Anda di halaman 1dari 13

KAJIAN ATAS PEMBAHARUAN ISLAM NURCHOLISH MADJID

Oleh:
Muhammad Fatchul Aziz
15771041

A. Pendahuluan
Pada saat Dunia Timur (Islam) menjalin hubungan dengan Barat (Eropa)
kisaran abad ke XVIII M, dikejutkan dengan melihat kemajuan Eropa yang amat
pesat. Dunia Timur tidak mengira bahwa , Eropa yang pernah belajar dari Timur
telah begitu maju. Hal itu membuat para pemikir Islam merenungkan apa yang
perlu dilakukan untuk mencapai kemajuan kembali sebagaimana pondasi dasar
yang pernah diletakkan oleh para pemikir muslim pada zaman klasik sebagai
puncak kemajuan ilmu pengetahuan Islam sekitar tahun 650 – 1250 M1.
Dalam sejarah jatuh bangunnya sebuah tatanan sosial dalam berbagai
bentuknya (khilafah, kerajaan, kesultanan, sampai kepada negara bangsa yang
dianggap paling modern) selalu ditandai dengan bangkit atau munculnya gerakan-
gerakan pembaharu yang melawan dan menentang sistim dan kekuasaan dengan
berbagai cara.
Cara yang lazim ditempuh oleh para pemimpin dalam mengambil
kebijakan sering kali berlawanan dengan penentang atau oposisi yang memang
telah mengambil jarak untuk selalu mengontrol kebijakan pemerintah. Di masa
lalu (dalam sejarah Islam) oposisi seringkali berwujud dalam bentuk kekuatan
militer. Namun, cara-cara tersebut tentu berbeda dengan kondisi sekarang ini.
Cara dengan kekuatan militer telah beralih oposisi dalam wujudnya dalam bentuk
tatanan politik dengan kontrol yang sangat ketat dan kuat.
Namun demikian, tidak semua orang terlebih lagi tokoh reformis bisa dan
setuju dengan oposisi dalam gerakan politik. Cara-cara kontrol sosial dengan
beropini atau berwacana melalui bantuan media dengan posisi yang independen
banyak mewarnai dalam gerakan pembaharuan (pembaruan) Islam di Indonesia
bahkan mungkin melampaui Islam secara formal kelembagaan karena gerakan-
gerakannya bermuatan pembelaan hak-hak warga negara (kemanusiaan).
1
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam-Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Cet. Ke-9,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 13

183
Posisi mengambil sikap oposisi dalam negara Indonesia, terlebih di bawah
rezim otoriter (Orde Baru), tentu membutuhkan kecerdasan mengambil posisi agar
tidak dianggap dan dinilai oleh rezim sebagai bentuk perlawanan terhadap
penguasa. Ini diperlukan karena terlalu banyak tokoh yang dipenjarakan oleh
rezim karena secara terang-terangan melakukan perlawanan melalui opini
(media). Bentuk atau model perlawanan tersebut mungkin saja telah dipilih
dengan secara sadar dan dengan resiko yang telah diperhitungkan.
Nurcholish Madjid, salah satu tokoh reformis Indonesia tiga zaman (Orde
Lama, Orde Baru, Orde Reformasi), memilih pendekatan budaya akademis dalam
setiap gerakan dan opininya. Strategi ini kurang resiko untuk berbenturan dengan
penguasa karena selalu membawa nilai-nilai pembaruan yang obyektif, yang
langsung menyentuh warga sebagai umat. Oleh karena itu, gerakan-gerakan
pembaruan Nurcholish tentang modernisasi, sekulerisasi, dan desakralisasi di
Indonesia selalu diterima walaupun juga terjadi kontra karena gerakannya murni
akademis (tidak politis/politik) dan selalu ingin memperbarui pola pikir
masyarakat menengah. Perspektif penulis bahwa gerakan pada level ini sengaja
dilakukan dengan harapan masyarakat akademisilah yang perlu diubah sebagai
agen pembaruan untuk masyarakat dan pemerintahan waktu itu dan ke depan. Dan
inilah sesungguhnya gerakan substansi Islam (islami) tanpa simbol-simbol
keagamaan. Maka dari itu dalam makalah ini akan dibahas tentang sekularisasi,
desakralisali, pluralisme dan islam yes partai islam no.

