Anda di halaman 1dari 18

Muhammad Alpan Daulay: Peranan Syekh H.

Abdul Halim Hasan Dalam Pengembangan Pendidikan


Islam Di Kota Binjai Pada Tahun 1927 – 1969

PERANAN SYEKH H. ABDUL HALIM HASAN DALAM


PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI KOTA
BINJAI PADA TAHUN 1927 – 1969

Muhammad Alpan Daulay*, Hasan Asari**, Abd. Mukti***


*Mahasiswa Program Studi Pendidikan Islam, Pascasarjana UIN Sumatera Utara
** Dosen Pascasarjana UIN Sumatera Utara
*** Dosen Pascasarjana UIN Sumatera Utara
daulayalpan@gmail.com

Penelitian ini bertujuan: (1) Untuk menjelaskan dan menganalisis kondisi sosial, keagamaan dan intelektual
Kota Binjai pada abad ke 20. (2) Aktivitas Syekh H. Abdul Halim Hasan dalam bidang pendidikan
Islam. (3) Faktor pendukung dan penghambat perjuangan Syekh H. Abdul Halim Hasan dalam pengembangan
pendidikan Islam di kota Binjai. (4) Relevansi warisan perjuangan Syekh H. Abdul Halim Hasan
terhadap pendidikan di kota Binjai saat ini. Penelitian ini adalah penelitian studi tokoh dengan metode
sejarah dan pendekatan sejarah sosial. Adapun tiga indikator yang akan dikaji yaitu; Pertama, integritas
tokoh tersebut. Kedua, karya-karya monumental. Ketiga, kontribusi dalam bentuk pikiran. Adapun
prosedur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu mencakup empat langkah, yakni heuristik, kritik
sumber, analisis/ interpretasi, serta historiografi. Hasil penelitian menunjukkan: (1) Kondisi sosial Binjai
secara sosiologis, berkembang menjadi daerah kosmopolit dengan keberagaman warga kotanya, secara
kultural mempunyai penduduk dengan kelompok etnik (Jawa, Aceh, Minang, Karo, Toba, Mandailing,
Melayu dan lain-lain) dan religius (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha). Kondisi keagamaan
di Binjai ditandai dengan lahirnya sebuah madrasah yang bernama Madrasah Jam’iyatul Khairiyah.
Kondisi intelektual di Binjai tumbuh seiring dengan lahirnya Arabiyah School. (2) Aktivitas Abdul
Halim Hasan di Kota Binjai mengajar dengan mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu
sains. (3) Faktor pendukung pendidikan di Kota Binjai, pertama, semangat dan keseriusan para saudagar
Islam yang ada di Binjai dalam mensupport dana. Kedua, dukungan dari Sultan Langkat dalam bentuk
wakaf sebidang tanah. Ketiga, sumber daya manusia yang mumpuni dan memadai serta ahli dibidangnya.
Keempat, mata pelajaran yang diajarkan pada madrasah Sementara faktor penghambat yaitu kecurigaan
pemerintah Kolonial Belanda terhadap keberadaan madrasah (4) Pemikiran dan upayaAbdul Halim
Hasan tentang pendidikan Islam dari kelembagaan, menggagas perubahan nama madrasah dari
Jam’iyatul Khairiyah dengan Arabiyah School. Dari segi manajemen, memiliki gagasan agar guru
mengajar sesuai dengan keahlian dan pendanaan di Arabiyah School dilakukan dengan swadaya
masyarakat dan iuran secara gotong royong melalui zakat, infaq, dan sedekah.

Kata Kunci: Peranan, Abdul Halim Hasan, Pengembangan Pendidikan Islam, Binjai

3
558
Muhammad Alpan Daulay: Peranan Syekh H. Abdul Halim Hasan Dalam Pengembangan Pendidikan
EDU RILIGIA: Vol. 2 No.4 Oktober- Desember 2018
Islam Di Kota Binjai Pada Tahun 1927 – 1969

Pendahuluan
Pendidikan Islam di Indonesia sudah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia.1 Pada tahap
awal pendidikan Islam dimulai dari kontak-kontak pribadi maupun kolektif antara mubalig (pendidik)
dengan peserta didiknya.2 Pada tahap awal pendidikan Islam itu berlangsung secara informal. Para mubalig
banyak memberikan contoh teladan dalam sikap hidup mereka sehari-hari. Para mubalig itu menunjukkan
akhlakul karimah, sehingga masyarakat yang didatangi menjadi tertarik untuk memeluk agama Islam dan
mencontoh perilaku mereka.
Setelah komunitas muslim terbentuk di suatu daerah tertentu mereka kemudian membangun tempat
peribadatan yaitu masjid, langgar atau mushalla. Sebabnya adalah karena seorang muslim diwajibkan
untuk salat lima kali sehari semalam dan dianjurkan untuk dapat melaksanakan salat secara berjamaah.
Kemudian seorang muslim juga diwajibkan untuk melaksanakan salat Jum’at secara berjamaah sehingga
suatu keharusan bagi kaum muslimin di daerah tempat tinggalnya terdapat rumah ibadah. Hal ini sesuai
dengan contoh yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Dalam sejarah Islam sejak zaman Nabi
Muhammad saw., rumah ibadah seperti masjid telah difungsikan sebagai tempat pendidikan. Rasul menjadikan
Masjid Nabawi di Madinah sebagai tempat berlangsungnya proses pendidikan. Perbuatan beliau ini
menjadi preseden oleh khalifah-khalifah sesudah beliau, baik Khulafa’ur Rasyidin maupun khalifah-khalifah
Bani Umayyah, Abbasiyah, Fathimiyah, Usmaniyah dan lain sebagainya. Dengan demikian, masjid
berfungsi sebagai tempat pendidikan adalah suatu keharusan di kalangan masyarakat Muslim.3
Setelah penyebaran dan perkembangan agama Islam telah membaur dalam kehidupan masyarakat,
maka komunitas Muslim menjadikan Masjid4 dan Langgar selain sebagai tempat beribadah juga menjadi
tempat terjadinya proses belajar mengajar. Hal seperti ini juga terjadi ketika zaman Nabi Muhammad
saw. sebagai tempat terjadi proses belajar mengajar.
Pendidikan Islam pada tahap awal itu berlangsung secara informal. Di mana hubungan pertemuan
antara guru dan murid terjadi dalam satu majlis. Tidak ada jadwal waktu tertentu, tidak ada materi
tertentu, dan tidak ada tempat yang khusus. Hubungan pertemuan awal itu tidak terprogram secara
struktural dan ketat. Jadi, hal itu belum melembaga sebagai suatu lembaga tertentu. Di sini yang paling
berperan adalah mubalig.5 Dalam konteks ini, banyak sekali tokoh di dunia Islam tidak terkecuali tokoh
Islam yang berasal dari Indonesia yang menyebarkan Islam ke seluruh dunia dengan membangun sebuah
madrasah dan menjadi benteng tradisi keulamaan dan intelektual Islam. Misalnya Nizhamul Mulk (w.
485/1092)6 salah seorang wazir Dinasti Saljuq sejak 456/1064 yang telah membangun sebuah lembaga
pendidikan Islam yang pada saat ini dikenal luas oleh masyarakat Islam, yaitu Madrasah Nizhamiyah.7
Selanjutnya dalam konteks Indonesia, sebut saja Walisongo dan Maulana Malik Ibrahim dipandang sebagai
orang yang pertama mendirikan pesantren.8 Melalui pesantren tersebut Maulana Malik Ibrahim menyebarluaskan
ajaran Islam kepada masyarakat.
Pendidikan tidaklah berjalan dengan baik kalau tidak ada ulama/pendidik sebagai orang yang berperan
dalam mentransfer nilai-nilai pendidikan dan pengetahuan.
Oleh sebab itu, pendidikan Islam sebagai bentuk follow up penyebaran ajaran Islam sangatlah bergantung
kepada ulama yang bersangkutan. Misalnya, tokoh pendidikan agama Islam yang berada di kerajaan
Aceh adalah Hamzah Fansuri. Ia merupakan seorang pujangga dan guru agama yang terkenal dengan
ajaran tasawuf yang beraliran wujudiyah. Di antara karya-karya Hamzah Fansuri (w. 1590) adalah
Asrár Al-Aufîn, Syarâb Al-Âsyikîn, dan Zuiát Al-Nuwâhidin. Sebagai seorang pujangga ia menghasilkan
karya-karya, Syair si burung pungguk, syair perahu.9
Ulama penting lainnnya Syamsuddin As-Sumathrani (w. 1039/1630) atau lebih dikenal dengan
Syamsuddin Pasai. Ia adalah murid dari Hamzah Fansuri yang mengembangkan paham wujudiyah di
Aceh. Kitab yang ditulis, Mir’ah al-Qulûb, Mir’ah al-Mukmîn dan lainnya. Ulama dan pujangga lain yang
pernah datang ke kerajaan Aceh ialah Syekh Nuruddin Ar-Raniri (w. 1068/1658). Ia menentang paham
3
559
Muhammad Alpan Daulay: Peranan Syekh H. Abdul Halim Hasan Dalam Pengembangan Pendidikan
Islam Di Kota Binjai Pada Tahun 1927 – 1969

wujudiyah dan menulis banyak kitab mengenai agama Islam dalam bahasa Arab maupun Melayu klasik.
Kitab yang terbesar dan tertinggi mutu dalam kesusastraan Melayu klasik dan berisi tentang sejarah
k e r a j a a Bustânul calâtin.10
n A c e h a d a l a h k i t a b

