Anda di halaman 1dari 3

Nalar multi kulturalisme kebangsaan dalam merespon gerakan-

gerakan Islam transnasional di Indonesia


» Saturday, 20 April 2013 | 10:15:48 | Hits: 637

Syamsul Arifin, Prof., DR., M.Si, Direktur the


Centre for the Study of Religion and
Multiculturalism, Postgraduate Studies University of
Muhammadiyah Malang

"Dahulu, bangsa ini dianggap toleran. Karena


memang, memiliki ideologi yang bernama
Prof. Syamsul Arifin sedang menikmati Jurnal Ulumul Pancasila, yang memiliki empat prinsip: ketuhanan,
Qur'an di tengah-tengah kesibukannya sebagai Guru Besar kemanusiaan, nasionalisme dan keadilan sosial.
Sosiologi Agama, Pascasarjana UMM. Inilah yang disebut dengan pilar kebangsaan." Itulah
pembuka diskursif dalam PSIF Public Lectures 2013 pada 13 April lalu yang disampaikan oleh
narasumber, Syamsul Arifin.

Ia menuturkan bahwa, meskipun demikian, konsep ini mendapatkan kritik dari pelbagai
pihak. Kritik tersebut mengajukan bahwa, semestinya Pancasila menjadi fondasi. Yaitu,
hal yang lebih fundamental dari pada sekedar pilar. Sebagai direktur Pusat Studi
Agama dan Multikulturalisme (PUSAM) Pascasarjana UMM, ia bercerita bahwa
didirikannya PUSAM juga terinspirasi dari nilai-nilai Pancasila tersebut. Lebih dari itu,
dimensi penting di dalam dasar negara Indonesia ini adalah nilai multikuturalisme.

Dalam pengantar kuliah oleh Hasnan Bachtiar, telah disinggung tentang Islam transnasional yang
secara ideologis, tampaknya berlawanan dengan nilai multikulturalisme. Karena beberapa
kelompok Islam transnasional yang radikal, telah mengeliminasi aspek-aspek kemanusiaan dan
kebebasan. Syamsul menegaskan bahwa, fenomena ini sangat menarik minat banyak pihak,
khususnya para sarjana. Ia juga menginformasikan bahwa sedang mengerjakan penelitian yang
berjudul, “Pengembangan pendidikan agama Islam berbasis living values di perguruan tinggi
sebagai strategi deradikalisasi terhadap paham keagamaan gerakan Islam transnasional radikal.”
Tentu saja program ini, terkait erat dengan persoalan yang dibahas dalam PSIF Public Lectures
2013.

Berhubungan dengan penelitian tersebut, ia menjelaskan bahwa, living values adalah program
menghidupkan nilai dari pelbagai daerah dan ditransformasikan kepada kaum muda, agar dunia
ini menjadi lebih baik. Menurutnya, pendidikan agama Islam yang berbasis living values, dapat
dijadikan strategi untuk deradikalisasi. Dengan kata lain, menjadikan suatu paham tidak radikal.
Deradikalisasi, hanya tertuju kepada gerakan Islam transnasional yang radikal, atau gerakan
Islam garis keras.

Pakar gerakan Islam ini menandaskan bahwa Islam itu tidak tunggal, sangat banyak.
Merujuk kepada Abdullah Saeed, Islam menjadi tidak sederhana dan sangat kompleks.
Menurut pandangan ini paling tidak, ada beberapa dimensi untuk menjelaskan
persoalan penting menyangkut kompleksitas Islam. Pertama, adalah core values.
Kedua, adalah interpretation. Ketiga, adalah manifestation.

Dalam dimensi core values, Islam jelas menjadi kesatuan, sebagai suatu agama yang hakiki.
Namun dalam tataran penafsiran, benih-benih perbedaan muncul dan tumbu berkembang
menjadi sangat banyak. Sebagai contoh masalah Tuhan. Sejatinya adalah tunggal, namun ketika
dikonstruksi sebagai teologi, maka tidak dapat dihindari sekaligus membentuk relasi dengan
manusia. Muncullah banyak aliran teologi, khususnya teologi Islam. Yang ketiga, manifestasi,
khususnya manifestasi budaya. Di sinilah kita melihat tampilan kebudayaan dalam umat Islam.

