Anda di halaman 1dari 15

3

SEJARAH
MUHAMMADIYAH

Hasbullah, M.Pd.I
Mata Kuliah Al Islam Kemuhammadiyahan III
1. Faktor obyektif (kondisi sosial dan keagamaan bangsa
Indonesia pada zaman kolonial),

a. Kondisi Sosial
Dalam struktur masyarakat kolonial, masyarakat
indoneia meliputi golongan eropa, asia, dan timur
jauh, serta golongan pribumi .

Golongan eropa yg tinggal di indonesia meliputi:


belanda, inggris, amerika, belgia, swiss, dan
perancis. golongan eropa memiliki kekuasaan besar
dan status sosial mereka lebih tinggi di banding dgn
golongan golongan lain yg ada di indonesia.
Golongan asia dan timur jauh yg tinggal di
indonesia meliputi, bangsa cina, india, dan arab.
sebagian besar adalah pedagang yg menguasai
sektor perdagangan eceran, tekstil, dan mesin
elektronik. status ekonomi mereka yg tinggi
membuat pemerintah belanda memberikan banyak
kemudahan dalam sektor perdagangan.

Golongan pribumi ialah penduduk asli indonesia


dan golongan mayoritas indonesia. walaupun
merupakan golongan mayoritas tapi golongan ini
berada pada lapisan terbawah dalam stratifikasi
sosial masyarakat kolonial di Indonesia.
Stratifikasi masyarakat indonesia sebelum datangnya
belanda terdiri atas golongan bangsawan (kelas atas),
golongan birokrat pemerintah(kelas menengah)dan
golongan rakyat jelata (kelas bawah). pengelompokan
ini di dasarkan pada faktor kekuasaan dan keturunan yg
dimiliki golongan bangsawan di indonesia pada saat itu.
b. Kondisi keagamaan
Penganus Islam terutama di pulau jawa masih
mensejajarkan syariat dengan adat sebagai dua tiang
tumpuan dalam kehidupan mereka. Ada sebagian kecil dari
masyarakat pribumi yang mengunjungi masjid, sebagian
besar mereka melupakan kewajiban sembahyang, ada yang
sembahyang tetapi tidak mau pergi ke masjid.

Hampir di setiap desa terdapat guru ngaji yang mengajarkan


Al Quran dan dakwah tentang Islam. Penduduk pribumi di
pulau jawa masih memberikan perhatian kepada orang yang
sudah meninggal, dengan penyelenggaraan sedekah yang
dibagikan kepada masyarakat, yang kita kenal dengan
slametan.
Sejak semula penduduk pribumi di Hindia Belanda lebih
menghargai mistik daripada syariat. Aktifitas mistik lebih
dipentingkan daripana aktifitas keagamaan.

Umat islam pada masa penjajahan Belanda diberikan


kebebasan untuk melaksanakan kegiatan keagamaannya.
Para ulama diberikan kebebasan untuk berdakwah dan
mengajarkan ilmu agama.

Di Hindia Belanda, Islam juga mengalami perseteruan


dengan berbagai peraturan adat. Diantaranya di
Minangkabau, dimana secara adat masyarakat
diperbolehkan sabung ayam, berjudi dan minuman keras, di
sisi lain Islam melarang perbuatan-perbuatan tersebut.
2. Faktor subyektif (keprihatinan dan keterpanggilan
KH. A. Dahlan terhadap umat dan bangsa)

Keinginan dari KH. Akhmad Dahlan untuk mendirikan organisasi


yang dapat dijadikan sebagai alat perjuangnan dan da’wah untuk
nenegakan amar ma’ruf nahyi munkar yang bersumber pada Al-
Qur’an, surat Al-Imron:104 dan surat Al-ma’un sebagai sumber
dari gerakan sosial praktis untuk mewujudkan gerakan tauhid.
✓ Ketidak murnian ajaran islam yang dipahami oleh sebagian
umat islam Indonesia, sebagai bentuk adaptasi tidak tuntas
antara tradisi Islam dan tradisi lokal nusantara dalam awal
bermuatan faham animisme dan dinamisme.
✓ Keterbelakangan umat islam indonesia dalam segi kehidupan
menjadi sumber keprihatinan untuk mencarikan solusi agar
dapat keluar menjadi keterbelakangan. Keterbelakangan
umat islam dalam dunia pendidikan menjadi sumber utama
keterbelakangan dalam peradaban.
✓Maraknya kristenisasi di indonesia sebegai efek
domino dari imperalisme Eropa ke dunia timur
yang mayoritas beragama Islam

✓Sikap beragama umat Islam saat itu pada


umumnya belum dapat dikatakan sebagai sikap
beragama yang rasional. Sirik, taklid, dan bid’ah
masih menyelubungi kehidupan umat islam,
terutama dalam lingkungan kraton, dimana
kebudayaan hindu telah jauh tertanam.
3. Profil KH. A Dahlan
Nama: Kyai Haji Ahmad Dahlan
Lahir : Yogyakarta, 1 Agustus 1868
Meninggal: Yogyakarta, 23 Februari 1923
Pasangan : Hj. Siti Walidah
Nyai Abdullah
Nyai Rum
Nyai Aisyah
Nyai Yasin
Anak : Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan
Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah, Dandanah
Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad
Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang
bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan,
kecuali adik bungsunya. Ia termasuk keturunan yang
kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim

Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal


di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad
Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran
pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-
Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang
kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama
menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan
menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia
sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang
juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada
tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di
kampung Kauman, Yogyakarta.

Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti


Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu
Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad
Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan
pendiri Aisyiyah
4. Pemikiran-pemikiran KH. A. Dahlan tentang
Islam dan umatnya
Merasa prihatin terhadap perilaku masyarakat Islam di Indonesia
yang masih mencampur-baurkan adat-istiadat yang jelas-jelas
bertentangan dengan ajaran umat islam, inilah yang menjadi
latar belakang pemikiran K.H. ahmad Dahlan untuk melakukan
pembaruan, yang juga melatar belakangi lahirnya
Muhammadiyah. Selain faktor lain diantaranya, yaitu pengaruh
pemikiran pembaruan dari para gurunya di Timur Tengah.

Hampir seluruh pemikiran K.H. Ahmad Dahlan berangkat dari


keprihatinannya terhadap situasi dan kondisi global umat Islam
waktu itu yang tenggelam dalam kejumudan (stagnasi),
kebodohan, serta keterbelakangan. Kondisi ini semakin
diperparah dengan politik kolonial belanda yang sangat
merugikan bangsa Indonesia.
Menurut K.H. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk
menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang
statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah
melalui pendidikan. Memang, Muhammadiyah sejak
tahun 1912 telah menggarap dunia pendidikan, namun
perumusan mengenai tujuan pendidikan yang spesifik
baru disusun pada 1936.
Menurut K.H. Ahmad Dahlan pendidikan terbagi menjadi
tiga jenis, yaitu:
1. Pendidikan moral, akhlak, yaitu sebagai usaha untuk
menumbuhkan karakter manusia yang baik,
berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah
2. Pendidikan Individu, yaitu sebagai usaha untuk
menumbuhkan kesadaran individu yang utuh, yang
berkesinambungan antara keyakinan dan intelek,
antara akal dan pikiran serta antara dunia dan akhirat
3. Pendidikan kemasyarakatan, yaitu sebagai usaha
untuk menumbuhkan kebersamaan dan keinginan
hidup masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai