Anda di halaman 1dari 29

PEMIKIRAN PENDIDIKAN K. H.

AHMAD DAHLAN DAN


HADRATUSSYAIKH K. H. HASYIM ASY’ARI
Oleh: Ali Rif’an

A. PENDAHULUAN
Pendidikan Islam senantiasa menjadi sebuah kajian yang menarik bukan
hanya karena memiliki kekhasan tersendiri, namun juga karena kaya akan konsep-
konsep yang tidak kalah bermutu dibandingkan dengan pendidikan modern. Dalam
khasanah pemikiran pendidikan Islam, kita temukan tokoh-tokoh besar dengan ide-
idenya yang cerdas dan kreatif yang menjadi inspirasi dan kontribusi yang besar
bagi dinamika pendidikan Islam di Indonesia.
Salah satu peran ulama sebagai tokoh Islam yang patut di catat adalah posisi
mereka sebagai kelompok terpelajar yang membawa pencerahan kepada
masyarakat sekitarnya. Berbagai lembaga pendidikan telah di lahirkan oleh mereka
baik dalam bentuk sekolah maupun pondok pesantren. Semua itu adalah lembaga
yang ikut mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan
berpendidikan. Mereka telah berperan dalam memajukan ilmu pengetahuan,
khususnya Islam lewat karya-karya yang telah ditulis atau melalui jalur dakwah
mereka.
Adapun tantangan yang di hadapi pendidikan Islam di masa awal masuknya
Islam ke Indonesia barangkali adalah kurangnya pemahaman pemeluk Islam baru
akan pengetahuan agama Islam. Tersebarnya agama Islam ke Nusantara
menimbulkan kebutuhan akan guru-guru, juru dakwah untuk menganjurkan
prinsip-prinsip agama baru tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
Islam itu muncullah pusat-pusat pembelajaran agama Islam, dalam bentuk
pengajaran individual maupun secara kelompok (padepokan atau pesantren).
Pendidikan Islam dalam bentuk padepokan (pesantren ini berlangsung
cukup lama sampai akhirnya timbul tantangan baru yaitu berdirinya sekolah
Belanda. Sekolah Belanda ini dikembangkan oleh pemerintah kolonial untuk
menghasilkan tenaga kantor tingkat rendah, dengan gaji jauh lebih murah. Akhirnya
muncul pendidikan model tradisional yaitu pesantren, sekolah Belanda dan juga
madrasah sebagai respon pembaharuan pendidikan dengan model sekuler Belanda.

1
Modernisasi pendidikan ini terus berlanjut hingga akhirnya ada sekelompok Muslim
yang mendirikan sekolah Islam, suatu bentuk pendidikan Islam yang sepenuhnya
mengadopsi bentuk dan kurikulum sekolah kolonial Belanda. Munculnya model ini
bukan berarti bentuk pendidikan Islam yang lama menjadi hilang. Yang lama masih
tetap ada dan berdampingan dengan bentuk pendidikan Islam yang baru. Sehingga
di kalangan masyarakat muslim ada tiga bentuk lembaga pendidikan Islam yaitu
pesantren, madrasah (kurikulum lebih berat ke pendidikan agama dengan bangku
dan papan tulis) dan sekolah Islam yang ketiganya bertahan sampai sekarang.
Pemikiran dan perjuangan KH. Hasyim Asyari dan KH. Ahmad Dahlan yang
kiprah dan perjuangannya begitu sentral, utamanya di dalam bidang pendidikan
telah menentukan arah pendidikan di tanah air, sebuah pendidikan yang berbasis
keislamaan namun tetap sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman (al-
muhafazhah alal qadim as-Shalih wal akhdu al-jadid al-aslah).
Untuk mengapresiasi setinggi-tingginya perjuangan dan pemikiran kedua
tokoh perjuangan ini, penulis akan berusaha sebaik mungkin, namun ringkas dalam
mengupas sepak terjang dan perjuangan kedua tokoh tersebut dalam mewarnai dan
menentukan arah dan tipologi pendidikan di Indonesia yang mencakup tentang
biografi beliau, pemikiran dan kontribusinya bagi pendidikan Islam di Indonesia

B. K. H. AHMAD DAHLAN; BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA


1. Riwayat Hidup K.H Ahmad Dahlan
Seperti yang kita ketahui bahwa penulisan riwayat hidup K.H. Ahmad
Dahlan telah banyak dilakukan oleh para sarjana.1 K.H. Ahmad Dahlan lahir di
Kauman Yogyakarta pada tahun 1868. Nama kecilnya adalah Muhammad
Darwisy dan merupakan anak keempat dari K.H. Abu Bakar (seorang ulama dan
khatib terkemuka di Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) 2 dan ibunya

1 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942I (Jakarta: LP3ES, 1995).Hlm. 3. M.
Yusron Asrofie, K.H. Ahmad Dahlan Pemikiran dan Kepemimpinannya (Yogyakarta: Offset, 1983).
Yunus Salam, K.H. Ahmad Dahlan Reformer Islam Indonesia (Jakarta: Djajamurni, 1963). Arbiyah
Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993). Weinata
Sairin, Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah (Jakarta: Pustaka SInar Harapan, 1995). M. Margono
Poesposuwarno, Gerakan Islam Muhammadiyah (Yogyakarta: Persatuan Offet, 1995). Alwi Shihab,
Membendung Arus Resopn Gerakan Muhammdiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia
(Bandung: Mizan, 1998).
2 H.M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan

157 Ulama Nusantara, (Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2010). Hlm. 180

2
merupakan putrid dari H. Ibrahim yang menjabat sebagai penghlu kesultanan
juga.3 Ia merupakan anak keempat dari tujuh ornag bersudara yang keseluruhan
saudaranya perempuan kecuali adik bungsunya.
Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang keduabelas dari maulana malik
Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo,
yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di
tanah Jawa. Ia dikenal jujur dan sederhana dan inilah yang membuatnya disukai
orang. Untuk mempelajari ilmu-ilmu agama ia berpindah dari satu sekolah ke
sekolah lainnya. Ia mempunya sikap kritis terhadap pola pendidikan tradisional,
tetapi tidak punya kekuatan untuk mengubahnya. Dalam keadaan seperti ini Ia
beruntung memproleh kesempatan melanjutkan pendidikannya ke Mekah pada
tahun 1890.4 Di sinilah Ia berinteraksi dengan pemikir-pemikir pembaharu
dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afgani, Rasyid RIdha, dan Ibnu
Taimiyah. Pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunya pengaruh yang besar
padanya. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan ini
sehingga kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sama, yaitu
melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman
keagamaan (ke-Islaman) di sebagian dunia Islma saat itu yang masih bersifat
ortodoks.
Melalui kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, telah membuka
wawasan beliau tentang universalitas Islam. Ide-ide tentang reenterpretasi Islam
dengan gagasan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah mendapat perhatian
khususnya saat itu. Ia juga merupakan murid Syaikh Ahmad Khatib (1899-1916),
tokoh kelahiran Indonseia yang saat itu menempati posisi tertinggi dalam
penguasaannya atas ilmu-ilmu agama di Mekkah.5 Dalam pendidikan keagamaan
formalnya sebagian besar waktu K.H. Ahmad Dahlan tampaknya dihabiskan

3 Delia Noer Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1995), h. 48
4 Musthafa Kamal Pasha, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam untuk Angkatan Muda (Yogyakarta:
Persatuan, 1975), h. 8-9
5 Ahmad Khatib aslinya adalah orang Bukittinggi, Sumatra Barat, yang pergi ke Mekkah pada 1876

untuk melanjutkan sekolahnya. Dia dikenal sebagai orang yang sangat kritis terhadap berbagai
kebijakan pemerintah colonial Belanda dan bersikap tidak bersahabat kepada Hurgronje ketika yang
terakhir ini berada di Mekkah. Di antara murind-muridnya adalah ulama terkenal K.H. Hasyim
Asy’ari, pendiri Pesantren Tebuireng dan belakangan pendiri organisasi kaum tradisionalis NU.
Lihat: Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya (Jakarta: Lentera,
1999), h. 245

3
untuk mempelajari ajaran Islam tradisionalis, karena itu perkenalannya dengan
gagasan-gagasan modernisme Islam kemungkinan terjadi lewat bacaan pribadi
dan hubungannya dengan kaum moerdenis Muslim lain.
Sekembalinya dari Mekkah tahun 1905. Ia menikah dengan Siti Walidah,
anak perempuan seorang hakim di Yogyakarta yang kelak dikena dengan Nyai
Ahmad Dahlan,6 seorang Pahlawan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Karena gajinya
sebagai khatib tidak mencukupi untuk memenuhi keperluannnya sehari-hari, ia
berdagang batik. Ini membawanya ke hampir semua daerah di Jawa dan
memberinya kesempatan untk menyampaikan gagasan-gagasannya kepada
kaum Muslim yang menonjol di daerah masing-masing. Mereka inilah yang
belakangan menjadi bagian inti gerakan Muhammadiyah dan pengikutnya yang
bersemangat.7 K.H. Ahmad Dahlan juga bergabung dengan organisasi Jam’iyatul
Khair,8 Budi Utomo,9a nggota teras Sarekat Islam hingga akhirnya di Yogyakarta
pada tanggal 18 November 1912 lahirlah Muhammadiyah sebagai gerakan umat
Islam. dan sejak awal K.H. Ahmad Dahlan menetapkan bahwa Muhammadiyah
bukan organisasi politik tetapi bersifat social dan bergerak di bidang pendidikan.
K.H. Ahmad Dahlan berpulang ke rahmatullah pada tanggal 23 Februari 1923
dalam usia 55 tahun.
2. Pemikiran Pendidikan Islam K. H. Ahmad Dahlan
Buya (K.H. Ahmad Dahlan) merasa tidak puas dengan system dan praktik
pendidikan saat itu, dibuktikan dengan pandangannya mengenai tujuan
pendidikan adalah untuk menciptakan manusia yang baik budi, luas pandangan,

6 Mastuki HS dan M. Ishom El Saha, Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran
di Era Perkembangan Pesantren Jilid 2. (Jakarta: Diva Pustaka, 2004) Cetatak Kedua. Hlm. 312. Lebih
Lanjut, dalam sejarahnya, K.H. Ahmad Dahlan pernah menikahi beberapa Wanita yaitu Nyai Abdallah
Janda dari H. Abdallah, JUga pernah menikah dengan Nyai Rumu (bibi Prof. A. Kahar Muzakar) adik
ajegan Penghulu Cianjur. Dan juga pernah menikah dengan Nyai Solekhah, putrid Kanjeng Penghulu
M. Syafi’i.
7 Syamsi Sumardjo, Pengetahuan Muhammadiyah dengan Tokoh-tokohnya dalam Kebangunan Islam

(Yogyakarta: P.B. Muhammadyah, 1976), h. 4.


