Anda di halaman 1dari 159

Pendidikan Kemuhammadiyahan

BAB I
SEJARAH MUHAMMADIYAH

Kompetensi Dasar:
1. Agar mahasiswa dapat memahami latarbelakang berdirinya
Muhammadiyah
2. Agar mahasiswa mampu menganalisis dinamika perjalanan
Muhammadiyah dari masa ke masa
3. Agar mahasiswa menyadari peranan Muhammadiyah dalam konteks
dinamika ummat Islam dan bangsa Indonesia

A. Kondisi Masyarakat Indonesia pada awal abad ke-20


Sewaktu memasuki abad ke-20, Indonesia merupakan negara
yang terbelakang. Keterbelakangan ini bisa dibuktikan dengan
hancurnya berbagai tatanan kehidupan kenegaraan, ekonomi, sosial,
bahkan ideologi masyarakat muslim. Setelah runtuhnya kekuasaan-
kekuasaan monarkis di Nusantara, negera ini terbelenggu oleh
kolonialisme. Hampir seluruh aspek kehidupan terbelenggu oleh
berbagai praktik kolonialisasi yang merampas hak dan hajat hidup kaum
pribumi. Sejarah panjang kolonialisme itu berlangsung berabad-abad,
rakyat menderita, sebagian besar menderita kemiskinan, kebodohan,
dan keterbelakangan.
Rentang sejarah kolonialisme itulah umat Islam Indonesia turut
menanggung akibatnya. Sebagai entitas masyarakat mayoritas di
Nusantara, umat Islam pun menjadi obyek dan sasaran kolonialisasi
yang paling diperhitungakan, karena terbukti kerap menyulut
perlawanan rakyat secara terbuka dan bahkan besar-besaran. Di antara
peristiwa perlawanan dimaksud adalah pecahnya Perang Suci:
perlawanan umat Islam paling berdarah sepanjang sejarah yang
digerakkan dan dipelopori oleh barisan ulama Aceh. Tidak lepas berkait
dari itu, peristiwa penting yang menandai perlawanan umat Islam
terhadap kolonialisme Belanda sebelumnya juga terjadi secara berturut-
1
Pendidikan Kemuhammadiyahan
turut di berbagai belahan Nusantara, yakni Perang Padri di
Minangkabau yang dipelopori Imam Bonjol dan Haji Miskin (1821-1838),
Perang Sabil di Jawa yang dipelopori Pangeran Dipenogoro (1825-
1830), serta Pemberontakan Tjilegon di Banten yang dipelopori Hadji
Wasit dan Tubagus Hadji Ismail (1888).
Rentetan kecamuk perang itu meninggalkan warisan kerugian
materil dan personil serdadu yang sangat besar bagi Belanda, sekaligus
menyisakan tidak sedikit kekhawatiran yang kemudian secara perlahan
memaksa Belanda menerapkan strategi baru kolinialisasi kaum pribumi
yang dikenal dengan istilah Politik Etis. Era ini ditandai oleh hadirnya
misionaris Christiaan Snouck Hurgronje, seorang dan satu-satunya
orang –dalam sebuah tesis Alfian-- yang bertanggungjawab sebagai
arsitek Kebijakan Politik Islam.
Kebijakan demikian itu, sengaja diberlakukan Belanda untuk
menampilkan ‖dua wajah‖ baru kolonialisasi, dan pada saat yang sama
memerangi Islam di Indonesia dengan cara-cara yang tampak etis.
Yaitu, menguatkan gelombang westernisasi pendidikan dan budaya di
lapisan elite dan terpelajar, serta di lapisan ‖kedap perubahan‖ yang
dibentengi ulama tradisionalis, Belanda menggairahkan kembali tradisi
Hindu-Islam yang sudah berumur satu abad, dimana hal itu berakibat
langsung serta sekaligus memicu maraknya praktik takhayul, bid‘ah dan
khurafat (sebagai bentuk penyimpangan agama) di tengah-tengah
kehidupan umat Islam Indonesia.
Meskipun Belanda menuai hasil cukup gemilang dari proses
awal kebijakan Politik Etis, namun hasil pahit yang sebelumnya tidak
pernah diharapkan dari ekses proses kebijakan itu selanjutnya adalah
lahirnya benih-benih nasionalisme Indonesia modern. Benih-benih
nasionalisme modern (perlawanan melelaui pintu perdagangan dan
pendidikan) itu sudah mulai terasa melalui surat-surat Kartini dari
Jepara kepada Stella Zeehandelaar di Belanda pada kurun 1899-1903,
sampai kemudian gerakan nasionalisme versus Kolonialisme itu

2
Pendidikan Kemuhammadiyahan
berlanjut cukup terbuka sejak Budi Utomo berdiri 1908 dan memulai
sekolah Kweekschool di Jetis Yogyakarta.
Sekalipun demikian, tidak dapat dipungkiri, kebijakan liberal di
sektor ekonomi yang diberlakukan secara formal sejak tahun 1870, telah
memberi kesempatan yang demikian luas tidak hanya kepada
pemerintah kolonial, melainkan juga kepada pihak asing lainnya untuk
melakukan esksploitasi tanpa batas terhadap sumber-sumber ekonomi
di bumi Indonesia. Perkebunan dan pertambangan milik pemerintah
maupun perusahaan swasta asing bermunculan dari Sabang sampai
Merauke. Realitas ini berbeda dengan masa sebelumnya, dimana eks-
ploitasi hanya terkonsentrasi di sepanjang Pulau Jawa.
Sejalan dengan itu, merebaknya aktivitas berdasarkan sistem
pasar dan penggunaan uang sebagai standar transaksi, dengan
sendirinya menimbulkan komersialisasi dan monetisasi dalam
kehidupan ekonomi masyarakat secara umum. Perluasan infrastruktur
dan kesempatan ekonomi baru itu tentu saja mempunyai implikasi positif
terhadap ekonomi kaum pribumi, namun pada saat yang sama, tekanan
ekonomis terhadap bumiputra juga semakin kuat sebagai akibat dari
kenaikan biaya hidup, penarikan pajak tunai yang kian beragam, nilai riil
pendapatan yang rendah, maupun karena petani demikian teralienasi
dari tanah sebagai faktor produksi utama, sehingga tingkat hidup
mayoritas masyarakat semakin rendah.
Ada dual-economic system (dalam kajian Boeke) yang
akhirnya berlaku dalam perekonomian Indonesia di masa kolonial, di
satu sisi terdapat sebagian kecil kelompok sosial (terutama para
kapitalis Eropa) yang melakukan aktivitas ekonomi secara kapitalis dan
integral dengan pasar global, sementara di sisi lain terdapat sebagian
besar kelompok sosial (mayoritas pribumi) yang hidup dalam
subsistence economy. Yaitu, hidup secara pas-pasan hanya untuk
kebutuhan keseharian tanpa sentuhan pendidikan yang memadai,
sehingga terpaksa harus hidup bodoh dan terbelakang.

3
Pendidikan Kemuhammadiyahan
Fakta menunjukkan, dominasi kalangan Eropa dan elit feodal
pribumi dalam dunia pendidikan menyebabkan rakyat yang mayoritas
muslim tidak cukup terakomodasi dalam sistem pendidikan modern,
sementara kebekuan sistem pendidikan tradisional (pesantren) semakin
meninggalkan ketidakberdayaan di pusaran arus sosial yang semakin
jauh bergerak cepat ke arah modernisasi. Lebih menyedihkan,
kesadaran sebagai bangsa terjajah tidak banyak muncul di kalangan
masyarakat akibat pembodohan sistemik yang dilakukan pemerintah
kolonial. Elit feodal pribumi, bahkan, tidak banyak tergugah dan
tercerahkan.
Di tengah keterbelakangan mayoritas kaum pribumi itu, secara
tidak terduga muncullah sekelompok kecil masyarakat pribumi yang
perlahan bergerak sebagai pengusaha industri dan pedagang yang
kuat. Katakanlah mereka misalnya pengusaha industri batik, rokok,
kerajinan, pedagang perantara, dan pedagang keliling di daerah-daerah
seperti Pekalongan, Yogyakarta, Surakarta, Kudus, Pariaman,
Palembang, dan Banjarmasin. Kelompok ini adalah kelas menengah
pribumi dan merupakan sebagian kecil dari wiraswastawan pribumi yang
mampu bersaing pada tingkat lokal dengan para pengusaha dan
pedagang Eropa, Cina, Arab, dan India yang lebih dulu mendominasi
sektor-sektor ekonomi. Sebagian besar kelas menengah pengusaha
dan pedagang pribumi ini memiliki latar belakang agama Islam dan
ikatan sosial yang kuat, satu hal yang sebenarnya paradoks dengan
mayoritas pribumi yang umumnya Muslim.
Di Jawa, misalnya, mereka tinggal di kawasan tertentu seperti
daerah yang dikenal sebagai Kauman atau Sudagaran. Daerah ini dekat
dengan pusat perdagangan, dan karenanya sebagian besar warganya
berdagang atau menjadi pengusaha. Kondisi ekonomi mereka cukup
mapan dan memberi mereka kesempatan untuk bergaul secara lebih
kosmopolit, baik melalui ibadah haji ke Mekah, mengirimkan anak-anak
mereka ke berbagai pesantren atau lembaga pendidikan lain di
Indonesia maupun di luar negeri (seperti Saudi, Mesir, dan Eropa).

4
Pendidikan Kemuhammadiyahan
Dengan demikian, interaksi mereka dengan masyarakat dan bangsa
lebih luas berlangsung secara reguler dan berkesinambungan. Hal itu
berlangsung, tidak hanya dalam konteks ekonomi dan pendidikan,
melainkan juga dalam aspek sosial, kultural, dan politik. Interaksi
mereka terutama dengan masyarakat Muslim dunia (Timur Tengah),
termasuk dengan warga Indonesia yang sudah lama bermukim di
Mekah, membuka kesempatan masuknya unsur-unsur baru ke dalam
masyarakat Muslim di Indonesia.
Kiai Haji Ahmad Dahlan, satu di antara masyarakat kelas
menengah pribumi itu. Meskipun sosoknya, barangkali hanyal berupa
‖noktah kecil‖ dalam kancah sejarah Indonesia yang menjalani hidup
sekadar berdagang batik dan menjadi Khatib Amin di Masjid Agung
Kasultanan Ngayogyakarta. Namun ternyata, kehadiran dan kiprah Kiai
Haji Ahmad Dahlan tidak hanya setampak noktah kecil itu, melainkan
hadir dengan gagasan besar yang mencerahkan di tengah kemuraman
nasib bangsa yang masih meringkuk dalam belenggu kolonialisme.
Lewat kosmopolitanisme pergaulannya di jalur perdagangan,
perjalanan haji dan studinya di Mekah, Kiai Haji Ahmad Dahlan lantas
kerap terlibat dalam renungan-renungan serius, sampai akhirnya
berpikir keras untuk mengambil jalan baru perubahan sosial demi
tumbuh dan berkembangnya Islam berkemajuan: sebuah reaksi segar
untuk mengatasi keterbelakangan kaum pribumi, serta pembodohan dan
pemiskinan akibat kolonialisasi yang terus berlangsung secara sistemik.
Pikiran keras dan renungan serius itulah yang melahirkan gagasan-
gagasan besar, sampai akhirnya memicu kelahiran Muhammadiyah
pada tanggal 18 November 1912.

B. Faktor yang melatarbelakangi berdirinya Muhammadiyah


Memperhatikan paparan diatas, maka terdapat tiga factor utama
yang melatarbelakangi berdirinya Muhammadiyah: Pertama, politik,
yakni penjajahan Belanda yang menjadikan bangsa Indonesia
terbelakang secara ekonomi maupun social; kedua factor social, yakni

5
Pendidikan Kemuhammadiyahan
kebodohan dan kemiskinan yang melanda di seluruh nusantara; dan
ketiga factor kegamaan, yakni Islam tidak difahami dan diamalkan oleh
umat Islam sebagaimana mestinya. Faktor kedua dan ketiga
sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari factor pertama, penjajahan
Belanda yang memang berusaha menjadikan umat Islam terbelakang,
disamping itu juga banyak para tokoh Islam yang tidak mengajarkan
Islam secara utuh kepada masyarakat, demi kepentingan politik,
kekuasaan semata.
Junus Salam menegaskan, faktor-faktor yang menjadi
pendorong lahirnya Muhammadiyah antara lain:
1. Umat Islam tidak memegang teguh tuntunan Al-Quran dan Sunnah
Nabi, sehingga menyebabkan merajalelanya syirik, bid‘ah, dan
khurafat, yang mengakibatkan umat Islam tidak merupakan
golongan yang terhormat dalam masyarakat, demikian pula agama
Islam tidak memancarkan sinar kemurniannya lagi;
2. Ketiadaan persatuan dan kesatuan di antara umat Islam, akibat dari
tidak tegaknya ukhuwah Islamiyah serta ketiadaan suatu organisasi
yang kuat;
3. Kegagalan dari sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam
memprodusir kader-kader Islam, karena tidak lagi dapat memenuhi
tuntutan zaman;
4. Umat Islam kebanyakan hidup dalam alam fanatisme yang sempit,
bertaklid buta serta berpikir secara dogmatis, berada dalam
konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme;
5. dan Karena keinsyafan akan bahaya yang mengancam kehidupan
dan pengaruh agama Islam, serta berhubung dengan kegiatan misi
dan zending Kristen di Indonesia yang semakin menanamkan
pengaruhnya di kalangan rakyat (Junus Salam, 1968: 33).
Berdirinya Muhammadiyah adalah karena alasan-alasan dan
tujuan-tujuan sebagai berikut: (1) Membersihkan Islam di Indonesia dari
pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam; (2) Reformulasi doktrin
Islam dengan pandangan alam pikiran modern; (3) Reformulasi ajaran

6
Pendidikan Kemuhammadiyahan
dan pendidikan Islam; dan (4) Mempertahankan Islam dari pengaruh
dan serangan luar (H.A. Mukti Ali, dalam Sujarwanto & Haedar Nashir,
1990: 332).

C. Latarbelakang gerakan Muhammadiyah


Terdapat tiga hal yang melatarbelakangi Kiai Haji Ahmad
Dahlan mendirikan Muhammadiyah sebagai gerakan, yakni kondisi
internal umat Islam di Jawa; pengaruh eksternal, yakni pengalaman Kiai
Haji Ahmad Dahlan selama melaksanakan ibadah Haji dan menimbah
ilmu di Mekah, serta Politik Belanda terhadap umat Islam.

1. Kontinuitas dan Perubahan Dalam Islam di Jawa


Dimaksud dengan kontinuitas ialah kesinambungan suatu
unsur yang tidak henti-hentinya dia dalam kontek sejarah. Adapun
perubahan di sini ialah proses perubahan dari heterodox ke ortodox.
Dua unsur ini terjadi dalam pcristiwa sejarah Islam di Jawa, di mana
unsur pertama telah membuktikan peranannya dalam menentukan
persepsi keislaman bagi pemeluknya dan karenanya berarti bahwa
Islam sebagai suatu ajaran agama dipahami bukan dalam
bentuknya yang asli. Unsur kedua merupakan masalah yang pokok
karena di sini dipandang adanya langkah koreksi terhadap
kenyataan pemahaman dari praktek keagamaan kini, ke arah usaha
pemurnian.
Unsur-unsur luar sebagai faktor penting dalam perubahan
tersebut. Semua ini hendaknya dipandang sebagai refleksi dan
prinsip-prisip ajaran Islam tentang ide terbentuknya suatu umat
tanpa membedakan bangsa, ras dan negara. Sehingga
mewujudkan satu sistem peribadatan yang murni yang bersih dari
pengaruh-pengaruh peribadatan dan penyembahan dari tradisi
nasional atau suatu bangsa tertentu. Pikiran-pikiran tersebui
menguatkan asumsi bahwa orang Jslam Indonesia memiliki rasa

7
Pendidikan Kemuhammadiyahan
nasionalisme yang tipis atau bahkan mungkin tidak sama sekali
(Ach. Jainuri, 1993:4-10).

2. Pengaruh Timur Tengah


Pikiran-pikiran pembaharuan yang ada pada awal abad ke-
19 merupakan dorongan timbulnya serentetan kebangkitan Islam di
seluruh dunia. Dalam hal ini Mukti Ali mengklasifikasikan pikiran-
pikiran tersebut menjadi tiga masalah pokok yang dipersoalkan
dalam rangka perkembangan Islam di Indonesia, yaitu: (1) pimpinan
yang berwibawa (leadership) untuk memimpin serombongan
manusia guna mencapai suatu tujuan, (2) cita-cita yang jelas (ide
yang ideal), dan (3) harus ada organisasi yang dipergunakan untuk
mcmperjuangkan ide itu. Organisasi Islam yang ada tampaknya
kurang efektif, inilah sebabnya cila-cita yang ada tidak bisa
diperjuangkan melalui organisasi yang demikian (A. Mukti Ali, 1971:
6) .
Gerakan-gerakan Islam yang bernula dari awal abad ke-19
hlngga abad ke-20, pada dasainya berpangkal pada pola pemikiran
di atas, meskipun pada mulanya kurang begitu nampak. Tetapi
dalam perkcmbangan selanjutnya hal itu nampak jelas dengan
digunakannya organisasi sebagai alat gerakannya. Timbulnya
gerakan-gerakan tersebut adalah karena faklor luar. Dalam hal ini
dominasi pengaruh Timur Tengah sebagai faktor penentu - baik
secara langsung maupun tidak langsung - terhadap gerakan
reformis Islam di Indonesia, merupakan pokok pembahasan dalam
sub ini.

3. Politik Islam Belanda


Sepanjang sejarah penjajahan, ideologi Islam ternyata
merupakan kekuatan yang besar sekali clalam mengadakan
perlawanan terhadap kekuasaan asing. Meluasnya pergolakan
merupakan ancaman yang serius bagi pemerintah kolonial. Dalam

8
Pendidikan Kemuhammadiyahan
abad ke-19 gerakan yang muncul sering menggunakan panji-panji
Islam dengan menggunakan ide perang jihad. Dalam artian
demikian, Benda mengklasifisir seperti perang Banten pada
pertengahan abad ke-l8, perang Cirebon (1802-1806), dan terutama
perang Jawa (1825-1830) di mana Pangeran Diponegoto
mengadakan perlawanan dengan menggunakan panji-panji Islam.
Di Sumatra Belanda memihak kepada tokoh-tokoh kaum adat
Minangkabau untuk menentang kekuatan Ulama dalam Perang
Padri (1821-1838), Kesulitan yang paling serius adalah dalam
menghadapi Aceh yang merupakan daerah paling orthodok dan
keras di Indonesia, di mana Belanda mengalami kesulitan dengan
berlarut-larutnya perang yang terjadi pada tahun 1872-1908. Ide-ide
agama terutama sekali ide perang jihad, ternyatam memberikan
dukungan yang bcsar terhadap gerakan-gerakan petani. Gerakan
tersebut seperti: peristiwa Ciiegon (1888); peristiwa Gedangan
(1904) dengan dipimpin Kasan Mukmin; demikian pula seperti
peristiwa Darmadjaja di Nganjuk (1907)r Pada saat-saat itu
terjadilah mobilisasi massa petani secara cepat dan luar biasa.
Gerakan-gerakan tersebut merupakan gerakan lokal dan spontan
dan cenderung untuk menyatakan sebagai gerakan Ratu Adil.
Gerakan-gerakan tersebut semuanya dipimpin oJeh pemuka Islam
dan dijiwai ideologi Islam.
Kecemasan Belanda terhadap Islam, terutama muslim
fanatik yang mempunyai hubungan dengan dunia internasional -
termasuk bahaya permiataan bantuan kepada negara Islam di luar
negeri - dan ketaatannya terhadap hukum Islam di dalam
kehidupannya, menjadikan Islam kemudian muncul sebagai musuh
yang hebat. Ketakutan-ketakutan ini kemudian mendorong
pemerintah kolonial di dalam membentuk suatu politik aliansi
dengan unsur-unsur masyatakat yang ada di Indonesia. Sebaliknya
dalam abad ke-I9, bahwa orang Belanda yang berada di Nederland
maupun yang berada di Hindia Belanda, mempunyai harapan yang

9
Pendidikan Kemuhammadiyahan
besar sekali untuk dapat mengusir pengaruh Islam dengan
cepatnya Kristenisasi terhadap manyoritas bangsa Indonesia. Dan
orang-orang Barat yakin akan superioritas Kristen atas Islam.
Seperti diketahui, hahwa pemerintah Belanda pada waktu itu berada
dalam tekanan dari partai-partai agama yang ada di parlemen1.
Mereka menuntut supaya Hindia Belanda dibuka untuk kegiatan
missi baik Roma Katholik maupun Protestan untuk sama-sama
operasi di Indonesia. Demikian pula dukungan material pemerintah
kolonial terhadap kegiatan yang demikian itu. Mereka juga menuntut
atas kedudukan legal agama di rnana orang-orang Kristen bisa
diatur dengan undang-undangnya sendiri. Seperti dibuktiksn
kemudian bahwa harapan akan mudahnya sinkretis Islam Indonesia
memeluk Krislen adalah merupakan anggapan yang keliru.
Meskipun besar bantuan yang telah diberikam pemerintah, ternyata
kristenisasi berjalan sangat lamban sekali dan bahkan pada daerah-
daerah yang belum dimasuki Islam sekalipun. Di sinilah nampak
bahwa sesungguhnya sikap Belanda menghadapi Islam di
Indonesia merupakan suatu kombinasi yang berlawanan dari rasa
takut yang sedemikian rupa dan harapan yang terlalu besar.
Semuanya sebagai akibat dari kurangnya pengetahuan yang cukup,
kalau tidak sama sekali.
Karenanya Snouck tidak membenarkan akan harapan yang
terlalu optimis bagi mereka itu untuk memeluk agama Kristen.
Malahan mereka merasakan bahwa Islamisasi akan berLaagsung
terus - baik segi kualitas maupun segi kuantitasnya - dengan
adanya Pax Nerlandica. Juga ia menegaskan apabila ideologi Islam
disebarkan sebagai doktrin poliiik yang digunakan untuk membuat
agitasi terhadap pemerintahan asing sebagai pemerintahan kafir
sehingga orang meragukan atau mengingkari Iegalitas pemerintah
Belanda, maka di sini ada bahaya bahwa fanatisme agama akan
1
Ada tiga partai, yaitu Partai Roma Katholik, Partai Anti Revolusioner dan Partai
Kristen Historis (Sartono Kartodirdjo, 1967: XXV)
10
Pendidikan Kemuhammadiyahan
menggcrakkan rakyal untuk menghapuskan pemerintahan colonial
(Sartono Kartodirdjo: 75).
Gagasan Snouck Hurgronje tidaklah terlepas dari jiwa
zaman yang penuh dengan pemikiran tentang humanisme.
Kewajiban memperhatikan nasib rakyat pribumi (etis), sebagaimana
assosiasi (persekutuan) pada umumnya adalah merupakan
gagasan yang bersifat paternalis (bapa pelindung) yang tidak
disadari babwa hal itu akan sia-sia. Demikian pula gagasan politik
Islam Snouck, meskipun secara resmi tetap merupakan pegangan
pemerintah Hindia Belanda, tetapi sejarah memperlihatkan betapa
tidak mungkinnya menghadapi Islam dengan titik tolak pemikiran
demikian. Di sinilah sejak ia meninggalkan Indonesia, Islam
mengalami perubahan diluar dugaan Snouck. Pemerintah
dihadapkan pad a alternatif, bukan saja antara adat dan agama atau
antara pendukung nilai-nilai tradisional dengan elite berpendidikan
Barat, tetapi juga antara Islam tradisional dan reformis (Achmad
Jainuri, 1993: 24-23).

D. Sejarah Berdirinya Muhammadiyah


1. Peran KH. Ahmad Dahlan
a. Riwayat Hidupnya
Ahmad Dahlan yang waktu mudanya bernama
Muhammad Darwis, lahir pada tahun 1235 H (1868 M) di
Kampung Kauman Yogyakarta. Ayahnya seorang alim bernama
Kiai Haji Abubakar bin Kiai Haji Sulaiman, pejabat khatib di
mesjid besar Kesultanan Yogyakarta. Ibunya adalah putri Haji
Ibrahim bin Kiai Haji Hassan, pejabat penghulu Kesultanan.2

2
Di antara saudara-saudaranya adalah: Nyai Haji Saleh, Nyai Haji
Muhammad Fakih (Ibu KH. Baidawi dan Nyai Haji Muhammad Nur
(Solichin Salam, K.H. Ahmad Dahlan:, 1962: 5-6).
11
Pendidikan Kemuhammadiyahan
Melihat garis keturunan ini maka ia adalah anak orang yang
berada dan berkedudukan baik dalam masyarakat.
Solichin Salam melengkapi silsilah Ahmad Dahlan
dengan mengutip dari buku silsilah milik eyang Abdul Rahman,
Ploso Kuning menyebutkan sebagai berikut: Muhamnud Darwis
(Ahmad Dahlan) bin Kiai Haji Abubakar bin Kiai Haji Muhammad
Sulaiman bin Kiai Murtadla bin Kiai Ilyas bin Demang Djurang
Djuru Kapindo bin Demang Djurang Djuru Sapisan bin Maulana
Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Ainul Yakin bin
Maulana Iskak bin Maulana Malik Ibrahim Waliyullah (Solichin
Salam, 1062: 146).
Selanjutnya dalam buku yang lain Solichin Salam
menerangkan bahwa Ahmad Dahlan pernah kawin dengan Nyai
Abdullah, janda dari Haji Abdullah. Pernah juga kawin dengan
Nyai Rum (bibi Prof. Ahdul Kahar Muzakir) adiknya K. Munawir
Krapyak (Yogya). Dengan ibu Nyai Aisyah (adik ajengan
penghulu) Cianjur, dan konon ia juga pernah kawin dengan Nyai
Solichah puteri Kanjeng Penghulu M. Syafii, adiknya Kiai Jasin
Pakualaman Yogja. Dan terakhir kawin dengan ibu Walidah binti
Kiai Penghulu Haji Fadhil (terkenal dengan Nyai Ahmad Dahlan)
yang mendampinginya hingga ia meninggal (Solichin Salam,
1062 :7-8).
Dengan ibu Walidah ini Ahmad Dahlan memperoleh
keturunan di antaranya adalan: Djohanah (istri pertama Haji Hilal,
yang mempunyai anak Wahban Hilal), Haji Siradj Dahlan
(Direktur Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta,
meninggal pada tahun 1948), Siti Busro (Istri H. Isom Dja'far), Siti
Aisyah (istri kedua Haji Hilal setelah Djohanah meninggal dunia,
terkenal dengan Aisyah Hilal), Zuharah (istri Haji Masykur

12
Pendidikan Kemuhammadiyahan
Banjarmasin), dan Irfan Dahlan.3 KH Ahmad Dahlan meninggal
pada tanggal 23 Pebruari 1923 M (7 Rajab 1340 H) di Kauman
Yogyakarta dalam usia 55 tahun.

b. Pendidikannya
Semasa kecilnya Ahmad Dahlan tidak pergi ke sekolah.
Hal ini karena sikap orang- orang Islam pada waktu itu yang
melarang anak-anaknya memasuki sekolah Gubernemen. Tetapi
sebagai gantinya Ahmad Dahlan diasuh serta dididik mengaji
oleh ayahnya sendiri. Dan kemudian ia meneruskan pelajaran
mengaji tafsir dan hadith serta bahasa Arab dan fikih kepada
beberapa ulama lain di Yogyakarta dan sekitarnya. Dengan
bantuam kakaknya (Nyai Haji Saleh), maka pada tahun 1890 ia
pergi ke Mekah dan belajar selama satu tahun. Dan sekitar tahun
1903 sekali lagi ia mengunjungi tanah suci di mana ia tinggal
selama dua tahun dan belajar pada Syekh Ahmad Chatib.
Selama waktu tersebut ia menuntut ilmu agama Islam seperti
tafsir, tauhid, fikih, tasawuf, ilmu falak dan sebagainya. Di antara
ilmu-ilmu lersebut yang paling digemari dan menarik hatinya
ialah Tafsir Al-Manar karangan Muhammad Abduh. Tafsir ini
memberikan cahaya terang dalam hatinya serta membuka
akalnya untuk berpikir jauh kedepan tentang keadaan Islam di
Indonesia.
Di antara guru-guruya di Jawa ialah Kiai Haji Muhammad
Nur (kakak iparnya), Kiai Haji Said, R. Ng. Sosrosugondo (ayah
lr. Suratin), R. Wedana Dwidjosewajo. Dalam ilmu falak ia pernah
belajar pada Kiai Haji Dahlan Semarang, menantu Kiai Darat
Semarang, dan kepada Syekh M. Djamjil Djambek.

3
Irfan Dahlan ini kemudian bergabung dalam gerakan Ahmadiyah
Kadian ( AK Pringgodigdo, 1977:. 95).
13
Pendidikan Kemuhammadiyahan
c. Kepribadiannya
Sikap dan pribadi Ahmad Dahlan merupakan dasar yang
kuat dalam membantu mewujudkan gagasan-gagasan
pembaharuannya. la adalah seorang yang keras kemauan,
pribadinya mencerminkan sebagai seorang yang sungguh-
sungguh dan tak mengenal lelah dalam merealisir cita-cita. Hal
ini nampak seperti apa yang dikatakannya:
Saja mesti bekerdja keras, untuk meletakkan batu pertama
daripada amal jang besar ini. Kalau sekiranja saja lambatkan
atau saja hentikan lantaran sakitku ini maka tidak ada orang jang
sanggup meletakkan dasar itu. Saja sudah merasa bahwa umur
saja tidak akan lama lagi. Maka djika saja kerdjakan selekas
mungkin, maka jang tinggal sedikit itu, mudahlah jang di
belakang nanti untuk menyempurnakannja.

Disamping itu keberaniannya dalam bertindak telah


dibuktikan dengan usaha-usaha yang ia lakukan meskipun
mendapat kecaman dari masyarakat umumnya. Oleh Djarnawi
dikatakan, pernah suatu ketika ia mendapat ancaman berupa
surat kaleng, yang isinya akan membunuhnya jika ia
berkehendak memberikan ceramah agama di Banyuwangi.
Ancaman terscbut ternyata diabaikannya. Dengan penjagaan
yang ketat ia memberikan ceramah agama Islam dan masalah-
masalah organsasi Muhammadiyah di Banyuwangi. Selain itu ia
adalah orang yang bersifat sabar, ikhlas dan gemar beramal.
Sebagaimana dibuktikan waktu mendirikan Standard School
(Sekolah Dasar) mengalami kekurangan biaya, ia mengikhlaskan
barang-barang rumah tangganya untuk dijual guna meneruskan
pembiayaan pembangunan gedung tersebut.

d. Riwayat Perjuangannya

14
Pendidikan Kemuhammadiyahan
Kesempatan yang baik ketika ia dapat bertukar pikiran
langsung dengan Rasyid Ridla yang diperkenalkan K.H Bakir
sewaktu ia berada di Mekah, ide reformasi meresap di hatinya.
Dan dengan dasar ilmu-ilmu yang telah dipeiolehnya, demikian
pula pengalaman keagamaan yang ia alami selama di Mekah,
mendorong ia melakukan perubahan-perubahan yang berarti
dalam kehidupan keagamaan kaum muslimin di tanah airnya.
Di sini sebelum ia mendirikan Muhammadiyah, dan
dengan dasar ilmu falak yang telah diperolehnya, mulailah ia
berusaha membetulkan arah masjid, di mana umumnya masjid-
masjid di Jawa sama menghadap lurus ke barat, termasuk
masjid Agung Yogyakarta. Untuk melaksanakan maksud
tersebut Ahmad Dahlan terbentur pada tingkatan jabatan yang
ada, diatasnya ada jabatan Kepala Penghulu kerajaan
Yogyakarta, yang pada waktu itu dijabat oleh Kiai Haji
Muhammad Chalil Kamaluddiningrat, dan melalui dia ini adalah
suatu hal yang tidak mungkin. Terbukti niatan KH. Ahmad
Dahlan tersebut setelah disampaikan kepada penghulu dan
dibahas dalam forum kiai ternyata di tolak. Perdebatan antara
KH. Ahmad Dahlan dan para kiai tentang arah kiblat tersebut
ternyata diketahui oleh para santri dan pemuda masjid Agung.
Para santri dan pemuda ini yakin yang disampaikan oleh KH.
Ahmad Dahlan benar, sehingga secara diam-diam, diantara para
pemuda masjid Agung, pada suatu malam membetulkan arah
kiblat di Masjid Agung, dibuatlah garis putih pada setiap shaf.
Baru pagi hari, sewaktu hendak shalat subuh penghulu tahu
perubahan garis shaf tersebut, beliau langsung marah dan
menuduh santri KH. Ahmad Dahlan yang melakukan. Di luar
dugaan, yang melakukan ternyata keponakan penghulu sendiri.
Sekalipun demikian, amarah penghulu terhadap KH. Ahmad
Dahlan tetap memuncak. Sejak peristiwa itu maka hubungan
antara Kepala Penghulu dengan Khatib Amin menjadi kurang

15
Pendidikan Kemuhammadiyahan
baik. Suasana demikian tambah buruk lagi tatkala Ahmad
Dahlan membangun langgar dengan arah kiblat yang benar,
dimana pada waktu itu dianggap menyimpang daripada
umumnya masjid-masjid di Yogyakarta. Tindakan ini sekali lagi
menimbulkan amarah Penghulu, akhirnya K. Haji
Kamaluddiningrat memerintahkan untuk merusak langgar
tersebut. KH. Ahmad Dahlan kemudian bermaksud
meninggalkan kotanya bersama-sama Nyai Dahlan, tetapi hal itu
dapat dicegah oleh kakak iparnya (Kiai Saleh) dengan
menjanjikan akan membangun sebuah langgar yang baru
dengan jaminan bahwa dia dapat mengajar dan beribadat
menurut keyakinannya.
Ahmad Dahlan adalah salah seorang di antara tokoh-
tokoh pembaharu dalam rangka kebangkitan dunia Islam. Cita-
cita pembaharuannya tidak jauh berbeda dengan Jamaluddin Al-
Afgani (1838-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), Rasyid
Ridla (1856-1935) di Mesir. Ahmad Khan (1817-1898), Ameer Ali
(1849-1928) dan Muhammad Iqbal (1873-1938) di India. Di
dalam semangat kebangunan Nasional ia adaluh salah seorang
pelopor di antara Ahmad Al-Surkati (Al-Irsyad), H. Samanhudi
dan HOS Cokroaminoto (Serekat Islam), Wahidin Smiirohusodo
dan Sutamo (Budi Utnmo), Ki Hajar Dewantara (Taman Siswa)
dan lain-lain.

2. Dinamika Sejarah Muhammadiyah


a. Fase Pemulaan (1908 -1913)
Masa dasar berdirinya Muhammadiyah bersamaan dengan mulai
bangkitnya gerakan Nasional bangsa Indonesia yang menjelma
dalam bentuk-bentuk keorganisasian yang nyata. Dalam masa ini
usaha-usaha KH Ahmad Dahlan dipandang sebagai suatu hal yang
penting dalam mempersiapkan berdirinya Muhammadiyah, demikian
juga dalam masa-masa awal setelah organisasi ini berdiri.

16
Pendidikan Kemuhammadiyahan
Adapun tokoh-tokoh pertama yang menjadi pengurus Pimpinan
Pusat Muhammadiyah adalah:
1. Haji Ahmad Dahhn (Ketib Amin)
2. Abdullah Siradj (Penghulu)
3. Haji Ahmad (Ketib Cendana)
4. Haji Abdurrahman
5. R, Hadji Sarkawi
6. H. Muhammad (Kebayan)
7. R.H. Djaelani
8. Haji Anis
9. Haji Muhammad Pakih (Carik).

Setelah Muhammadiyah berdiri, KH Ahmad Dahlan mengajukan


surat permintaan Recht Persoon (Badan Hukum) kepada Gubernur
Jenderal Belanda di Jakarta. Dan permintaan itu baru dikabulkan
pada tanggal 22 Agustus 1914 dengan surat ketetapan
Gouvernement Besluit No. 81 tertanggal 22 Agustus 1914. Izin
tersebut hanya berlaku untuk daerah (kota) Yogyakarta, dan berlaku
selama 29 tahun.

b. Fase Kaderisasi (1913-1917)


Jika diteliti, usaha Ahmad Dahlan untuk
mempersiapkan kader sebenarnya sudah dilakukan sebelum ia
mendirikan Muhammadiyah. Pada masa ini ia berusaha
mencari dukungan guna merealisir cila-citanya untuk
membentuk suatu organisasi. Karenanya usaha-usaha itu lebih
bersifat companies (mencari teman). Tetapi pada saat setelah
didirikannya Muhammadiyah, sifat itu ditekankan pada usaha
unluk mencari bibit-bibit baru yang dapat mewarisi ide-idenya
dan mengembangknn organisasi yang telah ia dirikan. Untuk
mcncapai keinginan itu ia tempuh melalui pendidikan dan
pengajian-pengajian.

17
Pendidikan Kemuhammadiyahan
Sementara itu usaha-usaha pengkaderan juga
dilakukan melalui lapangan pendidikan. Di sini pada waktu
menjelang didirikannya Muhammadiyah, Ahmad Dahlan lebih
dahulu mendirikan sekolah rakyat yang murid-muridnya terdiri
dari laki-laki dan wanita. Setelah Mahammadiyah berdiri ia
mendirikan juga Standard School di Suronatan, dan pada saat
itu mulai diadakan pemisahan, di mana murid laki-Laki
ditempatkan di Standard School Suronatan, sedang sekolah
rakyat Kauman dikhususkan unluk wanita, sampai sekarang
terkenal dengan Pawiyatan Wanita Muhammadiyah Kauman.
Di antara murid-murid wanita tersebut adalah: Aisyah Hilal,
Busm Jspm, Zahro Muchsin, Wadiah Nuh, Dalalah Hisyam dan
Badilali Zuber. Mereka ini adalah icrmaiuk kelompok para kader
yang dibtna Ahmad Dahlan yang ktmudkm terkenal dengan
gccakari Aisyiyah.
Di kota Yogyakarta diadakan jemaah-jemaah pengajian
dan perkumpulan-perkumpulan yang menjalankan kepentingan-
kepentingan Islam seperti: Ikhwanul Muslimin, Cahaya Muda,
Taqwimuddin. Hambudi Suci, Hayatul Oulub, Priyo Utomo,
Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul Aba, Taawanu
Alal Birri, Ta'rifu Bima Kana, Wal Fajri, Wal Asri, Jamiyatul
Ummahat, Syamsiyatul Muslimat, Syarikatul Mubtadi dan lain-
lain. Di dacrah-daerah di luar Yogyakarta seperti: Nurul Islam
(Pekalongan), Al-Munir dan Siratul Mustaqim (Makasar), AI-
Hidayah (Garut), Siddiq Amanah Tabligh Fathanah (Sala)
(Departemen Penerangan: 56-57).
Usaha-usaha Ahmad Dahlan di atas jelas merupakan
hal yang besar dalam rangka kaderisasi. Pembinaan melalui
perkumpulan-perkumpulan dan kelompok-kelompok pengajian
ternyata merupakan andil yang besar terhadap proses
perkembangan Muhammadiyah di tempat-tempat dan daerah -
daerah yang bersangkutan. Hal ini jelas sekali ketika semua

18
Pendidikan Kemuhammadiyahan
perkumpulan tersebut akhirnya bergabung dengan
Muhammadiyah menjadi cabang dan ranting atau menjadi
bagian dan urusan dalam Muhammadiyah.

c. Masa Perkembangan
Dalam masa perkembangan ini beberapa hal yang dapat
dilihat adalah meluasnya pengaruh gerakan Muhammadiyah ke
daerah-daerah lain di luar Yogyakarla, yang kemudian diikuti
dengan berdirinya cabang dan ranting di daerah-daerah tersebut.
Perkembangan ini diikuiti pula dengan munculnya bagian-bagian
lain atau badan-badan otonom dalam gerakan Muhammadiyah.
Pada tahun 1917 daerah operasi Muhammadiyah mulai
meluas di luar daerah Yogyakarta, dan beberapa daerah
menghendaki agar didirikan cabang-cabang. Untuk memenuhi
permintaan ini, maka Maksud dan Tujuan gerakan sebagaimana
tercantum dalam anggaran dasar yang semula menetapkan
daerah aktivitas organisasi hanya di Yogyakarta untuk pertama
kali harus diubah. Untuk maksud ini Ahmad Dahlan mengajukan
permohonan izin bagi cabang dan ranting di seluruh daerah
Jawa, yang dikabulkan dengan besluit Pemerintah Hindia
Belanda No. 40 tanggal 16 Agustus 1920. Kemudian tangal 7
Mei 1921 menyusul permohonan izin untuk seluruh Indonesia,
.dan dikabulkan dengan keluarnya Gouvcrnement Besluit No 38
tanggal 2 September 1921.
Deliar Noer menyebut bahwa tahun 1920 adalah tahun
perkembangan Muhammadiyah di luar Yogyakarta. Pada saat itu
kebanyakan orang Indonesia merasakan faedahnya kesatuan
melalui bentuk organisasi. Di beberapa daerah tidak bisa
dilepaskan akan peranan para pedagang Minangkabau dalam
memperkembangkan Muhammad iyah ini. Perkumpulan Nurut
Islam di Pekalongan yang kemudian mcnjadi cabang adalah atas
prakarsa para pedagang ini. Demikian juga Surabaya, yang

19
Pendidikan Kemuhammadiyahan
telah menjadi tempat propaganda ide dari seorang pedagang
bernama Fakih Hasyim (Deliar Noer: 76).
Menurut Abdullah, dalam usahanya, pertolongan PKU itu
berpangkal pada tiga macam yakni;
1. Memberikan pertolongan orang-orang fakir-miskin yang terlantar
hidupnya dengan mendirikan rumah untuk tempat tinggal selama
dalam kemiskinannya.
2. Mendirikan rumah anak yatim yang terlantar dengan memberikan
makan dan pakaian. pengajaran, baik mengenai pengetahuan
umum maupun agama dan budi pekerti.
3. Memberikan pertolongan bagi orang yang sakit, yang terlantar
dengan mendirikan rumah sakit, balai kesehatan.
Pada tahun 1921 Haji Sujak dan Muljadi Djojomartono
mengadakan gerakan untuk membeli kapal haji sendiri. Hal ini
dilakukan karena cara-cara pemerintah Hindia Belanda dalam
menyelenggarakan perjalanan haji dipandang sangat tidak
memuaskan oleh Muhammadiyah. Namun usaha mereka itu gagal,
karena adanya ordonansi pemerintah Belanda, yang tidak
memungkinkan dibclinya kapat oleh maskapai anak negeri. Selain
itu PKU juga mempelopori dan merintis usaha-usaha menerima
dan memberikan zakat, menerima dan menyalurkan hewan qurban,,
menyelenggarakan khitanan missal, mengadakan dan menyiapkan
kcbutuhan kematian, sepcrti mengumpulkan dana kematian,
menyediakan kain kafan, mempersiapkan tenaga yang siap
memandikan jenazah dan lain sebagainya. Pada tahud 1921
bersama dengan organisasi sosial lain memberikan bantuan kepada
korban kcbakaran di Yogyakarta, dan dengan dipelopuri H. Sujak
didirikanlah rumah sakit di Yogyakarta. Pada tahun 1922 PKU
mendirikan rumah yatim untuk yang pertama kali, kemudian diikuti
oleh warga Muhammadiyah di Malang dan Sala. Di Surabaya baru
tahun 1924 didirikan PKU dan beberapa bulan setelah itu, 14
Desember 1924, didirikan Balai Kesehatan.