Pada perkembangan selanjutnya, tepatnya pada masa kolonial Belanda ulama yang berjasa dalam
menggagas tumbuhnya madrasah di Indonesia antara lain Syekh Abdullah Ahmad, pendiri Madrasah
Adabiyah di Padang pada tahun 1909.11 Syekh M. Thaib Umar, pada tahun 1910 mendirikan Madrasah
School di Batu Sangkar. Tiga tahun kemudian madrasah ini ditutup dan baru pada tahun 1918 dibuka
kembali oleh Mahmud Yunus dan pada tahun 1923 madrasah ini berganti nama dengan Diniyah School.
Pada tahun yang sama Rengkayo Rahmah El Yunusiyah mendirikan Madrasah Diniyah Putri Padang
Panjang. Madrasah Diniyah inilah yang kemudian berkembang di Indonesia, baik merupakan bagian dari
pesantren atau surau, maupun berdiri di luarnya.12 Menurut hemat saya, peran tokoh di atas sangat urgen
dalam pengembangan ajaran Islam di Sumatera Barat. Tidak terkecuali di Kota Binjai13, yang dikenal
sebagai Kota Rambutan.Kota ini juga memiliki seorang ulama yang kharismatik yang telah mengembangkan
sebuah lembaga pendidikan Islam di Binjai, beliau adalah Syekh H. Abdul Halim Hasan.
Syekh Abdul Halim Hasan merupakan seorang ulama besar di Sumatera Utara yang menyampaikan
dakwahnya di masyarakat luas, beliau juga merupakan seorang penulis yang produktif terlebih untuk
ukuran zamannya. Banyak karyanya yang telah diterbitkan dalam bentuk buku, bahkan telah terbit di
negeri jiran Malaysia. Adapun karya-karya beliau adalah Tafsîr Alqurân Al-Karîm yang juga dikenal dengan
tiga serangkai bersama H. Zainal Arifin Abbas, dan Abdurrahman Haitami. Selanjutnya beliau juga
membuat buku dengan judul-judul berikut Bingkisan Adab dan Hikmah, Sejarah Fiqh,Wanita dan Islam,
Hikmah Puasa, Lail al-Qadar, Cara Memandikan Mayat, Tarekh Tamaddun Islam, Sejarah Kejadian
Syara’ Tulis Arab (terbit di Malaysia), Tarikh Abi Al Hasan Al-Asy’ari, Sejarah Literatur Islam dan Poligami
dalam Islam. Tidak hanya itu tulisannya dalam bentuk artikel juga banyak tersebar di beberapa majalah
yang salah satunya adalah majalah Al-Islam yang terbit di Sumatera Timur.14
Selain dikenal sebagai ulama dan penulis Syekh Abdul Halim Hasan juga merupakan dosen. Perannya
sangat besar di Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) baik dari segi ilmiahnya sebagai guru besar
maupun pengabdiannya membangun fisik Universitas Islam Sumatera Utara. Kini nama Syekh H. Abdul
Halim Hasan diabadikan sebagai nama salah satu Sekolah Tinggi Agama Islam di kota Binjai yang
beralamatkan di Jalan Ir. H. Juanda No. 5 Kota Binjai Sumatera Utara yang telah berdiri sejak tahun
1989. STAI ini telah mendapat izin operasional Departemen Agama RI Nomor 183 Tahun 1991. Perubahan
nama STAI Al-Ishlahiyah menjadi STAI Syekh H. Abdul Halim Hasan Al-Ishlahiyah Binjai berdasarkan
Surat Keputusan Direktur Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama RI Nomor Dj.I/Dt.I.IV/II/PP.00.9/
678/2011 tanggal 7 April 2011 tentang persetujuan Perubahan Nama STAI.
Mengenai penabalan dan perubahan nama Syeikh H. Abdul Halim Hasan Al-Ishlahiyah menjadi
nama tetap di Sekolah Tinggi Agama Islam, khususnya di kota Binjai seperti yang sudah dipaparkan di
atas bahwasanya beliau adalah merupakan salah satu perintis berdirinya madrasah Al-Ishlahiyah sejak
tahun 1920 yang saat itu bernama madrasah Jam’iyatul Khairiyah kemudian berubah nama menjadi
Madrasah Arabiyah School dan berikutnya berubah lagi namanya menjadi Madrasah Al-Ishlahiyah yang
menyelenggarakan Pendidikan Agama (PGA) di bawah kepemimpinan Alm. Ustadz Ishak Akini salah
seorang murid Syekh Abdul Halim Hasan. Kemudian dilanjutkan dengan Alm. KH. Zamachsyari di masa
inilah berdiri sekolah Tinggi, yakni Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al-Ishlahiyah. Melihat perjuangan yang
dilakukan Syekh H. Abdul Halim Hasan dalam membangun pendidikan dan kegigihannya dalam pergerakan
baik sebelum dan sesudah kemerdekaan, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian lebih lanjut
dan mendalam mengenai peran Syekh H. Abdul Halim Hasan dalam membangun pendidikan di Kota
Binjai. Oleh karena itu, penelitian ini diberi judul “Peranan Syekh H. Abdul Halim Hasan dalam Pengembangan
Pendidikan Islam di Kota Binjai pada Tahun 1927-1969.”
3
560
Muhammad Alpan Daulay: Peranan Syekh H. Abdul Halim Hasan Dalam Pengembangan Pendidikan
EDU RILIGIA: Vol. 2 No.4 Oktober-
Islam DiDesember
Kota Binjai2018
Pada Tahun 1927 – 1969

Kajian Pustaka
A . Peta Awal Perkembangan Sosial Ulama di Nusantara abad ke-19 s/d 20.
1. Perkembangan Sosial
Sejarah Islam di Nusantara mengalami kemajuan dari masa ke-masa. Kemajuan itu terjadi
tidak terlepas akibat dari pengaruh ulama-ulama Islam yang memiliki kemapanan dalam ilmu
pengetahuan agama, dan juga memiliki karisma yang begitu tinggi di mata masyarakat. Hubungan
antara Nusantara dengan Timur Tengah melibatkan sejarah yang panjang, yang dapat dilacak
sampai ke masa yang sangat tua. Hubungan paling awal antara kedua wilayah ini, khususnya
berkaitan dengan perdagangan, bermula bahkan sejak masa Phunisia dan Saba. Memang, hubungan
antara keduanya pada masa beberapa waktu sebelum kedatangan Islam dan masa awal Islam
terutama merupakan hasil dari perdagangan Arab dan Persia dengan Dinasti China. Menurut
Syahrin Harahap bahwa ada lima kontribusi pembaruan pemikiran sosial dalam Islam sebagai
garis penguatan terhadap sosial ulama di Nusantara, yakni;
a. Tawarannya menyangkut pentingnya pemahaman agama yang lebih rasional.15 Para pembaru
Islam menekankan dengan kuat sekali agar umat Islam tidak mengikuti (taqlid buta, unquestioning,
dan uncritical adoption) terhadap para pendahulu dalam hal pemahaman agama, sebab kepengikutan
semacam itu, paling tidak berimplikasi pada (1) tidak adanya keberanian untuk melakukan ijtihad,
(2) semakin menebalnya ajaran-ajaran agama yang mengikat setiap gerak umat beragama. Kedua
implikasi ini akan bermuara pada kondisi umat Islam yang tidak berkembang dan tidak mandiri;16
b. Pembaruan dalam Islam menawarkan dengan antusias sekali kesadaran pluralistik, (keberagaman
pendapat, pemahaman, etnis, dan agama) secara tulus. Hal ini terlihat antara lain pada gagasan
perennial dari beberapa pemikir Muslim, mulai dari Abdul Kalam ‘Azád di India,17 Hasan Hanafi
di Mesir, Syed Husein Nasr di Parsi, hingga Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, yang dengan sangat
serius mencari titik temu antar umat beragama dalam membangun bersama. Bagi masyarakat di
Nusantara seperti ini akan dan telah terbukti menumbuhkan bukan hanya ukhuwah Islamiyah,
melainkan juga ukhuwah wathániyah dan ukhuwah basyáriah serta kerukunan sosial;
c. Pembaruan dalam Islam dalam perkembangan sosialnya adalah menekankan dengan sangat kuat
sekali dinamika manusia, tidak menyerah pada nasib secara membabi buta akan tetapi meyakini
bahwa manusia memiliki peran besar dalam kehidupannya karena Allah swt. telah memberi kekuatan
dan kehendak dalam dirinya sebagai sunnatullah;
d. Pembaruan pemikiran Islam menekankan dengan sangat kuat sekali penguasaan ilmu dan teknologi,
bahkan menganjurkan pengadopsian secara selektif atau pengambilan prestasi-prestasi keilmuan
dari berbagai bangsa di dunia tanpa dibatasi oleh Negara, agama, dan etnis. Bukankah penguasaan
ilmu dan teknologi merupakan awal dari supremasi suatu bangsa, sebagaimana telah terbukti
pada bangsa manapun di dunia ini;
e. Apa yang dilakukan para pembaru dalam perkembangan sosialnya adalah dengan ‘perampingan’
taqlid, pemahaman rasional, dan kesadaran pluralistik adalah upaya untuk meraih kemajuan bersama
Alquran dan Alhadis, karena kedua sumber ajaran Islam itu mengajarkannya secara mengesankan.
Dengan demikian, pembaruan dalam Islam memiliki kontribusi yang tidak terperikan bagi pembangunan
negeri-negeri Muslim termasuk di Nusantara (Indonesia).18

Berdasarkan pada lima lima kontribusi pembaruan pemikiran sosial dalam Islam sebagai garis penguatan
terhadap sosial ulama di Nusantara di atas, maka dapat dianalisis bahwa penguatan perkembangan
peta awal abad ke-19 s/d 20 di atas, terlihat jelas bahwa kebutuhan dalam pembaruan perkembangan
Islam bercorak pada perubahan taqlid atau penguatan terhadap modernisasi keilmuan yang dibawa
langsung oleh para ulama dari Timur Tengah. Tidak terlepas dari proses dinamika yang berjalan dalam

