Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


What se do in life….enchoes in eternity…Setiap peristiwa di jagad raya
ini adalah potongan mozaik. Terserak di sana-sini, tersebar dalam rentang
waktu dan ruang-ruang. Namun perlahan-lahan ia akan bersatu membentuk
sosok seperti MontaseAnton Gaudi. Kita sebagai generasi pendidik, mozaik-
mozaik itu akan membangun siapa diri kita, lalu apa yang akan kita kerjakan
dalam dunia kita sebagai bagian dari mozaik dunia pendidikan kita. (Andrea
Hirata, Sang Pemimpi) Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan kau hidup
dari Muhammadiyah (Buya Ahmad Dahlan) Sampai sekarang permasalahan
pendidikan masih sangat hangat dibicarakan oleh para ilmuwan Muslim di
seantero dunia (mis. pada konferensi pendidikan) 1 dengan mencoba
menginventarisis pendidikan untuk diberikan solusi. Pada masa kolonialisme,
pola pendidikan yang dualistis masih terjadi di Indonesia yaitu adanya
system pendidikan colonial dan system pendidikan Islam (pesantren).
Pendidikan colonial sangat berbeda dengan pendidikan Islam “tradisional”.
Perbedaan itu, bukan hanya dari segi metode, tetapi lebih khusus lagi dari
segi isi dan tujuan pendidikan. Pada awalnya tempat-tempat pendidikan yang
didirikan oleh pemerintahan colonial Belanda khusus bagi anak-anak
Belanda dan anak orang asing lainnya atau bagi anak pribumi yang berasal
dari tokoh terkemuka seperti orang kraton (priyayi) dan pejabat desa.
Lembaga pendidikan yang dikhususkan bagi anak-anak tertentu itu
dinamakan Europeesche Lagere School.2
Namun sejak adanya politik etika colonial Belanda berdiri berbagai
macam sekolah, maka mulai dari Inlandsche Lagere School yang disebut
sekolah rendah. Hogere Burger School (HBS), Meer Vitgebreit Lagere
Onderwijs (MULO) sebagai sekolah menengah pertama. Sampai Algemeene

1
Syed Sajjad Husain and Syed Ali Ashraf, Crisis in Muslim Education, (Jeddah: Hodder and
Stoghton, 1979), h. 3.
2
Hamka, Kenang-kenangan Hidup (1) (Jakarta: Gapura, 1979), p. 36-37

1
Midle Bare School (AMS) sebagai sekolah lanjutan atas.3 Sesuai dengan
landasan politik yang dijalankan pemerintah Belanda, maka tujuan sekolah-
sekolah yang didirikan pemerintah Belanda juga mencerminkan arah
politiknya, yakni sekedar untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang agak
terdidik.4 Di sisi lain, pendidikan yang dikelola oleh pemerintah colonial,
berorientasikan pada pengetahuan dan ketrampilan duniawi. Corak
pendidikan tersebut sesuai dengan strategi politik pemerintah colonial
Belanda yang ingin netral terhadap agama.5
Secara umum, fenomena di atas menunjukkan bahwa keadaan social-
ekonomi-kultural dan politik saat itu benar-benar merupakan tantangan bagi
sejumlah tokoh pada saat itu yang harus dijawab dengan ide dan tindakan.
Selanjutnya setting social di atas menunjukkan fenomena bahwa umat Islam
dihadapkan pada maslah dikotomi pendidikan, yaitu pengaruh kebudayaan
Barat dan kemunduran intelektural di pihak lain. Sadar akan tantangan yang
demikian, di beberapa kawasan Nusantara tampil para tokoh dan pemikir
membawa seperngkat pemikir, baik dalam bentuk tulisan maupun melalui
karya nyata sebagai jawaban terhadap tantangan yang mereka hadapi.
Mereka itulah yang disebut dengan kaum pembaharu yang kehadiran dan
kebangkitan mereka bertujuan tidak hanya untuk menentang pengaruh Barat
dari segi social dan cultural, tetapi juga untuk menghimbau mereka untuk
kembali kepada dasar-dasar pokok Islam melalui jalur pendidikan sebagai
central kegiatan politiknya.6 Di antara tokoh pembaharu, diantaranya muncul 
di Kauman Yogyakarta yaitu K. H. Ahmad Dahlan (1868-1923) dengan
pemikirannya mengenai pendidikan Islam dan organisasi Muhammadiyahnya
yang didirikan pada tahun 1921 M. Untuk itu dalam makalah ini akan
dibahas mengenai Biografi K.H. Ahmad Dahlan, Pemikiran beliau mengenai

3
Robert van Niel, The Emergence of the Modern Indonesia Elite, terj. H. Aqib Suminto, Politik
Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), p. 21. 101
4
Sri Setyiatiningsih dan Sutrisno Kutoyo, Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta,
(Yogyakarta: Depdikbud, 1982), h. 9
5
Aqib Suminto, Politik Islam, h. 15, 19
6
Yunus Salam, K.H. Ahmad Dahlan dan Amal Perjuangannya, (Jakarta: Depot Pengajaran
Muhammadiyah 1968), h. 29-30

2
Pendidikan Islam, beliau sebagai pembaharu dan hubungannya dengan
Muhammadiyah.

B. Rumusan Masalah
Dari penjelasan pada latar belakang masalah, maka dapat disimpulkan
rumusan masalah dalam penulisan makalah ini, yaitu :
1. Bagaimana pandangan K.H. Ahmad Dahlan mengenai Pendidikan Islam?
2. Bagaimana pemikiran K.H. Ahmad Dahlan mengenai Pendidikan Islam?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan dari penulisan makalah tentang pemikiran pendidikan modern
Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan diantaranya:
1. Untuk mendiskripsikan pandangan K.H. Ahmad Dahlan mengenai
Pendidikan Islam.
2. Untuk lebih memahami tentang pandangan K.H. Ahmad Dahlan
mengenai Pendidikan Islam.
3. Untuk mengetahui pemikiran K.H. Ahmad Dahlan mengenai Pendidikan
Islam.
4. Untuk memahami pemikiran K.H. Ahmad Dahlan mengenai Pendidikan
Islam.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Singkat Ahmad Dahlan


Seperti yang kita ketahui bahwa penulisan riwayat hidup K.H.
Ahmad Dahlan telah banyak dilakukan oleh para sarjana.7 K.H. Ahmad
Dahlan lahir di Kauman Yogyakarta pada tahun 2008 . Nama kecilnya adalah
Muhammad Darwisy dan merupakan anak keempat dari K.H. Abu Bakar
(seorang ulama dan khatib terkemuka di Mesjid Besar Kesultanan
Yogyakarta) dan ibunya merupakan putrid dari H. Ibrahim yang menjabat
sebagai penghlu kesultanan juga.8 Ia merupakan anak keempat dari tujuh
ornag bersudara yang keseluruhan saudaranya perempuan kecuali adik
bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang keduabelas dari
maulana malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka
diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan
pengembangan Islam di tanah Jawa. Ia dikenal jujur dan sederhana dan inilah
yang membuatnya disukai orang. Untuk mempelajari ilmu-ilmu agama ia
berpindah dari satu sekolah ke sekolah lainnya. Ia mempunya sikap kritis
terhadap pola pendidikan tradisional, tetapi tidak punya kekuatan untuk
mengubahnya. Dalam keadaan seperti ini Ia beruntung memproleh
kesempatan melanjutkan pendidikannya ke Mekah pada tahun 1890.9 Di
sinilah Ia berinteraksi dengan pemikir-pemikir pembaharu dalam dunia
Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afgani, Rasyid RIdha, dan Ibnu
Taimiyah. Pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunya pengaruh yang besar
padanya. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan
ini sehingga kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sama,
yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui
pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian dunia Islma saat itu yang
masih bersifat ortodoks. Melalui kitab-kitab yang dikarang oleh reformer
7
Delia Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1995). h. 103
8
Delia Noer Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1995), h. 48
9
Musthafa Kamal Pasha, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam untuk Angkatan Muda
(Yogyakarta: Persatuan, 1975), h. 8-9

4
Islam, telah membuka wawasan beliau tentang universalitas Islam. Ide-ide
tentang reenterpretasi Islam dengan gagasan kembali kepada al-Qur’an dan
Sunnah mendapat perhatian khususnya saat itu. Ia juga merupakan murid
Syaikh Ahmad Khatib (1899-1916), tokoh kelahiran Indonsea yang saat itu
menempati posisi tertinggi dalam penguasaannya atas ilmu-ilmu agama di
Mekkah.10 Dalam pendidikan keagamaan formalnya sebagian besar waktu
K.H. Ahmad Dahlan tampaknya dihabiskan untuk mempelajari ajaran Islam
tradisionalis, karena itu perkenalannya dengan gagasan-gagasan modernisme
Islam kemungkinan terjadi lewat bacaan pribadi dan hubungannya dengan
kaum moerdenis Muslim lain. Sekembalinya dari Mekkah tahun 1905, ia
menikah dengan Siti Walidah, anak perempuan seorang hakim di Yogyakarta
yang kelak dikena dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawan Nasional
dan pendiri Aisyiyah. Karena gajinya sebagai khatib tidak mencukupi untuk
memenuhi keperluannnya sehari-hari, ia berdagang batik. Ini membawanya
ke hampir seua daerah di Jawa dan memberinya kesempatan untk
menyampaikan gagasan-gagasannya kepada kaum Muslim yang menonjol di
daerah masing-masing. Mereka inilah yang belakangan menjadi bagian inti
gerakan Muhammadiyah dan pengikutnya yang bersemangat.11 K.H. Ahmad
Dahlan juga bergabung dengan organisasi Jam’iyatul Khair, Budi Utomo12,
anggota teras Sarekat Islam. hingga akhirnya di Yogyakarta pada tanggal 18
November 1912 lahirlah Muhammadiyah sebagai gerakan umat Islam. dan
sejak awal K.H. Ahmad Dahlan menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan
organisasi politik tetapi bersifat social dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh K.H. Ahmad Dahlan  ini juga
mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat
sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi
kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi
agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru
10
Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya (Jakarta:
Lentera, 1999), h. 245
11
Syamsi Sumardjo, Pengetahuan Muhammadiyah dengan Tokoh-tokohnya dalam Kebangunan
Islam (Yogyakarta: P.B. Muhammadyah, 1976), h. 4.
12
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, h. 86

5
bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada
pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut
dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita
dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua
rintangan tersebut. Namun, pada saat Muhammadiyah teratur dan kuat, K.H.
Ahmad Dahlan berpulang ke rahmatullah pada tanggal 23 Februari 1923
dalam usia 55 tahun. Dan sekarang kita dapat menyaksikan Muhammadiyah
menjadi semakin maju dan berkembang di seluruh nusantara dengan berbagai
amal usahanya tidak terlepas dari usaha beliau yang sangat luar biasa.
B. Pemikiran Pendidikan Islam Ahmad Dahlan
Buya merasa tidak puas dengan system dan praktik pendidikan saat
itu, dibuktikan dengan pandangannya mengenai tujuan pendidikan adalah
untuk menciptakan manusia yang baik budi, luas pandangan, dan bersedia
berjuang untuk kemajuan masyarakat.13 Karena itu buya merentaskan
beberapa pandangannya mengenai pendidikan dalam bentuk pendidikan
model Muhammadiyah khususnya, antara lain:
1. Pendidikan Integralistik
K.H Ahmad Dahlan (1868-1923) adalah tipe man of action
sehingga sudah pada tempatnya apabila mewariskan cukup banyak amal
usaha bukan tulisan. Oleh sebab itu untuk menelusuri bagaimana
orientasi filosofis pendidikan Beliau musti lebih banyak merujuk pada
bagaimana beliau membangun sistem pendidikan. Namun naskah pidato
terakhir beliau yang berjudul Tali Pengikat Hidup menarik untuk
dicermati karena menunjukkan secara eksplisit konsen Beliau terhadap
pencerahan akal suci melalui filsafat dan logika. Sedikitnya ada tiga
kalimat kunci yang menggambarkan tingginya minat Beliau dalam
pencerahan akal, yaitu: (1) pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan
tentang kesatuan hidup yang dapat dicapai dengan sikap kritis dan
terbuka dengan mempergunakan akal sehat dan istiqomah terhadap
kebenaran akali dengan di dasari hati yang suci; (2) akal adalah

13
Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, h.95-96

6
kebutuhan dasar hidup manusia; (3) ilmu mantiq atau logika adalah
pendidikan tertinggi bagi akal manusia yang hanya akan dicapai hanya
jika manusia menyerah kepada petunjuk Allah swt. Pribadi K.H. Ahmad
Dahlan  adalah pencari kebenaran hakiki yang menangkap apa yang
tersirat dalam tafsir Al-Manaar sehingga meskipun tidak punya latar
belakang pendidikan Barat tapi ia membuka lebar-lebar gerbang
rasionalitas melalui ajaran Islam sendiri, menyerukan ijtihad dan
menolak taqlid. Dia dapat dikatakan sebagai suatu “model” dari
bangkitnya sebuah generasi yang merupakan “titik pusat” dari suatu
pergerakan yang bangkit untuk menjawab tantangan-tantangan yang
dihadapi golongan Islam yang berupa ketertinggalan dalam sistem
pendidikan dan kejumudan paham agama Islam. Berbeda dengan tokoh-
tokoh nasional pada zamannya yang lebih menaruh perhatian pada
persoalan politik dan ekonomi, K.H. Ahmad Dahlan mengabdikan diri
sepenuhnya dalam bidang pendidikan. Titik bidik pada dunia pendidikan
pada gilirannya mengantarkannya memasuki jantung persoalan umat
yang sebenarnya. Seiring dengan bergulirnya politik etis atau politik
asosiasi (sejak tahun 1901), ekspansi sekolah Belanda diproyeksikan
sebagai pola baru penjajahan yang dalam jangka panjang diharapkan
dapat menggeser lembaga pendidikan Islam semacam pondok pesantren.
Pendidikan di Indonesia pada saat itu terpecah menjadi dua: pendidikan
sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, yang tak mengenal ajaran-ajaran
yang berhubungan dengan agama; dan pendidikan di pesantren yang
hanya mengajar ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama saja.
Dihadapkan pada dualisme sistem (filsafat) pendidikan ini K.H. Ahmad
Dahlan  “gelisah”, bekerja keras sekuat tenaga untuk mengintegrasikan,
atau paling tidak mendekatkan kedua sistem pendidikan itu. Cita-cita
pendidikan yang digagas Beliau adalah lahirnya manusia-manusia baru
yang mampu tampil sebagai “ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu
seorang muslim yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat
jasmani dan rohani. Dalam rangka mengintegrasikan kedua sistem

7
pendidikan tersebut, K.H. Ahmad Dahlan  melakukan dua tindakan
sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang
sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan
pengetahuan umum bersama-sama diajarkan. Kedua tindakan itu
sekarang sudah menjadi fenomena umum; yang pertama sudah
diakomodir negara dan yang kedua sudah banyak dilakukan oleh
yayasan pendidikan Islam lain. Namun, ide Beliau tentang model
pendidikan integralistik yang mampu melahirkan muslim ulama-intelek
masih terus dalam proses pencarian. Sistem pendidikan integralistik
inilah sebenarnya warisan yang musti kita eksplorasi terus sesuai dengan
konteks ruang dan waktu, masalah teknik pendidikan bisa berubah sesau
dengan perkembangan ilmu pendidikan atau psikologi perkembangan.
Dalam rangka menjamin kelangsungan sekolahan yang ia dirikan maka
atas saran murid-muridnya Beliau akhirnya mendirikan persyarikatan
Muhammadiyah tahun 1912. Metode pembelajaran yang dikembangkan
K.H. Ahmad Dahlan  bercorak kontekstual melalui proses penyadaran.
Contoh klasik adalah ketika Beliau menjelaskan surat al-Ma’un kepada
santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri itu menyadari
bahwa surat itu menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong
fakir-miskin, dan harus mengamalkan isinya. Setelah santri-santri itu
mengamalkan perintah itu baru diganti surat berikutnya. Ada semangat
yang musti dikembangkan oleh pendidik Muhammadiyah, yaitu
bagaimana merumuskan sistem pendidikan ala  al-Ma’un sebagaimana
dipraktekan K.H. Ahmad Dahlan . Anehnya, yang diwarisi oleh warga
Muhammadiyah adalah teknik pendidikannya, bukan cita-cita
pendidikan, sehingga tidak aneh apabila ada yang tidak mau menerima
inovasi pendidikan. Inovasi pendidikan dianggap sebagai bid’ah.
Sebenarnya, yang harus kita tangkap dari K.H. Ahmad Dahlan  adalah
semangat untuk melakukan perombakan atau etos pembaruan, bukan
bentuk atau hasil ijtihadnya. Menangkap api tajdid, bukan arangnya.
Dalam konteks pencarian pendidikan integralistik yang mampu

8
memproduksi ulama-intelek-profesional, gagasan Abdul Mukti Ali
menarik disimak. Menurutnya, sistem pendidikan dan pengajaran agama
Islam di Indonesia ini yang paling baik adalah sistem pendidikan yang
mengikuti sistem pondok pesantren karena di dalamnya diresapi dengan
suasana keagamaan, sedangkan sistem pengajaran mengikuti sistem
madrasah/sekolah, jelasnya madrasah/sekolah dalam pondok pesantren
adalah bentuk sistem pengajaran dan pendidikan agama Islam yang
terbaik.  Dalam semangat yang sama, belakangan ini sekolah-sekolah
Islam tengah berpacu menuju peningkatan mutu pendidikan. Salah satu
model pendidikan terbaru adalah full day school, sekolah sampai sore
hari, tidak terkecuali di lingkungan Muhammadiyah.
2. Mengadopsi Substansi dan Metodologi Pendidikan Modern Belanda
dalam Madrasah-madrasah Pendidikan Agama
Yaitu mengambil beberapa komponen pendidikan yang dipakai
oleh lembaga pendidikan Belanda. Dari ide ini, K.H. Ahmad Dahlan
dapat menyerap dan kemudian dengan gagasan dan prektek
pendidikannya dapat menerapkan metode pendidikan yang dianggap
baru saat itu ke dalam sekolah yang didirikannya dan madrasah-
madrasah tradisional. Metode yang ditawarkan adalah sintesis antara
metode pendidikan modern Barat dengan tradisional. Dari sini tampak
bahwa lembaga pendidikan yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan berbeda
dengan lembaga pendidikan yang dikelola oleh masyarakat pribumi saat
ini. Sebagai contoh, K.H. Ahmad Dahlan mula-mula mendirikan SR di
Kauman dan daerah lainnya di sekitar Yogyakarta, lalu sekolah
menengah yang diberi nama al-Qism al-Arqa yang kelak menjadi bibit
madrasah Mu’allimin dan Mu’allimat Muhammadiyah Yogyakarta.
Sebagai catatan, tujuan umum lembaga pendidikan di atas baru disadari
sesudah 24 tahun Muhammadiyah berdiri, tapi Amir Hamzah
menyimpulkan bahwa tujuan umum pendidikan Muhammadiyah
menurut K.H. Ahmad Dahlan adalah:14
14
Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam (Jember,
Mutiara Offset, 1985), h. 92.

9
a. Baik budi, alim dalam agama
b. Luas pandangan, alim dalam ilmu-ilmu dunia (umum)
c. Bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya
Mungkin ada benarnya jika dikaitkan dengan latar belakang
timbulnya pemikiran pendidikan Islam K.H. Ahmad Dahlan yang antara
lain disebabkan oleh rasa tidak puas terhadap system pendidikan yang
ada dan hanya mengembangkan salah satu bidang pengetahuan dari
kedua pengetahuan yang ingin dirangkul oleh K.H. Ahmad Dahlan
dengan Muhammadiyahnya. Ijtihad pemikiran pendidikan yang
dicetuskan K.H. Ahmad Dahlan melalui gagaan dan praktek pendidikan
Islamnya merupakan cikal bakal dan dijadkan estafet dalam
pembaharuan system pendidikan Muhammadiyah, sebagai contoh
“pondok Muhammadiyah”. Ada empat pokok model pembaharuan
pendidikan di Pondok Muhammadiyah antara lain:15

No. Sistem Pendidikan Lama Pondok Muhammadiyah


1. System belajar mengajar Sistem klasikal dengan cara-
Weton dan Sorogan. cara Barat.
2. Bahan pelajaran semata- Bahan pelajaran tetap,
mata agama, kitab-kitab ditambah ilmu pengetahuan
karangan ulama umum. Kitab-kitab agama
pembaharuan tidak dipergunakan secara luas, baik
dipergunakan. klasik maupun kontemporer.16
3. Belum ada RP yang teratur Sudah diatur dengan RP.
dan integral.
4. Hubungan guru dan murid Diusahakan suasana hubungan
lebih bersifat otoriter dan guru dan murid lebih akrab
kurang demokratis. bebas dan demokratis.

Dalam pendidikan di pondok Muhammadiyah mata pelajaran


agama dan alat untuk mempelajari agama sebagai mata pelajaran pokok.
Program pendidikan pondok Muhammadiyah berbeda dengan sekolah
Muhammadiyah. Pondok Muhammadiyah menekankan hal keagamaan .
sementara sekolah kelas I dan II yang dikelola Muhammadiyah,

15
Ibid, h. 98-108
16
Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan, h. 122-123

10
pendidikan agama hanya sebagai mata pelajaran suatu bidang studi yaitu
mata pelajaran Agama Islam. mata pelajaran ini disampaikan pada suatu
kelas tertentu dnegna waktu yang ditetapkan. Sekolah Muhammadiyah
pada awal abad ke-20 sudah menerapkan system ulangan, absensi murid
dan kenaikan kelas. Sementara itu, ujian idpakai sebagai pengukur
kecakapan murid. Pendidikan Muhammadiyah juga ditunjang dengan
beberapa kegiatan di luar jam pelajaran dan guru dihormati secara wajar.
K.H. Ahmad Dahlan telah membawa pembaharuan pendidikan waktu itu
melalui Muhammadiyah baik dengan memasukkan mata pelajaran
agama di sekolah-sekolah umum dan menyerap ilmu-ilmu yang datang
dari Barat, serta memasukkan kitab-kitab ulama baru ke dalam
kurikulumnya. Semuanya itu mengundang munculnya berbagai kecaman
terhadap beliau. Ada yang menuduh sebagai murtad, kreisten, penganut
paham mu’tazilah, kharijiah, dsb. Bahkan sampai tahun 1933 disebutkan
bahwa sekolah Muhammadiyah sebagai sekolah kebelanda-belandaan
atau kebarat-baratan. Namun Muhammadiyah tetap bisa bertahan dan
hingga saat ini mewajikan pembelajaran pengetahuan keIslaman yang
disebut al-Islam dan keMuhammadiyahan, dengan mengajarkan Islam
versi Majlis Tarjih. Muhammadiyah selalu terbuka dan terus
berkembang, termasuk dalam hal keputusan Tarjih. Hal ini karena dalam
penentuan sebuah keputusan Tarjih diambil dengan cara mencari yang
paling kuat dasarnya, bahkan bisa terjadi tidak sejalan dengan praktik
yang dilakukan pendirinya, K.H. Ahmad Dahlan.17
3. Memberi Muatan Pengajaran Islam pada Sekolah-sekolah Umum
Modern Belanda
Muhammadiyah baru memutuskan meminta kepada pemerintah
agar memberi izin bagi orang Islam untuk mengajarkan agama Islam di
sekolah-sekolah Goebernemen pada bulan April 1922. sebenarnya
sebelum Muhammadiyah didirikan ini sudah diusahakan namun baru
mendapat izin saat itu. Hingga akhirnya Muhammadiyah mendirikan

