Anda di halaman 1dari 14

Sejarah Muhammadiyah

PROLOG
Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta,
pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 oleh
seorang yang bernama Muhammad Darwis, kemudian
dikenal dengan KHA Dahlan .
Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta
sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat
keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, Masjid Bersejarah
beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik,
beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan
Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu beliau memberikan pengertian keagamaan dirumahnya ditengah
kesibukannya sebagai Khatib dan para pedagang.
Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat sambutan
dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat mendukung ajakan beliau, sehingga
dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar
pulau Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan kini
Muhammadiyah telah ada diseluruh pelosok tanah air.
Disamping memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga memberi pelajaran
kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut "Sidratul Muntaha". Pada siang hari pelajaran
untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang telah dewasa.
KH A Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922 dimana saat itu masih
menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat tahun ke 11, Pemimpin Muhammadiyah
dipegang oleh KH Ibrahim yang kemudian memegang Muhammadiyah hingga tahun 1934.Rapat Tahunan itu
sendiri kemudian berubah menjadi Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari berubah menjadi
Muktamar tiga tahunan dan seperti saat ini Menjadi Muktamar 5 tahunan.
Eksistensi dan Kisar Gerakan Muhammadiyah
Indonesia memasuki abad ke-20 adalah sebuah negeri yang muram. Setelah runtuhnya kekuasaankekuasaan monarkis di Nusantara, negeri ini terbelenggu oleh kolonialisme. Hampir segeap sendi kehidupan
terpasung secara semena-mena bersamaan dengan munculnya berbagai praktik kolonialisasi yang sengaja
merampas dan mencekeram hak dan hajat hidup kaum pribumi. Sejarah panjang kolonialisme itu berlangsung
berabad-abad, sadis dan serakah, serta menimbulkan getir trauma dan cedera historis yang cukup parah.
Indonesia terkoyak tanpa daya, dimana sebagian besar rakyatnya terbenam ke dalam kemiskinan, kebodohan,
dan
keterbelakangan.
Di rentang sejarah gelap kolonialisme itulah umat Islam Indonesia turut menanggung akibatnya.
Sebagai entitas masyarakat mayoritas di Nusantara, umat Islam pun menjadi obyek dan sasaran kolonialisasi
yang paling diperhitungakan karena terbukti kerap menyulut perlawanan rakyat secara terbuka dan bahkan
besar-besaran. Di antara peristiwa perlawanan dimaksud adalah pecahnya Perang Suci: perlawanan umat Islam
paling berdarah-darah sepanjang sejarah yang digerakkan dan dipelopori oleh barisan ulama Aceh. Tak lepas
berkait dari itu, peristiwa penting yang menandai perlawanan umat Islam terhadap kolonialisme Belanda
sebelumnya juga terjadi secara berturut-turut di berbagai belahan Nusantara, yakni Perang Padri di
Minangkabau yang dipelopori Imam Bonjol dan Haji Miskin (1821-1838), Perang Sabil di Jawa yang dipelopori
Pangeran Dipenogoro (1825-1830), serta Pemberontakan Tjilegon di Banten yang dipelopori Hadji Wasit dan
Tubagus
Hadji
Ismail
(1888).
Rentetan kecamuk perang itu meninggalkan warisan kerugian materil dan personil serdadu yang sangat
besar bagi Belanda, sekaligus menyisakan tak sedikit kekhawatiran yang kemudian secara perlahan memaksa
Belanda menerapkan strategi baru kolinialisasi kaum pribumi yang dikenal dengan istilah Politik Etis. Era ini
ditandai oleh hadirnya misionaris ulung bernama Christiaan Snouck Hurgronje, seorang dan satu-satunya orang
dalam sebuah tesis Alfian-- yang bertanggungjawab sebagai arsitek Kebijakan Politik Islam.
Kebijakan demikian itu, sengaja diberlakukan Belanda untuk menampilkan dua wajah baru
kolonialisasi, dan pada saat yang sama memerangi Islam di Indonesia dengan cara-cara yang tampak etis. Yaitu,
menguatkan gelombang westernisasi pendidikan dan budaya di lapisan elite dan terpelajar, sedangkan di lapisan
kedap perubahan yang dibentengi ulama tradisionalis, Belanda menggairahkan kembali tradisi Hindu-Islam
yang sudah berumur satu abad, dimana hal itu berakibat langsung serta sekaligus memicu maraknya praktik
takhayul dan bidah (sebagai bentuk penyimpangan agama) di tangah-tengah kehidupan umat Islam Indonesia.
Meskipun Belanda menuai hasil cukup gemilang dari proses awal kebijakan Politik Etis, namun hasil
pahit yang sebelumnya tidak pernah diharapkan dari ekses proses kebijakan itu selanjutnya adalah lahirnya

benih-benih nasionalisme Indonesia meodern. Benih-benih nasionalisme modern (perlawanan melelaui pintu
perdagangan dan pendidikan) itu sudah terasa secara diam-diam melalui surat-surat Kartini dari Jepara kepada
Stella Zeehandelaar di Belanda pada kurun 1899-1903, sampai kemudian gerakan nasionalisme versus
Kolonialisme itu berlanjut cukup terbuka sejak Budi Utomo berdiri 1908 dan memulai sekolah Kweekschool di
Jetis
Yogyakarta.
Sungguh pun tak dapat dipungkiri, kebijakan liberal di sektor ekonomi yang diberlakukan secara
formal sejak tahun 1870, telah memberi kesempatan yang demikian luas tidak hanya kepada pemerintah
kolonial, melainkan juga kepada pihak asing lainnya untuk melakukan esksploitasi tanpa batas terhadap sumbersumber ekonomi di belahan-belahan bumi Indonesia. Perkebunan dan pertambangan milik pemerintah maupun
perusahaan swasta asing bermunculan dan merambah cepat dari Sabang sampai Merauke. Realitas ini berbeda
dengan masa sebelumnya, dimana eksploitasi hanya terkonsentrasi di sepanjang Pulau Jawa.
Sejalan dengan itu, merebaknya aktivitas berdasarkan sistem pasar dan penggunaan uang sebagai
standar transaksi, dengan sendirinya menimbulkan komersialisasi dan monetisasi dalam kehidupan ekonomi
masyarakat secara umum. Perluasan infrastruktur dan kesempatan ekonomi baru itu tentu saja mempunyai
implikasi positif terhadap ekonomi kaum pribumi, namun pada saat yang sama, tekanan ekonomis terhadap
bumiputra juga semakin kuat sebagai akibat dari kenaikan biaya hidup, penarikan pajak tunai yang kian
beragam, nilai riil pendapatan yang rendah, maupun karena petani demikian teralienasi dari tanah sebagai faktor
produksi
utama
sehingga
tingkat
hidup
mayoritas
masyarakat
semakin
rendah.
Ada dual-economic system (dalam kajian Boeke) yang akhirnya berlaku dalam perekonomian Indonesia di
masa kolonial, bahwa di satu sisi terdapat sebagian kecil kelompok sosial (terutama para kapitalis Eropa) yang
melakukan aktivitas ekonomi secara kapitalis dan integral dengan pasar global, sementara di sisi lain terdapat
sebagian besar kelompok sosial (mayoritas pribumi) yang hidup dalam subsistence economy. Yaitu, hidup secara
pas-pasan hanya untuk kebutuhan keseharian tanpa sentuhan pendidikan yang memadai, sehingga terpaksa
harus hidup bodoh dan terbelakang.
Tak terbantah, dominasi kalangan Eropa dan elit feodal pribumi dalam dunia pendidikan menyebabkan
rakyat yang mayoritas muslim tak cukup terakomodasi dalam sistem pendidikan modern, sementara kebekuan
sistem pendidikan tradisional (pesantren) semakin meninggalkan ketidakberdayaan di pusaran arus sosial yang
semakin jauh bergerak cepat ke arah modernisasi. Lebih menyedihkan, kesadaran sebagai bangsa terjajah tidak
banyak muncul di kalangan masyarakat akibat pembodohan sistemik yang dilakukan pemerintah kolonial. Elit
feodal
pribumi,
bahkan,
tidak
banyak
tergugah
dan
tercerahkan.
Di tengah kemuraman mayoritas kaum pribumi itu, secara tak terduga muncullah sekelompok kecil
masyarakat pribumi yang perlahan bergerak sebagai pengusaha industri dan pedagang yang kuat. Katakanlah
mereka misalnya pengusaha industri batik, rokok, kerajinan, pedagang perantara, dan pedagang keliling di
daerah-daerah seperti Pekalongan, Yogyakarta, Surakarta, Kudus, Pariaman, Palembang, dan Banjarmasin.
Kelompok ini adalah kelas menengah pribumi dan merupakan sebagian kecil dari wiraswastawan pribumi yang
mampu bersaing pada tingkat lokal dengan para pengusaha dan pedagang Eropa, Cina, Arab, dan India yang
lebih dulu mendominasi sektor-sektor ekonomi. Sebagian besar kelas menengah pengusaha dan pedagang
pribumi ini memiliki latar belakang agama Islam dan ikatan sosial yang kuat, satu hal yang sebenarnya paradoks
dengan
mayoritas
pribumi
yang
umumnya
Muslim.
Di Jawa, misalnya, mereka tinggal di kawasan tertentu seperti daerah yang dikenal sebagai Kauman atau
Sudagaran. Daerah ini kebetulan dekat dengan pusat perdagangan, dan karenanya sebagian besar warganya
berdagang atau menjadi pengusaha. Kondisi ekonomi mereka cukup mapan dan memberi mereka kesempatan
untuk bergaul secara lebih kosmopolit, baik melalui ibadah haji ke Mekah, mengirimkan anak-anak mereka ke
berbagai pesantren atau lembaga pendidikan lain di Indonesia maupun di luar negeri (seperti Saudi, Mesir, dan
Eropa). Dengan demikian, interaksi mereka dengan masyarakat dan bangsa lebih luas berlangsung secara
reguler dan berkesinambungan. Hal itu berlangsung, tidak hanya dalam konteks ekonomi dan pendidikan,
melainkan juga dalam aspek sosial, kultural, dan politik. Interaksi mereka terutama dengan masyarakat Muslim
dunia (Timur Tengah), termasuk dengan warga Indonesia yang sudah lama bermukim di Mekkah, membuka
kesempatan
masuknya
unsur-unsur
baru
ke
dalam
masyarakat
Muslim
di
Indonesia.
Kyai Haji Ahmad Dahlan, satu di antara masyarakat kelas menengah pribumi itu. Meskipun sosoknya,
barangkali hanyal berupa noktah kecil dalam kancah sejarah Indonesia yang menjalani hidup sekadar
berdagang batik dan menjadi Khatib Amin di Masjid Agung Kasultanan Ngayogyakarta. Namun ternyata,
kehadiran dan kiprah Kyai Haji Ahmad Dahlan tidak hanya setampak noktah kecil itu, melainkan hadir dengan
gagasan besar yang mencerahkan di tengah kemuraman nasib bangsa yang masih meringkuk dalam belenggu
kolonialisme.
Lewat kosmopolitanisme pergaulannya di jalur perdagangan, perjalanan haji dan studinya di Makkah,
Kyai Haji Ahmad Dahlan lantas kerap terlibat dalam renungan-renungan serius, sampai akhirnya berpikir keras

