Anda di halaman 1dari 4

Agama dan Kekuatan Politik pada Masa Kolonialisme

Agama Islam berkembang di Indonesia berlangsung selama berabad-abad.


Pemeluk agama Islam di Indonesia yang pertama meliputi para pedagang yang segera
disusul oleh orang-orang kota, baik dari lapisan atas maupun lapisan bawah.
Menganut agama Islam merupakan senjata bagi mereka untuk melawan musuh dari
luar dan dalam. Bahaya dari dalam adalah masuknya agresor-agresor perdagangan
dan agama barat di kawasan Asia Tenggara yaitu orang-orang Portugis yang muncul
sebagai unsure kekuasaan di Asia Tenggara pada permualaan abad ke-16.

Dengan keyakinan bahwa membaptiskan orang-orang disana kedalam agama


Kristen, maka mereka akan menghapuskan monopoli Islam dalam perdagangan
rempah-rempah, kemudian muncul pengancam baratlainnya yaitu VOC. Berdeda
dengan orang-orang Portugis yang dilawannya mati-matian dan akhirnya diusir dari
Malaka dan dari benteng-benteng pertahanan lainnya di Indonesia, orang Belanda
tidak memperdulikan penaklukan yang bersifat agama dibandingkan dengan
keuntungan-keuntungan dibidang perdagangan.

Persaingan dan perang-perang perebutan tahta antara penguasa yang telah


menjadi Islam tidak jarang memberikan kesempatan kepada orang Portugis dan
Belanda untuk mencari alasan mencampuri urusan politik Indonesia. Namun,
kebanyakan perlawanannya yang dijumpai Portugis dan Belanda menggumpal
disekitar agama Islam. Silam tetap melanjtkan peranannhya selama berabad-abad
sebagai pusat perlawanan terhadap campur tangan barat dan kelak terhadap
pemerintahan colonial Belanda.

Pentingnya politik Islam Indonesia termasuk Islam Jawa, sebagian besar


berakar pada kenyataan bahwa didalam Islam batas antara agama dan politik
sangatlah tipis. Islam adalah suatu way of life dan agama. Sebagaimana didalam
masyarakat islam lainnya, guru-guru agama dan para kyai serta ulama, sejak awal
merupakan unsure social yang penting dalam masyarakat Indonesia. Ancaman Islam
yang dilakukan para priyayi meskipun telah memeluk agama islam tetapi mereka
tetap melangsungkan kebudayaan aristokrasinya sendiri yang pada umumnya
bertentangan dengan kebudayaan santri dan para ulama yang sedang tumbuh.
Kemerosotan ini merupakan akibat yang tidak dapat dihindarkan dari kekuasaan
Belanda di Indonesia yang kenyataannya membuat raja-raja Indonesia menjadi alat
kekuasaan Kristen. Sejak pertengahan abad ke-19 dan seterusnya, agama Islam di
Inonesia secara bertahap mulai menanggalkan sifat-sifatnya yang sinkretik.

Memasuki awal abad ke-20, masyarakat Indonesia mulai mengalami


transformasi social, politik, ekonomi, dan budaya yang cepat serta pengaruh dari
dunia luar. Dalam konteks perubahan atau pembaharuan inilah masyarakat Islam di
Indonesia merasa perlu untuk memiliki organisasi yang dapat mengayomi umat dalam
bidang agama maupun politik. Berikut ini empat organisasi Islam yang berkembang di
Indonesia yang mengurus bidang keagamaan dan juga politik umat Islam di
Indonesia:

a. Muhammadiyah
Ketika Muhammadiyah didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan pada tahin 1912,
umat islam sedang dalam kondisi terpuruk. Bersama seluruh bangsa Indonesia,
mereka terbelakang dalam tingkat pendidikan yang sangat rendah. Selain itu
kemakmuran ekonomi yang sangat parah serta kemampuan politik yang sangat
lemah. Lebih memprihatinkan lagi identitas keislaman merupakan salah satu
poin negative kehidupan umat. Islam pada waktu itu identik dengan profil
kaum santri yang selalu mengurusi kehidupan akhirat sementara seolah tidak
mau tahu dengan perkembangan dan persoalan zaman. Sementara lembaga
organisasi keagamaan juga masiih bergelut dengan urussn yang tidak banyak
bersentuhan dengan dinamika realita social, apalagi berusaha untuk
meajukannya.
b. Persis (Persatuan Islam)
Persis sebagai organisasi berlabel modernis telah memberikan warna baru bagi
dinamika peradaban Islam di Indonesia pada waktu itu. Persis yang lahir pada
abad ke-20 merupakan respons terhadap karakter keberagaman masyarakat
Islam di Indonesia yang cenderung sinkretik, akibat dari pengaruh prilaku
keberagaman masyarakat Indonesia. Indonesia sebelum memiliki organisasi
Islam memang merupakan lahan subur bagi praktik sinkretisme, akibat sikap
akomodatif para penyebar Islam di Indonesia terhadap adat istiadat yang
sebelumnya telah mapan. Meskipun tidak dapat dipungkiri, bahwa
keberhasilan penyebaran agama Islam juga tidak lepas dari sikap akomodatif.
Bagi Persis, praktik sinkretisme merupakan kesatuan yang tidak boleh
dibiarkan berkembang dan harus segera dihapus karena bias merusak sendi-
sendi fundamental agama Islam.
c. Nahdatul Ulama (NU)
NU lahir pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya. Organisasi ini diprakarsai
oleh sejumlah ulama terkemuka. Lahirnya NU bisa dikatakan sebagai
kebangkitan para ulama. NU didirikan untuk menampung gagasan keagamaan
para ulama tradisional atau sebagai reaksi atas prestasi ideology gerakan
modernisasi Islam yang mengusung gagasan purifikan puritanisme.
Pembentukan NU merupakan upaya pengorganisasian dan peran para ulama,
pesantren, yang sudah ada sebelumnya. Agar wilayah kerja keulamaan lebih
ditingkatkan, dikembangkan, dan diluaskan jangkauannya. Dengan kata lain,
didirikannya NU adalah untuk menjadi wadah bagi usaha mempersatukan dan
menyatukan langkah-langkah para ulama dan kiai pesantren.
d. Masyumi
Masyumi didirikan pada 24 Oktober 1943 sebagai pengganti MIAI karena
pada waktu itu Jepang memerlukan satu badan untuk menggalang dukungan
masyarakat Indonesia melalui lembaga agama Islam. Meskipun demikian,
Jepang tidak terlalu tertarik dengan partai-partai Islam yang telah ada di
zaman Belanda, yang kebanyakan berlokasi di perkotaan dan berpola fikir
modern, sehingga pada minggu-minggu pertama Jepang telah melarang Partai
Sarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam Indonesia (PII).
Pada tanggal 7-8 Oktober, diadakan muktamar Islam di Yogyakarta dan
dihadiri oleh hampir semua tokoh organisasi Islam dari masa sebelum perang serta
masa pendudukan Jepang.
Kongres memutuskan untuk mendirikan syuro pusat bagi umat Islam
Indonesia. Masyumi yang dianggap sebagai satu-satunya partai politik bagi umat
Islam, pada awal berdirinya Masyumi hanya empat organisasi yang masuk Masyumi,
yaitu Muhammadiyah, NU, Perserikatan Ulama Islam, dan Persatuan Umat Islam.

Beberapa tokoh Masyumi yang terkenal adalah:

1) K.H Hasyim Asy’ari


2) K.H Walid Hasyim
3) H. Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka)
4) Muhammad Natsir
5) Syafrudin Prawiranegara

Dari empat organisasi tersebut dapat dipahami pembaharuan Islam yang


berkenaan dalam bidang politik, social, dan budaya yang bertujuan untuk
memperbaiki Islam yang murni. Oleh karena itu ajaran islam bersifat universal, tidak
saja dalam dimensi sejarah, akan tetapi universal dalam dimensi sosiologis dan
antropologis. Dengan demikian, Islam adalah agama bagi semua zaman, dan bagi
semua orang dalam berbagai posisi social, ekonomi, budaya, dan politik. Sesuai
dengan tujuannya bahwa Islam adalah rahmat bagi semesta alam.

Dafpus :

Afdhal. (2023). Sejarah Peradaban Islam. Sumatera : PT Global Eksekutif Teknologi.

Dr Nurul. (2020). Sains, Kepustakaan, dan Perpustakaan Dalam Sejarah dan Peradaban
Islam (Klasik, Pertengahan, Modern). Jawa Tengah : Maghza Pustaka.

Ferdian, Hasmand. (2016). Kronologi Sejarah Islam dan Dunia. Jakarta Timur : Pustaka Al-
Kautsar.

Haidar, Putra. (2019). Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta : Kencana.

Anda mungkin juga menyukai