul Ulama)

Dalam statute “Perkoempoelan Nahdlatul Oelama”, pasal 3 tahun 1926 disebutkan bahwa
tujuan organisasi NU antara lain :

1) menghubungkan jaringan ulama yang bermadzab empat dan berhaluan ahlusunnah wal
Jama’ah,
2) memperbanyak madrasah, surau, dan masjid, dan pondok pesantren
3) memperhatikan nasib anak yatim, fakir miskin
4) mendirikan badan-badan untuk memajukan bidang pertanian dan perniagaan yang
sesuai dengan Islam.

Dari perspektif ini terlihat bahwa NU berjuang dibidang pendidikan, dakwah, sosial dan
ekonomi Islam dan hal ini terlihat beberapa titik yakni konsens dibidang pendidikan, dakwah dan
bidang sosial-ekonomi.

a) Bidang Pendidikan dan Dakwah

Pokok-pokok gagasan pemikiran pendidikan Islam di kalangan NU, sesungguhnya


tidak bisa dilepaskan dari gagasan pendiri Jamiyah NU yaitu KH. Hasyim Asyari.
Konstruksi pemikiran Hasyim Asyari, lebih merepresentasikan seorang ulama yang
mendalami konsep pendidikan dengan pendekatan sufisme Islam. Salah satu kitab
monumental KH. Hasyim ASyari yang berbicara tentang pendidikan adalah kitab Ādab al-
Ta’lîm fîma Yahtaj ilah al-Muta’alim fî Ahwâl Ta’alum wa mâ Yaqaf al-Mu’allim fî
Maqâmat Ta’lîmih yang dicetak pertama kali pada tahun 1415H.

Dalam kitab tersebut Hasyim Asyari menekankan tentang etika dalam menuntut
ilmu. Pembahasan tentang etika menuntut ilmu menjadi masalah krusial dalam perspektif
tradisi intelektual di kalangan pesantren. Dalam kitab tersebut terdiri dari delapan bab, kitab
itu dimulai pembahasannya, tentang keutamaan menuntut ilmu dan keutamaan dalam
proses belajar, kemudian secara panjang-lebar dibahas tentang etika seorang peserta didik
dalam proses pembelajaran, juga etika guru dalam menyampaikan pelajaran. Nuansa
sufisme sangat kental dalam pembahasan tentang proses pendidikan dan pengajaran.Dalam
konteks ini, pengaruh Tasawuf Akhlaqi sangat dominan. Hal ini bisa dilacak dari gagasan-
gagasan Hasyim Asy‟ari tentang sikap-sikap utama yang harus dimiliki oleh guru ataupun
murid, misalnya sifat Qanaah, Sabar, Wara’(hati-hati terhadap hal-hal yang Syubhat),
meninggalkan hal-hal yang bersifat maksiyat dan lain sebagainya, ketika sedang menuntut
ilmu.
Tradisi intelektual itu begitu kokohnya dan melembaga di kalangan para pendidik
dan peserta didik yang menuntut ilmu di berbagai pondok-pondok pesantren salaf di
Indonesia hingga sekarang. Pada umunya disamping teori akhlak yang dikemukakan oleh
Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy‟ari tersebut, sebenarnya secara akademik tradisi
pendidikan di pesantren-pesantren tradisional mengacu pada konsep etika pendidikan yang
berasal dari kitab monumental Talîm al-Muta’alim karya imam AzZarnuji yang menjadi
referensi wajib para santri di pesantren tradisional dan kitab al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûmuddîn.
Etika pendidikan Islam di lingkungan pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama (NU) itu
kemudian dikembangkan lagi oleh tokoh-tokoh Nahdliyin lainnya, seperti KH. Ahmad
Sidiq, yang kemudian mengintrodusir konsep Tasammuh (toleransi), Tawazzun
(keseimbangan), Ukhuwah Wathâniyah, dan Ukhuwah Insâniyah, di samping Ukhuwah
Islâmiyah. Tradisi pemikiran Nahdlatul Ulama terkenal dalam semboyannya sebagai
organisasi Islam ala Ahlusunnah wal Jama‟ah (Aswaja), yang menjaga tradisi ajaran Islam
berdasarkan al-Qur‟an dan Sunnah Nabi, serta pendapat-pendapat para Ulama tentang
ajaran Islam.

