Anda di halaman 1dari 3

PERAN ULAMA PADA MASA PERGERAKAN

INDONESIA

Pada masa kolonialisme Barat, kekuatan Islam yang laten dan tak penah tertundukkan
dalam posisi tersebut, lebih tertransformasi kedalam bentuk politik dan ideologis. Dalam ruang
ini, bukan saja pemimpin-pemimpin Islam tingkat lokal merupakan lawan utama serta simbol
perjuangan melawan Portugis dan Belanda. Islam juga mencoba untuk menjembatani berbagai
partikularisme kesukuan dan daerah, dengan melakukan persatuan Islam. Dalam konteks ini
Islam berfungsi sebagai lambang pemersatu dan sekaligus sebagai ideologi politik sehingga
menimbulkan kekuatan politik luar biasa. Setelah agama Islam tersebar secara meluas hampir ke
seluruh wilayah nusantara, di bawah pimpinan pemuka-pemuka agama, orang-orang Islam
memperoleh kekuatan untuk menentang pemerintahan sekuler, yang dengan penuh kemegahan
mempertahankan tradisi takhayul dan klenik.
Pertumbuhan perasaan keislaman sejak awal abad ke-20 adalah refleksi dari posisi dan
fungsi agama di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Bagi mereka Islam lebih dari sekedar
agama karena ia adalah tuntutan hidup. Karena itu, Islam memberikan psikologis dan sosial
kepada penduduk. Keyakinan Islam memberikan kepada sebagian besar rakyat Indonesia, suatu
perasaan kelayakan individual dan perasaan solidaritas, bahkan termasuk petani desa miskin
yang paling tidak terdidik sekalipun.1
Dengan kesadaran untuk setidaknya melepaskan diri, rakyat Indonesia memulai
perlawanan-perlawanan kepada kaum penjajah. Perlawanan-perlawanan tersebut setidaknya
tidak terjadi di suatu wilayah saja, akan tetapi terjadi di banyak daerah di Indonesia, terutama
dalam abad 18 dan 19. Dari data historis, perlawanan-perlawanan yang terjadi dipimpin oleh
golongan tertentu dalam masyarakat. Ikatan berdasarkan fungsi dan status antar golongan
memudahkan para pemimpin tersebut mengerahkan pengikut.2
Upaya penguasaan seluruh wilayah Indonesia, oleh ulama dimanfaatkan untuk
menumbuhkan kesadaran pada diri tentang adanya musuh bersama. Gerakan ulama
membangkitkan kesadaran akan rasa cinta tanah air, bangsa dan agama. Kondisi penjajahan dan

1
Pramono U. Tanthowi, Kebangkitan Politik Kaum Santri (Jakarta: PSAP, 2005), hal. 16-18
2
William H. Frederick dan Soeri Soeroto, 1982, Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum dan Sesudah Revolusi,
(Jakarta: LP3ES), hal. 217

1
penindasan yang dialami oleh rakyat Indonesia telah melahirkan pemahaman pada diri bahwa
Islam identik dengan kebangsaan atau nasionalisme.3
Memasuki masa politik etis, penjajahan ternyata belum selesai. Eksploitasi terhadap
segenap potensi sumber daya pribumi dan lingkungan hidupnya tetap dilakukan oleh pemerintah
Belanda. Penjajahan dengan model baru pun dimulai. Sebuah senjata utama yang dilakukan oleh
pihak pemerintah Belanda untuk melumpuhkan kekuatan ulama dalam hal sumber dana dan
logistik. Hal ini dikarenakan sawah ladang maupun irigasi menjadi sangat bergantuk pada
pemerintah Belanda.
Dibukanya perkebunan dan pertambangan di wilayah baru di luar pulau Jawa,
mengakibatkan tenaga kerja perlu didatangkan. Daerah pulau Jawa yang merupakan pulau
dengan jumlah penduduk yang cukup padat harus melakukan pemindahan penduduk ke daerah
perkebunan dan pertambangan yang belum ada penghuninya. Dengan adanya pemindahan ini,
terkait adanya upaya memperlemah kedudukan ulama.4
Perubahan tatanan jajahan dari sistem imperialisme kuno ke imperialisme modern
mengakibatkan berubah pula bentuk perjuangan yang dilakukan oleh ulama. Tidak lagi
melancarkan perlawanan bersenjata. Pihak pemerintah Belanda menjadikan tanah jajahannya
sebagai pasar dan sumber bahan mentah bagi industrinya, oleh karena itu ulama pun segera
memberikan reaksinya yaitu dengan menjadikan pasar sebagai arena memasarkan ide
kebangkitan nasional. Diawali dengan membangun organisasi pemasaran, Sjarikat Dagang Islam
(SDI) pada tahun 1905.5
…awal abad XX bukan hanya menjadi saksi penentuan wilayah Indonesia yang baru dan
suatu pencanangan kebijakan penjajahan yang baru…6
Sejak akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, Kaum Muda Islam—yang berbasis
“ulama-intelek” dan “intelek-ulama”—memainkan peran penting dalam mengembangkan ruang
publik modern di Nusantara. Hal ini terentang mulai dari rumah penerbitan (dengan teknik
litografis, kemudian tipografis), pers (dalam huruf Jawi dan kemudian Rumi), madrasah, sekolah,
sarikat dagang, perkumpulan-perkumpulan bergaya Eropa, dan akhirnya partai politik. Beberapa