20
Pendidikan Kemuhammadiyahan
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Jainuri, Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam, Surabaya: Bina


Ilmu, 1993.

AK Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakya Indonesia, Jakarta: Dian


Rakyat, 1977.

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam 1900-1942

Mustafa Kamal Pasha, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam (dalam


Perspektif Historis dan Ideologis),tt.
Solichin Salam, ―Riwayat KH Achmad Dahlan" Muhammadiyah Setengah
Abad, Jakarta: Departemen Penerangan, 1062
-------------------, K.H. Ahmad Dahlan: Tjita-tjita dan Perjuangannya, Jakarta:
Depot Pengadjaran Muhammadiyah, 1962.
http://www.muhammadiyah.or.id
http://www.suara-muhammadiyah.or.id

21
Pendidikan Kemuhammadiyahan
BAB II
IDEOLOGI GERAKAN MUHAMMADIYAH

Kompetendi Dasar
1. Mahasiswa dapat memahami pengertian Ideologi Gerakan Muhammadiyah
serta fungsinya
2. Mahasiswa mampu menganalisis sumber Ideologi Gerakan Muhammadiyah
3. Mahasiswa menyadari peranan Ideologi gerakan Muhammadiyah dalam
konteks dinamika ummat Islam dan bangsa Indonesia

A. PENGERTIAN DAN FUNGSI IDEOLOGI MUHAMMADIYAH


Sebagai gerakan sosial keagamaan, Muhammadiyah, yang didirikan
oleh K.H. Ahmad Dahlan pada 8 Dzulhijjah 1330 atau 18 Nopember 1912 di
Yogyakarta, memiliki sistem keyakinan dan pemikiran yang menjelaskan cita-
cita atau tujuan yang hendak diwujudkan dan tindakan-tindakan yang
dilakukan untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Sistem keyakian dan
pemikiran tersebut dapat disebut sebagai ―ideologi.‖ Dengan pengertian lain,
ideologi merupakan sistem pemikiran yang berusaha menjelaskan dunia dan
cara-cara mengatasi dan mengubahnya. Ideologi mengandung beberapa
unsur pokok, antara lain: pandangan yang menyeluruh tentang manusia,
dunia dan alam semesta; rencana penataan sosial-politik berdasarkan
pandangan tersebut; kesadaran dalam bentuk perjuangan melakukan
perubahan berdasarkan paham yang dianut; usaha mengarahkan masyarakat
untuk menerima pandangan tersebut memalui loyalitas dan keterlibatan
pengikutnya; dan menggerakkan para kader dan pengikut untuk mendukung
pandangan ideologi tersebut.4

Dalam dokumen resmi Muhammadiyah yang berjudul ―Rumusan


Pokok-Pokok Persoalan tentang Ideologi Keyakinan Hidup Muhammadiyah‖
disebutkan bahwa ideologi adalah ―ajaran atau ilmu pengetahuan yang

4
Lihat “Revitalisasi Ideologi Muhammadiyah: Konsolidasi Bidang Cita-cita dan
Keyakinan Hidup,” dalam Manhaj Gerakan Muhammadiyah: Ideologi, Khittah,
dan Langkah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah dan Majelis Pendidikan
Kader PP Muhammadiyah, 2010), 253-254.
22
Pendidikan Kemuhammadiyahan
secara sistematis dan menyeluruh membahas mengenai gagasan, cara-cara,
angan-angan atau gambaran dalam pikiran, untuk mendapatkan keyakinan
mengenai hidup dan kehidupan yang benar dan tepat.‖ Ideologi juga
merupakan keyakinan hidup yang mencakup pandangan hidup, tujuan hidup,
ajaran dan cara yang dipergunakan untuk melaksanakan pandangan hidup
dalam mencapai tujuan hidup tersebut.5 Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa
ideologi Muhammadiyah adalah sistem keyakinan, cita-cita, dan perjuangan
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dalam mewujudkan masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya,‖ yang meliputi paham agama dalam
Muhammadiyah, hakikat Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, dan misi,
fungsi dan strategi perjuangan Muhammadiyah.6

Dengan demikian, ideologi Muhammadiyah mengandung berbagai


rumusan yang bersifat tentatif dan berfungsi untuk menjelaskan pandangan
Muhammadiyah tentang realitas dunia, mengatasi masalah-masalah yang
dihadapi, dan melakukan evaluasi terhadap kondisi sosial yang hendak
diubah. Demikian pula, ideologi dapat berfungsi sebagai alat untuk
mempertahankan diri dari ancaman atau tantangan yang berasal dari luar.
Agama Islam sebagai sumber keyakinan yang sangat esensial dalam sistem
keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah.

B. SUMBER IDEOLOGI MUHAMMADIYAH


Ideologi Muhammadiyah bersumber dari pemikiran pendiri dan
tokoh-tokoh generasi awal Muhammadiyah, seperti K.H. Ahmad Dahlan, K.H.
Mas Mansur, dan lain-lainnya. Pemikiran yang dirumuskan oleh para
pemimpin Muhammadiyah merupakan jawaban terhadap realitas,
permasalahan dan tantangan yang timbul ketika Muhammadiyah lahir dan

5
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Putusan Mu‟tamar Muhammadiyah Ke-37
(Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 1968).
6
Haedar Nashir, “Memahami Manhaj Gerakan Muhammadiyah,” dalam Manhaj
Gerakan Muhammadiyah: Ideologi, Khittah, dan Langkah, xvi.
23
Pendidikan Kemuhammadiyahan
tumbuh sebagai sebuah gerakan keagamaan. Gagasan-gagasan Ahmad
Dahlan yang terangkum dalam Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat-ayat
Al-Qur‟an Ajaran KHA Dahlan, dan pemikiran Mas Mansur tentang
Kesimpoelan Djawaban Masalah Lima, merupakan ―ideologi‖ dan sekaligus
sumber bagi perumusan ideologi Muhammadiyah pada generasi berikutnya.

Proses perumusan ideologi Muhammadiyah terus berlangsung


seiring dengan kebutuhan organisasi untuk menjawab atau mengatasi
berbagai masalah yang muncul pada setiap episode perkembangan
Muhammadiyah. Selain pemikiran-pemikiran yang bersifat individual,
rumusan-rumusan yang ditetapkan melalui forum-forum resmi, seperti
muktamar atau sidang tanwir, juga merupakan ideologi Muhammadiyah.
Karena itu, ideologi Muhammadiyah dapat dipahami dari rumusan-rumusan
dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Masalah Lima,
Kepribadian Muhammadiyah, Keyakinan dan Cita-Cita Hidup
Muhammadiyah, dan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah.
Termasuk ideologi Muhammadiyah adalah Pernyataan Pikiran
Muhamamdiyah Jelang Satu Abad, dan Revitalisasi Ideologi Muhammadiyah:
Konsolidasi Bidang Keyakinan dan Cita-Cita Hidup. Bahkan, berbagai
rumusan tentang khittah perjuangan Muhammadiyah (Khittah Palembang;
Khittah Ponorogo; Khittah Ujung pandang; Khittah Surabaya; dan Khittah
Denpasar) dapat dikategorikan sebagai kandungan dari ideologi
Muhammadiyah, yang dirumuskan untuk menjawab tuntutan masyarakat
pada episode tertentu perkembangan Muhammadiyah. Dengan demikian,
adalah benar jika dikatakan bahwa ideologi merupakan rumusan yang bersifat
tentatif dan terus menerus mengalami penyempurnaan secara dinamis
mengikuti dinamika organisasi dan masyarakat, karena ideologi dirumuskan
untuk mengatasi masalah dan menjawab tantangan yang bersal dari luar agar
keberadaan organisasi tetap dapat dipertahankan.

Persoalan pokok yang bersifat ideologis dalam matan keyakinan dan


cita-cita hidup Muhammadiyah adalah:

1. Aqidah : Muhammadiyah adalah gerakan aqidah Islam.

24
Pendidikan Kemuhammadiyahan
2. Cita-cita dan tujuan: Muhammadiyah bercita-cita dan bekerja untuk
mewujudkan masyarakat utama, adil dan makmur yang diridloi Allah
SWT.
3. Ajaran yang digunakan untuk melaksanakan aqidah dalam mencapai cita-
cita tersebut adalah agama Islam sebagai rahmat Allah kepada umat
manusia sepanjang masa yang menjamin kesejahteraan hidup materiil
dan spiritual, dunia dan akhirat.

Dalam konteks ini, ideologi Muhammadiyah bersumber pada agama


Islam yang memiliki sistem nilai. Islam sebagai sumber ajaran, landasan
berpikir, acuan bergerak, dan menjadi keyakinan yang melekat pada ibadah
dan amaliyah manusia.

C. PANDANGAN KEAGAMAAN GENERASI AWAL SEBAGAI “IDEOLOGI”


Kelahiran Muhammadiyah pada awal abad ke-20 adalah jawaban
terhadap pentingnya pembaruan (reformasi) kehidupan sosial umat Islam di
Indonesia. Para pemimpin awal Muhammadiyah, terutama Ahmad Dahlan,
menyadari pentingnya menafsirkan keyakinan Islam untuk memberikan
dasar-dasar pembaruan keagamaan dan sosial. Mereka menunjukkan
kesadaran mengenai kebutuhan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi
oleh kaum muslim. Usaha mereka yang pertama ialah mengubah pengertian
iman dan menekankan pengetahuan yang lebih mendalam tentang dasar-
dasar Islam. Usaha pembaruan ini menekankan pemahaman dan
pengamalan ajaran-ajaran Islam yang benar dalam kehidupan sehari-hari.
Karakteristik pembaruan ini disimpulkan oleh Achmad Jainuri sebagai
―ideologi reformis.‖7

1. Gagasan Keagamaan Dahlan


Dalam pandangan Dahlan, Islam memberikan tekanan pada
tindakan (‗amal) yang dilakukan secara tulus. Dahlan diriwayatkan sering
mengutip pernyataan ‗ulama yang berbunyi: “al-nas kulluhum mawta illa

7
Sebagian besar dari uraian yang dikemukakan pada bagian ini bersumber dari
Achmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis: Melacak Pandangan Keagamaan
Muhammadiyah Periode Awal (Surabaya: LPAM, 2002).
25
Pendidikan Kemuhammadiyahan
al-„ulama‟, wa al-„ulama‟ mutahayyirun illa al-„amilun, wa al-„amilun „ala
wajal illa al-mukhlisun.”8 Meskipun ungkapan ini tidak berasal dari Dahlan
sendiri, tapi pengadopsiannya menunjukkan persetujuannya terhadap
kandungan makna dari ungkapan tersebut dan implikasi yang
ditimbulkannya. Dalam konteks ini dapat ditafsirkan bahwa Dahlan
mengutip ungkapan tersebut untuk menunjukkan posisi penting kaum
‗ulama, namun tidak semata-mata dalam pengertian antropologis,
melainkan dalam pengertian substansial. Ini juga menyiratkan arti penting
dari ilmu pengetahuan di mata Dahlan.

Namun, dalam pemikiran Dahlan, arti penting pengetahuan tidak


terletak pada dirinya sendiri, melainkan pada aplikasinya dalam tindakan
atau kerja sosial. Tindakan atau kerja sosial yang merupakan aplikasi dari
pengetahuan itu harus didasarkan pada nilai keikhlasan yang bersumber
dari hati. Pandangan ini menggambarkan hubungan triadic (tiga pilar yang
saling terkait) antara ilmu, ‗amal dan nilai keikhlasan. Dengan kata lain,
ada hubungan erat antara akal pikiran (intellectual), tindakan (physical)
dan hati (spiritual). Pengetahuan, dengan demikian, harus memiliki fungsi
sosial dan basis spiritual.9

Dalam konteks itu, Dahlan menegaskan pentingnya penggunaan


akal untuk memahami hakikat dan tujuan manusia hidup di dunia.
Menurutnya, ―manusia harus menggunakan pikirannya untuk mengoreksi
soal i‗tiqad dan kepercayaannya, tujuan hidup dan tingkah lakunya,
mencari kebenaran sejati.‖10 Dalam pandangan Dahlan, akal memiliki
posisi sentral dalam memproduksi pemikiran keagamaan. Penggunaan
8
Hadjid, Pelajaran KHA Dahlan: 7 Falsafah Ajaran & 17 Kelompok Ayat al-
Qur‟an, Ed. Budi Setiawan dan Arief Budiman Ch. (Yogyakarta: LPI PP
Muhammadiyah, 2005), 7. (Manusia itu semuanya mati [mati perasaannya]
kecuali para ulama, yaitu orang-orang yang berilmu. Dan ulama-ulama itu dalam
kebingungan, kecuali mereka yang beramal. Dan mereka yang beramal pun
semuanya dalam kekhawatiran kecuali mereka yang ikhlas atau bersih).
9
Ahmad Nur Fuad, “Kontinuitas dan Diskontinuitas Pemikiran Keagamaan
Dalam Muhammadiyah (1923-2008): Tinjauan Sejarah Intelektual,” (Disertasi
Doktor IAIN Sunan Ampel, 2010), 45.
10
Hadjid, Pelajaran KHA Dahlan, 23.
26
Pendidikan Kemuhammadiyahan
akal untuk memahami agama dan menafsirkan realitas doktrinal dan
kontekstual merupakan suatu keniscayaan, karena akal merupakan alat
yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk berpikir dan memecahkan
masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan di dunia ini. Dahlan
meyakini bahwa akal berfungsi komplementer (melengkapi) terhadap
wahyu, sehingga tidak mungkin terjadi pertentangan antara akal dan
wahyu sebagai sumber ajaran Islam.11

Menurut Dahlan, penggunaan akal pikiran diarahkan untuk


mencapai pengetahuan tertinggi yang tidak lain adalah pengetahuan
tentang kesatuan hidup (unity of life). Pengetahuan tersebut dapat dicapai
dengan sikap kritis dan terbuka dengan menggunakan akal yang
merupakan kebutuhan dasar hidup manusia, selain dengan sikap
konsisten terhadap kebenaran akal (rasional) yang didasari oleh hati yang
suci. Menurut Dahlan, ilmu mantiq atau logika merupakan pendidikan
tertinggi bagi akal yang hanya dapat dicapai jika manusia menyerah
kepada petunjuk Allah.12

Dalam memahami agama, Dahlan cenderung bersikap terbuka


atau toleran, dan menghargai kenyataan bahwa pemikiran keagamaan
tidak tunggal, tetapi beragam. Karena itu, kebenaran dari suatu
pemahaman atau pemikiran keagamaan bersifat relatif.13 Dalam
―Pelajaran Ketiga,‖ sebagaimana direkam oleh Hadjid, Dahlan
menegaskan demikian: ―Orang yang mencari barang yang hak kebenaran
itu perumpamaannya demikian: Seumpama ada pertemuan antara orang
Islam dan orang Kristen, yang beragama Islam membawa Kitab Suci al-
Qur‘an dan yang beragama Kristen membawa Kitab Bybel (Perjanjian
Lama dan Baru), kemudian kedua kitab suci itu diletakkan di atas meja.

11
Jainuri, Ideologi Kaum Reformis, 100-101.
12
Ahmad Dahlan, “Tali Pengikat Hidup Manusia,” dalam Perkembangan
Pemikiran Muhammadiyah Dari Masa Ke Masa, eds. Sukrianta AR dan Abdul
Munir Mulkhan (Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985), 6; Abdul Munir Mulkhan,
Masalah-Masalah Teologi dan Fiqh Dalam Tarjih Muhammadiyah (Yogyakarta:
Sipress, 1994), 8-9.
13
Jainuri, Ideologi Kaum Reformis, 112-113.
27
Pendidikan Kemuhammadiyahan
Kemudian kedua orang tadi mengosongkan hatinya kembali kosong
sebagaimana asal manusia tidak berkeyakinan apapun. Seterusnya
bersama-sama mencari kebenaran, mencari tanda bukti yang
menunjukkan kebenaran. Lagi pula pembicaraannya dengan baik-baik,
tidak ada kata kalah dan menang. Begitu seterusnya. Demikianlah kalau
memang semua itu membutuhkan kebenaran. Akan tetapi sebagian besar
dari manusia hanya menurut anggapan-anggapan saja, diputuskan
sendiri. Mana kebiasaan yang dimilikinya dianggap benar dan menolak
mentah-mentah terhadap lainnya yang bertentangan dengan miliknya.‖14

Dahlan juga mengkritisi orang-orang yang lebih dulu memiliki


keyakinan baru mencari argumentasinya, apalagi jika argumentasi yang
dicari hanya untuk mendukung keyakinannya. Menurutnya, sedikit sekali
orang yang bersedia mengembangkan argumentasi untuk kemudian
dijadikan landasan keyakinannya. Dahlan, seperti dicatat Hadjid, mengutip
‗Abduh: ―aktharahum ya„taqiduna awwalan fa yastadillu illa bima yuwafiqu
i„tiqadatihim, wa qalla man istadalla li yu„taqad.‖15

Dalam ―Pelajaran Kelima‖ dinyatakan: ―setelah manusia


mendengarkan pelajaran-pelajaran fatwa yang bermacam-macam,
membaca beberapa tumpuk buku, dan sesudah memperbicangkan,
memikir-memikir, menimbang-nimbang, membanding-banding ke sana-
kemari, barulah mereka itu dapat memperoleh keputusan, memperoleh
barang yang benar yang sesungguh-sungguhnya. Dengan akal pikirannya
sendiri dapat mengetahui dan menetapkan, inilah perbuatan yang
benar.‖16 Dahlan berfatwa: ―Manusia tidak menuruti, tidak mempedulikan
sesuatu yang sudah terang benar bagi dirinya. Artinya, dirinya sendiri,
fikirannya sendiri, sudah dapat mengatakan itu benar, tetapi ia tidak mau
menuruti kebenaran itu karena takut mendapat kesukaran, takut berat dan
bermacam-macam yang dikhawatirkan, karena nafsu dan hatinya sudah

14
Hadjid, Pelajaran KHA Dahlan, 19-20.
15
Ibid., 19. “Sebagian besar dari mereka (manusia) meyakini terlebih dahulu
kemudian mencari argumentasi hanya yang sesuai dengan keyakinan mereka.
Sedikit sekali orang yang mencari argumentasi untuk kemudian diyakini.”
16
Ibid., 24.
28
Pendidikan Kemuhammadiyahan
terlanjur rusak, berpenyakit, akhlak (budi pekerti) hanyut dan tertarik oleh
kebiasaan buruk.‖17 Hadjid mengungkapkan bahwa Dahlan sering
melantunkan sya‗ir berikut: “wa nahju sabili wadih liman ihtada wa lakin al-
ahwa‟ „amat fa a„mat” (dan agamaku terang benderang bagi orang yang
mendapat petunjuk, tetapi hawa nafsu [menuruti kesenangan] merajalela
di mana-mana, kemudian menyebabkan akal manusia menjadi buta).18

Dahlan menyatakan pentingnya ilmu pengetahuan, dari manapun


sumber pengetahuan itu. Namun, dia memiliki parameter tersendiri
tentang kebenaran yang diyakininya. Seperti dicatat Hadjid, Dahlan
menyatakan: ―Aku mengerti barang yang haq dan barang bathil seperti
aku mengerti agama Nasrani/Kristen dan belajar agama Nasrani dan
mengerti agama Nasrani. Tetapi apabila aku tidak mengerjakan agama
Nasrani, aku bukan orang Nasrani, demikian juga umpamanya aku
mengerti cara-cara mencuri, menipu, menindas, tetapi aku tidak
menjalankan mencuri, menipu atau menindas, maka aku bukan pencuri,
penipu dan penindas. Demikian juga aku mengerti agama Islam, mengerti
amal shaleh, tetapi aku tidak mengerjakan agama Islam dan amal shaleh
itu, aku tetap bukan orang Islam dan tetap bukan orang shaleh.‖19

Menarik untuk mencermati pemahaman Dahlan tentang hakikat


agama. Sebagaimana dicatat Hadjid, Dahlan memahami agama sebagai
kecenderungan spiritual (mayl ruhani) dari manusia yang berorientasi
kepada kesempurnaan dan kesucian, bersih dari orientasi yang bersifat
materialistik. Beragama, dalam pandangan ini, merupakan proses
―mendaki menuju langit kesempurnaan dan bersih suci dari pengaruh-
pengaruh materi kebendaan.‖20 Di sini dapat dilihat kecenderungan sufistik
dalam pemikiran Dahlan. Penekanan Dahlan terutama ialah pada dimensi-
dimensi spiritual sebagai esensi dari keberagamaan. Kesucian batin dan
hati menjadi prasyarat penting bagi individu manusia untuk dapat

17
Ibid., 25.
18
Ibid., 25.
19
Ibid., 110-111.
20
Ibid., 26. Disebutkan: “mayl ruhani min al-nafs ta„ruju ila sama‟i al-kamal al-
aqdas khalisan min asri hadhihi al-maddah al-ardiyyah.”
29
Pendidikan Kemuhammadiyahan
menerima ajaran yang suci dari Tuhan dan Rasul-Nya. Dengan cara
demikian, manusia dapat mencapai derajat yang lebih tinggi dalam
kesucian batin.21

D. PAHAM AGAMA DALAM MUHAMMADIYAH


Menurut tokoh generasi awal Muhammadiyah, Islam adalah wahyu
yang diturunkan oleh Tuhan kepada nabi-nabi Adam sampai Muhammad, dan
dibukukan dalam kitab-kitab suci seperti Zabur, Taurat, Injil dan al-Qur‘an.22
Dalam pelaksanaan keyakinan ini terdapat dasar keyakinan Muhammadiyah
bahwa ‗kebenaran‘ itu tidak berasal dari seorang individu atau sumber tetapi
dari banyak sumber. ‗Ulama Muhammadiyah berpandangan bahwa Islam
mengandung petunjuk untuk memperoleh kebahagiaan material dan spiritual,
bagi kehidupan manusia di dunia ini dan di akhirat nanti.23 Lebih jauh, agama-
agama wahyu telah mencapai tahap final dengan kenabian Muhammad, yang
ajarannya terkandung dalam al-Qur‘an dan dijelaskan dalam Sunnah Nabi
yang otentik. Sebuah dokumen resmi Muhammadiyah juga menekankan
bahwa meskipun ada perbedaan tertentu, ada juga banyak kemiripan antara
kitab suci terdahulu dengan al-Qur‘an. Misalnya, semua agama tersebut
percaya pada keesaan Tuhan (tawhid).24 Meskipun terdapat perbedaan
dalam ritual dan aspek-aspek ajaran yang lain, agama-agama itu semuanya
merupakan bagian dari hukum Tuhan (sunnatullah). Ahmad Dahlan
berpendapat bahwa kemiripan-kemiripan dan perbedaan-perbedaan itu harus

21
Ibid., 93-94.
22
“Islam, Djangan Lihat Merknja,” Soeara Moehammadijah 12, 30 (10 Maret,
1931), 676.
23
Hooofdbestuur Moehammadijah, Kesimpoelan Djawaban Masalah Lima Dari
Beberapa „Alim-„Oelama (Djogdjakarta, 1942), 13; lihat juga “Matan Keyakinan
dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah,” dalam Himpunan Keputusan-2 P.P.
Muhammadiyah dalam Bidang Tajdid Ideologi dan Garis Pimpinan
(Yogyakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1973), 1.
24
Hoofdbestuur Moehammadijah, Kesimpoelan Djawaban, 12. Djindar Tamimy,
Pokok-pokok Pengertian Tentang Agama Islam (Yogyakarta: Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, 1978), 5.
30
Pendidikan Kemuhammadiyahan
mendorong orang Islam untuk mengkaji semua agama secara rasional untuk
menemukan kebenaran yang inheren dalam ajaran-ajarannya.25

Para tokoh Muhammadiyah berulang kali menekankan bahwa ajaran


Islam mencakup aspek akidah, akhlak, ibadah, dan masalah-masalah sosial
(mu„amalah). Lebih dari itu, aspek-aspek ini dibagi ke dalam dua kategori
yang berbeda, yaitu yang tidak bisa berubah dan yang bisa diubah. Wilayah
‗aqidah, akhlak dan bentuk-bentuk ibadah tertentu termasuk area yang tidak
bisa berubah dan tidak bisa diubah, meskipun terjadi perubahan-perubahan
dalam ruang atau waktu. Tidak boleh ada penambahan atau pengurangan.
Sedangkan mu„amalah yang berhubungan dengan isu-isu sosial seperti
perdagangan, pelayanan umum dan kegiatan politik termasuk area yang bisa
berubah menurut waktu, ruang dan kemaslahatan umum.26

Penegasan bahwa Islam diwahyukan kepada nabi-nabi dan


dikodifikasikan dalam kitab-kitab suci memberikan landasan dasar teologis ini
diterjemahkan ke dalam sikap keterbukaan dalam menerima gagasan-
gagasan dari orang lain, dan menerima bahwa kebenaran tidak hanya bisa
ditemukan dalam keyakinan seorang saja tetapi dalam keyakinan orang lain
juga. Namun demikian, pemahaman seperti ini bukanlah pemahaman
keagamaan yang umum pada dekade awal abad ke-20. Demikian pula,
prinsip-prinsip dasar iman dan ibadah tidak terbatas pengaruhnya terhadap
kepercayaan dan ritual per se, tetapi memiliki implikasi luas ketika diletakkan
dalam konteks sosial. Keyakinan dan ritual yang standar ini memberikan
prinsip-prinsip pembaruan sosial dan teologi praktis. Keyakinan dan ritual ini
membutuhkan pelaksanaan ritual keagamaan sehari-hari yang standar.
Karenanya, setiap usaha harus dilakukan untuk menerapkannya dalam
bentuknya yang asli dan membentenginya dari pelbagai pengaruh yang
menyimpang.

25
Solichin Salam, KH. Ahmad Dahlan; Tjita-Tjita dan Perdjoeangannja (Djakarta:
Depot Pengadjaran Muhammadijah, 1962), 59. Karya lain yang ditulis oleh
Solichin Salam, dengan nama samaran Junus Salam, adalah Riwayat Hidup
K.H.A. Dahlan : Amal dan Perdjoeangannja (Djakarta: Depot Pengadjaran
Muhammadijah, 1968), 61-62.
26
Kesimpoelan Djawaban, 13.
31
Pendidikan Kemuhammadiyahan
1. Makna Islah27
Misi pembaruan agama sesungguhnya didasarkan pada konsep
kemerosotan keagamaan yang tak terhindarkan setelah kematian Nabi
Muhammad. Kemorosotan ini diisyaratkan dalam hadith ―Allah akan
mengutus kepada umat ini pada setiap pergantian abad seseorang yang
akan memperbarui agama.‖28 Namun, pengakuan terhadap kebenaran
proses ini29 tidak berarti bahwa Islam adalah ajaran agama yang tidak
sempurna, karena al-Qur‘an sendiri dengan jelas menyatakan bahwa Islam
yang dibawa Muhammad adalah sebuah agama yang sempurna. Bagi
Ahmad Dahlan, kemerosotan keagamaan tidak disebabkan oleh
kekurangan Islam; sebaliknya kemerosotan itu dikaitkan dengan kondisi di
mana Islam itu dipraktikkan. Dengan perkataan lain, kemunduran dalam
kehidupan keagamaan kaum Muslim tidak disebabkan oleh ajaran agama
melainkan oleh kaum Muslim sendiri. Ide ini dinyatakan dalam slogan: al-
Islam mahjub bi- l-muslimin (Islam tertutupi oleh kaum Muslimin sendiri),
yang sangat populer di kalangan kaum Muslim reformis pada awal abad ke-
20 baik di dalam maupun di luar Indonesia.30

Untuk mengatasi kemerosotan ini dan untuk melaksanakan Islam


dalam kehidupan sehari-hari orang Islam, Muhammadiyah
mengembangkan dakwah sebagai alat untuk ―menyebarkan Islam dan
mengarahkan kehidupan orang Muslim di Hindia Belanda berdasarkan

27
Jainuri, Ideologi Kaum Reformis.
28
Abu Dawud as-Sijistani, Sunan Abi Dawud, vol. 4 (Cairo: Matbaat Mustafa
Mahmud, 1353/1950), 159, dalam bagian Kitab al-Malahim.
29
John O. Voll, “Renewal and Reform in Islamic History: Tajdid and Islah,” dalam
John L. Esposito, ed., Voices Resurgent Islam (New York: Oxford University
Press, 1983), 33.
30
Ungkapan “al-Islam mahjub bi-l-muslimin” yang pada mulanya berasal dari
pernyataan „Abduh juga populer di cabang-cabang Muhammadiyah yang agak
jauh. Soeara Moehammadiyah 12, 22-23 (22-31 Desember 1930), 575; M.
Boestami Ibrahim, al-Hidajah; Merentjanakan Tjabang Moehammadijah
(Bagian Taman Poestaka, 1939), 20; Muhammad Rashid Rida, ed., Tafsir al-
Manar, vol. 3 (Cairo: Manar Press, 1346-1354), 224; Swara Islam 3, 4 (April
1935), 18.
32
Pendidikan Kemuhammadiyahan
ajaran-ajaran Islam.‖31 Karena misi Muhammadiyah juga berkaitan dengan
pengembangan wawasan tentang Islam yang lebih mendalam, lembaga
dakwah menjadi elemen penting dalam organisasi ini; dan memang benar
bahwa misi gerakan ini menjelma dalam program dakwahnya.32

Usaha untuk memelihara karakter murni dari praktik keagamaan


dan untuk memurnikan mereka dari pengaruh-pengaruh yang menyimpang
(sesat) – sebuah komponen penting dalam pembaruan,33 merupakan akibat
langsung dari semangat rasionalisasi yang mengatur tindakan-tindakan dan
ide-ide. Rasionalisasi ini merupakan produk dari pemikiran para pendiri dan
pendukung Muhammadiyah, yang merupakan anggota kelas pedagang.
Karena pertimbangan rasional dan matematis menentukan tingkat
keuntungan dan kerugian dalam setiap transaksi bisnis, maka pada giliran
berikutnya seperti yang diputuskan oleh para pendukung gerakan ini setiap
amal usaha yang tidak punya basis keagamaan menjadi tidak berguna (sia-
sia), tidak menguntungkan dan karenanya harus ditinggalkan. Pendirian ini
sangat cocok dan perspektif teologis yang menyatakan bahwa praktik-
praktik sesat ini tidak hanya harus ditolak tetapi juga akan mendapatkan
sanksi keagamaan.34 Tidak mengherankan, komitmennya untuk menganut
pandangan keagamaan ini secara tak terhindarkan memberikan
Muhammadiyah reputasi sebagai gerakan neo-ortodoks, yang tujuan
utamanya ialah memperbaiki kemurnian Islam melalui ‗kembali kepada
prinsip-prinsip dasar al-Qur‘an dan al-Sunnah.‘

31
Ayat 2 Anggaran Dasar Muhammadiyah. Statuten Lan Pranatan Tjilik Oemoem
Toemrap Pakoempoelan Moehammadiyah Hindia Wetan (Ngajogjakarta:
Pangreh Gede Moehammadijah, 1928), 9-10. Dalam rumusannya yang
kemudian, misi dakwah disebutkan sebagai identitas gerakan ini. Lihat ayat 1
dalam Muqaddimah dan Anggaran Dasar Muhammadiyah (Yogyakarta:
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1986, 6.
32
Boestami Ibrahim, al-Hidajah: Merentjanakan, 39-40; Kepribadian
Muhammadiyah (Jogjakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, t.t.), 18;
Himpunan Keputuasn-2,14;
33
Berita Resmi Muhammadiyah, nomor khusus (Yogyakarta : Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, 1990), 48.
34
Menuju Muhammadiyah (Jogjakarta : Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1970),
20.
33
Pendidikan Kemuhammadiyahan
2. Pandangan Dunia Muhammadiyah (World View)35
Penegasan Muhammadiyah bahwa Islam tidak hanya mencakup
seperangkat kewajiban seperti salat, puasa, zakat dan haji, tapi juga
bersinggungan dengan semua aspek kehidupan, menyebabkan gerakan ini
menolak pendekatan terpisah-pisah (tidak menyeluruh) terhadap agama,
dan menghindari pembatasan Islam dalam kategori atau wilayah yang
sempit. Sebaliknya, para pemimpin Muhammadiyah menyokong
pendekatan yang lebih holistik terhadap agama yang melibatkan Islam
dalam kehidupan seseorang. Mereka percaya bahwa Islam memberikan
petunjuknya hanya pada prinsip-prinsip tingkah laku, dan menyerahkan
kepada umat Islam untuk menjelaskan yang detail.

Karenanya, untuk mendapatkan jawaban dari ajaran Islam bagi


problem-problem yang muncul di dunia ini, dakwah menjadi sarana bagi
pemahaman yang benar tentang iman dan pelibatannya dalam kehidupan
sehari-hari, sekaligus sebagai alat untuk mempengaruhi dan mengkoreksi
kecenderungan keagamaan yang sempit dan terlalu berwatak legalistik.
Masalahnya ialah bagaimana menghubungkan prinsip-prinsip dasar Islam
dengan aspek-aspek ajaran keagamaan yang ada dalam wilayah urusan
dunia. Karena itu, penting untuk mengkaji pemahaman pemimpin
Muhammadiyah tentang masalah-masalah dunia, hubungannya dengan
masalah agama yang spesifik, dan arti penting masalah dunia bagi
orientasi gerakan ini.

―Urusan dunia‖, menurut literatur Muhammadiyah, memiliki posisi


yang sama pentingnya vis-à-vis rukun Islam.36 Namun, masalah tersebut
sangat bervariasi karena bisa berubah menurut ruang, waktu dan
kemaslahatan. Akal juga memainkan peran yang besar dalam urusan-
urusan tersebut, dalam pengertian akal menentukan apakah sesuatu itu
berharga, sia-sia, bermanfaat atau sebaliknya.37 Menyangkut ruang
lingkupnya, ucapan Nabi Muh}ammad berikut ini dikutip: ―kamu lebih tahu
tenang urusan duniamu‖, yang dipahami oleh ‗ulama Muhammadiyah

35
Lihat Jainuri, Ideologi Kaum Reformis.
36
Soeara Moehammadijah 12, 31 (20 Maret 1931), 701.
37
Kesimpoelan Djawaban, 13, 15.
34
Pendidikan Kemuhammadiyahan
merujuk ke setiap masalah yang tidak diberikan petunjuknya oleh Nabi.
Dalam pengertian ini setiap tindakan yang dilakukan untuk memperoleh
rahmat dan barakah Allah dibolehkan (halal). Kepercayaan ini sesuai
dengan prinsip yang menyatakan ―segala sesuatu itu diperbolehkan (halal)
kecuali yang tidak diperbolehkan (haram).‖38 Berdasarkan prinsip ini, ‗ulama
tersebut menetapkan bahwa orang-orang Muslim pada masa mereka
berbeda dari orang Islam masa lampau, dan tidak diwajibkan untuk
mengikuti setiap metode yang digunakan pada masa Nabi, bahkan
menyangkut soal agama, karena penggunaan metode-metode itu sangat
relatif dalam karakternya.39 Kecenderungan umum konsepsi
Muhammadiyah tentang dunia dan urusan-urusannya serta hubungannya
dengan dunia nanti, merupakan ide yang sesuai dengan semangat
modernisasi yang mempengaruhi orang-orang Islam Indonesia pada abad
ke-20.

Bagi para pemimpin Muhammadiyah, kebahagiaan merupakan


aspek penting dari kehidupan. Kaum Muslim berhak untuk mencapai
kebahagiaan material dan menghindari kemiskinan. Sesuai al-Qur‘an
(7:32), Tuhan membolehkan kaum mu‘min untuk menikmati hal-hal yang
baik di dunia ini, dan karena itu mereka tidak boleh menolaknya.40 Dalam
surat yang lain (2:177), juga dinyatakan bahwa mu‘min yang benar ialah
yang berusaha untuk mendapatkan kekayaan dan kemudian menggunakan
kekayaannya untuk perbuatan yang baik dan menolong orang-orang
miskin.41 Karena itu, ‗ulama harus mengajarkan kaum muslim dan
membimbing mereka menurut apa yang dijelaskan oleh al-Qur‘an dan al-
Sunnah untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di dunia ini. Kemiskinan
orang-orang Muslim disebabkan oleh kenyataan bahwa banyak ‗ulama
yang menganjurkan kaum Muslim untuk tidak peduli terhadap urusan dunia.
Setiap usaha sosial dan keagamaan membutuhkan uang (dana), dan

38
Al-Suyuti, al-Ashbah wa Nada‟ir fi Qawa„id wa Furu„ Fiqh al-Shafi‟iyyah
(Cairo: „Isa al-Babi al-Halabi, t.t.), 66.
39
Kesimpoelan Djawaban, 16.
40
Lihat Mas Mansoer, “Sebab-Sebab Kemiskinan Ra‟jat, Islam Indonesia,” 2.
41
Malik Ahmad, “Inti Sari Adjaran Agama Islam,” [brosur untuk pedoman anggota
Muhammadiyah] (Jogjakarta: Pimpinan Pusat Muhammadijah, 1970), 19.
35
Pendidikan Kemuhammadiyahan
bahwa jika orang Islam lemah secara ekonomi, maka hal itu akan
menyulitkan mereka merealisasikan usaha-usahanya.42 Para pemimpin
Muhammadiyah mensucikan kerja-kerja profan dan mengagumkan tugas-
tugas yang bersifat duniawi. Pendekatan ini menolak untuk mendewakan
hanya kehidupan non-duniawi, yang mengkonsentrasikan pada penyesalan
dan meditasi, yang tidak mengenal sama sekali kerja duniawi dalam
pengertian yang biasa, dan yang cenderung meremehkan semua urusan
dunia.

