Pendidikan barat yang diperkenalkan kepada penduduk pribumi sejak paruh kedua
abad XIX sebagai upaya penguasa kolonial untuk mendapatkan tenaga kerja, misalnya,
sampai akhir abad XIX pada satu sisi mampu menimbulkan restratifikasi masyarakat
melalui mobilitas sosial kelompok intelektual, priyayi, dan profesional. Pada sisi lain, hal
ini menimbulkan sikap antipasti terhadap pendidikan Barat itu sendiri, yang diidentifikasi
sebagai produk kolonial sekaligus produk orang kafir.
Sememara itu, adanya pengenalan agama Kristen dan perluasan kristenisasi yang
terjadi bersamaan dengan perluasan kekuasaan kolonial ke dalam masyarakat pribumi
yang telah terlebih dahulu terpengaruh oleh agama Islam, mengaburkan identitas politik
yang melekat pada penguasa kolonial dan identitas sosial -keagamaan pada usaha
kristenisasi di mata masyarakat umum.
Bagi sebagian besar penduduk pribumi, tekanan politis, ekonomis, sosial, maupun
kultural yang dialami oleh masyarakat secara umum sebagai sesuatu yang identik dengan
kemunculan orang Islam dan kekuasaan kolonial yang menjadi penyebab kondisi tersebut
tidak dapat dipisahkan dari agama Kristen itu sendiri. Hal ini semakin diperburuk oleh
struktur yuridis formal masyarakat kolonial, yang secara tegas membedakan kelompok
masyarakat berdasarkan suku bangsa. Dalam stratifikasi masyarakat kolonial; penduduk
pribumi menempati posisi yang paling rendah, sedangkan lapisan atas diduduki orang
Eropa, kemudian orang Timur Asing, seperti: orang Cina, Jepang, Arab, dan India.
Tidak mengherankan jika kebijakan pemerintah kolonial ini tetap dianggap sebagai
upaya untuk menempatkan orang Islam pada posisi social yang paling rendah walaupun
dalam lapisan sosial yang lebih tinggi terdapat juga orang Arab yang beragama Islam. Di
samping itu, akhir abad XIX juga ditandai oleh terjadinya proses peng-urbanan yang
cepat sebagai akibat dari perkemhangan ekonomi, politik, dansosial.
Memasuki awal abad XX sebagian besar kondisi yang telah terbentuk sepanjang
abad XIX terus berlangsung. Dalam konteks ekonomi, perluasan aktivitas ekonomi
sebagai dampak perluasan penanaman modal swasta asing maupun perluasan pertanian
rakyat belum mampu menimbulkan perubahan ekonomi secara struktural sehingga
kondisi hidup sebagian besar penduduk masih tetap rendah. Di beberapa tempat
penduduk pribumi memang berhasil mengembangkan pertanian tanaman ekspor dan
mendapat keuntungan yang besar, akan tetapi ekonomi mereka masih sangat labil
terhadap perubahan pasar.
Sementara itu, kebijakan Politik Balas Budi atau Politik Etis yang difokuskan pada
bidang edukasi, irigasi, dan kolonisasi yang dilaksanakan sejak dekade pertama abad XX,
telah memberikan kesempatan yang lebih luas kepada penduduk pribumi mengikuti
pendidikan Barat dibandingkan dengan masa sebelumnya melalui pembentukan beberapa
lembaga pendidikan khusus bagi penduduk pribumi sampai tingkat desa. Akan tetapi,
kesempatan ini tetap saja masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan jumlah
penduduk pribumi secara keseluruhan.
Kesempatan itu masih tetap diprioritaskan bagi kelompok elit penduduk pribumi,
atau kesempatan yang ada hanya terbuka untuk pendidikan rendah, sedangkan
kesempatan untuk mengikuti pendidikan menengah dan tinggi masih sangat terbatas.
Seperti pada masa sebelumnya, kondisi seperti ini terbentuk selain disebabkan oleh
kebijakan pemerintah kolonial, juga dilatarbelakangi sikap antipati dari kelompok Islam,
yang menjadi pendukung utama masyarakat pribumi terhadap pendidikan Barat itu
sendiri.