untuk mengambil jalan baru perubahan sosial demi tumbuh dan berkembangnya Islam berkemajuan: sebuah
reaksi segar untuk mengatasi keterbelakangan kaum pribumi, serta pembodohan dan pemiskinan akibat
kolonialisasi yang terus berlangsung secara sistemik. Pikiran keras dan renungan serius itulah yang melahirkan
gagasan-gagasan besar, sampai akhirnya memicu kelahiran Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912.
Refleksi Perjuangan Satu Abad Muhammadiyah
Gagasan Muhammadiyah bermula dari sebuah perenungan, dan berlanjut dalam pergumulan pemikiran
yang cukup panjang, semata-mata untuk melahirkan sebuah gerakan dakwah dan tajdid yang mampu
mengakomodasi desakan kebangkitan di era gelap kolonialisme. Tentu, tak sedikit hadangan dan tantangan yang
membelintang harus dilalui sebelum kemudian Sang Penggagas, Kyai Haji Ahmad Dahlan, bisa mengajak
sejumlah warga Kauman secara resmi mendirikan Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912.
Tersebutlah sejumlah nama-nama yang menyejarah dalam dokumen abadi Muhammadiyah sebagai
Hoofd Bestur (pengurus pusat) yang pertamakali diajukan pada Gubernur Jenderal Belanda di Batavia. Yaitu,
Mas Ketib Amin Hadji Ahmad Dahlan (Ketua), Mas Penghulu Abdullah Sirat (Sekretaris), Raden Ketib
Tjandana Hadji Ahmad (Anggota), Hadji Abdul Rahman (Anggota), Raden Hadji Sarkawi (Anggota), Mas
Gebajan Hadji Muhammad (Anggota), Raden Hadji Djailani (Anggota), Hadji Anis (Anggota), Mas Tjarik
Hadji
Muhammad
Pakih
(Anggota).
Seperti kutipan Dat het Register der Besluiten van den Gouverneur-General, No. 81, Muhammadiyah
baru dinyatakan de jure dan sah bergerak pada tanggal 22 Agustus 1914 di Residensi Yogyakarta. Meskipun
secara de fakto, ikhtiar Kyai Haji Ahmad Dahlan merintis perubahan tradisi beragama, serta keberaniannya
mengambil langkah mengembangkan pola pendidikan baru dalam ranah kaum santri yang masih lekat dengan
feodalisme Islam --sekaligus memacu peran sosial jamaah yang tidak populis-- di Kauman kala itu, jauh
sebelumnya telah berlangsung. Dan, geliat ikhtiar itu menandai denyut nadi gerakan Muhammadiyah. Dengan
demikian, dapat dikata, ruh gerakan Muhammadiyah di tengah-tengah kehidupan umat Islam sudah ditiupkan
jauh hari sebelum Raden Dwijosewoyo dari Budi Utomo naik mimbar dan membacakan besluit berdirinya
Muhammadiyah.Dimana hari itu juga, Rechtspersoonlijkheid Muhammadiyah diumumkan di Loodge Gebouw
Malioboro.
Panta rei, kehadiran Muhammadiyah di kancah pergerakan kebangsaan dan khazanah keagamaan tak
cukup sekadar untuk dicatat. Namun juga, terbukti mampu membuka gerbang baru bagi Islam keindonesiaan
dan ikut serta menentukan merah-biru perjalanan sejarah bangsa Indonesia sendiri. Sebagai salah satu organisasi
masyarakat yang kini telah berhasil mengukuhkan posisinya menjadi organisasi Islam modern terbesar di dunia,
Muhammadiyah tidak hanya teruji oleh sejarah, tetapi juga turut menguji sejarah. Bahwa sejarah bangsa
Indonesia memang membutuhkan kehadiran sebuah gerakan seperti Muhammadiyah yang bergiat secara intens
dan konsisten dalam ranah dakwah, pemberdayaan masyarakat, pengentasan kemiskinan dan kebodohan.
Rentang kiprah Muhammadiyah yang demikian panjang sejak kali pertama digerakkan, hingga
mejelang seratus tahun usianya, telah banyak mewarnai sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia. Bahkan
Muhammadiyah terbukti mampu menghasilkan sosok tokoh dan pemimpin besar yang turut andil dalam
memastikan arah yang dituju oleh dan untuk masa depan bangsa Indonesia. Para tokoh dan pemimpin
Muhammadiyah itulah, yang secara sukarela membaktikan hidupnya mengemudikan dan mengawal
Muhammadiyah agar tetap konsisten berpijak pada khittah perjuangannya. Sehingga dapat dipastikan kehadiran
Muhammadiyah bukan hanya sekadar rutinitas sejarah. Melainkan juga: jawaban atas dialektika dan tuntutan
zaman yang terus bergerak.
Sejarah Singkat Muhammadiyah
Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1912 M) merupakan
momentum penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah kelahiran sebuah gerakan Islam modernis terbesar di
Indonesia, yang melakukan perintisan atau kepeloporan pemurnian sekaligus pembaruan Islam di negeri
berpenduduk terbesar muslim di dunia. Sebuah gerakan yang didirikan oleh seorang kyai alim, cerdas, dan
berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis dari kota santri Kauman Yogyakarta.
Kata Muhammadiyah secara bahasa berarti pengikut Nabi Muhammad. Penggunaan kata
Muhammadiyah dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak perjuangan
Nabi Muhammad. Penisbahan nama tersebut menurut H. Djarnawi Hadikusuma mengandung pengertian
sebagai berikut: Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah
umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah
memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi
Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan
demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa
Indonesia
pada
umumnya.
Kelahiran dan keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak lepas dan merupakan
menifestasi dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis) yang

menjadi pendirinya. Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang kedua kalinya pada
tahun 1903, Kyai Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di Tanah Air. Gagasan pembaruan itu diperoleh
Kyai Dahlan setelah berguru kepada ulama-ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh Ahmad
Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari
Maskumambang; juga setelah membaca pemikiran-pemikiran para pembaru Islam seperti Ibn Taimiyah,
Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dengan modal
kecerdasan dirinya serta interaksi selama bermukim di Ssudi Arabia dan bacaan atas karya-karya para pembaru
pemikiran Islam itu telah menanamkan benih ide-ide pembaruan dalam diri Kyai Dahlan. Jadi sekembalinya dari
Arab Saudi, Kyai Dahlan justru membawa ide dan gerakan pembaruan, bukan malah menjadi konservatif.
Embrio kelahiran Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi untuk mengaktualisasikan gagasangagasannya merupakan hasil interaksi Kyai Dahlan dengan kawan-kawan dari Boedi Oetomo yang tertarik
dengan masalah agama yang diajarkan Kyai Dahlan, yakni R. Budihardjo dan R. Sosrosugondo. Gagasan itu
juga merupakan saran dari salah seorang siswa Kyai Dahlan di Kweekscholl Jetis di mana Kyai mengajar agama
pada sekolah tersebut secara ekstrakulikuler, yang sering datang ke rumah Kyai dan menyarankan agar kegiatan
pendidikan yang dirintis Kyai Dahlan tidak diurus oleh Kyai sendiri tetapi oleh suatu organisasi agar terdapat
kesinambungan setelah Kyai wafat. Dalam catatan Adaby Darban, ahli sejarah dari UGM kelahiran Kauman,
nama Muhammadiyah pada mulanya diusulkan oleh kerabat dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang
bernama Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang kemudian
menjadi penghulu Kraton Yogyakarta, yang kemudian diputuskan Kyai Dahlan setelah melalui shalat istikharah
(Darban, 2000: 34). Artinya, pilihan untuk mendirikan Muhammadiyah memiliki dimensi spiritualitas yang
tinggi
sebagaimana
tradisi
kyai
atau
dunia
pesantren.
Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk mengaktualisasikan
pikiran-pikiran pembaruan Kyai Dahlan, menurut Adaby Darban (2000: 13) secara praktis-organisatoris untuk
mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1
Desember 1911. Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari sekolah (kegiatan Kyai Dahlan dalam
menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kyai Dahlan secara informal dalam memberikan pelajaran yang
mengandung ilmu agama Islam dan pengetahuan umum di beranda rumahnya. Dalam tulisan Djarnawi
Hadikusuma yang didirikan pada tahun 1911 di kampung Kauman Yogyakarta tersebut, merupakan Sekolah
Muhammadiyah, yakni sebuah sekolah agama, yang tidak diselenggarakan di surau seperti pada umumnya
kegiatan umat Islam waktu itu, tetapi bertempat di dalam sebuah gedung milik ayah Kyai Dahlan, dengan
menggunakan meja dan papan tulis, yang mengajarkan agama dengan dengan cara baru, juga diajarkan ilmuilmu
umum.
Maka pada tanggal 18 November 1912 Miladiyah bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 Hijriyah di
Yogyakarta akhirnya didirikanlah sebuah organisasi yang bernama MUHAMMADIYAH. Organisasi baru ini
diajukan pengesahannya pada tanggal 20 Desember 1912 dengan mengirim Statuten Muhammadiyah
(Anggaran Dasar Muhammadiyah yang pertama, tahun 1912), yang kemudian baru disahkan oleh Gubernur
Jenderal Belanda pada 22 Agustus 1914. Dalam Statuten Muhammadiyah yang pertama itu, tanggal resmi
yang diajukan ialah tanggal Miladiyah yaitu 18 November 1912, tidak mencantumkan tanggal Hijriyah. Dalam
artikel 1 dinyatakan, Perhimpunan itu ditentukan buat 29 tahun lamanya, mulai 18 November 1912. Namanya
Muhammadiyah dan tempatnya di Yogyakarta. Sedangkan maksudnya (Artikel 2), ialah: a. menyebarkan
pengajaran Igama Kangjeng Nabi Muhammad Shallalahu Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputra di
dalam residensi Yogyakarta, dan b. memajukan hal Igama kepada anggauta-anggautanya.
Terdapat hal menarik, bahwa kata memajukan (dan sejak tahun 1914 ditambah dengan kata
menggembirakan) dalam pasal maksud dan tujuan Muhammadiyah merupakan kata-kunci yang selalu
dicantumkan dalam Statuten Muhammadiyah pada periode Kyai Dahlan hingga tahun 1946 (yakni: Statuten
Muhammadiyah Tahun 1912, Tahun 1914, Tahun 1921, Tahun 1931, Tahun 1931, dan Tahun 1941). Sebutlah
Statuten tahun 1914: Maksud Persyarikatan ini yaitu:
1. Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran Igama di Hindia Nederland,
2. dan Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama Islam kepada
lid-lidnya.
Dalam pandangan Djarnawi Hadikusuma, kata-kata yang sederhana tersebut mengandung arti yang sangat
dalam dan luas. Yaitu, ketika umat Islam sedang dalam kelemahan dan kemunduran akibat tidak mengerti
kepada ajaran Islam yang sesungguhnya, maka Muhammadiyah mengungkap dan mengetengahkan ajaran Islam
yang murni itu serta menganjurkan kepada umat Islam pada umumnya untuk mempelajarinya, dan kepada para
ulama
untuk
mengajarkannya,
dalam
suasana
yang
maju
dan
menggembirakan.
Pada AD Tahun 1946 itulah pencantuman tanggal Hijriyah (8 Dzulhijjah 1330) mulai diperkenalkan.
Perubahan penting juga terdapat pada AD Muhammadiyah tahun 1959, yakni dengan untuk pertama kalinya
Muhammadiyah mencantumkan Asas Islam dalam pasal 2 Bab II., dengan kalimat, Persyarikatan berasaskan
Islam. Jika didaftar, maka hingga tahun 2005 setelah Muktamar ke-45 di Malang, telah tersusun 15 kali