Pandangan keagamaan ini merupakan elemen penting dalam


pembentukan ideologi gerakan Muhammadiyah. Ideologi ini merasionalisasi
dan membela kepentingan dan komitmen keagamaan, moral dan sosial
gerakan ini. Dengan demikian, hal ini memberikan justifikasi logis dan
filosofis bagi tingkah laku, sikap, tujuan dan cara hidup pengikutnya secara
umum. Beberapa elemen ideologi ini diterima sebagai kebenaran atau
dogma, yang secara tak terhindarkan menciptakan konflik dengan
kelompok, orang atau gerakan yang lain. Salah satu kasus ialah retaknya
hubungan antara Muhammadiyah dan Sarekat Islam pada pertengahan
dekade 1920-an, yang disebabkan oleh perbedaan persepsi ideologis
kedua gerakan ini.43 Namun, elemen-elemen tertentu dari ideologi
Muhammadiyah diterima sebagai formulasi teoretis, dan karenanya bersifat
tentatif. Selain itu, formulasi-formulasi ini secara konstan dimodifikasi
sesuai dengan perubahan sosial dan budaya kontemporer. Adaptabilitas ini
menjelaskan mengapa Muhammadiyah tampak lebih religius pada saat
42
Mas Mansoer, “Mendjelaskan Faham Saja,” 1.
43
Jainuri, ideologi Kaum Reformis. “Ideologi keagamaan Muhammadiyah dapat
dijelaskan dengan istilah „non madzhab,‟ sedangkan kelompok-kelompok
tertentu yang lain berpendapat bahwa mengikuti paling tidak salah satu madzhab
merupakan kewajiban. Dengan menyatakan posisi ini, Muhammadiyah sering
dituding keluar dari arus utama (mainstream) Islam. Demikian pula, orientasi
non-politik gerakan ini, yang merupakan komponen penting dari kebijakannya
pada masa kolonial, melahirkan kritik dari beberapa pemimpin Sarekat Islam.”
Hasjim Asj‟ari, Qanun Asasi Nahdlatul Ulama (Kudus: Menara, 1969), 65-68;
Boeah Congres Moehammadijah Seperempat Abad (Djogdjakarta: Hoofdbestuur
Moehammadijah, 1936), 33; “Muhammadijah 40 Tahun,” Soeara Muhamma-
dijah 28, 27 (November 1952), 267..
36
Pendidikan Kemuhammadiyahan
tertentu atau lebih berorientasi sosial pada saat yang lain. Cabang-cabang
tertentu lebih condong pada kegiatan-kegiatan tertentu yang tidak dilakukan
oleh cabang yang lain. Kasus seperti cabang-cabang di Minangkabau sejak
periode awal menunjukkan tendensi politik yang tidak dimiliki oleh atau
sangat sedikit di daerah lain. Ini memungkinkan Muhammadiyah menjadi
gerakan yang dinamis, akomodatif dan fleksibel dalam melaksanakan
usaha-usaha sosialnya. Karakter dinamis ini membuat Muhammadiyah
muncul sebagai gerakan modernis dan reformis sejak awal.44

E. MUQADDIMAH ANGGARAN DASAR


Setiap organisasi masyarakat atau negara pasti memiliki pedoman
dasar yang menjadi peraturan bagi warganya dalam menjalankan organisasi.
Pedoman tersebut biasanya disebut anggaran dasar. Dalam kehidupan
bernegara, pedoman dasar itu disebut konstitusi (constitution). Anggaran
Dasar atau konstitusi memuat berbagai ketentuan-ketentuan yang bersifat
pokok dan mendasar (fundamental), dan ketentuan-ketentuan yang bersifat
teknis operasional. Anggaran Dasar berfungsi sebagai pedoman dalam
menggerakkan dan menjalankan berbagai program dan kegiatan organisasi.

Setiap anggaran dasar diawali dengan muqaddimah. Muqaddimah


berarti pembukaan atau pendahuluan. Dalam istilah atau bahasa Inggris
disebut preamble, dan dalam bahasa Perancis preambule. Biasanya, istilah
tersebut didefinisikan sebagai berikut: ―suatu pernyataan pendahuluan dari
suatu dokumen resmi yang menjelaskan maksud dari dokumen tersebut.‖
Sebagai organisasi masyarakat, Muhammadiyah juga memiliki Muqaddimah
Anggaran Dasar.

1. Lahirnya Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah


Muhammadiyah didirikan pada 8 Dzulhijjah 1330 H bertepatan
dengan 18 Nopember 1912. Pada tahun 1914 Muhammadiyah
mendapatkan status sebagai organisasi yang berbadan hukum (recht
person) berdasarkan surat ketetapan Gouvernement Besluit nomor 22
Agustus 1914. ketika itu, Muhammadiyah memiliki anggaran dasar
(statuten) yang masih sederhana sebagai persyaratan untuk memperoleh

44
Jainuri, Ideologi Kaum Reformis.
37
Pendidikan Kemuhammadiyahan
status sebagai organisasi berbadan hukum. Selama periode
kepemimpinan KH Ahmad Dahlan (1912-1923), KHA Ibrahim (1923-1934),
KH Hisyam (1934-1936) dan KH Mas Mansur (1936-1942), Anggaran
Dasar Muhammadiyah belum dilengkapi dengan pembukaan atau seperti
yang ada saat ini. Baru pada periode Ki Bagus Hadikusumo (Ketua
Pengurus Besar Muhammadiyah 1942-1953), Muqaddimah Anggaran
Dasar Muhammadiyah disusun.

Proses perumusan Muqaddimah tersebut dimulai sejak 1945. Hal


ini tidak bisa dipisahkan dari perkembangan yang terjadi dalam kehidupan
bangsa yang juga sibuk dalam perumusan konstitusi dari negara
Indonesia yang merdeka. Ki Bagus Hadikusumo adalah salah seorang
tokoh Muhammadiyah yang terlibat aktif dalam penyusunan konstitusi
negara Undang-Undang dasar –UUD 1945), yang terdiri dari pembukaan
(muqaddimah) dan batang tubuh konstitusi. Pengalaman inilah yang
mendorong Ki Bagus Hadikusuma untuk merumuskan Muqaddimah
Anggaran Dasar Muhammadiyah yang dipimpinnya. Ki Bagus
Hadikusuma melihat arti penting Muqaddimah bagi sebuah anggaran
dasar sama dengan arti penting pembukaan bagi sebuah undang-undang
dasar negara.

Rumusan Muqaddimah sesungguhnya adalah cerminan dari ide,


gagasan dan cita-cita pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan, dalam
menegakkan nilai-nilai agama Islam dalam kehidupan pribadi dan
masyarakat. Rancangan Muqaddimah pada hakikatnya menggambarkan
falsafah hidup dan perjuangan pendiri Muhammadiyah, yang meliputi
dasar dan keyakinan hidup, cita-cita dan cara yang digunakan untuk
mewujudkan tujuan dan cita-cita tersebut. Rumusan Muqaddimah yang
disusun Ki Bagus Hadikusumo itu disampaikan dalam Muktamar Darurat
pada 1946 di Jogjakarta. Dalam Muktamar ke-30 di Yogyakarta pada
1950, rumusan tersebut disampaikan kembali untuk dibahas dan disahkan
secara resmi. Tetapi, karena waktu itu ada rumusan lain dari Prof. Dr.
Hamka, Muktamar belum bisa menetapkan keputusan tentang rumusan
Muqaddimah yang diterima. Muktamar lalu memberikan tugas kepada
Sidang Tanwir untuk membahas kembali rumusan tersebut, dan kemudian

38
Pendidikan Kemuhammadiyahan
mengesahkan rumusan Ki Bagus Hadikusumo dengan beberapa
perbaikan redaksi. Sidang Tanwir itu dilaksanakan pada 1951.

Penyusunan Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah


dilatar belakangi oleh beberapa faktor berikut: (1) Belum adanya rumusan
resmi tentang dasar dan cita-cita perjuangan Muhammadiyah; (2)
Kehidupan rohani keluarga Muhammadiyah menunjukkan gejala merosot,
akibat terlalu berat mengejar kehidupan duniawi; (3) Semakin kuatnya
pengaruh alam pikiran yang berasal dari luar, yang berhadapan dengan
faham dan keyakinan hidup Muhammadiya; (4) Dorongan disusunnya
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

2. Hakikat Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah


Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah adalah gambaran
tentang pandangan Muhammadiyah mengenai kehidupan manusia di
muka bumi ini, cita-cita yang ingin diwujudkan dan cara-cara yang
dipergunakan untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Muqaddimah
Anggaran Dasar menjiwai segala gerak dan usaha Muhammadiyah dan
proses penyusunan sistem kerjasama yang dilakukan untuk mewujudkan
tujuannya.

Muqaddimah pada hakikatnya berisi kesimpulan dari perintah


dan ajaran al-Qur‘an dan as-Sunnah tentang pengabdian manusia kepada
Allah, amal dan perjuangan setiap muslim yang menyadari kedudukannya
sebagai hamba dan khalifah di muka bumi. Melihat hakikat Muqaddimah
tersebut, Muqaddimah merupakan ideologi Muhammadiyah. Ideologi
adalah seperangkat gagasan atau ide yang menentukan dan memberikan
gambaran mengenai pemikiran dan tindakan bagi suatu kelompok sosial.
Ideologi Muhammadiyah bukanlah semata-mata paham agama (Islam)
dalam Muhammadiyah. Ideologi juga adalah sistem gerakan untuk
mewujudkan misi, tujuan dan usaha persyarikatan. Kita tidak mungkin
dapat mencapai tujuan dan melakukan usaha-usaha Muhammadiyah
tanpa sistem gerakan Muhammadiyah, apalagi meminjam sistem orang
lain. Sistem gerakan Muhammadiyah berupa nilai-nilai pokok dan
mendasar dalam Muhammadiyah dengan kepemimpinan dan
organisasinya. Jadi, ideologi Muhammadiyah mencakup paham agama
39
Pendidikan Kemuhammadiyahan
Muhammadiyah dan sistem gerakannya. Muhammadiyah juga bukan
sekadar alam pikiran, dan juga sistem organisasi. Orang tidak bisa
membawa Muhammadiyah sesuai dengan kemauannya sendiri, tetapi
harus sesuai dengan prinsip-prinsip yang berlaku dan dibenarkan oleh
persyarikatan.

3. Fungsi Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah


Muqaddimah Anggaran Dasar memiliki fungsi sangat
fundamental bagi gerakan. Sebagai kandungan ideologi, Muqaddimah
Anggaran Dasar berfungsi untuk: (1) Melandasi, membingkai dan
mengarahkan gerakan Muhammadiyah dengan seluruh sikap warganya,
agar arahnya sejalan dengan nilai-nilai yang diyakini Muhammadiyah; (2)
Menjiwai dan menafasi gerakan Muhammadiyah dalam menghadapi
dinamika perubahan, agar nilai-nilai Muhammadiyah menjadi dasar
(landasan) bagi pembaruan atau perbaikan masyarakat; (3) Menjadi basis
dan arah pembaruan yang dilakukan oleh Muhammadiyah; dan (4)
Menjadi identitas dan dasar (fondasi) dalam menciptakan solidaritas

Identitas adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh seseorang atau suatu


kelompok masyarakat, baik menyangkut ciri fisik dan penampilan, maupun
ciri-ciri yang abstrak berupa nilai atau pemikiran yang dianut. Ideologi
berfungsi sebagai identitas pemikiran atau paham yang dianut dan hendak
diwujudkan dalam kehidupan individu dan masyarakat. Karena adanya
kesamaan ciri pemikiran, maka akan tumbuh solidaritas sosial dan kerja
sama di kalangan warga dalam mewujudkan cita-cita sosialnya. Nilai-nilai
yang terkandung dalam Muqaddimah menjadi ciri khas dari pemikiran dan
gerakan Muhammadiyah.

Meskipun peranan ideologi sangat penting, ideologi tidak boleh


statis atau mandek. Penyegaran pemahaman dan penafsiran perlu
dilakukan terus menerus agar nilai-nilai tersebut dapat menjadi dasar bagi
jawaban atau tanggapan Muhammadiyah terhadap perubahan
masyarakat. Tetapi, harus pula dihindari fanatisme berlebihan yang
menyebabkan berhentinya kreatifitas dalam melahirkan inovasi dan
pembaruan.

40
Pendidikan Kemuhammadiyahan
F. MASALAH LIMA
Rumusan ideologis Masalah Lima tidak bisa dipisahkan dari figur Mas
Mansur. Pada 1938, dia mengajukan beberapa masalah yang dikenal sebagai
Malasah Lima (al-Masa‟il al-Khams). Masalah-masalah itu meliputi: ―apakah
agama itoe? (ma huwa al-din?); apakah doenia itoe (ma hiya al-dunya?);
apakah ‗ibadat itoe? (ma hiya al-„ibadah?); apakah sabilillah itoe? (ma huwa
sabil Allah?); apakah qijas itoe? (ma huwa al-qiyas?).‖45

Pengajuan masalah-masalah tersebut berkaitan dengan salah satu


dari 12 Langkah Muhammadiyah 1938-1940, yaitu ―memperluaskan faham
agama,‖ yang membutuhkan penjelasan yang lebih luas dari al-Qur‘an sebagai
sumber otentik Islam. Pengajuan masalah ini tidak bisa dipisahkan dari Mas
Mansur sebagai ‗ulama berpengaruh yang menjadi elite pemimpin
Muhammadiyah saat itu. Masalah-masalah tersebut diajukan kepada kaum
‗ulama lainnya pada waktu itu untuk memperoleh jawaban. Respons pun
diberikan oleh berbagai kalangan ‗ulama, baik dari Muhammadiyah sendiri,
seperti A.R. Sutan Mansur (Konsul Muhammadiyah Padangpanjang Sumatra
Barat, yang kemudian menjadi elite Muhammadiyah) maupun dari ‗ulama di
luar Muhammadiyah, seperti Ah}mad al-Surkati (al-Irshad).46

Mas Mansur memainkan peranan penting dalam merumuskan


pemikiran berkenaan dengan ―lima masalah‖ tersebut. Dalam rumusan tentang
agama, dinyatakan bahwa agama (al-din) adalah ―segala jang telah
ditentoekan oleh Allah dalam kitabnja (Al-Qoeran) dan Soennah Rasoelnja
jang shahih, dari pada beberapa perintah dan tegahan serta pertoendjoek
oentoek kemashlahatan manoesia dalam Doenia dan Achirat; jang mana
ditentoekannja jang terseboet itoe karena meloeaskan dan memoedahkan,
tidak karena menjempitkan dan menjoekarkan.‖47 Dalam paham Mas Mansur,

45
Kesimpoelan Djawaban Masalah Lima Dari Beberapa „Alim-„Oelama
(Djokjakarta: Hoofdbestuur Moehammadijah, 1942), 6. Lihat Putusan Majlis
Tarjih tentang “Masalah Lima.”
46
Ibid., 7.
47
Ibid., 13. Pandangan ini tampaknya didasarkan pada ayat al-Qur‟an: wa ma
ja„ala „alaykum fi al-din min haraj; dan hadith Nabi: Yassiru wa la tu„assiru wa
bashshiru wa la tunfiru.
41
Pendidikan Kemuhammadiyahan
perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk agama
tersebut sebagian ada yang tidak dapat diubah-ubah menurut perubahan
waktu dan tempat (la yataghayyaru bi taghayyur al-zaman wa la yakhtalifu bi
ikhtilaf al-makan), seperti „aqidah dan cara-cara „ibadah yang telah ditentukan.
Tidak ada ijtihad dalam soal prinsipil ini. Kategori ini dapat disebut sebagai al-
thawabit (yang tetap).

Sedangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan mu„amalah,


keperluan publik (umum) dan urusan politik (al-umur al-siyasiyyah)
dimungkinkan untuk dilakukan ijtihad, karena masalah-masalah tersebut dapat
berubah sesuai dengan perubahan keadaan dan tempat untuk pertimbangan
kemaslahatan (qabil li al-ziyadah wa al-nuqsan hasba al-masalih).48 Dalam
konteks ini, ijtihad dilakukan untuk ―mengambil arti-arti nash dan mafhoem-
mafhoem jang tersimpan dalam nash-nash itoe.‖49 Kerangka berpikir demikian
ini tergolong sangat maju untuk ukuran zamannya, ketika sebagian besar
kaum Muslim masih menentang ijtihad dan lebih menganjurkan taqlid kepada
pendapat (qawl) ‗ulama abad pertengahan. Ijtihad, dengan demikian,
merupakan usaha memahami dan menafsirkan teks-teks terutama
menyangkut persoalan-persoalan sosial dengan pertimbangan kepentingan
orang banyak (masalih}, public interest). Masalah-masalah sosial ini termasuk
kategori al-mutaghayyirat (yang dapat berubah).

Sementara itu, dunia (al-dunya), menurut Mas Mansur, adalah


―keadaan-keadaan jang telah dititahkan oleh Allah s.w.t. dan ‗Aqal jang sehat
bisa mendjadi sesoeloeh dan pedoman oentoek menghoekoemi baik-
boesoeknja dengan beserta tiada melebihi batas dengan melihat
moenasabatnja.‖50 Menurutnya, manusia diberi kebebasan penuh (hurriyyah
tammah) untuk menjalankan urusan dunia menurut kebutuhan dan
kepentingan manusia itu sendiri.51 Ini sesuai dengan makna dari ungkapan
Nabi bahwa manusia lebih mengetahui tentang urusan dunianya sendiri
(antum a„lamu bi umuri dunyakum). Harus ada keseimbangan antara orientasi

48
Ibid., 13.
49
Ibid., 14.
50
Ibid., 15.
51
Fa lana al-h{urriyyah al-tammah bi ijra‟iha „ala hasab al-hajat wa al-masali{.
42
Pendidikan Kemuhammadiyahan
akhirat dan orientasi dunia. Mas Mansur bahkan menegaskan bahwa umat
Muslim tidak diharuskan untuk menegakkan agama dan membelanya dengan
cara atau metode yang dipakai pada zaman Nabi dan sahabatnya, karena
urusan dunia yang dipakai untuk menegakkan dan membela agama
merupakan urusan yang bersifat relatif, yang disesuaikan dengan kepantasan-
kepantasan pada zaman masing-masing.52

Sementara itu, ‗ibadah dalam rumusan Mas Mansur adalah


―peratoeran Tuhan jang kita ‗amalkan dengan menghamba dan mendekat
kepadaNja, ‗amalan dalam menoeroeti perintah-perintahnja dan mendjaoehi
tegahan-tegahannja dengan toendoek ta‘loek dan merendah proen dengan
kehendak jang bersih (niat jang ichlas) karena ingin mendapat ridla-Nja.‖53
Menurut Mas Mansur, jika perintah dijalankan dan larangan dijauhi, niscaya
manusia akan memperoleh pahala. Namun, hal itu tergantung kepada motivasi
atau niat, dan niat itu tempatnya di hati, tidak di tempat lainnya. Berbagai
macam bentuk „ibadah, baik yang bersifat ta„abbudi maupun yang bersifat
ta„aqquli bertujuan untuk mendapatkan janji Allah di akhirat dan kebahagian di
dunia.54

Sedangkan sabilillah (sabil Allah) dirumuskan oleh Mas Mansur


sebagai berikut: ―djalan jang menjampaikan kepada ridlanja Allah dari semoea
‗amalan jang diberi idzin oleh Allah dan masoek kepada qa‘idah-qa‘idah
Agama oentoek meninggikan sabda Allah dan mentanfidzkan heokoem Sjara‘
atas djalan jang telah disjari‘atkan (diberi idzin oleh sjara‘).‖55 Dalam
pemahaman Mas Mansur, yang termasuk dalam sabilillah adalah
pembangunan kepentingan umum seperti sekolah (madrasah), tempat
pengobatan, dan tempat penampungan orang yang sengsara.

Menyangkut masalah qiyas, Mas Mansur memaknainya sebagai


berikut: ―menjoesoelkan sesoeatoe jang didiamkan oleh Sjara‘ kepada apa

52
Ibid., 16.
53
Ibid., 17.
54
“al-„Ibadah bi anwa„iha al-ta„abbudiyyah wa al-ma„qulah yuqsadu biha as}lan
wa„d Allah ajilan wa thaniyan sa„adat al-„abid „ajilan.” Ibid., 17.
55
Ibid., 18.
43
Pendidikan Kemuhammadiyahan
jang soedah dinash didalam heokoem sebab ada ‗illat (karena) jang bisa
mengoempoelkan diantara kedoeanja.‖56 Menurut Mas Mansur, qiyas
diberlakukan dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan penetapan
hukum dan mu„amalah, sedangkan dalam „ibadah tidak digunakan qiyas.

KEYAKINAN DAN CITA-CITA HIDUP MUHAMMADIYAH

Sementara itu, dalam perkembangan selanjutnya terdapat dokumen yang


berisi rumusan tentang Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah yang
dihasilkan melalui sidang Tanwir di Ponorogo Jawa Timur pada 1968 dan
Muktamar Muhammadiyah ke-37 (1968) di Yogyakarta. Menurut dokumen ini, Islam
dipahami sebagai ―agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasul-Nya sejak
Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup
Muhammad s.a.w. sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia
sepanjang masa dan menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spirituil, duniawi
dan ukhrawi.‖57

Dalam dokumen tersebut ditegaskan bahwa dalam mengamalkan Islam,


Muhammadiyah berdasarkan al-Qur‘an yang diyakini sebagai ―Kitab Allah yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w.‖ dan Sunnah Rasul yang merupakan
―penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran al-Qur‘an yang diberikan oleh Nabi
Muhammad s.a.w,‖ dengan menggunakan akal-fikiran sesuai dengan jiwa ajaran
Islam.58 Dinyatakan bahwa Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya „aqidah Islam
yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid‗ah dan khurafat, tanpa
mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam.59

Dokumen Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah menunjukkan


bahwa pemikiran formal Muhammadiyah mengandung kecenderungan yang sangat

56
Ibid., 19.
57
“Matan Kejakinan dan Tjita-Tjita Hidup Muhammadijah,” dalam Himpunan
Keputusan-Keputusan P.P. Muhammadijah dalam Bidang Tajdid Ideologi dan
Garis Pimpinan (Jogjakarta: Pimpinan Pusat Muhammadijah, 1971), 1.
58
Ibid.
59
Ibid.
44
Pendidikan Kemuhammadiyahan
kuat kepada pemurnian „aqidah dan „ibadah, atau dengan beragam istilah
kontemporer seperti tanzif al-„aqidah (pembersihan „aqidah), atau ta‟sil al-„aqidah
(mengembalikan „aqidah kepada yang asli-murni), atau “al-tajrid fi al-„aqidah wa al-
„ibadah al-mahdah.‖

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemikiran ideologis mencakup


orientasi pandangan tentang perjuangan dan cita-cita dengan strategi untuk
mencapainya, yang membawa konsekuensi pada membangun ‗sistem paham
perjuangan‘ berhadapan dengan paham dan kekuatan lain, yang dapat
mempengaruhi perkembangan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam.60

KHITTAH MUHAMMADIYAH

Sementara itu, dinamika Muhammadiyah dan elite ‗ulama-nya tidak dapat


dipisahkan dari politik. Seperti ditunjukkan dalam pembahasan terdahulu, gerak
Muhammadiyah secara tidak langsung mengikuti gerak politik kaum Muslim dan
bangsa Indonesia. Hubungan antara Muhammadiyah dan politik mengalami pasang
surut, dan ditentukan oleh persepsi atau pemikiran para elite ‗ulamanya mengenai
relasi antara agama dan politik, baik pada level ideologis maupun pada level
praktis.

Keikutsertaan elite Muhammadiyah dalam partai Islam (Masyumi) pada


masa demokrasi parlementer membawa Muhammadiyah ke dalam pertarungan
politik secara kelembagaan. Sekalipun Muhammadiyah tidak berubah menjadi
partai politik, tetapi corak pemikiran politik dari sebagian besar elitenya
mempengaruhi corak pemikiran keagamaan Muhammadiyah yang cenderung
ideologis.

Namun demikian, keterlibatan dalam politik dinilai tidak menguntungkan


gerak Muhammadiyah. Sampai derajat tertentu, ruang lingkupnya menjadi terbatas,
dan ciri utama Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan mengalami
distorsi. Hal inilah yang dirasakan pada dekade 1950-an, ketika hiruk pikuk
perpolitikan di Indonesia menyeret energi elite Muhamadiyah ke pusaran politik
kekuasaan. Konteks historis inilah yang melatarbelakangi munculnya pemikiran

60
Haedar Nashir, “Memahami Manhaj Gerakan Muhammadiyah,” xvii-xviii.
45
Pendidikan Kemuhammadiyahan
tentang urgensi perumusan khittah politik 1956-1959 dalam Muktamar di
Palembang (1959).61

Pemikiran khittah kemudian muncul kembali pada 1969 yang dikenal


sebagai Khittah Ponorogo, yang dihasilkan oleh Sidang Tanwir di Ponorogo Jawa
Timur. Khittah ini dilatarbelakangi oleh dinamika politik awal Orde Baru. Kebijakan
politik Orde Baru dalam politik diarahkan untuk penciptaan stabilitas politik dan
restrukturisasi kelembagaan partai politik. Kegagalan sebagian elite
Muhammadiyah untuk merehabilitasi Masyumi mendorong timbulnya gagasan
mendirikan partai tersendiri, sekalipun tidak memiliki kaitan struktural dengan
Muhammadiyah. Sekalipun Khittah Ponorogo menegaskan kembali jati diri
Muhammadiyah sebagai ―gerakan Islam dan amar makruf nahi munkar dalam
bidang masyarakat,‖ namun tetap memandang arti penting saluran perjuangan
melalui partai politik.

Secara implisit, khittah ini memberi rekomendasi kepada pimpinan


Muhammadiyah untuk membentuk satu partai di luar Muhammadiyah, tetapi tidak
memiliki hubungan struktural organisatoris, meskipun tetap memiliki ikatan atau
hubungan yang bersifat ideologis. Melalui cara yang berbeda, Muhammadiyah dan
partai politik yang dibentuk memiliki saling pengertian dan tujuan yang sama.62 Jika
Khittah Palembang 1956 lebih berorientasi pada peningkatan kualitas organisasi,
pimpinan dan warganya, baik dalam soal keagamaan maupun peran

61
Khittah ini dimaknai sebagai langkah yang harus dijalankan selama kurun waktu
tertentu. Pemikiran yang terkandung dalam khittah tidaklah ideologis, tetapi
lebih berdimensi praktis, yang mengandung parameter yang relatif mudah
diketahui dan diukur. Khittah Palembang 1956-1959 meliputi: (1) Menjiwai
pribadi para anggota, terutama para pemimpin Muhammadiyah; (2)
Melaksanakan uswatun hasanah; (3) Meutuhkan organisasi dan merapikan
administrasi; (4) Memperbanyak dan mempertinggi mutu „amal; (5)
Mempertinggi mutu anggota dan membentuk kader; (6) Mempererat ukhuwwah.
62
Khittah Perjuangan Muhammadiyah Tahun 1969 (Khittah Ponorogo). Sekalipun
partai itu dibentuk oleh Muhammadiyah, namun tetap tidak dibenarkan adanya
rangkap jabatan di partai dan Muhammadiyah. Haedar Nashir, Khittah
Muhammadiyah Tentang Politik (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2008), 24-
29 Haedar Nashir, “Memahami Manhaj Gerakan Muhammadiyah,” dalam
Manhaj Gerakan Muhammadiyah: Ideologi, Khittah dan Langkah, xxxi-xxxii.
46
Pendidikan Kemuhammadiyahan
kemasyarakatan, maka Khittah Ponorogo 1969 memiliki nuansa politik yang sangat
kental.

Tindak lanjut dari khittah ini ialah pendirian Partai Muslimin Indonesia
(Parmusi) pada 1969 yang mengakomodasi tokoh-tokoh Muhammadiyah dan
sebagian politisi bekas Masyumi. Pada mulanya, Muhammadiyah menempatkan
tokoh-tokohnya, yaitu Djarnawi Hadikusuma dan Lukman Harun, masing-masing
sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jendral. Namun, tidak lama kemudian terjadi
kudeta terhadap kepemimpinan partai oleh H.J. Naro, yang didukung oleh rezim
Orde Baru. Pengambil-alihan kepemimpinan politik ini membawa perubahan dalam
orientasi politik Muhammadiyah.

Kegagalan politik yang dialami oleh Muhammadiyah dalam menangani


Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) menjadi pertimbangan bagi Muhammadiyah
untuk meninjau kembali hubungannya dengan partai politik. Jika pada awal Orde
Baru (akhir 1960-an) masih tampak aspirasi politik Islam dalam Muhammadiyah,
maka awal 1970-an menjadi titik balik bagi organisasi ini untuk menjaga jarak yang
sama dengan partai politik apapun. Dalam konteks ini, Muhammadiyah
menegaskan ―tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak
merupakan afiliasi dari sesuatu partai politik atau organisasi apapun.‖63

Khittah 1971 yang dihasilkan oleh Muktamar ke-38 di Ujung Pandang tidak
bisa dilepaskan dari konteks politik, setelah pelaksanaan Pemilihan Umum 1971
yang menjadi basis bagi kekuasaan politik Orde Baru melalui Golongan Karya
(Golkar). Sementara itu, Parmusi yang dapat dikatakan merupakan saluran aspirasi
politik Muhammadiyah tidak memperoleh dukungan yang signifikan dari pemilih.
Kenyataan politik inilah yang mendorong timbulnya pemikiran Khittah Ujung
Pandang, yang menegaskan tidak terlibatnya Muhammadiyah dalam politik praktis,
meskipun masih membangun hubungan konstruktif dengan Parmusi.

63
Khittah Muhammadiyah Tahun 1971 (Khittah Ujung Pandang), poin 1. Namun
demikian, Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada anggotanya untuk
tidak memasuki atau memasuki organisasi yang lain, asalkan tidak ada
pertentangan prinsipil dengan paham keagamaan Muhammadiyah.
47
Pendidikan Kemuhammadiyahan
Ketika rezim Orde Baru menjadi kuat dan terkonsolidasi, dengan
penyederhanaan partai politik menjadi dua (Partai Persatuan Pembangunan dan
partai Demokrasi Indonesia), ditambah Golongan Karya, kebijakan politik yang
mengarah kepada restrukturisasi partai politik dan program de-ideologisasi politik
(Islam) menjadi dasar pemikiran timbulnya khittah perjuangan Muhammadiyah
tahun 1978 yang dihasilkan oleh Muktamar ke-40 di Surabaya.64 Inti Khittah 1978
ialah pemikiran dan sikap Muhammadiyah yang tidak lagi memiliki hubungan
organisatoris dengan partai politik mana pun, dan berbeda dari beberapa khittah
sebelumnya yang menyatakan hubungan ideologis atau konstruktif dengan
Parmusi. Namun, Khittah 1978 tetap memberikan kebebasan politik kepada
warganya seperti tercakup dalam Khittah 1971.65

64
Khittah Perjuangan Muhammadiyah Tahun 1978 (Khittah Surabaya).
65
Haedar Nashir, Khittah Muhammadiyah Tentang Politik, 33-34.
48
Pendidikan Kemuhammadiyahan
BAB III
FAHAM ISLAM DALAM MUHAMMADIYAH

Kompetensi Dasar
1. Agar mahasiswa dapat memahami konsep faham Islam dalam Muhammadiyah
2. Agar mahasiswa mampu menganalisis aneka ragam pemahaman keagamaan
Islam di nusantara serta posisi Muhammadiyah di dalamnya
3. Agar mahasiswa menyadari posisi pemahaman keagamaan Muhammadiyah di
tengah ummat Islam Indonesia

A. Deskripsi Mata Kuliah


Mata kuliah Faham Islam dalam Muhammadiyah diajarkan pada
mahasiswa Program Diploma (D-1) Kemuhammadiyahan bertujuan untuk
memberikan pemahaman bahwa Muhammadiyah mengajarkan corak Islam
yang berkemajuan. Seiring dengan itu, Muhammadiyah menekankan
pentingnya pembaruan (tajdid). Sebagai konsekwensi dari keinginan untuk
menumbuhkan spirit tajdid itulah Muhammadiyah telah mengambil sikap
untuk tidak bermazhab dalam bidang teologi, fiqih, dan tasawuf.

B. Aspek Penting Faham Muhammadiyah


1. Hakekat Islam dan Metodologi Memahaminya
Topik ini diharapkan dapat menjelaskan hakekat Islam dan
metodologi memahaminya dalam perspektif Muhammadiyah. Beberapa sub-
bagian yang penting dijelaskan meliputi pengertian agama Islam, sumber
ajaran Islam, aspek ajaran, sejarah Islam, Islam dan isme-isme modern,
beberapa metode memahami ajaran Islam, dan pemahaman Islam menurut
Muhammadiyah.
Dalam sudut pandang Himpunan Putusan Tarjih (HPT), agama
adalah apa yang disyariatkan Allah dengan perantaraan Nabi-nabi-Nya,
berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk
untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat. Karena menurut
Muhammadiyah cakupan ajaran Islam itu begitu luas, meliputi aspek akidah,
ibadah, akhlak, dan muamalah duniawiyah, maka keluarga besar
49
Pendidikan Kemuhammadiyahan
Muhammadiyah perlu memiliki rujukan untuk menjalani kehidupan sehari-
hari agar dapat menjadi teladan bagi masyarakat sekitar. Untuk itulah
keberadaan buku; Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah perlu
menjadi rujukan utama. Bahkan buku tersebut dapat menjadi buku saku
yang sangat bermanfaat untuk menjalani hidup, baik sebagai pribadi
maupun bagian dari keluarga, masyarakat, dan bangsa.
Dalam HPT juga diutarakan bahwa agama Islam adalah agama
Allah (dinullah) yang diwahyukan pada para rasul sejak Nabi Adam hingga
Muhammad SAW (QS. 3: 19, 83-85; 2: 132). Secara lebih spesifik dikatakan
bahwa agama Islam yang dibawa oleh Muhammad saw ialah apa yang
diturunkan Allah di dalam al-Qur‘an dan yang tersebut dalam al-sunnah
yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk
untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat.
Faham Islam menurut Muhammadiyah terangkum dalam prinsip
kembali pada al-Qur‘an dan Sunnah (al-ruju‟ ila al-Qur‟an wa al-Sunnah). Ini
berarti bahwa bagi Muhammadiyah setiap amalan harus bersandar pada al-
Qur‘an dan al-Sunnah al-Shahihah. Namun demikian, motto ini sering kali
diterjemahkan aktivis Muhammadiyah dengan mengabaikan khazanah
intelektual Islam masa lalu. Aktivis Muhammadiyah tampaknya tidak pernah
bertanya secara serius mengenai bagaimana kita kembali kepada al-Qur‘an
dan al-Sunnah (kayfa narja‟ ila al-Qur‟an wa al-Sunnah).
Dalam konteks inilah tampaknya Muhammadiyah masih
menghadapi persoalan epistemologi dan metodologi sebagai kerangka
untuk kembali kepada al-Qur‘an dan al-Sunnah. Seputar problem inilah
kajian mengenai hakekat Islam dan metode memahaminya dalam perspektif
Muhammadiyah perlu dibahas. Melalui pembahasan ini kita akan mampu
menampilkan faham Islam dalam perspektif Muhammadiyah.
Yang perlu diingat, bahwa untuk memahami Islam itu dibutuhkan
keluasan pemahaman. Dalam langkah kedua dari dua belas langkah yang
dirumuskan KH. Mas Mansur, yaitu tentang ―memperluas faham‖, kita
diingatkan bahwa yang harus diperluas itu adalah faham agama. Jadi bukan

50
Pendidikan Kemuhammadiyahan
agama-nya yang diperluas karena agama itu sudah sempurna sehingga
tidak boleh diperluas atau dipersempit.
Peringatan Mas Mansyur tersebut penting dikemukakan karena ada
kalanya orang itu memahami agama dalam sudut pandang yang sangat
sempit. Padahal beragama itu mudah sehingga tidak boleh dipersulit.
Faham Islam yang didakwahkan mubaligh Muhammadiyah juga harus
menggembirakan dan tidak boleh menakut-nakuti. Hal ini sejalan dengan
hadits Nabi riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas; ―Mudahkanlah dan
jangan kamu mempersulit, serta gembirakanlah dan jangan kamu membikin
orang jadi lari‖ (Yassiru wala tu‟assiru wa basysyiru wa la tunaffiru).

2. Revitalisasi Ideologi Muhammadiyah


Topik ini perlu dibahas berkaitan dengan tantangan yang dihadapi
Muhammadiyah tatkala memasuki abad kedua. Pada saat ini
Muhammadiyah dihadapkan pada berbagai persoalan era kontemporer.
Pimpinan persyarikatan pun merespon tantangan ini dengan keinginan
untuk merevitalisasi ideologi Muhammadiyah. Tema revitalisasi ideologi ini
terus diwacanakan karena Muhammadiyah dikritik telah kehilangan spirit
tajdid. Umumnya para pengkritik bersepakat bahwa Muhammadiyah layak
disebut gerakan tajdid jika berkaitan dengan keberhasilannya
mengembangkan amal usaha. Tetapi, jika label tajdid didasarkan pada
bidang pemikiran keagamaan maka pengamat cenderung berbeda
pendapat. Bahkan sebagian pengamat, menyatakan bahwa dalam bidang
keagamaan Muhammadiyah lebih tepat disebut gerakan salafiyah.
Gerakan pembaruan Muhammadiyah tampak jelas pada wilayah
muamalah-duniawiyah. Sementara untuk urusan akidah dan ibadah,
Muhammadiyah melakukan purifikasi (pemurnian; tajrid). Dalam hal akidah
dan ibadah, Muhammadiyah merasa sudah cukup dengan yang disyariatkan
oleh Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, Muhammadiyah akan bersikap tegas
terhadap upaya yang berkaitan dengan modernisasi di bidang akidah dan
ibadah. Jika terjadi tajdid di bidang akidah dan ibadah biasanya aktivis
Muhammadiyah menghukuminya dengan sesat (bid‟ah). Sementara dalam

51
Pendidikan Kemuhammadiyahan
urusan muamalah-duniawiyah, Muhammadiyah berprinsip antum a„lamu bi
umuri dunyakum (kamu lebih mengetahui terhadap urusan duniamu). Di
wilayah muamalah-duniawiyah inilah Muhammadiyah sangat progresif
dalam melakukan pembaruan. Semua itu dilakukan agar ajaran Islam yang
ditampilkan Muhammadiyah benar-benar mencerminkan ―Islam yang
Berkemajuan‖, yang selaras dengan perkembangan dan tantangan zaman.

3. Modernisme versus Puritanisme


Topik ini perlu dibahas karena adanya pandangan dari beberapa
pengamat mengenai faham agama Muhammadiyah. Misalnya, Nakamura
(1976) menyatakan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi yang
berwajah banyak (multi faces; dhu wujuh). Muhammadiyah tampak eksklusif
jika dilihat dari luar meski sesungguhnya sangat terbuka dan toleran. Dalam
bidang budaya, Muhammadiyah dikesankan anti kebudayaan, meski
sesungguhnya banyak memasukkan nilai Jawa. Muhammadiyah juga
tampak sebagai organisasi yang sangat disiplin, meski tidak ada alat
pendisiplinan selain kesadaran setiap individu.
Bagi Achmad Jainuri (2002), karakteristik Muhammadiyah yang
multi wajah tersebut diakibatkan oleh adanya usaha para aktivisnya untuk
mensintesakan modernisme Muhammad ‗Abduh dan konservatisme Rashid
Ridla yang dapat diamati melalui pragmatisme KH Ahmad Dahlan dan
formalisme KH Mas Mansur. Hasil penelitian Abdul Munir Mulkhan berjudul;
Islam Murni (2000), juga menunjukkan bahwa keluarga besar
Muhammadiyah itu tidak dapat dipotret secara monolitik. Ragam faham
keagamaan terjadi begitu rupa di Muhammadiyah.
Pada konteks ini sangat penting dilakukan peneguhan ideologi agar
tidak terjadi fenomena ―migrasi jama‘ah‖. Harus diakui, fenomena migrasi
jama‘ah Muhammadiyah ke ormas dan faham keagamaan lain ini telah
menjadi tantangan tersendiri. Menghadapi persoalan ini ada juga keinginan
agar Muhammadiyah merevitalisasi ideologi keagamaannya sehingga bisa
menjadi ―rumah besar‖, tempat yang nyaman bagi berhimpunnya berbagai
faham pemikiran keagamaan.

52
Pendidikan Kemuhammadiyahan
Tantangan di bidang ideologi yang juga dihadapi Muhammadiyah
adalah berkaitan dengan usaha untuk menyeimbangkan modernisasi dan
purifikasi (al-tawazun bayna tajdid wa tajrid). Ini berarti Muhammadiyah
harus semakin memantapkan diri sebagai gerakan pembaruan di bidang
sosial kemasyarakatan. Sementara yang berkaitan dengan akidah dan
ibadah tetap melakukan purifikasi. Yang penting diperhatikan dalam hal ini
adalah agar jangan sampai terjadi kesalahan dalam meletakkan program
modernisasi dan purifikasi.