8 Penggerak kebangkitan Islam di Jawa yang pertama adalah perkumpulan Jam’iat Khair yang berdiri

di Jakarta pada tahun 1905. dari perkumpulan inilah bermunculan tokoh-tokoh baru Islam dan
mendirikan berbagai perkempulan seperti Muhammadiyah, al-Irsyad, dll. K.H. Ahmad Dahlan adalah
salah seorang anggotanya dengan nomor anggota 770.
9 Ketika bergabung, kepedulian utama K.H. Ahmad Dahlan adalah untuk memasukkan dimensi

keagamaan ke dalam organisasi yang watak utamanya secular itu. Beliau ingin menyebarkan nilai-
nilai keagamaan di kalangan anggota organisasi ini, yang dikenal luas sebagai sangat intelek tetapi
komitmennya kepada Islam sangat kurang. Lihat: Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, Ibid, hlm. 86.

4
dan bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat. 10 Karena itu Buya
merentaskan beberapa pandangannya mengenai pendidikan dalam bentuk
pendidikan model Muhammadiyah khususnya, antara lain:
a) Pendidikan Integralistik
K.H Ahmad Dahlan (1868-1923) adalah tipe man of action sehingga sudah
pada tempatnya apabila mewariskan cukup banyak amal usaha bukan tulisan.
Oleh sebab itu untuk menelusuri bagaimana orientasi filosofis pendidikan
Beliau musti lebih banyak merujuk pada bagaimana beliau membangun sistem
pendidikan. Namun naskah pidato terakhir beliau yang berjudul Tali Pengikat
Hidup menarik untuk dicermati karena menunjukkan secara eksplisit konsen
Beliau terhadap pencerahan akal suci melalui filsafat dan logika.
Sedikitnya ada tiga kalimat kunci yang menggambarkan tingginya minat
Beliau dalam pencerahan akal, yaitu: (1) pengetahuan tertinggi adalah
pengetahuan tentang kesatuan hidup yang dapat dicapai dengan sikap kritis
dan terbuka dengan mempergunakan akal sehat dan istiqomah terhadap
kebenaran akali dengan di dasari hati yang suci; (2) akal adalah kebutuhan
dasar hidup manusia; (3) ilmu mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi
bagi akal manusia yang hanya akan dicapai hanya jika manusia menyerah
kepada petunjuk Allah swt.
Pribadi K.H. Ahmad Dahlan adalah pencari kebenaran hakiki yang
menangkap apa yang tersirat dalam tafsir Al-Manaar sehingga meskipun tidak
punya latar belakang pendidikan Barat tapi ia membuka lebar-lebar gerbang
rasionalitas melalui ajaran Islam sendiri, menyerukan ijtihad dan menolak
taqlid. Dia dapat dikatakan sebagai suatu “model” dari bangkitnya sebuah
generasi yang merupakan “titik pusat” dari suatu pergerakan yang bangkit
untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi golongan Islam yang
berupa ketertinggalan dalam sistem pendidikan dan kejumudan paham agama
Islam.
Berbeda dengan tokoh-tokoh nasional pada zamannya yang lebih
menaruh perhatian pada persoalan politik dan ekonomi, K.H. Ahmad Dahlan
mengabdikan diri sepenuhnya dalam bidang pendidikan. Titik bidik pada dunia

10 Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, hlm.95-96

5
pendidikan pada gilirannya mengantarkannya memasuki jantung persoalan
umat yang sebenarnya. Seiring dengan bergulirnya politik etis atau politik
asosiasi (sejak tahun 1901), ekspansi sekolah Belanda diproyeksikan sebagai
pola baru penjajahan yang dalam jangka panjang diharapkan dapat menggeser
lembaga pendidikan Islam semacam pondok pesantren. Pendidikan di
Indonesia pada saat itu terpecah menjadi dua: pendidikan sekolah-sekolah
Belanda yang sekuler, yang tak mengenal ajaran-ajaran yang berhubungan
dengan agama; dan pendidikan di pesantren yang hanya mengajar ajaran-
ajaran yang berhubungan dengan agama saja.
Dihadapkan pada dualisme sistem (filsafat) pendidikan ini K.H. Ahmad
Dahlan “gelisah”, bekerja keras sekuat tenaga untuk mengintegrasikan, atau
paling tidak mendekatkan kedua sistem pendidikan itu. Cita-cita pendidikan
yang digagas Beliau adalah lahirnya manusia-manusia baru yang mampu tampil
sebagai “ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang muslim yang
memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani. Dalam
rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, K.H. Ahmad
Dahlan melakukan dua tindakan sekaligus; memberi pelajaran agama di
sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri
di mana agama dan pengetahuan umum bersama-sama diajarkan. Kedua
tindakan itu sekarang sudah menjadi fenomena umum; yang pertama sudah
diakomodir negara dan yang kedua sudah banyak dilakukan oleh yayasan
pendidikan Islam lain. Namun, ide Beliau tentang model pendidikan
integralistik yang mampu melahirkan muslim ulama-intelek masih terus dalam
proses pencarian.
Sistem pendidikan integralistik inilah sebenarnya warisan yang musti kita
eksplorasi terus sesuai dengan konteks ruang dan waktu, masalah teknik
pendidikan bisa berubah sesau dengan perkembangan ilmu pendidikan atau
psikologi perkembangan. Dalam rangka menjamin kelangsungan sekolahan
yang ia dirikan maka atas saran murid-muridnya Beliau akhirnya mendirikan
persyarikatan Muhammadiyah tahun 1912. Metode pembelajaran yang
dikembangkan K.H. Ahmad Dahlan bercorak kontekstual melalui proses
penyadaran. Contoh klasik adalah ketika Beliau menjelaskan surat al-Ma’un

6
kepada santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri itu menyadari
bahwa surat itu menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong
fakir-miskin, dan harus mengamalkan isinya. Setelah santri-santri itu
mengamalkan perintah itu baru diganti surat berikutnya. Ada semangat yang
musti dikembangkan oleh pendidik Muhammadiyah, yaitu bagaimana
merumuskan sistem pendidikan ala al-Ma’un sebagaimana dipraktekan K.H.
Ahmad Dahlan . Anehnya, yang diwarisi oleh warga Muhammadiyah adalah
teknik pendidikannya, bukan cita-cita pendidikan, sehingga tidak aneh apabila
ada yang tidak mau menerima inovasi pendidikan. Inovasi pendidikan dianggap
sebagai bid’ah. Sebenarnya, yang harus kita tangkap dari K.H. Ahmad
Dahlan adalah semangat untuk melakukan perombakan atau etos pembaruan,
bukan bentuk atau hasil ijtihadnya.
b) Mengadopsi Substansi dan Metodologi Pendidikan Modern
Yaitu mengambil beberapa komponen pendidikan yang dipakai oleh
lembaga pendidikan Belanda. Dari ide ini, K.H. Ahmad Dahlan dapat menyerap
dan kemudian dengan gagasan dan prektek pendidikannya dapat menerapkan
metode pendidikan yang dianggap baru saat itu ke dalam sekolah yang
didirikannya dan madrasah-madrasah tradisional. Metode yang ditawarkan
adalah sintesis antara metode pendidikan modern Barat dengan tradisional.
Dari sini tampak bahwa lembaga pendidikan yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan
berbeda dengan lembaga pendidikan yang dikelola oleh masyarakat pribumi
saat ini. Sebagai contoh, K.H. Ahmad Dahlan mula-mula mendirikan SR di
Kauman dan daerah lainnya di sekitar Yogyakarta, lalu sekolah menengah yang
diberi nama al-Qism al-Arqa yang kelak menjadi bibit madrasah Mu’allimin dan
Mu’allimat Muhammadiyah Yogyakarta. Sebagai catatan, tujuan umum lembaga
pendidikan di atas baru disadari sesudah 24 tahun Muhammadiyah berdiri, tapi
Amir Hamzah menyimpulkan bahwa tujuan umum pendidikan Muhammadiyah
menurut K.H. Ahmad Dahlan adalah:11
1. Baik budi, alim dalam agama
2. Luas pandangan, alim dalam ilmu-ilmu dunia (umum)
3. Bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya

11 Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam (Jember, Mutiara
Offset, 1985), hlm. 92.