b) Bidang Sosial- Ekonomi

Pada awalnya di bidang pendidikan NU terkenal sebagai organisasi Islam


tradisional yang berkonsentrasi pada bidang pendidikan Islam tradisional di pesantren-
pesantren dan madrasah. Akan tetapi seiring perkembangan zaman dan transformasi sosial
yang terjadi, NU sudah berubah menjadi organisasi yang terbuka dan juga mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan modern dari jenjang Taman kanak-Kanak (TK) hingga
perguruan Tinggi (Sekolah Tinggi, Institut dan Universitas), di samping tetap melestarikan
pendidikan di pesantren sebagi ciri khas Nahdlatul Ulama.

Kalau dibandingkan dalam konteks pendidikan Muhammadiyah maupun NU


mempunyai ideologi keagamaan yang diajarkan di beberapa perguruan tinggi yang dikelola
oleh Muhammadiyah sesungguhnya telah diberikan sejak dini dari jenjang pendidikan
dasar hingga pendidikan Tinggi. Misalnya materi tentang Ke-Muhammadiyah-an. Begitu
juga di kalangan Organisasi Nahdlatul Ulama sebenarnya warisan doktrin ajaran Aswaja
(Ahlusunnah wal Jamaah) atau ke-NU-an juga telah dilembagakan dalam silabus atau
kurikulum pendidikan dalam beberapa jenjang pendidikan yang dikelola oleh Nahdlatul
Ulama (NU). Yang menarik adalah bahwa warisan faham keagamaan atau doktrin
keagamaan itu juga tetap dikonservasikan hingga sekarang sebagai bagian dari jatidiri
masing-masing lembaga pendididkan tinggi yang dibawah payung Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama.

Potensi kekuatan organisasai NU pada umunya berada pada masyarakat pedesaan


(rural society) dan masyarakat agraris, sama seperti di Jawa pada umumnya komunitas
pedesaan menjadi basis penyangga keberadaan pesantren di bawah asuhan para Kiai yang
menjadi figur keagamaan di Jawa, bahkan di Sumatera, Madura dan daerah lainnya posisi
Kiai-Kiai NU masih sangat berpengaruh di tengah masyarakat pedesaan terutama dalam
menjelaskan masalah agama dengan realitas kehidupan sosial. Oleh karena itu dalam
sebuah penelitian tentang peran Kiai dalam perubahan sosial yang dilakukan oleh seorang
peneliti asal Jepang, Nakamura menyatakan bahwa Kiai merupakan agen perubahan sosial
yang sangat berpengaruh dalam transformasi sosial keagamaan di tengah masyarakat.

Howard M Federspiel, sebagaimana yang dikutip La Ode Ida, menyatakan bahwa


basis NU adalah pesantren suatu lembaga pendidikan yang dikelola untuk mengembangkan
dan mewariskan ajaran ahlusunnah waljama’ah (aswaja) dengan penekanan pada metode
pendidikan tradisional berupa pengulangan dan memorisasi sumber-sumber ajaran agama
yang menjadi standarnya. Salah satu sumber literaturnya yang sangat menonjol adalah
“kitab kuning” yakni buku-buku yang berbahasa Arab karya para penulis Muslim periode
pertengahan, yang isinya menyangkut sekitar jurisprudensi (fikih), tauhid (hakekat Allah),
hadits (kebiasaan Nabi Muhammad SAW), tasawuf dan bahasa Arab.
Ciri khas ajaran Ahlusunnah Wal Jamâ’ah (Aswaja), yang menjadi garis
perjuangan NU bersumber pada al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ (keputusan para ulama
sebelumnya), dan Qiyas (kasus-kasus yang belum ada dalam dalam al-Qur‟an dan Hadist,
disamakan dengan masalah yang sudah ada nashnya karena persamaan Illatnya). Secara
terperinci dalam konteks aplikasinya KH Mustafa Bisri menyebutkan bahwa terdapat tiga
substansi ajaran Ahlusunnah wal Jamâ’ah yang dipegangi oleh NU. Pertama, dalam bidang
hukum Islam, menganut salah satu ajaran dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan
Hambali) yang dalam praktekya para Kiai NU menganut kuat madzhab Syafi‟i. Kedua,
dalam soal tauhid (ketuhanan) menganut ajaran Imam Abu Hasan al-Asy‟ari dan Imam
Abu Mansur al-Maturidi. Ketiga, dalam bidang tasawuf menganut dasar-dasar ajaran Imam
Abu Qasim al-Junaidi

c. Analisis Terhadap Pemikiran KH Hasyim Asy’ari (Nahdatul Ulama)