Statuten/Anggaran Dasar Muhammadiyah, yakni berturut-turut tahun 1912, 1914, 1921, 1934, 1941, 1943,
1946, 1950 (dua kali pengesahan), 1959, 1966, 1968, 1985, 2000, dan 2005. Asas Islam pernah dihilangkan dan
formulasi tujuan Muhammadiyah juga mengalami perubahan pada tahun 1985 karena paksaan dari Pemerintah
Orde Baru dengan keluarnya UU Keormasan tahun 1985. Asas Islam diganti dengan asas Pancasila, dan tujuan
Muhammadiyah berubah menjadi Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi
Agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu wataala.
Asas Islam dan tujuan dikembalikan lagi ke masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dalam AD
Muhammadiyah
hasil
Muktamar
ke-44
tahun
2000
di
Jakarta.
Kelahiran Muhammadiyah sebagaimana digambarkan itu melekat dengan sikap, pemikiran, dan
langkah Kyai Dahlan sebagai pendirinya, yang mampu memadukan paham Islam yang ingin kembali pada AlQuran dan Sunnah Nabi dengan orientasi tajdid yang membuka pintu ijtihad untuk kemajuan, sehingga memberi
karakter yang khas dari kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah di kemudian hari. Kyai Dahlan,
sebagaimana para pembaru Islam lainnya, tetapi dengan tipikal yang khas, memiliki cita-cita membebaskan
umat Islam dari keterbelakangan dan membangun kehidupan yang berkemajuan melalui tajdid (pembaruan)
yang meliputi aspek-aspek tauhid (aqidah), ibadah, muamalah, dan pemahaman terhadap ajaran Islam dan
kehidupan umat Islam, dengan mengembalikan kepada sumbernya yang aseli yakni Al-Quran dan Sunnah Nabi
yang Shakhih, dengan membuka ijtihad.
Mengenai langkah pembaruan Kyai Dahlan, yang merintis lahirnya Muhammadiyah di Kampung Kauman,
Adaby Darban (2000: 31) menyimpulkan hasil temuan penelitiannya sebagai berikut:Dalam bidang tauhid,
K.H A. Dahlan ingin membersihkan aqidah Islam dari segala macam syirik, dalam bidang ibadah,
membersihkan cara-cara ibadah dari bidah, dalam bidang mumalah, membersihkan kepercayaan dari khurafat,
serta dalam bidang pemahaman terhadap ajaran Islam, ia merombak taklid untuk kemudian memberikan
kebebasan
dalam
ber-ijtihad..
Adapun langkah pembaruan yang bersifat reformasi ialah dalam merintis pendidikan modern yang
memadukan pelajaran agama dan umum. Menurut Kuntowijoyo, gagasan pendidikan yang dipelopori Kyai
Dahlan, merupakan pembaruan karena mampu mengintegrasikan aspek iman dan kemajuan, sehingga
dihasilkan sosok generasi muslim terpelajar yang mampu hidup di zaman modern tanpa terpecah
kepribadiannya (Kuntowijoyo, 1985: 36). Lembaga pendidikan Islam modern bahkan menjadi ciri utama
kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah, yang membedakannya dari lembaga pondok pesantren kala itu.
Pendidikan Islam modern itulah yang di belakang hari diadopsi dan menjadi lembaga pendidikan umat Islam
secara umum.
Langkah ini pada masa lalu merupakan gerak pembaruan yang sukses, yang mampu melahirkan generasi
terpelajar Muslim, yang jika diukur dengan keberhasilan umat Islam saat ini tentu saja akan lain, karena
konteksnya
berbeda.
Pembaruan Islam yang cukup orisinal dari Kyai Dahlan dapat dirujuk pada pemahaman dan
pengamalan Surat Al-Maun. Gagasan dan pelajaran tentang Surat Al-Maun, merupakan contoh lain yang paling
monumental dari pembaruan yang berorientasi pada amal sosial-kesejahteraan, yang kemudian melahirkan
lembaga Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKU). Langkah momumental ini dalam wacana Islam kontemporer
disebut dengan teologi transformatif, karena Islam tidak sekadar menjadi seperangkat ajaran ritual-ibadah dan
hablu min Allah (hubungan dengan Allah) semata, tetapi justru peduli dan terlibat dalam memecahkan
masalah-masalah konkret yang dihadapi manusia. Inilah teologi amal yang tipikal (khas) dari Kyai Dahlan
dan awal kehadiran Muhammadiyah, sebagai bentuk dari gagasan dan amal pembaruan lainnya di negeri ini.
Kyai Dahlan juga peduli dalam memblok umat Islam agar tidak menjadi korban misi Zending Kristen,
tetapi dengan cara yang cerdas dan elegan. Kyai mengajak diskusi dan debat secara langsung dan terbuka
dengan sejumlah pendeta di sekitar Yogyakarta. Dengan pemahaman adanya kemiripan selain perbedaan antara
Al-Quran sebagai Kutab Suci umat Islam dengan kitab-kitab suci sebelumnya, Kyai Dahlan menganjurkan atau
mendorong umat Islam untuk mengkaji semua agama secara rasional untuk menemukan kebenaran yang
inheren dalam ajaran-ajarannya, sehingga Kyai pendiri Muhammadiyah ini misalnya beranggapan
bahwadiskusi-diskusi tentang Kristen boleh dilakukan di masjid (Jainuri, 2002: 78) .
Kepeloporan pembaruan Kyai Dahlan yang menjadi tonggak berdirinya Muhammadiyah juga
ditunjukkan dengan merintis gerakan perempuan Aisyiyah tahun 1917, yang ide dasarnya dari pandangan Kyai
agar perempuan muslim tidak hanya berada di dalam rumah, tetapi harus giat di masyarakat dan secara khusus
menanamkan ajaran Islam serta memajukan kehidupan kaum perempuan. Langkah pembaruan ini yang
membedakan Kyai Dahlan dari pembaru Islam lain, yang tidak dilakukan oleh Afghani, Abduh, Ahmad Khan,
dan lain-lain (mukti Ali, 2000: 349-353). Perintisan ini menunjukkan sikap dan visi Islam yang luas dari Kyai
Dahlan mengenai posisi dan peran perempuan, yang lahir dari pemahamannya yang cerdas dan bersemangat
tajdid, padahal Kyai dari Kauman ini tidak bersentuhan dengan ide atau gerakan feminisme seperti
berkembang sekarang ini. Artinya, betapa majunya pemikiran Kyai Dahlan yang kemudian melahirkan
Muhammadiyah
sebagai
gerakan
Islam
murni
yang
berkemajuan.
Kyai Dahlan dengan Muhammadiyah yang didirikannya, menurut Djarnawi Hadikusuma (t.t: 69) telah