7
Mungkin ada benarnya jika dikaitkan dengan latar belakang timbulnya
pemikiran pendidikan Islam K.H. Ahmad Dahlan yang antara lain disebabkan
oleh rasa tidak puas terhadap system pendidikan yang ada dan hanya
mengembangkan salah satu bidang pengetahuan dari kedua pengetahuan yang
ingin dirangkul oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya. Ijtihad
pemikiran pendidikan yang dicetuskan K.H. Ahmad Dahlan melalui gagaan dan
praktek pendidikan Islamnya merupakan cikal bakal dan dijadkan estafet dalam
pembaharuan system pendidikan Muhammadiyah, sebagai contoh “pondok
Muhammadiyah”. Ada empat pokok model pembaharuan pendidikan di Pondok
Muhammadiyah antara lain: 12

No. Sistem Pendidikan Lama Pondok Muhammadiyah


1 System belajar mengajar Sistem klasikal dengan cara-cara Barat.
Weton dan Sorogan.
Bahan pelajaran semata-mata Bahan pelajaran tetap, ditambah ilmu
2 agama, kitab-kitab karangan pengetahuan umum. Kitab-kitab
ulama pembaharuan tidak agama dipergunakan secara luas, baik
dipergunakan. klasik maupun kontemporer.13
3 Belum ada RP yang teratur dan Sudah diatur dengan RP.
integral.
4 Hubungan guru dan murid Diusahakan suasana hubungan guru
. lebih bersifat otoriter dan dan murid lebih akrab bebas dan
kurang demokratis. demokratis.

Dalam pendidikan di pondok Muhammadiyah mata pelajaran agama


dan alat untuk mempelajari agama sebagai mata pelajaran pokok. Program
pendidikan pondok Muhammadiyah berbeda dengan sekolah Muhammadiyah.
Pondok Muhammadiyah menekankan hal keagamaan . sementara sekolah kelas
I dan II yang dikelola Muhammadiyah, pendidikan agama hanya sebagai mata
pelajaran suatu bidang studi yaitu mata pelajaran Agama Islam. Mata pelajaran
ini disampaikan pada suatu kelas tertentu dnegna waktu yang ditetapkan.

12Ibid, h. 98-108
13Bahan pelajaran tersebut di samping pelajran Qur’an dan hadis adalah kitab-kitab fiqh (mazhab
Syafi’i), ilmu tasawuf (al-Ghazali), Ilmu kalam (ulama-ulama Ahl Sunnah) ditambah dengan kitab
Risalah al-Tauhid (Muhammad Abduh), kitab Jalalain dan al-Manar. Sedangkan pengetahuan
umumnua meliputi: ilmu sejarah, berhitung, menggambar bahasa Melayu, bahasa Belanda dan
Inggris. Lihat: Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan, h. 122-123.

8
Sekolah Muhammadiyah pada awal abad ke-20 sudah menerapkan
system ulangan, absensi murid dan kenaikan kelas. Sementara itu, ujian dipakai
sebagai pengukur kecakapan murid. Pendidikan Muhammadiyah juga ditunjang
dengan beberapa kegiatan di luar jam pelajaran dan guru dihormati secara
wajar. K.H. Ahmad Dahlan telah membawa pembaharuan pendidikan waktu itu
melalui Muhammadiyah baik dengan memasukkan mata pelajaran agama di
sekolah-sekolah umum dan menyerap ilmu-ilmu yang datang dari Barat, serta
memasukkan kitab-kitab ulama baru ke dalam kurikulumnya. Semuanya itu
mengundang munculnya berbagai kecaman terhadap beliau. Ada yang
menuduh sebagai murtad, kreisten, penganut paham mu’tazilah, kharijiah, dsb.
Bahkan sampai tahun 1933 disebutkan bahwa sekolah Muhammadiyah sebagai
sekolah kebelanda-belandaan atau kebarat-baratan. Namun Muhammadiyah
tetap bisa bertahan dan hingga saat ini mewajikan pembelajaran pengetahuan
keIslaman yang disebut al-Islam dan keMuhammadiyahan, dengan mengajarkan
Islam versi Majlis Tarjih.
c) Memberi Muatan Pengajaran Islam pada Sekolah-sekolah Umum Modern
Muhammadiyah baru memutuskan meminta kepada pemerintah agar
memberi izin bagi orang Islam untuk mengajarkan agama Islam di sekolah-
sekolah Goebernemen pada bulan April 1922. sebenarnya sebelum
Muhammadiyah didirikan ini sudah diusahakan namun baru mendapat izin saat
itu. Hingga akhirnya Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah swasta yang
meniru sekolah Gubernemen dengan pelajaran agama di dalamnya. 14 Tujuan
pokok organisasi dan pendirian lembaga pendidikan menjadi orientasi utama
K.H. Ahmad Dahlan sehingga berusaha untuk menandingi sekolah
pemerintahan Belanda dengan mengikuti contoh misi Kristen dengan
menyebarkan fasilitas dan mendesakkan pengalaman iman. 15] Sekolah Dasar

14 Karel. K. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta: LP3ES, 1994) hlm. 54-55
15 K.H. Ahmad Dahlan sering mengajak murid-muridnya mengunjungi gereja dan sekolah-sekolah
misi untuk menunjukkan dedikasi tinggi yang diberikan oleh para misionaris terhadap tugas-tugas
baik yang bersifat keagamaan maupun social. Tujuan akhirnya adalah untuk meningkatkan semangat
juang para muridnya. Lihat juga Robert van Neil, From Netherlands East Indies to Republic of
Indonesia 1900-1945, dalam Harry Aveling (ed), The Development of Indonsesian Society (New York:
St. Artin Press, 1980) hlm. 85.

9
Belada dengan al-Qur’an didirikan dari keterkesanannya terhadap kerja para
misionaris Kristen dan SD Belanda dengan Alkitabnya. 16
Sekolah Muhammadiyah mempertahankan dimensi Islam yang kuat,
tetapi dilakukan dengan cara yang berbeda dengan sekolah-sekolah Islam yang
lebih awal dengan gaya pesantrennya yang kental. Dengan contoh metode dan
system pendidikan baru yang diberikannya. K.H. Ahmad Dahlan juga ingin
memodernisasi sekolah keagamaan tradisional.17 Untuk meningkatkan kualitas
pendidikan Islam, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah Muallimin dan
Muallimat, Muballighin dan Muballighat. Dengan demikian diharpakan lahirlah
kader-kader Muslim sebagai bagian inti program pembaharuannya yang bisa
menjadi ujung tombak gerakan Muhammadiyah dan membantu menyampaikan
misi-misi dan melanjutkannya di masa depan. K.H. Ahmad Dahlan juga bekerja
keras meningkatkan moral dan posisi kaum perempuan dalam kerangka Islam
sebagai instrument yang efektif dan bermanfaat di dalam organisasinya karena
perempuan merupakan unsur penting berkat bantuan istri dan koleganya
sehingga terbentuklah Aisyiah.
d) Menerapkan Sistem Kooperatif dalam Bidang Pendidikan
Kita dapat melihat adanya kerjasama yang harmonis antara
pemerintahan Belanda dengan Muhammadiyah. 18 Keduanya sama-sama

16 Alfian Muhammadiyah, hlm. 150. Lihat juga Arifin, Muhammadiyah , hlm. 64-66
17 Kata “pesantren” secara harfiah berarti tempat atau sekolah untuk santri. Kata santri pada
mulanya berarti para siswa yang belajar di sekolah-sekolah Islam. meskipun demikian, dalam
masarakat Jawa, kata ini memperoleh makna yang lebih luas. Kata ini dulu, dan hingga sekarang
masih digunakan untuk menunjuk kelompok kaum muslaim ortodoks yang taat menjalankan
perintah-perintah agama. Karena itu, pesantren bukanlah sebagaiman ayang digambarkan Geertz
sebagai sekolah kelompok religius yang kesalehannya mencerminkan produk sintesis antara Islam
dan agama Jawa para-Islam yang jauh dari ortodoksi Islam. pada kenyatannya, pesantren dibangun
sebagai dan perlahan-lahan berkembang menjadi jantung Islam ortodoks di wilayah pedesaan di
seluruh Indonseia, meskipun disebut dengan nama-nama yang berbeda. Pendidikan yang diberikan
disekolah-sekolah ini, setidak-tidaknya hingga berdirinya Muhammadiyah, hanya terdiri dari ilmu
agama. Pengajaran diberikan dengan cara yang tidak formal, dengan cara para murid duduk
mengelilingi guru mereka (halaqah). Muhammadiyah berdiri untuk memodernisasikan lembaga-
lembaga ini, dengan memasukkan pengajaran ilmu-ilmu sekuler dan penerapan system pengajaran
baru. Bahkan dapat dikatakan, salah satu sumbangan khas Muhammadiyah dalam bidang
pendidikana adalah dengan mengadakan pendidikan Islam yang melampaui system pendidikan
pesantren yang tradisionalis ini. Lihat, Clifford Geertz, The Religion of Java (New York: The free Press
of Glencoe, Inc., 1961), hlm. 125.
18 Setelah dapat dipastikan, bahwa Muhammadiyah bersika kooperatif. Pemerintahan Hindia

Belanda memberikan penghargaan atas itu semua, berupa perangko pos yang berlogokan
Muhammadiyah dan K.H. Ahmad Dahlan. Ini merupakan salah satu kunci keberhasilan K.H. Ahmad
Dahlan dalam merealisasikan program pembaharuan pendidikannya di Indonesia saat itu.