4. Muhammadiyah Gerakan Non-Mazhab


Topik ini perlu dibahas untuk memberikan tekanan bahwa
Muhammadiyah merupakan organisasi keagamaan yang tidak bermazhab
(non-mazhab). Pernyataan ini misalnya dikemukakan oleh Syafiq A. Mughni
(1990) yang menyatakan bahwa Muhammadiyah memang tidak pernah
menentukan apakah berpaham teologi Jabariah atau Qadariah. Menurut
Syafiq, Muhammadiyah mengambil posisi tengah. Muhammadiyah juga
menyatakan tidak terikat dengan mazhab tertentu dalam bidang fiqih dan
tasawuf. Jadi, tidak seperti kelompok organisasi keislaman lain yang telah
menentukan pilihan bermazhab. Misalnya, di bidang teologi mengikuti aliran
Asy‘ari dan Maturidi; di bidang fiqih mengikuti mazhab Syafi‘i; dan di bidang
tasawuf bermazhab pada al-Ghazali.
Pilihan untuk menjadi gerakan non-mazhab dimaksudkan agar
Muhammadiyah tidak memiliki beban ketika harus merespon khazanah
intelektual Muslim masa silam. Pada konteks inilah di dalam Muhammadiyah
tumbuh dan berkembang begitu banyak pemikiran di bidang teologi, fiqih,
dan tasawuf. Dalam hal ini Muhammadiyah menunjukkan diri sebagai
gerakan keagamaan yang tidak bersifat monolitik, melainkan dialektik.
Keragaman pandangan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan keterkaitan
pemikiran mereka dengan pembaru muslim di dunia Islam telah menjadi
tantangan tersendiri di tengah keinginan untuk menjadi gerakan non-
mazhab. Bahkan ada juga dorongan agar Muhammadiyah memilih jalan
tengah dalam bidang teologi (al-aqidah al-washithiyah). Sikap mengambil

53
Pendidikan Kemuhammadiyahan
jalan tengah ini perlu diambil agar Muhammadiyah lebih fleksibel dan lentur
dalam merespon perkembangan pemikiran keislaman.
Pilihan Muhammadiyah dalam menentukan faham agama dengan
cara tidak bermazhab (non-mazhab) ini terasa sangat tepat karena
Muhammadiyah dapat menampilkan faham agama yang lebih dinamis
sesuai dengan tantangan zaman, tanpa harus terbelenggu dengan
pemikiran masa silam. Pemikiran keislaman masa silam harus dijadikan
sebagai khazanah dan tidak boleh disakralkan (disucikan). Meminjam istilah
Mohammed Arkoun dalam memosisikan khazanah intelektual muslim masa
silam adalah sikap tidak mensakralkan pemikiran keagamaan (taqdis al-
afkar al-diny). Sikap ini penting dikemukakan karena betapapun kuat
pemikiran keislaman masa silam, semua pemikiran bersumber dari ijtihad
seseorang sehingga bersifat nisbi (relatif) dan tidak mutlak benar. Yang
mutlak benar hanya wahyu, al-Qur‘an dan Hadits shahih, karena bersumber
dari Allah SWT. Dengan tidak bermazhab maka corak keislaman
Muhammadiyah menjadi lebih fleksibel dan tidak terbebani dengan sejarah
masa lalu berbagai mazhab dalam Islam. Dengan demikian maka
Muhammadiyah akan mampu menampilkan wajah Islam yang berkemajuan
serta kompatibel dengan semua waktu dan tempat (shalihun likulli zaman
wa makan).

5. Mengembangkan Dakwah Kultural


Topik ini berkaitan dengan adanya keinginan Muhammadiyah untuk
mengubah pendekatan dan strategi dalam berdakwah. Melalui forum Tanwir
Muhammadiyah sejak di Bali (2002), Nusa Tenggara Barat (2003), Makasar
(2004), dan Muktamar di Malang (2005), telah diwacanakan pendekatan dan
strategi dakwah kultural. Dengan model dakwah kultural diharapkan tabligh
Muhammadiyah akan memberikan apresiasi terhadap seni dan budaya
lokal. Penting diingat, prinsip dakwah kultural harus tetap menampilkan
watak Muhammadiyah sebagai gerakan pemurnian di bidang aqidah dan
ibadah mahdloh. Muhammadiyah juga harus melakukan modernisasi dan

54
Pendidikan Kemuhammadiyahan
dinamisasi di bidang muamalah (al-tajrid fi al-„aqidah wa al-„ibadah wa tajdid
fi al-mu„amalah).
Tekanan untuk menggunakan strategi kultural dalam berdakwah
juga didasari keinginan menampilkan Muhammadiyah sebagai gerakan yang
tidak anti kebudayaan. Ini dapat dimaklumi karena sejak lama
Muhammadiyah dikritik anti kebudayaan. Padahal yang seharusnya adalah
bahwa Muhammadiyah merupakan gerakan keagamaan yang berkeinginan
mengganti kebudayaan lama yang tidak senafas dengan ajaran Islam untuk
diganti kebudayaan baru yang Islami. Dengan menggunakan strategi
dakwah kultural diharapkan dapat menempatkan seni dan budaya lokal
sebagai media dalam berdakwah.

6. Praksisme dalam Muhammadiyah


Topik ini perlu dibahas karena adanya kecenderungan
Muhammadiyah untuk memahami ajaran Islam sehingga lebih bercorak
praksis. Dalam hal ini Muhammadiyah dapat dkatakan sebagai pelopor bagi
organisasi yang mengajarkan prinsip pentingnya mewujudkan keimanan
dalam bentuk amal perbuatan (a faith with action). Ini seperti disinyalir Buya
Syafii Maarif (1997) yang menyatakan bahwa Muhammadiyah tampak
menonjol sebagai gerakan amal. Hasilnya, jumlah amal usaha
Muhammadiyah di bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial,
terus mengalami peningkatan.
Tetapi persoalan kemudian muncul tatkala ada fenomena yang
mengesankan bahwa Muhammadiyah kurang dapat menyeimbangkan
antara gerakan amal dan gerakan ilmu. Karena itulah beberapa intelektual
muda menginginkan agar Muhammadiyah diruwat kembali. Semangat inilah
yang ingin dikemukakan Mu‘arif (2005) agar Muhammadiyah kembali
menampilkan diri sebagai pelopor gerakan tajdid. Apalagi dalam sejarah
panjang perjalanannya Muhammadiyah telah banyak ternoda akibat
berselingkuh dengan kepentingan politik praktis. Trend mutakhir
perkembangan Muhammadiyah yang menonjolkan praksisme dan
persinggungan dengan politik praktis menjadi tantangan dalam

55
Pendidikan Kemuhammadiyahan
mengeborkan spirit tajdid. Melalui usaha mengobarkan spirit tajdid ini
Muhammadiyah mampu menampilkan diri sebagai gerakan ilmu.

Daftar Pustaka

Ali, A. Mutki. ―Amalan Kyai Haji Ahmad Dahlan,‖ dalam Muhammadiyah


danTantangan Masa Depan: Sebuah Dialog Intelektual, ed.
Sujarwanto, dkk. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990, 360-361.

Hamzah, Amir (ed). KH. Mas Mansyur Pemikiran tentang Islam dan
Muhammadiyah. Yogyakarta: YP2LPM dan PT. Hanindita, 1986.

Jainuri, Achmad. Ideologi Kaum Reformis Melacak Pandangan Keagamaan


Muhammadiyah Periode Awal. Terj. Ahmad Nur Fuad. Surabaya:
LPAM, 2002.
--------------. Orientasi Ideologi Gerakan Islam: Konservatisme,
Fundamentalisme, Sekularisme, dan Modernisme. Surabaya: LPAM,
2004.

Maarif, A. Syafii. Islam Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Mu‘arif, Meruwat Muhammadiyah: Kritik Seabad Pembaharuan Islam di


Indonesia Yogyakarta: Pilar Media, 2005.

Mughni, Syafiq A. ―Ahlussunnah Wal Jama‘ah dan Posisi Teologi


Muhammadiyah,‖ dalam Muhammadiyah Kini dan Esok, ed. M. Din
Syamsuddin. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990, 259-280.

Mulkhan, Abdul Munir. Islam Murni dalam Masyarakat Petani. Yogyakarta:


Bentang,2000.

56
Pendidikan Kemuhammadiyahan
Nakamura, Mitsuo. The Crescent Arises Over the Banyan Tree: A Study of
Muhammadiyah Movement in Central Java. Disertasi Cornel
University, 1976.

Nashir, Haedar, dkk. Materi Induk Pengkaderan Muhammadiyah.


Yogyakarta: Badan Pendidikan Kader Pimpinan Pusat
Muhammadiyah,1996.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dakwah Kultural Muhammadiyah.


Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2005.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Himpunan Putusan Tarjih.

57
Pendidikan Kemuhammadiyahan

BAB IV
MANHAJ TARJIH MUHAMMADIYAH

A. KOMPETENSI DASAR

1. Agar mahasiswa dapat memahami konsep Mabadi‘ Khamsah dan


metodologi manhaj tarjih.
2. Agar mahasiswa mampu menguasai Himpunan Putusan Tarjih
Muhammadiyah dari masa ke masa.
3. Agar mahasiswa mampu menerapkan manhaj tarjih dalam
kehidupan sehari-hari.

B. MUQADDIMAH

Tarjih berasal dari kata "rajjaha-yurajjihu-tarjihan", yang berarti


mengambil sesuatu yang lebih kuat. Menurut istilah ahli ushul fiqh
adalah: Usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu
antara dua jalan (dua dalil) yang saling bertentangan, karena
mempunyai kelebihan yang lebih kuat dari yang lainnya."
Tarjih dalam istilah persyarikatan, sebagaimana terdapat uraian
singkat mengenai "Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup
Muhammadiyah" adalah membanding-banding pendapat dalam
musyawarah dan kemudian mengambil mana yang mempunyai alasan
yang lebih kuat"
Pada tahap-tahap awal, tugas Majelis Tarjih, sesuai dengan
namanya, hanyalah sekedar memilih-milih antar beberapa pendapat
yang ada dalam Khazanah Pemikiran Islam, yang dipandang lebih kuat.
Tetapi, dikemudian hari, karena perkembangan masyarakat dan jumlah
persoalan yang dihadapinya semakin banyak dan kompleks , dan
tentunya jawabannya tidak selalu di temukan dalam Khazanah
Pemikiran Islam Klasik, maka konsep Tarjih Muhammadiyah mengalami
58
Pendidikan Kemuhammadiyahan
pergeseran yang cukup signifikan. Kemudian mengalami perluasan
menjadi: usaha-usaha mencari ketentuan hukum bagi masalah-
maasalah baru yang sebelumnya tidak atau belum pernah ada
diriwayatkan qoul (ucapan) ulama mengenainya". Usaha-usaha tersebut
dalam kalangan ulama ushul Fiqh lebih dikenal dengan nama "Ijtihad".
Oleh karenanya, idealnya nama Majelis yang mempunyai tugas
seperti yang disebutkan di atas adalah Majelis Ijtihad, namun karena
beberapa pertimbangan, dan ada keinginan tetap menjaga nama asli,
ketika Majelis ini pertama kali dibentuk, maka nama itu tetap dipakai,
walau terlalu sempit jika di bandingkan dengan tugas yang ada.

C. SEJARAH BERDIRINYA MAJELIS TARJIH

Pada waktu berdirinya Persyarikatan Muhammdiyah ini,


tepatnya pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 M,
Majelis Tarjih belum ada, mengingat belum banyaknya masalah yang
dihadapi oleh Persyarikatan. Namun lambat laun, seiring dengan
berkembangnya Persyarikatan ini, maka kebutuhan-kebutuhan internal
Persyarikatan ini ikut berkembang juga, selain semakin banyak jumlah
anggotanya yang kadang memicu timbulnya perselisihan paham
mengenai masalah-masalah keagamaan, terutama yang berhubungan
dengan fiqh. Untuk mengantisipasi meluasnya perselisihan tersebut,
serta menghindari adanya perpecahan antar warga Muhammadiyah,
maka para pengurus persyarikatan ini melihat perlu adanya lembaga
yang memiliki otoritas dalam bidang hukum. Maka pada tahun 1927 M,
melalui Keputusan Konggres ke-16 di Pekalongan, berdirilah lembaga
tersebut yang disebut Majelis Tarjih Muhammdiyah.
Majelis Tarjih, yang pada awal berdirinya hanya bertugas
memilah dan memilih pendapat yang paling kuat dasarnya, di antara
pendapat yang ada dalam khazanah pemikiran Islam, namun seiring
dengan perkembangan masyarakat dan semakin kompleksnya
59
Pendidikan Kemuhammadiyahan
persoalan yang dihadapi umat Islam, yang tidak selalu pemecahannya
bisa ditemukan dalam khazanah pemikiran Islam klasik, maka tugas
majelis tarjih juga mengalami pergeseran menjadi usaha-usaha mencari
ketentuan hukum bagi masalah-masalah baru yang belum pernah ada
pendapat ulama tentangnya.
Tersebut di dalam majalah Suara Muhammadiyah no.6/1355 (1936) hal
145:
" ….bahwa perselisihan faham dalam masalah agama sudahlah
timbul dari dahulu, dari sebelum lahirnja Muhammadijah: sebab-
sebabnja banjak, diantaranja karena masing-masing memegang teguh
pendapat seorang ulama atau jang tersebut di suatu kitab, dengan tidak
suka menghabisi perselisihannja itu dengan musjawarah dan kembali
kepada al-Qur‘an, perintah Tuhan Allah dan kepada Hadits, sunnah
Rosulullah.

Oleh karena kita chawatir, adanja pernjeknjokan dan


perselisihan dalam kalangan Muhammadijah tentang masalah agama
itu, maka perlulah kita mendirikan Madjlis Tardjih untuk menimbang dan
memilih dari segala masalah jang diperselisihkan itu jang masuk dalam
kalangan Muhammadijah manakah jang kita anggap kuat dan berdalil
benar dari al-Qur‘an dan hadits."
Sejak berdirinya pada tahun 1927 M, Majelis Tarjih telah
dipimpin oleh 8 Tokoh Muhammadiyah, yaitu:
1. KH. Mas Mansur
2. Ki Bagus Hadikusuma
3. KH. Ahmad Badawi
4. Krt. KH. Wardan Diponingrat
5. KH. Azhar Basyir
6. Prof. Drs. Asjmuni Abdurrohman (1990-1995)
7. Prof. Dr. H. Amin Abdullah (1995-2000)
8. Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA (2000-2005 s.d. 2010-2015)

60
Pendidikan Kemuhammadiyahan

D. KEDUDUKAN DAN TUGAS MAJELIS TARJIH

Majelis Tarjih ini mempunyai kedudukan yang istimewa di dalam


Persyarikatan, karena selain berfungsi sebagai Pembantu Pimpinan
Persyarikatan, mereka memiliki tugas untuk memberikan bimbingan
keagamaan dan pemikiran di kalangan umat Islam Indonesia pada
umumnya dan warga persyarikatan Muhammadiyah khususnya.
Sehingga, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Majelis Tarjih ini
merupakan ―Think Thank"-nya Muhammadiyah. Ia bagaikan sebuah
"processor" pada sebuah komputer, yang bertugas mengolah data yang
masuk sebelum dikeluarkan lagi pada monitor.
Adapun tugas-tugas Majelis Tarjih, sebagaimana yang tertulis
dalam Qa‘idah Majelis Tarjih 1961 dan diperbaharuhi lewat keputusan
Pimpinan Pusat Muhammdiyah No. 08/SK-PP/I.A/8.c/2000, Bab II pasal
4, adalah sebagai berikut:
1. Mempergiat pengkajian dan penelitian ajaran Islam dalam rangka
pelaksanaan tajdid dan antisipasi perkembangan masyarakat.
2. Menyampaikan fatwa dan pertimbangan kepada Pimpinan
Persyarikatan guna menentukan kebijaksanaan dalam menjalankan
kepemimpinan serta membimbing umat, khususnya anggota dan
keluarga Muhammadiyah.
3. Mendampingi dan membantu Pimpinan Persyarikatan dalam
membimbing anggota melaksanakan ajaran Islam
4. Membantu Pimpinan Persyarikatan dalam mempersiapkan dan
meningkatkan kualitas ulama.
5. Mengarahkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang
keagamaan ke arah yang lebih maslahat.
Menurut Amin Abdullah, salah satu tokoh Muhammadiyah yang
pernah menjabat sebagai ketua Majelis Tarjih, bahwa Majis Tarjih
sebenarnya memiliki dua dimensi wilayah keagamaan yang satu sama

61
Pendidikan Kemuhammadiyahan
lainnya perlu memperoleh perhatian seimbang. Yang pertama adalah
wilayah tuntunan keagamaan yang bersifat praktis, terutama ikhwal
ibadah mahdhoh. Sedangkan yang kedua adalah wilayah pemikiran
keagamaan yang meliputi visi, gagasan, wawasan, nilai-nilai, dan
sekaligus analisis terhadap berbagai persoalaan (ekonomi, politik,
sosial-budaya, hukum, ilmu pengetahuan, lingkungan hidup, dan lain-
lainnya).

E. MANHAJ TARJIH
Sejak tahun 1935 upaya perumusan Manhaj Tarjih
Muhammadiyah telah dimulai, dengan surat edaran yang dikeluarkan
oleh Hoofdbestuur (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah. Langkah
pertama kali yang ditempuh adalah dengan mengkaji "Mabadi’
Khomsah" (Masalah Lima) yang merupakan sikap dasar
Muhammadiyah dalam persoalan agama secara umum.
Masalah ini tampaknya mendesak untuk dicari jawabannya
pada waktu itu, guna dapat menentukan apakah sesuatu amal usaha
yang diselenggarakan Muhammadiyah itu termasuk urusan agama,
sehingga harus betul-betul berpijak kepada sunnah atau termasuk
urusan dunia sehingga pertimbangan akal dapat digunakan dan
seterusnya.
Ketika jawaban-jawaban itu sudah masuk dari sejumlah ulama,
baik atas nama perorangan maupun organisasi, maka K.H. Mas Mansur
mengolah dan menyimpulkannya dalam buku kecil yang diterbitkan oleh
Hoofdcoomite Congres Moehammadijah Djogdjakarta tahun 1942,
dengan judul ―Kesimpoelan Djawaban Masalahh Lima‖.
1. Masalah Lima tersebut meliputi :

a. Pengertian Agama (Islam) atau al-Din, yaitu :


―Apa yang diturunkan Allah dalam al-Qur‘an dan yang tersebut
dalam al-Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan
62
Pendidikan Kemuhammadiyahan
larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di
dunia dan akhirat‖.

b. Pengertian Dunia (al-Dunya ):


"Yang dimaksud urusan dunia dalam sabda Rasulullah SAW:
"Kamu lebih mengerti urusan duniamu" ialah :segala perkara
yang tidak menjadi tugas diutusnya para Nabi (yaitu perkara-
perkara / pekerjaan-pekerjaan / urusan-urusan yang diserahkan
sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia).

c. Pengertian al-Ibadah, ialah:


―Bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT, dengan
jalan mentaati segala perintah-perintahNya, menjauhi larangan-
laranganNya dan mengamalkan segala yang diijinkan Allah
SWT‖. Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus. Ibadah
yang umum ialah segala amalan yang diijinkan Allah dan ibadah
yang khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah SWT akan
perincian-perinciannya, tingkat, dan cara-caranya yang tertentu.

d. Pengertian Sabilillah, ialah :


―Jalan yang menyampaikan perbuatan seseorang kepada
keridloan Allah SWT, berupa segala amalan yang diijinkan Allah
SWT untuk memuliakan kalimat (agama)-Nya dan
melaksanakan hukum-hukum-Nya).‖
e. Pengertian Qiyas, (Ini belum dijelaskan secara rinci baik
pengertian maupun pelaksanaan-nya).
Karena Masalah Lima tersebut, masih bersifat umum, maka
Majelis Tarjih terus berusaha merumuskan Manhaj untuk
dijadikan pegangan dalam menentukan hukum. Kemudian pada
tahun 1985-1990, yaitu tepatnya pada tahun 1986, setelah
Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Solo, Majelis Tarjih berhasil

63
Pendidikan Kemuhammadiyahan
merumuskan 16 poin pokok-pokok Manhaj Tarjih
Muhammadiyah.

2. Pokok-pokok Manhaj Majelis Tarjih secara singkat adalah sbb :

a. Dalam ber-istidlal, dasar utamanya adalah al-Qur‘an dan al-


Sunnah al- Shahihah. Ijtihad dan istinbath atas dasar illah
terhadap hal-hal yang tidak terdapat dalam nash, dapat
dilakukan, sepanjang tidak menyangkut bidang ta‟abbudi, dan
memang hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup
manusia. Dengan perkataan lain, Majelis Tarjih menerima
Ijitihad, termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan
hukum yang tidak ada nashnya secara langsung. (Majelis tarjih
di dalam berijtihad menggunakan tiga macam bentuk ijtihad:
Pertama: Ijtihad Bayani: yaitu (menjelaskan teks al-Qur‘an dan
al-Hadits yang masih mujmal (umum) atau mempunyai makna
ganda, atau kelihatan bertentangan, atau sejenisnya, kemudian
dilakukan jalan tarjih. Sebagai contohnya adalah ijtihad Umar
untuk tidak membagi tanah yang ditaklukkan seperti tanah Iraq,
Iran, Syam, dan Mesir kepada pasukan kaum muslimin, akan
tetapi dijadikan "Kharaj" dan hasilnya dimasukkan dalam baitul
mal muslimin, dengan berdalil QS al-Hasyr; ayat 7-10. Kedua:
Ijtihad Qiyasi: yaitu penggunaan metode qiyas untuk
menetapkan ketentuan hukum yang tidak dijelaskan oleh teks
al-Quran maupun al-Hadist, diantaranya: mengqiyaskan zakat
tebu, kelapa, lada, cengkih, dan sejenisnya dengan zakat
gandum, beras, dan makanan pokok lainnya, bila hasilnya
mencapai 5 wasak (7,5 kuintal). Ketiga: Ijtihad Istishlahi: yaitu
menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara khusus
dengan berdasarkan illat, demi untuk kemaslahatan
masyarakat, seperti; membolehkan wanita keluar rumah dengan

64
Pendidikan Kemuhammadiyahan
beberapa syarat, membolehkan menjual barang wakaf yang
diancam lapuk, mengharamkan nikah antar agama dan lain-lain.

b. Dalam memutuskan sesuatu keputusan, dilakukan dengan cara


musyawarah. Dalam menetapkan masalah ijtihad, digunakan
sistem ijtihad jama‟i. Dengan demikian pendapat perorangan
dari anggota Majelis, tidak dipandang kuat. (Seperti pendapat
salah satu anggota Majelis Tarjih Pusat yang pernah dimuat di
dalam majalah ―Suara Muhammadiyah‖, bahwa dalam
penentuan awal bulan Ramadlan dan Syawal hendaknya
menggunakan Mathla‟ Makkah. Pendapat ini hanyalah
pendapat pribadi sehingga tidak dianggap kuat. Yang
diputuskan dalam Munas Tarjih di Padang Oktober 2003,
bahwa Muhammadiyah menggunakan Mathla‟ Wilayah al-
Hukmi )

c. Tidak mengikatkan diri kepada suatu mazhab, akan tetapi


pendapat-pendapat mazhab, dapat menjadi bahan
pertimbangan dalam menentukan hukum, sepanjang sesuai
dengan jiwa al-Qur‘an dan al-Sunnah, atau dasar-dasar lain
yang dipandang kuat. (Seperti halnya ketika Majelis Tarjih
mengambil pendapat Mutorif bin al-Syahr di dalam
menggunakan hisab ketika cuaca mendung, yaitu di dalam
menentukan awal bulan Ramadlan, walaupun pendapatnya
menyelisihi Jumhur Ulama. Sebagai catatan: Rumusan di atas,
menunjukkan bahwa Muhammadiyah, telah menyatakan diri
untuk tidak terikat dengan suatu mazhab, dan hanya
menyandarkan segala permasalahannya pada al-Qur‘an dan al-
Hadits saja. Namun pada perkembangannya, Muhammadiyah
sebagai organisasi keagamaan yang mempunyai pengikut
cukup banyak, secara tidak langsung telah membentuk mazhab
sendiri, yang disebut "Mazhab Muhammadiyah", ini dikuatkan

65
Pendidikan Kemuhammadiyahan
dengan adanya buku panduan seperti HPT (Himpunan
keputusan Tarjih).

d. Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa


hanya Majelis Tarjih yang paling benar. Keputusan ini diambil
atas dasar landasan dalil-dalil yang dipandang paling kuat, yang
didapat ketika keputusan diambil serta koreksi dari siapapun
akan diterima, sepanjang dapat diberikan dalil-dalil lain yang
lebih kuat. Dengan demikian, Majelis Tarjih dimungkinkan
mengubah keputusan yang pernah ditetapkan. (Seperti halnya
pencabutan larangan menempel gambar KH. Ahmad Dahlan
karena kekhawatiran tejadinya syirik sudah tidak ada lagi,
pencabutan larangan perempuan untuk keluar rumah, dll)

e. Di dalam masalah aqidah (tauhid), hanya dipergunakan dalil-


dalil mutawatir. (Keputusan yang membicarakan tentang aqidah
dan iman ini dilaksanakan pada Mukatamar Muhammadiyah ke-
17 di Solo pada tahun 1929).

f. Tidak menolak ijma‘ sahabat sebagai dasar suatu keputusan.


(Ijma‘ dari segi kekuatan hukum dibagi menjadi dua, pertama:
ijma‟ qauli, seperti ijma‘ para sahabat untuk membuat
standarisasi penulisan al-Qur‘an dengan khot Utsmani, kedua:
ijma‟ sukuti (dianggap bersepakat karena tidak menolak
pendapat yang ada). Ijma‘ seperti ini kurang kuat. Dari segi
masa, Ijma‘ dibagi menjadi dua: pertama: ijma‘ sahabat. Ijma‘
sahabat ini yang diterima Muhammadiyah. Kedua ; Ijma‘
setelah masa sahabat).

g. Terhadap dalil-dalil yang nampak mengandung ta‟arudl,


digunakan cara "al-jam’u wa al-taufiq". Jikalau tidak dapat,
baru dilakukan tarjih. Kalau tarjih pun tidak bisa dilakukan,

66
Pendidikan Kemuhammadiyahan
maka langkah penyelesaian selanjutnya adalah dengan naskh,
yaitu melacak keduanya dengan menetapkan bahwa yang
muncul lebih dahulu (mansukh) telah berakhir masa
berlakunya, sedangkan yang muncul belakangan (nasikh)
mulai diberlakukan. Kalau dengan cara yang ketiga inipun
belum bisa menyelesaikan, maka jalan terakhir adalah masalah
tersebut ditawaqqufkan yakni dihentikan penelitian terhadap dalil
tersebut dan mencari dalil baru. Adapun cara-cara melakukan
jama’ dan taufiq, diantaranya adalah: Pertama: Dengan
menentukan macam persoalannya dan menjadikan yang satu
termasuk bagian dari yang lain. Seperti menjama‘ antara QS
Al Baqarah 234 dengan QS Al Thalaq 4 dalam menentukan
batasan iddah orang hamil; Kedua: Dengan menentukan yang
satu sebagai mukhashis terhadap dalil yang umum, seperti:
menjama‘ antara QS Ali Imran 86 dan 87 dengan QS Ali Imran
89, dalam menentukan hukum orang kafir yang bertaubat,
seperti juga menjama‘ antara perintah sholat tahiyatul Masjid
dengan larangan sholat sunnah ba‘da Ashar, Ketiga: Dengan
cara mentaqyid sesuatu yang masih mutlaq, yaitu membatasi
pengertian yang luas, seperti menjama‘ antara larangan
menjadikan pekerjaan membekam sebagai profesi dengan ahli
bekam yang mengambil upah dari pekerjaanya. Keempat:
Dengan menentukan arti masing-masing dari dua dalil yang
bertentangan, seperti: menjama‘ antara pengertian suci dari
haid yang berarti bersih dari darah haid dan yang berarti bersih
sesudah mandi. Kelima: Menetapkan masing-masing pada
hukum masalah yang berbeda, seperti larangan sholat di rumah
bagi yang rumahnya dekat masjid dengan keutamaan sholat
sunnah di rumah.

h. Menggunakan asas "sadd al-dzarai’" untuk menghindari


terjadinya fitnah dan mafsadah (kerusakan). Saddu al dzarai’

67
Pendidikan Kemuhammadiyahan
adalah perbuatan mencegah hal-hal yang mubah, karena akan
mengakibatkan kepada hal-hal yang dilarang. Seperti: Larangan
memasang gambar KH. Ahmad Dahlan, sebagai pendiri
Muhammadiyah, karena dikhawatirkan akan membawa kepada
kemusyrikan, walaupun akhirnya larangan ini dicabut kembali
pada Muktamar Tarjih di Sidoarjo, karena kekhawatiran tersebut
sudah tidak ada lagi. Contoh lain adalah larangan menikahi
wanita non muslimah ahli kitab di Indonesia, karena akan
menyebabkan fitnah dan kemurtadan. Keputusan ini ditetapkan
pada Muktamar Tarjih di Malang 1989.

i. Men-ta’lil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan


dalil-dalil al-Qur‘an dan al-Sunnah, sepanjang sesuai dengan
tujuan syari‘ah. Adapun qaidah: "al-hukmu yaduru ma’a
‘illatihi wujudan wa’adaman" dalam hal-hal tertentu, dapat
berlaku. (Ta’lil Nash adalah memahami nash al-Qur‘an dan al-
Hadits, dengan mendasarkan pada illah yang terkandung
dalam nash. Seperti perintah menghadap arah Masjid al-Haram
dalam sholat, yang dimaksud adalah arah ka‘bah, juga perintah
untuk meletakkan hijab antara laki-laki dan perempuan, yang
dimaksud adalah menjaga pandangan antara laki-laki dan
perempuan, yang pada Muktamar Majelis Tarjih di Sidoarjo
1968 diputuskan bahwa pelaksanaannya mengikuti kondisi
yang ada, yaitu pakai tabir atau tidak, selama aman dari fitnah).

j. Pengunaaan dalil-dalil untuk menetapkan suatu hukum,


dilakukan dengan cara komprehensif, utuh, dan bulat, serta
tidak terpisah. (Seperti halnya di dalam memahami larangan
menggambar makhluk yang bernyawa, jika dimaksudkan untuk
disembah atau dikhawatirkan akan menyebabkan kesyirikan).

68
Pendidikan Kemuhammadiyahan
k. Dalil-dalil umum al-Qur‘an dapat ditakhsis dengan hadist Ahad,
kecuali dalam bidang aqidah. (Lihat keterangan dalam point e di
atas)

l. Dalam mengamalkan agama Islam, menggunakan prinsip


"Taisir" (Diantara contohnya adalah: dzikir singkat setelah
sholat lima waktu, sholat tarawih dengan 11 rakaat)

m. Dalam bidang Ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya


dari al-Qur‘an dan al-Sunnah, pemahamannya dapat dengan
menggunakan akal, sepanjang dapat diketahui latar belakang
dan tujuannya. Meskipun harus diakui, akal bersifat nisbi,
sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal memiliki
kelenturan dalam menghadapai situsi dan kondisi. (Contohnya,
adalah ketika Majelis Tarjih menentukan awal Bulan Ramadlan
dan Syawal menggunakan hisab).

n. Dalam hal-hal yang termasuk "al-umur al-dunyawiyah" yang


tidak termasuk tugas para Nabi, penggunaan akal sangat
diperlukan, demi kemaslahatan umat.

o. Untuk memahami nash yang musytarak, paham sahabat dapat


diterima.

p. Dalam memahani nash, makna zahir didahulukan dari ta’wil


dalam bidang aqidah. Dan takwil sahabat dalam hal ini, tidak
harus diterima. (Seperti dalam memahami ayat-ayat dan hadist
yang membicarakan sifat-sifat dan perbuatan Allah SWT,
seperti Allah bersemayam di atas „Arsy, Allah turun ke langit
yang terdekat dengan bumi pada sepertiga akhir malam, dll)

F. PERKEMBANGAN MAJELIS TARJIH

69
Pendidikan Kemuhammadiyahan
Sebagaimana diketahui bahwa Persyarikatan Muhammadiyah
merupakan persyarikatan yang bergerak untuk tajdid atau
pembaharuan, maka Majelis Tarjih, yang merupakan bagian terpenting
dalam organisasi tersebut tidak bersifat kaku dan kolot, akan tetapi
keputusan-keputusan Majelis Tarjih masih ada kemungkinan mengalami
perubahan kalau sekiranya dikemudian hari ada dalil atau alasan yang
dipandang lebih kuat. Bahkan nama dan kedudukan Majelis dalam
Persyarikatan bisa mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan.

Adapun perkembangan Majelis Tarjih kemudian, dapat dilihat


pada aktifitas-aktifitas yang dilakukannya. Mulai sidang pertama dalam
konggres ke-18 di Solo, Majelis Tarjih terus mengadakan sidang-sidang
khususi tarjih tiap-tiap tahun secara bersamaan waktu dan tempat
dengan kongres Muhammadiyah sampai pada Muktamar (istilah
kongres mulai tahun 1950 diganti dengan Muktamar) ke-32 di
Purwokerto tahun 1953. Kemudian pada tahun 1954/1955 (29
Desember s/d 3 Januari ) diadakan sidang khusus tarjih di luar
Muktamar Muhammadiyah, di Yogyakarta. Kemudian pada tahun 1956,
Majelis Tarjih sidang bersama–sama dengan Muktamar Muhammadiyah
ke-33 di Palembang.

Sesudah itu sidang-sidang Majelis Tarjih yang biasanya


diselenggarakan bersamaan dengan Muktamar Muhammadiyah itu,
ditingkatkan menjadi Muktamar dan tidak lagi diadakan bersama-sama
dengan Muktamar Muhammadiyah. Ini untuk pertama kalinya diadakan
tahun 1960 di mana Majelis Tarjih bermuktamar secara terpisah dari
Muktamar Muhammadiyah, dan mengambil Pekajangan (Pekalongan)
sebagai tempat penyelenggarannya. Muktamar ini berlangsung dari
tanggal 16 sampai 20 Juli 1960.

Muktamar selanjutnya diadakan delapan tahun kemudian, di


Sidoarjo yang berlangsung sejak tanggal 27 sampai 31 juli 1968. Ada

70
Pendidikan Kemuhammadiyahan
sejumlah masalah yang diagendakan untuk menjadi acara Muktamar ini.
Akan tetapi yang selesai diambil keputusannya ialah : (1) mengenai
masalah umum adalah bank, lotto/nalo dan keluarga berencana; (2)
masalah khusus: hijab dan gambar K.H.A. Dahlan. Keputusan-
keputusan itu sebagai berikut :

1. Bank dengan sistem riba, haram; bank tanpa riba halal; dan bunga
bank yang diteria nasabah dan sebaliknya masalah musytabihat.
2. Lotto dan nalo termasuk perjudian dan haram hukumnya.
3. Mencegah kehamilan berlawanan dengan hukum Islam dan KB yang
dilakukan dengan menggunakan cara itu karenanya berlawanan
dengan hukum Islam.
4. Dalam rapat-rapat Muhammadiyah yang dihadiri oleh lelaki dan
wanita, harus menggunakan hijab.
5. Mencabut putusan tahun 1929 (sidang tarjih pertama) yang
mengharamkan pemajangan gambar K.H.A. Dahlan.
Sejak dari Muktamar 1968 di Sidoarjo ini, hanya berselang
empat tahun, diadakan lagi Muktamar Tarjih di desa Pencongan,
Kecamatan Wiradesa, Pekalongan, yang berlangsung dari tanggal 23
sampai 28 April 1972. Di antara keputusan Tarjih yang diambil dalam
Muktamar ini adalah masalah hubungan antar zakat dengan pajak yang
dinyatakan sebagai dua kewajiban yang berbeda dan karenanya
membayar salah satu di antara keduanya tidak dapat menggugurkan
kewajiban melakukan yang lain.
Dua Muktamar lainnya adalah Muktamar Garut, Jabar dan
Muktamar Klaten, Jateng. Muktamar Garut berlansung dari tanggal 18-
23 April 1976 dan merupakan Muktamar yang ke-20 (dihitung sejak
tahun 1929). Sedangkan Muktamar ke-21, yang diselenggarakan di
Klaten, sejak tanggal 6 sampai 11 April 1980.
Di samping itu, di sela-sela Muktamar ke Muktamar, diadakan
pula seminar-seminar atau semacam itu, guna lebih mematangkan
bahan-bahan kajian yang akan dibawa ke Muktamar. Seperti misalnya

71
Pendidikan Kemuhammadiyahan
simposium yang diadakan di Bandung tahun 1965 dalam kesempatan
Muktamar Muhammadiyah yang diadakan di kota tersebut. Seminar itu
membahas masalah konsepsi masyarakat Islam dan pembinaan hukum-
hukum fiqh bidang muamalah dalam masyarakat modern. Terakhir di
Klaten pada tahun 1978 diadakan seminar tentang Qaidah Ushul Fiqh,
yang menyangkut masalah hadist-hadist dla‘if, yang berjumlah banyak,
di mana satu sama lain saling menguatkan dan masalah jarh dan ta‘dil.
Apabila perkembangan Majelis Tarjih dari masa ke masa
diamati secara cermat, akan terlihat bahwa pada tahap-tahap
permulannya dan selama periode kolonial, Majelis Tarjih
memperlihatkan vitalitas yang tinggi.
Sampai saat ini, majelis tarjih telah mengalami berbagai macam
perubahan. Adapun perubahan-perubahan yang terjadi dalam Majelis
Tarjih antara lain adalah:

1. Perubahan nama "Majelis Tarjih". Karena mengingat, semakin


banyak dan kompleksnya problematika-problematika yang dihadapi
umat Islam pada puluhan tahun terakhir ini. Terutama
berkembangnya pemikiran baru, yang kesemuanya harus dijawab
oleh Majelis Tarjih. Disamping itu karena nama Tarjih, masih identik
dengan masalah-masalah fiqh, maka nama Majelis Tarjih perlu
ditambah dengan sebutan yang bisa mewakili tugas tersebut, maka
dipilihlah nama Pengembangan Pemikiran Islam sehingga namanya
menjadi "Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam".
Penambahan ini diputuskan pada tahun 1995, ketika dilangsungkan
Muktamar Aceh. Pada muktamar tahun 2005 nama majelis ini
berubah lagi menjadi ―Majelis Tarjih dan Tajdid‖ yang tetap berlaku
sampai sekarang.
2. Penambahan terhadap tiga bentuk Ijtihad yang digunakan Majelis
Tarjih (Yaitu Ijtihad Bayani, Qiyasi dan Istishlahi) dengan
ditambah tiga pendekatan baru, yaitu Pendekatan "Bayani",
"Burhani", dan "Irfani". Tiga pendekatan tersebut diputuskan pada

72
Pendidikan Kemuhammadiyahan
MUNAS Tarjih di Malang, tahun 2000. Kemudian disempurnakan
pada MUNAS Tarjih ke-26 di Padang, Oktober 2003.

3. Perubahan nama Mukatamar Tarjih menjadi MUNAS (Musyawarah


Nasional) Tarjih.
4. Perampingan anggota Majelis Tarjih yaitu dengan menetapkan
Anggota Tetap Majelis Tarjih. Pada awalnya muktamar-muktamar
atau musyawarah-musyawarah Majelis yang bersifat nasional,
melibatkan utusan-utusan wilayah yang sering berganti-ganti, atau
yang sering disingkat dengan MTPPI Wilayah. Akan tetapi pada
MUNAS Tarjih ke-26 di Padang, Oktober 2003 dilakukan
perampingan dengan membentuk anggota tetap Majelis Tarjih yang
berjumlah sekitar 99 anggota, yang bertugas untuk melakukan
sidang setiap hal itu diperlukan. Langkah-langkah ini diambil,
mengingat kurang efektif dan efesiennya perjalanan Muktamar
Tarjih selama ini, khususnya ketika diganti namanya dengan
MUNAS (Musyawarah Nasional). Walaupun sampai saat ini,
keputusan tersebut belum di-tanfid-kan oleh Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, namun akan mempunyai pengaruh yang besar
bagi perjalanan Majelis Tarjih pada masa-masa mendatang.
5. Perubahan keputusan-keputusan tarjih yang dirasa kurang sesuai
lagi, seperti pencabutan larangan menempel gambar KH. Ahmad
Dahlan, pencabutan larangan perempuan untuk keluar rumah,
pencabutan keputusan tentang larangan perempuan ikut
berdemonstrasi dan lain-lain. Ini dikuatkan juga dengan adanya
komisi Pengembangan Himpunan Putusan Tarjih, pada MUNAS
Tarjih di Padang, Oktober 2003.

G. PRODUK MAJELIS TARJIH


Sejak berdirinya sampai saat ini, Majelis Tarjih, dengan
berbagai perubahan namanya, telah menghasilkan berbagai macam
produk, baik berupa keputusan maupun fatwa. Adapun keputusan

73
Pendidikan Kemuhammadiyahan
maupun fatwa majelis tarjih tersebut dihimpun dalam bentuk buku,
seperti Buku Himpunan Putusan Tarjih, yang telah mengalami beberapa
kali cetakan, dan Buku Tanya Jawab Agama, yang berisi kumpulan
Fatwa Majelis Tarjih, saat ini telah siap dua naskah buku HPT yang
masih dalam proses editing, berisi hasil Muktamar Tarjih ke-20, 21, dan
22, serta hasil Musyawarah Nasional Tarjih ke-23, 24, 25, dan 26.
Sedangkan buku Tanya jawab agama yang telah terbit enam jilid, dan
jilid tujuh akan segera terbit, karena sudah dalam proses editing. Fatwa
Tarjih juga bisa dibaca dalam rubrik Tanya Jawab Majalah Suara
Muhammadiyah, yang terbit dua kali setiap bulan. Buku Himpunan
Putusan Tarjih dan Majalah Suara Muhammadiyah, saat ini bisa
diunduh dari website Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Selain itu, kumpulan fatwa Majelis Tarjih dari tahun ke tahun,
khususnya dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2010, juga dapat
dibaca atau diunduh dari website Majelis Tarjih Pimpinan Pusat
Muhammadiyah.

H. PENUTUP

Perjalanan Majelis Tarjih selama ini, memang penuh dengan


tantangan dan cobaan. Tugas yang diembannya untuk membimbing
masyarakat Islam Indonesia, pada umumnya, dan warga Persyarikatan
Muhammadiyah, pada khususnya, dalam masalah keagamaan dan
pengembangan pemikiran Islam, nampak begitu berat dan menuntut
adanya kesabaran dan perjuangan, serta pencarian yang tiada kenal
putus asa. Sehingga perbaikan, penyempurnaan, serta pengembangan
Majelis tarjih ini sangat mutlak diperlukan, guna memberikan
konstribusi-konstribusi yang bermanfaat bagi umat Islam Indonesia.
Demikian tulisan singkat tentang Majelis Tarjih ini, mudah-
mudahan bisa membuka cakrawala, khususnya bagi kader-kader
Muhammadiyah, dan bisa menjadi bekal awal untuk pengembangan
pemikiran dalam persyarikatan ini.

74
Pendidikan Kemuhammadiyahan

I. DAFTAR PUSTAKA

Abdurrohman, Asjmuni, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Metodologi dan


Aplikasi, (Jokyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, Cet. I)

Achmad Jainuri, Model Tajdid Muhammadiyah: Membangun Peradaban


Utama (Makalah), Malang, 2010.

M. Amin Abdullah, Paradigma Tajdid Muhammadiyah Sebagai Gerakan


Islam Modernis-Reformis (Makalah), Jakarta, 2010.

Badan pendidikan Kader PP. Muhammadiyah, Materi Induk Perkaderan


Muhammadiyah, (Jogyakarta: BPK PP.Muhammadiyah,
Oktober 1994, Cet I)

H.M. Djaldan Badawi, 95 tahun langkah perjuangan Muhammadiyah,


Himpunan Keputusan Muktamar, Lembaga pustaka dan
Informasi PP Muhammadiyah.

Fathurrahman Jamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah,


(Jakarta: Logos, 1995)

Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press,


2002)

Ka‘bah, Rifyal, Hukum Islam di Indonesia, Prespektif Muhammadiyah


dan NU (Jakarta: Universitas Yarsi 1999)
Majelis Tarjih, Organisasi dan Sejarah Majelis Tarjih, yang mengutip
Laporan Penelitian H Asjmuni A. Rahman, dkk dengan judul
―Suatu Studi tentang Sistem dan Metode Penentuan Hukum‖.

75
Pendidikan Kemuhammadiyahan
(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1985).
http://www.fatwatarjih.com/p/history-of-tarjih.html
Majelis Tarjih Dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, Buku Panduan Munas Tarjih ke 26,
(Jokyakarta: MTPPI PP Muhammadiyah, 2003)

An-Najah, Ahmad Zain, Metode Penggunaan Rukyat dan Hisab, dan


Pengaruhnya Terhadap Persatuan Umat, (Padang: MTPPI PP
Muhammadiyah, 2003)

———-, Mengkaji Ulang Sikap Muhammadiyah Terhadap Hadist Ahad,


(Makalah, 2004)

Peacock, James L., Gerakan Muhammadiyah memurnikan ajaran Islam


di Indonesia, (Jakarta: Cipta kreatif, 1986.)

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih,


(Jokyakarta: PP. Muhammadiyah Cet. III).

Siregar, Hamka, Mencari Format Baru Tarjih Muhammadiyah. (Padang:


MTPPI PP Muhammadiyah, 2003)

Lubis, Arbiyah, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh,


Suatu Studi Perbandingan (Jakarta : Bulan Bintang)

Keputusan Munas Tarjih XXV tentang Manhaj Tarjih dan


Pengembangan Pemikiran Islam

Majalah Suara Muhammadiyah, edisi 2010-2013

76
Pendidikan Kemuhammadiyahan
BAB V
PEDOMAN HIDUP ISLAMI WARGA MUHAMMADIYAH

Kompetensi Dasar
1. Agar mahasiswa dapat memahami pedoman hidup Islami dalam aspek pribadi,
masyarakat, dan berbangsa bernegara
2. Agar mahasiswa mampu menerapkan prinsip-prinsip hidup Islami dalam
kehidupan nyata
3. Agar mahasiswa menyadari pentingnya pedoman hidup Islami dalam
kehidupan sehari-hari

A. PENDAHULUAN
1. Pemahaman
Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah adalah
seperangkat nilai dan norma Islami yang bersumber Al-Quran dan
Sunnah menjadi pola bagi tingkah laku warga Muhammadiyah
dalam menjalani kehidupan sehari-hari sehingga tercermin
kepribadian Islami menuju terwujudnya masyarakat utama yang
diridloi Allah SWT.

Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah merupakan


pedoman untuk menjalani kehidupan dalam lingkup pribadi,
keluarga, bermasyarakat, berorganisasi, mengelola amal usaha,
berbisnis, mengembangkan profesi, berbangsa dan bernegara,
melestarikan lingkungan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi, dan mengembangkan seni dan budaya yang
menunjukkan perilaku uswah hasanah (teladan yang baik).

2. Landasan dan Sumber


Landasan dan sumber Pedoman Hidup Islami Warga
Muhammadiyah ialah Al-Quran dan Sunnah Nabi dengan
pengembangan dari pemikiran-pemikiran formal (baku) yang
77
Pendidikan Kemuhammadiyahan
berlaku dalam Muhammadiyah, seperti; Matan Keyakinan dan
Cita-cita Hidup Muhammadiyah, Muqaddimah Anggaran Dasar
Muhammadiyah, Matan Kepribadian muhammadiyah, Khittah
Perjuangan Muhammadiyah serta hasil-hasil Keputusan Majelis
Tarjih.

3. Kepentingan
Warga Muhammadiyah dewasa ini memerlukan pedoman
kehidupan yang bersifat panduan dan pengkayaan dalam menjalani
berbagai kegiatan sehari-hari, Tuntutan ini didasarkan atas
perkembangan situasi dan kondisi antara lain :
a. Kepentingan akan adanya Pedoman yang dijadikan acuan
bagi segenap anggota Muhammadiyah sebagai penjabaran
dan bagian dari Keyakinan Hidup Islami Dalam
Muhammadiyah yang menjadi amanat Tanwir Jakarta 1992
yang lebih merupakan konsep filosofis.
b. Perubahan-perubahan sosial-politik dalam kehidupan nasional
di era reformasi yang menumbuhkan dinamika tinggi dalam
kehidupan ummat dan bangsa serta mempengaruhi kehidupan
Muhammadiyah, yang memerlukan pedoman bagi warga dan
Pimpinan Persyarikatan bagaimana menjalani kehidupan di
tengah gelombang perubahan itu.
c. Perubahan-perubahan alam pikiran yang cenderung pragmatis
(berorientasi pada nilai guna semata), materialistis
(berorientasi pada kepentingan materi semata), dan hedonistis
(berorientasi pada pemenuhan kesenangan duniawi) yang
menumbuhkan budaya inderawi (kebudayaan duniawi yang
sekular) dalam kehidupan modern abad ke-20 yang disertai
dengan gaya hidup modern memasuki era baru abad ke-21.
d. Penetrasi budaya (masuknya budaya asing secara meluas)
dan multikulturalisme (kebudayaan masyarakat dunia yang
majemuk dan serba milintasi) yang dibawa oleh globalisasi

78
Pendidikan Kemuhammadiyahan
(proses-proses hubungan-hubungan sosial-ekonomi-politik-
budaya yang membentuk tatanan sosial yang mendunia) yang
akan makin nyata dalam kehidupan bangsa.
e. Perubahan orientasi nilai dan sikap dalam bermuhammadiyah
karena berbagai faktor (internal dan eksternal) yang
memerlukan standar nilai dan norma yang jelas dari
Muhammadiyah sendiri.
4. Sifat
Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah Memiliki
beberapa sifat/kriteria sebagai berikut :
a. Mengandung hal-hal pokok/prinsip dan penting dalam
bentuk acuan nilai dan norma.
b. Bersifat pengkayaan dalam arti memberi banyak khazanah
untuk membentuk keluhuran dan kemuliaan ruhani dan
tindakan.
c. Aktual, yakni memiliki keterkaitan dengan runrutan dan
kepentingan kehidupan sehari-hari.
d. Memberikan arah bagi tindakan individu maupun kolektif
yang bersifat keteladanan.
e. Ideal, yakni dapat menjadi panduan untuk kehidupan sehari-
hari yang bersifat pokok dan utama.
f. Rabbani, artinya mengandung ajaran-ajaran dan pesan-
pesan yang bersifat akhlaqi yang membuahkan kesalihan.
g. Taisir, yakni panduan yang mudah dipahami dan diamalkan
oleh setiap muslim khususnya warga Muhammadiyah.

5. Tujuan
Terbentuknya perilaku individu dan kolektif seluruh anggota
Muhammadiyah yang menunjukkan keteladanan yang baik
(uswah hasanah) menuju terbentuknya masyarakat utama yang
diridlai Allah SWT.
6. Kerangka

79
Pendidikan Kemuhammadiyahan
Materi Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah
dikembangkan dan dirumuskan dalam kerangka sistematika
sebagai berikut :
1. Bagian Pertama : Pendahuluan
2. Bagian Kedua : Islam dan Kehidupan
3. Bagian Ketiga : Kehidupan Islami Warga Muhammadiyah
a. Kehidupan Pribadi
b. Kehidupan dalam Keluarga
c. Kehidupan Bermasyarakat
d. Kehidupan Berorganisasi
e. Kehidupan dalam Mengelola Amal Usaha Muhammadiyah
f. Kehidupan dalam Berbisnis
g. Kehidupan dalam Mengembangkan Profesi
h. Kehidupan dalam Berbangsa dan Bernegara
i. Kehidupan dalam Melestarikan Lingkungan
j. Kehidupan dalam Mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi
k. Kehidupan dalam Seni dan Budaya
4. Bagian Keempat : Tuntunan Pelaksanaan
5. Bagian Kelima : Penutup

B. PANDANGAN ISLAM TENTANG KEHIDUPAN

Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasul1,


sebagai hidayah dan rahmat Allah bagi umat manusia sepanjang masa,
yang menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spirituil, duniawi dan
ukhrawi. Agama Islam, yakni Agama Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad sebagai Nabi akhir zaman, ialah ajaran yang diturunkan Allah
yang tercantum dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi yang shahih (maqbul)
berupa perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk
kebaikan hidup manusia di dunia dan akhirat. Ajaran Islam bersifat
menyeluruh yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisah-pisahkan

80
Pendidikan Kemuhammadiyahan
meliputi bidang-bidang aqidah, akhlaq, ibadah, dan mu'amalah
duniawiyah.

Islam adalah agama untuk penyerahan diri semata-mata kepada


Allah2, Agama semua Nabi-nabi3, Agama yang sesuai dengan fitrah
manusia4, Agama yang menjadi petunjuk bagi manusia5, Agama yang
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia
dengan sesama6, Agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam7. Islam
satu-satunya agama yang diridhai Allah8 dan agama yang sempurna9.
Dengan beragama Islam maka setiap muslim memiliki dasar/landasan
hidup Tauhid kepada Allah10, fungsi/peran dalam kehidupan berupa
ibadah11, dan menjalankan kekhalifahan12, dan bertujuan untuk meraih
Ridha serta Karunia Allah SWT13. Islam yang mulia dan utama itu akan
menjadi kenyataan dalam kehidupan di dunia apabila benarbenar diimani,
difahami, dihayati, dan diamalkan oleh seluruh pemeluknya (orang Islam,
umat Islam) secara total atau kaffah14 dan penuh ketundukan atau
penyerahan diri15. Dengan pengamalan Islam yang sepenuh hati dan
sungguh-sungguh itu maka terbentuk manusia muslimin yang memiliki
sifat-sifat utama: a. Kepribadian Muslim16, b. Kepribadian Mu'min17, c.
Kepribadian Muhsin dalam arti berakhlak mulia18, dan d. Kepribadian
Muttaqin19. Setiap muslim yang berjiwa mu'min, muhsin, dan muttaqin,
yang paripuma itu dituntut untuk memiliki keyakinan (aqidah) berdasarkan
tauhid yang istiqamah dan bersih dari syirk, bid'ah, dan khurafat; memiliki
cara berpikir (bayani), (burhani), dan (irfani); dan perilaku serta tindakan
yang senantiasa dilandasi oleh dan mencerminkan akhlaq al karimah yang
menjadi rahmatan li-`alamin.

Dalam kehidupan di dunia ini menuju kehidupan di akhirat nanti


pada hakikatnya Islam yang serba utama itu benar-benar dapat dirasakan,
diamati, ditunjukkan, dibuktikan, dan membuahkan rahmat bagi semesta
alam sebagai sebuah manhaj kehidupan (sistem kehidupan) apabila
sungguh-sungguh secara nyata diamalkan oleh para pemeluknya. Dengan
demikian Islam menjadi sistem keyakinan, sistem pemikiran, dan sistem
tindakan yang menyatu dalam diri setiap muslim dan kaum muslimin
sebagaimana menjadi pesan utama risalah da'wah Islam. Da'wah Islam
81
Pendidikan Kemuhammadiyahan
sebagai wujud menyeru dan membawa umat manusia ke jalan Allah20
pada dasarnya harus dimulai dari orang-orang Islam sebagai pelaku
da'wah itu sendiri (ibda binafsika) sebelum berda‘wah kepada orang/pihak
lain sesuai dengan seruan Allah: ―Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa neraka....”21. Upaya
mewujudkan Islam dalam kehidupan dilakukan melalui da'wah itu ialah
mengajak kepada kebaikan (amar ma‟ruf), mencegah kemunkaran (nahyu
munkar), dan mengajak untuk beriman (tu'minuna billah) guna
terwujudnya umat yang sebaikbaiknya atau khairu ummah.22

Berdasarkan pada keyakinan, pemahaman, dan penghayatan


Islam yang mendalam dan menyeluruh itu maka bagi segenap warga
Muhammadiyah merupakan suatu kewajiban yang mutlak untuk
melaksanakan dan mengamalkan Islam dalam seluruh kehidupan dengan
jalan mempraktikkan hidup Islami dalam lingkungan sendiri sebelum
menda‘wahkan Islam kepada pihak lain. Muhammadiyah sebagai Gerakan
Islam maupun warga Muhammadiyah sebagai muslim benar-benar
dituntut keteladanannya dalam mengamalkan Islam di berbagai lingkup
kehidupan, sehingga Muhammadiyah secara kelembagaan dan orang-
orang Muhammadiyah secara perorangan dan kolektif sebagai pelaku
da'wah menjadi rahmatan lil `alamin dalam kehidupan di muka bumi ini.

C. KEHIDUPAN PRIBADI
1. Dalam Aqidah
a. Setiap Warga Muhammadiyah harus memiliki prinsip hidup dan
kesadaran imani berupa tauhid kepada Allah SWT. 23 yang
benar, ikhlas dan penuh ketundukan sehingga terpancar
sebagai ibad al-rahman 24 yang menjalani kehidupan dengan
benar-benar menjadi mukmin, muslim, muhsin, dan muttaqin
yang paripurna
b. Setiap warga Muhammadiyah wajib menjadikan iman 25 dan
tauhid 26 sebagai sumber seluruh kegiatan hidup, tidak boleh
mengingkari keimanan berdasarkan tauhid itu, dan tetap

82
Pendidikan Kemuhammadiyahan
menjauhi serta menolak takhayul, bid'ah dan khurafat yang
menodai iman dan tauhid kepada Allah SWT 27.
2. Dalam Akhlaq
a. Setiap warga Muhammadiyah dituntut untuk meneladani
perilaku Nabi Muhammad dalam mepraktekkan akhlaq
mulia28, sehingga menjadi uswah hasanah29, yang diteladani
oleh sesama berupa sifat shiddiq, amanah, tabligh dan
fathanah.
b. Setiap warga Muhammadiyah dalam melakukan amal dan
kegiatan hidup harus senantiasa didasarkan kepada niat yang
ikhlas30 dalam wujud amal-amal shalih dan ihsan, serta
menjauhkan diri dari perilaku riya, sombong, ishraf, fasad,
fahsya dan kemungkaran.
c. Setiap warga Muhammadiyah dituntut untuk menunjukkan
akhlaq yang mulia (akhlaqul karimah) sehingga
disukai/diteladani dan menjauhkan diri dari akhlaq yang
tercela (akhlaq al-madzmumah) yang membuat dibenci dan
dijauhi sesama.
d. Setiap warga Muhammadiyah dimanapun bekerja dan
menunaian tugas maupun dalam kehidupan sehari-hari harus
benar-benar menjauhkan diri dari perbuatan korupsi dan
kolusi serta praktik-praktik buruk lainnya yang merugikan hak-
hak publik dan membawa kehancuran dalam kehidupan di
dunia ini.
3. Dalam Ibadah
a. Setiap warga Muhammadiyah dituntut untuk senantiasa
membersihkan jiwa/hati kearah terbentuknya pribadi yang
muttaqin dengan beribadah yang tekun dan menjauhkan diri
dari jiwa/nafsu yang buruk31, sehingga terpancar kepribadian
yang shalih32 yang mengahdirkan kedamaian dan
kemanfaatan bagi diri dan sesamanya.

83
Pendidikan Kemuhammadiyahan
b. Setiap warga Muhammadiyah melaksanakan ibadah mahdlah
dengan sebaik-baiknya dan menghidupsuburkan amal nawafil
(ibadah sunnah) sesuai dengan tuntunan Rasulullah serta
menghiasi diri dengan iman yang kokoh, ilmu yang luas, dan
amal shalih yang tulus sehingga tercermin dalam kepribadian
dan tingkah laku yang terpuji.
4. Dalam Mu'amalah Duniawiyah
a. Setiap warga Muhammadiyah harus selalu menyadari dirinya
sebagai abdi33 dan khilafah di muka bumi34. Sehingga
memandang dan menyikapi kehidupan dunia secara aktif dan
positif35 serta tidak menjauhkan diri dari pergumulan
kehidupan36 dengan landasan iman, Islam, dan ihsan dalam
arti berakhlaq karimah37.
b. Setiap warga Muhammadiyah senantiasa brfikir secara
burhani (pendekatan tekstual dan kontekstual), bayani
(pendekatan dengan fakta dan ratio) dan irfani (pendekatan
dengan hati nurani) yang menverminkan cara berfikir yang
islami yang dapat membuahkan karya-karya pemikiran
maupun amaliyah yang mencerminkan keterpaduan antara
orientasi hablu min Allah dan hablu min al-naas maslahat bagi
kehidupan umat manusia38
c. Setiap warga Muhammadiyah harus mempunyai etos kerja
islami, seperti; kerja keras, disiplin, tidak menyia-nyiakan
waktu, berusaha secara maksimal/optimal untuk mencapai
suatu tujuan39.
D. KEHIDUPAN DALAM KELUARGA
1. Kedudukan Keluarga
a. Kkeluarga merupakan tiang utama kehidupan ummat dan
bangsa sebagai tempat sosialisasi nilai-nilai yang paling
intensif dan menentukan, karenanya menjadi kewajiban
setiap anggota Muhammadiyah untuk mewujudkan keluarga

84
Pendidikan Kemuhammadiyahan
yang sakinah, mawaddah wa al-rahmah40 yang dikelanal
dengan keluarga sakinah.
b. Keluarga-keluarga dilingkungan Muhammadiyah dituntut
untuk benar-benar dapat mewujudkan Keluarga Sakinah
yang terkait dengan pembentukan gerakan Jama'ah dan
Dakwah Jama'ah menuju terwujudnya Masyarakat Utama
yang diridloi Allah SWT.
2. Fungsi Keluarga
a. Keluarga-keluarga dilingkungan Muhammadiyah perlu
difungsikan selain dalam mensosialisasikan nilai-nilai ajaran
Islam juga melaksanakan fungsi kaderisasi sehingga anak-
anak tumbuh menjadi generasi muslim Muhammadiyah yang
dapat menjadi pelangsung dan penyempurna gerakan
dakwah di kemudian hari.
b. Keluarga-keluarga di lingkungan Muhammadiyah dituntut
keteladanan (uswah hasanah) dalam mepraktekkan
kehidupan yang Islami yakni tertanamnya ihsan / kebaikan
dan bergaul dengan makruf41, saling menyayangi dan
mengasihi42, menghormati hak hidup anak43, saling
menghargai dan menghormati antar anggota keluarga,
memberikan pendidikan akhlaq yang mulia secara
paripurna44, menjauhkan segenap anggota keluarga dari
bencana siksa neraka45, membiasakan bermusyawarah
dalam menyelesaikan urusan46, berbuat adil dan ihsan47,
memelihara persamaan hak dan kewajiban48, menyantuni
anggota keluarga yang tidak mampu49.
3. Aktifitas Keluarga
a. Di tengah arus media elektronik dan media cetak yang
makin terbuka, keluarga - keluarga di lingkungan
Muhammadiyah kian dituntut perhatian dan kesungguhan
dalam mendidik anak-anak dan menciptakan suasana yang
harmonis agar terhindar dari pengaruh-pengaruh negatif dan

85
Pendidikan Kemuhammadiyahan
terciptanya suasana pendidikan keluarga yang positif
dengan nilai-nilai jaran Islam.
b. Keluarga-keluarga di lingkungan Muhammadiyah dituntut
keteladanannya untuk menunjukkan penghormatan dan
perlakuan yang ihsan terhadap anak-anak dan perempuan
serta menajauhkan diri dari praktik-praktik kekerasan dan
menelantarkan kehidupan terhadap anggota keluarga.
c. Keluarga-keluarga di lingkungan Muhammadiyah perlu
memiliki kepedulian sosial dan membangun hubungan sosial
yang ihsan, ishlah, dan makruf dengan tetanga-tetangga
sekitar maupun dalam kehidupan sosial yang lebih luas di
masyarakat sehingga tercipta qaryah thayyibah (desa
sejahtera lahir dan batin) dalam masyarakat setempat.
d. Pelaksanaan shalat dalam kehidupan keluarga harus
menjadi prioritas utama dan kepala keluarga jika perlu
memberikan sanksi yang bersifat mendidik
E. KEHIDUPAN BERMASYARAKAT
1. Islam mengajarkan agarsetiap muslim menjalin persaudaraan dan
kebaikan dengan sasama seperti dengan tetangga maupun
anggota masyarakat lainnya masing - masing dengan
memelihara dan kehormatan baik dengan sesama muslim
maupun dengan non-muslim, dalam hubungan ketetanggaan
bahkan Islam memberikan perhatian sampai ke area 40 rumah
yang dikategorikan sebagai tetangga yang harus dipelihara hak-
haknya.
2. Setiap keluarga dan anggota keluarga Muhammadiyah harus
menunjukkan keteladanan dalam bersikap baik kepada
tetangga50, memelihara kemuliaan dan memuliakan tetangga51,
bermurah hati kepada tetangga yang ingin menitipkan
barangnya atau hartanya52, menjenguk bila tetangga sakit53,
mengasihi tetangga sebagaimana mengasihi keluarag/diri
sendiri54, menyatakan ikut gembira / senang hati bila tertangga

86
Pendidikan Kemuhammadiyahan
memperoleh kesuksesan, menghibur dan mempberikan
perhatian yang simpati bila tetangga mengalami musibah atau
kesusahan, menjenguk / melayat bila ada tetangga yang
meninggal dan ikut mengurusi sebagaimana hak - hak tetangga
yang diperlukan, bersikap pemaaf dan lemah lembut billa
tetangga salah, jangan selidik-menyelidiki keburukan-keburukan
tetangga, membiasakan memberikan sesuatu seperti makanan
dan oleh-oleh kepada tetangga, jangan menyakiti tetangga,
bersikap kasih sayang dan lapang dada, menjauhkan diri dari
segala sengkerta dan sifat tercela, berkunjung dan saling tolong
menolong, dan melakukan amar makruf nahi munkar dengan
cara yang tepat dan bijaksana.
3. Dalam bertetangga dengan yang berlainan agama juga diajarkan
untuk bersikap baik dan adil55, mereka berhak memperoleh hak-
hak dan kehormatan sebagai tetangga56, memberi makanan
yang halal dan boleh pula menerima makanan dari mereka
berupa makanan yang halal, dan memelihara toleransin sesuai
dengan prinsip-prinsi yang diajarkan oleh Agama Islam.
4. Dalam hubungan-hubungan sosia yang lebih luas setiap angota
Muhammadiyah baik sebagai individu, keluarga maupun jama'ah
(warga) dan jam'iyyah (organisasi) haruslam menunjukkan
sikap-sikap sosial yang didasarkan atas prinsip menjunjung
tinggi nilai kehormatanb manusia57, memupuk persaudaraan dan
kesatuan kemanusiaan58, mewujudkan kerjasama umat manusia
menuju masyarakat sejahtera lahir dan batin 59, memupuk jiwa
toleransi60, menghormati kebebasan orang lain61, menegakkan
budi baik62, menegakkan amanat dan keadilan 63, perlakuan yang
sama64, menepati janji65, menanamkan kasih sayang dan
mencegah kerusakan66, menjadikan masyarakat yang shalih dan
utama67, bertanggung jawab atas baik dan buruknya masyarakat
dengan melakukan amar makruf dan nahi munkar68, berusaha
untuk menyatu dan berguna / bermanfaat bagi masyarakat 69,

87
Pendidikan Kemuhammadiyahan
memakmurkan masjid, menghormati dan mengasihi antara yang
tua dan yang muda, tidak merendahkan sesama70, tidak
berprasangka buruk kepada sesama71, peduli kepada orang
miskin dan yatim72, tidak mengambil hak orang lain 73, berlomba
dalam kebaikan74, dan hubungan-hubungan sosial lainnya yang
bersifat ishlah menuju terwujudnya masyarakat utama yang
diridlaoi Allah SWT.
5. Melaksanakan gerakan jama'ah dan dakwah jamaah sebagai
wujud dari melaksanakan dakwah Islam di tengah-tengah
masyarakat untuk perbaikan hidup baik lahir maupun batin
sehingga dapat mencapai cita - cita masyarakat utama yang
diridlai Allah SWT.
F. KEHIDUPAN BERORGANISASI
1. Persyarikatan Muhammadiyah merupakan amanat yang
didirikan dan dirintis oleh KH. Ahmad Dahlan untuk kepentingan
menjunjung tinggi dan menegakkan Agama Islam sehingga
terwujud masyarakat utama yang diridloi Allah SWT, karena itu
menjadi tanggung jawab seluruh warga dan lebih-lebih
pimpinan Muhammadiyah di berbagai tingkatan dan bagian
untuk benar-benar menjadikan organisasi (persyarikatan) ini
sebagai gerakan dakwah Islam yang kuat dan unggul dalam
berbagai bidang kehidupan.
2. Setiap anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah
berkewajiban memelihara, melangsungkan, dan
menyempurnakan gerak dan lankah persyarikatan dengan
penuh komitmen yang istiqomah, kepribadian yang mulia
(shiddiq, amanah, tabligh, fathanah), wawasan pemikiran dan
visi yang luas, keahlian yang tinggi, dan amaliah yang unggul
sehingga Muhammadiyah menjadi gerakan Islam yang benar-
benar menjadi rahmatan li al-'alamin.
3. Dalam menyelesaikan masalah-masalah dan konflik-konflik
yang timbul di Persyarikatan hendaknya mengutamakan

88
Pendidikan Kemuhammadiyahan
musyawarah dan mengacu pada peraturan organisasi yang
memberikan kemaslahatan dan kebaikan seraya dijauhkan
tindakan-tindakan anggota pimpinan yang tidak terpuji dan
dapat merugikan kepentingan Persyarikatan.
4. Mengairahkan ruh al-Islan dan ruh al-jihad dalam seluruh
gerakan Persyarikatan dan suasana di lingkungan
Persyarikatan sehingga Muhammadiayh benar-benar tampil
sebagai gerakan Islam yang istiqamah dan memiliki ghirah
yang tinggi dalam mengamalkan Islam.
5. Setiap anggota pimpinan Persyarikatan harus menunjukkan
keteladanan dalam bertutur kata dan bertingkah laku, beramal
dan berjuang, disiplin dan tanggung jawab, dan memiliki
kemauan untuk belajar dalam segala lapangan kehidupan yang
diperlukan.
6. Dalam lingkungan persyarikatan hendaknya dikembangkan
disiplin tepat waktu baik dalam menyelenggarakan rapat-rapat,
pertemuan-pertemuan dan kegiatan-kegiatan lainnya yang
selama ini menjadi ciri khas dari etos kerja dan disiplin
Muhammadiyah.
7. Dalam acara-acara rapat dan pertemuan-pertemuan di
lingkungan persyarikatan hendaknya ditumbuhkan kembali
pengajian-pengajian singkat (seperti kuliah tujuh menit) dan
selalu mengindahkan waktu shalat dan menunaikan shalat
jamaah sehingguh gairah keberagamaan yang tinggi yang
menjadi bangunan bagi pembentukan kesalihan dan ketakwaan
dalam mengelola persyarikatan.
8. Para pemimpin Muhammadiyah harus gemar mengikuti dan
menyelenggarakan kajian-kajian keislaman, memakmurkan
masjid dan menggiatkan peribadahan sesuai ajaran al-Qur'an
dan Sunnah Nabi, dan amalan-amalan Islam lainnya.
9. Wajib menumbuhkan dan menggairahkan perilaku amanat
dalam memimpin dan mengelola organisasi dengan segala

89
Pendidikan Kemuhammadiyahan
urusannya, sehingga milik dan kepentingan persyarikatan dapat
dipelihara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kepentingan dakwah serta dapat dipertanggungjawabkan
secara organisasi.
10. Setiap anggauta Muhammadiyah lebih-lebih para pimpinannya
hendaknya jangan mengejar - ngejar jabatan dalam
Persyarikatan tetapi juga jangan menghindarkan diri manakala
memperoleh amanat sehingga jabatan dan amanat merupakan
sesuatu yang wajar sekaligus dapat ditunaikan dengan sebaik -
baiknya, apabila tidak menjabat atau memegang amanat
secara formal dalam organisasai maupun amal usaha
hendaknya menunujukan jiwa besar dan keikhlasan serta tidak
terus berusaha untuk mempertahankan jabatan itu lebih-lebih
dengan menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan
akhlak Islam.
11. Setiap angguta Pimpinan Muhammadiyah harus berusaha
menjauhkan diri dari fitnah, sikap sombong, ananiyah, dan
perilaku-perilaku yang tercela lainnya yang mengakibatkan
hilangnya simpati dan kemuliaan hidup yang seharusnya
dijunjung tinggi sebagai pemimpin.
12. Dalam setiap lingkungan Persyarikatan hendaknya
dibudayakan tradisi membangun imamah dan ikatan jamaah
serta jam'iyah sehingga Muhammadiyah dapat tumbuh dan
berkembang sebagai kekuatan gerakan dakwah yang kokoh.
13. Dengan semangat tajdid hendaknya seiap anngauta pimpinan
Muhammadiyah memiliki jiwa pembaru dan jiwa dakwah yang
tinggi sehingga dapat mengikuti dan memelopori kemajuan
yang positif bagi kepentingan 'izul Islam wal muslimin [kejayaan
Islam dan kaum muslimin] warahmatan lil 'alamin [dan rahmat
bagi alam semesta]
14. Setiap anggota pimpinan dan pengelola Persyarikatan di
manapun berkiprah hendaknya bertanggungjawab dalam

90
Pendidikan Kemuhammadiyahan
mengemban misi Muhammadiyah dengan penuh kesetiaan
(komitmen yang istiqamah) dan kejujuran tinggi, serta
menjauhkan diri dari berbangga diri (sombong dan ananiyah)
manakala dapat mengukir kesuksesan karena keberhasilan
dalam mengelola amal usaha Muhammadiyah pada hakikatnya
karena dukungan semua pihak di dalam dan di luar
Muhammadiyah dan lebih penting lagi karena pertolongan allah
SWT.
15. Setiap anggota pimpinan maupun warga persyarikatan
hendaknya menjauhkan diri dari perbuatan taqlid, syirik, bid'ah
dan khurafat.
16. Pimpinan persyarikatan harus menunjukkan akhlaq pribadi
muslim dan mampu membina keluarga yang Islami.
G. KEHIDUPAN DALAM MENGELOLA AMAL USAHA
1. Amal Usaha Muhammadiyah adalah salah satu usaha dari
usaha-usaha persyarikatan untuk mencapai maksud dan tujuan
Persyarikatan, yakni menegakkan dan menjunjung tinggi
Agama Islam sehingga terwujud Masyarakat Utama yang
diridlai Allah SWT. Oleh karenanya semua bentuk kegiatan
amal usaha Muhammadiyah harus mengarah kepada
terlaksananya maksud dan Tujuan Persyarikatan dan seluruh
pimpinan serta pengelola amal usaha berkewajiban untuk
melaksanakan misi utama Muhammadiyah itu sebaik-baiknya
sebagai misi dakwah75.
2. Amal Usaha Muhammadiyah adalah milik Persyarikatan, dan
Persyarikatan bertindak sebagai Badan Hukum/Yayasan dari
seluruh amal usaha itu, sehingga semua bentuk kepemilikan
Persyarikatan hendaknya dapat diinvestarisasi dengan baik
serta dilindungi dengan bukti kepemilikan yang sah menurut
hukum yang berlaku. Karena itu, setiap pimpinan dan pengelola
amal usaha Muhammadiyah di berbagai bidang dan tingkatan
berkewajiban menjadikan amal usaha dan pengelolaannya

91
Pendidikan Kemuhammadiyahan
secara keseluruhan sebagai amanat umat yang harus
dutunaikan dan dipertanggungjawabkan dengan sebaik-
baiknya76.
3. Pimpinan amal usaha Muhammadiyah diangkat dan
diberhentikan oleh Pimpinan Persyarikatan dalam kurun waktu
tertentu. Dengan demikian pimpinan amal usaha dalam
mengelola amal usahanya harus tunduk kepada kebijaksanaan
Persyarikatan dan tidak menjadikan amal usaha itu terkesan
milik pribadi atau keluarga, yang akan menjadi fitnah dalam
kehidupan dan bertentangan dengan amanat77.
4. Pimpinan amal usaha Muhammadiyah adalah anggota
Muhammadiyah yang mempunyai keahlian tertentu di bidang
amal usaha tersebut. Status keanggotaan menjadi sangat perlu
bagi pimpinan agar yang bersangkutan memahami secara tepat
fungsi amal usaha tersebut bagi Persyarikatan dan bukan
semata-mata sebagai pencari nafkah yang tidak peduli dengan
tugas-tugas dan kepentingan-kepentingan persyarikatan.
5. Pimpinan amal usaha Muhammadiyah harus dapat memahami
peran dan tugas dirinya dalam mengemban amanah
persyarikatan. Dengan semangat amanah tersebut, maka
pimpinan akan selalu menjaga kepercayaan yang telah
diberikan oleh persyarikatan dengan melaksanakan fungsi
managemen perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan
yang sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya.
6. Pimpinan amal usaha Muhammadiyah senantiasa berusaha
meningkatkan dan mengemangkan amal usaha yang menjadi
tanggung jawabnya dengan penuh kesungguhan.
Pengembangan ini menjadi sangat perlu agar amal usaha
senantiasa dapat berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiq al-
khairat) guna memenuhi tuntutan masyarakat dan tuntutan
zaman.