menampilkan Islam sebagai sistem kehidupan mansia dalam segala seginya. Artinya, secara Muhammadiyah
bukan hanya memandang ajaran Islam sebagai aqidah dan ibadah semata, tetapi merupakan suatu keseluruhan
yang menyangut akhlak dan muamalat dunyawiyah. Selain itu, aspek aqidah dan ibadah pun harus
teraktualisasi dalam akhlak dan muamalah, sehingga Islam benar-benar mewujud dalam kenyataan hidup para
pemeluknya. Karena itu, Muhammadiyah memulai gerakannya dengan meluruskan dan memperluas paham
Islam
untuk
diamalkan
dalam
sistem
kehidupan
yang
nyata.
Kyai Dahlan dalam mengajarkan Islam sungguh sangat mendalam, luas, kritis, dan cerdas. Menurut
Kyai Dahlan, orang Islam itu harus mencari kebenaran yang sejati, berpikir mana yang benar dan yang salah,
tidak taklid dan fanatik buta dalam kebenaran sendiri, menimbang-nimbang dan menggunakan akal pikirannya
tentang hakikat kehiduupan, dan mau berpikir teoritik dan sekaligus beripiki praktik (K.R. H. Hadjid, 2005).
Kyai Dahlan tidak ingin umat Islam taklid dalam beragama, juga tertinggal dalam kemajuan hidup. Karena itu
memahami Islam haruslah sampai ke akarnya, ke hal-hal yang sejati atau hakiki dengan mengerahkan seluruh
kekuatan
akal
piran
dan
ijtihad.
Dalam memahami Al-Quran, dengan kasus mengajarkan Surat Al-Maun, Kyai Dahlan mendidik untuk
mempelajari ayat Al-Quran satu persatu ayat, dua atau tiga ayat, kemudian dibaca dan simak dengan tartil serta
tadabbur (dipikirkan): bagaimanakah artinya? bagaimanakah tafsir keterangannya? bagaimana maksudnya?
apakah ini larangan dan apakah kamu sudah meninggalkan larangan ini? apakah ini perintah yang wajib
dikerjakan? sudahkah kita menjalankannya? (Ibid: 65). Menurut penuturan Mukti Ali, bahwa model
pemahaman yang demikian dikembangkan pula belakangan oleh KH.Mas Mansur, tokoh Muhammadiyah yang
dikenal luas dan mendalam ilmu agamanya, lulusan Al-Azhar Cairo, cerdas pemikirannya sekaligus luas
pandangannya
dalam
berbagai
masalah
kehidupan.
Kelahiran Muhammadiyah dengan gagasan-gagasan cerdas dan pembaruan dari pendirinya, Kyai Haji
Ahmad Dahlan, didorong oleh dan atas pergumulannya dalam menghadapi kenyataan hidup umat Islam dan
masyarakat Indonesia kala itu, yang juga menjadi tantangan untuk dihadapi dan dipecahkan. Adapun faktorfaktor yang menjadi pendorong lahirnya Muhammadiyah ialah antara lain:
1. Umat Islam tidak memegang teguh tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi, sehingga menyebabkan
merajalelanya syirik, bidah, dan khurafat, yang mengakibatkan umat Islam tidak merupakan golongan
yang terhormat dalam masyarakat, demikian pula agama Islam tidak memancarkan sinar kemurniannya
lagi;
2. Ketiadaan persatuan dan kesatuan di antara umat Islam, akibat dari tidak tegaknya ukhuwah Islamiyah
serta ketiadaan suatu organisasi yang kuat;
3. Kegagalan dari sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam memprodusir kader-kader Islam,
karena tidak lagi dapat memenuhi tuntutan zaman;
4. Umat Islam kebanyakan hidup dalam alam fanatisme yang sempit, bertaklid buta serta berpikir secara
dogmatis, berada dalam konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme;
5. dan Karena keinsyafan akan bahaya yang mengancam kehidupan dan pengaruh agama Islam, serta
berhubung dengan kegiatan misi dan zending Kristen di Indonesia yang semakin menanamkan
pengaruhnya di kalangan rakyat.
6. (Junus Salam, 1968: 33).
Karena itu, jika disimpulkan, bahwa berdirinya Muhammadiyah adalah karena alasan-alasan dan
tujuan-tujuan sebagai berikut: (1) Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan
Islam; (2) Reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern; (3) Reformulasi ajaran dan
pendidikan Islam; dan (4) Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luar (H.A. Mukti Ali, dalam
Sujarwanto
&
Haedar
Nashir,
1990:
332).
Kendati menurut sementara pihak Kyai Dahlan tidak melahirkan gagasan-gagasan pembaruan yang
tertulis lengkap dan tajdid Muhammadiyah bersifat ad-hoc, namun penilaian yang terlampau akademik
tersebut tidak harus mengabaikan gagasan-gagasan cerdas dan kepeloporan Kyai Dahlan dengan
Muhammadiyah yang didirikannya, yang untuk ukuran kala itu dalam konteks amannya sungguh merupakan
suatu pembaruan yang momunemntal. Ukuran saat ini tentu tidak dapat dijadikan standar dengan gerak
kepeloporan masa lalu dan hal yang mahal dalam gerakan pembaruan justru pada inisiatif kepeloporannya.
Kyai Dahlan dengn Muhammadiyah yang didirikannya terpanggil untuk mengubah keadaan dengan
melakukan gerakan pembaruan. Untuk memberikan gambaran lebih lengkap mengenai latarbelakang dan
dampak dari kelahiran gerakan Muhammadiyah di Indonesia, berikut pandangan James Peacock (1986: 26),
seorang antropolog dari Amerika Serikat yang merintis penelitian mengenai Muhammadiyah tahun 1970-an,
bahwa: Dalam setengah abad sejak berkembangnya pembaharuan di Asia Tenggara, pergerakan itu tumbuh
dengan cara yang berbeda di bermacam macam daerah. Hanya di Indonesia saja gerakan pembaharuan
Muslimin itu menjadi kekuatan yang besar dan teratur. Pada permulaan abad ke-20 terdapat sejumlah
pergerakan kecil kecil, pembaharuan di Indonesia bergabung menjadi beberapa gerakan kedaerahan dan sebuah
pergerakan nasional yang tangguh, Muhammadiyah. Dengan beratus-ratus cabang di seluruh kepulauan dan
berjuta-juta anggota yang tersebar di seluruh negeri, Muhammadiyah memang merupakan pergerakan Islam

yang terkuat yang pernah ada di Asia Tenggara. Sebagai pergerakan yang memajukan ajaran Islam yang murni,
Muhammadiyah juga telah memberikan sumbangan yang besar di bidang kemasyarakatan dan pendidikan.
Klinik-klinik perawatan kesehatan, rumah-rumah piatu, panti asuhan, di samping beberapa ribu sekolah
menjadikan Muhammadiyah sebagai lembaga non-Kristen dalam bidang kemasyarakatan, pendidikan dan
keagamaan swasta yang utama di Indonesia. Aisyiah, organisasi wanitanya, mungkin merupakan pergerakan
wanita Islam yang terbesar di dunia. Pendek kata Muhammadiyah merupakan suatu organisasi yang utama dan
terkuat di negara terbesar kelima di dunia.
Kelahiran Muhammadiyah secara teologis memang melekat dan memiliki inspirasi pada Islam yang
bersifat tajdid, namun secara sosiologis sekaligus memiliki konteks dengan keadaan hidup umat Islam dan
masyarakat Indonesia yang berada dalam keterbelakangan. Kyai Dahlan melalui Muhammadiyah sungguh telah
memelopori kehadiran Islam yang otentik (murni) dan berorientasi pada kemajuan dalam pembaruannya, yang
mengarahkan hidup umat Islam untuk beragama secara benar dan melahirkan rahmat bagi kehidupan. Islam
tidak hanya ditampilkan secara otentik dengan jalan kembali kepada sumber ajaran yang aseli yakni Al-Quran
dan Sunnah Nabi yang sahih, tetapi juga menjadi kekuatan untuk mengubah kehidupan manusia dari serba
ketertinggalan
menuju
pada
dunia
kemajuan.
Fenomena baru yang juga tampak menonjol dari kehadiran Muhammadiyah ialah, bahwa gerakan Islam yang
murni dan berkemajuan itu dihadirkan bukan lewat jalur perorangan, tetapi melalui sebuah sistem organisasi.
Menghadirkan gerakan Islam melalui organisasi merupakan terobosan waktu itu, ketika umat Islam masih
dibingkai oleh kultur tradisional yang lebih mengandalkan kelompok-kelompok lokal seperti lembaga pesantren
dengan peran kyai yang sangat dominan selaku pemimpin informal. Organisasi jelas merupakan fenomena
modern abad ke-20, yang secara cerdas dan adaptif telah diambil oleh Kyai Dahlan sebagai washilah (alat,
instrumen)
untuk
mewujudkan
cita-cita
Islam.
Mem-format gerakan Islam melalui organisasi dalam konteks kelahiran Muhammadiyah, juga bukan sematamata teknis tetapi juga didasarkan pada rujukan keagmaan yang selama ini melekat dalam alam pikiran para
ulama mengenai qaidah m l yatimm al-wjib ill bihi fa huw wjib, bahwa jika suatu urusan tidak akan
sempurna manakala tanpa alat, maka alat itu menjadi wajib adanya. Lebih mendasar lagi, kelahiran
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam melalui sistem organisasi, juga memperoleh rujukan teologis
sebagaimana tercermin dalam pemaknaan/penafsiran Surat Ali Imran ayat ke-104, yang memerintahkan adanya
sekelompok orang untuk mengajak kepada Islam, menyuruh pada yang maruf, dan mencegah dari yang
munkar. Ayat Al-Quran tersebut di kemudian hari bahkan dikenal sebagai ayat Muhammadiyah.
Muhammadiyah dengan inspirasi Al-Quran Surat Ali Imran 104 tersebut ingin menghadirkan Islam
bukan sekadar sebagai ajaran transendensi yang mengajak pada kesadaran iman dalam bingkai tauhid semata.
Bukan sekadar Islam yang murni, tetapi tidak hirau terhadap kehidup. Apalagi Islam yang murni itu sekadar
dipahami secara parsial. Namun, lebih jauh lagi Islam ditampilkan sebagai kekuatan dinamis untuk transformasi
sosial dalam dunia nyata kemanusiaan melalui gerakan humanisasi (mengajak pada serba kebaikan) dan
emanisipasi atau liberasi (pembebasan dari segala kemunkaran), sehingga Islam diaktualisasikan sebagai
agama Langit yang Membumi, yang menandai terbitnya fajar baru Reformisme atau Modernisme Islam di
Indonesia.
Sejarah Berdirinya Muhammadiyah (-1-)
Pendidikan barat yang diperkenalkan kepada penduduk pribumi sejak paruh kedua abad XIX sebagai
upaya penguasa kolonial untuk mendapatkan tenaga kerja, misalnya, sampai akhir abad XIX pada satu sisi
mampu menimbulkan restratifikasi masyarakat melalui mobilitas sosial kelompok intelektual, priyayi, dan
profesional. Pada sisi lain, hal ini menimbulkan sikap antipati terhadap pendidikan Barat itu sendiri, yang
diidentifikasi sebagai produk kolonial sekaligus produk orang kafir.
Sememara itu, adanya pengenalan agama Kristen dan perluasan kristenisasi yang terjadi bersamaan
dengan perluasan kekuasaan kolonial ke dalam masyarakat pribumi yang telah terlebih dahulu terpengaruh oleh
agama Islam, mengaburkan identitas politik yang melekat pada penguasa kolonial dan identitas sosial
-keagamaan pada usaha kristenisasi di mata masyarakat umum.
Bagi sebagian besar penduduk pribumi, tekanan politis, ekonomis, sosial, maupun kultural yang
dialami oleh masyarakat secara umum sebagai sesuatu yang identik dengan kemunculan orang Islam dan
kekuasaan kolonial yang menjadi penyebab kondisi tersebut tidak dapat dipisahkan dari agama Kristen itu
sendiri. Hal ini semakin diperburuk oleh struktur yuridis formal masyarakat kolonial, yang secara tegas
membedakan kelompok masyarakat berdasarkan suku bangsa. Dalam stratifikasi masyarakat kolonial; penduduk
pribumi menempati posisi yang paling rendah, sedangkan lapisan atas diduduki orang Eropa, kemudian orang
Timur Asing, seperti: orang Cina, Jepang, Arab, dan India.
Tidak mengherankan jika kebijakan pemerintah kolonial ini tetap dianggap sebagai upaya untuk menempatkan
orang Islam pada posisi sosial yang paling rendah walaupun dalam lapisan sosial yang lebih tinggi terdapat juga