B. Biografi Cak Nur


Nurcholish Madjid (Cak Nur) dilahirkan di Mojoanyar, Jombang, Jawa
Timur, pada tanggal 17 Maret 1939. Sekolah dasar dilaluinya di Madrasah Al-
Wathoniyyah Jombang milik ayahnya sendiri yaitu Abdul Madjid (murid K.H
Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama). Nurcholish Madjid memiliki
lingkungan belajar kondusif di masa kecil yang telah banyak membentuk bakat
intelektualnya serta kelak akan membawanya menjadi seorang tokoh terkemuka.
Lahir enam tahun sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, Ia tentu akan
merasakan perubahan besar pada masyarakat Indonesia sebagai akibat peralihan
pemerintahan, dari penjajah ke bangsa Indonesia sendiri.

184
Periode transisi itu akan sangat terasa baginya, karena dalam skala yang
lebih kecil transisi tersebut terjadi dalam keluarganya. Cak Nur melalui ayahnya,
ikut terbawa masuk ke dalam sebuah arus baru, yaitu perpindahan budaya politik
dari kepemimpinan yang bersifat tradisional kepada kepemimpinan Islam yang
modern. Hal ini terjadi ketika ayahnya memutuskan untuk masuk ke dalam partai
Masyumi. Keputusan ayahnya ini didasari fatwa K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri
Nahdlatul Ulama tentang apiliasi NU ke dalam Masyumi.
Wawasan intelektualnya semakin meningkat ketika dia menempuh
pendidikan di Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah, Gontor, Ponorogo. Pesantren
tersebut merupakan salah satu pesantren modern. Penguasaan bahasa Inggris dan
bahasa Arab sangat ditekankan di pesantren itu, setelah ilmu-ilmu agama
tentunya. Sekolahnya cak Nur di Pesantren Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah,
Gontor, Ponorogo bisa dikatakan sebagai proses yang tidak disengaja. Awalnya
dia menempuh pendidikan di Pesantren Darul ‘Ulum, kemudian pindah ke
Pesantren Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah, Gontor karena diejek sebagai “anak
masyumi yang ke sasar” dalam lingkungan pendidikan yang didominasi NU. Hal
ini berkaitan dengan keputusan keluarganya untuk tetap bergabung dengan
Masyumi walaupun NU telah memutuskan untuk keluar dari partai itu pada tahun
1952. Dengan demikian, pada waktu muda Madjid telah mengalami alienasi
kultural, kondisi demikianlah yang mendorong diaspora pada tahap paling awal,
meninggalkan pendidikan lama ke yang baru.
Setelah menyelesaikan pendidikan di pesantren Kulliyatul Mu’allimin al-
Islamiyah, Gontor, dia melanjutkan pendidikan tinggi di IAIN Syarif
Hidayatullah, Ciputat, Jakarta dengan mengambil Jurusan Sastra dan Kebudayaan
Islam. Pada saat menempuh pendidikan tinggi inilah ia aktif dalam organisasi
kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai organisasi
kemahasiswaan yang terbesar pada saat itu. Dalam organisasi itu, ia menjabat
sebagi ketua umum dua periode berturut-turut (1966-1969 dan 1969- 1971).
Kejadian tersebut dalam dunia organisasi kemahasiswaan adalah sebuah
keanehan, peristiwa yang jarang sekali terjadi, namun hal itu menunjukan bahwa
cak Nur memiliki kepribadian sebagai seorang pemimpin. Kepribadiannya