Kedekatan doktrin teologis NU dengan aliran kalam Ahlusunnah walJama’ah, serta
semangat tasawuf Islam tidak lepas dari pengaruh pemikiran KH Hasyim Asy‟ari terutama
pengaruh dari ulama-ulama yang pernah menjadi gurunya ketika belajar di kota Makkah.
Pandangan yang akomodatif dalam teologi Asy‟ariyah banyak dijadikan model referensi para
ulama pesantren tradisional NU dalam menjelaskan konsep-konsep aqidah yang dianggap
paling sesuai dengan aliran “Ahlussunnah wal Jama‟ah”, di bandingkan dengan aliran teologi
lainnya misalnya Mu’tazilah, Murji’ah atau bahkan aliran ekstrim Khawarij, dan Syi‟ah.
Nahdlatul Ulama, tidak terlalu mempertentangkan Islam dengan adat atau tradisi lokal. Jika
tidak bertentangan secara prinsip dengan aqidah Islam, adat tetap dihargai, maka model
penyebaran Islam ini dianggap sebagai model dakwah “Islam Kultural” atau “Indegenisasi
Islam” yang menghargai tradisi luhur peninggalan budaya lokal selama tidak bertentangan
secara prinsipil dengan Islam.

2.2 Muhammadiyah

a. Biografi KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah)

Muhammadiyah merupakan organisasi (persyarikatan) yang didirikan oleh KH. Ahmad


Dahlan, pada tanggal 18 Nopember 1912 di Yogyakarta. Komitmen awal organisasi pembaruan
Islam ini adalah melakukan pembebasan aqidah masyarakat dari pengaruh bid’ah, khurafat, syirik
dan takhayyul. Tepatnya membebaskan mayarakat dari kemusyrikan, dan sinkretisme agama Islam
dengan budaya lokal. Karena itu Muhammadiyah dianggap sebagai pelopor gerakan purifikasi
agama di Indonesia. Kiprah ormas Muhammadiyah telah eksis sejak zaman penjajahan Belanda,
dan terus berkembang hingga sekarang. Di samping berjuang menegakkan Aqidah Islam yang
murni, Muhammadiyah juga berjuang di bidang sosial, pendidikan, dan dakwah. Sejak didirikan
pada tahun 1912, potret Muhammadiyah yang paling menonjol adalah pengembangan sistem
pendidikan Islam modern, sehingga banyak sekolahsekolah yang didirikan oleh Muhammadiyah
dari kota sampai ke pelosokpelosok di tanah air.

b. Ide Pokok Pemikiran KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah)

Kyai Dahlan, sebagaimana para pembaru Islam lainnya, dengan tipologi yang khas,
memiliki cita-cita membebaskan umat Islam dari keterbelakangan dan membangun kehidupan
yang berkemajuan melalui tajdid (pembaruan) yang meliputi aspek-aspek tauhid (‘aqidah), ibadah,
mu’amalah, dan pemahaman terhadap ajaran Islam dan kehidupan umat Islam, dengan
mengembalikan kepada sumbernya yang asli yakni Al-Quran dan Sunnah Nabi yang Shakhih,
dengan membuka ijtihad. Dahlan ingin membersihkan aqidah Islam dari segala macam syirik,
dalam bidang ibadah, membersihkan cara-cara ibadah dari bid’ah, dalam bidang mumalah,
membersihkan kepercayaan dari khurafat, serta dalam bidang pemahaman terhadap ajaran Islam,
ia merombak taklid untuk kemudian memberikan kebebasan dalam berijtihad.