orang Arab yang beragama Islam. Di samping itu, akhir abad XIX juga ditandai oleh terjadinya proses pengurbanan yang cepat sebagai akibat dari perkemhangan ekonomi, politik, dan sosial.
Kota-kota baru yang memiliki ciri masing-masing sesuai dengan faktor pendukungnya muncul di
banyak wilayah. Perluasan komunikasi dan ransportasi mempermudah mobilitas penduduk. Sementara itu
pembukaan suatu wilayah sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, industri, dan perdagangan telah menarik
banyak orang untuk datang ke tempat tersebut. Sementara itu pula, tekanan ekonomi, politik, maupun sosial
yang terjadi di daerah pedesaan telah mendorong mereka datang ke kota-kota tersebut.
Memasuki awal abad XX sebagian besar kondisi yang telah terbentuk sepanjang abad XIX terus
berlangsung. Dalam konteks ekonomi, perluasan aktivitas ekonomi sebagai dampak perluasan penanaman
modal swasta asing maupun perluasan pertanian rakyat belum mampu menimbulkan perubahan ekonomi secara
struktural sehingga kondisi hidup sebagian besar penduduk masih tetap rendah. Di beberapa tempat penduduk
pribumi memang berhasil mengembangkan pertanian tanaman ekspor dlan mendapat keuntungan yang besar,
akan tetapi ekonomi mereka masih sangat labil terhadap perubahan pasar.
Sementara itu perluasan aktivitas ekonomi menimbulkan persaingan yang semakin besar sehingga para
pengusaha industri pribumi harus bersaing dengan produk impor yang lebih berkualitas dan lebih murah di pasar
lokal, sedangkan para peclagang pribumi juga harus bersaing ketat dengan pedagang asing yang terus
mendominasi perdagangan lokal, regional, maupun internasional. Dalam perkembangan selanjutnya persaingan
ini di beberapa tempat tidak lagi hanya terbatas pada masalah ekonomi, melainkan juga telah berkembang
menjadi persoalan sosial, kultural, ataupun politik. Walaupun dalam bidang politik terjadi pergeseran dari
kekuasan administratif yang tersentralisasi ke arah desentralisasi pada tingka t lokal, kontrol yang ketat pejabat
Belanda terhadap pejabat pribumi masih tetap berlangsung.
Sementara itu, kebijakan Politik Balas Budi atau Politik Etis yang difokuskan pada bidang edukasi,
irigasi, dan kolonisasi yang dilaksanakan sejak dekade pertama abad XX, telah memberikan kesempatan yang
lebih luas kepada penduduk pribumi mengikuti pendidikan Barat dibandingkan dengan masa sebelumnya
melalui pembentukan beberapa lembaga pendidikan khusus bagi penduduk pribumi sampai tingkat desa. Akan
tetapi, kesempatan ini tetap saja masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan jumlah penduduk pribumi
secara keseluruhan.
Kesempatan itu masih tetap diprioritaskan bagi kelompok elit penduduk pribumi, atau kesempatan
yang ada hanya terbuka untuk pendidikan rendah, sedangkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan
menengah dan tinggi masih sangat terbatas. Seperti pada masa sebelumnya, kondisi seperti ini terbentuk selain
disebabkan oleh kebijakan pemerintah kolonial, juga dilatarbelakangi sikap antipati dari kelompok Islam, yang
menjadi pendukung utama masyarakat pribumi terhadap pendidikan Barat itu sendiri.
Secara umum mereka lebih suka mengirimkan anak-anak mereka ke pesantren, atau hanya sekedar ke
lembaga pendidikan informal lain yang mengajarkan pengetahuan dasar agama Islam. Akan tetapi, sebenarnya
ada dualisme cara memandang pendidikan Barat ini. Di samping dianggap sebagai perwujudan dari pengaruh
Barat atau Kristen terhadap lingkungan sosial dan budaya lokal maupun Islam, pendidikan Barat juga dilihat
secara objektif sebagai faktor penting untuk mendinamisasi masyarakat pribumi yang mayoritas beragama
Islam.
Pendidikan Barat yang telah diperkenalkan kepada penduduk pribumi secara terbatas ini ternyata telah
menciptakan kelompok intelektual dan profesional yang mampu melakukan perubahan-perubahan maupun
memunculkan ide-ide baru di dalam masyarakat maupun sikap terhadap kekuasaan kolonial. Perubahan dan
pencetusan ide-ide baru itu pada masa awal hanya terbatas pada bidang sosial, kultural, dan ekonomi, akan
tetapi kemudian mencakup juga permasalahan politik. Walaupun feodalisme dalam sikap maupun struktur yang
lebih makro di dalam masyarakat, khususnya di Jawa masih tetap berlangsung, pembentukan "organisasi
modern" merupakan salah satu realisasi yang penting dari upaya perubahan dengan ide-ide baru tersebut.
Pada tahun 1908 organisasi Budi Utomo didirikan oleh para mahasiswa sekolah kedokteran di Jakarta.
Walaupun dasar, tujuan, dan aktivitas Budi Utomo sebagai suatu organisasi masih terikat pada unsur-unsur
primordial dan terbatas, keberadaan Budi Utomo secara langsung maupun tidak berpengaruh terhadap bentuk
baru dari perjuangan kebangsaan melawan kondisi yang diciptakan oleh kolonialisme Belanda. Berbagai
organisasi baru kemudian didirikan, dan perjuangan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial yang dulu
terkosentrasi di kawasan pedesaan mulai beralih terpusat di daerah perkotaan.
Dunia Islam dan Masyarakat Muslim Indonesia Secara makro perkembangan dunia Islam pada akhir
abad XIX dan awal abad XX ditandai oleh usaha untuk melawan dominasi Barat setelah sebagian besar negara
yang penduduknya beragama Islam secara politik, sosial, ekonomi, maupun budaya telah kehilangan
kemerdekaan dan berada di bawah kekuasaan kolonialisme dan imprialisme Barat sejak beberapa abad
sebelumnya. Dalam masyarakat Muslim sendiri muncul usaha untuk mengatasi krisis internal dalam proses
sosialisasi ajaran Islam, akidah, maupun pemikiran pada sebagian besar masyarakat, baik yang disebabkan oleh
dominasi kolonialisme dan imperialisme Barat, maupun sebab-sebab lain yang ada dalam masyarakat Muslim
itu sendiri.

Dalam kehidupan beragama ini terjadi kemerosotan ruhul Ishmi, jika dilihat dari ajaran Islam yang
bersumber pada Quran dan Sunnah Rasulullah. Pengamalan ajaran Islam bercampur dengan bid'ah, khurafat,
dan syi'ah. Di samping itu, pemikiran umat Islam juga terbelenggu oleh otoritas mazhab dan taqlid kepada para
ulama sehingga ijtihad tidak dilakukan lagi. Dalam pengajaran agama Islam, secara umum Qur'an yang menjadi
sumber ajaran hanya
diajarkan pada tingkat bacaan, sedangkan terjamahan dan tafsir hanya boleh dipelajari oleh orang-orang tertentu
saja. Sementara itu, pertentangan yang bersumber pada masalah khilafiyah dan firu'iyah sering muncul dalam
masyarakat Muslim, akibatnya muncul berbagai firqah dan pertentangan yang bersifat laten.
Di tengah-tengah kemerosotan itu, sejak pertengahan abad XIX muncul ide-ide pemurnian ajaran dan
kesadaran politik di kalangan umat Islam melalui pemikiran dan aktivitas tokoh-tokoh seperti: Jamaludin AlAfgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan para pendukung Muhammad bin Abdul Wahab. Jamaludin AlAfgani banyak bergerak dalam bidang politik, yang diarahkan pada ide persaudaraan umat Islam sedunia dan
gerakan perjuangan pembebasan tanah air umat Islam dari kolonialisme Barat.
Sementara itu, Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha, berusaha memerangi kestatisan, syirik,
bid'ah, khurafat, taqlid, dan membuka pintu ijtihad di kalangan umat Islam. Restrukturisasi lembaga pendidikan
Islam dan mewujudkan ide-ide ke dalam berbagai penerbitan merupakan wujud usaha pemurnian dan
pembaharuan yang dilakukan oleh dua orang ulama dari Mesir ini. Rasyid Ridha, misalnya, menerbitkan
majalah Al-Manar di Mesir, yang kemudian disebarkan dan dikenal secara luas di seluruh dunia Islam.
Sementara itu, ide-ide pembaharuan yang dikembangkan oleh pendukung Muhammad bin Abdlul Wahab dalam
gerakan Al Muwahhidin telah mendapat dukungan politis dari penguasa Arab Saudi sehingga gerakan yang
dikenal oleh para orientalis sebagai Wahabiyah itu berkembang menjadi besar dan kuat.
Seperti yang terjadi di dalam dunia Islam secara umum, Islam di Indonesia pada abad XIX juga
mengalami krisis kemurnian ajaran, kestatisan pemikiran maupun aktivitas, dan pertentangan internal.
Perjalanan historis penyebaran agama Islam di Indonesia sejak masa awal melalui proses akulturasi dan
sinkretisme, pada satu sisi telah berhasil meningkatkan kuantitas umat Islam. Akan tetapi secara kualitas muncul
kristalisasi ajaran Islam yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni.
Sejarah Berdirinya Muhammadiyah (-2-)
Di Pulau Jawa, misalnya, persoalan kemurnian ajaran Islam ini sangat terasa karena unsur-unsur lokal
sangat berpengaruh dalam proses sosialisasi ajaran di dalam masyarakat seperti yang terlihat pada: sekaten,
kenduri, tahlilan, dan wayang. Kondisi seperti ini dapat dilihat pada laporan T.S. Raffles tentang Islam di Jawa
pada awal abad XIX, yang menyatakan bahwa orang Jawa yang berpengetahuan cukup tentang Islam dan
berprilaku sesuai dengan ajaran Islam hanya beberapa orang saja.
Selain itu, K.H. Ahmad Rifa'i, salah seorang ulama di Jawa yang sangat disegani oleh pemerintah
kolonial, pada pertengahan abad XIX menyatakan bahwa pengamalan agama Islam orang Jawa banyak
menyimpang dari aqidah Islalamiyah dan harus diluruskan. Interaksi reguler antara sekelompok masyarakat
Muslim Indonesia dengan dunia Islam memberi kesempatan kepada mereka untuk mempelajari dan memahami
lebih dalam ajaran Islam sehingga tidak mengherankan kemudian muncul ide-ide atau wawasan baru dalam
kehidupan beragama di dalam masyarakat Indonesia. Mereka mulai mempertanyakan kemurnian dan
implementasi ajaran Islam di dalam masyarakat. Oleh sebab itu, di samping unsur-unsur lama yang terus
bertahan seperti pemahaman dan pengamalan ajar-an Islam yang sinkretik dan sikap taqlid terhadap ulama, di
dalam masyarakat Muslim Indonesia pada akhir abad XIX dan awal abad XX juga berkembang kesadaran yang
sangat kuat untuk melakukan pembaharuan dalam banyak hal yang berhubungan dengan agama Islam yang
telah berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Hal ini tentu saja menimbulkan konflik antarkelompok, yang terpolarisasi dalam bentuk gerakan yang
dikenal sebagai "kaum tua" berhadapan dengan "kaum muda" atau antara kelompok "pembaharuan" berhadapan
dengan "antipembaharuan". Sementara itu, krisis yang terjadi di dalam Islam di Indonesia, selain disebabkan
oleh dinamika internal juga tidak dapat dipisahkan dengan perluasan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda.
Islam sejak awal muncul sebagai kekuatan di balik perlawanan terhadap kolonialisme, baik dalam pengertian
idiologis maupun peran langsung para ulama dan umat Islam secara keseluruhan. Hal ini dapat dilihat berbagai
perlawanan yang terjadi sepanjang abad XIX dan awal abad XX, seperti: Perang Diponegoro, Perang Bonjol,
Perang Aceh, dan protes-protes petani, yang semuanya diwarnai oleh unsur Islam yang sangat kental.
Akibatnya, pemerintah kolonial cenderung melihat Islam sebagai ancaman langsung dari eksistensi
kekuasaan kolonial ini. Setiap aktivitas yang berhubungan dengan Islam selalu dicurigai dan dianggap sebagai
langkah untuk melawan penguasa. Oleh sebab itu, berdasarkan konsep yang dikembangkan oleh C. Snouck
Hurgronje pada akhir abad XIX pemerintah kolonial secara tegas memisahkan Islam dari politik, akan tetapi
Islam sebagai ajaran agama dan kegiatan sosial dibiarkan berkembang walaupun tetap berada dalam
pengawasan yang ketat. Kecurigaan pemerintah kolonial yang berlebihan terhadap Islam ini membatasi
kreativitas umat, baik dalam pengertian ajaran, pemikiran, maupun penyesuaian diri dengan dinamika dan
perubahan yang terjadi dalam masyarakat secara umum.

