Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

PEMIKIRAN ISLAM LIBERAL: JARINGAN ISLAM LIBERAL


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Sosial Intelektual Islam

Dosen pengampu:
Drs. Sukarma M, Ag.

Disusun oleh:
Dea Safitri Nawa El Nabila (03010221005)

PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2023
A. Sejarah Islam Liberal
Kata Liberal mempunyai arti “bebas” maka islam liberal bermakna islam
dengan kebebasan. Makna bebas berarti tidak harus memahami ajaran islam secara
mendalam, tidak menerima tradisi kuno, toleran terhadap non muslim dan memiliki
pola pikir lebih terbuka terhadap perkembangan zaman. Jaringan islam liberal sudah
lama muncul sekitar abad ke-18 saat kerajaan Turki Utsmani Dinasti Shafawi dan
Dinasti Mughal tengah berada digerbang keruntuhan. Pada saat itu ulama mengadakan
gerakan pemurnian untuk kembali kepada al-Quran dan sunnah.
Pada masa ini, muncullah cikal bakal paham liberal awal melalui Syah
Waliyullah di India (1703-1762), menurutnya Islam harus mengikuti adat lokal suatu
tempat sesuai dengan kebutuhan penduduknya. Di Mesir, muncul Rifa’ah Rafi’ al-
Tahtawi (1801- 1873) seorang tradisionalis yang mulai memasukkan unsur-unsur
Eropa dalam pendidikan Islam. Dia adalah salah seorang anggota delegasi pertama
dari negara Muslim yang dikirim ke Barat. Selanjutnya ada Muhammad Abduh
(1849-1905) yang banyak mengadopsi pemikiran mu'tazilah berusaha menafsirkan
Islam dengan cara yang bebas dari pengaruh salaf. Di Pakistan muncul Fazlurrahman
(lahir 1919) yang menetap di Amerika dan menjadi guru besar di Universitas Chicago.
Ia mengatakan alqur’an itu mengandung dua aspek: legal spesifik dan ideal moral,
yang dituju oleh al-qur’an adalah ideal moralnya karena itu ia yang lebih pantas untuk
diterapkan.1
Kelahiran pemikiran liberal ini, juga merupakan satu bentuk pemberontakan
dengan mengatasnamakan kebebasan berpikir. Dalam konteks politik, gerakan
pemikiran liberal lahir sebagai bukti protes terhadap otoritas kekuasaan raja yang
bersanding dengan kekuasaan agama. Pada tahun 1998 terjadi peristiwa reformasi
besar-besaran yang melibatkan mahasiswa sehingga mengakibatkan adanya kerusuhan
besar. Pada pasca orde baru oleh Soeharto. Hal ini menyebabkan berubahnya situasi
politik dan sosial pada waktu itu. Tradisi kritik dan kontrol sering terdengar di tengah
masyarakat. Dalam bidang agama, oranisasi islam kontemporer (Jaringan Islam Liberal)
yang dilindungi mengalami perubahan yang pesat selama masa orde baru yang
sebelumnya terus dijaga dengan pengawasan yang ketat.
Pada pertengahan tahun 2001, tepat pada tanggal 8 maret nama Islam Liberal
mulai dikenal luas di Indonesia. Segera nama itu menjadi perbincangan di tengah

1
Uswatun Hasanah, ‘JARINGAN ISLAM LIBERAL : SEJARAH DAN PERKEMBANGAN 2001-2010 - Digilib UIN Sunan
Ampel Surabaya’.
masyarakat. Dengan semboyan “Islam yang membebaskan” kelompok yang kemudian
mengusung bendera “Jaringan Islam Liberal” disingkat JIL berhasil membetot
perhatian banyak kalangan baik yang pro maupun yang kontra.
Reputasi JIL makin meningkat terutama disebabkan program Islam dan
masyarakat sipil yang diselenggarakan oleh komunitas Teater Utan Kayu (TUK).
Kegiatan yang dilakukan komunitas ini, antara lain melakukan proyek riset, publikasi
buku, stasiun radio, pertunjukkan seni dan forum diskusi. Komunitas ini juga
menerbitkan majalah dan jurnal. Program Islam dan Masyarakat sipil adalah
merupakan kerja sama antara TUK dan TAF yang dikelola Ulil Abshar Abdalla.
Adanya komunitas ini, memberikan dukungan terhadap JIL. Sehingga hal ini,
dimanfaatkan dengan baik oleh JIL. Misalnya, dalam mempromosikan pemikiran
mereka, salah satunya lewat radio.2
Adapun beberapa berikut beberapa faktor yang mempengaruhi masuknya JIL
ke Indonesia:
a. Adanya Kolonialisme Barat yang begitu panjang, karena pada dasarnya
paham Liberalisme berasal dari Barat.
b. Banyaknya para pelajar Indonesia yang menempuh pendidikan diluar
negeri, khususnya di negeri Barat. Walaupun para intelektual tersebut
sebenarnya berasal dari Timur Tengah. Namun, karena sudah
mengenyam pendidikan di luar negeri (Barat), maka disana banyak
para intelektual Islam yang pemikirannya dianggap liberal.