Secara umum mereka lebih suka mengirimkan anak-anak mereka ke pesantren, atau
hanya sekedar ke lembaga pendidikan informal lain yang mengajarkan pengetahuan dasar
agama Islam. Akan tetapi, sebenarnya ada dualism cara memandang pendidikan Barat ini.
Di samping dianggap sebagai perwujudan dari pengaruh Barat atau Kristen terhadap
lingkungan sosial dan budaya lokal maupun Islam, pendidikan Barat juga dilihat secara
objektif sebagai factor penting untuk mendinamisasi masyarakat pribumi yang mayoritas
beragama Islam.
Pada tahun 1908 organisasi Budi Utomo didirikan oleh para mahasiswa sekolah
kedokteran di Jakarta. Walaupun dasar, tujuan, dan aktivitas Budi Utomo sebagai suatu
organisasi masih terikat pada unsur-unsur primordial dan terbatas, keberadaan Budi
Utomo secara langsung maupun tidak berpengaruh terhadap bentuk baru dari perjuangan
kebangsaan melawan kondisi yang diciptakan oleh kolonialisme Belanda. Berbagai
organisasi baru kemudian didirikan, dan perjuangan perlawanan terhadap kekuasaan
kolonial yang dulu terkosentrasi dikawasan pedesaan mulai beralih terpusat didaerah
perkotaan.
Dunia Islam dan Masyarakat Muslim Indonesia Secara makro perkembangan dunia
Islam pada akhir abad XIX dan awal abad XX ditandai oleh usaha untuk melawan
dominasi Barat setelah sebagian besar Negara yang penduduknya beragama Islam secara
politik, sosial, ekonomi, maupun budaya telah kehilangan kemerdekaan dan berada di
bawah kekuasaan kolonialisme dan imprialisme Barat sejak beberapa abad sebelumnya.
Dalam masyarakat Muslim sendiri muncul usaha untuk mengatasi krisis internal dalam
proses sosialisasi ajaran Islam, akidah, maupun pemikiran pada sebagian besar
masyarakat, baik yang disebabkan oleh dominasi kolonialisme dan imperialisme Barat,
maupun sebab-sebab lain yang ada dalam masyarakat Muslim itu sendiri.
Dalam kehidupan beragama ini terjadi kemerosotan ruhul Ishmi, jika dilihat dari
ajaran Islam yang bersumber pada Quran dan Sunnah Rasulullah. Pengamalan ajaran
Islam bercampur dengan bid'ah, khurafat, dan syi'ah. Di samping itu, pemikiran umat
Islam juga terbelenggu oleh otoritas mazhab dan taqlid kepada para ulama sehingga
ijtihad tidak dilakukan lagi. Dalam pengajaran agama Islam, secara umum Qur'an yang
menjadi sumber ajaran hanya diajarkan pada tingkat bacaan, sedangkan terjamahan dan
tafsir hanya boleh dipelajari oleh orang-orang tertentu saja. Sementara itu, pertentangan
yang bersumber pada masalah khilafiyah dan firu'iyah sering muncul dalam masyarakat
Muslim, akibatnya muncul berbagai firqah dan pertentangan yang bersifatlaten.
Seperti yang terjadi di dalam dunia Islam secara umum, Islam di Indonesia pada
abad XIX juga mengalami krisis kemurnian ajaran, kestatisan pemikiran maupun
aktivitas, dan pertentangan internal. Perjalanan historis penyebaran agama Islam di
Indonesia sejak masa awal melalui proses akulturasi dan sinkretisme, pada satu sisi telah
berhasil meningkatkan kuantitas umat Islam. Akan tetapi secara kualitas muncul
kristalisasi ajaran Islam yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni.
Di Pulau Jawa, misalnya, persoalan kemurnian ajaran Islam ini sangat terasa karena
unsur-unsur lokal sangat berpengaruh dalam proses sosialisasi ajaran di dalam
masyarakat seperti yang terlihat pada: sekaten, kenduri, tahlilan, dan wayang. Kondisi
seperti ini dapat dilihat pada laporan T.S. Raffles tentang Islam di Jawa pada awal abad
XIX, yang menyatakan bahwa orang Jawa yang berpengetahuan cukup tentang Islam dan
berprilaku sesuai dengan ajaran Islam hanya beberapa orang saja.
Selain itu, K.H.Ahmad Rifa'i, salah seorang ulama di Jawa yang sangat disegani
oleh pemerintah kolonial, pada pertengahan abad XIX menyatakan bahwa pengamalan
agama Islam orang Jawa banyak menyimpang dari aqidah Islalamiyah dan harus
diluruskan. Interaksi reguler antara sekelompok masyarakat Muslim Indonesia dengan
dunia Islam memberi kesempatan kepada mereka untuk mempelajari dan memahami
lebih dalam ajaran Islam sehingga tidak mengherankan kemudian muncul ide-ide atau
wawasan baru dalam kehidupan beragama di dalam masyarakat Indonesia. Mereka mulai
mempertanyakan kemurnian dan implementasi ajaran Islam di dalam masyarakat. Oleh
sebab itu, di samping unsur-unsur lama yang terus bertahan seperti pemahaman dan
pengamalan ajaran Islam yang sinkretik dan sikap taqlid terhadap ulama, di dalam
masyarakat Muslim Indonesia pada akhir abad XIX dan awal abad XX juga berkembang
kesadaran yang sangat kuat untuk melakukan pembaharuan dalam banyak hal yang
berhubungan dengan agama Islam yang telah berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Hal ini tentu saja menimbulkan konflik antarkelompok, yang terpolarisasi dalam
bentuk gerakan yang dikenal sebagai "kaum tua" berhadapan dengan "kaum muda" atau
antara kelompok "pembaharuan" berhadapan dengan "anti pembaharuan". Sementara itu,
krisis yang terjadi di dalam Islam di Indonesia, selain di sebabkan oleh dinamika internal
juga tidak dapat dipisahkan dengan perluasan kekuasaan pemerintah colonial Belanda.
Islam sejak awal muncul sebagai kekuatan di balik perlawanan terhadap kolonialisme,
baik dalam pengertian idiologis maupun peran langsung para ulama dan umat Islam
secara keseluruhan. Hal ini dapat dilihat berbagai perlawanan yang terjadi sepanjang abad
XIX dan awal abad XX, seperti: Perang Diponegoro, Perang Bonjol, Perang Aceh, dan
protes-protes petani, yang semuanya diwarnai oleh unsur Islam yang sangat kental.
Hal ini semakin diperburuk oleh munculnya sikap taqlid kepada para ulama tertentu
pada sebagian besar umat Islam di Indonesia pada waktu itu. Pemerintah kolonial juga
berusaha mengeksploitasi perbedaan yang ada dalam masyarakat yang berhubungan
dengan Islam, seperti perbedaan sosio-antropologis antara kelompok santri dan abangan
yang menjadi konflik sosial berkepanjangan. Selain itu, aktivitas kristenisasi yang
dilakukan oleh missi Katholik maupun zending Protestan terhadap penduduk pribumi
yang telah beragama Islam terus berlangsung tanpa halangan dari penguasa kolonial.
Lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai menengah, panti asuhan, dan rumah sakit
yang didirikan oleh missi dan zending sebagai pendukung utama dalam proses
kristenisasi, secara reguler mendapat bantuan dana yang besar dari pemerintah.
Ahmad Dahlan dan Pembentukan Muhammmadiyah di tengah-tengah kondisi tidak
menentu seperti yang digambarkan di atas, Ahmad Dahlan muncul sebagai salah seorang
yang perduli terhadap kondisi yang sedang dihadapi masyarakat pribumi secara umum
maupun masyarakat Muslim secara khusus. Ahmad Dahlan lahir di Kampung Kauman
Yogyakarta pacla tahun 1868 dengan nama Muhammad Darwis. Ayahnya K.H. Abu
Bakar adalah imam dan khatib Masjid Besar Kauman Yogyakarta, sementara ibunya Siti
Aminah adalah anak K.H. Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta. Menurut salah satu
silsilah, keluarga Muhammad Darwis dapat dihubungkan dengan Maulana Malik
Ibrahim, salah seorang wali penyebar agama Islam yang dikenal di Pulau Jawa.
SebagaianakkeempatdarikeluargaK.H.Abubakar,MuhammadDarwismempunyai 5
orang saudara perempuan dan I orang saudara laki-laki. Seperti layaknya anak-anak di
Kampung Kauman pada waktu itu yang diarahkan pada pendidikan informal agama
Islam, sejak kecil Muhammad Darwis sudah belajar membaca Quran di kampung sendiri
atau di tempat lain. Ia belajar membaca Quran dan pengetahuan agama Islam pertama
kali dari ayahnya sendiri dan pada usia delapan tahun ia sudah lancar dan tamat membaca
Quran. Menurut cerita, sejak kecil Muhammad Darwis sudah menunjukkan beberapa
kelebihan dalampenguasaanilmu,sikap,danpergaulansehari-haridibandingkanteman-
temannyayang sebaya.
Muhammad Darwis yang sudah dewasa terus belajar ilmu agama Islam maupunilmu
yang lain dari guru-guru yang lain, termasuk para ulama di Arab Saudi ketika ia sedang
menunaikan ibadah haji. Ia pernah belajar ilmu hadist kepada Kyai Mahfudh Termas dan
SyekhKhayat,belajarilmuqiraahkepadaSyekhAmiendanSayidBakriSyatha,belajarilmu
falaq pada K.H. Dahlan Semarang, dan ia juga pernah belajar pada Syekh Hasan tentang
mengatasi racun binatang. Menurut beberapa catatan, kemampuan intelektual
Muhammad Darwis ini semakin berkembang cepat dia menunaikan ibadah haji pertama
pada tahun 1890, beberapa bulan setelah perkawinannya dengan Siti Walidah pada tahun
1889.
Proses sosialisasi dengan berbagai ulama yang berasal dari Indonesia seperti: Kyai
Mahfudh dari Termas, Syekh Akhmad Khatib dan Syekh Jamil Jambek dari
Minangkabau, Kyai Najrowi dari Banyumas, dan Kyai Nawawi dari Banten, maupun
para ulama dari Arab, serta pemikiran baru yang ia pelajari selama bermukim di Mekah
kurang lebih delapan bulan, telah membuka cakrawala baru dalam diri Muhammad
Darwis, yang telah berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Perkembangan ini dapat
dilihat dari semakin, luas dan bervariasinya jenis kitab yang dibaca Ahmad Dahlan.
Sebelum menunaikan ibadah haji, Ahmad Dahlan lebih banyak mempelajari kitab-kitab,
dari Ahlussunnah waljamaah dalam ilmu aqaid, dari madzab Syafii dalam ilmu Fiqh dari
Imam Ghozali dan ilmu tasawuf.
Sesudah pulang dari menunaikan ibadah haji, Ahmad Dahlan mulai membaca kitah-
kitab lain yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Semangat membaca Ahmad Dahlan
yang besar ini dapat dilihat pada kejadian ketika ia membeli buku menggunakan sebagian
dari modal sebesar 1500 setelah ia pulang dari menunaikan ibadah haji yang pertama,
yang sebenarnya diberikan oleh keluarganya untuk berdagang. Sementara itu, keinginan
untuk memperdalam ilmu agama Islam terus muncul pada diri Ahmad Dahlan. Dalam
upaya untuk mewujudkan cita-citanya itu, ia menunaikan ibadah haji kedua pada tahun
1903, dan bermukim di Mekah selama hampir dua tahun. Kesempatan ini digunakan
Ahmad Dahlan untuk belajar ilmu agama Islam baik dari para guru ketika ia menunaikan
ibadah haji pertama maupun dari guru-guru yang lain.
Ia belajar fiqh pada Syekh Saleh Bafadal, Syekh Sa'id Yamani, dan Syekh Sa' id
Babusyel. Ahmad Dahlan belajar ilmu hadist pada Mufti Syafi'i, sementara itu ilmu falaq
dipelajari pada Kyai Asy'ari Bawean. Dalam bidang ilmu qiruat, Ahmad Dahlan belajar
dari Syekh Ali Misri Makkah. Selain itu, selama bermukim di Mekah ini Ahmad Dahlan
juga secara regular mengadakan hubungan dan membicarakan berbagai masalah sosial-
keagamaan, termasuk masalah yang terjadi di Indonesia dengan para Ulama Indonesia
yang telah lama bermukim di Arab Saudi, seperti: Syekh Ahmad Khatib dari
Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai
Fakih dari Maskumambang.
Sebagai Khatib Amin, Ahmad Dahlan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan agama
Islam yang dimiliki, pengalaman berinteraksi dengan berbagai kelompok dalam dunia
Islam, serta pengalamannya memberi pelajaran agama Islam selama ini sehingga sering
muncul ide dan aktivitas baru. Berbeda dengan para khatib lain yang cenderung
menghabiskan waktu begitu saja ketika sedang bertugas piket di serambi masjid besar
Kauman, Ahmad Dahlan secara rutin memberikan pelajaran agama Islam kepada orang-
orang yang datang ke masjid besar ketika ia sedang melakukan piket.
Ahmad Dahlan juga mulai menyampaikan ide-ide baru yang lebih mendasar, seperti
persoalan arah kiblat salat yang sebenarnya. Akan tetapi, ide baru ini tidak begitu saja
bisa dilaksanakan seperti yang diajarkan di serambi masjid besar karena mempersoalkan
arah kiblat salat merupakan suatu hal yang sangat peka pada waktu itu. Ahmad Dahlan
memerlukan waktu hampir satu tahun untuk menyampaikan masalah ini. Itu pun hanya
terbatas pada para ulama yang sudah dikenal dan dianggap sepaham di sekitar Kampung
Kauman. Pada satu malam pada tahun 1898, Ahmad Dahlan mengundang 17 orang ulama
yang ada di sekitar kota Yogyakarta untuk melakukan musyawarah tentang arah kiblat di
surau milik keluarganya di Kauman.
Diskusi antara para ulama yang telah mempersiapkan diri dengan berbagai kita
bacuan ini berlangsung sampai waktu subuh, tanpa menghasilkan kesepakatan. Akan
tetapi, dua orang yang secara diam-diam mendengar pembicaraan itu beberapa hari
kemudianmembuat tiga garis putih setebal 5 cm di depan pengimaman masjid besar
Kauman untuk mengubah arah kiblat sehingga mengejutkan para jemaah salat dzuhur
waktu itu. Akibatnya, Kanjeng Kyai Penghulu H.M.Kholil Kamaludiningrat
memerintahkan untuk menghapus tanda tersebut dan mencari orang yang melakukan itu.
Sebagai realisasi dari ide pembenahan arah kiblat tersebut, Ahmad Dahlan yang
merenovasi surau milik keluarganya pada tahun 1899 mengarahkan surau tersebut ke arah
kiblat yang sebenarnya, yang tentu saja secara arsitektural berbeda dengan arah
masjidbesar Kauman. Setelah dipergunakan beberapa hari untuk kegiatan Ramadhan,
Ahmad Dahlan mendapat perintah dari Kanjeng Penghulu untuk membongkar surau
tersebut, yang tentu saja ditolak. Akhirnya, surau tersebut dibongkar secara paksa pada
malam hari itu juga. Walaupun diliputi perasaan kecewa, Ahmad Dahlan membangun
kembali surau tersebut sesuai dengan arah masjid besar Kauman setelah berhasil dibujuk
oleh saudaranya, sementara arah kiblat yang sebenarnya ditandai dengan membuat garis
petunjuk dibagi andalam masjid.