3
561
Muhammad Alpan Daulay: Peranan Syekh H. Abdul Halim Hasan Dalam Pengembangan Pendidikan
Islam Di Kota Binjai Pada Tahun 1927 – 1969

kehidupan manusia, bahwa perkembangan sosial yang plural sangat mempengaruhi perkembangan wawasan
pemahaman masyarakat Nusantara terhadap ajaran Islam yang modernis.
Peta awal masa abad ke-19 s/d 20 munculnya semangat pembaharuan Islam di dunia sedikit banyak
juga membawa pengaruh secara langsung ke Nusantara Indonesia (hal ini berkaitan dengan sejarah
sosial pembaharuan/tajdid) Sebagai contoh gerakan pemurnian yang dipelopori oleh rangkaian guru-
murid, Jamaluddin al-Afghani (1838-1897 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), dan Muhammad
Rasyid Ridha (1856-1935 M), telah melahirkan pengikut dan pemikir di masing-masing negara seperti
Abdul Hamid di Turki, Sir Sayyid Ahmad Khan (1871-1848) dan Sir Sayyid Ali (1849-1928) di India/
Pakistan, Dr. Ansari, Maulana Muhammad Ali, Syaukat Ali, dan Dr. Muhammad Iqbal. Di Malaysia/
Singapura terdapat pengikut seperti Sayyid Muhammad bin Aqil, Syeikh Muhammad al-Kalali, Syeikh
Thaher Jalaluddin, Sayyid Syeikh al-Hady, dan Za’ba.19 Menurut Prof. Dr. H. Abubakar Aceh terdapat
hubungan antara K.H. Ahmad Dahlan dengan Sayyid Muhammad bin Agil di Singapura, yaitu salah
seorang sahabat Muhammad Rasyid Ridha.20 Sayyid Muhammad bin Agil telah menerbitkan majalah al-
Iman dalam bahasa Melayu dan majalah al-Islam dalam bahasa Arab, yang membuka pintu aliran ini
masuk ke Jawa yang mengakibatkan secara langsung maupun tidak langsung berdirinya jamiat khair
(1905) dan Muhammadiyah (1912). Jaringan para ulama Nusantara ke dunia Timur Tengah dilatar
belakangi oleh;
a) Adanya pengaruh kekuatan untuk membangun dan mentransmisikan ilmu dan keilmuan dalam
proses keislaman di Indonesia;
b) Adanya pengaruh semangat pembaharuan untuk mendirikan syariat Islam yang kaafah (secara
totalitas);
c) Kedatangan para ulama Nusantara ke dunia Timur Tengah berdasarkan silsilah kekeluargaan,
serta adanya pergerakan membangun peradaban Islam di Indonesia;
d) Adanya pembentukan Islamisasi di daerah atau tempat tinggal para ulama demi terwujudnya
masyarakat yang taat kepada agama;
e) Adanya pengaruh dari jalur perdagangan atau kedatangan kaum Gujarat, Persia dan Hindia.21

Berdasarkan pada kelima aspek latar belakang di atas, maka dapat dianalisis bahwa jaringan para
ulama Timur Tengah dalam peradaban dan pembaruan di Nusantara memiliki corak budaya sosial
dalam kehidupan masyarakat, di mana masyarakat Nusantara belajar langsung dengan para alumni
Timur Tengah sebut saja pendiri NU (KH.Hasyim Asy’ari) Muhammadiyah (KH.Ahmad Dahlan).
2. Perkembangan Keagamaan
Pada peta awal abad ke-19 s/d 20 di mana perkembangan keagamaan dilalui berdasarkan pada
gerakan modernisasi. Gerakan modernisasi ini berkembang di berbagai tempat khususnya di kawasan
Timur Tengah yang telah banyak memberikan pengaruh besar terhadap gerakan pembaruan di Nusantara.
Ide gerakan pembaruan tersebut masuk ke Nusantara melalui berbagai saluran, di antaranya lewat jaringan
atau hubungan para intelektual Muslim Nusantara dengan intelektual Muslim Timur Tengah, dan adanya
hubungan jama’ah haji Indonesia dengan jama’ah luar.22
Beragam corak pemikiran dan perkembangan keagamaan yang berkembang dalam sejarah Islam
di Nusantara dari Islam yang bercorak sufistik tradisionalis, revivalis dan modernis hingga neo-modernis
dengan jelas mempengaruhi dan memperteguh kekayaan khazanah keIslaman di Nusantara. Fenomena
ini juga membuktikan beragamnya pengaruh yang masuk ke dalam wacana Islam yang berkembang di
kepulauan Nusantara. Dalam perspektif sejarah perkembangan keagamaan, hal ini tidak pelak lagi, menunjukkan
bahwa telah terjadi pergeseran visi dan orientasi di dalam corak pemahaman keagamaan di kalangan
Muslim Nusantara. 23 Peta awal abad ke-19 s/d 20 terjadinya pengaruh modernis pemikiran kalangan
Barat secara lebih intensif terhadap para pemikiran cendikiawan Muslim di Indonesia , cara pandang

3
562
Muhammad Alpan Daulay: Peranan Syekh H. Abdul Halim Hasan Dalam Pengembangan Pendidikan
EDU RILIGIA: Vol. 2 No.4 Oktober-
Islam DiDesember
Kota Binjai2018
Pada Tahun 1927 – 1969

masyarakat Islam, terutama para ulama dan cendikiawan, untuk lebih memahami dan mereaktualisasikan
ajaran-ajaran Islam ke dalam realitas sosial mereka, kemudian muncul pengaruh pemikiran Islam dari
luar khususnya di negeri-negeri Arab corak pemikiran Islam ini lebih cenderung puritan, sehingga terkadang
juga disebut ortodoks. Tidaklah mengherankan, meskipun sudah berkenal dengan gagasan-gagasan modernis
yang sekuler, masih ditemukan ide-ide puritan mengenai wawasan keagamaan dan kebangsaan yang
secara idiologis mencita-citakan Negara ‘Islam’. Kecenderungan seperti ini cukup dominan mewarnai
corak pemikiran keagamaan di kalangan ulama, yang kemudian sering disebut sebagai Muslim modernis.
Fakta historis dari peta perkembangan keagamaan ulama di Nusantara adalah dengan terbentuknya
perkumpulan jamiat khair (dibentuk secara diam-diam pada tahun 1905 di Pekojan, Jakarta) yang berlatar
belakang isolasi Pemerintah Hindia Belanda terhadap “Kampung Arab” merupakan satu derivasi semangat
kebangkitan Islam di Indonesia. Didirikan oleh Sayyid Ali bin Ahmad bin Syahab (Ketua), Sayyid Muhammad
bin Abdullah bin Syahab (Wakil Ketua), Sayyid Muhammad al-Fachir bin Abdurrahman al-Masyhur
(Sekretaris), Sayyid Idrus bin Ahmad bin Syahab (Bendahara), dan Said bin Ahmad Basandied (Anggota),
dengan pergerakan di bidang sosial dan pendidikan, dan bersifat terbuka untuk setiap Muslim tanpa
diskriminasi asal-usul, meski mayoritas anggotanya keturunan Arab. Bermula dari pembaruan pemikiran
dan pendidikan Islam di Minangkabau, yang disusul dengan pembaruan pendidikan yang dilakukan oleh
masyarakat Timur Tengah di Nusantara yang ditandai dengan berdirinya organisasi Jami’atul Khair
(1905), organisasi ini pada dasarnya terbuka untuk semua golongan Muslim, namun mayoritas anggotanya
adalah orang-orang Timur Tengah khususnya orang Arab.24 Munculnya organisasi-organisasi sosial keagamaan
Islam dan organisasi-organisasi yang didirikan kaum terpelajar menandakan tumbuhnya benih-benih
nasionalisme dalam pengertian modern, yang dikemudian hari berperan aktif dlam perjuangan untuk
memperoleh kemerdekaan Indonesia.
Salah seorang tokoh Nasionalis yang pernah menjadi perkumpulan Jamiat Khair di antaranya Raden
Umar Said Tjokroaminoto, Raden Jayanegara, R.M., Wiriadimaja, Raden Hasan Djajadiningrat, dan
K.H. Ahmad Dahlan. Aktivitasnya kemudian berkembang dengan majelis taklim, balai pertemuan perpustakaan
dengan hubungan internasional, percetakan (maktabah), harian utusan hindia (dipimpin Umar Said
Tjokroaminoto), sekolah muslim modern pertama (kurikulum internasional dan hampir 50% diisi dari
keluarga tidak mampu tanpa dipungut biaya pendidikan), dan memiliki hubungan dengan organisasi di
dalam negeri seperti Budi Utomo, Sarikat Islam, dan Jong Islamieten Bond (Persatuan Pemuda Islam).25
Menurut Kamajaya, penggerak kebangkitan Islam di Jawa yang pertama-tama adalah perkumpulan Jamiat
Khair. Dari perkumpulan inilah tokoh-tokoh baru Islam bermunculan dan mendirikan berbagai perkumpulan,
misalnya Perserikatan Muhammadiyah, al-Irsyad, dan lain-lain.26
Seiring dengan munculnya pemahaman dan perkembangan keagamaan di Nusantara pada peta
awal abad ke-19 s/d 20, kemunculan perkembangan di antaranya lahirnya gerakan organisasi keagamaan
Islam seperti Jamiyah al-Islam wa al-Irsyad al-Arabiyah didirikan oleh Syeikh Ahmad Surkati pada tahun
1914, dengan pengurus awal adalah Salim bin Awad Balweel (Ketua), Muhammad bin Abud Ubaid
(Sekretaris), Said bin Salim Masyabi (Bendahara), dan Shaleh bin Ubaid Abdat (Penasihat). Syeikh
Ahmad Surkati tidak duduk dalam kepengurusan tetapi sebagai pimpinan dari Madrasah al-Irsyad al-
Islamiyah. Awalnya, Syeikh Ahmad Surkati (seorang Arab kelahiran Sudan 1292 H) hijrah ke Saudi
Arabia karena situasi politik di Sudan yang dikuasai Inggris. Mula-mula menetap dan belajar di Madinah
selama 4 tahun, kemudian pindah ke Mekah hingga memperoleh ijazah Syahadah Alimiyah pada 1326
H, selama 11 tahun, dengan berguru pada Syeikh al-Falih, al-Faqih Syeikh Ahmad bin Haji Ali Majdub,
Syeikh Gurra’ al-Allamah Syeikh Muhammad al-Maghribi, al-Imam as-Sayyid Ahmad al-Barzanji al-
Madani, al-Allamah asy-Syeikh Muhammad bin Yusuf al-Khayyat, Syeikh Syueb bin al-Maghribi. Ketika
jamiat khair membutuhkan tenaga guru, maka setelah berkoordinasi dengan syarif Mekkah, ditunjuklah