92
Pendidikan Kemuhammadiyahan
7. Sebagai amal usaha yang bisa menghasilkan keuntungan,
maka pimpinan amal usha Muhammadiyah berhak
mendapatkan nafkah dalam ukuran kewajaran (sesuai
ketentuan yang berlaku). Untuk itu setiap pimpinan
Persyarikatan hendaknya membuat tata aturan yang jelas dan
tegas mengenai gaji tersebut dengan dasar kemampuan dan
keadilan.
8. Pimpinan amal usaha Muhammadiyah berkewajiban
melaporkan pengelolaan amal usaha yang menjadi tanggung
jawabnya, khususnya dalam hal keuangan / kekayaan kepada
pimpinan Perysrikatan secara bertanggung jawab dan bersedia
untuk diaudit serta mendapatkan pengawasan sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
9. Pimpinan amal usaha Muhammadiyah harus bisa menciptakan
suasana kehidupan Islami dalam amal usaha yang menjadi
tanggung jawabnya. Sebagai salah satu alat dakwah maka
tentu saja usaha ini menjadi sangat perlu agar juga menjadi
contoh dalam kehidupan bermasyarakat.
10. Karyawan amal usaha Muhammadiyah adalah warga (anggota)
Muhammadiyah yang dipekerjakan sesai dengan keahlian atau
kemampuannya. Sebagai warga Muhammadiyah diharapkan
mempunyai rasa memiliki dan kesetiaan untuk memelihara
serta mengembangkan amal usaha tersebut sebagai bentuk
pengabdian kepada Allah SWT. dan berbuat kebajikan kepada
sesama. Sebagai karyawan dari amal usaha Muhammadiyah
tentu tidak boleh terlantar dan bahkan berhak memperoleh
kesejahteraan dan memperoleh hak-hak lain yang layak tanpa
terjebak pada rasa ketidakpuasan, kehilangan rasa syukur, dan
bersikap berlebihan.
11. Seluruh pimpinan dan karyawan atau pengelola amal usaha
Muhammadiyah berkewajiban dan menjadi tuntutan untuk
menunjukkan keteladanan diri, melayani sesama, menghormati

93
Pendidikan Kemuhammadiyahan
hak-hak sesama, dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi
sebagai cerminan dari sikap ihsan, ikhlas dan ibadah.
12. Seluruh pimpinan, karyawan, dan pengelola amal usaha
Muhammadiyah hendaknya memperbanyak silaturrahmi dan
membangun hubungan-hubungan sosial yang harmonis
(persaudaraan dan kasih sayang) tanpa mengurangi ketegasan
dan tegaknya sistem dalam penyelenggaraan amal usaha
masing-masing.
13. Seluruh pimpinan, karyawan, dan pengelola amal usaha
Muhammadiyah selain melakukan aktifitas pekerjaan yang rutin
dan menjadi kewajibannya juga dibiasakan melakukan kegiatan
- kegiatan yang memperteguh dan meningkatkan taqarrub
kepada Allah SWT dan memperkaya ruhani serta kemuliaan
akhlaq melalui pengajian, tadarrus serta kajian al-Quran dan al-
Sunnah, dan bentuk-bentuk ibadah dan mu'amalah lainnya
yang ertanam kuat dan menyatu dalam seluruh kegiatan amal
usaha Muhammadiyah

H. KEHIDUPAN DALAM BERBISNIS


1. Kegiatan bisnis-ekonomi merupakan upaya yang dilakukan
manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan
keluarganya. Sepanjang tidak merugikan kemaslahatan
manusia, pada umumnya semua bentuk kerja diperbolehkan,
baik di bidang produksi maapun distribusi (perdagangan)
barang dan jasa. Kegiatan bisnis barang dan jasa haruslah
berupa barang dan jasa yang halal dalam pandangan syari'at
atas dasar seku rela (taradlin).
2. Dalam melakukan kegiatan bisnis-ekonomi pada prinsipnya
setiap orang dapat menjadi pemilik organisasi bisnis, ataupun
menjadi keduanya (pemilik sekaligus pengelola), dengan
utntutan agar ditempuh dengan cara yang benar dan halal
sesuai dengan prinsip mu'amalah dalam Islam. Dalam
94
Pendidikan Kemuhammadiyahan
menjalankan aktivitas bisnis tersebut orang dapat pula menjadi
pemimpin, maupun menjadi anak buah secara bertanggung
jawab sesuai dengan kemampuan dan kelayakan. Baik menjadi
pemimpin maupun anak buah mempunyai tugas, kewajiban,
dan tanggung jawab sebagaimana yang telah diatur dan
disepakati bersama secara suka rela dan adil. Kesepakatan
yang adil ini harus dijalankan sebaik-baiknya oleh para pihak
yang telah menyepakatinya.
3. Prinsip sukarela dan keadilan merupakan prinsip penting yang
harus dipegang, baik dalam lingkungan intern (organisasi)
maupun dengan pihak luar (patner maupun pelanggan). Suka
rela dan adil mengandung arti tidak ada paksaan, tidak
pemerasan, tidak ada pemalsuan, dan tidak ada tipu muslihat.
Prinsip suka rela dan keadilan harus dilandasi dengan
kejujuran.
4. Hasil dari aktifitas bisnis-ekonomi itu akan menjadi harta
kekayaan (maal) pihak yang mengusahakannya. Harta dari
hasil kerja ini merupakan karunia Allah yang penggunannya
harus sesuai dengan jalan yang diperkenankan Allah SWT.
Meskipun harta itu dicari dengan jerih payah dan usaha sendiri,
tidak berarti harta itu dapat dipergunakan semau-maunya
sendiri, tanpa mengindahkan orang lain. Harta memang dapat
dimiliki secara pribadi namun harta itu juga mempunyai fungsi
sosial yang berarti bahwa harta itu harus dapat membawa
manfaat bagi diri, keluarga, dan masyarakatnya, dengan halal
dan baik. Karenanya terdapat kewajiban zakat dan tuntutan
shadaqah, infaq, wakaf, dan jariyah sesuai dengan ketentuan
yang terdapat dalam ajaran Islam.
5. Ada berbagai jalan perolehan dan pemilikan harta, yaitu melalui
(1) usaha berupa aktifitas bisnis-ekonomi atas dasar sukarela
(taradlin), (2) waris, yaitu peninggalan dari seseorang yang
meninggal dunia pada ahli warisnya, (3) wasiat, yaitu

95
Pendidikan Kemuhammadiyahan
pemindahan hak milik kepada orang yang diberi wasiat setelah
seseorang meniggal dengan syarat bukan ahli waris yang
berhak menerima warisan dan tidak melebihi sepertiga jumlah
harta pusaka yang diwariskan dan (4) hibah, yaitu pemberian
suka rela dari/kepada seseorang. dari semuanya itu, harta yang
diperoleh dan dimiliki dengan jalan usaha (bekerja) adalah
harta yang paling terpuji.
6. Kadangkala harta dapat pula diperoleh dengan jalan utang-
piutang (qardlun), maupun pinjaman ('ariyah). Kalau kita
memperoleh harta dengan jalan berutang (utang uang dan
kemudian dibelikan barang, misalnya), maka sudah pasti ada
kewajiban kita untuk mengembalikan utang itu secepatnya,
sesuai dengan perjanjian (dianjurkan perjanjian itu tertulis dan
ada saksi). Dalam hal utang ini juga dianjurkan untuk sangat
berhati-hati, disesuaikan dengan kemampuan untuk
mengembalikan di kemudian hari, dan tidak memberatkan diri,
serta sesuai dengan kebutuhan yang wajar. Harta dari utang ini
dapat menjadi milik yang berutang. Peminjam yang telah
mampu mengembalikan, tidak boleh menunda-nunda,
sedangkan bagi peminjam yang belum mampu mengembalikan
perlu diberi kesempatan sampai mampu. Harta yang didapat
dari pinjaman ('ariyah), artinya ia meminjam barang, maka ia
hanya berwenang mengambil manfaat dari barang tersebut
tanpa kewenangan untuk menyewakan, apalagi
memperjualbelikan. Pada saat yang dijanjikan, barang
pinjaman tersebut harus dikembalikan seperti keadaan semula.
Dengan kata lain, peminjam wajib memelihara barang yang
dipinjam itu sebaik-baiknya.
7. Dalam kehidupan bisnis-ekonomi, kadangkala orang atau
organisasi bersaing satu sama lain. Berlomba-lomba dalam hal
kebaikan dibenarkan bahkan dianjurkan dalam Agama.
Perwujudan persaingan atau berlomba dalam kebaikan itu

96
Pendidikan Kemuhammadiyahan
dapat berupa pemberian mutu barang atau jasa yang lebih
baik, pelayanan pada pelanggan yang lebih ramah dan mudah,
pelayanan purna jual yang lebih terjamin, atau kesediaan
menerima keluahan dari pelanggan. Dalam hal persaingan ini
tetap berlaku prinsip umum kesukarelaan, keadilan, dan
kejujuran, dan dapat dimasukkan pada pengertian fastabiqul
khairat sehingga tercapai bisnis yang mabrur.
8. Keinginan manusia untuk memperoleh dan memiliki harta
dengan menjalankan usaha bisnis-ekonomi ini kadangkala
memperoleh hasil dengan sukses yang merupakan rizki yang
harus disyukuri. Di pihak lain, ada orang atau organisasi yang
belum meraih sukses dalam usaha bisnis-ekonomi yang
dijalankannya. Harus diingat bahwa tolong menolong selalu
dianjurkan agama dan ini dijalankan dalam kerangka berlomba-
lomba dalam kebaikan. Tidaklah benar membiarkan orang
dalam kesusahan sementara kita bersenang-senang. Mereka
yang sedang gembira dianjurkan menolong mereka yang gagal,
mereka yang memperoleh keuntungan dianjurkan untuk
menolong orang yang merugi. Kesuksesan janganlah
mendorong untuk berlaku sombong78, dan ingkar akan ni'mat
Tuhan79, sedang kegagalan atau bila belum berhasil janganlah
membuat diri putus asa dari rahmat Allah80.
9. Harta dari hasil usaha bisnis-ekonomi tidak boleh dihambur-
hamburkan dengan cara yang mubadzir dan boros. Perilaku
boros di samping tidak terpuji juga merugikan usaha
pengembangan bisnis lebih lanjut, yang pada gilirannya
merugikan seluruh orang yang bekerja untuk bisnis tersebut.
Anjuran untuk tidak berlaku boros itu juga berarti anjuran untuk
menjalankan bisnis dengan cermat, penuh perhitungan, dan
tidak sembrono. Untuk bisa menjalankan bisnis dengan cara
demikian, dianjurkan selalu melakukan pencatatan-pencatatan
seperlunya, baik yang menyangkut keuangan maupun

97
Pendidikan Kemuhammadiyahan
administrasi lainnya, sehingga dapat dilakukan pengelolan
usaha yang lebih baik81.
10. Kinerja bisnis saat ini sedapat mungkin harus selalu lebioh baik
dari masa lalu dan kinerja bisnis pada masa mendatang harus
diikhtiarkan untuk lebih baik dari masa sekarang. Islam
mengajarkan bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin,
dan esok harus lebih baik dari hari ini. Perspektif seperti itu
harus diartikan bahwa evaluasi dan perencanaan bisnis
merupakan suatu anjuran yang harus diperhatikan82.
11. Seandainya pengelolaan bisnis harus diserahkan pada orang
lain, maka seharusnya diserahkan kepada orang yang mau dan
mampu untuk menjalankan amanah yang diberikan. Kemauan
dan kemampuan ini penting karena pekerjaan apapun kalau
diserahkan kepada orang yang tidak mampu hanya akan
membawa kepada kegagalan. Baik kemauan maupun
kemampuan itu bisa dilatih dan dipelajari. Menjadi kewajiban
mereka yan mampu untuk melatih dan mengajar orang yang
kurang mampu.
12. Semakin besar bisnis-ekonomi yang dijalankan biasanya
semakin banyak melibatkan orang atau lembaga lain. Islam
menganjurkan agar harta itu tidak hanya berputar-putar pada
orang atau kelompok yang mampu saja dari waktu ke waktu.
Dengan demikian makin banyak aktifitas bisnis memberi
manfaat pada masyarakat akan makin baik bisnis itu dalam
pandangan agama. Manfaat itu dapat berupa pelibatan
masyarakat dalam kancah bisnis itu lebih banyak, atau
menimati hasil yang diusahakan oleh bisnis tersebut.
13. Sebagian dari harta yang dikumpulkan melalui usaha bisnis-
ekonomi maupun melalui jalan lain secara halal dan baik itu
tidak bisa diakui bahwa seluruhnya merupakan hak mutlak
yang bersangkutan. Mereka yang menerima harta sudah pasti,
pada batas tertentu, harus menunaikan kewajibannya

98
Pendidikan Kemuhammadiyahan
membayar zakat sesuai syari'at. Di samping itu dianjurkan
untuk memberi infaq dan shadaqah sebagai perwujudan rasa
syukur atas nikmat rezeki yang diakruniakan Allah kepadanya.

I. KEHIDUPAN DALAM MENGEMBANGKAN PROFESI


1. Profesi merupakan bidang pekerjaan yang dijalani setiap orang
sesuai dengan keahliannya yang menuntut kesetiaan
(komitmen), kecakapan (skill), dan tanggung jawab yang
sepadan sehingga bukan semata-mata urusan mencari nafkah
berupa materi belaka.
2. Setiap anggota Muhammadiyah dalam memilih dan menjalani
profesinya di bidang masing-masing hendaknya senantiasa
menjunjung tinggi nilai-nilai kehalalan (halalan) dan kebaikan
(thayyiban), amanah, kemanfaatan, dan kemaslahatan yang
membawa pada keselamatan hidup di dunia dan akhirat.
3. Setiap anggota Muhammadiyah dalam menjalani profesi dan
jabatan dalam profesinya hendaknya menjauihkan diri dari
praktik-praktik korupsi, kolusi, nepotisme, kebohongan, dan
lain-lain yang bathil lainnya yang menyebabkan kemudlaratan
dan hancurnya nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan kebaikan
umum.
4. Setiap anggota Muhammadiyah di manapun dan apapun
profesinya hendaknya pandai bersyukur kepada Allah di kala
menerima nikmat dan bersabar dan bertawakal kepada Allah
manakala memperoleh musibah sehingga memperoleh pahala
dan terhindar dari siksa.
5. Menjalani profesi bagi setiap warga Muhammadiyah hendaknya
dilakukan dengan sepenuh hati dan kejujuran sebagai wujud
menunaikan ibadah dan kekhalifahan di muka bumi ini.

99
Pendidikan Kemuhammadiyahan
6. Dalam menjalani profesi hendaknya mengembangkan
prinsipbekerja sama dalam kebaikan dan ketakwaan serta tidak
bekerja sama dalam dosa dan permusuhan.
7. Setiap anggota Muhammadiyah hendaknya menunaikan
kewajiban zakat (termasuk zakat profesi) maupun
mengamalkan shadaqah, infaq, wakaf, dan amal jariyah lain
dari penghasilan yang diperolehnya serta tidak melakukan
helah (menghindarkan diri dari hukum) dalam menginfaqkan
sebagian rizki yang diperolehnya itu.
J. KEHIDUPAN DALAM BERBANGSA DAN BERNEGARA
1. Warga Muhammadiyah perlu mengambil bagian dati dak
boleh apatis (masa bodoh) dalam kehidupan politik melalui
berbagai saluran secara positif sebagai wujud bermuamalah
sebagaimana dalam bidang kehidupan lain dengan prinsip-
prinsi etika / akhlaq Islam dengan sebaik-baiknya dengan
tujuan membangun masyarakat utama yang diridlai Allah
SWT.
2. Beberapa prinsip dalam berpolitik harus ditegakkan dengan
sejujur-jujurnya dan sesungguh-sungguhnya yaitu
menunaikan amanat dan tidak boleh menghianati amanat84,
83

menegakkan keadilan, hukum dan kebenaran85, ketaatan


kepada pemimpin sejauh sejalan dengan dengan perintah
Allah dan Rasul86, mengemban risalah Islam87, menunaikan
amar ma'ruf, nahi munkar, dan mengajak orang untuk beriman
kepada Allah88, mempedomani al-Quran dan as-Sunnah89,
mementingkan kesatuan dan persaudaraan umat manusia90,
menghormati kebebasan orang lain91, menjauhi fitnah dan
kerusakan92, menghormati hak hidup orang lain 93, tidak
berkhianat dan melakukan kezaliman94, tidak mengambil hak
orang lain95, berlomba dalam kebaikan96, bekerja sama dalam
kebaikan dan ketakwaan serta tidak bekerja sama (konspirasi)
dalam melakukan dosa dan permusuhan97, memelihara

100
Pendidikan Kemuhammadiyahan
hubungan baik antara pemimpin dan warga98, memelihara
keslamatan umum99, hidup berdampingan dengan baik dan
damai100, tidak melakukan fasad dan kemunkaran101,
memeintingkan ukhuwah Islamiyah102, dan prinsip-prinsip
lainnya yang maslahat, ihsan dan ishlah.
3. Berpolitik dalam dan demi kepentingan umat dan bangsa
sebagai wujud ibadah kepada Allah dan ishlah serta ihsan
kepada sesama, dan jangan mengorbankan kepentingan yang
lebih luas dan utama itu demi kepentinagn diri sendiri dan
kelompok yang sempit.
4. Para politisi Muhammadiyah berkewajiban menunjukkan
keteladanan diri (uswah hasanah) yang jujur, benar, adil serta
menjauhkan diri dri perilaku politik yang kotor, membawa
fitnah, fasad (kerusakan), dan hanya mementingkan diri
sendiri.
5. Berpolitik dengan kesalihan, sikap positif, dan memiliki cita-
cita bagi terwujudnya masyarakat utama dengan fungsi amar
ma'ruf dan nahi munkar yang tersistem dalam satu kesatuan
imamah yang kokoh.
6. Menggalang silaturahim dan ukhuwah antar politisi dan
kekuatan politik yang digerakkan oleh para politisi
Muhammadiyah secara cerdasa dan dewasa.
K. KEHIDUPAN DALAM MELESTARIKAN LINGKUNGAN
1. Lingkungan hidup sebagai alam sekitar dengan segala isi
yang terkandung di dalamnya merupakan ciptaan dan
anugerah Allah yang harus diolah / dimakmurkan, dipelihara,
dan tidak boleh dirusak103.
2. Setiap muslim khususnya warga Muhammadiyah
berkewajiban untuk melakukan konservasi sumber daya alam
dan ekosistemnya sehingga terpelihara proses ekologis yang
menjadi penyangga kelangsungan hidup, terpeliharanya
keanekaragaman sumber genetik dan berbagai tipe

101
Pendidikan Kemuhammadiyahan
ekosistemnya dan terkendali cara-cara pengelolaan sumber
daya lam sehingga terpelihara kelangsungan dan
kelestariannya demi keselamatan, kebagahagiaan,
kesejahteraan, dan kelangsungan hidup manusia dan
keseimbangan sistem kehidupan di alam raya ini104.
3. Setiap muslim khususnya warga Muhammadiyah dilarang
malakukan usaha-usaha dan tindakan-tindakan yang
menyebabkan kerusakan lingkungan alam termasuk
kehidupan hayati seperti binatang, pepohonan, maupun
lingkunagn fisik dan biotik termasuk air laut, udara, sungai,
dan sebagainya yang menyebabkan kehilangan kesimbangan
ekosistem dan timbulnya bencana dalam kehidupan 105.
4. Memasyarakatkan dan mempraktikkan budaya bersih, sehat,
dan indah lingkunagn disertai kebersihan fisik dan jasmani
yang menunjukkan keimanan dan kesalihan106.
5. Melakukan tindakan-tindakan amar makruf dan nahi munkar
dalam menghadapi kezaliman, keserakahan, dan rekayasa
serta kebijakan-kebijakan yang mengarah, mempengaruhi,
dan menyebabkan kerusakan lingkungan dan
tereksploitasinya sumber-sumber daya alam yang
menimbulkan kehancuran, kerusakan, dan ketidakadilan
dalam kehidupan.
6. Melakukan kerja sama-kerja sama dan aksi-aksi praksis
dengan berbagai pihak baik perseorangan maupun kolektif
untuk terpeliharanya keseimbangan, kelestarian, dan
keselamatan lingkungan hidup serta terhindarnya kerusakan-
kerusakan lingkungan hidup sebagai wujud dari sikap
pengabdian dan kekhalifahan dalam mengemban misi
kehidupan di muka bumi ini untuk keselamatan hidup di dunia
dan akhirat107.
L. KEHIDUPAN DALAM MENGEMBANGKAN ILMU
PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI

102
Pendidikan Kemuhammadiyahan
1. Setiap warga Muhammadiyah wajib menguasai dan memiliki
keunggulan dalam kemampuan ilmu pengetahuan dan
teknologi sebagai sarana kehidupan yang penting untuk
mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat108.
2. Setiap warga Muhammadiyah harus memiliki sifat-sifat
ilmuwan, yaitu; kritis109, terbuka menerima kebenaran dari
manapun datangnya110, serta senantiasa menggunakan daya
nalar111.
3. Kemampuan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi
merupakan bagian tidak terpisahkan dengan iman dan amal
shaleh yang menunjukkan derajat kaum muslimin112, dan
membentuk pribadi ulil albab113.
4. Setiap warga Muhammadiyah dengan ilmu pengetahuan yang
dimiliki mempunyai kewajiban untuk mengajarkan kepada
masyarakat, memberikan peringatan, memanfaatkan untuk
kemashlahatan dan mencerahkan kehidupan sebagai wujud
ibadah, jihad dan dakwah114.
5. Menggairahkan dfan mengembirakan gerakan mencari ilmu
pengetahuan dan penguasaan teknologi baik melalui
pendidikan maupun kegiatan-kegiatan di lingkungan keluarga
dan masyarakat sebagai sarana penting untuk membangun
peradaban Islam. Dalam kegiatan ini termasuk
menyemarakkan tradisi di seluruh lingkungan warga
Muhammadiyah.

M. KEHIDUPAN DALAM SENI DAN BUDAYA


1. Islam adalah agama fitrah, yaitu agama yang berisi ajaran
yang tidak bertentangan dengan fitrah manusia115, Islam
bahkan menyalurkan, mengatur, dan mengarahkan fitrah

103
Pendidikan Kemuhammadiyahan
manusia itu untuk kemuliaan dan kehormatan manusia
sebagai makhluk Allah.
2. Rasa seni sebagai penjelmaan rasa keindahan dalam diri
manusia merupakan salah satu fitrah yang dianugerahkan
Allah SWT yang harus dipelihara dan disalurkan dengan baik
dan benar sesuai dengan jiwa dan ajaran Islam.
3. Berdasarkan Munas Tarjih ke-22 tahun 1995 ditetapkan
bahwa karya seni hukumnya mubah (boleh) selama tidak
mengarah atau mengakibatkankan fasad (kerusakan), dlarar
(bahaya), isyyan (kedurhakaan), dan ba'id anillah (terjauhkan
dari Allah); maka pengembangan kehidupan seni dan budaya
di kalangan Muhammadiyah harus sejalan dengan etika atau
norma-norma Islam sebagaimana dituntunkan Tarjih tersebut.
4. Seni rupa yang obyeknya makhluk bernyawa seperti patung
hukumnya mubah bila untuk kepentingan sarana pengajaran,
ilmu pengetahuan, dan sejarah; serta menjadi haram bila
mengandung unsur yang membawa isyyan (kedurhakaan) dan
kemusyrikan.
5. Seni suara baik seni vokal maupun instrumental, seni sastra,
dan seni pertunjukan pada dasarnya mubah (boleh) serta
menjadi terlarang manakala seni tersebut menjurus pada
pelanggaran norma-norma agama dalam ekspresinya baik
dalam wujud penandaan tekstual maupun visual.
6. Setiap warga Muhammadiyah baik dalam menciptakan
maupun menikmati seni dan budaya selain dapat
menumbuhkan perasaan halus dan keindahan juga
menjadikan seni dan budaya sebagai sarana mendekatkan diri
kepada Allah dan sebagai media atau sarana dakwah untuk
membangun kehidupan yang berkeadaban.
7. Menghidupkan sastra Islam sebagai bagian dari strategi
membangun peradaban kebudayaan muslim.
REFERENSI

104
Pendidikan Kemuhammadiyahan
1. Q.S. Asy-Syura/42: 13 50. H.R. Bukhari & Muslim
2. Q.S. An-Nisa/4 : 125 51. H.R. Bukhari & Muslim
3. Q.S. Al-Baqarah/2: 136 52. H.R. Bukhari & Muslim
4. Q.S. Ar-Rum/30: 30 53. H.R. Bukhari & Muslim
5. Q.S. Al-Baqarah/2: 185 54. H.R. Bukhari & Muslim
6. Q.S. Ali Imran/3: 112 55. Q.S. Al-Mumtahanah/60 : 8
7. Q.S. Al-Anbiya/21: 107 56. H.R. Abu Dawud
8. Q.S. Ali Imran/3: 19 57. Q.S. Al-Isra/17 : 70
9. Q.S. Al-Maidah/5: 3 58. Q.S. Al-Hujarat/49 : 13
10. Q.S. Al-Ikhlash/112: 1-4 59. Q.S. Al-Maidah/5 : 2
11. Q. S. Adz-Dzariyat/51: 56 60. Q.S. Fushilat/41 : 34
12. Q.S. Al-Baqarah/2: 30; Al-An'am/6: 165; 61. Q.S. Al-balad/90 : 13, Al-Baqarah/2 : 256,
Al`Araf/7: 69, 74; Yunus/10: 14, 73; As- An-Nisa/4 : 29, Al-Maidah/5 : 38
Shad/38: 26 62. Q.S. Al-Qalam/68 : 4
13. Q.S. Al-Fath/48: 29 63. Q.S. An-Nisa/4 : 57-58
14. Q.S. Al-Baqarah/2: 208 64. Q.S. Al-Baqarah/2 : 194, An-Nahl/16 : 126
15. Q.S. Al-An'am/6: 161-163 65. Q.S. Al-Isra/17 : 34
16. Q.S. Al-Baqarah/2: 112, 133, 136, 256; Ali 66. Q.S. Al-Hasyr/59 : 9
Imran/3 : 19, 52, 82, 85; An-Nisa/4: 125, 165, 67. Q.S. Ali Imran/3 : 114
170; Al-Maidah/5: 111, Al-An'am/6: 163; Al- 68. Q.S. Ali Imran/3 : 104, 110
Araf/7: 126; At-Taubah/9: 33; Yunus/10: 72, 69. Q.S. Al-Maidah/5 : 2
84, 90; Hud/11: 14; Yusuf/12: 101; An- 70. Q.S. Al-Hujarat/49 : 11
Nahl/16: 89, 102; Asy-Syuura/42: 13; Ash- 71. Q.S. An-Nur/24 : 4
Shaf/61: 9; Al-Mu'minun/23: 1-11\ 72. Q.S. Al-Baqarah/2 : 220
17. Q.S. Al-Baqarah/2: 2-4, 213 s/d 214, 165, 73. Q.S. Al-Maidah/5 : 38
285; Ali Imran/3: 122 s/d 139; An-Nisa/4: 76; 74. Q.S. Al Baqarah/2 : 148
At-Taubah/9: 51, 71; Hud/11: 112 s/d 122; Al- 75. Q.S. Ali Imran/3: 104, 110
Mu'minun/23: 1 s/d 11; Al-Hujarat/49: 15 76. Q.S. An-Nisa/4: 57
18. Q.S. Al-Baqarah/2: 58, 112; An-Nisa/4: 125; 77. Q.S. Al-Anfal/8 : 27
Al-`An'am/6: 14; An-Nahl/16: 29, 69, 128; 78. Q.S.Al-Isra/17:37,Luqman/31: 18
Luqman/31: 22; Ash-Shaffat/37: 113; Al- 79. Q.S. Ibrahim/14: 7
Ahqhaf/46: 15 80. Q.S. Yusuf/12: 87; Al-Hijr/15: 55, 56; Az-
19. Q.S. Al-Baqarah/2: 2 s/d 4, 177, 183; Ali Zumar/3 , Q.S. Al-Baqarah/2: 282, Q.S. Al-
Imran/3: 17, 76, 102, 133 s/d 134; Al- Hasyr/59 : 18
Maidah/5: 8; Al-'Araf/7: 26, 128, 156; Al- 81. -
Anfal/8: 34; At-Taubah/9: 8; Yunus/10: 62 s/d 82. -
64; An-Nahl/16: 128; Ath-Thalaq/65: 2 s/d 4; 83. Q.SAn-Nisa/4 : 57
An-Naba/78: 31 84. Q.S. Al-Anfal/8 : 27
20. Q.S. Yusuf/112: 108 85. Q.S. An-Nisa/4 : 58, dst.
21. Q.S. At-Tahrim/66: 6 86. Q.S.An-Nisa/4: 59,Al-Hasyr/59: 7
22. Q.S. Ali Imran/3: 104, 110 87. Q.S. Al-Anbiya/21 : 107
23. Q.S. Al-Ikhlash/112: 1 s/d 4 88. Q.S. Ali Imran/3 : 104, 110
24. Q.S. Al-Furqan/25: 63-77 89. Q.S. An-Nisa/4 : 108

105
Pendidikan Kemuhammadiyahan
25. Q.S. An-Nisa/4: 136 90. Q.S. Al-Hujarat/49 : 13
26. Q.S. Al-Ikhlash/112: 1 s/d 4 91. Q.S. Al-Balad/90 : 13
27. Q.S. Al-Baqarah/2: 105, 221; An-Nisa/4: 48; 92. Q.S. Al-Hasyr/59 : 9
Al-Maidah/5: 72; Al-`An'am/6: 14, 22 s/d 23, 93. Q.S. Al-An'am/6 : 251
101, 121; At-Taubah/9: 6, 28, 33; Al-Haj/22: 94. Q.S. Al-Furqan/25 : 19, Al-Anfal/8 : 27
31; Luqman/31: 13 s/d 15 95. Q.S. Al-Maidah/5 : 38
28. Q.S. Al-Qalam/68 : 4 96. Q.S. Al-Baqarah/2 : 148
29. Q.S. Al Ahzab/33: 21 97. Q.S. Al-Maidah/5 : 2
30. Q.S. Al-Bayinah/98: 5, Hadist Nabi riwayat 98. Q.S. An-Nisa/4 : 57-58
Bukhari-Muslim dari Umar bin Khattab 99. Q.S. At-Taubah/9 : 128
31. Q.S. Asy-Syams/91 : 5-8 100. Q.S. Al-Mumtahanah/60 : 8
32. Q.S. Al-Ashr/103 : 3, Q.S. Ali Imran/4 : 114 101. 101 Q.S. Al- Qashash/28 : 77, Ali Imran/3 :
33. Q.S. Al-Baqarah/2 : 104
34. Q.S. Al-Baqarah/2: 30 102. 102 Q.S. Ali Imran/3: 103
35. Q.S. Shad/38: 27 103. 103 Q.S. Al-Baqarah/2: 27,60; Al-Araf/7:
36. Q.S. Al-Qashash/28 : 77 56; Asy-Syu'ara/26: 152; Al-Qashas/28: 77
37. H. R. Bukhari-Muslim 104. Q.S. Al-Maidah/5: 33; Asy-Syu'ara/26: 152
38. Q.S. Ali Imran/3 : 1 12 105. Q.S. Al-Baqarah/2: 205; Al-`Araf/7: 56; Ar-
39. Q.S. Ali Imran/3: 142; Al-Insyirah/94 : 5-8 Rum/30: 41
40. Q.S. Ar-Rum/30 : 21 106. Q.S. Al-Maidah/5: 6; Al-`Araf/7: 31; Al-
41. Q.S. An-Nisa/4 : 19, 36, 128; Al-Isra/17 : 23, Mudatsir/74: 4
Luqman/31 : 14 107. Q.S. Al-Maidah/2: 2
42. Q.S. Ar-Rum/30 : 21 108. Q.S. Al-Qashash/28 : 77; An-Nahl/16 : 43;
43. Q.S. Al-An'am/6 : 151, Al-Isra/17 : 31 Al-Mujadilah/58 : 11; At-Taubah/9 : 122
44. Q.S. Al-Ahzab/33 : 59 109. Q.S. Al-Isra/17: 36
45. Q.S. At-Tahrim/66 : 6 110. Q.S. Az-Zumar/39 : 18
46. Q.S. At-Talaq/65 : 6, Al-Baqarah/2 : 233 111. Q.S. Yunus/10 : 10
47. Q.S. Al-Maidah/5 : 8, An-Nahl/16 : 90 112. Q.S. Al-Mujadilah/58 : 11
48. Q.S. Al-Baqarah/2 : 228, An-Nisa/4 : 34 113. Q.S. Ali Imran/3 : 7, 190-191; Al-Maidah/5
49. Q.S. Al-Isra/17 : 26, Ar-Rum/30 : 38 : 100; Ar-Ra'd/13 : 19-20; Al-Baqarah/2 :
197
114. Q.S. At-Taubah/9 : 122; Al-Baqarh/2 : 151;
Hadis Nabi riwayat Muslim, Q.S. Ar-
Rum/30: 30

BAB VI
KEORGANISASIAN DALAM MUHAMMADIYAH

Kompetensi

1. Agar mahasiswa dapat memahami substansi AD & ART Muhammadiyah,


106
Pendidikan Kemuhammadiyahan
termasuk perubahan-perubahan sejak berdirinya sampai sekarang (1912-2012)
2. Agar mahasiswa mampu menerapkan sistem administrasi dan tata kerja
persyarikatan.
3. Agar mahasiswa menyadari menjadi anggota dan pengurus di Muhammadiyah.

A. Pendahuluan

Muhammadiyah, selain dikenal sebagai gerakan pemikiran, juga merupakan


organisasi. Sebagai organisasi, Ormas Islam yang didirikan KH Ahmad Dahlan
pada 8 Dzulhijjah 1330 H/ 18 Nopember 1912, ini memiliki aturan main sebagai
pedoman dasar pengelolaan, yang tertuang dalam Anggaran Dasar (AD) dan
Anggaran Rumah Tangga (ART). Juga memiliki struktur organisasi, kepemimpinan,
keanggotaan, badan pembantu pimpinan, organisasi otonom, dan mekanisme
kerja, serta aturan teknis lainnya.

B. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga

Anggaran Dasar (AD) memuat prinsip-prinsip umum. Sedangkan ART


menjelaskan dan mengatur hal-hal yang tidak diatur dalam AD. Anggaran Dasar
Muhammadiyah disahkan dan ditetapkan oleh Muktamar. Jika ada rencana
perubahan, prosesnya diusulkan melalui Tanwir, kemudian diagendakan dalam
acara Muktamar. Perubahan tersebut diputuskan oleh sekurang-kurangnya dua
pertiga dari jumlah anggota Muktamar yang hadir. Sedangkan ART dibuat oleh
Pimpinan Pusat berdasarkan Anggaran Dasar, dan disahkan oleh Tanwir. Dalam
keadaan yang sangat memerlukan perubahan, Pimpinan Pusat dapat
mengubahnya, dan berlaku sampai disahkan oleh Tanwir.

AD Muhammadiyah disusun pertama kali pada 1912. Kemudian mengalami


perubahan sebanyak 14 kali, yakni pada 1914, 1921, 1934, 1941, 1943, 1946, 1950
(2 x), 1959, 1966, 1968, 1985, 2000, dan 2005. Perubahan, itu antara lain dilatari
oleh tuntutan pengembangan gerakan, konsekuensi perluasan jangkauan bidang
garap, dan tuntutan politik. Perubahan terakhir, dilakukan dalam Muktamar ke-45,
tahun 2005, di Malang Jawa Timur.

107
Pendidikan Kemuhammadiyahan
Sejak berdiri tahun 1912 hingga tahun 1958, Anggaran Dasar
Muhammadiyah tidak mencantumkan asas. Asas, baru dicantumkan pada 1959.
Kalimatnya berbunyi: ‖Persyarikatan berasaskan Islam‖. Dalam perkembangannya,
asas Islam diganti Pancasila. Hal ini dilakukan pada Muktamar ke-41, di Solo,
seiring dengan keluarnya UU Keormasan tahun 1985 (era orde baru), yang
mengharuskan setiap orsospol menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas.
Ketika era orde baru berakhir, dan berganti era reformasi, maka pada Muktamar
ke-44 tahun 2000, di Jakarta, asasnya dikembalikan pada Islam.

Secara redaksional, tujuan Muhammadiyah mengalami 7 kali perubahan.


Perubahan itu menggambarkan perkembangan pemikiran pimpinan dan
anggotanya, hasil yang dicapai Muhammadiyah, sekaligus situasi yang dialami.
Namun dari 7 kali perubahan redaksional, substansinya tetap sama, bahwa spirit
yang ingin ditegakkan Muhammadiyah adalah masyarakat Islam, bukan negara
Islam.

1. Tahun 1912: Menyebarkan pengajaran agama Kangjeng Nabi Muhammad


Shallalahu ‗Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputra di dalam residensi
Yogyakarta, dan memajukan hal agama kepada anggota-anggotanya.
2. Tahun 1914, 1921, 1931, 1931, dan 1941: (1) Memajukan dan
menggembirakan pengajaran dan pelajaran Agama di Hindia Nederland. (2)
Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan
agama Islam kepada lid-lidnya.
3. Tahun 1943: a. hendak menyiarkan agama Islam, serta melatihkan hidup yang
selaras dengan tuntunannya, b. hendak melakukan pekerjaan kebaikan
kebaikan umum, c. hendak memajukan pengetahuan dan kepandaian serta
budi pekerti yang baik kepada anggauta-anggautanya; kesemuanya itu
ditujukan untuk berjasa mendidik masyarakat ramai.
4. Tahun 1946, 1950, 1959: menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam,
sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
5. Tahun 1966-1968: menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga
dapat terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
6. Tahun 1985: menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga
terwujud masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu
wata‗ala.
7. Tahun 2000: menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat
108
Pendidikan Kemuhammadiyahan
terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

C. Struktur Organisasi dan Kepemimpinan

1. Struktur Organisasi
Organisasi Muhammadiyah terstruktur mulai ranting, cabang, daerah,
wilayah, hingga pusat. Ranting ialah kesatuan anggota dalam satu tempat atau
kawasan, yang terdiri atas sekurang-kurangnya 15 orang yang berfungsi
melakukan pembinaan dan pemberdayaan anggota.

Cabang adalah kesatuan ranting di suatu tempat yang terdiri atas


sekurang-kurangnya tiga Ranting yang berfungsi: Melakukan pembinaan,
pemberdayaan, dan koordinasi Ranting; Penyelenggaraan pengelolaan
Muhammadiyah; Penyelenggaraan amal usaha.

Daerah adalah kesatuan cabang di Kabupaten/Kota yang terdiri atas


sekurang-kurangnya tiga Cabang yang berfungsi: Melakukan pembinaan,
pemberdayaan, dan koordinasi Cabang; Penyelenggaraan, pembinaan, dan
pengawasan pengelolaan Muhammadiyah; Penyelenggaraan, pembinaan, dan
pengawasan amal usaha; Perencanaan program dan kegiatan.

Wilayah adalah kesatuan daerah di provinsi yang terdiri atas sekurang-


kurangnya tiga Daerah yang berfungsi: Pembinaan, pemberdayaan, dan
koordinasi Daerah; Penyelenggaraan, pembinaan, dan pengawasan
pengelolaan Muhammadiyah; Penyelenggaraan, pembinaan, dan
pengawasan amal usaha; Perencanaan program dan kegiatan.

Pusat adalah kesatuan wilayah dalam Negara Republik Indonesia yang


berfungsi: Melakukan pembinaan, pemberdayaan, dan koordinasi Wilayah;
Penyelenggaraan, pembinaan, dan pengawasan pengelolaan Muhammadiyah;
Penyelenggaraan, pembinaan, dan pengawasan amal usaha; Perencanaan
program dan kegiatan.

Syarat pendirian Persyarikatan tingkat wilayah, daerah, cabang dan


ranting diatur dalam ART. Kemudian penetapannya dilakukan secara
berjenjang. Untuk penetapan wilayah dan daerah dengan ketentuan luas
109
Pendidikan Kemuhammadiyahan
lingkungannya ditetapkan oleh Pimpinan Pusat. Penetapan cabang dengan
ketentuan luas lingkungannya ditetapkan oleh Pimpinan Wilayah. Penetapan
ranting dengan ketentuan luas lingkungannya ditetapkan oleh Pimpinan
Daerah. Kecuali dalam hal-hal luar biasa, Pimpinan Pusat dapat mengambil
ketetapan lain.

Dalam perkembangan belakangan ini, Muhammadiyah bukan hanya ada


di dalam negeri, tapi juga di luar negeri. Keberadaan Muhammadiyah di luar
negeri itu disebut dengan Cabang Istimewa, yang penetapan dan pengesahan
pimpinannya langsung dilakukan oleh Pimpinan Pusat. Di sejumlah negara
yang sudah berdiri cabang istimewa seperti Mesir, Malaysia, Inggris,
Singapura, Syiria, Sudan, Iran, Perancis, Inggris, Jerman, Belanda, Amerika
Serikat, Jepang, Australia, dan lain-lain yang digerakkan oleh para mahasiswa
dan warga serta simpatisan Muhammadiyah setempat.

Cabang Istimewa tersebut lebih merupakan perhimpunan paguyuban


daripada organisasi yang bersifat structural, untuk menjadi ajang silaturrahim,
kerjasama warga dan simpatisan Muhamadiyah sekaligus menjadi mediator
Muhammadiyah di negara masing-masing. Namun di Kuala Lumpur, kini telah
berdiri ranting istimewa Muhammadiyah dan Aisyiyah, yang sebagian besar
pimpinan dan anggotanya adalah para tenaga kerja asal Indonesia (TKI).

2. Struktur Pimpinan

Struktur kepemimpinan dalam Muhammadiyah bersifat herarkhis, mulai dari


tingkat pusat sampai tingkat ranting. Masa jabatan atau periode kepemimpinan
untuk masing-masing tingkatan sama, yakni lima tahun.

Pimpinan Pusat adalah pimpinan tertinggi yang memimpin Muhammadiyah


secara keseluruhan. Terdiri atas sekurang-kurangnya tiga belas orang, dipilih dan
ditetapkan oleh Muktamar untuk satu masa jabatan dari calon-calon yang diusulkan
oleh Tanwir. Ketua Umum Pimpinan Pusat ditetapkan oleh Muktamar dari dan atas
usul anggota Pimpinan Pusat terpilih. Anggota Pimpinan Pusat terpilih menetapkan
Sekretaris Umum dan diumumkan dalam forum Muktamar. Pimpinan Pusat dapat
menambah anggotanya apabila dipandang perlu dengan mengusulkannya kepada
110
Pendidikan Kemuhammadiyahan
Tanwir. Pimpinan Pusat diwakili oleh Ketua Umum atau salah seorang Ketua
bersama-sama Sekretaris Umum atau salah seorang Sekretaris, mewakili
Muhammadiyah untuk tindakan di dalam dan di luar pengadilan.

Pimpinan Wilayah memimpin Muhammadiyah dalam wilayahnya serta


melaksanakan kebijakan Pimpinan Pusat, terdiri atas sekurang-kurangnya sebelas
orang ditetapkan oleh Pimpinan Pusat untuk satu masa jabatan dari calon-calon
yang dipilih dalam Musyawarah Wilayah. Ketua Pimpinan Wilayah ditetapkan oleh
Pimpinan Pusat dari dan atas usul calon-calon anggota Pimpinan Wilayah terpilih
yang telah disahkan oleh Musyawarah Wilayah. Pimpinan Wilayah dapat
menambah anggotanya apabila dipandang perlu dengan mengusulkannya kepada
Musyawarah Pimpinan Wilayah yang kemudian dimintakan ketetapan Pimpinan
Pusat.

Pimpinan Daerah memimpin Muhammadiyah dalam daerahnya serta


melaksanakan kebijakan Pimpinan di atasnya, terdiri atas sekurang-kurangnya
sembilan orang ditetapkan oleh Pimpinan Wilayah untuk satu masa jabatan dari
calon-calon anggota Pimpinan Daerah yang telah dipilih dalam Musyawarah
Daerah. Ketua Pimpinan Daerah ditetapkan oleh Pimpinan Wilayah dari dan atas
usul calon-calon anggota Pimpinan Daerah terpilih yang telah disahkan oleh
Musyawarah Daerah. Pimpinan Daerah dapat menambah anggotanya apabila
dipandang perlu dengan mengusulkannya kepada Musyawarah Pimpinan Daerah
yang kemudian dimintakan ketetapan Pimpinan Wilayah.

Pimpinan Cabang memimpin Muhammadiyah dalam cabangnya serta


melaksanakan kebijakan Pimpinan di atasnya, terdiri atas sekurang-kurangnya
tujuh orang ditetapkan oleh Pimpinan Daerah untuk satu masa jabatan dari calon-
calon yang dipilih dalam Musyawarah Cabang. Ketua Pimpinan Cabang ditetapkan
oleh Pimpinan Daerah dari dan atas usul calon-calon anggota Pimpinan Cabang
terpilih yang telah disahkan oleh Musyawarah Cabang. Pimpinan Cabang dapat
menambah anggotanya apabila dipandang perlu dengan mengusulkannya kepada
Musyawarah Pimpinan Cabang yang kemudian dimintakan ketetapan Pimpinan
Daerah.

Pimpinan Ranting memimpin Muhammadiyah dalam rantingnya serta


melaksanakan kebijakan Pimpinan di atasnya, terdiri atas sekurang-kurangnya lima
111
Pendidikan Kemuhammadiyahan
orang ditetapkan oleh Pimpinan Cabang untuk satu masa jabatan dari calon-calon
yang dipilih dalam Musyawarah Ranting. Ketua Pimpinan Ranting ditetapkan oleh
Pimpinan Cabang dari dan atas usul calon-calon anggota Pimpinan Ranting terpilih
yang telah disahkan oleh Musyawarah Ranting. Pimpinan Ranting dapat
menambah anggotanya apabila dipandang perlu dengan mengusulkannya kepada
Musyawarah Pimpinan Ranting yang kemudian dimintakan ketetapan Pimpinan
Cabang.

Sistem kepemimpinan dalam Muhammadiyah lazim disebut dengan kepemim-


pinan kolektif kolegial. Dalam kepemimpinan model ini, segala keputusan dan
kebijakan organisasi ditetapkan melalui proses musyawarah.

Pemilihan pimpinan dapat dilakukan secara langsung atau formatur melalui


permusyawaratan di masing-masing tingkat, dengan syarat-syarat tertentu.
Kemudian khusus jabatan Ketua Umum untuk Pimpinan Pusat, atau ketua untuk
Pimpinan Wilayah, Daerah, Cabang dan Ranting dibatasi hanya dibolehkan dijabat
oleh orang yang selama dua kali masa jabatan berturut-turut.