11
memperoleh keuntungan. Pertama, dari sikap non oposisional. Kedua,
mendukung program pembaharuan keagamaan termasuk di dalam bidang
pendidikan. Sikapnya yang akomodatif dan kooperatif memberikan ketentuan
mutlak untuk bertahan hidup di tengah iklim yang sangat tidak ramah terhadap
gerakan nasionalis pribumi dan disaat tidak satupun gerakan yang sebanding
dengannya dapat bertahan saat itu. Sehingga K.H. Ahmad Dahlan dapat masuk
lebih dalam pada lingkungan pendidikan kaum misionaris yang diciptakan oleh
pemerintah Belanda, yang saat itu lebih maju kedepan dari pada sistem
penddikan pribumi yang tradisional. 19
Dari uraian tersebut di atas, ada beberapa catatan yang direntaskan
oleh buya,20 antara lain:
a) Membawa pembaruan dalam bentuk kelembagaan pendidikan, yang semula
seistem pesantren menjadi system sekolah.
b) Memasukkan pelajaran umum kepada sekolah-sekolah keagamaan atau
madrasah.
c) Mengadakan perubahan dalam metode pengajaran, dari yang semula
menggunakan metode weton dan sorogan menjadi lebih bervariasi.
d) Mengajarkan sikap hidup terbuka dan toleran dalam pendidikan.
e) Dengan Muhammadiyahnya buya berhasil mengembangkan lembaga
pendidikan yang beragam dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi dan
dari yang berbentuk sekolah agama hingga yang berbentuk sekolah umum.
f) Berhasil memperkenalkan manajemen pendidikan modern ke dalam system
pendidikan yang dirancangkannya.
g) Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah
Ada banyak hal yang menjadikan K.H. Ahmad Dahlan sebagai pembaharu, di
antaranya yaitu:
1. Melakukan purifikasi ajaran Islam dari khurafat tahayul dan bid’ah yang
selama ini telah bercampur dalam akidah dan ibadah umat Islam, dan
mengajak umat Islam untuk keluar dari jarring pemikiran teradisional

19 Ini menjadi pe-er besar bagi kita bersama untuk menindaklanjuti yang dilakukan K.H. Ahmad
Dahlan dengan melakukan studi komparatif antara system pendidikan Kristen dan system
pendidikan Islam sehingga diharapkan akan tercipta sebuah paradigma baru bagi dunia pendidikan
Islam.
20 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 208

11
melalui reinterpretasi terhadap doktrin Islam dalam rumusan dan
penjelasan yang dapat diterima oleh rasio.21
2. Usaha dan jasanya mengubah dan membetulkan arah kiblat yang tidak tepat
menurut mestinya. Umumnya masjid-masjid dan langgar-langgar di
Yogyakarta menghadap Timur dan orang-orang shalat mengahadap kearah
Barat lurus. Padahal kiblat yang sebenarnya menuju Ka’bah dari tanah Jawa
haruslah iring kearah Utara + 24 derajat dari sebelah Barat. Berdasarkan
ilmu pengetahuan tentang ilmu falak itu, ornag tidak boleh menghadap kiblat
menuju Barat lurus, melainkan harus miring ke Utara + 24 derajat.22 Oleh
sebab itu, K.H. Ahmad Dahlan mengubah bangunan pesantrennya sendiri
supaya menuju kearah kiblat yang betul. Perubahan yang diadakan oleh K.H.
Ahmad Dahlan itu mendapat tantangan keras dari pembesar-pembesar
masjid dan kekuasaan kerajaan.
3. Mengajarkan dan menyiarkan agama Islam dengan popular, bukan saja di
pesantren, melainkan ia pergi ke tempat-tempat lain dan mendatangi
berbagai golongan. Bahkan dapat dikatakan bahwa K.H. Ahmad Dahlan
adalah bapak Muballig Islam di Jawa Tengah, sebagaimana syekh M. Jamil
Jambek sebagai bapak Muballigh di Sumatra Tengah.23
4. Mendirikan perkumpulan Muhammadiyah yang tersebar di seluruh
Indonesia sampai sekarang.

C. K.H. HASYIM ASY’ARI; BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA


1. Riwayat Hidup K.H. Hasyim Asy’ari

K.H. Hasyim Asy’ari nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim bin


Muh Asy’ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim bin
A b d u r a h m a n b i n Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatih bin
Maulana ‘Ainul Yaqin (sunan Giri) bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik
Ibrahim (Sunan Gresik). Hasyim Asy’ari lahir di desa Gedang, Jombang Jawa
Timur sebuah desa yang terletak d i s e b e l a h u t a r a K o t a J o m b a n g , p a d a
hari Selasa Kliwon, pada tanggal 24 Dzulqaidah 1287,

21 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, h. 103-104


22 Mastuki HS dan M. Ishom El-Saha, Intelektualisme Pesantren .. Ibid. Hlm. 312
23 Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, h. 276.

12
bertepatan pada tanggal 14 Februari 1871. K.H. Hasyim
Asy’ari adalah seorang pendiri sekaligus pemimpin atau
p e n g a s u h p o n d o k Pesantren Tebuireng Jombang yang didirikan pada
tanggal 6 Februari 1906 M. Selain itu beliau merupakan perintis dan
pendiri organisasi kemasyarakatan NU (Nahdlatul Ulama) sekaligus
sebagai rais akbar. 24 K.H. Hasyim Asy’ari w a f a t p a d a t a n g g a l 2 5
J u l i 1 9 4 7 M / 7 R a m a d h a n 1 3 6 6 H d i T e b u i r e n g Jombang
dalam usia 79 tahun.25
Dalam buku yang lain, Hasyim Asy;ari Dilahirkan dalam keluarga elit kiai
Jawa dengan nama kecil Muhammad Hasyim lahir pada 24 Dzul Qa’dah 1287
atau 14 Pebruari 1871 di desa Gedang, sebelah timur kota Jombang. Ayahnya
bernama Kiai Asy’ari yang mendirikan pesantren Keras di Jombang, sedangkan
kakeknya Kiai Usman adalah kiai terkenal pendiri pesantren Gedang diakhir
abad ke-19. Dia merupakan cicit Kiai Sihah, pendiri pesantren Tambak Beras
Jombang. Ayah Kiai Hasyim berasal dari Tingkir dan merupakan keturunan
Abdul Wahid dari Tingkir. Dipercayai bahwa mereka adalah keturunan raja
Muslim Jawa, Jaka Tingkir dan raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI. Dari hal itu,
maka K.H. Hasyim Asy’ari dipercayai sebagai keturunan bangsawan. Ibunda
Muhammad Hasyim bernama Halimah, putrid da’i Kyai
Usman, pendiri Pesantren Gedang yang didirikan pada akhir abad ke -
19). 26
Muhammad H a s y i m m e r u p a k a n p u t r a k e t i g a d a r i
11 bersaudar.Sejak masih b a y i , Muhammad Hasyim
sudah tingga l di Pesantren Ged ang milik kakeknya dari pihak
ibu, yaitu Kiai Usman, kar ena ayahnya Muhammad Asy ’ari
d i s e r a h i menjadi lurah pondok di Pesantren Gedang. Sejak itu juga
beliau mendapatkan p e n d i d i k a n a g a m a b a i k d a r i i b u , a y a h d a n

24 Samsun Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis dan praktis , (Jakarta:
Ciputat Press, 2002), hal. 154.
25 Muhammad Asad Siyab, Hadlaratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari : Perintis
Kemerdekaan Indonesia, alih bahasa A. Mustafa Bisri, cet I, Yogyakarta : Titian Ilahi Press dan Kurnia
Alam Semesta,1994), hal. 73
26 Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Kebangunan Ulama, Biografi K.H. Hasyim Asy’ari (Yogyakarta:

LKiS, 2000), hal. 14 lihat juga Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama
(Solo: Jatayu Sala, 1985), hal. 56-58.

13
k a k e k n y a w a l a u p u n b a r u s e b a t a s mendengar alunan merdu suara Al-
Qur’an dari mereka.
Pada tahun 1309 H./1893 M. K.H. Hasyim Asy’ari kembali ke
Makkah bersama adik kandungnya yang bernama Anis. Hasyim Asy’ari kembali
menetap d a n menuntut ilmu agama lagi kebeberapa
u l a m a - u l a m a b e s a r . D a l a m perjalanannya menuntut ilmu di
Makkah itu, Hasyim Asy’ari berjumpa dengan b e b e r a p a t o k o h y a n g
selanjutnya dijadikan sebagai gurunya dalam berbagai
disiplin ilmu agama Islam. Di antara guru Hasy im Asy’ari di
M a k k a h a d a l a h Syekh Mahfud al-Tarmasy, 27 putra Kiai Abdullah,
pemimpin Pesantren Tremas Pacitan. Dari Syekh Mahfud ini Hasyim
Asy’ari belajar Shahih Bukhari, hal itu dikarenakan Syekh Mahfud sendiri
terkenal sebagai seorang ahli Hadis Bukhari, khususnya di kalangan kiai di
Jawa. Selain dengan Syekh Mahfud al-Tarmasy, KH. Hasyim Asy’ari
juga berguru kepada Syaikh al-Allamah Abdul Hamid al-D a r u s t a n i ,
Syaikh Muhammad Syua’ib Al -Magribi, Syaikh Ahmad Amin al -
Athar, Syaikh Sayid Yamani, Sayyid Alawi ibn Ahmad al-Aaqqaf, Sayyid
AbbasMaliki, Sayid Abdullah al-Zawawy, Syaikh Saleh Bafadhal, dan
Syaikh SultanHasyim Dagastani.28
Melalui berbagai tokoh yang menjadi gurunya, KH.
H a s y i m A s y ’ a r i banyak menimba ilmu agama islam, antara lain Fiqih
dengan konsentrasi pada mazhab Syafi’i, ulum al-hadist, tauhid,
tafsir, tasawuf, ilmu-ilmu alat (nahwu, sharaf, mantiq, balaghah) dan
lain-lain. Dari berbagai ilmu agama tersebut K .H.Hasyim Asy’ari lebih
banyak memusatkan perhatian dan keahlianya pada hadist, terutama
kumpulan hadis Imam Muslim. Hal itu terjadi karena salah satu jalan
untuk memahami Islam, selain dengan mempelajari Al-Qur’an beserta

27 Syaikh Muhammad Mahfuz bin Abdullah bin Abdul Mannan bin Abdullah bin Ahmad at-
Tarmasi/Termas merupakan salah satu ulama’ Indonesia yang banyak menghasilkan karya dalam
berbagai disiplin ilmu. Syaikh Muhammad Mahfuz Termas lahir di Termas, Pacitan, Jawa Tengah,
pada 12 Jumadil Ula 1285 H/31 Agustus 1868 M, dan bermukim di Mekah sampai beliau wafat pada
1 Rajab 1338 H/ 20 Mei 1920 M. Lihat dalam Mastuki HS dan M. Ishom El-Saha, Intelektualisme
Pesantren . Ibid. Hlm. 103-111
28 Susatyo Budi Wibowo, Dahlan Asy’ari Kisah Perjalanan Wisata Hati, (Yogyakarta: Diva Press, 2011), hal.