a) Bidang Pendidikan dan Dakwah

Pandangan filosofis Muhammadiyah tentang pendidikan pentinya pendidikan Islam,


dikembangkan dari pokok-pokok pikiran KH. Ahmad Dahlan. Menurut KH. Ahmad Dahlan
harus didasarkan pada landasan yang kokoh. Dalam pandangan Islam menurut KH. Ahmad
Dahlan manusia, secara prinsipal mempunyai dua tugas utama yaitu sebagai Abd Allah, dan
sebagai Khalîfah fîl Arld. Sedangkan dari perspektif penciptaanya, manusia diberikan oleh
Allah potensi al-Rûh dan al-Aql. Oleh karena itu menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan
hendaknya menjadi media yang dapat mengembangkan kedua potensi manusia tersebut
menalar dan mencari petunjuk untuk pelaksanaan ketundukan dan kepatuhan manusia kepada
Khaliknya. Hal ini mengindikasikan bahwa pengembangan pendidikan harus didasarkan pada
pengembangan potensi dasar manusia yaitu berupa ilmu pengetahuan yang dapat diperoleh,
apabila manusia (peserta didik) mendayagunakan berbagai media baik yang diperoleh malalui
persepsi inderawi, akal, kalbu, wahyu, maupun ilham. Dengan demikian, aktifitas pendidikan
dalam Islam hendaknya memberikan kemungkinan yang sebesar-besarnya bagi
pengembangan semua potensi tersebut. Menurut KH Ahmad Dahlan pengembangan tersebut
merupakan proses integrasi antara ruh dan jasad. Konsep ini diketengahkan dengan
menggariskan perlunya pengkajian ilmu pengetahuan secara langsung, sesuai dengan
prinsipprinsip al-Qur‟an dan Sunnah bukan semata-mata dari kitab tertentu.

Secara realitas perjuangan Muhammadiyah terefleksikan dalam gagasan tokoh


pendirinya. KH Ahmad Dahlan mencoba menggugat praktek pendidikan Islam pada masanya.
Karena pada saat itu, pelaksanaan pendidikan hanya dipahami sebagai pewarisan adat dan
perilaku individu maupun sosial yang telah dianggap baku di dalam masyarakat, sehingga
pendidikan tidak memberikan kebebasan peserta didik untuk berkreasi dan mengambil
prakarsa, dan menimbulkan efek stagnansi pemikiran dalam pendidikan, karena pelaksanaan
pendidikan berjalan searah dan tidak dialogis. Oleh karena itu harus ada perubahan strategi
pendidikan, dengan jalan membuka cakrawala berpikir, mengembangkan daya kritis, sikap
dialogis, menghargai potensi akal dan hati yang suci, merupakan cara strategis bagi peserta
didik untuk mencapai pengetahuan tertinggi.

Dengan semangat tersebut sesungguhnya KH.Ahmad Dahlan terlihat berusaha


meletakan visi dasar bagi reformasi pendidikan Islam dari tardisionalisme ke pada visi
modernisme pendidikan Islam. Bahkan lebih dari itu KH. Ahmad Dahlan juga berusaha
memadukan kedua visi pendidikan itu sekaligus. Pokok-pokok pikiran KH. Ahmad Dahlan
dalam bidang pendidikan dapat dipetakan dalam beberapa terminologi.

1) bahwa pendidikan Islam hendaknya diarahkan untuk membentuk manusia muslim yang
berbudi pekerti yang luhur, alim dalam agama, luas pandangannya dan paham masalah
ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya.
2) pendidikan Islam hendaknya dapat mengakomodasi berbagai ilmu pengetahuan, baik
umum maupun agama, untuk mempertajam daya intelektualitas dan daya spritualitas
peserta didik.
3) Proses pendidikan harus bersifat integral, karena proses pendidikan yang demikian itu pada
akhirnya akan mampu mencetak kader-kader ulama yang intelektual dan para intelektual
yang ulama. Berpijak pada pandangan diatas, sesungguhnya KH. Ahmad Dahlan berusaha
merealisasikan pandannganya bahwa pengelolaan pendidikan Islam harus dilakukan secara
modern, sehingga pendidikan yang dilaksanakan akan mampu memenuhi kebutuhan
peserta didik dalam menghadapi dinamika zamannya. Untuk itu pendidikan Islam harus
inovatif dan progresif. Gagasan pembaruan pendidikan sejak awal berdirinya
Muhammadiyah tahun 1912, telah dikembangkan oleh generasi penerus Muhammadiyah
di kemudian hari dengan jalan mendirikan sejumlah sekolah yang ada dalam berbagai
jenjang pendidikan dari tingkat paling rendah (Taman Kanak-kanak) TK Aisyah Bustanul
Atfal, hingga pendidikan tinggi seperti Universitas Muhammadiyah, yang tersebar di
seluruh Indonesia.
b) Bidang Sosial-Sejahtera