D. Ortom dan Unsur Pembantu Pimpinan

1. Ortom

Ortom atau Organisasi Otonom, adalah satuan organisasi yang dibentuk


oleh dan berkedudukan di bawah Persyarikatan guna membina warga
Muhammadiyah dan kelompok masyarakat tertentu sesuai dengan bidang
kegiatan yang diadakan dalam rangka mencapai maksud tujuan
Muhammadiyah. Ortom Muhammadiyah dibagi dalam dua kategori, yaitu Ortom
Umum dan Ortom Khusus.

a. Ortom Umum adalah organisasi otonom yang anggotanya belum


seluruhnya anggota Muhammadiyah, yaitu Hizbul Wathan (berdiri tahun
1918), Nasyiatul ‘Aisyiyah (berdiri pada tahun 1931), Pemuda
Muhammadiyah (berdiri tahun 1932), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (berdiri
pada 1961), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (beriri tahun 1964), dan
Tapak Suci Putera Muhammadiyah (berdiri pada 1963).
112
Pendidikan Kemuhammadiyahan
b. Ortom Khusus adalah organisasi otonom yang seluruh anggotanya,
anggota Muhammadiyah dan diberi wewenang menyelenggarakan amal
usaha yang ditetapkan oleh Pimpinan Muhammadiyah dalam koordinasi
Unsur Pembantu Pimpinan yang membidanginya sesuai dengan ketentuan
yang berlaku tentang amal usaha tersebut. yang termasuk kategori ini
hanyalah ‘Aisyiyah (berdiri pada 22 April 1917).
Seluruh Ortom tersebut memiliki struktur organisasi dan kepemimpinan
dari pusat hingga ranting, sebagaimana struktur organisasi dan kepemimpinan
Muhammadiyah. Ortom, selain berfungsi khusus dalam menggarap kelompok
masyarakat tertentu, juga berfungsi sebagai wahana kaderisasi. Atau dalam
bahasa lain, fungsi Ortom adalah sebagai pelopor, pelangsung, dan
penyempurna cita-cita pembaharuan Muhammadiyah.

Pembentukan Ortom ditetapkan oleh Tanwir atas usul Pimpinan Pusat


Muhammadiyah dan dilaksanakan dengan keputusan Pimpinan Pusat
Muhammadiyah. Ortom Khusus ditetapkan dengan keputusan Pimpinan Pusat
Muhammadiyah. Pembentukan Ortom pada masing-masing tingkat, selain
Pimpinan Pusat, dibentuk oleh Pimpinan Ortom satu tingkat di atasnya dengan
rekomendasi Pimpinan Persyarikatan setingkat..

Setiap Ortom berwenang mengatur rumah tangganya sendiri yang


dituangkan dalam AD dan ART masing-masing, tetapi tidak boleh bertentangan
dengan AD dan ART Muhammadiyah. Khusus dalam masalah pemilihan
pimpinan, calon pimpinan yang akan diajukan dalam permusyawaratan harus
mendapat persetujuan dari Pimpinan Persyarikatan setingkat atau Pimpinan
Persyarikatan yang mewilayahi langsung Ortom bagi yang strukturnya berbeda
dengan Persyarikatan. Demikian pula, Keputusan Permusyawaratan ditanfidz
oleh Ortom setelah mendapat pengesahan dari Pimpinan Persyarikatan
setingkat.

Pimpinan Ortom berhubungan langsung dengan Pimpinan


Persyarikatan setingkat. Juga mengadakan hubungan dan kerjasama dengan
Unsur Pembantu Pimpinan dan Ortom lain dengan pemberitahuan kepada
Pimpinan Persyarikatan setingkat dan yang dituju. Pimpinan Ortom dapat
mengadakan hubungan dan kerjasama dengan pihak luar negeri setelah
mendapat persetujuan Pimpinan Pusat Ortom dan Pimpinan Pusat
113
Pendidikan Kemuhammadiyahan
Muhammadiyah serta melaporkan hasilnya. Untuk Tata Kerja Pimpinan Ortom
diatur oleh masing-masing Organisasi Otonom.

Keuangan dan Kekayaan Ortom secara hukum milik Pimpinan Pusat


Muhammadiyah. Keuangan dan kekayaan Ortom diperoleh dan dipergunakan
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam AD masing-masing. Pemindahan
hak atas kekayaan berupa benda bergerak dilakukan oleh Pimpinan Ortom
masing-masing tingkat dengan pemberitahuan kepada Pimpinan Persyarikatan
masing-masing tingkat. Sedang untuk benda tidak bergerak dilakukan atas ijin
tertulis Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Pengawasan terhadap Organisasi Otonom dilakukan oleh Pimpinan


Persyarikatan pada semua tingkat. Sanksi berupa tindakan administratif
dan/atau yuridis dilakukan oleh Pimpinan Persyarikatan terhadap Organisasi
Otonom baik institusi dan/atau perorangan yang menyalahi ketentuan dan
peraturan yang berlaku.

Laporan akhir masa jabatan selama satu masa periode tentang hasil
kerjanya, disampaikan kepada Pimpinan Persyarikatan masing-masing tingkat.
Laporan tahunan tentang perkembangan Ortom disampaikan kepada Pimpinan
Persyarikatan masing-masing tingkat. Laporan insidental tentang penanganan
terhadap peristiwa atau masalah khusus disampaikan dan
dipertanggungjawabkan secara tersendiri kepada Pimpinan Persyarikatan
masing-masing tingkat selambat-lambatnya satu bulan setelah kegiatan
tersebut dinyatakan selesai. Laporan internal Organisasi Otonom diatur dalam
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga masing-masing.

Pembubaran Ortom dilakukan apabila melakukan penyimpangan


terhadap prinsip, garis, dan kebijakan Persyarikatan. Dan diputuskan oleh
Tanwir atas usul Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan dilaksanakan dengan
keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Setelah Ortom dinyatakan bubar,
segala hak milik kembali kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

2. Badan Pembantu Pimpinan

114
Pendidikan Kemuhammadiyahan
Selain pimpinan Persyarikatan, terdapat Badan Pembantu Pimpinan
(BPP) Persyarikatan, yang bertugas melaksanakn program dan kegiatan yang
telah menjadi kebijakan Persyarikatan. BPP adalah satuan organisasi yang
dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Pimpinan Persyarikatan masing-
masing tingkat, terdiri dari Majelis dan Lembaga.

Majelis merupakan unsur Pembantu Pimpinan yang diserahi tugas


sebagai penyelenggara amal usaha, program, dan kegiatan pokok dalam
bidang tertentu sesuai dengan kebijakan Pimpinan Persyarikatan masing-
masing tingkat. Sedangkan Lembaga merupakan unsur Pembantu Pimpinan
yang diserahi tugas melaksanakan program dan kegiatan pendukung yang
bersifat khusus.

Majelis berwenang menentukan perencanaan, pelaksanaan, dan


pengawasan dalam penyelenggaraan amal usaha, program, dan kegiatan
sesuai dengan kebijakan Persyarikatan. Sedangkan Lembaga berwenang
menentukan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam pelaksanaan
program dan kegiatan atas persetujuan Pimpinan Persyarikatan.

Majelis berkedudukan di tingkat pusat, wilayah, daerah, dan cabang,


yang dibentuk oleh Pimpinan Persyarikatan di masing-masing tingkat sesuai
kebutuhan. Khusus Majelis Pendidikan Tinggi pada tingkat wilayah dibentuk
oleh Pimpinan Wilayah sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku
atas persetujuan Pimpinan Pusat.

Sementara Lembaga berkedudukan di tingkat pusat dan dibentuk oleh


Pimpinan Pusat. Apabila dipandang perlu, Pimpinan Wilayah dan/atau Pimpinan
Daerah dapat membentuk Lembaga dengan persetujuan Pimpinan
Persyarikatan setingkat di atasnya. Khusus Lembaga Pengembangan Cabang
dan Ranting (LPCR) keberadaannya harus dibentuk di tingkat wilayah dan
daerah karena melekat dengan fungsi organisasi/Persyarikatan dan revitalisasi
cabang dan ranting.

Majelis dan Lembaga sebagai Pembantu Pimpinan mengalami


perubahan dari periode ke periode, baik nama maupun tupoksinya. Pada
periode 2010-2015, sesuai dengan SK PP Muhammadiayah Nomor:

115
Pendidikan Kemuhammadiyahan
244/KEP/I.0/B/2010, unsur Pembantu Pimpinan Persyarikatan Periode 2010-
2015, terdiri dari 13 majelis dan 8 lembaga.

Nama Majelis dan Lembaga Periode 2010-2015: (1) Majelis Tarjih dan
Tajdid, (2) Majelis Tabligh, (3) Majelis Pendidikan Tinggi, (4) Majelis Pendidikan
Dasar dan Menengah, (5) Majelis Pendidikan Kader, (6) Majelis Pelayanan
Kesehatan Umum, (7) Majelis Pelayanan Sosial, (8) Majelis Ekonomi dan
Kewirausahaan, (9) Majelis Wakaf dan Kehartabendaan, (10) Majelis
Pemberdayaan Masyarakat, (11) Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia, (12)
Majelis Lingkungan Hidup, (13) Majelis Pustaka dan Informasi, (14) Lembaga
Pengembangan Cabang dan Ranting, (15) Lembaga Pembina dan Pengawas
Keuangan, (16) Lembaga Penelitian dan Pengembangan, (17) Lembaga
Penanggulangan Bencana, (18), Lembaga Zakat, Infaq, dan Shadaqah, (19)
Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik, (20) Lembaga Seni Budaya dan
Olahraga, dan (21) Lembaga Hubungan dan Kerjasama Internasional.

Hubungan dan tata kerja Majelis: (1) Mengadakan hubungan vertikal


dalam penyelenggaraan amal usaha, program, dan kegiatan Persyarikatan
pada bidangnya, dengan pemberitahuan baik kepada Pimpinan Persyarikatan
setingkat maupun yang dituju. Dalam hal hubungan dengan Pimpinan
Persyarikatan di bawahnya dilakukan atas nama Pimpinan Persyarikatan; (2)
Mengadakan hubungan horisontal dengan Majelis dan Lembaga lain serta
Organisasi otonom, dengan pemberitahuan kepada Pimpinan Persyarikatan; (3)
Mengadakan hubungan dan kerjasama dengan pihak lain di luar Persyarikatan,
dengan persetujuan Pimpinan Persyarikatan setingkat. Dalam hal hubungan
dan kerjasama dengan pihak luar negeri, diatur oleh Pimpinan Pusat.

Hubungan dan tata kerja Lembaga: Mengadakan hubungan vertikal,


horisontal, dan hubungan dengan pihak lain di luar Persyarikatan dalam
pelaksanaan program dan kegiatan sesuai bidangnya, dilakukan dengan
persetujuan Pimpinan Persyarikatan.

Penetapan susunan dan personalia pimpinan majelis/lembaga dilakukan


oleh Pimpinan Persyarikatan masing-masing tingkat, dan masa jabatannya
sama dengan masa jabatan Pimpinan Persyarikatan. Khusus untuk jabatan
Ketua Majelis/Lembaga dapat dijabat oleh orang yang sama dua kali masa
116
Pendidikan Kemuhammadiyahan
jabatan berturut-turut. Tugasnya, berakhir pada waktu dilakukan serah-terima
jabatan dengan Pimpinan yang baru.

Rapat Kerja Unsur Pembantu Pimpinan terdiri atas: Rapat Kerja Majelis
untuk membahas penyelenggaraan amal usaha, program, dan kegiatan sesuai
pembagian tugas yang ditetapkan oleh Pimpinan Persyarikatan; Rapat Kerja
Lembaga untuk membahas pelaksanaan program dan kegiatan yang telah
ditetapkan oleh Pimpinan Persyarikatan.

Pembiayaan Unsur Pembantu Pimpinan menjadi tanggung jawab


Pimpinan Persyarikatan masing-masing tingkat. Unsur Pembantu Pimpinan
dapat menyelenggarakan usaha dan/atau administrasi keuangan sendiri atas
persetujuan dan dalam koordinasi Pimpinan Persyarikatan masing-masing
tingkat. Unsur Pembantu Pimpinan menyusun Rencana Anggaran Pendapatan
dan Belanja untuk diajukan kepada dan disahkan oleh Pimpinan Persyarikatan
masing-masing tingkat. Pimpinan Persyarikatan masing-masing tingkat
melakukan pengawasan atas pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
yang dilakukan oleh Unsur Pembantu Pimpinan.

Kekayaan Unsur Pembantu Pimpinan secara hukum milik Pimpinan


Pusat. Pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan dapat dilakukan oleh Unsur
Pembantu Pimpinan sesuai dengan ketentuan dan/atau kebijakan Pimpinan
Persyarikatan. Pemindahan hak atas kekayaan berupa benda bergerak
dilakukan oleh Pimpinan Persyarikatan masing-masing tingkat atas pelimpahan
wewenang dari Pimpinan Pusat, sedang untuk benda tidak bergerak dilakukan
atas izin Pimpinan Pusat.

Pengawasan terhadap penyelenggaraan amal usaha, pelaksanaan


program dan kegiatan, serta pengelolaan keuangan dan kekayaan Unsur
Pembantu Pimpinan dilakukan oleh Pimpinan Persyarikatan pada semua tingkat
secara periodik dan/atau insidental. Unsur Pembantu Pimpinan baik institusi
dan/atau person yang terbukti bersalah dikenai sanksi oleh Pimpinan
Persyarikatan berupa tindakan administratif dan/atau yuridis.

Laporan pertanggungjawaban tentang hasil kerja penyelenggaraan amal


usaha, pelaksanaan program dan kegiatan, serta pengelolaan keuangan dan

117
Pendidikan Kemuhammadiyahan
kekayaan dibuat oleh Unsur Pembantu Pimpinan pada akhir masa jabatan dan
disampaikan kepada Pimpinan Persyarikatan. Laporan Tahunan tentang
perkembangan penyelenggaraan amal usaha, pelaksanaan program dan
kegiatan, serta pengelolaan keuangan dan kekayaan dibuat oleh Unsur
Pembantu Pimpinan disampaikan kepada Pimpinan Persyarikatan. Laporan
insidental tentang penanganan terhadap peristiwa atau masalah khusus
disampaikan dan dipertanggungjawabkan secara tersendiri kepada Pimpinan
Persyarikatan selambat-lambatnya satu bulan setelah kegiatan tersebut
dinyatakan selesai.

E. Sistem Administrasi dan Tata Kerja

1. Jenis dan Tata Urutan Aturan


Menurut Surat edaran PPM Nomor 264/KEP ll.0lBl2012, jenis dan tata urutan
aturan dalam Muhammadiyah adalah sebagai berikut:

A. Aturan yang bersifat mengatur:


a.Anggaran Dasar;
b.Anggaran Rumah Tangga;
c. Qaidah;
d.Peraturan;
e.Pedoman;
f. Ketentuan.
B. Jenis peraturan yang bersifat penetapan meliputi:
1) Keputusan:
a. Keputusan permusyawaratan: (1) Keputusan Muktamar, Musyawarah
wilayah, Daerah, cabang, dan Ranting (2) Keputusan Tanwir,
Musyawarah Pimpinan Wilayah, Daerah, Cabang , dan Ranting.
b. Keputusan rapat: Keputusan Rapat Pimpinan Pusat, Wilayah, dan
Daerah.
c. Keputusan Pimpinan: Keputusan Pimpinan Persyarikatan tingkat
pusat, wilayah, dan daerah.
2) Maklumat:
a. Maklumat Pimpinan Persyarikatan tingkat pusat, wilayah, daerah,
cabang, dan ranting.
b. Maklumat Pimpinan Majelis tingkat pusat, wilayah, dan daerah.
118
Pendidikan Kemuhammadiyahan
3) lnstruksi:
a. lnstruksi Pimpinan Persyarikatan tingkat pusat, wilayah, daerah,
cabang, dan ranting.
b. lnstruksi Pimpinan Majelis tingkat pusat, wilayah, daerah, dan
cabang.
4) Edaran:
a. Edaran Pimpinan Persyarikatan tingkat pusat, wilayah, daerah,
cabang, dan ranting.
b. Edaran Pimpinan Majelis tingkat pusat, wilayah, daerah, dan cabang.
C. Tata Urutan Peraturan dalam Muhammadiyah terdiri dari:
1) Tata urutan peraturan yang bersifat pengaturan, meliputi:
a. Anggaran Dasar;
b. Anggaran Rumah Tangga;
c. Qaidah;
d. Peraturan;
e. Pedoman;
f. Ketentuan.
2) Tata urutan peraturan yang bersifat penetapan, meliputi:
a. Tingkat pusat: (1) Keputusan Muktamar; (2) Keputusan Tanwir; (3)
Keputusan Rapat Pimpinan Pusat; (4) Keputusan Pimpinan Pusat;
(5) Maklumat, lnstuksi, dan Edaran Pimpinan Persyarikatan dan
Majelis tingkat pusat.
b. Tingkat wilayah: (1) Keputusan Musyawarah Wilayah; (2)
Keputusan Musyawarah Pimpinan Wilayah; (3) Keputusan Rapat
Pimpinan Wilayah; (4) Keputusan Pimpinan Wilayah; (5) Maklumat,
lnstuksi, dan Edaran Pimpinan Persyarikatan dan Majelis tingkat
wilayah.
c. Tingkat daerah: (1) Keputusan Musyawarah Daerah; (2) Keputusan
Musyawarah Pimpinan Daerah; (3) Keputusan Rapat Pimpinan
Daerah; (4) Keputusan Pimpinan Daerah; (5) Maklumat, lnstuksi, dan
Edaran Pimpinan Persyarikatan dan Majelis tingkat daerah.
d. Tingkat cabang: (1) Keputusan Musyawarah Cabang; (2) Keputusan
Musyawarah Pimpinan Cabang; (3) Keputusan Pimpinan Cabang; (4)
Maklumat, lnstuksi, dan Edaran Pimpinan Persyarikatan dan Majelis
tingkat cabang.

119
Pendidikan Kemuhammadiyahan
e. Tingkat ranting: (1) Keputusan Musyawarah Ranting; (2) Keputusan
Musyawarah Pimpinan Ranting; (3) Keputusan Pimpinan Ranting; (4)
Maklumat, lnstuksi, dan Edaran Pimpinan Persyarikatan tingkat
ranting.
2. Tata Kerja Pimpinan
Pimpinan Persyarikatan terdiri dari unsur ketua, sekretaris dan
bendahara. Masing-masing memiliki tugas dan wewenang sesuai jabatannya.
Tetapi semua itu merupakan satu kesatuan yang bulat dan tersistem dalam
organisasi. Pembagian tugas dimaksudkan untuk memudahkan pelaksanaan
tugas dan fungsi. Oleh karenanya, setiap anggota pimpinan dalam
menjalankan tugasnya wajib melakukan dan memelihara hubungan,
koordinisasi, integrasi, dan sinkronisasi secara terus menerus.
Terdapat perbedaan penyebutan jabatan untuk tingkat pusat, dengan
tingkat wilayah ke bawah. Jika di tingkat pusat disebut Ketua Umum,
Sekretaris Umum dan Bendahara Umum, di tingkat wilayah ke bawah disebut
Ketua, Sekretaris dan Bendahara. Jika di tingkat pusat jabatan Ketua,
Sekretaris bendahara, di tingkat wilayah ke bawah disebut Wakil Ketua, Wakil
Sekretaris, dan Wakil Bendahara.
3. Sistem Administrasi
Dalam penyelenggaraan tugas-tugas ketatausahaan, terutama yang
berkaitan dengan tugas pengendalian program, pembinaan anggota,
pembinaan organisasi, bimbingan amal usaha, hubungan dengan pihak luar
serta kegiatan-kegiatan lainnya, dibentuklah kantor sekretariat, yang dipimpin
oleh seorang Kepala Kantor. Kantor selain berfungsi sebagai pusat
administrasi, juga pusat kegiatan.

Dalam hal surat menyurat, baik masuk mapun keluar dicatat dengan
tertib melalui Sekretariat. Surat-surat keluar, ditandatangani oleh Ketua
Umum/ketua bersama Sekretaris Umum/sekretaris dengan ketentuan sebagai
berikut:

a. Dalam hal Ketua Umum/ketua berhalangan atau dalam bidang tertentu,


surat-surat dapat ditandatangani oleh Ketua/walik ketua.

b. Dalam hal Sekretaris Umum/sekretaris berhalangan, surat-surat


ditandatangani sekretaris/wakil sekretaris.
120
Pendidikan Kemuhammadiyahan
c. Khusus surat-surat yang mengenai keuangan dan kebendaharaan
ditandatangani oleh Ketua Umum/Ketua bersama Bendahara
Umum/Bendahara. Dalam hal Bendahara Umum/Bendahara berhalangan,
surat-surat ditandatangani Ketua Umum/Ketua bersama Sekretaris
Umum/Sekretaris.

d. Surat-surat yang bersifat rutin dapat ditandatangai Sekretaris


Umum/Sekretaris.

4. Pengadministrasian Aset

Segala aset, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, termasuk


keuangan dan kekayaan Unsur Pembantu Pimpinan, Amal Usaha, dan
Organisasi Otonom pada semua tingkat secara hukum merupakan milik
Pimpinan Pusat. Pengelolaan keuangan dalam Muhammadiyah diwujudkan
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Muhammadiyah. Pengelolaan
kekayaan dalam Muhammadiyah diwujudkan dalam Jurnal, yang ditetapkan
oleh Pimpinan Pusat. Pengawasan keuangan dan kekayaan dilakukan terhadap
Pimpinan Muhammadiyah, Unsur Pembantu Pimpinan, Amal Usaha, dan
Organisasi Otonom pada semua tingkat.

Pimpinan Muhammadiyah dan Unsur Pembantu Pimpinan di semua


tingkat membuat laporan pertanggungjawaban untuk disampaikan kepada
Musyawarah Pimpinan, Musyawarah masing-masing tingkat, Tanwir, atau
Muktamar. Sementara Pimpinan Amal Usaha membuat laporan tahunan
disampaikan kepada Unsur Pembantu Pimpinan dengan tembusan kepada
Pimpinan Muhammadiyah untuk dipelajari dan ditindaklanjuti.

Keanggotaan

Keanggotaan dalam Muhammadiyah dibagi dalam tiga kategori, yakni


anggota biasa, anggota istimewa dan anggota kehormatan. Anggota Biasa: (a)
Warga Negara Indonesia beragama Islam,
(b) Laki-laki atau perempuan berumur
17 tahun atau sudah menikah,
(c) Menyetujui maksud dan tujuan
Muhammadiyah,
(d) Bersedia mendukung dan melaksanakan usaha-usaha
Muhammadiyah,
(e) Mendaftarkan diri dan membayar uang pangkal.
121
Pendidikan Kemuhammadiyahan
Sedangkan anggota Luar Biasa ialah seseorang bukan warga negara
Indonesia, beragama Islam, setuju dengan maksud dan tujuan Muhammadiyah
serta bersedia mendukung amal usahanya. Sementara Anggota Kehormatan ialah
seseorang beragama Islam, berjasa terhadap Muhammadiyah dan atau karena
kewibawaan dan keahliannya diperlukan atau bersedia membantu Muhammadiyah.
Selanjutnya, hal ikhwal tentang keanggotaan, secara lengkap diatur dalam ART.

Daftar Pustaka

http://www.muhammadiyah.or.id

Nashir, Haedar. Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, Suara Muhmmadiyah,


2010.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Tarjih, Keputusan Munas Tarjih XXV


tentang Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Surat Keputusan Nomor: 120/KEP/I.0/B/2006,


tentang Unsur Pembantu Pimpinan Persyarikatan.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Surat Keputusan Nomor: 92/Kep/I.0/B/2007,


tentang: Qa'idah Organisasi Otonom Muhammadiyah.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Surat Keputusan Nomor: 244/KEP/I.0/B/2010,


tentang Unsur Pembantu Pimpinan Persyarikatan.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Surat Keputusan Nomor : 264/KEP ll.0lBl2012,


tentang: Jenis, Tata Urutan, Dan Muatan Peraturan Dalam
Muhammadiyah

Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, 2010.

Suara Muhammadiyah, Edisi 2010 – 2011

122
Pendidikan Kemuhammadiyahan
BAB VII
PENGELOLAAN AMAL USAHA MUHAMMADIYAH

Kompetensi Dasar
1. Agar mahasiswa dapat memahami Hakekat amal usaha
Muhammadiyah
2. Agar mahasiswa mampu mengidentifikasi prinsip-prinsip pengelolaan
Amal Usaha Muhammadiyah
3. Agar mahasiswa menyadari hubungan internal dan eksternal
Muhammadiyah

A. PENDAHULUAN
Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada
tahun 1912 di Kauman Yogyakarta, dari tahun ke tahun berikutnya
telah mengalami perkembangan dan peningkatan yang sangat
signifikan, baik secara organisasi maupun gerakan. Oleh karena itu
keberadaan Muhammadiyah dapat kita lihat dari dua sisi, yaitu
Muhammadiyah sebagai Organisasi (Persyarikatan) dan
Muhammadiyah sebagai Gerakan (Harakah). Sebagai organisasi
(Persyarikatan), Muhammadiyah menunjukkan adanya keteraturan,
sistimatika, dan hirarkhi, dari tingkat ranting sampai dengan pusat.
Dalam penyelenggaraannya, Muhammadiyah mengatur dirinya dengan
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Sedangkan sebagai
gerakan (harakah), Muhammadiyah menunjukkan adanya dinamika
(bergerak maju, hidup dan menghidupkan, dinamis tiada henti) secara
terus-menerus dan berkesinambungan.
Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah amar makruf
nahi munkar dan tajdid, berazaskan Islam, bersumber pada al-Qur‘an
dan al-Sunnah, yang maksud dan tujuannya adalah menegakkan dan
menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya. Gerakan Muhammadiyah ini kemudian

123
Pendidikan Kemuhammadiyahan
dikembangkan dalam berbagai bidang, dan diantara implementasinya
diwujudkan dalam bentuk Amal Usaha Muhammadiyah (AUM).
Dalam perjuangan menegakkan dan menjunjung tinggi agama
Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya,
Muhammadiyah memiliki berbagai amal usaha dalam berbagai bidang
kehidupan. Secara tegas rumusan usaha Muhammadiyah ini tercantum
dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART)
Muhammadiyah tentang usaha sebgai berikut:
1. Untuk mencapai maksud dan tujuan, Muhammadiyah melaksanakan
dakwah amar ma'ruf nahi munkar dan tajdid yang diwujudkan
dalam usaha disegala bidamg kehidupan.
2. Usaha Muhammadiyah diwujudkan dalam bentuk amal usaha,
program, dan kegiatan yang macam dan penyelenggaraannya
diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
3. Penentu kebijakan dan penanggung jawab amal usaha, program,
dan kegiatan adalah Pimpinan Muhammadiyah.

Muhammadiyah dalam mengelola amal usahanya selalu


didasarkan untuk mendapatkan keridloan Allah SWT. semata demi
kemaslahatan ummat dan masyarakat, hal ini dapat dibuktikan dengan
banyaknya sekolah/madrasah (Kelompok Bermain, TK, SD/MI,
SMP/MTs, SMA/SMK/MA, hingga Perguruan Tinggi Muhammadiyah),
pondok pesantren, rumah sakit, poliklinik, rumah yatim, masjid,
musholla, penerbit buku, Baitul Mal Wa Tanwil (BMT), serta berbagai
amal usaha lain yang tersebar di seluruh Indonesia.
Gerakan dakwah Islamiyah melalui amal usaha ini secara
langsung telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan bangsa
Indonesia. Semua AUM berjalan dengan landasan untuk beramal dan
mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Keikhlasan,
kesabaran, serta ketekunan menjadi model utama para pengelola AUM
ini.

124
Pendidikan Kemuhammadiyahan
B. PENGELOLAAN AUM
Kebesaran Muhammadiyah salah satunya bisa dilihat dari
pertumbuhan dan perkembangan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM).
Setiap kali ada permusyawaratan dilaporkan perkembangan AUM
diberbagai tingkatan, mulai dari musyawarah ranting sampai dengan
muktamar, dimana dalam laporan tentang AUM secara umum
menunjukkan adanya kenaikan yang signifikan dari satu periode ke
periode berikutnya. Data AUM di Jawa Timur, tahun 2013, menunjukkan
bahwa jumlah sekolah SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA sebanyak 997
sekolah, 26 Perguruan Tinggi Muhammadiyah, 29 Rumah Sakit
Muhammadiyah, 72 Klinik dan Balai Pengobatan, dan 74 Panti Asuhan,
ini belum termasuk data tentang AUM di bidang ekonomi dan AUM yang
dikelola oleh ‗Aisyiyah dan Ortom Muhammadiyah lainnya.

Kehadiran AUM ketika masih kecil dan sederhana pada


umumnya tidak terjadi masalah, tetapi ketika AUM itu menjadi besar, di
beberapa tempat muncul masalah. Munculnya masalah di dalam AUM itu
bisa jadi karena mismanajemen atau terjadi pergeseran orientasi dan
kebijakan yang tidak sejalan dengan aturan dan ketentuan yang ada di
Persyarikatan Muhammadiyah. Untuk itulah kita perlu memahami
rumusan baku di Muhammadiyah tentang pengelolaan AUM.

Bagaimana seharusnya pengelolaan AUM itu dilaksanakan?.


Sebagai bahan kajian, berikut ini disajikan rumusan baku pengelolaan
AUM yang ada di dalam buku Pedoman Hidup Islami Warga
Muhammadiyah (PHIWM) dan Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-
46 tentang Pedoman Revitalisasi Cabang Muhammadiyah.

Dalam buku Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah


(PHIWM) yang diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, pada
bagian Kehidupan Dalam Mengelola Ama Usaha dirumuskan sebagai
berikut:

125
Pendidikan Kemuhammadiyahan
1. AUM adalah salah satu usaha dari usaha-usaha dan media da‘wah
Persyarikatan untuk mencapai maksud dan tujuan Persyarikatan,
yakni menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga
terwujud Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Oleh
karenanya semua bentuk kegiatan AUM harus mengarah kepada
terlaksananya maksud dan tujuan Persyarikatan dan seluruh
pimpinan serta pengelola amal usaha berkewajiban untuk
melaksanakan misi utama Muhammadiyah itu dengan sebaik-
baiknya sebagai misi da'wah (Q.S. Ali Imran/3: 104, 110)
2. AUM adalah milik Persyarikatan dan Persyarikatan bertindak
sebagai Badan Hukum dari seluruh amal usaha itu, sehingga semua
bentuk kepemilikan Persyarikatan hendaknya dapat diinventarisasi
dengan baik serta dilindungi dengan bukti kepemilikan yang sah
menurut hukum yang berlaku. Karena itu, setiap pimpinan dan
pengelola AUM di berbagai bidang dan tingkatan berkewajiban
menjadikan amal usaha dengan pengelolaannya secara
keseluruhan sebagai amanat umat yang harus ditunaikan dan
dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya. (Q.S. An-Nisaa‘/4:
57)
3. Pimpinan AUM diangkat dan diberhentikan oleh pimpinan
persyarikatan dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian
pimpinan amal usaha dalam mengelola amal usahanya harus
tunduk kepada kebijaksanaan Persyarikatan dan tidak menjadikan
amal usaha itu terkesan sebagai milik pribadi atau keluarga, yang
akan menjadi fitnah dalam kehidupan dan bertentangan dengan
amanat (Q.S. Al-Anfal/8: 27)
4. Pimpinan AUM adalah anggota Muhammadiyah yang mempunyai
keahlian tertentu di bidang amal usaha tersebut, karena itu status
keanggotaan dan komitmen pada misi Muhammadiyah menjadi
sangat penting bagi pimpinan tersebut agar yang bersangkutan
memahami secara tepat tentang fungsi amal usaha tersebut bagi
Persyarikatan dan bukan semata-mata sebagai pencari nafkah yang

126
Pendidikan Kemuhammadiyahan
tidak peduli dengan tugas-tugas dan kepentingan kepentingan
Persyarikatan.
5. Pimpinan AUM harus dapat memahami peran dan tugas dirinya
dalam mengemban amanah Persyarikatan. Dengan semangat
amanah tersebut, maka pimpinan akan selalu menjaga kepercayaan
yang telah diberikan oleh Persyarikatan dengan melaksanakan
fungsi manajemen, yaitu menyangkut perencanaan, pelaksanaan,
dan pengawasan yang sebaik-baiknya dan sejujur jujurnya.
6. Pimpinan AUM senantiasa berusaha meningkatkan dan
mengembangkan amal usaha yang menjadi tanggung jawabnya
dengan penuh kesungguhan. Pengembangan ini menjadi sangat
penting agar amal usaha senantiasa dapat berlomba-lomba dalam
kabaikan (fastabiq al khairat) guna memenuhi tuntutan masyarakat
dan tuntutan zaman.
7. Sebagai amal usaha yang bisa menghasilkan keuntungan, maka
pimpinan AUM berhak mendapatkan nafkah dalam ukuran
kewajaran (sesuai ketentuan yang berlaku) yang disertai dengan
sikap amanah dan tanggungjawab akan kewajibannya. Untuk itu
setiap pimpinan persyarikatan hendaknya membuat tata aturan
yang jelas dan tegas mengenai gaji tersebut dengan dasar
kemampuan dan keadilan.
8. Pimpinan AUM berkewajiban melaporkan pengelolaan amal usaha
yang menjadi tanggung jawabnya, khususnya dalam hal
keuangan/kekayaan kepada pimpinan Persyarikatan secara
bertanggung jawab dan bersedia untuk diaudit serta mendapatkan
pengawasan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
9. Pimpinan AUM harus bisa menciptakan suasana kehidupan Islami
dalam amal usaha yang menjadi tanggung jawabnya dan
menjadikan amal usaha yang dipimpinnya sebagai salah satu alat
da'wah maka tentu saja usaha ini menjadi sangat perlu agar juga
menjadi contoh dalam kehidupan bermasyarakat.

127
Pendidikan Kemuhammadiyahan
10. Karyawan AUM adalah warga (anggota) Muhammadiyah yang
dipekerjakan sesuai dengan keahlian atau kemampuannya. Sebagai
warga Muhammadiyah diharapkan karyawan mempunyai rasa
memiliki dan kesetiaan untuk memelihara serta mengembangkan
amal usaha tersebut sebagai bentuk pengabdian kepada Allah dan
berbuat kebajikan kepada sesama. Sebagai karyawan dari AUM
tentu tidak boleh terlantar dan bahkan berhak memperoleh
kesejahteraan dan memperoleh hak-hak lain yang layak tanpa
terjebak pada rasa ketidakpuasan, kehilangan rasa syukur,
melalaikan kewajiban dan bersikap berlebihan.
11. Seluruh pimpinan dan karyawan atau pengelola AUM berkewajiban
dan menjadi tuntutan untuk menunjukkan keteladanan diri, melayani
sesama, menghormati hak-hak sesama, dan memiliki kepedulian
sosial yang tinggi sebagai cerminan dari sikap ihsan, ikhlas, dan
ibadah.
12. Seluruh pimpinan, karyawan, dan pengelola AUM hendaknya
memperbanyak silaturahim dan membangun hubungan-hubungan
sosial yang harmonis (persaudaraan dan kasih sayang) tanpa
mengurangi ketegasan dan tegaknya sistem dalam
penyelenggaraan amal usaha masing-masing.
13. Seluruh pimpinan, karyawan, dan pengelola AUM selain melakukan
aktivitas pekerjaan yang rutin dan menjadi kewajibannya juga
dibiasakan melakukan kegiatan-kegiatan yang memperteguh dan
meningkatkan taqarrub kepada Allah dan memperkaya ruhani serta
kemuliaan akhlaq melalui pengajian, tadarrus serta kajian al-Quran
dan al-Sunnah , dan bentuk-bentuk ibadah dan mu'amalah lainnya
yang tertanam kuat dan menyatu dalam seluruh kegiatan AUM.

Mengenai pengelolaan AUM ini, Muktamar Muhammadiyah ke-


46 memutuskan Pedoman Revitaliasi Cabang Muhammadiyah yang
salah satunya menyangkut pengelolaan AUM, dirumuskan sebagai
berikut :

128
Pendidikan Kemuhammadiyahan
1. Majelis bertugas menyelenggarakan amal usaha, program, dan
kegiatan dalam bidang tertentu. Penentu kebijakan dan
penanggungjawab amal usaha adalah Pimpinan Muhammadiyah.

2. AUM di samping merupakan usaha sekaligus juga menjadi media


da‘wah Persyarikatan untuk mencapai maksud dan tujuan
Persyarikatan. Karena itu, semua AUM harus mengarah kepada
terlaksananya maksud dan tujuan Persyarikatan. Amal usaha harus
berada dalam sistem gerakan Muhammadiyah dan bukan sebaliknya.

3. AUM adalah milik Persyarikatan. Semua bentuk kepemilikan


Persyarikatan hendaklah diinventarisasi secara baik dan dilindungi
dengan bukti kepemilikan yang sah menurut hukum yang berlaku.

4. Menciptakan suasana kehidupan Islami disetiap atau seluruh AUM


merupakan hal yang penting, karena keberadaan AUM ini merupakan
dan menjadi sarana dakwah, sehingga kehadirannya menarik dan
punya daya tarik yang kuat.

5. Pimpinan AUM diangkat dan diberhentikan oleh Pimpinan


Persyarikatan dalam waktu tertentu. Dengan demikian, Pimpinan AUM
dalam mengelola amal usaha harus tunduk pada kebijaksanaan
Persyarikatan, juga harus amanah, jujur, istiqomah, sabar, ulet,
memiliki kesetiaan, komitmen, bertanggungjawab, siap sedia untuk
diaudit sewaktu-waktu, dapat menjadi teladan dan ikhlas.

6. Pimpinan AUM harus banyak inisiatif, kreatif, senantiasa berusaha


dengan sungguh-sungguh untuk meningkatkan, memajukan, dan
mengembangkan amal usaha yang dipimpinnya agar mampu
berlomba dalam kebaikan (fastabiq al khairaat) di tengah-tengah
persaingan yang ketat.

129
Pendidikan Kemuhammadiyahan
7. Mendirikan dan membuka AUM baru dan meningkatkan kualitas AUM
yang telah ada guna memenuhi tuntutan zaman dan masyarakat.

C. MANAJEMEN KEUANGAN SEKOLAH


Pada bagian terdahulu penulis sebutkan bahwa kehadiran
AUM ketika masih kecil dan sederhana pada umumnya tidak terjadi
masalah yang yang berkaitan dengan keuangan – dalam arti tidak ada
yang rebutan, tetapi ketika AUM itu menjadi besar, dibeberapa tempat
muncul masalah serius – terjadi rebutan berkaitan dengan (pengelolaan)
keuangan.
Amal Usaha Muhammadiyah yang jumlahnya ribuan perlu
dikelola secara profesional dan amanah, diantaranya dalam hal tata
kelola keuangan. Tata kelola keuangan yang baik merupakan komponen
penting dalam menciptakan lembaga yang amanah sehingga lembaga
Muhammadiyah itu menjadi lembaga yang memperoleh kepercayaan
masyarakat.
Tata kelola yang baik ditandai dengan ―Transparansi,
Partisipasi, Akuntabilitas, Sustainable, Equitas, dan Kejujuran. Enam ciri
tata kelola ini menjadi prinsip-prinsip dalam melakukan perencanaan,
pembukuan, pembelanjaan dan pelaporan dengan benar.
Selanjutnya pembahasan pada bagian ini lebih difokuskan
pada pengelolaan keuangan sekolah Muhammadiyah yang penulis
sarikan dari buku pedoman keuangan sekolah Muhammadiyah Jawa
Timur.

C.1. Dasar Hukum, Tujuan, dan Kebijakan Umum


1. Dasar Hukum
a. AD/ART Muhammadiyah
b. SK PP Muhammadiyah Nomor: 28/SK.PP/I.A/3.i/1997 tentang
Penyempurnaan Pengelolaan Keuangan Persyarikatan.

130
Pendidikan Kemuhammadiyahan
c. SK PP Muhammadiyah Nomor: 54/SK.PP/I.A/3.i/1998 tentang
Pedoman pemeriksaan keuangan persyarikatan
Muhammadiyah.
d. Peraturan PP Muhammadiyah Nomor: 03/PRN/I.0/B/2012
tentang Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah.
e. SK Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah Nomor:
119/KEP/I.4/C/2007 tentang Peraturan Dana Ta‘awun di
Lingkungan Pendidikan Dasar dan Menengah.
d. SK Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur Nomor :
074/KEP/II.0/C/2008 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengelolaan Keuangan Persyarikatan di PWM, dan jenjang
organisasi di bawahnya.
e. Tanfidz Musywil Muhammadiyah Jawa Timur.
f. Program Kerja Majelis Dikdasmen PWM Jatim tahun 2010 –
2015
2. Tujuan
a. Tujuan Umum
1). Menjamin bahwa seluruh sumber daya sekolah (keuangan
dan material) yang ada digunakan sebagaimana
seharusnya.
2). Menentukan penanggung jawab pelaksanaan kebijakan.
3). Memudahkan proses monitoring dan pengambilan kebijakan.

b. Tujuan Khusus (Penyusunan Kebijakan Keuangan Sekolah)


1). Sekolah mampu menunjukkan kepada Persyarikatan
Muhammadiyah dan Komite Sekolah bahwa aset sekolah
terlindungi.
2). Sekolah dan Persyarikatan Muhammadiyah terlindungi dari
penyimpangan penggunaan keuangan.
3). Melindungi kepentingan siswa, perangkat operasional, dan
persyarikatan Muhammadiyah.
131
Pendidikan Kemuhammadiyahan
4). Menjaga hubungan baik antara persyarikatan
Muhammadiyah dan sekolah dalam hal pengelolaan
keuangan dan adanya penetapan peran dan tanggung
jawab yang jelas.
5). Adanya pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas
dan tegas dalam pengelolaan keuangan.