ide-ide dan aktivitas baru pada diri Ahmad Dahlan tidak dapat dipisahkan dari
proses sosialisasi dirinya sebagai pedagang dan ulama serta dengan alur pergerakan
sosial- keagamaan, kultural, dan kebangsaan yang sedang berlangsung di Indonesia pada
awal abad XX. Sebagai seorang pedagang sekaligus ulama, Ahmad Dahlan sering
melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Residensi Yogyakarta maupun daerah lain
seperti: Periangan, Jakarta, Jombang, Banyuwangi, Pasuruan, Surabaya, Gresik,
Rembang, Semarang, Kudus, Pekalongan, Purwokerto, dan Surakarta. Di tempat-tempat
itu ia bertemu dengan para ulama, pemimpin lokal, maupun kaum cerdik cendekia lain,
yang sama-sama menjadi pedagang atau bukan.
Sementara itu, walaupun Ahmad Dahlan tidak terlibat secara aktif di dalam Jamiat
Khair, selain belajar berorganisasi secara modern di kalangan orang Islam, ia juga
mendapat pengetahuan tentang kegiatan sosial, terutama yang berhubungan dengan
pendirian dan pengelolaan lembaga pendidikan model sekolah. Semua ini tentu saja
merupakan suatu hal yang baru dan sangat berpengaruh bagi langkah-langkah yang
dilakukan Ahmad Dahlanpada masa selanjutnya, seperti pendirian sekolah model Barat
maupun pembentukan satu organisasi.
Sebagai pengurus Budi Utomo, aktivitas Ahmad Dahlan tidak hanya terbatas pada
hal-hal yang berhubungan langsung dengan masalah organisasi. Ia sering memanfaatkan
forum pertemuan pengurus maupun anggota Budi Utomo sebagai tempat untuk
menyampaikan informasi tentang agama Islam, bidang yang sangat ia kuasai. Kegiatan
ini biasanya dilakukan setelah acara resmi selesai. Kepiawaian Ahmad Dahlan dalam
menyampaikan informasi tentang agama Islam dalam berbagai pertemuan informal itu
telah menarik perhatian para pengurus maupun anggota Budi Utomo yang sebagian besar
terdiri dari pegawai pemerintah dan guru sehingga sering terjadi diskusi yang menarik di
antara mereka tentang agama Islam.
Diantara pengurus dan anggota Budi Utomo yang tertarik pada masalah agama
Islam adalah R. Budiharjo dan R. Sosrosugondo, yang pada saat itu menjabat sebagai
guru di Kweekschool Jetis. Melalui jalur dua orang guru ini Ahmad Dahlan mendapat
kesempatan mengajar agama Islam kepada para siswa Kweekschool Jetis, setelah kepala
sekolah setuju dan memberikan izin. Pelajaran agama Islam di sekolah guru milik
pemerintah itu diberikan diluar jam pelajaran resmi, yang biasanya dilakukan pada setiap
hari Sabtu sore.
Akibatnya, para santri yang selama ini belajar kepada Ahmad Dahlan satu per-satu
berhenti. Walaupun belum mendapat dukungan dari masyarakat sekitarnya, Ahmad
Dahlan tetap berkeinginan untuk mendirikan lembaga pendidikan yang menerapkan
model sekolah yang mengajarkan ilmu agama Islam maupun ilmu pengetahuan umum.
Sekolah tersebut dimulai dengan 8 orang siswa, yang belajar di ruang tamu rumah
Ahmad Dahlan yang berukuran 2,5 m x 6 m dan ia bertindak sendiri sebagai guru.
Keperluan belajar dipersiapkan sendiri oleh Ahmad Dahlan dengan memanfaatkan dua
buah meja miliknya sendiri. Sementara itu, dua buah bangku tempat duduk para siswa
dibuat sendiri oleh Ahmad Dahlan dari papan bekas kotak kain mori dan papan tulis
dibuat dari kayu suren.