185
tersebut bukan terletak pada kemampuan memanipulasi emosi massa melainkan
dihasilkan dari produktivitas karya intelektualnya.
Pendidikan doktoral ditempuhnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat
dengan disertasi yang berjudul Ibnu Taymiyya on Kalam and Falasafah: Problem
of Reason Revelation in Islam pada tahun 1984. Tokoh lain yang merupakan
alumni Universitas Chicago adalah Amin Rais dan Syafi’i Ma’arif. Berbeda
dengan alumni Universitas McGill (Mukti Ali dan Harun Nasution) yang selalu
menampilkan citra yang padu, ketiga alumni Universitas Chicago tidak
memperlihatkan kohesi yang kuat. Hal itu terlihat ketika cak Nur menerima
berbagai kritik alumni yang lainnya tidak banyak membantu. Sepulang dari
Chicago cak Nur semakin dikenal, dan pandangan-pandangan yang
dilontarkannya semakin mendalam. Bahkan, waktu mendarat di bandara dia
disambut oleh ratusan orang. Pada tahun 1986 dia mendirikan Yayasan
Paramadina Mulya, yang kemudian dikembangkanya menjadi sebuah universitas.
Yayasan ini menyelenggarakan pengajian-pengajian yang banyak diikuti oleh
kalangan menengah kota.
Cak Nur termasuk cendikiawan yang produktif dalam menulis buku.
Karya-karyanya antara lain: Khazanah Intelektual Islam; Islam Kemodernan dan
Keindonesiaan; Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan; Islam
Kerakyatan dan Keindonesiaan: Pikiran-pikiran Nurcholish Muda; Pintu-pintu
Menuju Tuhan; Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi
Doktrin Islam dalam Sejarah; Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Visi Baru
Islam Indonesia; Kaki Langit Peradaban; Kontektualisasi Doktrin Islam dalam
Sejarah; Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan; Perjalanan Religius
Umrah dan Haji; Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana
Sosial Politik Kontemporer; 30 Sajian Rohani: Renungan di Bulan Ramadhan
Nurcholish Madjid; Cendikiawan dan Masyarakat Religius; Tidak Ada Negara
Islam; Surat-menyurat Nurcholish Madjid dengan M. Roem; dan Masyarakat
Religus Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat.
Sebagian besar buku itu adalah kumpulan karya tulisnya yang tersebar
diberbagai media massa dan makalah-makalah. Pemikiran cak Nur secara utuh

186
terangkum dalam buku utamanya Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah
Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Isi buku
tersebut merupakan sebagian besar makalahmakalah yang disajikan pada klub
kajian agama Paramadina. Buku itu lebih memperdalam, mempertajam, dan
memperkaya khazanah pemikirannya, sebab metode dan pendekatan yang
digunakannya bertambah jelas.
Jabatan yang pernah diemban adalah sebagai presiden Persatuan
Mahasiswa Islam Asia Tenggara (1967-1969), wakil sekjen IIFSO (Internasional
al Islamic Federation of Student Organization), pemimpin umum majalah
Mimbar Jakarta (1971-1974), direktur lembaga kebajikan Islam Samanhudi
Jakarta (1974-1976), peneliti Leknas-LIPI (1976-1984), guru besar tamu di
Universitas McGill, Canada (199 1-1992), anggota komnas HAM RI dan pengajar
pada program Pascasarjana IAIN (UIN sekarang) Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia
meninggal dunia pada tanggal 29 Agustus 2005. Karya-karya yang dihasilkannya
menunjukan bahwa dia seseorang yang berwawasan universal. Dalam konteks
pemikiran keislaman dan keindonesian cak Nur merupakan tokoh utamanya.
Gagasan dan cita-cita untuk mewujudkan sebuah dunia yang adil dan ramah,
tanpa diskriminasi dan eksploitasi sebagaimana yang dirindukan oleh para Nabi
dan filosof dapat ditelusuri hampir pada semua karyanya.2