110.

14
tafsirnyayang mendalam, juga perlu memiliki pengetahuan yang cukup dalam
bidang hadis dengan syarh dan hasyiyah. Hal ini yang membuat KH.
Hasyim Asy’ari banyak menarik perhatianya dalam bidang hadis. 29
K.H. Hasyim Asy’ari yang merupakan pendiri Pesantren Tebuireng adalah
seorang yang luar biasa. Di seluruh Jawa, para kyai mempersembahkan gelar
“Hadratus-Syeikh” yang artinya “Tuan Guru Besar”kepada beliau.30 Pesantren
Tebuireng pertama kali didirikan oleh K.H Hasyim Asy’ari di atas sebidang
tanah yang telah dibeli dari seorang dalang di desa Tebuireng, tepatnya pada
tanggal 26 Robiul Awal 1317 H atau sekitar tahun 1899 M. Pondok ini didirikan
dari sebuah teratak bambu luasnya hanya sekitar 10 meter persegi. Teratak ini
terbagi atas dua buah petak rumah, yang sebuah untuk tempat tinggal Kyai
Hasyim dan yang sebuah lagi digunakan sebagai tempat mengaji dan
sembahyang sholat. Murid yang bersamanya sekitar 8 orang yang dibawanya
sejak dari pesantren Keras, di bagian selatan Jombang tempat ia berasal. Dalam
tempo tiga bulan, 28 orang di Tebuireng menjadi santri Kyai Hasyim. 31
Namun, keputusan Kyai Hasyim untuk mendirikan pesantren baru ini
bukanlah tanpa maksud. Beliau mempunyai tujuan, yaitu untuk menyampaikan
dan mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya, dan menggunakan pesantren
sebagai sebuah agent social of change.
Patut dicatat bahwa di sana terdapat sebuah pabrik gula, yaitu Pabrik Gula
Cukir, kurang lebih berjarak 5 mil dari Pesantren Tebuireng, pabrik ini
didirikan oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1853. Pada masa itu, gula
merupakan sumber terpenting perdagangan luar negri bagi kaum kolonial.
Dalam konteks ini, berdirinya pesantren Tebuireng vis-à-vis pabrik milik orang
asing bisa dilihat bahwa berdirinya pesantren tersebut merupakan perlawanan
terhadap hegemoni Belanda.32

29 Abudin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia,(Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada, 2005), hal. 116
30 Zamakhsyari Dofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1994,

cet. Ke-6, hal 92.


31 Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng, Malang: Kalimasahada Press,

1993, cet. Ke-1, hal. 51.


32 Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke-1, hal. 234-

235.

15
Dia tidak hanya sebagai seorang pengajar, tetapi juga seorang penulis.
Karya-karyanya cukup banyak dan ditulis dalam bahasa Arab sebagaimana
umumnya karya-karya ulama tradisionalis Jawa yang lain. Karya-karya antara
lain Ziyadat Ta’liqat, At-Tanbihat al Wajibat Liman Yasna’u al Maulid bi al
Munkarat, Ar-Risalah al-Jami’ah, Annur al mubin fi Mahabbati Sayyid al
Mursalin, dan masih banyak yang lain. 33 Akan tetapi, karyanya yang paling
banyak dikenal di masyarakat pesantren dan NU adalah Qanun Asasi Nahdlatul
Ulama dan Adabu al- Alim wa al-Muta’allim.
.
2. Pemikiran Pendidikan Islam K.H. Hasyim Asy’ari
K.H. Hasyim Asy’ari dibesarkan dalam tradisi sufi dari golongan Sunni di
Jawa. Beliau belajar dan berkiprah di masyarakat pada masa munculnya
gerakan Wahabi dalam dunia Islam. Abad ke-19, di Jawa merupakan masa
transisi yaitu masa dialog antara golongan santri tradisional dengan golongan
modernis yang dipengaruhi oleh gerakan Wahabi dan Muhammad Abduh.
Golongan modernis menyatakan bahwa Islam di Jawa telah tertinggal jauh
karena salah menafsirkan Islam dengan tujuan sufi dan percampuran Islam
dengan budaya lokal. Slogan golongan modernis adalah kembali kepada al-
Qur’an dan Hadits, sedangkan misi mereka adalah memurnikan ajaran Islam
dari pengaruh-pengaruh budaya lokal.34
Meskipun sama-sama berguru kepada Ahmad Khatib di Makkah, namun
K.H. Hasyim Asy’ari berbeda dalam pemikiran dengan K.H. Ahmad Dahlan
pendiri Muhammadiyah yang menyatakan diri sebagai reformis. K.H. Hasyim
mewakili kelompok pelajar-pelajar Timur Tengah yang menentang ide-ide
reformis. K.H. Hasyim lebih dipengaruhi oleh guru-guru yang lain seperti
Syaikh Mahfuz at-Tirmisi, Imam Nawawi al-Bantani, dan Syaikh Ahmad Khatib
as-Sambasi. Dia lebih memilih meneruskan tradisi intelektual ketiga gurunya
tersebut dengan secara konsisten menjaga ajaran madzhab dan tarekat.
Meskipun begitu, K.H. Hasyim mengakui ide-ide Muhammad Abduh dalam

33 Ishomuddin Hadziq dalam Hasyim Asy’ari, Adabu al-Alim wa al- Muta’allim, Edisi Terjemah
(Yogyakarta: Qirtas, 2003).Hlm. xiii.
34 Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren Perhelatan agama dan Tradisi (Yogyakarta: LKiS,

2004), hal. 214.

16
menghidupkan kembali nilai-nilai Islam, namun dia menolak ide Abduh yang
lain, yaitu melepaskan diri dari bermadzhab. Bagi K.H. Hasyim, mustahil untuk
mendekati al-Qur’an dan Hadits dengan baik tanpa memahami dan
mempelajari kitab-kitab ulama abad pertengahan. Tanpa hal ini upaya
penafsiran al-Qur’an dan Hadits hanya merupakan pengikisan terhadap ajaran
Islam yang sesungguhnya.35
Pada tahun 1920-an, banyak ulama dan santri yang belajar kepada K.H.
Hasyim mengenai ilmu Hadits di pesantren Tebuireng, bahkan seorang ulama
yang paling berpengaruh di Jawa pada masa itu, yang juga guru dari K.H.
Hasyim, yaitu K.H. Khalil Bangkalan ingin berguru kepadanya dalam ilmu
hadits. Ketika kiai Khalil minta izin untuk menjadi muridnya, dengan santun
dia mengatakan bahwa kiai Khalil adalah gurunya dan selamanya akan tetap
menjadi gurunya. Hal yang demikian menunjukkan kerendahan hati kedua
ulama tersebut karena kiai Khalil dikenal sebagai seorang guru yang tiada
tandingannya, yang gemar berdebat untuk tujuan keilmuan melebihi
siapapun, dan hal itu sulit dimengerti ketika akhirnya sang Guru sangat
menghormati muridnya. Kerendahan hati adalah salah satu ciri penting dari
ulama pesantren.36
Uraian di atas menunjukkan bahwa K.H. Hasyim Asy’ari sangat fenomenal
pada masanya. Keputusannya untuk menempuh jalur intelektual bermadzhab
dan bertarekat, serta berdakwah secara kultural dengan jalan melakukan
perpaduan antara elemen-elemen Islam dengan budaya lokal menjadikan K.H.
Hasyim selain unik dan khas, juga menunjukkan bahwa dia adalah seorang
ulama yang mampu membaca jiwa zaman (situasi dan kondisi masa itu).
Kecintaannya terhadap ilmu, kepandaiannya mengajar, kearifan dan
kesabarannya terhadap murid, dan kerendahan hatinya terhadap guru
menjadi penting untuk ditelaah secara mendalam. Telaah itu untuk mengkaji
pemikiran-pemikirannya dalam dunia yang paling dia cintai, yaitu dunia
pendidikan.

35 35 Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren...., hal. 216.


36 36 Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren.... , hal. 206.

17
K.H. Hasyim Asy’ari dibesarkan dalam tradisi sufi dari golongan muslim
tradisionalis Jawa. Ia menuntut ilmu dan berkiprah di masyarakat pada masa
munculnya gerakan Wahabi dalam dunia Islam. Abad ke-19 di Jawa
merupakan masa transisi, yaitu masa dialog antara golongan santri tradisional
dengan golongan modernis yang dipengaruhi oleh gerakan Wahabi dan
Muhammad Abduh. Golongan modernis mengatakan bahwa Islam di Jawa
telah tertinggal jauh karena salah menafsirkan Islam dengan tujuan sufi dan
percampuran Islam dengan budaya lokal. Slogan golongan modernis adalah
kembali kepada al-Qur’an dan Hadis. Misi mereka adalah memurnikan ajaran
Islam dari pengaruh-pengaruh budaya lokal.37
Dalam karya-karyanya, seperti juga karya ulama lain pada masa itu, K.H.
Hasyim Asy’ari dalam menjelaskan berbagai pemikirannya selalu disandarkan
kepada persoalan etika (moralitas). Hal ini tidak mengherankan karena
memang tradisi sufi pada masa itu masih sangat melekat pada kehidupan
masyarakat Islam tradisionalis.
Dalam pemikiran tentang pendidikan dia juga lebih fokus kepada
persoalan-persoalan etika dalam mencari dan menyebarkan ilmu. Dia
berpendapat bahwa bagi seseorang yang akan mencari ilmu pengetahuan atau
menyebarkan ilmu pengetahuan (guru dan murid), yang pertama harus ada
pada diri mereka adalah semata-mata untuk mencari ridha Allah (pracaya lan
mituhu). Seseorang yang akan mencari dan menyebarkan ilmu pengetahuan,
maka dia harus memperbaharui niatnya hanya untuk mencari ridha Allah,
mengamalkan, dan menjalankan syari’at Islam untuk menerangi hatinya
dalam mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk mencari keduniaan, 38
dalam istilah Jawa dikenal dengan konsep eling lan waspada.39
Dalam konteks ini, pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari seirama dengan
pandangan-pandangan kaum sufi, bahwa menjadikan persoalan-persoalan
profan sebagai tujuan tidak hanya tabu dan jelek, tetapi juga akan

37 Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan Tradisi (Yogyakarta:

LKiS,2004), hal. 214.


