Anda di halaman 1dari 12

HMI, Treasure of the Nation untuk banga Indonesia

Oleh : Zainudin, anggota BPL HMI Cabang Palembang.

Dinamika perjuangan HMI dalam lintasan Sejarah bangsa Indonesia telah


banyak menyumbangkan sumbangsih konstruktifnya sebagai komponen
terpenting dalam menegakan pilar keislaman-keindonesian, hal ini dapat ditinjau
dari komitmen awal berdirinya organisasi ini yang menegaskan bahwa entitas
kebangsaan dan keindonesiaan adalah suatu inherensi, bahkan sudah menjadi
perpaduan yang kuat. Secara kuantitatif, presentase umat muslim Indonesia yang
menyemtuh angka 86.7 % merupakan fakta empiric, keterterimaan luas dari
masyarakat terhadap Islam sebagai panduan hidup dalam mencapai kebahagiaan,
dari sisi kualitatif, nilai nilai keislaman dijadikan sebagai instrument perjuangan
dalam rangka menghidupkan semangat perlawanan terhadap kezhaliman dan
pendindasan, sebagai contoh, sejak awal masuknya praktik kolonialisme asing,
baik dari era Spanyol-Portugis sampai Belanda-Jepang episode resistensi umat
islam terus berlangsung.

Globalisasi klasik dimulai ketika umat manusia mulai massif melakukan


ekspolarasi kawasan dunia baru untuk mendapatkan material resource yang
bernilai tinggi, senada dengan itu, sejarawan Arnold Toynbee mengatakan bahwa,
titik awal interaksi antar bangsa melalui pelayaran mengarungi samudra,
merupakan suatu gejala globalisasi, motif sederhananya mengusung misi 3G
(Gold, Glory, Gospel), factor ekstern yang menstimulus munculnya gerakan ini
dikarenakan kekalahan Konstantinopel dari imperium Utsmaniyah. Letak strategis
kawasan Konstantinopel yang berada diantara benua Asia dan Eropa
menjadikannya sebagai salahsatu episentrum perdagangan internasional yang
menyediakan pasokan bahan bahan pokok hingga produk produk unggulan dari
berbagai belahan dunia, semenjak peralihan kekuasaan embargo komoditas,
menyebabkan terhambatnya laju distribusi barang di pasar Eropa, rentetan konflik
ekonomi-politik tersebut mendorong bangsa bangsa Eropa yang masih berbentuk
kekerajaan pada sat itu menggelar ekspedisi dan ekspansi ke kawasan dunia
Timur, yang disinyalir merupakan pemasok kebutuhan pokok dan unggulan pasar
di Eropa.
Pelayaran untuk mencari sumberdaya unggulan dan komoditas bernilai
tinggi dipasaran diinisasi oleh pihak kerajaan Spanyol dan Portugis, kemudian
disusul Inggris dan Belanda , agar mendapat legitimasi yang kuat sekaligus
membawa pesan suci keagamaan, maka dikeluarkanlah maklumat Paus yang
berisi dua perjanjian penting, yaitu perjanjan Tordesillas dan Zaragossa, dengan
bersemangatkan perintah agama, milisi imperialis berangkkat menyambut
panggilanya dalam turut serta misi ekspansi, babak baru kolonialisasi dimulai dari
benua Amerika yang hak masyarakat adat nya dirampas, dijadikan budak, dipaksa
konversi keyakinan, tanah mereka dijadikan pemukiman bangsa asing. Kemudian
pencapaian dalam pengambilalihan kawasan disusul oleh pihak kerajaan Portugis
yang sampai di jalur selat malaka, dimana teritori tersebut merupakan pusat
dagang rempah rempah dan komoditas unggulan produk produk pertanian lainya,
karena ada mandat misi zending selain memperoleh kekayaan dan penguasaan
wilayah, maka bangsa portugis menanamkan pengaruh keagamaan nya kepada
masyarakat yang mereka duduki.