Profesor sosiologi agama ini kembali menandaskan bahwa, bila menyebut Islam garis
keras, bukanlah tertuju pada Islam sebagai agama, tetapi cara memahami dan
beraktivitas sebagai aktualisasi “agama” masyarakat Islam-lah yang menjadikan hal ini
mendapatkan stereotipe sebagai Islam garis keras. Dalam NU dan Muhammadiyah,
juga berpotensi mengandung pemahaman garis keras. Tetapi memang ada, gerakan
Islam yang tidak keras.

Kemudian, ia menunjukkan sebuah buku yang bertajuk, Transnational Islam in South and
Southeast Asia (Islam di kawasan Asia Selatan dan Tenggara). Dalam buku itu, ada suatu paper
yang ditulis oleh Norhaidi Hasan, tentang Islam transnasional. Menarik dalam buku ini,
manifestasi Islam dibagi menjadi emapat kategori Islam transnasional, pertama yang berorientasi
sufisme. Misalnya saja Jamaah Tabligh. Mereka adalah kelompok yang mencoba mengikuti
Rasulullah secara utuh. Kedua, adalah gerakan kesalehan; Ketiga, adalah gerakan politik; dan
keempat, adalah gerakan charity. Inilah tipe gerakan Islam transnasional yang non-radikal.

Sementara itu, ia menegaskan bahwa konsentrasinya selama ini adalah gerakan Islam
transnasional yang radikal. Mengapa Indonesia, akhir-akhir ini menjadikan Islam transnasional
berkembang sangat pesat?Bila merujuk pada buku yang berjudul “The future of the global
Muslim population” yang mengatakan bahwa pada 2030 ada penambahan yang sangat signifikan
umat Islam di seluruh dunia.\

Islam bisa berkembang dengan cepat karena faktor kelahiran. Kultur Timur menghendaki
reproduksi yang lebih besar dari pada di Barat. Kecuali sekte Mormon dalam Kristen di Barat.
Faktor yang menyebabkan perkembangan populasi Muslim begitu cepat juga oleh migrasi.
Namun, mereka masing-masing membawa identitasnya yang khusus, dari kebudayaan aslinya.
Di samping itu, didukung pula oleh arus informasi yang tanpa batas. Dengan demikian, suatu hal
yang tidak mungkin dihindari adalah sirkulasi ideologi-ideologi.

Di Indonesia ada perpindahan dari rezim Orde Baru menuju Reformasi. Perpindahan inilah yang
menjadi faktor penting, maraknya gerakan-gerakan Islam transnasional. Pada reformasi, ideologi
bangsa begitu lemah dan begitu bebas ideologi apapun mengkampanyekan ideologinya.
Misalnya HTI yang sudah disinggung oleh Afdila,yang telah menunjuk suatu karya oleh Syamsul
Arifin. Ada dua buku yang bertolak belakang, yang pertama adalah “Ilusi Negara Islam”
kemudian lahir pula buku yang berjudul “Ilusi Demokrasi”. Yang disebut terakhir inilah bahwa,
inilah manifestasi Islam transnasional di Indonesia.

Terakhir, ada banyak institusi yang aktif melaporkan penelitiannya tentang kehidupan beragama
di Indonesia. Hal ini terjadi karena kerap terjadi praktik intoleransi dan konflik atas nama agama
di pelbagai daerah di Indonesia. Setiap laporan ini, kerap mengungkapkan terjadi peningkatan
intoleransi terhadap kelompok lain. Fenomena yang terjadi di Indonesia ini, apakah ada
hubungannya dengan gerakan transnasional? Sebab mereka yang radikal, begitu tegas dan kaku
terhadap keyakinan lain yang mayoritas.

Di Madura misalnya, ada konflik antara Sunni dan Syiah. Kemudian ada Wahabi dan Salafi.
Setelah ditelusuri, aktor yang menolak minoritas adalah Wahabi dan Salafi. Putra Madura ini
menegaskan bahwa, tidak sepakat dengan Syiah dan Ahmadiyah, tetapi sangat menolak segala
cara yang berupa kekerasan dalam bentuk apapun, baik simbolik, maupun fisik. Merujuk kepada
konstitusi, UUD’45 dan pelbagai perundang-undangan, menghendaki perlindungan dan
penghormatan terhadap kebebasan beragama.
Memang ada konsep pembatasan, forum externum, yaitu pembatasan terhadap ekspresi
keagamaan yang dilakukan kelompok lain yang akan memicu terjadinya konflik yang lebih
besar. Tetapi jangan sampai pembatasan itu, menghilangkan hak yang paling asasi dari mereka,
yaitu hak-hak kemanusiaan.