563 3
Muhammad Alpan Daulay: Peranan Syekh H. Abdul Halim Hasan Dalam Pengembangan Pendidikan
Islam Di Kota Binjai Pada Tahun 1927 – 1969

Syeikh Ahmad Surkati, yang tiba di Indonesia pada tahun 1911 M, dan atas sarannya didatangkan pula
oleh jamiat khair 4 orang guru lain untuk melengkapi kebutuhan tenaga guru. Sampai pada tahun 1914,
Syeikh Ahmad Surkati berbeda pandangan dengan pengurus jamiat khair yang memuncak pada 6 Sep-
tember 1914 dengan berhentinya dari keanggotaan.27
3. Perkembangan Intelektual
Menurut Azyumardi Azra, proses pembentukan ulama berlatar belakang dari fakta historis dari
lintas agama yang dibawa dari Gujarat dan Persia. Sejarah pertumbuhan ulama bermula dari adanya
jaringan antara para penuntut ilmu dari Nusantara dengan banyak ulama Timur Tengah, khususnya
Haramayn, dengan banyak melibatkan proses-proses historis yang amat kompleks, jaringan murid-
guru yang tercipta di antara kaum Muslim baik dari kalangan penuntut ilmu dan ulama maupun
Muslim awam umumnya di antara kedua kawasan dunia Muslim ini merupakan buah dari interaksi
yang panjang di antara wilayah Muslim di Nusantara dan Timur Tengah, hal ini berkembang sampai
menjadi perubahan pada perkembangan intelektual ulama, di mana perkembangan intelektual ini
disebut dengan modernisasi atau pembaharuan pendidikan.28 Di Indonesia terdapat banyak sekali
ulama yang memiliki jasa yang begitu besar terhadap pencerdasan pemahaman anak bangsa tentang
agama, dan juga mengangkat derajat mereka dari kebodohan menuju ilmu pengetahuan (hal ini
juga termasuk dalam aspek perkembangan intelektual keulamaan).
Beberapa ulama besar Indonesia dalam perkembangan intelektualnya adalah;
a. Muhammad Basuni ‘Imran, al-Sambasi (1885-1953 M)
b. Syeikh Guru Haji ‘Ismail Mundu (1287-1377 H/1870-1960 M)
c. KH. Abdurrahman Wahid
Selanjutnya, beliau banyak terlibat dalam kegiatan LSM. Pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo,
Aswab Mahasin dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan
P3M yang juga dimotori oleh LP3ES. Pada tahun 1979, Gus Dur pindah ke Jakarta. Pada awalnya beliau
merintis Pesantren Ciganjur yang sampai sekarang tetap dikelolanya. Sementara pada awal tahun 1980
Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan
yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku
dan pemikiran. Gus Dur semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan,
politik, maupun pemikiran keislaman. Beliau diangkat pula sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta
(DKJ) pada tahun 1983. Beliau juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986,
1987. Akan tetapi perannya dalam DKJ dan FFI mendapat kritikan dari banyak masyarakat, karena
dianggap menyimpang dari kapasitasnya sebagai seorang kiai besar. Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih
secara aklamasi oleh sebuah tim ahlu hall wa al-’aqdi yang diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk
menduduki jabatan Ketua Umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali
dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung
Jawa Barat (1994). Selain itu selama kurun waktu 1989-1993, beliau menjadi anggota MPR-RI. Pada
tahun 1999, jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden Republik
Indonesia ke-4,29 melalui Partai Kebangkitan Bangsa yang dipimpinnya.

Biografi Syekh H. Abdul Halim Hasan


1. Keluarga dan Masa Kecil Syekh H. Abdul Halim Hasan
Syekh H. Abdul Halim Hasan (selanjutnya disebut dengan Abdul Halim) lahir di sebuah kampung
yang bernama Limau Sundai terletak di sebelah Barat kota Binjai, sebuah kota praja (gemeente) yang
dahulu merupakan bagian dari Kesultanan Langkat dan sekarang merupakan sebuah Kotamadya, pada
tanggal 15 Mei 1901.30 Orang tuanya bernama Hasan yang bekerja sebagai petani dan berasal dari
Manambin, Mandailing Julu dan bermarga Daulay.31

564 3
Muhammad Alpan Daulay: Peranan Syekh H. Abdul Halim Hasan Dalam Pengembangan Pendidikan
EDU RILIGIA: Vol. 2 No.4 Oktober-
Islam DiDesember
Kota Binjai2018
Pada Tahun 1927 – 1969

Orang tua Abdul Halim merupakan seorang ulama dan memiliki pengaruh yang luas dalam masyarakat
sekitarnya. Di samping membantu orang tuanya, waktu Abdul Halim dihabiskan untuk membaca buku-
buku pelajaran.Melihat karya-karyanya, tampak bahwa Abdul Halim sejak kecil termasuk si “kutu buku”.
Bahkan tidak berlebihan jika disebut ciri keulamaannya telah tampak sejak kecil yang ditunjukkannya
dengan ketekunan dalam melaksanakan shalat fardu lima waktu. Tidak itu saja, ia juga merupakan anak
yang sangat rajin menuntut ilmu, terlebih-lebih ilmu agama.32
Sejak kecil Abdul Halim telah menunjukkan sifat-sifat yang baik. Ia selalu memanfaatkan waktunya
dengan baik dan tidak menyia-nyiakannya,tidak merokok, sehari-hari menghabiskan waktunya untuk
membaca dan belajar, membantu usaha-usaha ibu bapaknya setiap hari, kurang bergaul dengan anak-
anak sebayanya dan sejak kecil tetap melaksanakan shalat setiap waktunya. Tidak itu saja, ia juga
merupakan anak yang sangat rajin menuntut ilmu, terlebih-lebih ilmu agama.33 Sebagaimana pada umumnya
tokoh-tokoh berdarah Mandailing, Abdul Halim memiliki semangat kepeloporan, wara’, tegar, arif, suka
bekerja keras, suka berargumentasi, dan konsisten dalam pendiriannya.34
Abdul Halim merupakan anak-laki-laki tertua dari 6 bersaudara. Dalam keluarganya anak laki-
laki berjumlah 4 orang dan anak perempuan berjumlah 2 orang. Sementara itu, beliau memiliki dua
orang istri. Dari istri pertama (Rahma Lubis), beliau memiliki 8 (delapan) orang anak, sementarai itu
dari istri keduanya (Hj. Sarifah Batubara), beliau memiliki 7 (tujuh) orang anak. H. Amru Daulay, SH
yang juga merupakan mantan Bupati Mandailing Natal adalah anak tertua dari istri kedua Syekh H.
Abdul Halim Hasan.35
2. Pendidikan Syekh H. Abdul Halim Hasan
Sewaktu Abdul Halim berusia tujuh tahun,yakni tepatnya pada tahun 1908, Abdul Halim mengenyam
pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) di Binjai. Pada masa ini pula Abdul Halim sudah mempelajari ilmu
agama Islam dengan bimbingan para ulama yang terkenal di Sumatera dan para ulama di kota Binjai. Di
antara ulama tempat beliau menimba ilmu yaitu Fakih Saidi Haris,36 Haji Abdullah Umar,37 Syekh H.Muhammad
Nur Ismail,38 Syekh H.Samah,39 Kyai H.Abdul Karim,40dan Syekh H. Hasan Maksum.41 Penulis tidak
menemukan informasi tentang keahlian masing-masing ulama di atas. Akan tetapi melihat keahlian Abdul
Halim Hasan dalam bidang fikih, sejarah, hadis terlebih lagi tafsir, bisa dipastikan bahwa ia belajar
kepada banyak guru dengan keahlian yang berbeda-beda.
Pada tahun 1926 sewaktu musim haji, Abdul Halim sempat memperdalam ilmu Agama Islam kepada
ulama terkenal Arab Saudi yang berada di Makkah bernama Syekh Mukhtar Ath-Tharid.42Ilmu-ilmu yang
menjadi keistimewaan Abdul Halim adalah ilmu tafsir, hadis, sejarah dan fikih.43
Abdul Halim bukan saja belajar ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu umum. Tercatat bahwa beliau
belajar ilmu-ilmu umum kepada Jamaluddin Adinegoro tentang pers/jurnalistik dan politik pada tahun
1930 di Medan,44 serta belajar Bahasa Inggris kepada M. Ridwan yang merupakan pensiunan Kepala
Jawatan Penerangan Kabupaten Langkat pada tahun 1930.45 Membaca aktivitas Abdul Halim sejak
muda dapat dikatakan untuk ukuran masanya,ia telah memiliki kesadaran global. Dalam suasana ini,
kemampuan pers dan jurnalistik serta bahasa merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi agar
tidak tergilas dalam perang informasi tersebut.
Sekitar tahun 1920 sampai dengan 1927 masyarakat agama diBinjai dipengaruhi paham tarekat.
Pendalaman dalam ilmu fikih, ilmu-ilmu alat dan sejarah sangat terbatas, sedang perdebatan dalam ilmu
kalam atau tauhid sangat menonjol. Beliau pada mulanya mempelajari ilmu tarekat sesuai anjuran orang
tuanya, tetapi kemudian beliau lebih tertarik untuk mendalami ilmu fikih, ilmu alat dan sejarah dari Kiyai
H. Abd.Karim.46 Dengan demikian ketekunan beliau kepada ilmu-ilmu tarekat sudah mulai berkurang,
hal ini sedikit banyaknya kurang disenangi orang tuanya. Situasi demikian pernah beliau ceritakan kepada
teman akrabnya, bahwa pada suatu malam beliau terlambat pulang ke rumah berhubung sampai larut