Motif awal kedatangan Bangsa asing yang masuk ke kawasan Nusantara


berdalih perniagaan, lambat laun terbaca gelagatnya bertujuan untuk menjalankan
praktik kolonialsme beserta penanaman pengaruh keagaman, hal ini dapat terlihat
disetiap titik pusat kontrol nya didirikan Benteng dan sekolah seminari, tentu
intrik laten ini membahayakan eksistensi penguasa lokal yang sudah lebih dulu
memegang kendali pemerintahan disana, maka timbul lah perlawanan dari rakyat
setempat yang mulai tidak nyaman akan kehadiran bangsa asing dengan gaya
supremasi kulit putih dan tindakan despotisme mereka, kerajaan Ternate dan
Tidore yang memiliki otoritas disanapun tidak tinggal diam dan melancarkan
perlawanan untuk menekan pihak asing supaya angkat kaki dari wilayah
pemerintahan mereka. Berlanjut di era monopili dagang perusahaan swasta
Belanda( VOC ) yang masih dalam periode zaman yang sama, yaitu
merkantilsme, pola yang dimainkan tak jauh berbeda, pusat pemerintahan dan
perdagangan mereka selalu diproteksi dengan bangunan banteng pertahanan dan
agen agen missionaris mereka juga disebar dalam rangka kristenisasi, hingga
sampai ambruknya bangunan manajemen dagang dan pengorganisasian kerja
akibat kasus korupsi dan malapraktek, pihak kerajaan Belanda di tahun 1799
mengambil alih pendudukan wilayah yang kemudian mereka namai Hindia-
Belanda sebagai sumber pemasukan kas kerjanaan Belanda, melalui aktivitas
monopoli dagang, dengan diutusnya pemerintahan boneka yang dijabat oleh
Gubernur Jenderal, yang bertugas mengontrol wilayh protektorat mereka,

Seiring silih bergantinya faksi yang mengisi parlemen Belanda, sampailah


pada waktunya dipimpin dari partai buruh, yang mengusulkan adanya kebijakan
Politik Etis terhadap wilayah koloni, maka tercetyuslah istilah popular yang
dinamai Trias Van de venter, seorang tokoh humanis Belanda yang mengajuka
perbaikan kualitas penduduk pribumi Hindia-Belanda agar diberi fasilitas
Pendidikan, Pertanian ( irigasi ) dan pemerataan penduduk ( Imigrasi ). Jilid baru
periode ini kemudian memberikan peluang kesadaran Politik bagi masyarakat
pribumi melalui tokoh tokoh simpatisan pro kemanusiaan yang datang ke
Nusantara, diantarnya Eugene Douwes Dekker dan Henk Sneevlit, seorang tokoh
partai sosialis Belanda yang mengintrodusir sebuah ideologi perlawanan terhadap
bentuk penghisapan manusia atas manusia. Dari momentum ini kemudian
mendorong semangat pergerakan dan aktivitas Politik meningkat, hal ini ditandai
dengan bermunculan persyarikatan bermuatan politk , diantaranya : Indische Partij
dan Indische Sosialis Demokrat Verenigdee ( ISDV ). Indeks kesadaran berpolitik
dengan melangsungkan perjuangan kearah yang lebih diplomatis dan gerakan
social, turut menyulut semangat tokoh tokoh nasional merintis jalan baru sebagai
usaha menerapkan counter hegemoni kolonial Belanda dengan mendirikan
organisasi masyarakat yang lebih representatif secara kultural sekaligus
menyertakan nilai keislaman sebagai daya pembebas , maka timbulah Sarekat
Islam, persyarikatan Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama sebagai jawaban
memunculkan etos Islam yang sangat tidak bersepakat terhadap praktik
penjajahan.

Hadirnya organisasi masyarakat mengusung instrument Islam sebagai


pemantik resistensi, sangat berdampak signifikn bagi kalangan massa untuk
bangkit bergerak, menata tatanan social yang lebih rapi. Reinterpretasi alur
dakwah yang relevan mulai digaungkan, menyelaraskan asas kebutuhan dan
kondisi zaman pada saat itu, kegiatan dakwah mulai dikemas dengan menyertakan
sektor sector strategis kehidupan, mulai dari mendirikan lembaga pendidikan
dengan system islam terpadu, layanan kesehatan, kemandirian ekonomi, hingga
trend dakwah kultural yang mengangkat tema seni-budaya sebagai pentas hiburan
masyarakat, yang kemudian pesan intrinsiknya di desain untuk membangkitkan
semangat perjuangan massa. Segmen pergerakan nasional tersebut membawa
kesadaran politik dan cita cita kemedekaan semakin kencang, ditambah lagi
golongan terpelajar semakin bermunculan, baik yang sekolah di luar negeri
maupun dalam negeri turut andil dalam dunia pergerakan, sebagai panggilan
bhaktinya untuk mewujudkan kedaulatan bangsa.

Fasilitas pendidikan yang diberikan pemerintah kerajaan Belanda kepada


masyarakat pribumi yang pada mulanya hanya diorientasikan untuk mencukupi
tenaga adminstratif yang murah biaya, ternyata punya sisi lain dalam peranannya
membangkitkan kesadaran bernegara sesuai dengan kepribadian bangsa. Sekolah
sekolah kejuruan hingga perguruan tinggi, menjadi symposium bagi para
golongan terpelajar untuk membahas persoalan cita cita nasional, melaui kegiatan
kegiatan bernuansa politis, berangkat dari sekolah sekolah binaan Belanda ini juga
lah lahir perhimpunan perhimpunan pelajar progresif bahkan turut
mempromosikan tokoh tokoh nasional yang kemudian hari mengisi ruang
birokrasi Negara Indonesia. Tanpa mengurangi sedikitpun peran dan sumbangsih
golongan tua dalam menegakan bangunan Republik ini, golongan muda dan
pelajar di fase revolusi fisik punya andil besar dalam mempercepat proklamasi
kemerdekaan, bahkan keberanian mereka untuk mengasingkan Sukarno-Hatta,
merupakan sepenggal kisah heroic kepemudaan yang terus dikenang generasi
bangsa hingga sat ini.

Sejak diproklamasikannya kemerdakaan Indonesia oleh pasangan Dwi-


Tunggal, Bangsa Indonesia tampil percaya diri di panggung perdaban bangsa
Internasional sebagai Negara yang berdaulat dan berhasil mengusir kolonialis
asing. Tentu deklarasi kemerdekaan bangsa Indonesia mengusik kerajaan
Belanda, karena merasa kehilangan lumbung pemasukan sekaligus wilayah
jajahanya yang selama ini menopang kesejahteraan bangsa Belanda, maka respon
yang dilancarkan pemerintah Belanda adalah melakukan agresi militer untuk
merebut kembali wilayah protektoratnya. Ditengah tengah konflik militer yang
bergejolak, disekitaran momentum tersebut, sebuah organisasi kemahasiswaan
yang mengusung islam sebagai dasar Gerakan di deklarasikan di Jogjakarta,
melalui inisator seorang pemuda asal Sipirok Bernama Lafran Pane, prinsip
elementer tujuan awal Himpunan Mahasiswa Islam mengusung dua pilar pokok
bangunan kenegaraan dengan bersendikan pemikiran keislaman dan
keindonesiaan.

Profil garis perjuangan HMI dapat dilihat dari tujuan awal nya yang secara
spesifik tertuang dua poin : 1. Mempertegak dan mengembangkan ajaran agama
Islam. 2. Mempertinggi derajat rakyat dan negara republik Indonesia (Hariqo ,
2010 : 62). Motivasi dasar kelahiran HMI berakar dari nilai keislaman karena
mengingat islam baik secara historis dan esensinya mengandung prinsip
pembebasan dan egalitarisnisme. Menurut konsepsi hermeneutik dari perpektif
Scheleimacher, untuk memahami narasi secara utuh, dibutuhkan suatu pendekatan
interpretasi, yaitu interpretasi Gramatikal dan Psikologis (Budi.F Hardiman,
2015:40), dari tinjauan keorganisasian HMI, maka perlu kiranya untuk melihat
Selayang pandang profil umum inisiator organisasi ini, yaitu Lafran Pane, seorang
tokoh progresif yang punya pandangan fururistik mengenai masa depan
kebangaan, maka melalui ijtihadnya beliau mempelopori wadah kekaryaan
sekaligus lembaga belajar alternatif bagi mahasiswa, guna menyumbangkan
sumbangsihnya untuk kemahlahatan ummat dan negara.

Berdasarkan konsepsi pemikiran Lafran Pane tentang urgensinya hadir


HMI ditengah tengah kehidupan kampus lalu mendistribusikannya ke ranah
pengabdian masyarakat. Menurut keterangan personal lafran pane, pendirian HMI
dikarenakan kebutuhan yang sangat mendesak bagi para cendikiawan muslim
muda, untuk ikut andil dalam perjuangan kemerdekaan nasional. Selanjutnya HMI
juga diharapkan mampu melestarikan dan mengamalkan ajaran islam sebagai
paduan utuh dalam berkehidupan yang sesuai fitrahnya (Hariqo, 2010 : 59). Para
golongan terpelajar yang tengah menempuh study merupakan tunas cendikiawan
yang berpotensi kuat mengisi pos strategis kebangaan lewat karya konstruktifnya,
maka seyogyanya, para kandidat cendikiawan ini digembleng dan diwadahi
dengan organisasi, bukan sekedar tempat persamaan hobby ataupun perkumpulan
berdasarkan primordialita belaka, tapi jauh daripada itu, organisasi merupakan
media bagi para anggota nya untuk membentuk kekaryaan dan Menyusun
Gerakan kontributif bagi khalayak ramai,

Secara fungsional, suatu organiasi punya peran efektif dalam


mengkonsepkan hingga menerapkan rekayasa sosial dalam tatanan masyarakat,
rasionalisasi terkuatnya adalah, karena organisasi punya agen pembaharuan yang
dapat didelegasikan untuk menjadi aktor sentral, kemudian kekayaan gagasan,
dalam horizon organisasi dapat dijadikan referensi dan study komapartif dalam
menggodok kekayaan narasi. Disebabkan vitalitas itulah organisasi secara umum
dan factual dapat dijadikan opsi perkaderan ideal dalam membentuk insan
militant-intelektual, atau secara Bahasa meminjam terminology Ali Syariati
adalah Rausyan Fikr. Rausyan Fikr merupakan personifikasi insan yang punya
kesadaran utuh dalam memanifestasikan ideology yang mereka Yakini, sebagai
pemandu keararah cita cita luhur. Watak kepeloporan, tekad yang kuat, sensitifitas
yang tinggi terhadap problematika sosial, hingga memiliki visi besar dalam
kemajuan, itulah beberapa etos Rausyan Fikr, sebuah predikat bagi orang yang
mampu menggagas transformasi sosial (Ali Syariati, 1993 : 9).

Sekilas profil umum Rausyan Fikir yang diinstrodusir Ali Syariati,


terdapat kriteria yang ada dalam diri Lafran Pane, dari sifat visioner dan
kepeloporannya, beliau peka akan problematika sosial, dissat ancaman aneksasi
Kembali oleh Belanda dan kejumudan berfikir umat islam Indonesia, beliau
menggagas pembentukan organisasi mahasiswa islam, sebagai kawah
candradimuka bagi maahsiswa, agar memiliki bekal empiris yang cukup untuk
kemudian hari Amanah kesarjanaan mereka dapat beguna bagi kemashlahatan
umum, terutama dapat hujjah dari persoalan keumatan dan kebangsaan.
Perkembangan mental dan intelektual beliau dapat ditilik dari hikayat beliau, yang
dari bangku sekolah menengah pertama sudah menjalani kehidupan rantau dan
bergeliat di jalanan, kemudian kehidpan privililege keluarganya tak lupa jadi
sorotan, bahwa beliau dapat menikmati akses Pendidikan tinggi, karena
kehormatan trah dan kecukupan finansial, menghantarkan beliau masuk ke jakur
Pendidikan yang pada sat itu m asih dipandang elitis. Beranjak dari dua factor
tersebutlah titik balik perjalanan spiritual beliau memancar kemudian melembaga
sebagai suatu aktivitas kehidupan. Satu hal yang perlu ditekankan adalah
Pendidikan keagamaan dari lingkungan keluarga sampai ke madrassah yang
pernah beliau alami, merupakan faktior kunci membentuk mentalitas revolusioner,
bahkan diriwayatkan bahwa kesadaran beliau tergugah karena terkenang memori
pengalaman kecil yang kemudian diresapi dengan refleksi kritis terhadap problem
kontenmporer pada saat itu (Hariqo, 2010 : 44).