38 Hasyim Asy’ari, Adabu al-alim wa al-Muta’allim, Edisi Terjemah (Yogyakarta: Qirtas, 2003), hal.

39 Eling bermakna agar setiap orang hendaknya selalu ingat akan Allah, sedangkan waspada

bermakna bersikap mawas diri, kedua istilah itu merupakan satu rangkaian pengertian, Franz
Magnis Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1999), hal. 143-144.

18
menyesatkan, memperbaharui niat murni hanya untuk Allah tidak
terpengaruh oleh hal-hal lain menjadi keharusan. Hal seperti ini diperlukan
agar manusia tidak lalai sehingga dia dapat menyelesaikan perbuatannya dan
mengakhiri dengan ikhlas.40 Untuk menuju tingkatan hati yang hanya mencari
ridha Allah, maka menurut K.H. Hasyim Asy’ari, jalan yang harus ditempuh
adalah melakukan penyucian hati atau jiwa, dalam istilah Jawa dikenal dengan
ngeker hawa nepsu lan sepi ing pamrih.41
Seseorang harus membersihkan hati atau jiwanya sebelum mencari ilmu
pengetahuan, pembersihan hati ini penting bagi suksesnya mencapai ilmu
pengetahuan, sebagaimana pandangan kaum sufi bahwa hati harus disucikan
dari kejahatan-kejahatan esoteris seperti penipuan, kekotoran hati, rasa
dendam, dengki, keyakinan yang tidak baik, dan pekerti yang tidak baik.42
Setelah menguasai ilmu pengetahuan, maka sebagai mekanisme kontrol
adalah sifat tawadlu. Tawadlu adalah merendahkan diri terhadap makhluk
dan melembutkan diri kepada mereka atau patuh terhadap kebenaran dan
tidak berpaling dari hikmah, hukum, dan kebijaksanaan. Dalam konteks ini
K.H. Hasyim Asy’ari secara eksplisit menyebutkan bahwa rendah hati di
hadapan guru adalah kemuliaan murid, sedangkan patuh kepada guru adalah
kebanggaan dan tawadlu di hadapan guru adalah keluhuran murid,43 sifat
semacam ini dalam istilah Jawa dikenal dengan sifat andhap asor .
Tawakal dan istiqamah dalam muraqabah dan khauf adalah tingkatan sifat
selanjutnya yang harus dimiliki. Tawakal adalah berserah diri kepada Allah,
khauf adalah selalu takut kepada Allah, dan muraqabah adalah selalu melihat
Allah dengan mata hati, merasakan adanya pemantauan Allah terhadap
dirinya, mengagungkan apa yang diagungkan Allah dan merendahkan apa
yang direndahkan Allah. Dalam hal ini, K.H. Hasyim Asy’ari menekankan
bahwa tiga sifat tersebut harus dimiliki supaya pada saat melakukan
pergumulan dengan ilmu pengetahuan tidak terganggu oleh persoalan-

40 Ahmad Mahmud Shubhi, Filsafat Etika Tanggapan Kaum Rasionalis dan Intuisionalis, Edisi

Terjemah (Jakarta : Serambi, 2001), hal. 269.


41 Ngeker hawa nepsu bermakna mengendalikan nafsu, sedangkan sepi ing pamrih bermakna

terbebas dari nafsu ingin memiliki, FranzMagnis Suseno, Etika Jawa.., hlm. 141.
42 Hasyim, Adabu, hal. 27, lihat juga Subhi, Filsafat , hal. 272.

43 Hasyim Asy’ari, Adabu Ibid. , hal. 37, 71.

19
persoalan profan dan diharapakan akan mempunyai kesadaran bahwa ilmu
pengetahuan adalah amanah.44
Kandungan yang terdapat dalam kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim
dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian:
Pertama, Kelebihan Ilmu dan ilmuwan. Menurut Kyai Hasyim dalam
menuntut ilmu itu perlu diperhatikan dua hal. Bagi murid hendaknya meiliki
niat yang suci lagi luhur, dan untuk guru hendaknya mempunyai niat yang
tulus tidak mengharapkan materi semata-semata. Mengenai kelebihan Iluwan
jika dibandingkan dengan orang awam menurut Kyai Hasyim itu bagaikan
terangnya bulan purnama dan cahaya bintang.
Kedua, Tanggung jawab dan tugas peserta didik. Untuk mendapatkan
ilmu yang bermanfaat, yang harus dicamkan oleh peserta didik adalah
membersihkan hati dari berbagai gangguan-gangguan material-keduniaan dan
hal-hal yang merusak sistem kepercayaan (aqidah). Dalam etika peserta didik
terhadap pendidiknya adalah melakukan perenungan dan meminta petunjuk
kepada Allah SWT dalam memilih guru, sementara etika peserta didik dalam
hal pelajaran adalah mendahulukan ilmu yang bersifat fardhu ‘ain daripada
ilmu-ilmu yang lain.
Ketiga, Tanggung jawab dan tugas pendidik. Kyai Hasyim memberikan
catatan kepada para pendidik agar dirinya tertanam sifat berusaha sekuat
tenaga untuk mendekatkan diri kepada Allah, baik ketika sendirian maupun
ketika berada di tempat umum. Sedangkan etika pendidik yang berkaitan
dengan pelajaran adalah etika mensucikan diri dari hadats dan kotoran,
sementara etika terhadap peserta didik adalah untuk berniat mendidik dan
menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan syari’at Islam.45
Dalam kitab tersebut beliau merangkum pemikirannya tentang
pendidikan Islam kedalam delapan poin, yaitu :
1. Keutamaan ilmu dan keutamaan belajar mengajar
2. Etika yang harus diperhatikan dalam belajar mengajar
3. Etika seorang murid kepada guru

44 Hasyim, Adabu, hal. 66, 69, 70.


45 Suwendi, Konsep Kependidikan K.H. Hasyim Asy’ari, (Jakarta: LeKDiS, 2005), cet. Ke-1, hal. 41-53.

21
4. Etika seorang murid terhadap pelajaran dan hal-hal yang harus
dipedomi berasama guru
5. Etika yang harus dipedomi seorang guru
6. Etika guru ketika dan akan mengajar
7. Etika guru terhadap murid-murid nya
8. Etika terhadap buku, alat untuk memperoleh pelajaran dan hal-hal yang
berkaitannya dengannya.46
Dari delapan pokok pemikiran di atas, Hasyim Asy’ari membaginya
kembali kedalam tiga kelompok, yaitu:
1. Signifikansi Pendidikan
2. Tugas dan tanggung jawab seorang murid
3. Tugas dan tanggung jawab seorang guru.47
Berdasarkan hal di atas, beberapa pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari dapat
disarikan sebagai berikut:
1) Kiai Hasyim asy’ari memainkan peranan penting dalam modernisasi
daerah Tebuireng.
2) Menurut Abu Bakar Aceh yang dikutip oleh editor buku Rais ‘Am
Nahdlatul Ulama hal.153 bahwa KH. Hasyim Asy’ari mengusulkan sistem
pengajaran di pesantren diganti dari sistem bandongan menjadi sistem
tutorial yang sistematis dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif
dan kepribadian para santri. Namun hal itu ditolak oleh ayahnya, Asy’ari
dengan alasan akan menimbulkan konflik di kalangan kiai senior.
3) Pada tahun 1916 – 1934 Hasyim Asy’ari membuka sistem pengajaran
berjenjang. Ada tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi ke dalam dua
tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan siffir awal dan siffir
tsani yaitu masa persiapan untuk memasuki masa lima tahun jenjang
berikutnya. Pada siffir awal dan siffir tsani itu diajarka bahasa Arab
sebagai landasan penting pembedah khazanah ilmu pengetahuan Islam.

46 Samsul Rizal. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta :Ciputat Pers, 2002).Hlm 155
47 Ibid. Hlm. 156

21
4) Kurikulum madrasah mulai ditambah dengan pelajaran-pelajaran bahasa
Indonesia (Melayu), matematika dan ilmu bumi, dan tahun 1926
ditambah lagi dengan mata pelajaran bahasa Belanda dan sejarah.
5) Kiai Hasyim terkenal sebagai ulama yang mampu melakukan
penyaringan secara ketat terhadap sekian banyak tradisi keagamaan
yang dianggapnya tidak memiliki dasar-dasar dalam hadis dan ia sangat
teliti dalam mengamati perkembangan tradisi ketarekatan di pulau Jawa,
yang nilai-nilainya telah menyimpang dari kebenaran ajaran Islam.
6) Menurut hasyim Asy’ari, ia tetap mempertahankan ajaran-ajaran
mazhab untuk menafsirkan al-Qur’an dan hadis dan pentingnya praktek
tarikat.

