Anda di halaman 1dari 4

ISU-ISU ISLAM KONTEMPORER

Pengampu: Prof. Usep Abdul Matin, S.Ag., M.A. (Duke), Ph.D., (Fulbright er)

Syarif Hidayatulloh
NIM: 21230222000012
hydesyarifpublic@gmail.com
Mahasiswa Magister Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

NU dan Post Tradisionalisme

Nahdlatul Ulama (NU) sebagai sebuah organisasi Islam yang menghimpun seluruh
umat Islam Indonesia yang berasaskan ahlussunnah wal jamaah semenjak
kemunculannya telah menjelma menjadi salah satu organisasi Islam yang begitu
besar dan luas cakupannya bahkan sampai ke seluruh pelosok dunia. Sejarah
pembentukan NU ini sangatlah unik dan menarik untuk ditelusuri dan dipelajari.

Pada sekitar tahun 1924, KH Abdul Wahab Chasbullah mengusulkan pembentukan


Jam’iyyah kepada Kiai Hasyim Asy’ari. Namun, sebelum menyetujuinya, Kiai Hasyim
melakukan shalat istikharah untuk meminta petunjuk Allah. Sepanjang
kemasyhurannya, Kiai Hasyim merupakan tokoh penting dalam masyarakat Islam
Indonesia, punya peran besar dan sering dimintai nasehat oleh tokoh pergerakan
nasional.

Kiai Hasyim Asy’ari bertindak bijaksana dan berhati-hati dalam menanggapi usulan
dari Kiai Wahab karena berbagai alasan. Keterlibatan luasnya dalam urusan
kebangsaan membuatnya mempertimbangkan dengan serius ide untuk mendirikan
organisasi baru. Terlebih niat pembentukan ini tidak semata hanya untuk
menggalang semangat keberagamaan semata, tetapi sebagai wadah perjuangan umat
Islam di Indonesia untuk mematenkan hak-hak warga negara atas kemerdekaan yang
mesti diraih dan dimiliki – selain itu pula keterlibatan organisasi ini kelak secara
umum terhadap perkembangan dunia.
Lewat berbagai macam pertimbangan yang diambil baik lahir dan batin, sekaligus
juga pelbagai hal permasalahan-permasalahan besar yang menunggu dituntaskan
dengan segera maka lahirlah Jam’iyah Nahdlatul Ulama pada 16 Rajab 1344 H yang
bertepatan dengan 31 Januari 1926 M. KH. Muhammad Hasyim Asy’ari adalah tokoh
pertama yang menjadi pemimpin organisasi ini.

Seiring berjalannya waktu peran NU sangatlah fundamental dan krusial di tengah


masyarakat global. Persoalan berlanjut bukan hanya kepada kapasitasnya sebagai
wadah yang mengurusi urusan keagamaan tetapi juga terlibat secara aktif di
kehidupan sosial – di mana hukum agama dan hukum negara, maupun suara-suara
tentang kemajemukan kebudayaan (yang terus-menerus menuntut perubahan secara
masif itu) terlibat begitu intens.

NU sebagai organisasi Islam harus berjuang menyiasati keterlibatannya di tengah


regulasi zaman yang tidak selamanya sejalan dengan asas-asas keberislaman
tradisional. Salah satu langkah yang tampak nyata adalah ketika diupayakannya
berdirinya Muslimat NU sebagai wadah perjuangan kaum perempuan yang
merupakan anggota dari organisasi NU. Ketika usul ini dimunculkan dan dicuatkan
persoalan-persoalan terkait hukum Islam memandang perempuan dalam suatu
kegiatan aktif dalam sebuah organisasi menjadi semakin santer diperdebatkan.
Dalil-dalil untuk membantah itu begitu banyak dijadikan referensi. Tetapi pada
akhirnya pun perdebatan panjang itu menemukan titiknya dan disepakati
pembentukan Muslimat NU sebagai wadah perjuangan perempuan NU dalam
sebuah keorganisasian.