Di dalam bukunya Yudhi Latif yang berjudul Intelegensia muslim dan


kuasa ,Genealogi intelegensi Muslim di Indoneia abad ke-20, dibahasan transmii
tradisi politik intelektual muslim, menempatkan HMI sebagai salahsatu bagian
mata rantai tumbuhnya tradisi politik islam. Patut diakui bahwa, kehadiran HMI
di dunia perguruan tinggi turut membantu meningkatkan kesadaran mahasiswa
terhadap politik, tentu dampak ini terasa wajar, karena tiap tiap menanggapi isu
dan permasalahan sosial yang menyangkut kebijakan public dari stakeholder,
andil anggota anggota HMI dalam advokasi mendapatkan bekal pengetahuan
mekanisme penguraian masalah, baik berupa audiensi maupun demonstrasi.
Keterampilan diplomatis dan persuasif tersebut kemudian jadi legacy dari generasi
ke generasi sebagai bagian dari system perkaderan organisasi, kiprah pasca
kampus para alumni HMI pun tak luput mempengaruhi dunia perpolitik
pemerintahan negara Indonesia, sebut saja politisi senior sekelas Akbar Tandjung
dan Jusuf Kalla nmerupakan alumni HMI yang sudah bagaikan rockstar dalam
kancah perpolitikan di Indonesia, kemudian ada nama Anas Urbaninggrum dan
Anis Baswedan sebagai generasi baru politisi Indonesia, tampilnya para alumni
HMI dalam panggung perpolitikan, bukanlah sebuah anomaly, karena sejak
mahasiswa dahulu mereka sudah akrab dengan aktivitas politik, mestikupun level
kampus, namun beklan empiric tersebut tidak dapat dipungkiri menjadi modal
dasar untuk mereka kembangkan di kedmuian hari dalam menapaki karir di
kancah birokrasi pemerintahan.

Ada simplikasi yang sedikit bernada tuduhan dari maahsiswa umum yang
melabeli HMI sebagai organisasi mahasiswa yang sarat akan nuansa politik,
barangkali stereotip mereka tertuju dari output perkaderan HMI banyak
melahirkan politisi, dan para anggota anggota HMI mendapat akses khusus ke
ranah tersebut, namun disisi lain, produk perkaderan HMI tidak melulu dan
mainstream tentang urusan politik saja, nyatanya banyak beberapa alumni HMI
yang menjadi akademisi, sebagai contoh Siti Zuhro, peneliti LIPI, Kuntowijoyo,
Guru besar Sejarah UGM, Nurcholish Madjid, Cendikiawan muslim Indonesia,
Artidjo Alkostar seorang Dosen sekaligus mantan ketua Mahkamah Agung,
Azyumardi Azra Dosen UIN Syarif Hidayatullah dan masih banyak tokoh tokoh
akademisi lain, yang banyak menimba ilmu Ketika berproses di HMI semasa
mereka kuliah dahulu. Tak lupa pula menyertakan nama Munir Said Thakib,
seorang aktivis HAM yang semasa hayatnya pernah mendapatkan penghargaan
perdamaian Internasional terkait pembelaannya terhadap korban pelanggaran
HAM, sampai mengawal tuntutan reformasi tentang keadilan hukum terhadap
kasus kekerasaan korban. Dari beberapa pernyataan beliau tentang HMI, proses
pembelajaran temntang militansi membela hak hak kaum mustadhafiin didapat
beliau dari proses perkaderan HMI, maka transfer value dari HMI kepada anggota
anggotanya melahirkan keberagaman keterampilan dan profesi yang turut
mengantarkan mereka memiliki integritas yang tinggi terhadap nilai keislaman-
keindonesiaan. Mengutip petuah dari Lafran Pane, dimanapun para anggota HMI
berkiprah, prinsip keislaman-keindonesiaan harus dipegang teguh, begitulah kira
kira pesan yang diwariskan turun temurun dari anggota HMI kepada generasi
penerusnya.