Pembaruan Islam yang cukup orisinal dari Kyai Dahlan dapat dirujuk pada pemahaman
dan pengamalan Surat Al-Ma’un. Gagasan dan pelajaran tentang Surat Al-Maun, merupakan
contoh lain yang paling monumental dari pembaruan yang berorientasi pada amal sosial-
kesejahteraan, yang kemudian melahirkan lembaga Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO).
Langkah momumental ini dalam wacana Islam kontemporer disebut dengan ”teologi
transformatif”. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan Muhammadiyah pada prinsipinya bukan hanya
inisiatif pemimpinnya saja, tetapi juga banyak mencontoh model misionaris Kristen seperti
menolong orangorang fakir miskin, menolong anak terlantar, yatim piatu, penggalangan zakat dan
membuat kepanduan (hizbul wathan/pramuka). Selain itu Muhammadiyah juga mendirikan
Aisyiah ormas wanita untuk memberikan penyuluhan bagi ibu-ibu dalam mendidik anak,
pengembangan karir dll.
c. Analisis Pemikiran Terhadap KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah)

Sebelum Muhammadiyah lahir, KH. Ahmad Dahlan telah menyerukan gagasan-gagasan


pembaruannya. Pada tahun 1906, beliau sudah menyatakan dengan terang-terangan, bahwa ziarah
kubur itu kufur, musyrik dan haram. Hal ini menyebabkan KH. Ahmad Dahlan mendapat reaksi
yang keras dari para ulama dan kaum Muslimin pada waktu itu, dan banyak yang menyebut KH.
Ahmad Dahlan sebagai seorang Mu‟tazilah, Inkar kepada Rasulullah, Wahabi dan sebagainya
Tampaknya sebutan dan predikat tersebut tidak diterima begitu saja oleh warga Muhammadiyah,
karena gerakan Muhammadiyah merupakan gerakan yang lahir dan berkembang secara murni dari
inisiasi pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.

2.3 H. Zam-Zam Dan H. Muhammad Yunus (Persatuan Islam)

a. Sejarah Berdirinya Persis

Persatuan Islam (Persis) didirikan di Bandung tahun 1920 M ketika di daerahdaerah lain
pada dasarnya telah lebih dulu maju dengan ormas lain. Keterlambatan ini merupakan cambuk
bagi Persis untuk mengejar ketertinggalan. Ide pendirian organisasi ini adalah dari tokoh Haji
Zamzam dan Haji Muhammad Yunus. Asal mula yang melatar belakangi ormas ini lahir adalah
karena ada pertikaian muncul dalam hal keagamaan yang di kupas di Al-Munir dan al-Manar, serta
makin maraknya paham komunis yang mampu memecah belah Sarikat Islam. Persis lahir tidak
memberikan penekanan bagi kegiatan organisasi, perkaderan dan membuka cabang di daerah-
daerah serta memperbanyak anggota sebagaimana Muhammadiyah dan NU.

A.M. Suryanegara dalam buku Api Sejarah menulis bahwa atas prakarsa Haji Zamzam
(1894-1952 M) dan Haji Yunus di Bandung pada tanggal 12 September 1923 M. didirikan
organisasi masyarakat Persatuan Islam (Persis) bertujuan untuk menyatukan pemahaman
keislaman di masyarakat Indonesia dengan berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah

b. Ide Pokok-Pokok Pemikiran Persis

Persis banyak dipengaruhi aliran Wahabiyah, Arab Saudi, tampil berdakwah sekaligus
menentang segala praktik-praktik keagamaan yang berasal dari luar ajaran Islam. Selain berupaya
memurnikan akidah umat Islam, juga menurut AM Suryanegara, ormas ini ikut andil menentang
imperialis Barat, Kerajaan Protestan Belanda dan pemerintahan kolonial Belanda yang bercokol
di Indonesia.