Hal ini semakin diperburuk oleh munculnya sikap taqlid kepada para ulama tertentu pada sebagian
besar umat Islam di Indonesia pada waktu itu. Pemerintah kolonial juga berusaha mengeksploitasi perbedaan
yang ada dalam masyarakat yang berhubungan dengan Islam, seperti perbedaan sosio-antropologis antara
kelompok santri dan abangan yang menjadi konflik sosial berkepanjangan. Selain itu, aktivitas kristenisasi yang
dilakukan oleh missi Katholik maupun zending Protestan terhadap penduduk pribumi yang telah beragama
Islam terus berlangsung tanpa halangan dari penguasa kolonial. Lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai
menengah, panti asuhan, dan rumah sakit yang didirikan oleh missi dan zending sebagai pendukung utama
dalam proses kristenisasi, secara reguler mendapat bantuan dana yang besar dari pemerintah.
Ahmad Dahlan dan Pembentukan Muhammmadiyah di tengah-tengah kondisi tidak menentu seperti
yang digambarkan di atas, Ahmad Dahlan muncul sebagai salah seorang yang perduli terhadap kondisi yang
sedang dihadapi masyarakat pribumi secara umum maupun masyarakat Muslim secara khusus. Ahmad Dahlan
lahir di Kampung Kauman Yogyakarta pacla tahun 1868 dengan nama Muhammad Darwis. Ayahnya K.H. Abu
Bakar adalah imam dan khatib Masjid Besar Kauman Yogyakarta, sementara ibunya Siti Aminah adalah anak
K.H. Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta. Menurut salah satu silsilah, keluarga Muhammad Darwis dapat
dihubungkan dengan Maulana Malik Ibrahim, salah seorang wali penyebar agama Islam yang dikenal di Pulau
Jawa.
Sebagai anak keempat dari keluarga K.H. Abubakar, Muhammad Darwis mempunyai 5 orang saudara
perempuan dan I orang saudara laki-laki. Seperti layaknya anak-anak di Kampung Kauman pada waktu itu yang
diarahkan pada pendidikan informal agama Islam, sejak kecil Muhammad Darwis sudah belajar membaca
Quran di kampung sendiri atau di tempat lain. Ia belajar membaca Quran dan pengetahuan agama Islam pertama
kali dari ayahnya sendiri dan pada usia delapan tahun ia sudah lancar dan tamat membaca Quran. Menurut
cerita, sejak kecil Muhammad Darwis sudah menunjukkan beberapa kelebihan dalam penguasaan ilmu, sikap,
dan pergaulan sehari-hari dibandingkan teman-temannya yang sebaya.
Ia juga mempunyai keahlian membuat barang-barang kerajinan dan mainan. Seperti anak laki-laki
yang lain, Muhammad Darwis juga sangat senang bermain layang-layang dan gasing. Seiring dengan
perkembangan usia yang semakin bertambah, Muhammad Dalwis yang sudah tumbuh remaja mulai belajar ilmu
agama Islam tingkat lanjut, tidak hanya sekedar membaca Quran. Ia belajar fiqh dari K.H. Muhammad Saleh
dan belajar nahwu dari K.H. Muhsin. Selain belajar dari dua guru di atas yang juga adalah kakak iparnya,
Muhammad Darwis belajar ilmu agama lslam lebih lanjut dari K.H. Abdul Hamid di Lempuyangan dan KH.
Muhammad Nur.
Muhammad Darwis yang sudah dewasa terus belajar ilmu agama Islam maupun ilmu yang lain dari
guru-guru yang lain, termasuk para ulama di Arab Saudi ketika ia sedang menunaikan ibadah haji. Ia pernah
belajar ilmu hadist kepada Kyai Mahfudh Termas dan Syekh Khayat, belajar ilmu qiraah kepada Syekh Amien
dan Sayid Bakri Syatha, belajar ilmu falaq pada K.H. Dahlan Semarang, dan ia juga pernah belajar pada Syekh
Hasan tentang mengatasi racun binatang. Menurut beberapa catatan, kemampuan intelektual Muhammad
Darwis ini semakin berkembang cepat dia menunaikan ibadah haji pertama pada tahun 1890, beberapa bulan
setelah perkawinannya dengan Siti Walidah pada tahun 1889.
Proses sosialisasi dengan berbagai ulama yang berasal dari Indonesia seperti: Kyai Mahfudh dari
Termas, Syekh Akhmad Khatib dan Syekh Jamil Jambek dari Minangkabau, Kyai Najrowi dari Banyumas, dan
Kyai Nawawi dari Banten, maupun para ulama dari Arab, serta pemikiran baru yang ia pelajari selama
bermukim di Mekah kurang lebih delapan bulan, telah membuka cakrawala baru dalam diri Muhammad Darwis,
yang telah berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Perkembangan ini dapat dilihat dari semakin, luas dan
bervariasinya jenis kitab yang dibaca Ahmad Dahlan. Sebelum menunaikan ibadah haji, Ahmad Dahlan lebih
banyak mempelajari kitab-kitab, dari Ahlussunnah waljamaah dalam ilmu aqaid, dari madzab Syafii dalam ilmu
Fiqh dari Imam Ghozali dan ilmu tasawuf.
Sesudah pulang dari menunaikan ibadah haji, Ahmad Dahlan mulai membaca kitah-kitab lain yang
belum pernah dilakukan sebelumnya. Semangat membaca Ahmad Dahlan yang besar ini dapat dilihat pada
kejadian ketika ia membeli buku menggunakan sebagian dari modal sebesar 1500 setelah ia pulang dari
menunaikan ibadah haji yang pertama, yang sebenarnya diberikan oleh keluarganya untuk berdagang.
Sementara itu, keinginan untuk memperdalam ilmu agama Islam terus muncul pada diri Ahmad Dahlan. Dalam
upaya untuk mewujudkan cita-citanya itu, ia menunaikan ibadah haji kedua pada tahun 1903, dan bermukim di
Mekah selama hampir dua tahun. Kesempatan ini digunakan Ahmad Dahlan untuk belajar ilmu agama Islam
baik dari para guru ketika ia menunaikan ibadah haji pertama maupun dari guru-guru yang lain.
Ia belajar fiqh pada Syekh Saleh Bafadal, Syekh Sa'id Yamani, dan Syekh Sa' id Babusyel. Ahmad
Dahlan belajar ilmu hadist pada Mufti Syafi'i, sementara itu ilmu falaq dipelajari pada Kyai Asy'ari Bawean.
Dalam bidang ilmu qiruat, Ahmad Dahlan belajar dari Syekh Ali Misri Makkah. Selain itu, selama bermukim di
Mekah ini Ahmad Dahlan juga secara reguler mengadakan hubungan dan membicarakan berbagai masalah
sosial-keagamaan, termasuk masalah yang terjadi di Indonesia dengan para Ulama Indonesia yang telah lama
bermukim di Arab Saudi, seperti: Syekh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas
Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang.