C. Sekularisasi
Sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme, sebab,
secularism is the name of an ideology, a new closed world view which functions
very much like a new religion. Dalam hal ini yang dimaksudkan ialah setiap
bentuk liberating development. Proses pembebasan ini terutama diperlukan karena
umat Islam, akibat daripada perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi
membedakan di antara nilai-nilai yang disangkanya Islamis itu mana yang
transendental dan mana yang temporal. Malahan hirarki nilai itu sering dalam
keadaan terbalik, transendental menjadi temporal dan sebaliknya atau menjadi
transendental semuanya, bernilai ukhrowi tanpa kecuali. Sekalipun mungkin
mereka tidak mengucapkannya secara lisan, malahan memungkirinya, namun
2
Purwanto, Pluralisme Agama dalam Prespektif Nurcholish Madjid, Religió: Jurnal Studi Agama-
agama Vol 1 No 1 (Maret, 2011), hlm. 50-53

187
sikap itu tercermin dalam tindakan-tindakan mereka sehari-hari. Jadi dengan
sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme dan mengubah kaum
muslimin menjadi kaum sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan
nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam
dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya.3
Gerakan modernisasi dan sekularisasi Nurcholish terbaca dalam gagasan-
gagasannya tentang pluralisme, kesetaraan, dan toleransi merupakan ide-ide etik
dari diskursus civil society yang di Indonesia sering dilontarkan Nurcholish
Madjid. Perhatian utama Nurcholish adalah yang berkaitan dengan bagaimana
melacak otentisitas landasan etik nilai-nilai tersebut dalam khazanah Islam dan
secara liberatif mampu membangun hubungan dialogis dengan wacana
modernitas.4
Relevansinya dengan modernisasi dan sekulerisasi Nurcholish berpendapat
bahwa Islam adalah agama egaliter. Mengutip pandangan Ernest Gellner, bahwa
prinsip Islam yang formal, sentral dan murni pada dasarnya bersifat egaliter dan
ilmiah serta membantunya untuk menyesuaikan diri dengan peradaban modern.
Usaha menyesuaian diri inilah, posisi gerakan modernisasi dan sekularisasi serta
desakralisasi Nurcholish menemukan persamaannya. Nurcholish memahami
bahwa Islam yang oleh Ernest dipahami sebagai agama yang egaliter dan ilmiah
tidaklah dalam makna otomatis dan statis, melainkan harus diusahakan dengan
berbagai upaya, dan upaya itu termasuk menghindari sakralisasi ajaran dan
budaya Islam.
Dalam konteks Indonesia, gagasan Nurcholish telah banyak memberi
warna dalam kehidupan bernegara. Misalnya pernyataan beliau tentang Pancasila
sebagai dasar Negara, setiap bangsa mempunyai etos atau suasana kejiwaan yang
menjadi karakteristik utama bangsa itu. Etos itu kemudian dinyatakan dalam
berbagai bentuk perwujudan seperti jati diri, kepribadian, dan ideologi.Pancasila
disebut sebgai ideologi nasional. Tetapi pancasila adalah sebuah ideologi modern.
Bukan hanya karena muncul di zaman modern, tapi juga lebih-lebih karena ia

3
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 2013), hlm. 250-
251
4
Airlangga Pribadi dan Yudhie R.Haryono, Post Islam Liberal (Jawa Barat: PT Gugus Press,
2002) hal. 298

188
ditampilkan oleh seorang atau sekelompok orang dewasa dengan wawasan
modern. Itulah sebabnya, Kiai Haji Ahmad Shiddiq (Ra’is Amm Nahdlat al-
‘Ulama) mengemukakan bahwa Pancasila sebagai sebuah ideologi negara tidak
perlu lagi dipersoalkan dan bersifat final. Namun, Nurcholish mengemukakan
bahwa dari segi pengembangan prinsip-prinsipnya sehingga menjadi aktual dan
relevan bagi masyarakat yang senantiasa tumbuh dan berkembang, pancasila tidak
bisa lain kecuali harus dipandang sebagai ideologi terbuka yang dinamis.