Pengaruh Persis besar karena cita-cita dan pemikirannya disebarkan lewat media pamflet,
majalah (Al-Muslimun), tabligh, khotbah, sekolah-sekolah dan buku-buku. Referensi buku atau
materi itu banyak menjadi acuan bagi guru, mubaligh dari AlIrsyad, Muhammadiyah dll. Dalam
kegiatan tersebut Persis beruntung mendapatkan dukungan dari tokoh penting yaitu Ahmad Hasan
(priode berikutnya ia menjadi gurunya Persis) dan dukungan dari M. Natsir ( di kemudian hari ia
menjadi penggagas berdirinya Masyumi).

Para ulama aktivis organisasi ini, berupaya membangkitkan kesadaran beragama,


kesadaran berbangsa dan bernegara serta menumbuhkan kesadaran bersyariah Islam. Meskipun
mendapatkan tantangan dari organisasi massa Nahdhatul Ulama (NU) dan organisasi kedaerahan,
tetapi Persis berhasil mencetak kader dari kalangan generasi muda Islam, salah satunya KH.
Shiddieq Amien.
c. Analisis Terhadap Pemikiran Persis

Pada dasarnya, persis ditujukan pada faham Al-Qur’an dan sunnah, hal ini dilakukan berbagai
macam aktifitas diantaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tablgh, khutbah,
kelompok studi, tadarus, mendirikan sekolah-sekolah (pesantren), menerbitkan majalah-majalah
dan kitab-kitab, serta, serta berbagai aktifitas keagamaan lainnya, tujuan utmanya adalah
terlaksananya syari’at islam secara kaffa dalam segala aspek kehidupan, untuk mencapai tujuan
jam’iyyah, persis melaksanakan berbagai kegiatan antara lain pendidikan yang mulai dengan
mendirikan pesaantren persis pada tanggal 4 maret 1936, dari pesantren persis ini kemudian
berkembang berbagai lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul Athfal (taman kanak-kanak )
hingga perguruan tinggi, kemudian menerbitkan berbagai buku, kitab-kitb, dan majalah antaralain
majalah pembela Islam (1929 ), majalah Al-fatwa,(1931), Al-lissan (1935), majalah At-taqwa
(1937) majalah Al-hikam (1939), majalah Aliran islam (1948), majalah risalah (1962), serta
berbagai majalah yang di terbitkan di cabang-cabang persis. Selain pendidikan dan penerbitan,
kegiatan rutin adalah menyelenggarakan pengajian dan diskusi yang banyak di gelar di daerah-
daerah, baik atas inisiatif pimpinan pusat persis maupun permintaan dari cabang-cabang persis,
undang-undang dari organisasi islam lainnya, serta masyarakat luas.

2.4 Tamar Jaya dan Haji Saman Hoedi (Serikat Islam)

a. Sejarah Berdirinya Serikat Islam

Didirikan di Solo pada tanggal 11 November 1912 M. Semula organisasi ini tumbuh dari
organisasi Sarikat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh Tamar Jaya dan Haji Saman Hoedi
tanggal 16 Oktober 1905 M. Alasan berdirinya SI adalah:

1) kompetisi yang meningkat di bidang perdagangan batik pribumi (muslim) dengan etnik
Cina.
2) sikap superioritas orang-orang Cina terhadap pribumi sehubungan dengan berhasilnya
revolusi Cina tahun 1911 M.
3) munculnya tekanan dari orang Indonesia terutama dari kalangan bangsawan yang banyak
mendapat hak istimewa dari Belanda, tidak mengindahkan hak-hak rakyat biasa, rakyat
dilarang memakai pakaian tertentu; atau melalui jalan-jalan tertentu.

Sarikat Islam pada fase selanjutnya memperoleh dukungan tokoh-tokoh penting yang
mengendalikan organisasi seperti Haji Oemar Said Cokroaminoto. Ia termasuk tokoh yang sangat
radikal dalam membela hak-hak rakyat yang ditindas Belanda, Cina dan kaum bangsawan. Haji
Agus Salim masuk SI tahun 1915. ia tokoh penting setelah HOS Cokroaminoto. Selain itu ada juga
Abdul Muis. Dua tokoh terakhir mampu membentengi SI dari penetrasi paham komunis yang telah
merasuki sebagian besar organisasi lain termasuk SI.
b. Ide Pokok Pemikiran Serikat Islam