Siapapun boleh memeluk keyakinan, pemikiran dan ideologi. Tetapi yang perlu diperhatikan,
kerapkali terjadi crash and tension, atas persoalan ini. Ada kelompok yang ingin mengganti
ideologi kebangsaan Indonesia, agar menjadi seperti ideologi yang mereka pahami. Inilah yang
dikhawatirkan oleh konstitusi kita.

Ada salah seorang peserta mengajukan diskusi bahwa, apakah provokasi dari Islam konservatif
yang mencoba mendiskreditkan para pengusung HAM sekedar provokasi atau benar adanya? Di
samping itu, memang terdapat ketentuan hukum bahwa, tidak boleh memasukkan agama
terhadap agama orang lain. Namun, apakah boleh berdakwah? Apakah boleh memaksa orang
lain untuk menganut agama dan keyakinan lain?

Menanggapi persoalan ini, Syamsul memberi pengertian bahwa, terdapat pelbagai revolusi, baik
itu transformasi maupun komunikasi. Semua ini bisa dimanfaatkan untuk menyebarluaskan
banyak gagasan yang bertentangan satu sama lain. Banyak sekali pelbagai buku, artikel dan
majalah yang provokatif, yang mengusik kelompok lain. Namun yang terpenting, Syamsul
berargumentasi bahwa, sebagai akademisi, terdapat doktrin untuk tidak mudah percaya dan
meragukan segala sesuatu. Masalahnya ada banyak orang yang begitu cepat membenarkan
informasi dalam wacana-wacana yang baru, yang ada. Semestinya bisa melakukan kritik dan
counter atas informasi yang tidak benar.

Ia mencontohkan bahwa dirinya termasuk orang yang distigma memiliki label negatif, abnormal
dan menyimpang. Stigmatisasi ini, harus disikapi secara kritis. Misalnya saja ada buku yang
berjudul “Ada pemurtadan di IAIN” atau “Al-Quran dihina oleh Gus Dur”. Yang menjadi
pertanyaan, apakah hal ini memang benar? Tentu tidak. Memang ada banyak tokoh dan
intelektual, tapi keberbedaan di dalam kampus adalah hal yang biasa. Yang perlu dikritik adalah
stigmatisasi dan kriminalisasi yang akan menghapus kebebasan kemanusiaan kelompok lain.

Selanjutnya, ada kebebasan internal dan eksternal. Pada kebebasan internal, orang memiliki
kebebasan untuk memeluk agama dan keyakinan yang dipandang benar, bahkan punya hak untuk
pindah pada agama lain. Bahkan di negara luar, orang diberi kebebasan untuk tidak memeluk
agama. Tetapi di Indonesia, pastilah ada, namun jangan sampai dipublikasikan.

Sementara external freedom, adalah hak untuk mengekspresikan keyakinannya. Ada kebebasan
untuk shalat misalnya, atau dakwah. Tetapi ada pembatasan di situ. Bila kebebasan internal
bersifat non-derogable rights, sementara forum externum, negara bisa memberikan pembatasan,
jika dikhawatirkan menimbulkan keresahan, keamanan dan konflik. Karena, hal ini mengganggu
hak hidup orang lain. Yang terjadi di Indonesia adalah, pembatasan yang tidak didasarkan pada
kearifan, sehingga negara absen pada program kebebasan beragama. Dakwa itu, tidak boleh
secara provokatif dan kekerasan, terlebih syiar kebencian.[hb]

*Citation: PSIF-UMM, “Nalar multikulturalisme kebangsaan dalam merespon gerakan-gerakan


Islam transnasional di Indonesia,” Public Lectures Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer
di Indonesia, 13 April, Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) Universitas Muhammadiyah
Malang, Malang.

Anda mungkin juga menyukai