D. Desakralisasi
Ide desaklarisiasi cak Nur berpangkal pada semangat perkataan “tawhid”
(di Indonesiakan menjadi tauhid)5 yang mengandung makna pemebasan, yakni
pembebasan dari segala obyek duniawi, moral maupun material berupa nilai-nilai
dan benda-benda. Jadi sederhananya, menurut Cak Nur, tauhid yang mengajarkan
sikap me-Maha-Esa-kan Tuhan itu memiliki konsekusensi pembebasaan diri dari
segala sesuatu yang membelenggu selain Tuhan.
Menyangkut konsekuensi perkataan tauhid tersebut Cak Nur menjelaskan
bahwa sebenarnya pandangan yang wajar dan apa adanya kepada dunia dan
masalahnya, secara otomatis harus dipunyai oleh seorang muslim, sebagai
konsekwensi logis dari tauhid. Pemutlakan transendensi semata-mata kepada
Tuhan, sebenarnya, harus melahirkan desaklarisasi pandangan terhadap selain
Tuhan, yaitu dunia dan masalah-masalah serta nilai-nilai yang bersangkutan
dengannya. Sebab saklarisasi kepada sesuatu selain Tuhan itulah, pada hakikatnya
yang dinamakan syirik, lawan tauhid. Maka sekularisasi itu memperoleh
maknanya yang konkret, yaitu desaklarisasi terhadap segala sesuatu selain hal-hal
yang benar-benar bersifat Ilahiah (transendental), yaitu dunia ini.6
Dari semangat tauhid ini, lahir istilah yang biasanya digunakan Cak Nur
“monoteisme radikal”. Semangat tauhid tidak hanya berimplikasi sebagai me-
Maha-Esa-kan Tuhan saja, tetapi juga memiliki efek pembebesan diri dan
pembebasan sosial yang sangat kuat. Efek pembebesan itu sesuai dengan

5
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000),
hlm.72
6
Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan, hlm. 208

189
semangat dan fitrah kemanusiaan sebagai ciptaan Tuhan yang paling tinggi, yang
karenanya manusia itu harus merdeka.
Disebutkan dalam kitab suci bahwa manusia harus meletakkan dirinya
dalam keimanan, karena dia secara alami dan merupakan sifat bawaan untuk
cenderung kepada kebenaran (hanif-an) karena manusia secara alami adalah lurus.
Kecederungan tersebut adalah konsekuensi sifat alami manusia yang telah
ditanamkan dalam manusia. Sifat alami kepada kelurusan tak dapat diubah dan
bukan merupakan hal yang dapat diubah selamanya, karena merupakan sifat
perennial pada manusia.7
Perkataan Tauhid dan masalah percaya kepada Tuhan yang maha Esa
menurut Cak Nur, masih harus di bicarakan kembali, sebab ada kesan bahwa
bertauhid hanyalah berarti percaya kepada Tuhan. Ternyata jika kita teliti lebih
mendalam dan teliti al-Qur’an, tidaklah sepenuhnya demikian.8 Masih ada hal
penting yang harus diikuti dari semangat perkataan tauhid itu, yakni
menghilangkan paham syirik, paham yang menganggap Tuhan memiliki serikat
atau sekutu. Inilah salah satu bentuk semangat tauhid yang belum sepenuhnya
mendasari konsekuensi logis paham ke-Tuhan-an.
Cak Nur mencontohkan hal tersebut dengan orang-orang musyrik di
Makkah yang dalam al-Qur’an digambarkan, mereka juga percaya kepada Allah,
namun mereka tidak bisa dikatakan sebagai kaum beriman (al-mu’minun) dan
kaum bertauhid (al-muwahhidun), tapi sebaliknya disebut kaum yang
mempersekutukan Tuhan atau memperserikatkan Tuhan (al-musyrikun, penganut
paham syirik, yakni oknum yang menyertai Tuhan dalam hal ke-Ilahian). Padahal
mereka pun tahu dan sadar betul bahwa sekutu Tuhan itu adalah ciptaan Tuhan
juga, bukan Tuhan itu sendiri.9Hal ini digambarkan dalam al-Qur’an;
“Dan sungguh jika kamu (Muhammad) bertanya kepada mereka, “Siapakah
yang menciptakan mereka (sesama manusia yang mereka sembah selain dari
Allah itu?), niscaya mereka menjawab, “Allah”, maka bagaimanakah mereka
dapat dipalingkan (dari kebenaran)? (QS. Az-Dzukhruf (43) :87).