Kehadiran islam selama pembangunan orde baru sangat mengalami


keminggiran yang spesifik dengan arah modernisasi, terutama pada sektor ekonomi
yang tidak diimbangi dengan religious. Dari kelompok tersebut akhirnya muncul ide-
ide pembaharuan pemikiran islam. Penafsirannya adalah islam tidak hanya secara
tekstual tetapi lebih ke penafsiran kontekstual yang digolongkan menjadi islam
liberal. Islam liberal yakni islam yang menolak taklid, menganjurkan jihad, serta
menolak otoritas bahwa hanya individu atau kelompok tertentu yang berhak
menafsirkan ajaran islam.

B. Tokoh-tokoh JIL
Berikut nama-nama tokoh senior aktivis islam liberal:
1. Ulil abshar abdallah
2
Dr H Adian Husaini, ‘LIBERALISASI ISLAM DI INDONESIA’.
Ulil Abshar Abdalla adalah seorang cendekiawan muslim atau lebih
dikenal sebagai salah satu tokoh pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL). Ulil lahir
di Pati, Jawa Tengah pada tanggal 11 Januari 1967. Ulil menyelesaikan
pendidikan menengahnya di Madrasah Mathali'ul Falah, Kajen, Pati, Jawa
Tengah yang diasuh oleh Alm.K.H. M. Ahmad Sahal Mahfudz (Mantan Ketua
MUI dan juga tokoh Nadhlatul Ulama). Ketika menempuh pendidikan di
Madrasah, Ulil memiliki ketertarikan yang cukup besar pada bidang sastra
Indonesia. Dapat dikatakan, bahwa Ulil adalah seorang sosok yang memiliki
kultur santri yang cukup kental karena sejak kecil hingga menempuh sekolah
menengah,ia banyak bersentuhan dengan tradisi pendidikan keagamaan,
sesuatu yang menjadi ciri khas kalangan Nadhlatul Ulama (NU).
Ulil dikenal sebagai salah satu tokoh cendekiawan muda muslim yang
mempelopori pembentukan Jaringan Islam Liberal (JIL). Ia mendirikan JIL
karena dua alasan utama. Pertama, Ulil melihatbahwa pasca reformasi
terjadikecenderungan keagamaan yang fundamentalistis, radikal, dan pro
terhadap kekerasan. Untuk itulah JIL hadir sebagai kritik terhadap munculnya
kecenderungan tersebut.Kedua, JIL hadir untuk mendiseminasi ajaran Islam
yang rasional, kontekstual, humanis, dan pluralis, sehingga dapat relevan
dengan realitas sosial yang selalu berubah-ubah.3
Nama Ulil menjadi sangat melambung ketika iamelontarkan
gagasannya dalam sebuah tulisan di Kompas tertanggal 18 November
2002yang berjudul Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam. Sejak
kemunculan artikel Ulil di harian Kompas, nama Ulil menjadi bulan-bulanan
oleh kelompok Islam radikal yang memiliki cita-cita untuk mewujudkan
negara yang berlandaskan syariat Islam, seperti Front Pembela Islam (FPI),
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Majelis Mujahidin Indonesia(MMI).
Di tengah kuatnya hantaman yang menerpa Ulil, Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) hadir membela Ulil melalui sebuah artikel yang berjudul “Ulil
dengan Liberalismenya”. Menurut Gus Dur, umat Islam tak perlu terburu-buru
memberi cap kafir pada Ulil karena ia sendiri adalah seorang muslim.4
2. Djohan effendi