Maka tidak berlebihan bila memposisikan HMI sebagai Treasure of the


Nation untuk bangsa Indonesia, kandungan nilai nilai luhur berlandaskan
kepentingan kebangsaan-keumatan sangat dijinjung tinggi, sebagaiman ikrar awal
hadirnya organisas ini. Warisan berharga ini bukan sekedar berhala romantisme
yang disanjung sanjung tanpa ada pembaharuan dan berpuas diri dari tradisi,
struktur konsepsi universaloitas ini musti dirawat bagi bangsa indoensisa secara
umum, karena HMI merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam mengawal dan
mengisi kemerdekaan negara Indonesia, dan secara khusus bagi anggota HMI
dimanapun berada, karena dari niat tulus inilah alasan mengapa HMI masih bisa
eksis sampai saat ini, dan musti mengedepankan semnagat pembahruan dalam
menjawab tantangan zaman, melalui kepeloporan perkembangan ilmu
pengetahuan, menjaga Ukhuwah seluas luasnya serta mendarmakan segenap
potensinya untuk peradaban yang konstruktif, jamgan sampai dikemudian hari
harta karun ini dibajak oleh para perompak yang haus kegelimangan duniawi atau
jatuh ditangan pihak yang lugu, gagap dan ceroboh membawa arah perjuangan
HMI.
DAFTAR PUSTAKA

Latif, Yudhi. (2012). Intelegensia muslim dan kuasa, Genealogi intelektual


msulim Indonesia abad ke-20. Jakarta: Yayasan abad demokrasi.

Syariati, Ali . (1993). Ideologi kaum intelektual. Bandung : Mizan.

Hardiman, Budi. (2015). Seni memahami, Hermeneutika dari Scheleiermacher


sampai Derrida. Sleman : Kanisius..

Satria, Wibawa Hariqo. (2010) . Lafran Pane, jejak hayat dan pemikiranya.
Jakarta Selatan : Penerbit lingkar.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ( CURICULUM VITAE)

DATA PRIBADI

Nama : Zainudin

Tempat/ tanggal : Palembang / 29 November 1996


lahir

Alamat : Jln. Sersan Zaini

No.HP : 0895618014817

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : ISLAM

Email : zainudin.azwar@gmail.com

PENDIDIKAN FORMAL

Tahun

2002-2008 SDN 12 OKU

2008-2011 SMPN 13 OKU

2011-2014 SMA SENTOSA BHAKTI OKU

2014-2019 UNIVERSITAS SRIWIJAYA

PENDIDIKAN NON FORMAL

Tahun

2020 Pelatihan instruktur BPL Cabang


Pamekasan

2018 LK II ( LATIHAN KADER II ) HMI Cabang


Kediri
2016 LK I Komisariat Sriwijaya HMI Cabang
Palembang

PENGALAMAN ORGANISASI

Tahun

2018 Ketua Umum HMI Komisariat FKIP


Sriwijaya

2017 Ketua bidang pembinaan anggota HMI


komisariat Sriwijaya

2020 Ketua bidang PIK BPL HMI Cbg


Palembang

PENGALAMAN KERJA

Tahun

2020-sekarang- Guru-

Anda mungkin juga menyukai