7
Nurcholis Madjid dkk, Islam dan Humanisme, Artikulasi Humanisme Islam di Tengah Krisis
Humanisme Universal, Cet;I, (Yogyakarta,Pustaka Pelajar; 2007), hlm. 23-24
8
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin, hlm. 74
9
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin, hlm. 75

190
Tradisi masyarakat Arab seperti yang digambarkan al-Qur’an diatas
memberikan gambaran bahwa, percaya kepada Allah tidak dengan sendirinya
berarti tauhid. Sebab percaya kepada Allah itu masih ada kemungkinan percaya
kepada yang lain-lain sebagai peserta Allah dalam ke-Ilahian, dan inilah problem
manusia.

E. Pluralisme
Bagi cak Nur bahwa agama berasal dari Tuhan yang Maha Mutlak. Paham
keagamaan yang diartikan oleh cak Nur sebagai cara pandang atau penafsiran
manusia terhadap agamanya biasanya mengandung nilai relatif. Kerelatifan ini
dikarenakan mengandung unsurunsur yang berbeda dalam lingkungan daya dan
kemampuan manusia untuk melaksanakannya. Jadi, nilai kebenaran yang
terkandung dalam pemahaman agama masih terbuka kemungkinan untuk
diperdebatkan.
Kerelatifan itulah yang menyebabkan paham keagamaan tidak sebanding
nilainya dengan agama itu sendiri. Pendapat ini didasarkan atas pandangan
ketauhidannya. Allah adalah Maha Mutlak, konsekwensi kemutlakan-Nya berarti
kerelatifan bagi mahluk-Nya. Meskipun manusia sebagai mahluk-Nya
mengandung kebenaran, namun kebenarannya itu hanyalah kebenaran yang
relatif. Bentuk kerelatifan akan pandangan agama itu dipahami cak Nur sebagai
intervensi manusia terhadap kemutlakan agama. Intervensi tersebut diperlukan
untuk membawa agama yang berada “di langit” ke dalam diri manusia agar dapat
dilaksanakan, dan inilah yang disebut dengan pemahaman.
Bagi cak Nur memahami agama dengan klaim kebenaran mutlak akan
membawa kepada gesekan pemahaman keagamaan yang berujung pada konflik.
Permasalahan ini terutama berkenaan dengan pendekatan dalam memahami ajaran
agama. Apabila model pendekatan terhadap agama dengan cara melakukan
penyeberangan (i‘tibâr) terhadap ungkapan-ungkapan linguistiknya yang
dilanjutkan dengan proses penafsiran, tidak akan membawa agama dalam klaim
absolutisme yang berlebihan. Relativisme beragama merupakan suatu prinsip
bahwa memaksakan kebenaran yang diyakini terhadap pihak lain dengan cara dan
metode apapun adalah salah. Masing-masing pemeluk agama meyakini suatu