Berdasarkan koleksi buku-buku yang ditinggalkan oleh Ahmad Dahlan, sebagian besar adalah buku
yang dipengaruhi ide-ide pembaharuan. Di antara buku-buku yang sering dibaca Ahmad Dahlan antara lain:
Kosalatul Tauhid karangan Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma karangan Muhammad Abduh, Kanz AL-Ulum,
Dairah Al Ma'arif karangan Farid Wajdi, Fi Al -Bid'ah karangan Ibn Taimiyah, Al Tawassul wa-al-Wasilah
karangan Ibn Taimiyah, Al-Islam wa-l-Nashraniyah karangan Muhammad Abduh, Izhar al-Haq karangan
Rahmah al Hindi, Tafsshil al-Nasyatain Tashil al Sa'adatain, Matan al-Hikmah karangan Atha Allah, dan AlQashaid al-Aththasiyvah karangan Abd al Aththas.
Pengalaman Ahmad Dahlan mengajar agama Islam di dalam masyarakat dimulai setelah ia pulang dari
menunaikan ibadah haji pertama. Ahmad Dahlan mulai dengan membantu ayahnya mengajar para murid yang
masih kanak-kanak dan remaja. Dia mengajar pada siang hari sesudah dzuhur, dan malam hari, antara maghrib
sampai isya. Sementara itu, sesudah ashar Ahmad Dahlan mengikuti ayahnya yang mengajar agama Islam
kepada orang-orang tua. Apabila ayahnya berhalangan, Ahmad Dahlan menggantikan ayahnya memberikan
pelajaran sehingga akhirnya ia mendapat sebutan kyai, sebagai pengakuan terhadap kemampuan dan
pengalamannya yang luas dalam memberikan pelajaran agama Islam.
Sebagai Khatib Amin, Ahmad Dahlan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan agama Islam yang dimiliki,
pengalaman berinteraksi dengan berbagai kelompok dalam dunia Islam, serta pengalamannya memberi
pelajaran agama Islam selama ini sehingga sering muncul ide dan aktivitas baru. Berbeda dengan para khatib
lain yang cenderung menghabiskan waktu begitu saja ketika sedang bertugas piket di serambi masjid besar
Kauman, Ahmad Dahlan secara rutin memberikan pelajaran agama Islam kepada orang-orang yang datang ke
masjid besar ketika ia sedang melakukan piket.
Sejarah Berdirinya Muhammadiyah (-3-)
Ahmad Dahlan juga mulai menyampaikan ide-ide baru yang lebih mendasar, seperti persoalan arah
kiblat salat yang sebenarnya. Akan tetapi, ide baru ini tidak begitu saja bisa dilaksanakan seperti yang diajarkan
di serambi masjid besar karena mempersoalkan arah kiblat salat merupakan suatu hal yang sangat peka pada
waktu itu. Ahmad Dahlan memerlukan waktu hampir satu tahun untuk menyampaikan masalah ini. Itu pun
hanya terbatas pada para ulama yang sudah dikenal dan dianggap sepaham di sekitar Kampung Kauman. Pada
satu malam pada tahun 1898, Ahmad Dahlan mengundang 17 orang ulama yang ada di sekitar kota Yogyakarta
untuk melakukan musyawarah tentang arah kiblat di surau milik keluarganya di Kauman.
Diskusi antara para ulama yang telah mempersiapkan diri dengan berbagai kitab acuan ini berlangsung
sampai waktu subuh, tanpa menghasilkan kesepakatan. Akan tetapi, dua orang yang secara diam-diam
mendengar pembicaraan itu beberapa hari kemudian membuat tiga garis putih setebal 5 cm di depan
pengimaman masjid besar Kauman untuk mengubah arah kiblat sehingga mengejutkan para jemaah salat dzuhur
waktu itu. Akibatnya, Kanjeng Kyai. Penghulu H.M. Kholil Kamaludiningrat memerintahkan untuk menghapus
tanda tersebut dan mencari orang yang melakukan itu.
Sebagai realisasi dari ide pembenahan arah kiblat tersebut, Ahmad Dahlan yang merenovasi surau
milik keluarganya pada tahun 1899 mengarahkan surau tersebut ke arah kiblat yang sebenarnya, yang tentu saja
secara arsitektural berbeda dengan arah masjid besar Kauman. Setelah dipergunakan beberapa hari untuk
kegiatan Ramadhan, Ahmad Dahlan mendapat perintah dari Kanjeng Penghulu untuk membongkar surau
tersebut, yang tentu saja ditolak. Akhirnya, surau tersebut dibongkar secara paksa pada malam hari itu juga.
Walaupun diliputi perasaan kecewa, Ahmad Dahlan membangun kembali surau tersebut sesuai dengan arah
masjid besar Kauman setelah berhasil dibujuk oleh saudaranya, sementara arah kiblat yang sebenarnya ditandai
dengan membuat garis petunjuk di bagian dalam masjid.
Setelah pulang dari menunaikan ibadah haji kedua, aktivitas sosial-keagamaan Ahmad Dahlan di dalam
masyarakat di samping sebagai Khatib Amin semakin berkembang. Ia membangun pondok untuk menampung
para murid yang ingin belajar ilmu agama Islam secara umum maupun ilmu lain seperti: ilmu falaq, tauhid, dan
tafsir. Para murid itu tidak hanya berasal dari wilayah Residensi Yogyakarta, melainkan juga dari daerah lain di
Jawa Tengah. Walaupun begitu, pengajaran agama Islam melalui pengajian kelompok bagi anak- anak, remaja,
dan orang tua yang telah lama berlangsung masih terus dilaksanakan. Di samping itu, di rumahnya Ahmad
Dahlan mengadakan pengajian rutin satu minggu atau satu bulan sekali bagi kelompok-kelompok tertentu,
seperti pengajian untuk para guru dan pamong praja yang berlangsung setiap malam Jum`at.
Pembentukan ide-ide dan aktivitas baru pada diri Ahmad Dahlan tidak dapat dipisahkan dari proses
sosialisasi dirinya sebagai pedagang dan ulama serta dengan alur pergerakan sosial- keagamaan, kultural, dan
kebangsaan yang sedang berlangsung di Indonesia pada awal abad XX. Sebagai seorang pedagang sekaligus
ulama, Ahmad Dahlan sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Residensi Yogyakarta maupun daerah
lain seperti: Periangan, Jakarta, Jombang, Banyuwangi, Pasuruan, Surabaya, Gresik, Rembang, Semarang,
Kudus, Pekalongan, Purwokerto, dan Surakarta. Di tempat-tempat itu ia bertemu dengan para ulama, pemimpin
lokal, maupun kaum cerdik cendekia lain, yang sama-sama menjadi pedagang atau bukan.

Dalam pertemuan-pertemuan itu mereka berbicara tentang masalah agama Islam maupun masalah umum yang
terjadi dalam masyarakat, terutama yang secara langsung berhubungan dengan kemunculan, kestatisan, atau
keterbelakangan penduduk Muslim pribumi di tengah- tengah masyarakat kolonial. Dalam konteks pergerakan
sosial keagamaan, budaya, dan kebangsaan, hal ini dapat diungkapkan dengan adanya interaksi personal
maupun formal antara Ahmad Dahlan dengan organisasi seperti : Budi Utomo, Sarikat Islam, dan Jamiat Khair,
maupun hubungan formal antara organisasi yang ia cirikan kemudian, terutama dengan Budi Utomo.
Secara personal Ahmad Dahlan mengenal organisasi Budi Utomo melalui pembicaraan atau diskusi
dengan Joyosumarto, seorang anggota Budi Utomo di Yogyakarta yang mempunyai hubungan dekat dengan dr.
Wahidin Sudirohusodo, salah seorang pimpinan Budi Utomo yang tinggal di Ketandan Yogyakarta. Melalui
Joyosumarto ini kemudian Ahmad Dahlan berkenalan dengan dr. Wahidin Sudirohusodo secara pribadi dan
sering menghadiri rapat anggota maupun pengurus yang diselenggarakan oleh Budi Utomo di Yogyakarta
walaupun secara resmi ia belum menjadi anggota organisasi ini. Setelah banyak mendengar tentang aktivitas dan
tujuan organisasi Budi Utomo melalui pembicaraan pribadi dan kehadirannya dalam pertemuan -pertemuan
resmi, Ahmad Dahlan kemudian secara resmi menjadi anggota Budi Utomo pada tahun 1909.
Dalam perkembangan selanjutnya, Ahmad Dahlan tidak hanya menjadi anggota biasa, melainkan ia
menjadi pengurus kring Kauman dan salah seorang komisaris dalam kepengurusan Budi Utomo Cabang
Yogyakarta. Sementara itu, pada sekitar tahun 1910 Ahmad Dahlan juga menjadi anggota Jamiat Khair,
organisasi Islam yang banyak bergerak dalam bidang pendidikan dan mayoritas anggotanya adalah orang-orang
Arab. Keterlibatan secara langsung di dalam Budi Utomo memberi pengetahuan yang banyak kepada Ahmad
Dahlan tentang cara berorganisasi dan mengatur organisasi secara modern.
Sementara itu, walaupun Ahmad Dahlan tidak terlibat secara aktif di dalam Jamiat Khair, selain belajar
berorganisasi secara modern di kalangan orang Islam, ia juga mendapat pengetahuan tentang kegiatan sosial,
terutama yang berhubungan dengan pendirian dan pengelolaan lembaga pendidikan model sekolah. Semua ini
tentu saja merupakan suatu hal yang baru dan sangat berpengaruh bagi langkah-langkah yang dilakukan Ahmad
Dahlan pada masa selanjutnya, seperti pendirian sekolah model Barat maupun pembentukan satu
organisasi.
Sebagai pengurus Budi Utomo, aktivitas Ahmad Dahlan tidak hanya terbatas pada hal-hal yang
berhubungan langsung dengan masalah organisasi. Ia sering memanfaatkan forum pertemuan pengurus maupun
anggota Budi Utomo sebagai tempat untuk menyampaikan informasi tentang agama Islam, bidang yang sangat
ia kuasai. Kegiatan ini biasanya dilakukan setelah acara resmi selesai. Kepiawaian Ahmad Dahlan dalam
menyampaikan informasi tentang agama Islam dalam berbagai pertemuan informal itu telah menarik perhatian
para pengurus maupun anggota Budi Utomo yang sebagian besar terdiri dari pegawai pemerintah dan guru
sehingga sering terjadi diskusi yang menarik di antara mereka tentang agama Islam.
Di antara pengurus dan anggota Budi Utomo yang tertarik pada masalah agama Islam adalah R.
Budiharjo dan R. Sosrosugondo, yang pada saat itu menjabat sebagai guru di Kweekschool Jetis. Melalui jalur
dua orang guru ini Ahmad Dahlan mendapat kesempatan mengajar agama Islam kepada para siswa
Kweekschool Jetis, setelah kepala sekolah setuju dan memberikan izin. Pelajaran agama Islam di sekolah guru
milik pemerintah itu diberikan di luar jam pelajaran resmi, yang biasanya dilakukan pada setiap hari Sabtu sore.
Dalarn mengajarkan pengetahuan agama Islam secara umum maupun membaca Quran, Ahmad Dahlan
menerapkan metode pengajaran yang disesuaikan dengan kemampuan siswa sehingga mampu menarik
perhatian para siswa untuk menekuninya. Tentu saja sebagian siswa merasa bahwa waktu pelajaran agama
Is1am pada hari Sabtu sore itu belum cukup. Oleh sebab itu, beberapa orang siswa, termasuk mereka yang
belum beragama Islam sering datang ke rumah Ahmad Dahlan di Kauman pada hari Ahad untuk bertanya
maupun melakukan diskusi lebih lanjut tentang berbagai persoalan yang berhubungan dengan agama Islam.
Dalam perkembangan selanjutnya, pengalaman berorganisasi di Budi Utomo dan Jamiat Khair
memberikan pelajaran kepada siswa Kweekschool dan didukung oleh perkembangan pendapat masyarakat
umum pada waktu itu yang mulai menyadari bahwa pendidikan merupakan salah satu sarana yang penting bagi
kemajuan penduduk pribumi. Oleh karena itu, Ahmad Dahlan secara pribadi mulai merintis pembentukan
sebuah sekolah yang memadukan pengajaran ilmu agama Islam dan ilmu umum. Dalam berbagai kesempatan
Ahmad Dahlan menyampaikan ide pendirian sekolah yang mengacu pada metode pengajaran seperti yang
berlaku pada sekolah milik pemerintah kepada berbagai pihak, termasuk kepada para santri yang belajar di
Kauman maupun penduduk Kauman secara umum. Sebagian besar dari mereka bersikap acuh tak acuh, bahkan
ada yang secara tegas menolak ide pendidikan sistem sekolah tersebut karena dianggap bertentangan dengan
tradisi dalam agama Islam.
Akibatnya, para santri yang selama ini belajar kepada Ahmad Dahlan satu per-satu berhenti. Walaupun
belum mendapat dukungan dari masyarakat sekitarnya, Ahmad Dahlan tetap berkeinginan untuk mendirikan
lembaga pendidikan yang menerapkan model sekolah yang mengajarkan ilmu agama Islam maupun ilmu
pengetahuan umum. Sekolah tersebut dimulai dengan 8 orang siswa, yang belajar di ruang tamu rumah Ahmad
Dahlan yang berukuran 2,5 m x 6 m dan ia bertindak sendiri sebagai guru. Keperluan belajar dipersiapkan
sendiri oleh Ahmad Dahlan dengan memanfaatkan dua buah meja miliknya sendiri. Sementara itu, dua buah