Delapan orang siswa pertama itu merupakan santrinya yang masih setia, serta anak-
anak yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan Ahmad Dahlan. Pendirian
sekolah tersebut ternyata tidak mendapat sambutan yang baik dari masyarakat sekitarnya
kecuali beberapa orang pemuda. Pada tahap awal proses belajar mengajar belum berjalan
dengan lancar. Selain ada penolakan dan pemboikotan masyarakat sekitarnya, para siswa
yang hanya berjumlah 8 orang itu juga sering tidak masuk sekolah. Untuk mengatasi hal
tersebut, Ahmad Dahlan tidak segan-segan datang ke rumah para siswanya dan meminta
mereka masuk sekolah kembali, disamping ia terus mencari siswa baru. Seiring dengan
pertambahan jumlah siswa, Ahmad Dahlan juga menambah meja dan bangku satu per
satu sehingga setelah berlangsung enam bulan jumlah siswa menjadi 20orang.
Ketika pendirian sekolah tersebut dibicarakan dengan anggota dan pengurus Budi
Utomo serta para siswa dan guru Kweekschool Jetis, Ahmad Dahlan mendapat dukungan
yang besar. Di antara para pendukung itu adalah : Mas Raji yang menjadi siswa, R. Sosro
Sugondo, dan R.Budiarjo yang menjadi guru di Kweek school Jetis sangat membantu
Ahmad Dahlan mengembangkan sekolah tersebut sejak awal.
Sebagai realisasi dari dukungan Budi Utomo, organisasi ini menempatkan Kholil,
seorang guru di Gading untuk mengajar ilmu pengetahuan umum pada sore hari di
sekolah yang didirikan Ahmad Dahlan. Oleh sebab itu, para siswa masuk dua kali dalam
satu hari karena Ahmad Dahlan mengajar ilmu pengetahuan agama Islam pada pagi hari.
Walaupun masih mendapat tantangan dari beberapa pihak, jumlah siswa terus bertambah
sehingga Ahmad Dahlan harus memindahkan ruang belajar ke tempat yang lebih luas di
serambi rumahnya.
Akhirnya setelah proses belajar mengajar semakin teratur, sekolah yang didirikan
oleh Ahmad Dahlan itu diresmikan pada tanggal 1 Desember 1911 dan diberi nama
Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Ketika diresmikan, sekolah itu mempunyai 29
orang siswa dan enam bulan kemudian dilaporkan bahwa terdapat 62 orang siswa yang
belajar di sekolahitu. Sebagai lembaga pendidikan yang baru saja terbentuk, sekolah yang
didirikan oleh Ahmad Dahlan memerlukan perhatian lebih lanjut agar dapat terus
dikembangkan. Dalam kondisi seperti itu, pengalaman Ahmad Dahlan berorganisasi
dalam Budi Utomo dan Jamiat Khair menjadi suatu hal yang sangat penting bagi
munculnya ide dan pembentukan satu organisasi untuk mengelola sekolah tersebut, di
samping kondisi makro pada saat itu yang telah menimbulkan kesadaran akan arti penting
suatu organisasi modern maupun masukan yang di dapat dari para pendukung, termasuk
dari para murid Kweek school Jetis.
Seorang siswa kweekschool yang biasa datang ke rumah Ahmad Dahlan pada hari
Ahad, misalnya, menyarankan agar sekolah tersebut tidak hanya diurus oleh Ahmad
Dahlan sendiri melainkan dilakukan oleh suatu organisasi supaya sekolah itu dapat terus
berlangsung walaupun Ahmad Dahlan tidak lagi terlibat di dalamnya atau setelah ia
meninggal. Ide pembentukan organisasi itu kemudian didiskusikan lebih lanjut dengan
orang-orang yang selama ini telah mendukung pembentukan dan pelaksanaan sekolah di
Kauman, terutama para anggota dan pengurus Budi Utomo serta guru dan murid Kweek
school Jetis.