D. ANALISIS
Sesungguhnya, Islam yang bersumber dari al-Qur'an dan Sunnah dan
diyakini sebagai kebenaran tunggal, ditafsirkan penganutnya secara berbeda dan
berubah-ubah, akibat perbedaan kehidupan sosial penganut yang juga terus
berubah. Dari perbedaan penafsiran itu lahirlah kemudian pemikiran fiqh dan
teologi yang berbeda.
Jika diuraikan berdasarkan kerangka ideologis, terdapat paling tidak empat
kategorisasi umat Islam; tradisionalis-konservatif, reformis-modernis, radikal-
puritan, dan nasionalis-sekuler.48 Hal ini menandakan bahwa meskipun Islam itu
satu dari sudut ajaran pokoknya, akan tetapi setelah terlempar dalam konteks
sosial-politik tertentu pada tingkat perkembangan sejarah tertentu pula agama bisa
memperlihatkan struktur interen yang berbeda-beda.49
Maka, jika dilihat dari masalah yang diperdebatkan di antara beberapa
kelompok di atas, mereka berdebat bukan tentang pokok-pokok ajaran Islam itu
sendiri, akan tetapi bagaimana memanifestasikan ajaran Islam itu di dalam sistem
kehidupan sosial, antara Islam sebagai model of reality dan Islam sebagai models for
reality,50sehingga menciptakan setidaknya dua bentuk komunitas beragama yaitu

48 Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam (Surabaya: LPAM, 2004), Hlm. 57.
49 Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat (Jakarta: LP3S, 1996), Hlm. 11.
50 Yang pertama mengisyaratkan bahwa Islam adalah representasi dari sebuah realitas, sementara

yang kedua mengisyaratkan bahwa Islam merupakan konsep bagi realitas, seperti aktivitas manusia.

22
antara folk variant dan scholarly veriant,51 yang dalam konteks keindonesiaan
terwujud dalam bentuk komunitas NU dan komunitas Muhammadiyah. Yang
pertama sering diklaim sebagai kelompok tradisionalis, dan yang kedua sebagai
kelompok modernis.
Kelompok tradisionalis sering dikategorikan sebagai kelompok Islam yang
masih mempraktekkan beberapa praktek tahayyul, bid'ah, khurafat, dan beberapa
budaya animisme, atau sering diidentikkan dengan ekspresi Islam lokal, sementara
kelompok modernis adalah mereka yang sudah tidak lagi mempraktekkan beberapa
hal di atas. Akan tetapi kategorisasi ini menjadi kurang tepat ketika ditemukan
adanya praktek budaya animisme yang dilakukan oleh kalangan Muslim modernis,
seperti yang pernah diungkap oleh Munir Mulkhan dalam penelitiannya tentang
Islam Murni dalam Masyarakat Petani. Di dalam penelitiannya ia menemukan
adanya empat varian masyarakat Muhammadiyah; yaitu Islam murni (kelompok al-
Ikhlas), Islam murni yang toleran terhadap praktek TBC (kelompok Kyai Dahlan),
Islam neo-tradisionalis (kelompok MUNU, Muhammadiyah-NU), dan Islam
neosinkretis (kelompok MUNAS, Muhammadiyah-Nasionalis).52
Ketika berbicara mengenai masyarakat Islam tradisional, yang terbayang
adalah sebuah gambaran mengenai masyarakat yang terbelakang, masyarakat Islam
yang kolot, masyarakat yang anti atau menolak perubahan (anti progresivitas),
konservatif (staid approach), dan diliputi oleh sikap taqlid. Mereka adalah kelompok
yang membaca dan belajar “kitab kuning”, termasuk karya al-Ghazali dan ulama’
fiqh klasik, dan tokoh-tokoh sufi pada zaman pertengahan Islam.53
Terma tradisional merupakan terma untuk sesuatu yang irrational,
pandangan dunia yang tidak ilmiah, lawan dari segala bentuk kemodernan.
Tradisionalisme dianggap sebagai aliran yang berpegang teguh pada fundamen
Agama melalui penafsiran terhadap kitab suci Agama secara rigid dan literalis.
Sementara itu, tradisionalisme adalah paham yang berdasar pada tradisi.
Lawannya adalah modernisme, liberalisme, radikalisme, dan fundamentalisme.

Dalam pemahaman yang kedua ini Agama mencakup teori-teori, dogma atau doktrin bagi sebuah
realitas. Bassam Tibi, Islam and the Cultural, Hlm. 8.
51 Ernest Gellner, Muslim Society (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), Hlm. 5.

52 Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya,

2000). Hlm. 3
53 Ibid., Hlm. 2.

23
Berdasarkan pada pemahaman terhadap tradisi di atas, maka tradisionalisme
adalah bentuk pemikiran atau keyakinan yang berpegang pada ikatan masa lampau
dan sudah diperaktekkan oleh komunitas Agama. Kaum tradisionalis di Indonesia
adalah mereka yang konsisten dalam berpegang teguh pada mata rantai sejarah
serta pemikiran ulama’-ulama’ terdahulu dalam perilaku keberagamaannya.
Konkritnya, memegang dan mengembangkan ajaran fiqh scholastik madzhab
empat.54
Dalam konteks sosial-budaya, unsur-unsur yang terdapat pada Islam
tradisional Indonesia meliputi adanya lembaga pesantren, peranan dan kepribadian
kyai yang sangat menentukan dan kharismatik. Basis masa kaum tradisionalis
semacam ini pada umumnya berada di pedesaan. Begitu lekatnya Islam tradisionalis
di Indonesia dengan kalangan pedesaan, sampai-sampai dikatakan bahwa Islam
tradionalis adalah Islam pedesaan.55
Islam tradisional secara religi bersifat kultural, secara intelektual sederhana,
secara kultural bersifat sinkretik, dan secara politis bersifat oportunis. Meskipun
untuk saat ini banyak kaum tradisionalis yang kontroversial dengan yang
konservatif, akan tetapi peran warna konservatifme sangat kuat sekali di tingkat
lokal.56
Lawan dari tradisional adalah modern, yaitu suatu istilah yang diidentikkan
dengan zaman teknologi. Modernitas adalah sebuah sikap yang mempertanyakan
problem masa lampau, bentuk tradisional harus dipertanyakan dan diuji, tidak ada
sikap kembali ke belakang. Ide-ide masa lampau tidak relevan lagi di masa
sekarang.57

Kata modern, modernisme, modernisasi, modernitas, dan beberapa istilah


yang terkait dengannya, selalu dipakai orang dalam ungkapan sehari-hari. Karena
perubahan makna yang terdapat di dalamnya, istilah-istilah ini seringkali memiliki
makna yang kabur. Modern adalah sebuah istilah korelatif, yang mencakup makna

54 Seyyed Hossein Nasr mencatat salah atu kriteria pola keagamaan tradisional adalah digunakannya
konsep silsilah; mata rantai kehidupan dan pemikiran dalam dunia kaum tradisional untuk sampai
pada sumber ajaran. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Tradisional Islam, Hlm. 13.
55 Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992),

Hlm. 38.
56 Zainuddin Maliki, Agama Priyayi (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004), Hlm. 41.

57 Ibid., Hlm. 12.

24
baru lawan dari kuno, innovative sebagai lawan tradisional. Meskipun demikian, apa
yang disebut modern pada suatu waktu dan tempat, dalam kaitannya dengan
budaya, tidak akan memiliki arti yang sama baik pada masa yang akan datang atau
dalam konteks yang lain.
Dalam bidang intelektual, modernisme Islam muncul karena tantangan
perkembangan yang dihadapi oleh umat. Dalam abad ke-19 dan awal abad ke-20
tantangan politik yang dihadapi oleh umat Islam bagaimana membebaskan diri dari
penjajahan Barat, tantangan kultural adalah masuknya nilai-nilai baru akibat dari
kemajuan ilmu pengetahuan modern Barat, tantangan sosial-ekonomi adalah
bagaimana mengentaskan kebodohan dan kemiskinan umat, dan tantangan
keagamaan adalah bagaimana meningkatkan wawasan pengetahuan agama serta
mendorong umat untuk bisa memahami ajaran agama secara mandiri.58
Di antara cirri dari gerakan Islam modern adalah menghargai rasionalitas
dan nilai demokratis. Semua anggota memiliki hak yang sama dan semua tingkat
kepemimpinan dipilih tidak diangkat. Tidak ada perbedaan antara warga biasa dan
ulama menyangkut hak dan kewajiban organisasi.59
Gerakan ini di Indonesia memiliki pengaruh kuat di kalangan kelas
menengah kota, mulai dari pengrajin, pedagang, seniman sampai para professional.
Sebagai sebuah fenomena kota, di antara karakteristik gerakan ini adalah "melek
huruf", yang pada akhirnya ciri ini menuntut adanya pendidikan. Sehingga
pendidikan merupakan program yang paling utama. 60
Kelompok ini memandang bahwa syari'ah harus diaplikasikan dalam semua
aspek kehidupan secara fleksibel dan mereka ini cenderung menginterpretasikan
ajaran Islam tertentu dengan menggunakan berbagai pendekatan, termasuk dari
Barat. Maka modernisme Islam memiliki pola pikir rasional, memiliki sikap untuk
mengikuti model Barat di bidang pendidikan, teknologi, dan industri atau telah
terbawa oleh arus modernisasi.61 Pemikiran kaum modernis bukan hanya terbatas
pada bidang teknologi ataupun industri, akan tetapi juga merambah ke dalam

58 Achmad Jaenuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam Modern (Surabaya: LPAM, 2004), Hlm. 94.
59 Ibid.,Hlm. 97.
60 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3S, 1996). Hlm. 23