17
Suara Muhammadiyah , Edisi 9 Februari 2008

11
sekolah-sekolah swasta yang meniru sekolah Gubernemen dengan
pelajaran agama di dalamnya.18 Tujuan pokok organisasi dan pendirian
lembaga pendidikan menjadi orientasi utama K.H. Ahmad Dahlan
sehingga berusaha untuk menandingi sekolah pemerintahan Belanda
dengan mengikuti contoh misi Kristen dengan menyebarkan fasilitas dan
mendesakkan pengalaman iman.19 Sekolah Dasar Belada dengan al-
Qur’an didirikan dari keterkesanannya terhadap kerja para misionaris
Kristen dan SD Belanda dengan Alkitabnya.20 Sekolah Muhammadiyah
mempertahankan dimensi Islam yang kuat, tetapi dilakukan dengan cara
yang berbeda dengan sekolah-sekolah Islam yang lebih awal dengan gaya
pesantrennya yang kental. Dengan contoh metode dan system pendidikan
baru yang diberikannya21 K.H. Ahmad Dahlan juga ingin memodernisasi
sekolah keagamaan tradisional.22 Untuk meningkatkan kualitas
pendidikan Islam, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah Muallimin
dan Muallimat, Muballighin dan Muballighat. Dengan demikian
diharpakan lahirlah kader-kader Muslim sebagai bagian inti program
pembaharuannya yang bisa menjadi ujung tombak gerakan
Muhammadiyah dan membantu menyampaikan misi-misi dan
melanjutkannya di masa depan. K.H. Ahmad Dahlan juga bekerja keras
meningkatkan moral dan posisi kaum perempuan dalam kerangka Islam
sebagai instrument yang efektif dan bermanfaat di dalam organisasinya
karena perempuan merupakan unsur penting  berkat bantuan istri dan
koleganya sehingga terbentuklah Aisyiah . di tempat-tempat tertentu,
dibukalah masjid-masjid khusus bagi kaum perempuan, seseuatu yang
jarang ditemukan di Negara-negara Islam lain bahkan hingga saat ini.
K.H. Ahmad Dahlan juga membentuk gerakan pramuka Muhammadiyah
yang diberi nama Hizbul Watan.
18
Karel. K. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, h. 54-55
19
Neil, The Emergence of the Modern Indonesian Elite, h. 85.
20
Alfian Muhammadiyah, h. 150. Lihat juga Arifin, Muhammadiyah , h. 64-66
21
Mukti Ali, The Muhamadiyah Movement, h. 53
22
Clifford Geertz, The Religion of Java (New York: The free Press of Glencoe, Inc., 1961), h.
125

12
4. Menerapkan Sistem Kooperatif dalam Bidang Pendidikan
Kita dapat melihat adanya kerjasama yang harmonis antara
pemerintahan Belanda dengan Muhammadiyah. Keduanya sama-sama
memperoleh keuntungan. Pertama, dari sikap non oposisional. Kedua,
mendukung program pembaharuan keagamaan  termasuk di dalam bidang
pendidikan. Sikapnya yang akomodatif dan kooperatif memberikan
ketentuan mutlak untuk bertahan hidup di tengah iklim yang sangat tidak
ramah terhadap gerakan nasionalis pribumi dan disaat tidak satupun
gerakan yang sebanding dengannya dapat bertahan saat itu. Sehingga
K.H. Ahmad Dahlan dapat masuk lebih dalam pada lingkungan
pendidikan kaum misionaris yang diciptakan oleh pemerintah Belanda,
yang saat itu lebih maju kedepan dari pada sistem penddikan pribumi
yang tradisional. Dari uraian tersebut di atas, ada beberapa catatan yang
direntaskan oleh buya23, antara lain:
a. Membawa pembaruan dalam bentuk kelembagaan pendidikan, yang
semula seistem pesantren menjadi system sekolah.
b. Memasukkan pelajaran umum kepada sekolah-sekolah keagamaan
atau madrasah.
c. Mengadakan perubahan dalam metode pengajaran, dari yang semula
menggunakan metode weton dan sorogan menjadi lebih bervariasi.
d. Mengajarkan sikap hidup terbuka dan toleran dalam pendidikan.
e. Dengan Muhammadiyahnya buya berhasil mengembangkan lembaga
pendidikan yang beragam dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi
dan dari yang berbentuk sekolah agama hingga yang berbentuk
sekolah umum.
f. Berhasil memperkenalkan manajemen pendidikan modern ke dalam
system pendidikan yang dirancangkannya.
g. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah

23
Abudina Nata, Filsafat Pendidikan Islam, h. 208

13
Muhammadiyah merupakan gerakan umat Islam yang lahir di
Yogyakarta 18 Nopember 1912. Yang perkembangannya, terutama sejak
paruh kedua tahun 1920-an menunjukkan grafik meningkat. Disaat
gerakan umat Islam seangkatannya justru dilanda perpecahan dan
perlahan menunjukkan grafik penurunan, yaitu Sarekat Islam (SI). Yang
saat itu SI pecah karena infiltrasi komunis, sehingga muncul SI “Merah”
yang jadi onderbow PKI (1920). Dengan melihat perkembangan
Muhammadiyah ini ada sebagian yang menyebutkan sejarah Indonesia
1925-1945 adalah sejarah Muhammadiyah. Mungkin ini tidak berlebihan.
Pernyataan ini menyiratkan betapa besar peranan gerakan
Muhammadiyah atau kader-kader Muhammadiyah dalam dinamika
sejarah umat dan bangsa ini. Sejarah mencatat, KH Mansur penggerak
MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) dan PUTERA (Pusat Tenaga
Rakyat) zaman Jepang adalah pimpinan pusat Muhammadiyah. Ki Bagus
Hadikusumo, adalah pimpinan pusat Muhammadiyah yang turut
merumuskan Piagam Jakarta dan berperan dalam sidang-sidang persiapan
kemerdekaan. Mr.Kasman Singodimejo pun politisi yang berasal dari
Muhammadiyah. Bung Karno, Ir.Juanda, Sudirman, dll tokoh bangsa ini
tidak sedikit merupakan kader lulusan pendidikan Muhammadiyah.
Dalam aspek sosial gerakan Muhammadiyah pun banyak memberikan
kontribusi pengembangan umat dan bangsa. Misalnya Muhammadiyah
memelopori pendirian Panti Asuhan dan Rumah Sakit. Bahkan Lembaga
Haji (Badan Penolong Haji) pun dirintis murid KH Ahmad Dahlan, Haji
Sujak yang mengusahakan usaha perkapalan untuk jemaah haji pada
tahun 1921. Bidang pendidikan itu lebih jelas lagi. Karena strategi
gerakan Muhammadiyah diawali dengan perintisan dan pengembangan
kader lewat jalur pendidikan formal dan non formal. Dilihat aspek
pengembangan pemikiran keagamaan, Muhammadiyah pun berada di
garda depan. Di zaman Belanda Muhammadiyah berhasil upaya de-
mistifikasi (penghancuran berpikir mistik) dengan gerakan
rasionalisasinya, tetap tetap berpijak pada konsep Al-Qur’an dan As-

14
Sunnah. Muhammadiyah pun mendobrak ketaklidan yang membabi buta,
berpikir feodal seperti pengkultusan individu yang bisa mematikan ijtihad
dan keterbukaan pikir. Muhammadiyah turut pula mendobrak kefeodalan
dengan mengubah kebiasaan kurang baik, dalam proses pembelajaran al-
Qur’an. Misalnya turut memelopori usaha penerjemahan Al-Qur’an, yang
di zaman Belanda itu diharamkan. Muhammadiyah pun yang memelopori
ibadah hari raya di lapangan pada tahun 1930-an, yang menggemparkan.
Bahkan Belanda khawatir akan bergeser pada aksi massa. Dengan pola
pikir yang rasional tetapi tetap mengedepankan jiwa kemanusiaan
(kecerdasan emosional), Muhammadiyah berhasil membawa umat sedikit
demi sedikit untuk mempergunakan nalar rasional dengan inspirasi ajaran
Qur’an dan Sunah. Dari pola pemikiran rasional tsb gerakan
Muhammadiyah telah “membangunkan” kesadaran umat Islam yang
sebelumnya lebih terkesan tertinggal dan menjauhi kemajuan modern
dalam pengembangan sains dan teknologi. Sehingga perlahan
Muhammadiyah bisa membawa umat dan bangsa untuk mensejajarkan
umat dan bangsa ini dengan umat dan bangsa lainnya. Bahkan peranan
Muhammadiyah sampai kini tetap menjadi harapan umat dan bangsa,
selain ormas Islam lainnya seperti NU, Persis, SI dan lain-lain. Terlebih
dalam menyikapi isu-isu nasionaol dan internasional selalu tampil di
depan sebagai pelopornya. Baik secara kelembagaan ataupun yang
diperankan individu kader-kadernya. Pengamat politik asing seperti
Samuel P Huntington dalam bukunya Benturan Peradaban menyebutkan
Muhammadiyah sebagai “motor kebangkitan Islam” di Indonesia.
Analisis Huntington tersebut wajar. Sebab dalam rentang usianya
mendekati satu abad, Muhammadiyah telah, sedang dan akan terus
mengahasilkan kader-kader intelektual bagi umat dan bangsa. Bahkan
perkembangan berikutnya tampak Muhammadiyah sedang melebarkan
sayapnya menjadi gerakan internasional dengan sudah membuka cabang-
cabangnya di luar negeri. Seperti di Berlin, Cairo, Teheran, Singapura,
Kuala Lumpur, Bangkok, Australia, Amerika dst. Dari latar belakang

15
tersebut di atas, bila meminjam teori Hero (Tokoh) nya Thomas Carlyle
bahwa pemimpin besar (The Great Man) sebagai penggerak idea akan
terjadi perubahan sejarah. Bahwa idea dapat membangkitkan gerak
sejarah suatu bangsa, jika ada penggeraknya yaitu pemimpin besar.
Seperti halnya ajaran Islam, tidak akan berkembang tanpa kehadiran dan
peranan pemimpin besarnya, nabi Muhammad saw. Dengan memakai
pendekatan teori sejarah ini, maka gerakan Muhammadiyah tidak akan
berkembang dan berpengaruh besar sampai kini jika tanpa kehadiran
ideolog dan penggerak awalnya KH Ahmad Dahlan. Karena itu
mencermati dan melakukan studi atas pemikiran KH Ahmad Dahlan
menjadi penting dilakukan. Ini akan berguna untuk memahami dinamika
perkembangan Muhammadiyah khususnya, dan dinamika umat Islam dan
bangsa Indonesia. Muhammadiyah selalu terbuka dan terus berkembang
termasuk dalam hal keputusan tarjih.
5. Ahmad Dahlan sebagai Pembaharu
Ada banyak hal yang menjadikan K.H. Ahmad Dahlan sebagai
pembaharu, di antaranya yaitu:
a. Melakukan purifikasi ajaran Islam dari khurafat tahayul dan bid’ah
yang selama ini telah bercampur dalam akidah dan ibadah umat
Islam, dan mengajak umat Islam untuk keluar dari jarring pemikiran
teradisional melalui reinterpretasi terhadap doktrin Islam dalam
rumusan dan penjelasan yang dapat diterima oleh rasio.24
b. Usaha dan jasanya mengubah dan membetulkan arah kiblat yang
tidak tepat menurut mestinya. Umumnya masjid-masjid dan langgar-
langgar di Yogyakarta menghadap Timur dan orang-orang shalat
mengahadap kea rah Barat lurus. Padahall kiblat yang seenarnya
menuju Ka’bah dari tanah Jawa haruslah iring kearah Utara + 24
derajat dari sebelah Barat. Berdasarkan ilmu pengetahuan tentang
ilmu falak itu, ornag tidak boleh menghadap kiblat menuju Barat
lurus, melainkan harus miring ke Utara + 24 derajat. Oleh sebab itu,

24
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, h. 103-104

16
K.H. Ahmad Dahlan mengubah bangunan pesantrennya sendiri
supaya menuju kea rah kiblat yang betul. Perubahan yang diadakan
oleh K.H. Ahmad Dahlan itu mendapat tantangan keras dari
pembesar-pembesar masjid dan kekuasaan kerajaan
c. Berdasarkan perhitungan astronominya, K.H. Ahmad Dahlan
menyataka bahawa hari raya Idul Fitri yang bersamaan dengan hari
ulang tahun Sultan,, harus dirayakan sehari lebih awal dari yang
diputuskan para ulama “mapan”. Dan melaksanakan shalat Idul Fitri
di lapangan. Sultan menerima pendapat K.H. Ahmad Dahlan namun
karena ini pula beliau kehilangan lebih banyak lagi simpati dari
kalangan ulama “mapan”.25
d. Mengajarkan dan menyiarkan agama Islam dengan popular, bukan
saja di pesantren, melainkan ia pergi ke tempat-tempat lain dan
mendatangi berbagai golongan. Bahkan dapat dikatakan bahwa K.H.
Ahmad Dahlan adalah bapak Muballig Islam di Jawa Tengah,
sebagaimana syekh M. Jamil Jambek sebagai bapak Muballigh di
Sumatra Tengah.26
e. Mendirikan perkumpulan Muhammadiyah yang tersebar di seluruh
Indonesia sampai sekarang.
f. Sebuah Refleksi Dan Kritik Realita Sekolah-Sekolah
Muhammadiyah Saat Ini
Puluhan truk pasir sejumlah sak semen dan beberapa kaleng cat
tidak begitu bermakna apabila hanya di pajang di toko atau disimpan di
gudang. Makna itu menjadi bermakna di tangan tukan batu atau arsitek,
karena beragam bentuk arsitektur dapat dibangun. Ilustrasi tersebut
menjadi bermakna dalam konteks pendidikan. Melimpahnya materi
tentang aqidah, akhlaq, A-Qur’an Hadits atau hafalan sekian juz plus
materiilmu umum yang menjadi tidak bermakna manakala dijejalkan
begitu saja ke peserta didik dalam keadaan saling terpisah dan bersifat