565 3
Muhammad Alpan Daulay: Peranan Syekh H. Abdul Halim Hasan Dalam Pengembangan Pendidikan
Islam Di Kota Binjai Pada Tahun 1927 – 1969

malam terus belajar kepada K.H.Abdul Karim. Sampai di rumah orang tuanya tidak membukakan pintu.Tetapi
tidak tahu bagaimana pada pagi harinya beliau sudah berada di dalam rumah, bersiap-siap untuk shalat
subuh berjamaah dengan orang tuanya di dalam rumah.47
Dalam perjalanan selanjutnya, tidak ditemukan data yang akurat tentang pengembaraan ilmiah
Abdul Halim. Ada yang mengatakan beliau adalah alumni Timur Tengah, sementara ada juga yang
mengatakan bahwa beliau bukan lulusan Timur Tengah. Di antara yang mengatakan beliau bukan lulusan
Timur Tengah adalah Abdullah Syah. Abdullah Syah adalah salah seorang murid dari Abdul Halim
Hasan.48 Menurut hemat penulis, secara formal memang Abdul Halim Hasan bukanlah alumni perguruan
tinggi di Timur Tengah, namun secara nonformal Abdul Halim Hasan adalah murid dari Syekh Mukhtar
Attharid seorang ulama terkenal Arab Saudi kelahiran Bogor sebagaimana telah dikemukakan di atas.
Abdul Halim belajar kepada Syekh Mukhtar Attharid sewaktu menunaikan ibadah haji ke Makkah pada
tahun 1926. Meskipun hanya satu tahun Abdul Halim belajar kepada Syekh Mukhtar Attharid, namun
karena kecerdasan yang dimilikinya, penulis meyakini bahwa Abdul Halim sangat menguasai keilmuan
yang diajarkan oleh Syekh Mukhtar Attharid. Hal ini dibuktikan oleh pengakuan L.M. Isa, Basyral Hamidy
Harahap, Amru Helmy Daulay, Lahmuddin Nasution, Abdullah Syah, M. Yasir Nasution, Mahmud Aziz
Siregar, Sariani As, serta Azhari Akmal Tarigan dan Agus Khair yang mengatakan bahwa Abdul Halim
Hasan adalah seorang guru yang mahir dalam membaca dan menelaah kitab-kitab khazanah klasik
(kitab kuning).49 Analisis penulis menyatakan bahwa kepiawan Abdul Halim Hasan merupakan tokoh
ulama yang menyebarkan ilmu berasal langsung dari Timur Tengah, itu artinya beliau menimba ilmu
secara nonformal dan dianggap sebagai murid yang berbakti kepada gurunya. Berdasarkan pada pengalaman
beliau selama satu tahun di Mekkah.
Berdasarkan pada fakta historis di atas, penulis menyandingkannya dengan petikan sambutan Abdullah
Syah yang juga murid Abdul Halim Hasan:
Kendatipun beliau bukanlah lulusan Timur Tengah, namun beliau sangat menguasai Bahasa
Arab dengan sangat baik. Ketika berhadapan dengan kitab-kitab kuning, tampak beliau
memahami dan menguasai seluk beluk bahasanya sehingga melahirkan pemahaman
yang mendalam dan utuh.50
Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas dan lugas agaknya pengakuan yang jujur dan tulus
seorang murid kepada gurunya tersebut telah mewakili betapa luasnya keilmuan yang dimiliki oleh
Abdul Halim Hasan. Menurut analisis peneliti bahwa fakta historis yang terlihat adalah Syekh Abdul
Halim Hasan mengembangkan pendidikan keilmuannya cenderung pada pembelajaran kajian keislaman
seperti ilmu tafsir, hadis, sejarah dan fikih.
3. Karya-karya Ilmiah Syekh H. Abdul Halim Hasan
Syekh H. Abdul Halim Hasan selain sebagai seorang ulama di zamannya, juga merupakan seorang
penulis produktif. Namun sayang, tidak banyak tulisan yang berhasil penulis kumpulkan. Namun begitu,
sebagaimana diungkapkan Siddin, karya-karyaAbdul Halim Hasan adalah sebagai berikut:
a. Tafsir Al-Qur’anul Karim. Kitab ini mengkaji tentang tafsir Alquran. Kitab yang ditulis secara kolektif
bersama dengan H. Zainal Arifin Abbas dan Abdul Rahim Haitami ini masih ditulis sebanyak 8
(delapan) jilid dan masih membahas 8 (delapan) juz Alquran dan belum selesai. Hal ini karena
sebelum menyelesaikan tulisan ini Abdul Halim Hasan dipanggil keharibaan Allah swt;51
b. Sejarah Fiqh Islam. Buku ini membahas tentang kewajiban seorang Muslim serta seluruh permasalahan
yang terkait dengan hukum peribadatan dan kemasyarakatan. Masalah-masalah agama tentang
uraian hukumnya dikupas berdasarkan ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis sahih;52
c. Wanita dan Islam. Buku ini membahas tentang wanita dan hak-haknya berdasarkan Alquran dan
hadis. Pembahasannya meliputi 38 (tiga puluh delapan) bab yang berkaitan tentang wanita;53

3
566
Muhammad Alpan Daulay: Peranan Syekh H. Abdul Halim Hasan Dalam Pengembangan Pendidikan
EDU RILIGIA: Vol. 2 No.4 Oktober-
Islam DiDesember 2018
Kota Binjai Pada Tahun 1927 – 1969

d. Hikmah Puasa. Buku ini membahas tentang hikmah puasa dengan berbagai persoalannya.
Buku ini diuraikan dengan landasan Alquran dan hadis;54
e. Lailatul Qadar;
f. Cara Memandikan Mayat;
g. Tarekh Tamaddun Islam;
h. Sejarah Literatur Islam.
i. Sejarah kejadian Syara’ Tulis Arab terbitan Malaysia;
j. Tarikh Abi Hasan Al’Asy’ary;
k. Poligami dalam Islam;
l. Bingkisan Adab dan Hikmah; 55
m. Adab Kesopanan Islam. Buku ini membahas tentang adab dan pergaulan yang membawa cinta
kepada Allah. Dalam kata pengantar di buku ini, beliau menuturkan bahwa hanyalah dengan
mengikuti ajaran Rasulullah serta para sahabat dan orang-orang saleh terdahulu, adab dan
pergaulan bisa menjadi ibadah yang membawa cinta kepada Allah. Buku ini banyak mengutip
pendapat Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihyaâ‘Ulûm al-Dîn;56
n. Tafsir Al-Ahkam. Tafsir Al-Ahkam merupakan salah satu karya Abdul Halim Hasan. Tidak diketahui
kapan dimulai penulisannya, karena memang tidak ada disebutkan dan dijumpai, baik dalam
tulisannya atau diungkapkan secara lisan. Pada mulanya tafsir ini hanya berbentuk scrip dan
tidak pernah diterbitkan semasa hidup Abdul Halim Hasan. Baru kemudian diterbitkan setelah
setelah ada gagasan dari Azhari Akmal Tarigan, yang bekerja sama dengan Agus Khair. Sebelumnya
tafsir ini hanya berbentuk scrip dan kemudian di lakukan pengeditan oleh keduanya. Gagasan
untuk menerbitkan tafsir inipun disambut baik oleh putra Abdul Halim Hasan yaitu Amru Daulay
yang pada saat itu masih menjabat sebagai Bupati Madina hingga pada akhirnya pada tahun
2006 kitab ini dapat diterbitkan. Tafsir al-Ahkam adalah tafsir yang tematik yang hanya membahas
tentang ayat-ayat hukum, dalam hal ini, pengarang hanya menafsirkan 250 ayat hukum. Corak
tafsir ini adalah corak fikih dan hukum Islam, sesuai dengan namanya Tafsir al-Ahkam;57
o. Sinar Memanjtar dari Mesjid. Buku ini berisi tentang kumpulan artikel tentang musyawarah
kemakmuran mesjid yang ditulis oleh ulama terkenal yaitu Buya Hamka, Abdul Halim Hasan,
dan M. Bustami Ibrahim.58

Kesimpulan
Studi ini telah berupaya menelaah secara komprehensif tentang peranan Syekh H. Abdul Halim
Hasan dalam Pengembangan Pendidikan Islam di Kota Binjai pada Tahun 1927-1969. Studi ini
berkesimpulan dan menyimpulkan pada rumusan masalah bahwa:
1) Kondisi sosial, keagamaan dan intelektual di Kota Binjai pada awal abad ke 20 adalah dari
segi sosialnya bahwa Binjai tercatat dalam sejarah menjadi tempat pelaksanaan pertama kali
untuk sayembara Alquran. Perlu diketahui bahwa pelaksanaan MTQ–Sayembara Alquran–
istilah dahulu, sekarang bernama MTQ–pertama di Sumatera Timur dilaksanakan atas inisiasi
Syekh H. Abdul Halim Hasan. Acara MTQ pertama kali ini dilaksanakan di halaman Masjid
Raya Binjai bertepatan dengan tanggal 27 malam 28 Januari 1951 dengan mendatangkan
Dewan Hakim dari Medan yaitu H. Abu Bakar Ya’qub. Binjai merupakan bagian dari Kesultanan
Langkat, oleh sebab itu perkembangan keagamaan di Binjai tidak terlepas dari perkembangan
keagamaan yang terjadi di Langkat.Penduduk yang tergolong banyak itu menganut berbagai
agama, di antaranya Islam, Kristen, Hindu, dan Budha. Agama Hindu dan Budha di kota
Binjai pada umumnya dianut oleh orang-orang India dan China.