NU dan Post Tradisionalisme


Dalam perkembangan intelektual Islam, para sarjana Muslim berupaya menciptakan
struktur pemikiran untuk memberikan pemahaman yang komprehensif terhadap
ajaran keagamaan Islam yang seringkali memiliki banyak penafsiran. Perubahan
sosial dan sejarah memainkan peran penting dalam munculnya pemikiran yang
dinamis, yang membuat pemahaman seseorang terhadap Islam tidak tetap atau
statis, terutama dalam menghadapi tradisi.
Nahdlatul Ulama sebagai yang mematenkan terma “tradisional” dalam mayoritas
berkehidupannya sehari-hari, baik dalam pengambilan hukum atau pun bertindak
sesuai dengan hukum-hukum yang telah disepakati oleh ulama-ulama tradisionalis,
mengalami suatu dikotomi yang niscaya: tradisional sebagai landasan dan modern
sebagai kenyataan saat ini. Islam modernis dipandang sebagai kelompok pembaharu,
menolak tradisi yang dianggap bid’ah dan bersifat puritanistik. Sementara Islam
tradisionalis dianggap sebagai kelompok yang tidak pernah lepas dari kitab-kitab
kuning dan hanya menerima tradisi sebagaimana adanya.

Istilah Post-Tradisionalisme Islam mengacu pada ide-ide yang berasal dari tradisi,
tetapi diubah secara drastis. Ini adalah sebuah bentuk pemikiran yang membentuk
pandangan baru terhadap agama, sosial, politik, dan budaya, dengan
menggabungkan tradisi lama ke dalam konstruksi pemikiran yang baru. Sejak tahun
1970-an, munculnya pemikiran baru dari tokoh seperti KH Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) dan Mahbub Djunaidi telah mendorong intelektual muda Nahdlatul Ulama
(NU) untuk terus mengembangkan pandangan-pandangan baru mereka.

Dalam mengambil referensi pemikiran, kaum intelektual muda NU justru


mengambil corak pemikiran tokoh-tokoh seperti Hassan Hanafi, Muhammed
Arkoun, Muhammad Abed Al-Jabiri, dan Nasr Hamid Abu Zayd. Mereka tidak
mengambil pemikiran dari tokoh-tokoh moderni.

Dalam beberapa hal Dr. Rumadi dalam buku Post Tradisionalisme Islam, Wacana
Intelektualisme dalam Komunitas NU telah memberikan penjelasan yang cukup luas
dan dalam terkait NU dan perkembangan keberpikiran Islam. Salah satu pengamatan
yang sangat bermanfaat bagi penulis adalah bagaimana detak jantung
intelektualisme Islam Indonesia berpindah ke LSM sejak tahun 1990-an. Perhatian
Rumadi terhadap faktor struktural munculnya gelombang pemikiran baru, termasuk
meningkatnya jumlah lulusan pesantren yang melanjutkan ke perguruan tinggi dan
dukungan bantuan pembangunan luar negeri.
Selain itu, dalam semua diskusi yang terdapat dalam karya ini, terdapat sedikit
informasi yang spesifik tentang bagaimana tradisi, baik dalam teks tertentu maupun
dalam praktik budaya tertentu, telah memberikan inspirasi bagi arus pemikiran yang
baru. Sebaliknya, pengaruh dari para penulis Arab modern seperti Mohammed
Arkoun, Hassan Hanafi, dan Mohammed Abed al-Jabiri, bersama dengan aliran
pemikiran dari Frankfurt dan penulis Barat lainnya, lebih terlihat jelas. Buku ini
tidak menilai hal-hal sebagai baik atau buruk, namun patut diakui bahwa cara
pendekatan buku ini melibatkan perpaduan antara pendekatan akademis yang
objektif dan refleksi subjektif dari seorang partisipan. Hal ini menjelaskan serangan
yang terkadang dialamatkan pada pemikiran atau gagasan modernis serta
pendekatan yang sangat mendukung pemuda NU.

Buku ini pertama kali terbit pada tahun 2008 dalam bahasa Indonesia yang
diadaptasi dari disertasi doktoral penulis tahun 2006 di UIN-Syarif Hidayatullah,
Jakarta. Setelah mendapat sambutan yang sangat positif untuk versi bahasa
Indonesia, versi ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris untuk menjangkau
khalayak yang lebih luas. Buku ini bukan hanya menjadi pencapaian yang bersifat
pribadi saja, melainkan juga suatu sumbangsih nyata terhadap ilmu pengetahuan
untuk mempermudah kita mengenal perjuangan-perjuangan tokoh muda NU dalam
keterlibatannya terhadap agama Islam yang plural.

Anda mungkin juga menyukai