61 Akbar S. Ahmed, Post Modernism and Islam (London: Routledge, 1992), Hlm. 31.

25
bidang pemikiran Islam yang bertujuan untuk mengharmonikan keyakinan Agama
dengan pemikiran modern.
Beberapa hal lain yang menjadi perbedaan antara NU dan Muhammadiyyah
adalah bahwa NU lebih besifat rural (gejala pedesaan), syarat dengan simbol
tradisional (dulu disimbolkan dengan pakaian sarung dan serban), berlebihan
dalam pengamalan ibadah, lebih mempercayai kata ulama’, lebih terikat dengan
jama’ah, lemah inisiatif dan lebih hirarkis-struktural dalam hal status sosial,62 tidak
menolak beberapa praktek ritual yang tidak tertulis di dalam hadith sahih, atau
tidak sesuai dengan pemikiran modern, karena, menurut mereka, tidak berarti
sesuatu yang tidak tercantum di dalam hadith sahih itu bertentangan dengan Islam
selama masih belum menyangkut masalah akidah. Prinsip kaum tradisionalis adalah
‘adam al wujûd lâ yadullu ‘alâ ‘adam al wujdân.63
Sebaliknya, Muhammadiyyah lebih bersifat urban (gejala perkotaan) yang
sangat apresiatif dengan simbol modernitas (dulu disimbolkan dengan memakai
dasi, dan sebagainya), kritis, mandiri, individu jadi fokus perhatian, penuh inisiatif,
menganggap sesuatu yang tidak tercantum di dalam hadith sahih dianggap sebagai
sesuatu yang menyimpang dari ajaran Islam dan tidak boleh diamalkan, karena
akan berdosa dan berimplikasi buruk terhadap akidah. 64
Dalam bidang pendidikan, NU menggunakan gaya sorogan, menggunakan
kitab kuning sebagai bahan kajian, yaitu kitab-kitab karya al-Ghazali dan beberapa
pemikir lainnya, yang muncul pada abad Islam klasik. Sementara dalam pendidikan
yang dikelola Muhammadiyyah, menggunakan sistem klasikal, menggunakan kitab
putih sebagai ganti dari kitab kuning.65 Kelompok tradisionalis ini mengklaim
bahwa pintu interpretasi telah tertutup, sementara kaum modernis menganggap
bahwa kesempatan untuk melakukan interpretasi masih tetap terbuka.

E. PENUTUP
Dari beberapa pemaparan di atas, dapatlah diketahui bahwa ketokohan KH.
Hasyim Asy’ari dan K.H. Ahmad Dahlan dikalangan masyarakat dan organisasi Islam

62 Muhammad Azhar, Fiqh Peradaban, Hlm. 88.


63 Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam, Hlm. 14-15.
64 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, Hlm. 19.

65 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyyah, Hlm. 107-108.

26
Indonesia bukan saja sangat sentral tetapi juga menjadi tipe utama seorang
pemimpin yang pada masa berikutnya menentukan tipologi pendidikan Islam
maupun organisasi keagamaan di Indonesia.
Pemikiran utama dari K.H. Ahmad Dahlan dalam dunia pendidikan Islam
Indonesia diantaranya: 1). Membawa pembaruan dalam bentuk kelembagaan
pendidikan, yang semula seistem pesantren menjadi system sekolah; 2).
Memasukkan pelajaran umum kepada sekolah-sekolah keagamaan atau madrasah;
3). Mengadakan perubahan dalam metode pengajaran, dari yang semula
menggunakan metode weton dan sorogan menjadi lebih bervariasi. 4). Mengajarkan
sikap hidup terbuka dan toleran dalam pendidikan; 5). Dengan Muhammadiyahnya
buya berhasil mengembangkan lembaga pendidikan yang beragam dari tingkat
dasar hingga perguruan tinggi dan dari yang berbentuk sekolah agama hingga yang
berbentuk sekolah umum. Dan 6). Berhasil memperkenalkan manajemen
pendidikan modern ke dalam system pendidikan yang dirancangkannya.
Sedangkan K. H. Hasyim Asy’ari memberikan kontribusi pemikiran yang
sama besarnya terhadap Pendidikan Islam Indonesia diantaranya: 1). memainkan
peranan penting dalam modernisasi daerah Tebuireng. 2). mengusulkan sistem
pengajaran di pesantren diganti dari sistem bandongan menjadi sistem tutorial
yang sistematis dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian
para santri. Namun hal itu ditolak oleh ayahnya, Asy’ari dengan alasan akan
menimbulkan konflik di kalangan kiai senior. 3). Pada tahun 1916 – 1934 Hasyim
Asy’ari membuka sistem pengajaran berjenjang serta diajarkan bahasa Arab sebagai
landasan penting pembedah khazanah ilmu pengetahuan Islam. 4). Kurikulum
madrasah mulai ditambah dengan pelajaran-pelajaran bahasa Indonesia (Melayu),
matematika dan ilmu bumi, dan tahun 1926 ditambah lagi dengan mata pelajaran
bahasa Belanda dan sejarah. 5). melakukan penyaringan secara ketat terhadap
sekian banyak tradisi keagamaan yang dianggapnya tidak memiliki dasar-dasar
dalam hadis dan ia sangat teliti dalam mengamati perkembangan tradisi
ketarekatan di pulau Jawa, yang nilai-nilainya telah menyimpang dari kebenaran
ajaran Islam. Dan 6). Menurut hasyim Asy’ari, ia tetap mempertahankan ajaran-
ajaran mazhab untuk menafsirkan al-Qur’an dan hadis dan pentingnya praktek
tarikat.

27
DAFTAR RUJUKAN

Abdullah, Taufik. 1996. Islam dan Masyarakat (Jakarta: LP3S)


Ahmed, Akbar S. 1992. Post Modernism and Islam (London: Routledge)
Anam, Choirul .1985.Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama (Solo:
Jatayu Sala).
Arifin, Imron 1993. Kepemimpinan Kyai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng,
(Malang: Kalimasahada Press), cet. Ke-1
Asrofie, M. 1983. Yusron K.H. Ahmad Dahlan Pemikiran dan Kepemimpinannya
(Yogyakarta: Offset,).
Aveling, Harry (ed), 1980. The Development of Indonsesian Society (New York: St.
Artin Press).
Dofier, Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,
Jakarta: LP3ES), cet. Ke-6
Franz Magnis Suseno, 1999. Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama)
Geertz, Clifford. 1961. The Religion of Java (New York: The free Press of Glencoe,
Inc.,)
Gellner, Ernest. 1984. Muslim Society (Cambridge: Cambridge University Press)
Hadziq, Ishomuddin dalam Hasyim Asy’ari, 2003.Adabu al-Alim wa al- Muta’allim,
Edisi Terjemah (Yogyakarta: Qirtas,).
Jainuri, Achmad. 2004. Orientasi Ideologi Gerakan Islam (Surabaya: LPAM).
Khuluq, Lathiful. 2000. Fajar Kebangunan Kebangunan Ulama, Biografi K.H. Hasyim
Asy’ari (Yogyakarta: LKiS,)
Lubis, Arbiyah. 1993. Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (Jakarta:
Bulan Bintang,).
Maliki, Zainuddin .2004.Agama Priyayi (Yogyakarta: Pustaka Marwa)
Marijan, Kacung 1992.Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta:
Penerbit Erlangga)
Mas’ud, Abdurrahman. 2004. Intelektual Pesantren Perhelatan agama dan Tradisi
(Yogyakarta: LKiS).
Mas’ud, Abdurrahman. 2006. Dari Haramain ke Nusantara, (Jakarta: Kencana,), cet.
Ke-1,
Mastuki, HS dan M. Ishom El Saha, 2004. Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh
dan Cakrawala Pemikiran di Era Perkembangan Pesantren Jilid 2. (Jakarta:
Diva Pustaka)
Mulkhan, Munir 2000. Islam Murni dalam Masyarakat Petani (Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya,)
Nata, Abudin. 2005. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia ,(Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada)

28
Nizar, Samsun. 2002.Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan
praktis , (Jakarta: Ciputat Press)
Noer, Deliar 1995. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES,).
Pasha, Musthafa Kamal. 1975. Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam untuk
Angkatan Muda (Yogyakarta: Persatuan)
Poesposuwarno, M. Margono. 1995. Gerakan Islam Muhammadiyah (Yogyakarta:
Persatuan Offet,).
Rizal. Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam . (Jakarta :Ciputat Pers)
Sairin, Weinata. 1995. Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah (Jakarta: Pustaka
SInar Harapan,).
Salam, Yunus K.H. 1963. Ahmad Dahlan Reformer Islam Indonesia (Jakarta:
Djajamurni,)
Shihab, Alwi .1998.Membendung Arus Resopn Gerakan Muhammdiyah Terhadap
Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Bandung: Mizan,).
Shubhi, Ahmad Mahmud. 2001. Filsafat Etika Tanggapan Kaum Rasionalis dan
Intuisionalis, Edisi Terjemah (Jakarta : Serambi)
Siyab, Muhammad Asad. 1994.Hadlaratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari :
Perintis Kemerdekaan Indonesia, alih bahasa A. Mustafa Bisri, cet I,
Yogyakarta : Titian Ilahi Press dan Kurnia Alam Semesta)
Steenbrink, Karel. K. 1994. Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta: LP3ES)
Sumardjo, Syamsi 1976. Pengetahuan Muhammadiyah dengan Tokoh-tokohnya
dalam Kebangunan Islam (Yogyakarta: P.B. Muhammadyah)
Suprapto, H.M. Bibit .2010. Ensiklopedi Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya, dan
Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, (Jakarta: Gelegar Media
Indonesia).
Suwendi, 2005. Konsep Kependidikan KH. Hasyim Asy’ari, (Jakarta: LeKDiS). cet. Ke-
1,
Syamsu, Muhammad As, 1999, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya
(Jakarta: Lentera)
Wibowo, Susatyo Budi. 2011. Dahlan Asy’ari Kisah Perjalanan Wisata Hati, (Yogyakarta:
Diva Press)
Wirjosukarto, Amir Hamzah. 1985. Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam
(Jember, Mutiara Offset)

29

Anda mungkin juga menyukai