191
kebenaran absolut, tapi kebenaran itu tidak mutlak benar karena hanya hasil
penafsiran manusia terhadap agamanya. Hasil penafsiran tersebut tidak mungkin
sama dengan agama yang diturunkan Tuhan Yang Maha Mutlak.
Konsep penting yang terdapat dalam pemikiran tentang pluralisme agama
adalah adanya titik temu, common platform, atau kalimah sawa’, yaitu prinsip-
prinsip yang sama dalam semua agama yang benar. Bagi Nurcholish Madjid titik
temu itu akan selalu ada, karena semua yang benar berasal dari sumber yang sama
yaitu Allah, Yang Maha Benar. Semua Nabi dan Rasul membawa kebenaran yang
sama hanya saja yang membedakan adalah tentang bagaimana seorang Rasul
menyikapi tuntutan tempat dan zaman. Jadi, perbedaan yang ada bukan pada level
hakikat melainkan hanya dimensi luarnya saja.
Bagi cak Nur ajaran-ajaran yang dibawa semua Nabi dan Rasul merupakan
kesinambungan, karenanya menunjukan adanya titik temu sebagaimana yang
tercermin dalam firman Allah QS. Al-Shura (42): 13, al-Nisa’ (4): 163-165, al-
Baqarah (2): 136, al-Ankabut (29): 46, dan al-Shura (42): 15. Menurutnya firman-
firman Allah tersebut menegaskan bahwa pesan Tuhan untuk umat Nabi
Muhammad dan umat yang menerima kitab suci sebelum Nabi Muhammad adalah
sama. Ajaran yang sama itu adalah beriman kepada kepada Tuhan Yang Maha Esa
atau me-Maha Esakan Tuhan (tauhid) dengan konsekwensi al-islam-nya dan
menentang thaghut. Argumen ini didasarkan pada QS. al-Nah (16): 36 dan Al-
‘Imran (3): 64.
Berkaitan dengan titik temu, dengan dasar firman-firman Allah tersebut
masalah yang muncul adalah siapa yang dimaksud dengan ahl al-Kitab yang
terdapat dalam Alquran, apalagi jika dikaitkan dengan konteks agama-agama pada
saat sekarang ini. Mengenai masalah ahl al- Kitab, cak Nur berpandangan
Pancasila merupakan perwujudan titik temu dalam konteks ke Indonesiaan.
Bagi cak Nur nilai-nilai Pancasila, baik potensial maupun aktual telah
terkandung dalam agama-agama yang ada. Nilai ketuhanan dan kemanusiaan
dalam Pancasila merupakan titik temu agama-agama. Semua agama percaya
kepada Tuhan dan mengajarkan nilai-nilai kemanuasiaan. Permasalahan dalam
Pancasila adalah bagaimana mengisi dan menjalankan nilai-nilai Pancasila secara

192
lebih baik dan konsisten (istiqamah).10 Jadi, semua kelompok sosial harus
mengambil bagian secara positif dalam pengisian dan pelaksanannya.

F. Islam Yes Partai Islam No


Salah satu kenyataan yang menggembirakan tentang islam di Indonesia
dewasa ini ialah perkembangannya yang pesat, terutama dari segi jumlah pengikut
(formal). Daerah-daerah yang dahulunya tidak mengenal agama ini dahulunya
mengenalnya. Malahan menjadikannya sebagai agama utama bagi penduduknya
disamping agama lainnya yang telah ada sebelumnya. Dan kalangan dari tingkat
social yang lebih tinggi sekarang ini semakin menunjukkan perhatiannya kepada
Islam; jika tidak mengamalkannya sendiri setidak-tidaknya demikianlah sikap-
sikap resmi mereka. Tetapi, sebuah pertanyaan dari pihak kita tetap meminta
jawaban.Yaitu, sampai dimanakah perkembangan akibat daya tarik yang jujur dari
ide-ide Islam yang dikemukakan oleh para pemimpin-pemimpinnya itu, lisan
maupun tulisan? Ataukah perkembangan kuantitatif Islam itu dapat dinilai sebagai
tidak lebih dari pada gejalan adaptasi social karena perkembangan politik di tanah
air akhir-akhir ini, yaitu kalahnya kaum Komunis, yang memberikan kesan
kemenangan di pihak Islam? (dan adaptasi sosial juga telah terjadi pada zaman
orde lama, sebab presiden Soekarno pada waktu itu selalu dengan penuh
kegairahan, menunjukkan Interestnya kepada Islam dan juga kepada Marxisme,
apapun dugaaan orang tentang motif yang ada dibelakangnya.
Jawaban atas pertanyaan itu mungkin sekali dapat ditemukan dengan
meletakkan pertnyaaan berikutnya; sampai dimanakah mereka tertarik dengan
partai-partai/organisasi-organisasi Islam? Kecuali sedikit saja,sudah terang
mereka sama sekali tidak tertarik kepada partai-partai/organisasi–organisasi Islam.
Sehingga perumusan sikap mereka kira-kira berbunyi: Islam, yes, partai Islam, no!
Jadi, jika partai Islam merupakan wadah ide-ide yang hendak diperjuangkan
berdasarkan Islam, jelaslah bahwa ide itu sekarang dalam kedaaan tidak menarik.
Dengan perkataan lain, ide-ide itu sekarang menjadi basolut, memfosil,
kehilangan dinamika. Ditambah lagi, patai-partai Islam tidak mampu membangun