567 3
Muhammad Alpan Daulay: Peranan Syekh H. Abdul Halim Hasan Dalam Pengembangan Pendidikan
Islam Di Kota Binjai Pada Tahun 1927 – 1969

Perkembangan intelektual di Binjai pada abad 20 dimulai dengan terbangunnya Madrasah Jam’iyatul
Khairiyah menjadi “Arabiyah School”. Hal ini dimaksudkan, agar madrasah ini tidak hanya
sekedar lembaga pendidikan agama yang kaku, tetapi mampu mengikuti perkembangan dan
tuntutan zaman.Mata pelajaran yang diajarkan ketika itu tidak hanya terbatas pelajaran agama,
tetapi juga ditambah dengan pelajaran umum.
2) Aktivitas Syekh H. Abdul Halim Hasan dalam bidang pendidikan Islam adalah menjadi Kepala
Sekolah, beliau merubah namaJam’iyatul Khairiyah dengan al-Madrasah al-Arabiyah (Arabiyah
School). Tercatat dalam sejarah bahwa Abdul Halim Hasan juga merupakan tenaga pengajar di
Universitas Islam Sumatera Utara (UISU).
3) Faktor pendukung dan penghambat perjuangan Syekh H. Abdul Halim Hasan dalam pendidikan
Islam di Kota Binjai. Dari faktor pendukung pendidikan di Kota Binjai yang pertama adalah semangat
dan keseriusan para saudagar-saudagar Islam yang ada di Binjai dalam mensupport dana, terutama
mereka yang memiliki toko di Kedai Panjang. Yang kedua yaitu dukungan dari Sultan Langkat
yang terbukti telah mewakafkan sebidang tanah sebagai lahan untuk membangun gedung madrasah
Jam’iyatul Khairiyah. Ketiga, sumber daya manusia yang mumpuni dan memadai serta ahli dibidangnya.
Sebut saja ketika Jam’iyatul Khairiyah pertama kali berdiri tahun 1922, madrasah ini diajar oleh
seorang guru yang sangat pintar dan dipandang mampu, yakni K. H. Abdul Karim, salah seorang
murid dari H. M. Nur Al-Faqih. Dalam membina dan mengasuh madrasah, beliau dibantu oleh
Abdul Halim Hasan yang memang murid dan banyak belajar privat kepada beliau. Keempat,
mata pelajaran yang diajarkan pada madrasah ketika itu tidak hanya terbatas pada pelajaran
agama semata, melainkan juga pelajaran umum sehingga terbukalah cakrawala berpikir para
murid yang belajar ketika itu. Sementara faktor penghambatnya adalah kecurigaan pemerintah
Kolonial Belanda terhadap keberadaan madrasah ini, karena Belanda mengira bahwa semua
elemen yang ada dalam madrasah ini terlibat dan menerjunkan diri ke dalam dunia politik dalam
rangka merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda.
4) Relevansi warisan perjuangan Syekh H. Abdul Halim Hasan terhadap pendidikan di kota Binjai
saat ini adalah integrasi yang diprakarsainya , yakni integrasi antara ilmu agama dan umum.
Manifestasi gagasan tersebut hadir dengan nama Arabiyah School. Dalam konteks manajemen,
Abdul Halim Hasan memiliki gagasan agar guru mengajar sesuai dengan keahlian.

Endnotes:
1
Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren Sekolah dan Madrasah, (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 9. Para ahli berbeda pendapat dalam menetapkan kapan pertama
kali masuknya Islam ke Indonesia. Snough Hurgronye, J.P. Moquette, R.A. Kren dan beberapa ahli
lainnya berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 dan tidak langsung dari
Arab, tetapi dari Gujarat. Pendapat ini didasarkan pada penemuan nisan Sultan Malik al-Saleh
(w. 696/1297) yang mirip dengan nisan di Gujarat. Kelompok kedua adalah T.W. Arnold, Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Hamka dan lainnya mengatakan bahwa masuknya Islam ke Indone-
sia terjadi sejak abad pertama Hijriyah dibawa oleh pedagang-pedagang Arab. Pendapat ini berdasarkan
pada arus perdagangan penduduk di Selatan semenanjung tanah Arab yang telah pergi pulang ke
gugusan pulau-pulau Melayu. Penduduk yang tinggal di Selatan semenanjung tanah Arab ini telah
mendapat dakwah Islamiyah sejak awal perkembangan Islam dan semakin intensif setelah Nabi
Muhammad saw. mengutus Mu’az bin Jabal ke Yaman untuk mengajar Alquran dan hukum-hukum
agama. Perbedaan pendapat ini kemudian melahirkan beberapa teori kedatangan Islam ke Indo-
nesia yang menurut Haidar Putra Daulay teori tersebut terbagi menjadi teori India, teori Arab,
teori Benggal, teori Persia, bahkan ada yang mengatakan teori China. Akan tetapi berdasarkan
seminar tentang masuknya Islam ke Indonesia yang diadakan di Medan pada tahun 1963 dan
Kuala Simpang Aceh pada tahun 1980 disepakati bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada

568 3
Muhammad Alpan Daulay: Peranan Syekh H. Abdul Halim Hasan Dalam Pengembangan Pendidikan
EDU RILIGIA: Vol. 2 No.4 Oktober- Desember
Islam Di 2018
Kota Binjai Pada Tahun 1927 – 1969

abad pertama Hijriyah langsung dari Arab. Lihat dalam Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan
dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Binjai: Kencana, 2012), h. 11-13. Bandingkan
dengan Uka Tjandra Sasmita, Proses Kedatangan dan Munculnya Kerajaan Islam di Aceh, dalam
A Hasymy, ed., Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, cet. iii (t.t.p.: Al-Ma’arif,
1993), h. 358-360., Wan Husein Azmi, Islam di Aceh: Masuk dan Berkembangnya Hingga Abad
XVI, dalam A Hasymy, ed., Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, cet. iii (t.t.p.:
Al-Ma’arif, 1993), h. 177. Lihat pula secara terperinci dan mendetail dalam Azyumardi Azra,
Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII; Akar Pembaruan
Islam Indonesia, Edisi Revisi, cet. 2 (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005), h. 2-18.
2
Haidar Putra Daulay, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, (Medan: Perdana Mulya
Sarana, 2012), h. 17.
3
Haidar, Sejarah Pertumbuhan, h. 20. Lihat juga Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan
Islam, ed. Revisi, (Bandung: Citapustaka Media, 2007), h. 44.
4
Pada masa klasik Islam, masjid mempunyai fungsi yang jauh lebih besar dan bervariasi dibanding
dengan fungsinya sekarang. Dulu, di samping sebagai tempat ibadah, masjid juga menjadi pusat kegiatan
sosial dan politik umat Islam. Lebih dari itu, masjid adalah lembaga pendidikan Islam semenjak masa
paling awal Islam. Ketika Rasul dan para sahabatnya hijrah ke Madinah, salah satu program pertama
yang dia lakukan adalah pembangunan sebuah masjid yang belakangan dikenal dengan sebutan Masjid
Nabi. Di masjid inilah sekelompok sahabat yang bergelar “as}h}a>b al-s}uffah” menghabiskan waktu
mereka untuk beribadah dan belajar. Praktik Nabi saw. menjadi preseden bagi para khalifah dan
penguasa Muslim sesudahnya, dan pembangunan masjid berlanjut terus di daerah-daerah kekuasaan
Muslim. Setiap kota memiliki sejumlah masjid, sebab pembangunannya tidak saja dilakukan oleh penguasa
secara resmi, tetapi juga oleh para bangsawan, hartawan, dan dengan swadaya masyarakat pada
umumnya. Sehingga tidak mengherankan kalau pada abad ke-3/9, kota Baghdad saja memiliki tidak
kurang dari 3.000 masjid. Lihat Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, ed. Revisi, (Bandung:
Citapustaka Media, 2007), h. 44-45.
Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: Rineka Cipta,
5