3
Muhamad Afif Bahaf, Islam Liberal Indonesia: Tokoh, Gagasan Dan Respon Kritis (Penerbit A-Empat, 2015).
4
Lahir pada tanggal 1 Oktober 1939 di kalimantan selatan. Pendidikan
Djohan effendi yakni di Pendidikan Guru Agama (PGA) di ibu kota Provinsi,
Banjarmasin. Setelah itu, Djohan Effendi melanjutkan studi ke Pendidikan
Hakim Islam Negeri (PHIN) Yogyakarta. Setelah dari PHIN, Johan berkarir di
Departemen Agama sebagai pegawai yang bertugas di daerah Amuntai,
Kalimantan Selatan, akibatnya ia harus menunda karir pendidikannya selama
dua tahun. Namun, Djohan Effendi mendapatkan kesempatan untuk
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi karena mendapatkan tugas belajar
dari tempatnya bertugas, ia masuk ke Fakultas Syari’ah IAIN (sekarang UIN)
Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk mendalami kajian tafsir.
Pada saat mahasiswa, Djohan effendi terlibat dalam organisasi
kemahasiswaan seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Selepas lulus dari
IAIN, Djohan Effendi ditempatkan di Sekretariat Jendral Departemen Agama.
Tidak lama kemudian, ia diangkat menjadi staf pribadi Menteri Agama yang
saat itu dijabat oleh Mukti Ali. pada tahun 1998 Djohan Effendi diminta oleh
Malik Fadjar menjadi Menteri Agama sebagai Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan (Kabalitbang) Departemen Agama, pada tanggal 20 Oktober
1998. Menurut Djohan effendi kewajiban negara adalah melayani hajat
keberagamaan warganegaranya, seperti melayani hajat pendidikan,
transportasi dan lain-lain. Dalam kerangka itulah sebenarnya hubungan antara
agama dan negara. Negara melayani agama, bukan mengatur.5
3. Azyumardi Azra
Azyumardi lahir di Lubunk Alung, Sumatera barat. Pada tanggal 4
Maret 1955. Riwayat pendidikan sarjana di Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta
pada tahun 1984. Selanjutnya pendidikan master di Columbia University,
disini ia mengambil dua departemen, yakni departemen budaya timur pada
tahun 1982 dan departemen sejarah pada tahun 1992.
Perkembangan intelektual Azyumardi Azra di mulai pada saat
mengambil gelar sarjana di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN
Syarif Hidayatullah) yang secara aktif mengikuti Forum Diskusi Mahasiswa
Ciputat (Formaci), kemudian aktif di Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah
IAIN Jakarta dengan posisi sebagai Ketua, aktif juga di HMI dan pernah
menjadi Ketua HMI Komisariat Ciputat, dilanjutkan aktif di dalam lingkungan
5
Muh Idris, ‘Potret Pemikiran Radikal Jaringan Islam Liberal (JIL) Indonesia’, Kalam, 8.2 (2014), 367–88.
LP3ES dan LIPI. Setelah meraih gelar doktor, kiprahnya semakin berkembang
dengan banyak memberikan ilmu di universitas dan ceramah ilmiah baik di
dalam maupun di luar negeri.
C. Pemikiran Jaringan Islam Liberal

Pemikiran Islam liberal, JIL lebih banyak berbicara tentang masalah


muamalah, dari pada berbicara masalah ibadah. Tema-tema yang diangkat oleh JIL
bukan merupakan tema yang bersifat baru, akan tetapi, tema yang sebenarnya sudah
ada sejak lama. Seperti, masalah formalisasi syari’at Islam, kontekstualisasi jihad,
Pluralisme dan toleransi, historitas al-Quran, emansipasi dan hak-hak wanita. Namun,
yang paling banyak mendapat sorotan sekaligus tanggapan adalah masalah syariat
Islam.

Menurut Fachri Aly dan Bactiar Effendi, terdapat empat versi islam liberal,
yaitu:

a. Modernisme, mengembangkan pola pemikiran yang menekankan pada


aspek rasionalitas dan pembaruan pemikiran islam sesuai dengan
kondisi-kondisi modern. Tokoh-tokoh modernisme yaitu Ahmad syafi’i
dan Djohan effendi.
b. Universalisme, berpendapat bahwa islam bersifat universal, betul
bahwa islam berada dalam konteks nasional, namun nasionalisasi
bukanlah tujuan final islam sendiri. Artinya nasionalisme dan
islamisme saling berkaitan.
c. Sosialisme demokrasi, beranggapan bahwa kehadiran islam harus
memberi makna pada manusia. Islam harus menjadi motivator dalam
berbagai aspek di kehidupan manusia.
d. Neo-modernisme, islam harus dilibatkan dalam proses pergulatan
modernisme. Para pendukung neo-modernisme, cenderung meletakkan
dasar-dasar keislaman dalam konteks atau lingkup nasional.