bangku tempat duduk para siswa dibuat sendiri oleh Ahmad Dahlan dari papan bekas kotak kain mori dan papan
tulis dibuat dari kayu suren.
Sejarah Berdirinya Muhammadiyah (-4-)
Delapan orang siswa pertama itu merupakan santrinya yang masih setia, serta anak-anak yang masih
mempunyai hubungan keluarga dengan Ahmad Dahlan. Pendirian sekolah tersebut ternyata tidak mendapat
sambutan yang baik dari masyarakat sekitarnya kecuali beberapa orang pemuda. Pada tahap awal proses belajar
mengajar belum berjalan dengan lancar. Selain ada penolakan dan pemboikotan masyarakat sekitarnya, para
siswa yang hanya berjumlah 8 orang itu juga sering tidak masuk sekolah. Untuk mengatasi hal tersebut, Ahmad
Dahlan tidak segan-segan datang ke rumah para siswanya dan meminta mereka masuk sekolah kembali, di
samping ia terus mencari siswa baru. Seiring dengan pertambahan jumlah siswa, Ahmad Dahlan juga menambah
meja dan bangku satu per satu sehingga setelah berlangsung enam bulan jumlah siswa menjadi 20 orang.
Ketika pendirian sekolah tersebut dibicarakan dengan anggota dan pengurus Budi Utomo serta para
siswa dan guru Kweekschool Jetis, Ahmad Dahlan mendapat dukungan yang besar. Di antara para pendukung
itu adalah : Mas Raji yang menjadi siswa, R. Sosro Sugondo, dan R. Budiarjo yang menjadi guru di
Kweekschool Jetis sangat membantu Ahmad Dahlan mengembangkan sekolah tersebut sejak awal.
R. Budiharjo yang bersama-sama Ahmad Dahlan menjadi pengurus Budi Utomo Yogyakarta banyak
memberikan Saran tentang penyelenggaraan sebuah sekolah sesuai dengan pengalamannya menjadi kepala
sekolah di Kweekschool Jetis. Ia juga menyarankan kepada Ahmad Dahlan untuk meminta subsidi kepada
pemerintah jika sekolah yang didirikan itu sudah teratur, dengan dukungan dari Budi Utomo. Selain itu,
pendirian sekolah itu juga mendapat dukungan dari kelompok terpelajar yang berasal dari luar Kauman serta
para siswa Kweekschool Jetis yang biasa datang ke rumahnya pada setiap hari Ahad.
Sebagai realisasi dari dukungan Budi Utomo, organisasi ini menempatkan Kholil, seorang guru di
Gading untuk mengajar ilmu pengetahuan umum pada sore hari di sekolah yang didirikan Ahmad Dahlan. Oleh
sebab itu, para siswa masuk dua kali dalam satu hari karena Ahmad Dahlan mengajar ilmu pengetahuan agama
Islam pada pagi hari. Walaupun masih mendapat tantangan dari beberapa pihak, jumlah siswa terus bertambah
sehingga Ahmad Dahlan harus memindahkan ruang belajar ke tempat yang lebih luas di serambi rumahnya.
Akhirnya setelah proses belajar mengajar semakin teratur, sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan
itu diresmikan pada tanggal 1 Desember 1911 dan diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Ketika
diresmikan, sekolah itu mempunyai 29 orang siswa dan enam bulan kemudian dilaporkan bahwa terdapat 62
orang siswa yang belajar di sekolah itu. Sebagai lembaga pendidikan yang baru saja terbentuk, sekolah yang
didirikan oleh Ahmad Dahlan memerlukan perhatian lebih lanjut agar dapat terus dikembangkan. Dalam kondisi
seperti itu, pengalaman Ahmad Dahlan berorganisasi dalam Budi Utomo dan Jamiat Khair menjadi suatu hal
yang sangat penting bagi munculnya ide dan pembentukan satu organisasi untuk mengelola sekolah tersebut, di
samping kondisi makro pada saat itu yang telah menimbulkan kesadaran akan arti penting suatu organisasi
modern maupun masukan yang didapat dari para pendukung, termasuk dari para murid Kweekschool Jetis.
Salah seorang siswa kweekschool yang biasa datang ke rumah Ahmad Dahlan pada hari Ahad,
misalnya, menyarankan agar sekolah tersebut tidak hanya diurus oleh Ahmad Dahlan sendiri melainkan
dilakukan oleh suatu organisasi supaya sekolah itu dapat terus berlangsung walaupun Ahmad Dahlan tidak lagi
terlibat di dalamnya atau setelah ia meninggal. Ide pembentukan organisasi itu kemudian didiskusikan lebih
lanjut dengan orang-orang yang selama ini telah mendukung pembentukan dan pelaksanaan sekolah di Kauman,
terutama para anggota dan pengurus Budi Utomo serta guru dan murid Kweekschool Jetis.
Dalam satu kesempatan untuk mendapatkan dukungan dalam rangka merealisasi ide pembentukan
sebuah organisasi, Ahmad Dahlan melakukan pembicaraan dengan Budiharjo yang menjadi kepala sekolah di
Kweekschool Jetis dan R. Dwijosewoyo, seorang aktivis Budi utomo yang sangat berpengaruh pada masa itu.
Pembicaraan tersebut tidak hanya terbatas pada upaya mencari dukungan, melainkan juga sudah difokuskan
pada persoalan nama, tujuan, tempat kedudukan, dan pengurus organisasi yang akan dibentuk. Berdasarkan
pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan didapatkan beberapa ha1 yang berhubungan secara langsung dengan
rencana pembentukan sebuah organisasi.
Pertama, perlu didirikan sebuah organisasi baru di Yogyakarta. Kedua, para siswa Kweekschool tetap
akan mendukung Ahmad Dahlan, akan tetapi mereka tidak akan menjadi pengurus organisasi yang akan
didirikan karena adanya larangan dari inspektur kepala dan anjuran agar pengurus supaya diambil dari orangorang yang sudah dewasa. Ketiga, Budi Utomo akan membantu pendirian perkumpulan baru tersebut. Pada
bulan-bulan akhir tahun 1912 persiapan pembentukan sebuah perkumpulan baru itu dilakukan dengan lebih
intensif, melalui pertemuan-pertemuan yang secara ekplisit membicarakan dan merumuskan masalah seperti
nama dan tujuan perkumpulan, serta peran Budi Utomo dalam proses formalitas yang berhubungan dengan
pemerintah Hindia Belanda.
Walaupun secara praktis organisasi yang akan dibentuk bertujuan untuk mengelola sekolah yang telah dibentuk
lebih dahulu, akan tetapi dalam pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan selanjutnya tujuan pembentukan

organisasi itu berkembang lebih luas, mencakup penyebaran dan pengajaran agama Islam secara umum serta
aktivitas sosial lainnya. Anggaran dasar organisasi ini dirumuskan dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu,
yang dalam penyusunannya mendapat bantuan dari R. Sosrosugondo, guru bahasa Melayu di Kweekscbool
Jetis.
Organisasi yang akan dibentuk itu diberi nama "Muhammadiyah", nama yang berhubungan dengan
nama nabi terakhir Muhammad SAW."' Berdasarkan nama itu diharapkan bahwa setiap anggota Muhammadiyah
dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat dapat menyesuaikan diri dengan pribadi Nabi Muhammad SAW
dan Muhammadiyah menjadi organisasi akhir zaman. Sementara itu, Ahmad Dahlan berhasil mengumpulkan 6
orang dari Kampung Kauman, yaitu: Sarkawi, Abdulgani, Syuja, M. Hisyam, M. Fakhruddin, dan M. Tamim
untuk menjadi anggota Budi Utomo dalam rangka mendapat dukungan formal Budi Utomo dalam proses
permohonan pengakuan dari Pemerintah Hindia Belanda terhadap pembentukan Muhammadiyah.
Setelah seluruh persiapan selesai, berdasarkan kesepakatan bersama dan setelah melakukan shalat
istikharah akhirnya pada tanggal 18 November 1912 M atau 8 Dzulhijjah 1330 H persyarikatan Muhammadiyah
didirikan. Dalam kesepakatan itu juga ditetapkan bahwa Budi Utomo Cabang Yogyakarta akan
membantu mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda agar pembentukan Muhammadiyah
diakui secara resmi sebagai sebuah badan hukum. Pada hari Sabtu malam, tanggal 20 Desember 1912,
pembentukan Muhammadiyah diumumkan secara resmi kepada masyarakat dalam suatu pertemuan yang
dihadiri oleh tokoh masyarakat, pejabat pemerintah kolonial, maupun para pejabat dan kerabat Kraton
Kasultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman.
Pada saat yang sama, Muhammadiyah yang dibantu oleh Budi Utomo secara resmi mengajukan
permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mengakui Muhammadiyah sebagai suatu badan hukum.
Menurut anggaran dasar yang diajukan kepada pemerintah pada waktu pendirian, Muhammadiyah merupakan
organisasi yang bertujuan menyebarkan pengajaran agama Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumiputra
di Jawa dan Madura serta memajukan pengetahuan agama para anggotanya. Pada waktu itu terdapat 9 orang
pengurus inti, yaitu: Ahmad Dahlan sebagai kctua, Abdullah Sirat sebagai sekretaris, Ahmad, Abdul Rahman,
Sarkawi, Muhammad, Jaelani, Akis, dan Mohammad Fakih sebagai anggota. Sementara itu, para anggota hanya
dibatasi pada penduduk Jawa dan Madura yang beragama Islam.

Anda mungkin juga menyukai