Perjuangan SI diwujudkan dalam bentuk program kerja yang intinya menolak


sistem kapitalisme sebagaimana terjabarkan dalam berbagai bidang :

a) bidang politik, menuntut berdirinya dewan daerah; perluasan hak volksraad (dewan
rakyat) untuk menjadi lembaga legislatif dan menyampaikan aspirasi rakyat;
disamping itu SI juga menuntut dihapuskannya kerja paksa dan sistem izin ketika
mau bepergian naik haji.
b) bidang pendidikan, SI menuntut penghapusan peraturan yang diskriminatif untuk
penerimaan murid di sekolah-sekolah, perbaikan lembaga pendidikan, dan perlunya
ditambah jumlah sekolah.
c) bidang agama, SI menuntut dihapuskannya segala macam UU dan peraturan yang
menghambat tersebarnya Islam; pembayaran gaji guru dan penghulu seimbang
dengan gaji pendeta; subsidi bagi lembaga pendidikan Islam; dan pengakuan hari-
hari besar Islam.
d) bidang Agraria, SI menuntut penghapusan particuliere landerijen (milik tuan
tanah); industri-industri yang menyangkut orang banyak harus dinasionalisasi bukan
dimonopoli. Dan bidang keuangan, SI menuntut agar pajak berdasar proporsional,
melarang pekerja dari kalangan anak-anak. Seiring dengan perubahan waktu,
akhirnya SI diberi pengakuan sebagai Badan Hukum oleh Belanda pada bulan Maret
tahun 1916.

c. Analisis Terhadap Pemikiran Serikat Islam

Berdirinya SI adalah pertama, kompetisi yang meningkat di bidang perdagangan batik


pribumi (muslim) dengan etnik Cina. Kedua, sikap superioritas orang-orang Cina terhadap pribumi
sehubungan dengan berhasilnya revolusi Cina tahun 1911 M. ketiga, munculnya tekanan dari
orang Indonesia terutama dari kalangan bangsawan yang banyak mendapat hak istimewa dari
Belanda, tidak mengindahkan hak-hak rakyat biasa; rakyat dilarang memakai pakaian tertentu;
atau melalui jalan-jalan tertentu.
3. Kesimpulan
3.1 Simpulan

Pembaharuan Islam di Indonesia muncul karena persoalan keagamaan intern atau


lingkungan umat Islam dimana praktek-praktek keagamaan “tradisional” berpengaruh pada
lingkungan umat seperti taklid pada pendapat ulama, praktik tarekat yang banyak mengkultuskan
wali, praktek sebagian umat yang banyak mengeramatkan benda-benda atau tempat tertentu,
berkembangnya paham Islam sinkretis, khurafat, tahayul dan praktik bid’ah. Semua praktek
tersebut dipandang kelompok revivalis atau pembaru (Wahabi) sebagai bid’ah dan menyimpang
dari al-Quran dan Hadits. Munculnya organisasi Islam dan peranan organisasi Islam dalam
menyebarluaskan pemurnian ajaran Islam, menjadi perdebatan antar kelompok ormas tersebut
antara lain, Taklid, Tarekat-tarekat, dan Wasillah.

Kebangkitan Islam sudah dimulai sejak akhir abad ke-19 M. dan terus menunjukkan
gairahnya pada awal abad ke-20 M. dengan tokoh-tokoh awal Syaikh Ahmad Khatib
alMinangkabui Masa kebangkitan Islam di Indonesia pada awal abad ke 20 M di tandai dengan
lahirnya ormas-ormas Islam yang dapat di kategorikan tradisionalis dan modernis yaitu organisasi
kelompok tradisional adalah Nahdhatul Ulama (1926), Sedangkan organisasi modernis adalah
Muhammadiyah (1912), Persis (1920), dan Sarikat Islam (1912).

3.2 Daftar Pustaka

 Jurnal Kebangkitan Islam diIndonesia , tanggal 21 september 2020.


 Saiful Muzani, Kebangkitan Islam Di Asia Tenggara, (Jakarta : LP3ES, 1999)
 Moeflich Hasbullah, Asia Tenggara Konsentrasi Baru, Kebangkitan Islam,
(Bandung : Fokus Media, 2005), .
 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 M, (Jakarta :
LP3ES, 1994)

Anda mungkin juga menyukai