Program kebijakan yang dilakukan JIL untuk menyebarluasakan organisasinya


sejak diresmikannya pada tanggal 8 maret 2001, melakukan berkontribusi dalam
bidang jurnalis, seperti:

a. Sindikasi Penulis Islam Liberal


Maksudnya adalah mengumpulkan tulisan sejumlah penulis yang selama
ini dikenal oleh publik luas sebagai pembela Pluralisme dan Inklusivisme.
Sindikasi ini akan menyediakan bahan-bahan tulisan, wawancara dan
artikel yang baik untuk koran-koran di daerah yang biasanya mengalami
kesulitan untuk mendapatkan penulis yang baik. Disini, kelompok JIL
akan menyediakan artikel atau koran-koran daerah setiap minggunya.
b. Talk-show di Kantor Brita Radio 68H
Talk-show ini akan mengundang sejumlah tokoh yang selama ini dikenal
sebagai “pendekar Pluralisme dan Inklusivisme” untuk berbicara tentang
berbagai isu sosial-keagamaan di Tanah Air. Acara ini akan
diselenggarakan setiap minggu, dan disiarkan melaui jaringan Radio
namlapanha di 40 Radio.6
c. Penerbitan Buku
JIL berupaya menghadirkan buku-buku tentang Pluralisme dan
Inklusivisme agama, baik berupa terjemahan, kumpulan tulisan, maupun
penerbitan ulang buku-buku lama yang masih relevan dengan tema-tema
tersebut. Saat ini JIL sudah menerbitkan buku kumpulan artikel,
wawancara, dan diskusi yang diselenggarakan oleh JIL, bertema Wajah
Liberal Islam di Indonesia.
d. Penerbitan Buku Saku
Untuk kebutuhan pembaca umum, JIL menerbitkan Buku saku setebal 50-
100 halaman dengan bahasa yang sederhana dan mudah dicerna. Buku
Saku ini akan mengulas dan menanggapi sejumlah isu yang menjadi bahan
perdebatan dalam masyarakat. Tema-tema buku itu antara lain : jihad,
penerapan syari’at Islam, jilbab, penerapan ajaran “memerintahkan yang
baik, dan mencegah yang jahat.
e. Diskusi Keislaman
Melalui kerjasama dengan pihak luar (universitas, LSM, kelompok
mahasiswa, pesantren, dan pihak-pihak lain), JIL menyelenggarakan
sejumlah diskusi dan seminar mengenai tema-tema keislaman dan
keagamaan secara umum.

6
Taufani Taufani, ‘Relasi Islam Dan Kebebasan: Telaah Atas Pemikiran Ulil Abshar Abdalla’, Jurnal Dakwah
Tabligh, 17.2 (2016), 85–100.
Sikap pro-kontra terhadap JIL dipetakan menjadi 2 bentuk, yaitu fisik dan
intelektual. Dalam bentuk intelektual dapat dilihat dari terbitnya beberapa buku yang
mendapatkan tanggapan negatif maupun positif dari masyarakat.

D. Analisis dan Kritik


Bagi saya mempunyai previllage sebagai keturunan kiai maupun orang
terhormat manapun tidak bisa menjadi patokan untuk menjadi seperti pewarisnya.
Tergantung bagaimana sikap kita dalam menjaga garis nasab yang telah dibangun
sedemikian rupa oleh nenek moyang. Ulil Abshar Abdallah, atau biasa disebut ‘Gus
Ulil’ sempat menjadi perbincangan hangat di kalanagan ulama dan masyarakat sebab
pemikirannya yang ingin menjadikan islam sebagai liberalism. Banyak yang
menganggap bahwa kelompok liberal ini sama seperti organisasi Nahdhatul Ulama.
Namun hal ini tentu ditentang oleh ulama NU.
Gus A’ab (KH. Abdullah Syamsul Arifin) sangat menentang adanya JIL. Ia
mengatakan bahwa keberadaan JIL sangat merisaukan warga NU karena salah
seorang dalangnya merupakan tokoh NU. Gus A’ab juga menyayangkan tulisan-
tulisan Ulil karena menyamaratakan agama selain islam. Menganggap semua agama
benar adalah sesuatu yang salah. Menurut Gus A’ab sendiri, agama yang paling benar
adalah islam, namun kita sebagai sesama saudara setanah air yang hidup saling
berdampingan juga harus toleransi antar sesama agama, membela agama tanpa harus
menafikan agama lain yang diyakini oleh seluruh pemeluknya.
Lalu mengapa ajaran JIL tidak sesuai dengan NU? Terdapat tiga poin
pemikiran JIL yang menyeleweng dari NU, yakni:
1. Pernyataan bahwa semua agama itu benar.
2. Desakralisasi Alquran.
3. Deuniversalisasi Alquran.

Dari hasil analisis saya diatas, dengan memandang dua pemikiran tokoh
diatas dengan latar belakang yang sama bukan berarti masalah muamalah seperti ini
bisa ditoleransi. Suatu hukum dalam islam tetap berpegang teguh pada tempatnya.
Salah dan benarnya suatu agama pastinya islam yang menjadi pemenangnya karena
sudah tertulis lengkap di dalam kalam Allah, Alquran. Yang diturunkan oleh malaikat
Jibril kepada nabi terakhir, Nabi Muhammad saw untuk umatnya.

Anda mungkin juga menyukai