10
Purwanto, Pluralisme Agama dalam Prespektif Nurcholish Madjid, Religió: Jurnal Studi
Agama-agama Vol 1 No 1 (Maret, 2011), hlm. 61-62

193
citra positif dan simptik, bahkan yang ada ialah sebaliknya. (Reputasinya sebagian
umat Islam di bidang, korupsi, umpamanya, makin lama, makin menanjak).11

G. Kesimpulan
Adapun pandangan Nurcholish tentang sekularisasi dan desakralisasi,
yang ditawarkannya, adalah lebih sebagai kritik terhadap kemunduran ummat
Islam, akibat ketertutupannya terhadap urusan duniawi, terbelenggu oleh doktrin
yang mutlak, dan masih banyaknya praktek-praktek sakralisasi yang salah, tidak
sesuai dengan kemurnian tauhid, sehingga banyak yang terjerumus dalam hal
bid’ah, khurafat dan syirik. Maka untuk mengatasi kelemahan tersebut ,
sekularisasi dan desakralisasi sangatlah diperlukan.
Cak Nur memberikan batasan pluralisme agama sebagai sikap menerima
perbedaan dengan penuh penghargaan disertai sikap memandang positif
terhadapnya dalam artian setiap bagian dari pluralitas saling menyumbangkan
kemampuan untuk kemajuan bersama. Pendekatan yang digunakan adalah tauhid,
filologis (al-islam) dan historis. Titik temu agama-agama dalam konteks dimensi
isoteris. Sedangkan dalam dimensi esoterik memiliki unikumnya masing-masing.
Pluralitas agama hanya menegaskan keragaman jalan (shirat, sabil, syariah,
thariqah, minhaj, masak, maslak). Pemikiran cak Nur tersebut membawa dampak
terhadap pemikir-pemikir sesudahnya sehingga menjadi perhatian tersendiri di
kalangan akademisi untuk mengkaji dan mengkritiinya secara panjang lebar.

11
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 2013), hlm. 248-
249

194
Daftar Rujukan
Madjid, Nurcholish. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan,
2013)

Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf


Paramadina, 2000)

Madjid, Nurcholis dkk, Islam dan Humanisme, Artikulasi Humanisme Islam di


Tengah Krisis Humanisme Universal, Cet;I, (Yogyakarta,Pustaka Pelajar;
2007)

Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam-Sejarah Pemikiran dan Gerakan,


(Jakarta: Bulan Bintang, 1992)

Pribadi, Airlangga dan Yudhie R.Haryono. Post Islam Liberal (Jawa Barat: PT
Gugus Press, 2002)

Purwanto, Pluralisme Agama dalam Prespektif Nurcholish Madjid, Religió:


Jurnal Studi Agama-agama Vol 1 No 1 (Maret, 2011)

Purwanto, Pluralisme Agama dalam Prespektif Nurcholish Madjid, Religió: Jurnal


Studi Agama-agama Vol 1 No 1 (Maret, 2011)

195

Anda mungkin juga menyukai