4. Kebijakan Umum

a. Bahwa semua dana yang diterima dan dikeluarkan berada di


bawah wewenang dan tanggung jawab kepala sekolah; oleh
karena itu, kepala sekolah berkewajiban mengarahkan
penyediaan dan penggunaan dana secara efisien dan efektif.
b. Bahwa semua keuangan sekolah, baik yang ada di kas, bank
maupun di unit-unit usaha lain merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan.
c. Majelis Dikdasmen penyelenggara bersama kepala sekolah
bertanggung jawab dalam penggunaan anggaran sekolah yang
berkaitan dengan pengembangan prasarana pendidikan.

C.2. Peran dan Tanggung Jawab


a. Tanggung jawab pimpinan Persyarikatan Muhammadiyah
1. Pimpinan Persyarikatan Muhammadiyah menjamin bahwa aset
dan dana sekolah digunakan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan dalam Rencana Kerja Sekolah (RKS) dan Rencana
Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS).
2. Pimpinan Persyarikatan Muhammadiyah menjamin bahwa
keuangan sekolah dikelola dengan amanah, transparan, dan
akuntabel.
b. Tanggung jawab Majelis Dikdasmen

132
Pendidikan Kemuhammadiyahan
1. Melakukan pembinaan pengelolaan keuangan kepada sekolah
dan melakukan pengendalian penggunaan keuangan sekolah,
yang dimulai dari perencanaan hingga pelaporan.
2. Melakukan monitoring, evaluasi, dan audit atas ketaatan
sekolah (audit internal) dalam melaksanakan prosedur
keuangan yang ditetapkan oleh persyarikatan.
3. Menyajikan atau memberikan gambaran potensi dan masalah
keuangan sekolah kepada Persyarikatan Muhammadiyah.

c. Tanggung jawab sekolah


1. Keuangan sekolah Muhammadiyah dikelola oleh sekolah dan
dipertanggungjawabkan kepada persyarikatan melalui Majelis
Dikdasmen penyelenggara.
2. Kepala sekolah menjamin bahwa dana sekolah digunakan
untuk melaksanakan Rencana Kerja Sekolah (RKS) dan
Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS).
3. Kepala sekolah dan bendahara sekolah bertanggungjawab atas
penggunaan dan pengendalian dana sekolah.
4. Kepala sekolah dapat melimpahkan kewenangannya kepada
bendahara sekolah untuk menjamin terlaksananya operasional
keuangan sekolah setiap hari.
5. Bendahara memahami mekanisme pemasukan dan
pengeluaran keuangan sekolah.
6. Bendahara sekolah menjamin bahwa laporan keuangan sekolah
telah disusun tepat waktu.

C.3. Sumber dan Kode Dana Sekolah


1. Sumber dana sekolah
a. Uang pendaftaran peserta didik baru adalah uang yang dipungut
sekali pada waktu calon siswa melakukan pembelian formulir
pendaftaran.
b. Dana pengembangan pendidikan (DPP) adalah uang yang
133
Pendidikan Kemuhammadiyahan
dipungut dari peserta didik baru sekali selamamenjadi peserta
didik.
c. Uang sekolah (SPP) adalah uang yang dipungut kepada setiap
peserta didik setiap bulan
d. Uang kegiatan siswa (UKS) adalah uang yang dipungut kepada
setiap siswa yang ditarik bersamaan dengan uang SPP dengan
besaran maksimal 15% dari uang SPP.
e. Uang Infaq Siswa (UIS) adalah uang yang dipungut dari setiap
siswa setiap tahun yang besarnya 50% dari uang SPP sebulan.
f. Uang infaq guru dan karyawan (UIG&K) adalah uang yang
dipungut dari setiap guru dan karyawan setiap bulan yang
besarnya 1% dari gaji perbulan.
g. Uang hasil unit usaha adalah uang yang diperoleh dari hasil unit
usaha yang dikembangkan sekolah untuk mendukung
pembiayaan pengembangan sekolah. Misalnya: hasil koperasi,
hasil kantin, dan lainnya.
h. Uang bantuan swasta adalah uang yang diterima dari pihak
swasta yang sifatnya halal dan tidak mengikat.
i. Uang bantuan pemerintah adalah uang yang diterima dari
Pemerintah Daerah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Pusat
dalam bentuk block grant atau lainnya yang berkaitan dengan
pendidikan.
j. Uang lain-lain adalah uang yang dipungut dari siswa untuk
kegiatan atau pengadaan barang yang dibutuhkan oleh siswa.
Yang termasuk uang lain-lain ini adalah uang ujian, uang
seragam, uang buku, uang kesehatan, uang kartu pelajar, uang
bapopsi, uang flashdisk, uang majalah sekolah, uang kalender,
uang wisuda, uang dakwah terpadu, uang pengembangan
laboratorium dan perpustakaan, uang sosialisasi lembaga
pendidikan luar, uang fee dari kegiatan pelatihan kerjasama
dengan pihak luar, dan lain-lain.

134
Pendidikan Kemuhammadiyahan
2. Kode Sumber Dan dan Penggunaannya
a. Kode Sumber Dana
Mata Anggaran Kode
Uang pendaftaran 1.1
Dana pengembangan 1.2
Uang sekolah (SPP) 1.3
Uang kegiatan siswa (UKS) 1.4
Uang infaq siswa (UIS) 1.5
Uang infaq guru dan karyawan (UIG&K) 1.6
Uang hasil unit usaha sekolah 1.7
Uang bantuan swasta 1.8
Uang bantuan pemerintah 1.9
Uang lain-lain 1.10

b. Kode Penggunaan Sumber Dana


Sumber dana sekolah digunakan untuk membiayai:
1). Belanja Operasional Sekolah, mengikuti mata anggaran
sebagai berikut:

Mata Anggaran Kode


Belanja pegawai (gaji dan honor, tunjangan, 2.1
insentif)
Belanja pemeliharaan (peralatan dan gedung 2.2
sekolah)
Belanja barang dan jasa 2.3
Belanja perjalanan dinas 2.4
Belanja modal 2.5
Belanja kegiatan (kurikulum, kesiswaan, 2.6
ISMUBA, Humas, dan pengembangan SDM)
Belanja beasiswa guru dan siswa 2.7
Belanja social 2.8
135
Pendidikan Kemuhammadiyahan

2). Belanja Persyarikatan (3.1), terdiri dari :


Mata Anggaran Kode
UIS, UIG/K 3.1.1
Dana Operasional Persyarikatan (DPP) 3.1.2
Dana Ta‟awun (DPP) : Pengembangan ortom 3.1.3
dan sekolah lain

3). Belanja pengembangan prasarana sekolah


Mata Anggaran Kode
Belanja pengembangan prasarana sekolah 4.1

c. Proporsi penggunaan sumber dana


1). Pendaftaran Peserta Didik Baru
a). 90 % untuk biaya publikasi, penyelenggaraan pendaftaran,
dan vakasi panitia.
b). 10 % untuk saving sekolah.
2). Dana Pengembangan Pendidikan (DPP)
a). 70 % untuk pengadaan/ pembangunan/ pengembangan/
rehabilitasi prasarana sekolah dan pengembangan SDM.
b). 15 % untuk dana taawun pengembangan ortom dan
sekolah-sekolah Muhammadiyah di bawah Majelis
Dikdasmen Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
c). 15 % untuk Persyarikatan Muhammadiyah (Cabang,
Daerah, Wilayah, dan Pusat), dengan pembagian sebagai
berikut :
i) 40% untuk Pimpinan Cabang Muhammadiyah
ii) 25% untuk Pimpinan Daerah Muhammadiyah
iii) 20% untuk Pimpinan Wilayah Muhammadiyah
iv) 15% untuk Pimpinan Pusat Muhammadiyah
3). Uang Sekolah (SPP)
136
Pendidikan Kemuhammadiyahan
Uang sekolah (SPP) digunakan untuk :
a). Maksimal 65% untuk belanja pegawai
b). 2% untuk belanja perjalanan dinas
c). 20% untuk biaya operasional sekolah (belanja
pemeliharaan, belanja barang dan jasa, belanja modal,
belanja kegiatan)
d). 5% untuk siswa tidak mampu dan sosial
e). 8% untuk saving sekolah dengan fungsi penggunaan
mendesak dan investasi.
4). Uang Kegiatan Siswa (UKS)
a). 30% untuk kegiatan kurikulum
b). 30% untuk kegiatan kesiswaan
c). 5% untuk kegiatan ismuba
d). 5% untuk kegiatan humas
e). 30% untuk cadangan pengadaan barang/kegiatan lain
5). Uang Infaq Siswa (UIS)
a). 40% untuk Majelis Dikdasmen Pimpinan Cabang
Muhammadiyah
b). 25% untuk Majelis Dikdasmen Pimpinan Daerah
Muhammadiyah
c). 20% untuk Majelis Dikdasmen Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah
d). 15% untuk Majelis Dikdasmen Pimpinan Pusat
Muhammadiyah
6). Uang Infaq Guru/Karyawan (UIG/K)
a). 40% untuk Majelis Dikdasmen Pimpinan Cabang
Muhammadiyah
b). 25% untuk Majelis Dikdasmen Pimpinan Daerah
Muhammadiyah
c). 20% untuk Majelis Dikdasmen Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah
d). 15% untuk Majelis Dikdasmen Pimpinan Pusat

137
Pendidikan Kemuhammadiyahan
Muhammadiyah
7). Hasil Unit Usaha Sekolah
a). Untuk pengembangan modal unit usaha
b). Untuk biaya operasioanal sekolah
c). Untuk saving sekolah
8). Bantuan swasta: Digunakan sesuai dengan kebutuhan sekolah
atau sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian bantuan.
9). Bantuan Pemerintah: 100% untuk pengadaan barang dan/atau
kegiatan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh
Pemerintah.
10). Uang lain-lain: digunakan untuk belanja sesuai dengan pos
peruntukannya.

C.4. Penyusunan Anggaran


1. Anggaran empat tahunan dan tahunan yang ada dalam RKS dan
RKAS disusun berdasarkan aturan proporsi penggunaan sumber
dana sekolah Penyusunan anggaran
2. Penyusunan anggaran dilakukan setiap tahun dengan prinsip:
a. Jumlah yang termuat dalam anggaran pendapatan merupakan
batas normal untuk masing-masing pendapatan,
b. Jumlah yang termuat dalam anggaran belanja merupakan batas
tertinggi yang wajar untuk masing-masing pengeluaran,
c. Efektif dan efisien,
d. Surplus anggaran.
3. Tahapan Penyusunan Anggaran
a. Rapat pimpinan menetapkan kuota anggaran maksimal untuk
masing-masing bidang berdasarkan proporsi penggunaan sumber
dana.
b. Masing-masing bidang mengusulkan anggaran dan kegiatan
selambat-lambatnya 2 bulan sebelum tutup tahun anggaran.

138
Pendidikan Kemuhammadiyahan
c. Bendahara merekap dan melaporkannya kepada kepala sekolah
yang kemudian dibahas dalam rapat pimpinan.
d. Pembahasan pada rapat bersama antara Majelis Dikdasmen
Penyelenggara dan kepala sekolah selambat lambatnya 1 (satu)
bulan setelah usulan diterima.
4. Apabila karena sesuatu hal sehingga anggaran tahun berjalan belum
selesai dibahas dan ditetapkan oleh Majelis Dikdasmen
Penyelenggara, maka sekolah dalam melaksanakan kegiatannya
berpedoman pada RKAS tahun sebelumnya.
5. Apabila dipandang perlu, karena suatu hal atau keadaan yang
menyangkut penerimaan dan pengeluaran, sehingga rencana
anggaran pendapatan dan belanja sekolah tidak dapat dipertahankan
lagi, maka kepala sekolah dapat mengajukan usulan perubahan
(revisi) RKAS kepada Majelis Dikdasmen Penyelenggara.
a. Untuk SD/MI dan SMP/MTs diajukan ke Majelis Dikdasmen PC
Muhammadiyah.
b. Untuk SMA/MA/SMK diajukan ke Majelis Dikdasmen PD
Muhammadiyah.

C.5. Laporan Keuangan


1. Jenis Laporan
a. Laporan keuangan
Merupakan penggunaan dana yang telah dikeluarkan untuk
melaksanakan kegiatan.
b. Laporan kegiatan
Merupakan deskripsi tentang pelaksanaan kegiatan yang telah
dilaksanakan sebagai hasil penggunaan anggaran.
3. Periode laporan
a. Periode tahun buku adalah 01 Juli sampai dengan 30 Juni
setiap tahun pelajaran.
b. Jumlah yang disajikan dalam laporan keuangan dan catatannya
139
Pendidikan Kemuhammadiyahan
dibulatkan menjadi rupiah penuh.
c. Setiap transaksi keuangan wajib didukung dengan bukti-bukti
yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
d. Laporan keuangan kegiatan operasional wajib dibuat setiap 1
(satu) bulan dan dilaporkan selambat-lambatnya tanggal 15
bulan berikutnya.
e. Laporan keuangan kegiatan pembangunan/proyek wajib dibuat
secara berkala berdasarkan termin pencairan keuangan dengan
prestasi kegiatan pembangunan/proyek. Setiap selesai kegiatan
pembangunan/proyek dilaporkan secara keseluruhan selambat-
lambatnya 15 hari setelah selesainya pembangunan/proyek.
f. Sekolah menyajikan laporan keuangan periode bulanan, enam
bulanan dan tahunan, dan melaporkannya kepada Majelis
Dikdasmen penyelenggara.
4. Sistem laporan
a. Bendahara menyusun laporan keuangan atas transaksi yang
telah berjalan.
b. Kepala sekolah memverifikasi laporan keuangan yang telah
dibuat oleh bendahara.
c. Laporan keuangan yang telah diverifikasi diserahkan kepada
Majelis Dikdasmen Penyelenggara, dengan ketentuan
penyerahan sebagai berikut:
1) Untuk SD/MI dan SMP/MTs diserahkan kepada Majelis
Dikdasmen PC Muhammadiyah.
2) Untuk SMA/MA/SMK diserahkan kepada Majelis
Dikdasmen PD Muhammadiyah.
5. Format laporan
a. Format laporan keuangan bulanan terdiri dari laporan
penerimaan dan pengeluaran, dan hanya bersifat internal.
b. Format laporan enam bulanan meliputi rekap laporan kegiatan
enam bulan berjalan, buku bank, neraca, laporan sisa hasil
usaha, laporan arus kas, dan laporan realisasi anggaran.

140
Pendidikan Kemuhammadiyahan
c. Format laporan tahunan meliputi buku bank, neraca, laporan
sisa hasil usaha, laporan arus kas, dan laporan realisasi
anggaran.
6. Cash opname (Opname kas)
Setiap akhir tahun anggaran, auditor internal (kepala sekolah dan
majelis dikdasmen) melakukan cash opname keuangan sekolah
untuk memastikan saldo periode berjalan dalam buku kas harus
tepat sesuai dengan jumlah tunai dan buku bank sekolah.
C.6. Monitoring dan Evaluasi Anggaran
Monitoring dan evalusi adalah bentuk kegiatan pengecekan dan
pembinaan pelaksanaan kegiatan dan penggunaan keuangan sekolah
dalam rangka terjadinya proses pengendalian internal sebelum
dilakukan kegiatan audit keuangan sekolah.
1. Jenis Monitoring dan Evaluasi
a. Monitoring dan Evaluasi kemajuan
Pengecekan terhadap proses dan pelaporan kemajuan
pelaksanaan kegiatan dan keuangan
b. Monitoring dan evaluasi kesesuaian
Pengecekan terhadap kesesuaian antara pelaksanaan kegiatan
dan penggunaan keuangan dengan panduan dan perencanaan
c. Monitoring dan evaluasi kinerja
Pengecekan terhadap dampak jangka pendek terhadap
pelaksanaan kegiatan dan penggunaan keuangan

2. Tim Monitoring dan Evaluasi


Tim monitoring dan evaluasi terdiri dari tim yang berasal dari
sekolah dan tim yang berasal dari Majelis Dikdasmen.
a. Tingkat Majelis Dikadasmen
Monitoring dan evaluasi Majelis Dikdasmen terhadap sekolah
dilakukan oleh tim yang telah dibentuk dengan SK Majelis
Dikdasmen Cabang/Daerah/Wilayah yang berasal dari

141
Pendidikan Kemuhammadiyahan
Pimpinan Cabang, Daerah, dan Wilayah, serta kelompok
profesional.
b. Tingkat sekolah
Monitoring dan evaluasi di tingkat sekolah dilakukan oleh kepala
sekolah dan tim penjamin mutu atau litbang.

3. Sasaran Monitoring dan Evaluasi


a. Tim monitoring dan evaluasi tingkat cabang melakukan
monitoring dan evaluasi ke SD/MI/SMP/MTs.
b. Tim monitoring dan evaluasi tingkat daerah melakukan
monitoring dan evaluasi ke SMA/MA/SMK.
c. Tim monitoring dan evaluasi tingkat wilayah melakukan
monitoring dan evaluasi ke SD/MI/SMP/MTs/SMA/MA/SMK
berdasarkan skala prioritas.

4. Periode Monitoring dan Evaluasi


a. Monitoring dan evaluasi oleh Majelis Dikdasmen
PCM/PDM/PWM Jatim dilakukan sekurang-kurangnya 1 kali
dalam 1 tahun untuk setiap sekolah. Jika terdapat sekolah yang
memerlukan pembinaan lebih, maka periode monitoring dan
evaluasi bisa dilakukan sesuai dengan kebutuhan.
b. Monitoring dan evaluasi ditingkat sekolah dilakukan setiap bulan
sekali oleh kepala sekolah.

5. Pelaporan monitoring dan Evaluasi


Tim monitoring dan evaluasi membuat laporan hasil monevnya yang
terdiri dari laporan monitoring dan evaluasi kegiatan dan laporan
monitoring dan evaluasi keuangan. Laporan monev diserahkan
kepada tim monev pada tingkat cabang/daerah/wilayah.

6. Tindak Lanjut

142
Pendidikan Kemuhammadiyahan
Hasil monitoring dan evaluasi akan ditindaklanjuti berdasarkan
temuan lapangan. Bentuk tindak lanjut didasarkan pada masalah
yang ada. Jika karena ketidakmengertian maka ditindaklanjuti
dengan pembinaan. Jika karena sengaja melakukan kesalahan
untuk kepentingan pribadi atau kelompok maka akan dikenakan
sanksi. Sanksi diberikan oleh Majelis Penyelenggara berdasarkan
rekomendasi tim monev.
C.7. Audit Keuangan Sekolah
1. Untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas keuangan
sekolah, perlu dilaksanakan audit keuangan.
2. Audit keuangan dilaksanakan secara internal dan eksternal.
3. Audit internal sekolah dilaksanakan oleh Majelis Dikdasmen
penyelenggara bekerja sama dengan Lembaga Pembina dan
Pemeriksa Keuangan (LPPK) PDM.
4. Audit internal sekolah dapat dilaksanakan setiap tahun sekali,
maksimal 3 bulan setelah tutup buku.
5. Audit eksternal dilakukan oleh Majelis Dikdasmen PW
Muhammadiyah bekerja sama dengan Lembaga Pembina dan
Pemeriksa Keuangan (LPPK) PW Muhammadiyah atau tenaga
profesional paling tidak sekali dalam satu periode
kepemimpinan kepala sekolah.
6. Pelaksanaan audit eksternal dilaksanakan sesuai skala prioritas
minimal sebelum periode kepemimpinan kepala sekolah
berakhir.
7. Biaya monev dan audit menjadi tanggung jawab sekolah.
8. Untuk melakukan audit, auditor harus mengetahui seluruh isi
kebijakan keuangan. Setiap kesalahan yang ditemukan, harus
dijelaskan secara terperinci dan bersamaan dengan itu
disertakan pula rekomendasi untuk tindakan koreksi.
9. Dengan dibantu oleh Majelis Dikdasmen, Kepala sekolah dan
bendahara sekolah bertanggung jawab untuk menjamin bahwa
rekomendasi tersebut diimplementasikan.
143
Pendidikan Kemuhammadiyahan
DAFTAR PUSTAKA

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2010, Anggaran Dasar dan Anggaran


Rumah Tangga Muhammadiyah.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2009, Pedoman Hidup Islami Warha


Muhammadiyah. Yogyakarta, Suara Muhammadiyah.

Suandi, Ady, dkk.(Penyunting), 2000, Rekonstruksi Gerakan


Muhammadiyah. Yogyakarta, UII Press.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1991, SK Pimpinan Pusat Muhammadiyah


No. 40/SK-PP/1991 tentang pedoman keuangan persyarikatan.

Pimpinan Wilayah Muhammadiyah, 2008, SK Pimpinan Wilayah


Muhammadiyah Jawa Timur Nomor : 074/ KEP/II.0/C/2008 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Keuangan Persyarikatan di
PWM, dan jenjang organisasi di bawahnya.
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah, MajelisPendidikan Dasar dan
Menengah, 2011, Pedoman Keuangan Sekolah Muhammadiyah Jawa
Timur.

Salam, Junus, 2009, K.H. Ahmad Dahlan Amal dan Perjuangannya. Ciputat,
Tangerang, Banten, Al-Wasat Publishing House.

BAB VIII

144
Pendidikan Kemuhammadiyahan
PEMBELAJARAN KEMUHAMMADIYAH

Kompetensi Dasar

1. Agar mahasiswa dapat memahami dan menguasai kurikulum


Kemuhammadiyahan dari SD/MI hingga SMA/SMK/MA.
2. Agar mahasiswa memiliki keterampilan untuk menyusun Rencana
Pembelajaran Kemuhammadiyahan
3. Agar mahasiswa memiliki keterampilan untuk mendidik dan mengajar
kemuhammadiyahan baik di sekolah, masyarakat, dan keluarga dengan
menggunakan berbagai pendekatan, metode dan media pembelajaran

A. KURIKULUM KEMUHAMMADIYAHAN

1. Standar Kompetensi Lulusan


a. Kemuhammadiyahan SD/MI
1). Mengenal sejarah berdirinya Muhammadiyah dan peranannya
dalam mengisi kemerdekaan Indonesia

2). Mengenal gerakan, struktur persyarikatan dan amal usaha


Muhammadiyah.

3). Menghafal, memahami dan mempraktekkan janji pelajar


Muhammadiyah.

b. Kemuhammadiyahan SMP/MTs
1) Mengenal sejarah berdiri, sifat-sifat dan ortom Muhammadiyah.
2) Mengenal dan mempraktekkan nilai-nilai yang terkandung dalam
Matan, Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah
(MKCHM), Muqaddimah AD/ART, AD/ART dan Khittah
Muhammadiyah.
145
Pendidikan Kemuhammadiyahan
3) Mengenal dan mempraktekkan nilai-nilai yang terkandung dalam
kepribadian Muhammadiyah dan Pedoman Hidup Islami.

c. Kemuhammadiyahan SMA/MA/SMK
1) Mengenal latar belakan berdirinya Muhammadiyah dan
peranannya dalam mengisi kemerdekaan.
2) Mengenal ciri gerakan Muhammadiyah, struktur organisasi dan
macam-macam amal usahanya.
3) Menghafal dan mempraktekkan janji pelajar Muhammadiyah.

B. PENDEKATAN DAN METODE PEMBELAJARAN

1. Pendahuluan
Sudah bertahun-tahun para ahli meneliti dan menciptakan
berbagai macam pendekatan mengajar. Salah satunya
dikembangkan oleh para ahli di bidang pembelajaran, menelaah
bagaimana pengaruh tingkah laku mengajar tertentu terhadap hasil
belajar siswa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Joyce
dan Weil (1996) dan Joyce, Weil, dan Shower (1992), setiap
pendekatan yang ditelitinya dinamakan model pembelajaran,
meskipun salah satu dari beberapa istilah lain digunakan seperti
strategi pembelajaran, metode pembelajaran, atau prinsip
pembelajaran. Mereka memberikan istilah model pembelajaran
dengan dua alasan.
Pertama, istilah model pembelajaran memiliki makna yang
lebih luas daripada suatu strategi, metode, atau prosedur. Model
pembelajaran mencakup suatu pendekatan pembelajaran yang luas
dan menyeluruh. Misalnya, problem-based model of instruction
(model pembelajaran berdasarkan masalah) meliputi kelompok-
kelompok kecil siswa bekerjasama memecahkan suatu masalah
146
Pendidikan Kemuhammadiyahan
yang telah disepakati bersama. Dalam model ini, siswa seringkali
menggunakan berbagai macam keterampilan dan prosedur
pemecahan masalah dan berpikir kritis. Jadi satu model
pembelajaran dapat menggunakan sejumlah keterampilan
metodologis dan prosedural.
Model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yang
tidak dimiliki oleh strategi atau prosedur tertentu. Keempat ciri
tersebut ialah (1) rasional teoritik yang logis yang disusun oleh para
pencipta atau pengembangnya, (2) landasan pemikiran tentang apa
dan bagaimana siswa belajar (tujuan pembelajaran yang akan
dicapai), (3) tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model
tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil; dan (4) lingkungan
belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai.
Kedua, model dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi
yang penting, apakah yang dibicarakan adalah tentang mengajar di
kelas, atau praktek mengawasi siswa. Model pembelajaran
diklasifikasikan berdasarkan tujuan pembelajarannya, sintaksnya
(pola urutannya), dan sifat lingkungan belajarnya. Penggunaan
model pembelajaran tertentu memungkinkan guru dapat mencapai
pembelajaran tertentu dan bukan tujuan pembelajaran yang lain.
Suatu pola urutan (sintaks) dari suatu model pembelajaran
menggambarkan keseluruhan urutan alur langkah yang pada
umumnya diikuti oleh serangkaian kegiatan pembelajaran. Suatu
sintaks pembelajaran menunjukkan dengan jelas kegiatan-kegiatan
apa yang perlu dilakukan oleh guru dan siswa, urutan kegiatan-
kegioatan tersebut, dan tugas-tugas khusus yang perlu dilakukan
oleh siswa. Sintaks dari berbagai macam model pembelajaran
mempunyai komponen yang sama. Misalnya, semua pembelajaran
diawali dengan menarik perhatian siswa dan memotivasi siswa
terlibat dalam proses pembelajaran. Setiap model pembelajaran
selalu mempunyai tahap ―menutup pelajaran‖ yang berisi
147
Pendidikan Kemuhammadiyahan
merangkum pokok-pokok pembelajaran yang dilakukan oleh siswa
dengan bimbingan guru. Di samping ada persamaannya, setiap
model pembelajaran antara sintaks yang satu dengan sintaks yang
lain juga mempunyai perbedaan. Perbedaan-perbedaan inilah
terutama yang berlangsung di antara pembukaan dan penutupan
pembelajaran, yang harus dipahami oleh para guru agar supaya
model-model pembelajaran dapat dilakukan dengan berhasil.
Setiap model pembelajaran memerlukan sistem
pengelolaan dan lingkungan belajar yang sedikit berbeda. Setiap
pendekatan memberikan peran yang berbeda kepada siswa, pada
ruang fisik, dan pada sistem sosial kelas. Arends (1997), dan para
pakar pembelajaran lainnya berpendapat bahwa tidak ada model
pembelajaran yang lebih baik daripada model pembelajaran yang
lain. Guru perlu menguasai dan dapat menerapkan berbagai model
pembelajaran, agar dapat mencapai tujuan pembelajaran yang
beranekaragam dan lingkungan belajar yang menjadi ciri sekolah
pada dewasa ini. Menguasai sepenuhnya model-model
pembelajaran yang banyak diterapkan merupakan proses belajar
sepanjang hayat.
2. Pandangan Pembelajaran Menurut Konstruktivisme
Para ahli pendidikan mengemukakan pandangan belajar
dan mengajar yang berbeda dengan pandangan umum di atas.
Pandangan baru tersebut adalah konstruktivisme. Konstruktivisme
mengajarkan tentang sifat dasar bagaimana manusia belajar.
Belajar adalah constructing understanding atau knowledge. Dengan
cara mencocokkan fenomena, ide-ide, atau aktivitas yang baru
dengan pengetahuan yang telah ada dan percaya bahwa sudah
dipelajari. Oleh karena itu pada pembelajaran menurut
konstruktivisme, siswa seharusnya sungguh-sungguh membangun
makna dalam sudut pandang pembelajaran bermakna dan bukan

148
Pendidikan Kemuhammadiyahan
sekedar hafalan atau tiruan. Karakteristik pembelajaran
konstruktivistik (Slavin, 1997) adalah sebagai berikut.
a) Pembelajaran ditekankan pada pembelajaran sosial, antara
lain kooperatif (interaksi dengan orang dewasa dan teman
sebaya), berbasis proyek, dan berbasis penemuan.
b) Pembelajaran memperhatikan pemagangan kognitif
c) Pembelajaran menekankan scaffolding atau mediated
learning (assested learning)
d) Pembelajaran menekankan top-down
e) Pembelajaran memperhatikan generative learning
f) Pembelajaran yang menekankan self regulated learning

3. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Learning atau CL)


Aplikasi CL berasal dari tradisi pembelajaran John Dewey
berdasarkan pengalaman, yang telah dikembangkan di AS. CL
adalah suatu konsep pembelajaran teruji yang mengembangkan
banyak penelitian mutakir di bidang kognitif. Dalam hubungan ini CL
merupakan suatu reaksi terhadap pelaksanaan praktik
pembelajaran yang berlandaskan teori behavioristik yang telah
mendominasi dunia pendidikan sejak dahulu bahkan hingga saat ini.
Konsep CL mengakui bahwa pembelajaran merupakan suatu
proses kompleks banyak faset yang berlangsung jauh melampaui
drill-oriented dan metode stimulus and respons. Tema penelitian
mutakir dalam bidang kognitif berkaitan dengan:
a) menekankan pemecahan masalah melalui hand-on activity,
b) organisasi di sekitar pengalaman dunia nyata,
c) pemberian kesempatan terlaksananya berbagai macam gaya
belajar,
d) upaya mendorong pembelajaran di luar sekolah,
e) penghargaan terhadap pengalaman-pengalaman siswa dalam
proses pembelajaran,
149
Pendidikan Kemuhammadiyahan
f) upaya mendorong pembelajaran kooperatif.
g) upaya mendorong pemecahan masalah.
Berdasarkan Blanchard (2001), strategi pembelajaran yang
berkaitan dengan CL dapat diidentifikasi sebagai berikut.
a) Menekankan pemecahan masalah.
b) Menyadari bahwa pembelajaran dan pembelajaran seyogyanya
berlangsung dalam berbagai konteks seperti rumah,
masyarakat, ataupun di lingkungan kerja.
c) Mengajari siswa memonitor dan mengarahkan
pem,belajarannya sendiri sehingga para siswa tersebut
berkembang menjadi pebelajar mandiri.
d) Mengkaitkan pembelajaran pada konteks kehidupan siswa
yang berbeda-beda.
e) Mendorong siswa untuk belajar dari sesama teman termasuk
belajar bersama.
f) Menerapkan penilaian autentik.

Model pembelajaran lain yang dapat digunakan dalam pembelajaran


Kemuhammadiyahan antara lain:
a. Pembelajaran Langsung (Direct Instruction)
b. Belajar Secara Kooperatif (Cooperative Learning)
c. Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem-Based Instruction)
d. Pembelajaran Diskusi Kelas
e. Model Siklus Belajar (Learning Cycle Model)
f. Model Pembelajaran Sains Teknologi dan Masyarakat ( Science
Technology and
g. Society)

C. MEDIA INOVATIF PEMBELAJARAN

150
Pendidikan Kemuhammadiyahan
Tugas utama guru adalah mengajar. Proses belajar adalah
terjadinya perubahan perilaku pada diri seseorang. Agar terjadi kegiatan
belajar tidak harus selalu ada orang yang mengajar. Kegiatan belajar
berhasil jika si belajar aktif mengalami proses belajar. Menyajikan materi
pelajaran merupakan bagian dari kegiatan pembelajaran. Peran guru
mengusahakan setiap siswa berinteraksi aktif dengan berbagai sumber
belajar yang ada.

Sumber belajar adalah semua sumber (pesan, orang, bahan,


peralatan, teknik, lingkungan) yang digunakan untuk memberi
kemudahan belajar siswa yang meliputi:

1. Pesan : ajaran/ informasi yang disampaikan berupa ide, fakta,


ajaran, dan nilai.
2. Orang : manusia pencari, penyimpan, pengolah & penyaji pesan.
3. Bahan : perangkat lunak (software) yang mengandung pesan
belajar yang disampaikan
4. Alat : perangkat keras (hardware) yang digunakan untuk menyajikan
pesan.
5. Teknik: prosedur/ langkah-langkah dalam penggunaan bahan, alat,
lingkungan & orang untuk menyajikan pesan.
6. Latar/ lingkungan: situasi sekitar terjadinya proses belajar mengajar
dimana siswa menerima pesan.

Media Pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat mengantar pesan/


menyalurkan informasi dari sumber belajar kepada siswa.Manfaat media
(Kemp & Daytona, 1985)

1. penyampaian materi pembelajaran dapat diseragamkan


2. proses pembelajaran menjadi lebih jelas & menarik
3. proses pembelajaran lebih interaktif
4. efisiensi waktu & tenaga
151
Pendidikan Kemuhammadiyahan
5. meningkakan kualitas hasil belajar siswa
6. memungkinkan proses belajar dapat dilakukan dimana saja &
kapan saja
7. menumbuhkan sikap positif siswa terhadap materi & proses belajar
8. merubah peran guru ke arah yang lebih positif & produktif
9. memperoleh gambaran nyata
10. melihat bagian-bagian yang tersembunyi dari suatu alat. Dengan
diagram, bagan, model, siswa dapat mengamati bagian-bagian
mesin yang sukar diamati
11. mengamati gerakan-gerakan mesin/ alat yang sukar diamati secara
langsung
12. melihat ringkasan dari rangkaian pengamatan panjang
13. mudah membandingkan sesuatu.

Kemasan materi dalam bentuk bersambung seperti film/


sinetron. Anggaplah proses belajar dalam satu semester adalah sebuah
cerita yang memerlukan skenario sehingga siswa penasaran dengan
kelanjutan cerita pada pelajaran yang akan datang. Buat skenario dari
kemampuan awal sampai dengan tugas besar.

Teknik penyajian Media Pembelajaran tergantung pada guru


masing-masing. Yang perlu dilakukan adalah mengoptimalkan media
untuk meringankan tugas guru (mengajar) dan memudahkan siswa
memahami materi. Dalam pembelajaran guru perlu mempertimbangkan
kegiatan pembelajaran, yaitu:

a. Ketrampilan membuka pelajaran, dengan komponen-komponen:

1) menarik perhatian siswa


a) Letak posisi guru
b) Penggunaan media pembelajaran
c) Menerangkan dengan cara yang komunikatif.
2) Merangsang motivasi siswa,
152
Pendidikan Kemuhammadiyahan
a) Menimbulkan kehangatan dan keantusiasan
b) Memancing rasa ingin tahu
c) Memperhatikan minat siswa.
3) Memberi acuan
a) Mengemukakan tujuan pembelajaran
b) Menjelaskan batas-batas tugas
c) Menjelaskan langkah-langkah kegiatan belajar yang akan
dilakukan
d) Mengingatkan masalah pokok yang akan dibahas.
e) Mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
4) Membuat kaitan
a) Membuat kaitan antarmateri yang relevan
b) Membandingkan pengetahuan baru dan tekah diketahui siswa
c) Menjelaskan konsep sebelum memberikan uraian

b. Ketrampilan menjelaskan dengan komponen-komponen:

1. Kemampuan menganalisis dan merencanakan


(1) Yang berhubungan dengan isi pesan

- menganalisis masalah secara keseluruhan

- Menentukan jenis hubungan yang ada antara unsur-unsur yang


dikaitkan

- Menggunakan hokum, rumus, generalisasi yangs sesuai dengan


hubungan yang telah ditentukan

- Pola penjelasan deduktif-induktif.

(2) Yang berhubungan dengan penerimaan pesan;


- Penjelasan cukup relevan dengan pertanyaan siswa

153
Pendidikan Kemuhammadiyahan
- Penjelasan memadai (mudah diserap siswa).

2. Kemampuan menyajikan suatu penjelasan, antara lain;


(1) Kejelasan

(2) Penggunaan contoh dan ilustrasi


(3) Pemberian tekanan
(4) Penjelasan yang sistematis

(5) Kemampuan mengadakan penggalan-penggalan penjelasan


(6) Balikan

c. Ketrampilan bertanya, dengan komponen;


1. Komponen ketrampilan bertanya

- jelas dan singkat


- Pemberian acuan
- Pemusatan

- Pindah gilir
- Penyebaran
- Pemberian waktu berpikir

2. Tingkat Pertanyaan

- Pengetahuan (C1)
- Pemahaman(C2)

154
Pendidikan Kemuhammadiyahan
- Penerapan(C3)

- Analisis(C4)
- Sintesis(C5)

- Evaluasi(C6)
d. Ketrampilan variasi stimuli dengan komponen;
1. Variasi dalam gaya mengajar guru

- Penggunaan variasi suara


- Pemusatan perhatian

- Kesenyapan
- Mengadakan kontak dengan pandangan

- Gerakan badan dan mimik


- Pergantian posisi guru dalam kelas
2. Variasi dalam penggunaan media dan bahan pelajaran

- Relevan dalam tujuan pembelajaran


- Penggunaan multi media
- Penggunaan multi indera

- Ketrampilan mengoperasikan media

3. Variasi pola interaksi dan kegiatan siswa: pola interaksi (Guru-kelompok;


guru-murid; murid-murid)

e. Ketrampilan penguatan, dengan komponen:


155
Pendidikan Kemuhammadiyahan
1. Penguatan verbal (kata-kata maupun kalimat)

2. Penguatan noverbal (mimik, pantomimic, sentuhan, dan gesture)


3. Cara penguatan (pemberian penguatan dengan segera, variasi
penguatan, dan ketepatan penguatan).
4. Prinsip penggunaan penguatan (kehangatan, kebermaknaan,
keantusiasan).
f. Ketrampilan membimbing diskusi kelompok dengan komponen:

1. Memusatkan perhatian

- Merumuskan tujuan
- Merumuskan masalah dan merumuskan kembali
- Menandai hal-hal yang tidak relevan

- Membuat rangkuman bertahap


2. Memperjelas masalah atau urun pendapat;

- Memparafrase

- Merangkum
- Menggali

- Menguraikan secara rinci

3. Mengalisis pandangan siswa


- Merekam ketidaksetujuan dan persetujuan

- Meneliti alasan

156
Pendidikan Kemuhammadiyahan
4. Meningkatkan peran serta siswa;

- menimbulkan perencanaan
- menggunakan contoh

- menggunakan hal-hal yang actual dan factual


- menunggu
- memberi dukungan

5. menyebarkan kesempatan berpartisipasi;


- meneliti pandangan

- mencegah pembicaraan yang berlebihan


- menghentikan (melarang) monopoli.

6. Menutup diskusi
- Merangkum
- Memberi gambaran yang akan dating

- Menilai
g. Ketrampilan menutup pelajaran dengan komponen-komponen;
1. Meninjau kembali

(1) Merangkum kembali bahan pelajaran

(2) Siswa ditugas meringkas materi sajian


2. Mengevaluasi dengan bentuk-bentuk antara lain;

157
Pendidikan Kemuhammadiyahan
(1) Mengaplikasikan ide baru

(2) Mengevaluasi pendapat siswa


(3) Memberi soal-soal

3. Tindak lanjut dengan bentuk:


(1) Mengerjakan LKS
(2) Pemberian tugas untuk dikerjakan di rumah

4. Ketrampilan menjelaskan dengan komponen-komponen:


(1) Mengerjakan LKS

(2) Pemberian tugas.

158
Pendidikan Kemuhammadiyahan
Guru Muhammadiyah, pimpinan Muhammadiyah, Pimpinan Aisiyah, dan
kader Muhammadiyah sejatinya adalah guru Kemuhammadiyahan, yang
dituntut untuk dapat mengajarkan Muhammadiyah, baik di sekolah,
masyarakat, dan di dalam keluarga. Guru di sekolah mengajarkan
Muhammadiyah secara formal di lembaga pendidikan formal, sedangkan
para pimpinan dan kader Muhammadiyah dapat mengajarkan
Muhammadiyah secara informal dan non formal di masyarakat dan di
keluarga. Jadilah guru Muhammadiyah yang sejati!.

159

Anda mungkin juga menyukai