2009), h. 22.
6
Tesis ini menggunakan dua sistem kalender. Penanggalan Hijriyah selalu diberikan pertama, disusul
dengan penanggalan Masehi, diselingi garis miring (misalnya, 485/1092berarti tahun 485 Hijriyah,
bertepatan dengan tahun 1092 Miladiyah). Bila dalam kasus tertentu hanya satu sistem kalender yang
diberikan, maka penanggalan tersebut adalah Miladiyah.
7
Lihat dalam Abd. Mukti, Konstruksi Pendidikan Islam; Belajar Dari Kejayaan Madrasah Nizamiyah
Dinasti Saljuq, Cet. I (Bandung: Citapustaka Media, 2007). Buku ini merupakan Disertasi Prof. Dr.
Abd. Mukti, MA pada Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Abd. Mukti, Sejarah
Sosial Pendidikan Islam pada Masa Dinasti Salju>q; Sebuah Studi Tentang Madrasah Nizamiyah
1058-1157 (Yogyakarta: Disertasi PPS IAIN Yogyakarta, 2000), h. 3.
8
Haidar, Sejarah Pertumbuhan, h. 22. Berbeda dengan Abdul Mukti, beliau menuturkan bahwa
sama halnya dengan madrasah, pesantren juga tidak muncul dalam kevakuman sosial. Begitu juga kemunculan
pesantren itu sangat dipengaruhi oleh faktor sosial politik dan keagamaan masyarakat tempat di mana
pesantren itu muncul. Beliau mengemukakan bahwa pesantren pertama kali muncul di Kesultanan Mataram.
Kesultanan Mataram berada di bekas wilayah kerajaan Hindu Mojopahit (...?-1250). Untuk memperkuat
kedudukannya, Sultan Agung (1613-1645) melaksanakan kebijakan sinkretisme. Akibatnya muncul tiga
golongan masyarakat di Kesultanan Mataram, yakni: Kaum Priyayi, Kaum Abangan, dan Kaum Santri.
Kaum priyayi dan Kaum Abangan menjadikan masjid sebagai pusat pendidikannya. Sementara Kaum
Santri yang menolak kebijakan sinkretisme Sultan membangun lembaga pendidikan baru yakni pesantren
untuk memelihara kemurnian akidahnya. Dengan demikian diperkirakan inilah pesantren pertama di
Indonesia. Jadi pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan agama seperti yang kita kenal sekarang
ini belum muncul pada kesultanan-kesultanan Islam terdahulu lainnya seperti Pasai (1260-1514), Aceh
Darussalam (abad ke VIII-1912), Demak (1518-1546), Banten (1552-1695), Cirebon, Pajang (1546-
1582), dan Mataram (1586-1704). Lihat Abdul Mukti, “Madrasah dan Pesantren; Sejarah Pertumbuhan
dan Perkembangannya,” dalam Asnil Aidah Ritonga dan Marliyah, Ed., Terbuai dalam Studi Sejarah dan
Pembaruan Pendidikan Islam (Bandung: Citapustaka Media, 2010), h. 24-25.

3
569
Muhammad Alpan Daulay: Peranan Syekh H. Abdul Halim Hasan Dalam Pengembangan Pendidikan
Islam Di Kota Binjai Pada Tahun 1927 – 1969

Lihat dalam Azra, Jaringan Ulama, h. 23. Lihat pula dalam A. Teeuw, Indonesia dalam Kegelisahan
9

dan Keberaksaraan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1994), h. 45-46.


10
Azra, Jaringan Ulama, h. 24.
11
Mulyanto Sumardi, Sejarah Singkat Pendidikan Islam di Indonesia 1945-1975 (Jakarta: Dharma
Bhakti, 1978), h. 49.
12
Ibid.
13
Binjai, diperkirakan berdiri pada pertengahan akhir abad 18/awal 19. Kampung Binjai terletak
di pinggir Sungai Bingai, persisnya sekarang berada di Kelurahan Binjai, menurut kronik “Riwayat
Kampung Binjai” sekitar tahun enam puluhan nama Binjai berasal dari nama Pohon Binjai (mangifera
caesia), yaitu sebangsa pohon yang cukup tinggi dan besar seperti pohon Durian yang buahnya berbentuk
Panjang (15-25 cm) berdiameter (7-12 cm), warna kulitnya seperti buah sawoh, rasanya asam, enak
digunakan untuk asam sambal atau pencampur gulai. Awal dibukanya Kampung/Kota Binjai, ditaksir
terjadi pada pertengahan atau pertengahan akhir abad ke-18. Menurut Sinar, Binjai pernah menjadi
bagian dari kejeruan Punggai, yaitu semasa Raja Wan Syahban bin Badiuzzaman yang berkedudukan
di Pungei. Di dalam lawatan Jhon Anderson ke Langkat pada tahun 1823, dia mencatat penduduk Ba
Beinjei adalah 60 buah rumah, atau sekitar 420 jiwa. Pada tahun 1887, Sultan Musa mendirikan
masjid yang baru tidak jauh dari lokasi Kampung asal/Binjai, berada di pinggir Sungai agak ketengah
itulah cikal bakal Masjid Raya Binjai sekarang yang masih berada di Kampung Binjai, persisnya di
Pasar Tavip sekarang. Masjid ini diresmikan oleh Sultan Abdul Aziz tahun 1890 dan dipugar oleh
Sultan Mahmud pada tahun 1924, sebagaimana yang kita lihat sekarang. Lihat Suprayitno, Sejarah
Kota Binjai; Sebuah Tinjauan Singkat Menuju ke Arah Penulisan Sejarah Kota (Binjai: Makalah tidak
diterbitkan, 2015), h. 2. Lihat pula M. Yusuf Pasaribu, Sejarah Kereta Api Tempo Dulu di Sumatera
Utara (Medan: t.p., 2011), h. 14; Tengku Luckman Sinar Basarshah II, Perang Sunggal (1872-1895 )
(Medan: t.p., 1996), h. 9, 10, 14.
Azhari Akmal Tarigan, “Syekh H.Abdul Halim Hasan (1901-1969); Moderatisme dalam Pemikiran
14

Hukum Islam”, dalam Syekh H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam, Ed. 1, cet. 1, (Jakarta: Kencana
Persada, 2006), h. Ixi.
15
Mewakili pendapat para pembaru mengenai pentingnya pemikiran rasional itu misalnya dapat
dikutip pendapat Jamá al-Dîn al-Afghâny, tokoh pembaru Islam. Menurutnya; ‘Agama ini memerintahkan
para pemeluknya untuk mencari suatu dasar yang demonstrative bagi dasar-dasar kepercayaan. Oleh
karena itu, ia selalu menyebut-nyebut akal dan mendasarkan aturan-aturannya padanya. Naskah-
naskahnya dengan jelas menyatakan bahwa kebahagiaan manusia merupakan hasil (produk) akal
dan pengetahuan, dan bahwa penderitaan atau keterkutukan adalah akibat kebodohan, tidak memedulikal
akal, dan cahaya pengetahuan yang ada padanya. Lihat Jamál al-Dîn al-Afghâny, al-Radd ‘Alá al-
Dahriyyin (terj.Arab), (Cairo dan Baghdad, 1955), h. 84.
16
Syahrin Harahap, Al-Qurán and Sekularitaas (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), h. 3.
Gagasannya mengenai titik temu agama-agama dapat dilihat pada bukunya yang amat terkenal,
17

The Tarjuman Al-Qur’an, Vol.1 (Hyderabad: Syed Abdullatifs Trust for Quranic and Other Cultural
Studies, 1981), h. 283.
18
Ibid.
Lihat Komaruddin Hidayat, “Pengantar” dalam Ismatu Ropi, Kusmana (Ed.), Belajar Islam di
19

Timur Tengah (Jakarta: Departemen Agama RI, 2010), h. 10.


20
Ibid.
Maksum Muchtar, “Kajian Islam Haramain: Pengalaman di Makkah”, dalam dalam Ismatu Ropi,
21

Kusmana (Ed.), Belajar Islam di Timur Tengah (Jakarta: Departemen Agama RI, 2010), h. 21.
22
Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam (Semarang: Karya Toha Putra, tt), h. 195.
23
Ibid.
24
Ahmad Syaukani, Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia Islam, Cet.2 (Bandung: Pustaka
Setia, 2001), h. 117.
25
Ibid.
26
Ibid.
3
570
Muhammad Alpan Daulay: Peranan Syekh H. Abdul Halim Hasan Dalam Pengembangan Pendidikan
EDU RILIGIA: Vol. 2 No.4 Oktober-
Islam DiDesember
Kota Binjai2018
Pada Tahun 1927 – 1969

Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah (Bandung: Salamadani, Jilid I, 2009), h. 99.
27

28
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII ; Akar Pembaruan Islam Indonesia, Edisi Revisi.Cet.III (Jakarta; Kencana Prenada Media Group,
2007), h. 1.
Baidatul Raziqin, dkk., 101 Tokoh Islam Indonesia, h. 35.
29

Lihat Dewan Harian Cabang Angkatan 45, Catatan PelakuSejarah Pengibar Bendera Merah
30

Putih Pertama di Binjai (Binjai: t.p., 1996), h. 1. Kesultanan Langkat adalah sebuah pemerintahan di
bawah kendali seorang Sultan yang ketika Syekh H. Abdul Halim Hasan lahir, Kesultanan Langkat
dipimpin oleh Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmadsyah.Belakangan Syekh H. Abdul Halim Hasan
memiliki kedekatan dengan ulama-ulama yang berasal dari Tanjung Pura Langkat.Tentunya Kesultanan
Langkat menjadi patron Syekh H. Abdul Halim Hasan dalam memantapkan kedudukannya sebagai
seorang mudir di Madrasah Arabiyah School di Binjai. Lihat Zaini Dahlan, Sejarah Jam’iyah Mahmudiyah,
h. 193-294.
31
Basyral Hamidy Harahap, “Syekh H. Abdul Halim Hasan dan Perubahan Sosial”, diedit oleh
Azhari Akmal Tarigan dan Agus Khair dalam Syekh H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam, cet. 1
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), h. li.
Lihat dalam IAIN Sumatera Utara, Sejarah Ulama-ulama Terkemuka di Sumatera Utara, digandakan
32

kembali oleh Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara, (Medan: t.p., 1983), h. 233.
Siddin, et.al., Sejarah Al-Ishlahiyah, h. 1.
33

Hasan, Tafsir Al-Ahkam, h. liii.