25
A. Mukti Ali, The Muhammadiyah Movement, h. 32.
26
Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, h. 276.

17
parsial. Apabila Muhammadiyah benar-benar mau membangun sekolah
atau universitas unggulan maka harus merumuskan landasan filosofis
pendidikan yang tepat sehingga dihadapan pendidikan nasional pun
posisinya tegas. Jika kita melihat sekolah Muhammadiyah saat ini dari
sisi kurikulumnya sama persis dengan sekolah/universitas negeri
ditambah materi al-Islam dan ke-Muhammadiyahan. Kalau melihat materi
yang begitu banyak, maka penambahan itu malah semakin membebani
anak karenanya amat jarang lembaga pendidikan melahirkan bibit-bibit
unggul. Karena itu suudah waktunya untuk kembali merumuskan materi
yang terintegrasikan dengan materi-materi umum seperti yang dicita-
citakan oleh pendidinya buya Ahmad Dahlan serta disesuaikan dengan
kebutuhan peserta didik. Buya melihat bahwa mengadopsi system
pendidikan model Barat adalah salah satu jalan pintas karena buya
melihat bahwa pendidikan merupakan kunci untuk melakukan berbagai
perintah agama. Mengingat system pendidikan koloni dianggap yang
terbaik maka jalan yang paling mudah adalah dengan mengadopsi sisterm
tersebut lalu disempurnakan dengan penambahan mata pelajaran agama.
Namun, generasi kita sekarang lebih disibukkan untuk mendirikan
lembaga pendidikan hasil ijtihad, bukan menangkap substansinya yaitu
bagaimana mengintegrasikan atau mensintesakan ilmu umum dan ilmu
agama, karenanya cita-cita buya untuk melahirkan ulama-intelek dan
intelek ulama belum terpenuhi. Lain halnya jika kita membaca cerpen
dari Navis (2000) yang berjudul “Robohnya Surau Kami”, yang berisi
kritikan terhadap kaum agamawan (para penganut agama, terutama Islam)
yang terlalu bersemangat untuk meraih surga di akhirat tapi melupakan
meraih “surga” di muka bumi ini melalui kerja kemanusiaansampai
akhirnya surai itu roboh. Dengan meminjam istilah itu secara konotatif
kemungkinan kritik itu diarahkan kepada warga Muhammadiyah yang
berlomba-lomba mendirikan sekolahan hanya bermodal ihlas tanpa
memperhatikan mutu/kualitas dan standar kelayakan pendidikan sehingga
begitu ada arus perubahan satu persatu sekolah Muhammadiyah rontok,

18
kehabisan murid seperti yang terjadi belakangan ini. Sedangkan secara
denotative, memang untuk menunjukkan bahwa bangunan gedung-gedung
Muhammadiyah rata-rata sudah menua sehingga benar-benar mau roboh.
Begitulah realita yang terjadi dan untuk menutup tulisan ini ada baiknya kita
membaca kembali apa yang dituliskan Andrea Hirata dalam novel best
seller-nya yang sangat menyengat dunia pendidikan kita yang berjudul
Laskar Pelangi.. Realita pendidikan Muhammadiyah di pelosok kota
Belitung, yang harus berjuang keras melawan ganasnya lingkungan dan
kehidupan. Tapi dengan motivasi dan semangat yang tinggi dari diri sendiri,
teman serta pengelola pendidikan tersebut, mereka berhasil mengatakan pada
dunia “ini lah aku…anak-anak dari pelosok Belitung…”. Guru yang super
hebat dengan semua pengorbanannya memperjuangkan eksistensi mereka
pada dinas Pendidikan setemat, dan loyalitas mereka untuk menerapkan
cita-cita pembaruan buya Ahmad Dahlan dalam sekolah mereka.
Harusnya kita malu dengan segala kemewahan fasilitas dan sarana yang
kita miliki kalau kita masih keliru memahami maksud dari cita-cita
pendidikan buya Dahlan. Sederhananya, tidak banyak cingcong dan
kemampuan merealisasikan ide menjadi tindakan nyata, jauh lebih tinggi
daripada intelektual muda manapun. Ini barangkali dapat
dipertimbangkan sebagai mata pelajaran baru di sekolah-sekolah kita.
University of Life adalah ungkapan yang paling pas untuk situasi ini.
Sekolah seharusnya tidak lagi mengajarkan hal-hal apa yang harus kita
pikirkan,tapi mengajarkan kita cara berfikir. Ada baiknya kita memotivasi
diri kita sebagai pondasi awal kita untuk menyajikan dunia pendidikan
yang terbaik sesuai dengan cita-cita buya, dengan meresapi apa yang
dikatakan Arai kecil: “bahwa orang seperti kita akan mati tanpa mimpi
dan semangat, karena itu jangan pernah berhenti bercita-cita, karena
pabila itu terjadi maka tragedy terbesar dalam hidup kita akan dimulai.
Itulah kiranya yang dingin direalisasikan oleh buya Ahmad Dahlan.
BAB III
PENUTUP