Dalam satu kesempatan untuk mendapatkan dukungan dalam rangka merealisasi ide
pembentukan sebuah organisasi, Ahmad Dahlan melakukan pembicaraan dengan
Budiharjo yang menjadi kepala sekolah di Kweek school Jetis dan R.Dwijosewoyo,
seorang aktivis Budi utomo yang sangat berpengaruh pada masa itu. Pembicaraan
tersebut tidak hanya terbatas pada upaya mencari dukungan, melainkan juga sudah
difokuskan pada persoalan nama, tujuan, tempat kedudukan, dan pengurus organisasi
yang akan dibentuk. Berdasarkan pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan didapatkan
beberapa ha1 yang berhubungan secara langsung dengan rencana pembentukan sebuah
organisasi.
Pertama, perlu didirikan sebuah organisasi baru di Yogyakarta. Kedua, para siswa
Kweekschool tetap akan mendukung Ahmad Dahlan, akan tetapi mereka tidak
akanmenjadi pengurus organisasi yang akan didirikan karena adanya larangan dari
inspektur kepala dan anjuran agar pengurus supaya diambil dari orang-orang yang sudah
dewasa. Ketiga, Budi Utomo akan membantu pendirian perkumpulan baru tersebut. Pada
bulan-bulan akhir tahun 1912 persiapan pembentukan sebuah perkumpulan baru itu
dilakukan dengan lebih intensif, melalui pertemuan-pertemuan yang secara ekplisit
membicarakan dan merumuskan masalah seperti nama dan tujuan perkumpulan, serta
peran Budi Utomo dalam proses formalitas yang berhubungan dengan pemerintah Hindia
Belanda.
Walaupun secara praktis organisasi yang akan dibentuk bertujuan untuk mengelola
sekolah yang telah dibentuk lebih dahulu, akan tetapi dalam pembicaraan-pembicaraan
yang dilakukan selanjutnya tujuan pembentukan organisasi itu berkembang lebih luas,
mencakup penyebaran dan pengajaran agama Islam secara umum serta aktivitas social
lainnya. Anggaran dasar organisasi ini dirumuskan dalam bahasa Belanda dan bahasa
Melayu, yang dalam penyusunannya mendapat bantuan dari R. Sosrosugondo, guru
bahasa Melayu di Kweek scbool Jetis.
Organisasi yang akan dibentuk itu diberi nama "Muhammadiyah", nama yang
berhubungan dengan nama nabi terakhir Muhammad SAW."' Berdasarkan nama itu
diharapkan bahwa setiap anggota Muhammadiyah dalam kehidupan beragama dan
bermasyarakat dapat menyesuaikan diri dengan pribadi Nabi Muhammad SAW dan
Muhammadiyah menjadi organisasi akhir zaman. Sementara itu, Ahmad Dahlan berhasil
mengumpulkan 6 orang dari Kampung Kauman, yaitu: Sarkawi, Abdulgani, Syuja, M.
Hisyam, M. Fakhruddin, dan M. Tamim untuk menjadi anggota Budi Utomo dalam
rangka mendapat dukungan formal Budi Utomo dalam proses permohonan pengakuan
dari Pemerintah Hindia Belanda terhadap pembentukan Muhammadiyah.
Pada saat yang sama, Muhammadiyah yang dibantu oleh Budi Utomo secara resmi
mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mengakui
Muhammadiyah sebagai suatu badan hukum. Menurut anggaran dasar yang
diajukankepada pemerintah pada waktu pendirian, Muhammadiyah merupakan organisasi
yang bertujuan menyebarkan pengajaran agama Nabi Muhammad SAW kepada
penduduk bumi putra di Jawa dan Madura serta memajukan pengetahuan agama para
anggotanya. Pada waktu itu terdapat 9 orang pengurus inti, yaitu: Ahmad Dahlan sebagai
kctua, Abdullah Sirat sebagai sekretaris, Ahmad, Abdul Rahman, Sarkawi, Muhammad,
Jaelani, Akis, dan Mohammad Fakih sebagai anggota. Sementara itu, para anggota hanya
dibatasi pada penduduk Jawa dan Madura yang beragama Islam.