3
Ahmad Mansur Suryanegara, 2009, Api Sejarah, (Bandung: Salamandani), hal. 276-279
4
Ibid, hal. 307-308
5
Ibid, hal. 313-314
6
M.C. Ricklefs, 2005, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta), hal 341
diterjemahkan dari A History of Modern Indonesia Since c. 1200 Third Edition karangan M.C. Ricklefs, terbitan
Palgrave, cet. 1, 2001 penerjemah : Satrio Wahono, Bakar Bilfaigh, Hasan Huda, Miftah Helmi, Joko Sutrisno, Has
Manadi

2
monumen terpenting dalam hal ini adalah Sarekat Dagang Islam untuk pergerakan ekonomi;
Muhammadiyah (berdiri 1912)—yang disusul oleh Nahdlatul Ulama (1926)—untuk pergerakan
pendidikan; serta Sarekat Islam (SI, berdiri 1912) untuk pergerakan politik.
Kemunculan SI (kelanjutan SDI) merupakan titik yang paling menentukan dalam
perkembangan ide kebangsaan Islam sebagai bentuk proto-nasionalisme. Untuk pertama kalinya,
kata ‘Islam’ secara eksplisit digunakan sebagai nama perhimpunan, yang mengindikasikan
bahwa Islam sekarang telah diaktifkan sebagai basis identitas kolektif dan sebagai sebuah
ideologi bagi gerakan proto-nasionalisme. Sebagai perhimpunan yang tumbuh dari lingkaran
Kaoem Mardika (yang tidak tergantung pada ekonomi kolonial), perhimpunan ini
merepresentasikan meluasnya gerakan kemajuan melampaui melalui priyayi. Kelahirannya di
sekitar ibukota kerajaan Surakarta menandai berubahnya pusat gerakan-gerakan Islam dari
daerah-daerah pedesaan ke kota. Kepemimpinannya yang dipegang oleh para pedagang dan
kemudian inteligensia mencerminkan adanya transformasi kepemimpinan politik Islam dari
ulama kharismatik kepada bukan ulama.7
Realitas sejarah tentang telah adanya eksistensi kekuasaan politik Islam sejak abad ke-9 M
hingga abad ke-20 M dan tumbuh meluas di seluruh Nusantara Indonesia dijadikan modal
yang sangat berharga oleh Ulama dan Santri, untuk membangkitkan kembali kesadaran
politik umat Islam Indonesia. Hal ini dibangkitkan melalui pembentukan organisasi modern
sebagai wahana memobilitas dan mendinamikan semangat juang umat Islam Indonesia.8
Dengan demikian, pada dasarnya para ulama lah yang sebenarnya memelopori pergerakan
kebangkitan kesadaran nasional. Hal ini ditandai dengan didirikannya organisasi yang bergerak
di berbagai bidang seperti ekonomi perniagaan, politik, sosial pendidikan, kewanitaan, pemuda,
dan kepanduan. Melalui organisasi ini dibangkitkanlah kesadaran umat terhadap makna
kemerdekaan nasional.9

7
Koentowidjojo, 2001, Periodisasi Sejarah Kesadaran Keagamaan Umat Islam Indonesia: Mitos, Ideologi, dan
Ilmu, (Yogyakarta : Gadjah Mada University), hal. 9
8
Ahmad Mansur Suryanegara, 2009, Api Sejarah, (Bandung: Salamandani), hal. 362
9
Ibid, hal. 362-363

Anda mungkin juga menyukai