19
1. Gerakan Muhammadiyah dikenal luas sebagai gerakan yang sangat
dipengaruhi oleh gagasan modern dan reformis pembaru Mesir Muhammad
Aabduh (1849-1905), yaitu dimaksudkan untuk memurnikan Islam di
Indonesia dari praktik-praktik khurafat tradisional yang tidak Islami. Dalam
rangka memajukan program pembaruannya, Muhammadiyah menyerukan
agar kaum Muslim kembali kepada Islam yang murni dan menafsirkan untur-
unsur kebudayaan Barat dalam kerangka ajaran Islam.
2. Dalam rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, K.H.
Ahmad Dahlan  melakukan dua tindakan sekaligus; memberi pelajaran
agama di sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, dan mendirikan sekolah-
sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan umum bersama-sama
diajarkan. Kedua tindakan itu sekarang sudah menjadi fenomena umum;
yang pertama sudah diakomodir negara dan yang kedua sudah banyak
dilakukan oleh yayasan pendidikan Islam lain. Namun, ide Beliau tentang
model pendidikan integralistik yang mampu melahirkan muslim ulama-
intelek masih terus dalam proses pencarian. Sistem pendidikan integralistik
inilah sebenarnya warisan yang musti kita eksplorasi terus sesuai dengan
konteks ruang dan waktu, masalah teknik pendidikan bisa berubah sesau
dengan perkembangan ilmu pendidikan atau psikologi perkembangan.
3. Setelah melihat sepak terjang K.H. Ahmad Dahlan dalam gagasan dan
praktek pendidikan Islam melalui Muhammadiyahnya, kita tahu besar sekali
jasa beliau dalam meletakkan pelajaran agama sebagai mata pelajaran di
sekolah-sekolah pemerintah sampai saat ini dari pendidikan kanak-kanak
sampai perguruan tinggi.
4. Gagasan K.H. Ahmad Dahlan selanjutnya dijadikan inspirasi bagi penetapan
bidang studi umum dan agama Islam yang wajib diberikan di sekolah dasar
dan diikuti oleh murid-murid yang beragama Islam.
5. Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan berangkat dari
keinginan untuk mewujudkan manusia yang mewakili kepribadian yang
integral dan pengetahuan yang seimbang. Sehingga dipandang pentingnya

20
memberikan pengetahuan agama bagi mereka yang berada di sekolha-
sekolah umum dan pengetahuan umum bagi mereka yang selama ini belum
pernah mendapatkannya.
6. Tampak jelas dalam kurikulumnya bahwa kurikululum yang ditetapkan
DikNas, pendidikan Muhammadiyah juga mengkompromikan pengetahuan
agama dan pengetahuan umum. Pada sekolah negeri pelajaran agama
merupakan satu bidang studi. Sedang di pendidikan Muhammadiyah dibagi
menjadi empat, yaitu akidah, al-Qur’an, tarikh dan akhlaq
7. K.H. Ahmad Dahlan dapat dikatakan sebagai peletak dasar pemikiran
Muhammadiyah yang tidak bersikap apriori terhadap Barat. Ia melihat
kemajuan yag dibawa Barat dan ia bekeyakinan bahwa salah satu jalan untuk
mengankat umat Islam adalah dengan mendidik mereka dalam lembaga
pendidika yang mempunyai system yang tersendiri sebagai hasil
pemikirinannya. Lembaga-lembaga pendidikan inilah yang kemudian
menjadi sarana pelestarian hasil-hasil keputusan tarjih.
Demikian pemaparan makalah dari saya semoga bermanfaat. Semoga kita dapat
melakukan dan memberikan yang terbaik bagi dunia pendidikan kita dengan
menghadapi semua kesulitan sebagai bagian dari suatu tatanan pendidikan kita
yang sempurna. Billahi fi sabilil haq fastabiqul khairat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta: Pustaka


Book Publisher, 2007).

21
Abdul Munir Mulkhan, Prof.Dr.SU, Kisah dan Pesan Kiai Ahmad Dahlan
(Yogyakarta: Pustaka, 2005)

Abuddin Nata, FIlsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru) (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2005)

Alwi Shihab, Membendung Arus Resopn Gerakan Muhammdiyah Terhadap


Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998)

Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam


(Jember, Mutiara Offset, 1985)

Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (Jakarta:


Bulan Bintang, 1993)

Delia Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942I (Jakarta: LP3ES,


1995) Disertasi tidak diterbitkan

Ahmad Tafsir, Konsep Pendidikan Formal dalam Muhammadiyah (Jakarta:


IAIN Syarif Hidayatullah, 1987)

Achmad Jainuri, The Muhammadiyah Movement in Twentieth Century


Indonesia Allah SWT social Religius Study (Canada: Tesis Mc. Gill
University Montrealm 1992)

Dja’far Siddik, Konsep Pendidikan Islam Muhammadiyah Sistematisasi dan


Interpretasi Berdasarkan Perspektif Ilmu Pendidikan (Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga, 1997)

Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka
Setia, 2001)

Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya


(Jakarta: Lentera, 1999)

Mukti A. Ali, The Muhammadiyah Movement: Allah SWT Bibliographical


Introcution”, Tesis Master pada Institute of Islamic Studies (Mc Gill
Univercity, Montreal, 1957)

Pedoman Guru Muhammadiyah, seri M.P.P. No. % (Jakarta: PP


Muhammadiyah Majlis P.P.K, 1997 Pemikiran Filsafat Sosial
BUdaya dan Kependidikan, 1990) Profil Anggota Muhammadiyah,
LP UMY, Yogyakarta, 2000
Sri Setyatiningsih dan Sutrisno Katoyo, Sejarah Pendidikan DIY (Yogyakarta:
Depdikbud, 1982)

22
Syaifullah, Gerakan Politik Muhammadiyah Dalam Masyumi, (Grafiti Pers,
Jakarta, 1997) Solichin Salam, Muhammadijah dan Kebangunan
Islam di Indonesia, (NV Mega, Jakarta, 1965)

Tim MPK PP Muhammadiyah, Sistem Perkaderan Muhammadiyah


(Yogyakarta: MPK PP Muhammadiyah, 2008)

Sukrianta & Abdul Munir Mulkhan, Perkembangan Pemikiran Muhammadiyah


Dari Masa Ke Masa, Dua Dimensi, Yogyakarta, 1985

Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan


Praktis (Jakarta: Ciputat Pers, 2002). Suara Muhammadiyah, Edisi
Sabtu, 9 Februari 2008
Syamsi Sumardjo, Pengetahuan Muhammadiyah dengan Tokoh-tokohnya dalam
Kebangunan Islam (Yogyakarta: P.B. Muhammadyah, 1976)

Syed Sajjad dan Syed Ali Ashraf, Crist in Muslim Education (Jeddah: Hodder
and Stonghton 1979)

Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006

Weinata Sairin, Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah (Jakarta: Pustaka SInar


Harapan, 1995)

Winarno SUrakhmad, dkk, Reformasi Pendidikan Muhammadiyah Suatu


Keniscayaan (Yogyakarta: Pustaka Suara Muhammadiyah, 2003)

Yunus Salam, K.H. Ahmad Dahlan Reformer Islam Indonesia (Jakarta:


Djajamurni, 1963).

23

Anda mungkin juga menyukai