34

35
H. Amru Daulay, SH lahir di Binjai tanggal 18 Oktober 1939.Mantan Bupati Mandailing Natal
dua periode (2000-2010) dan mantan Dekan Fakultas Hukum USU ini merupakan anak tertua dari
Syekh H. Abdul Halim Hasan yang dikenal sebagai seorang ulama tafsir di zamannya.Saat ini beliau
berdomisili di Medan. H. Achyar Daulay(Anak Kandung Syekh. H. Abdul Halim Hasan), wawancara
di Binjai pada 15 Agustus 2017.
36
Fakih Saidi Haris adalah seorang ulama Binjai. Namun sayang sekali, penulis tidak menemukan
data yang lengkap dan akurat tentang biografi Fakih Saidi Haris. Yang jelas, beliau merupakan guru
Syekh H. Abdul halim Hasan dalam bidang agama, namun tidak diketahui dalam bidang apa kekhususan
beliau.
Haji Abdullah Umar adalah seorang Qadhi Kesultanan Langkat di Binjai. Sama halnya dengan
37

Fakih Saidi Haris, penulis juga tidak mengetahui secara detail terkait biografi Haji Abdullah Umar.
38
H. Muhammad Nur bin H. Ismail (1926/1879–1362/1943) menantu Syekh H. Abdul Wahab
Rokan. Oleh Sultan Langkat diangkat menjadi Mufti II. H. Muhammad Nur bin H. Isma‘il lahir di
Sumatera Barat pada tahun 1296/1879. Beliau meninggal dunia di Kampung Baru, Kuala Lumpur,
pada 1362/1943, dalam usia 65 tahun. Dikebumikan di Pekuburan Islam Ampang, Kuala Lumpur.
Haji Muhammad Nur mendapat pendidikan awal dari ayahnya sendiri Ismail al-Minangkabawi.Ayahnya
termasuk salah seorang pembesar di Kerajaan Langkat.Setelah banyak memperoleh ilmu dari ayah
dan ulama-ulama di Langkat, Haji Muhammad Nur melanjutkan pengembaraannya ke Makkah untuk
lebih mendalami pelbagai bidang ilmu. Haji Muhammad Nur belajar di Makkah sekitar 10 tahun dengan
Ulama-ulama seperti Syekh Wan Ahmad al-Fathani, Syekh Ah}mad Khatib al-Minangkabawi, Syekh
Ahmad bin Muhammad Yunus Lingga, Syekh Wan ‘Ali Kutan, Syekh Mukhtar bin Atharid Bogor, dan
Syekh Usman Sarawak. Para sahabat M. Nur ketika belajar di Makkah adalah Syekh Thahir Jalaluddin,
Syekh Hasan Ma´sum Deli, Syekh Sulaiman ar-Rasuli Bukit Tinggi, Dr. Abdul Karim Amrullah, K.H.
Hasyim Asy‘ari, To Kenali, Tok Kelaba, Syekh Abdullah Fahim, Syekh Wan Sulaiman, serta ulama-
ulama Melayu yang menuntut ilmu di Masjidil Haram pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Setelah 10 tahun di Makkah, Haji Muhammad Nur pulang ke Sumatera. Kepulangannya telah diketahui
oleh Sultan Langkat, yaitu Sultan ‘Abdul Aziz bin Sultan Musa. Sultan Abdul Aziz tersebut adalah
termasuk salah seorang murid Syekh Ahmad al-Fathani.Oleh karena itu, beliau merupakan sahabat
seperguruan dengan Haji Muhammad Nur. Sultan Abdul Aziz, Sultan Langkat melantik Haji Muhammad
Nur menjadi Qadhi Kerajaan Langkat Bagian Hulu. Ketika itu Mufti Kerajaan Langkat adalah dipegang
oleh sahabat beliau bernama Syekh Muhammad Nur.Sewaktu Haji Muhammad Nur menjadi Qadhi
Kerajaan Langkat mulai muncul istilah Kaum Tua dan Kaum Muda. Haji Muhammad Nur bin Isma‘il
(Qadhi), Syekh Muhammad Nur (Mufti), dan ulama-ulama Langkat lainnya, masih tetap bertahan
3
571
Muhammad Alpan Daulay: Peranan Syekh H. Abdul Halim Hasan Dalam Pengembangan Pendidikan
Islam Di Kota Binjai Pada Tahun 1927 – 1969

dengan pegangan Kaum Tua. Sebaliknya, beberapa orang sahabatnya seperti Syekh Thahir Jalaluddin,
Syekh Abdul Karim Amrullah, dan lain-lainnya adalah penyebar dan tokoh Kaum Muda. Seperti di
negeri-negeri lain, di Kerajaan Langkat juga terjadi beberapa sisi perdebatan antara “kaum tua” dan
“kaum muda.” Haji Muhammad Nur bin Ismail sebagai seorang Qadhi merupakan benteng yang
kukuh mempertahankan Ma¿hab Sya>fi‘i> dan Akidah Ahl al-Sunnah wal Jama‘ah dari semua serangan
kaum muda. Di samping tugasnya sebagai Qadhi, Haji Muhammad Nur bin Ismail juga aktif mengajar
putra dan putri Kesultanan Langkat. Dalam pengajaran yang disampaikan Haji Muhammad Nur mengutamakan
ilmu-ilmu dasar, seperti; tauhid, fiqh, tasawuf, nahwu, s}araf dan pelbagai ilmu Islam yang lainnya.
Selain mengajar di Langkat, beliau juga mengajar di Kuala Lumpur, sahabatnya Tengku Mahmud
Zuhdi yang ketika itu sebagai Syekh al-Islam Selangor, memberi tugas kepada beliau mengajar di
beberapa tempat di Kuala Lumpur, di antaranya di Masjid Jamik, Kampung Baru, dan tempat-tempat
lainnya. Di antara murid-muridnya yang terkenal termasuk tokoh besar Indonesia dan Malaya, ialah; 1.
Haji Zainal Arifin Abbas, 2. Al-Ustaz Haji Abdul Halim Hasan Daulay, 3. Haji Abdul Rahim Haitami,
4. Syekh Abdullah Afifuddin, 5. Tengku Amir Hamzah, 6. Tengku Fakhruddin, 7. Ulama-ulama di
Sumatera Timur.Haji Muhammad Nur juga menghasilkan beberapa buah karangan yang ditulis dalam
bahasa Melayu dan bahasa Arab, di antaranya; 1. Ilmoe Tashauwoef, 2. Puasa.Lebih lengkap lihat
dalam Zaini Dahlan, Sejarah Jam’iyah Mahmudiyah, h. 282-286.Lihat pula dalam Taufik Abdullah,
School and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra” (1927-1933), (Ithaca: Cornell Mod-
ern Indonesia Project, 1971), h. 15; Azmi, et al., Sejarah Ulama, h. 60-61.
Lebih lengkap lihat dalam bab sebelumnya.
39

Lebih lengkap lihat dalam bab sebelumnya.


40

41
Syekh Hasan Maksum (1302/1884-1355/1937), merupakan seorang ulama (Mufti Kerajaan
Deli) di Medan.Pada tahun 1926, sejak kepindahannya dari Labuhan ke Medan, Syekh Hasan Maksum
mendirikan maktab yang dinamakan Maktab Syekh Hasan Maksum. Setelah beliau meninggal, maktab
ini diberi nama dengan Maktab Hasaniah oleh murid-muridnya. Diantara murid-murid yang tamat
dari maktab ini adalah Syekh Muhammad Arsyad Thalib Lubis. Nasib maktab ini sama dengan MIT,
yakni hanya bertahan sampai pecah Perang Dunia II tahun 1942. Lihat Chalidjah Hasanuddin, Al-
Jam’iyatul Washliyah 1930-1942; Api dalam Sekam di Sumatera Timur (Bandung: Pustaka, 1988), h.
7, 153. Terkait dengan guru-guru Syekh H. Abdul Halim Hasan ini tidak terdapat perbedaan antara
satu sumber dengan sumber lainnya.Semua sumber sepakat mengatakan bahwa guru-guru Syekh H.
Abdul Halim Hasan adalah sebagaimana dituliskan di atas. Lihat Dewan Harian Cabang Angkatan
45, Catatan PelakuSejarah, h. 1; Siddin, Sejarah Al-Ishlahiyah, h. 1; Hasan, Tafsir Al-Ahkam, h. lix;
IAIN Sumatera Utara, Sejarah Ulama-ulama, h. 233.
Syekh Mukhtar Attharid merupakan ulama kelahiran Bogor, Jawa Barat pada 14 Februari
42

1862.Beliau adalah ulama ahli syari’at dan hakikat. Lihat Dewan Harian Cabang Angkatan 45,
Catatan PelakuSejarah, h. 1.
Ibid.,h. 2.
43

44
Djamaluddin Adinegoro merupakan sastrawan dan tokoh pers Indonesia.Nama sebenarnya
adalah Djamaludin Datuk Marajo Sutan. Adinegoro adalah nama samaran yang ia gunakan dalam
tulisan-tulisannya. Nama Adinegoro lah yang lebih dikenal masyarakat dan diabadikan untuk nama
hadiah bagi karya jurnalistik yang menonjol di Indonesia. Adinegoro lahir di Talawi, Sumatera Barat,
14 Agustus 1904, meninggal 8 Januari 1967 di Jakarta.Adinegoro meninggal akibat serangan jantung
dan dimakamkan di pemakaman umum Karet, Jakarta. Pada batu nisannya tertulis: Djamaludin Adinegoro
Gelar Datuk Maradjo Sutan. Beliau adalah saudar tiri dari Muhammad Yamin, sang pemikir ulung
Indonesia pada masa pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ayahnya seorang Demang (Camat) yang
menginginkan Adinegoro menjadi seorang Dokter. Itulah sebabnya ia sekolah di Stovia, Jakarta (1918-
1925). Tulisan-tulisannya banyak menyerang Belanda secara halus, sehingga rumahnya sering digeledah
dan diawasi.Ia lalu bertekad untuk menjadi Jurnalis dan keluar dari sekolahnya Stovia. Adinegoro
belajar jurnalistik sampai ke Eropa, yaitu di Utrecht, Belanda kemudian Jerman.Ia juga memperdalam
pengetahuan mengenai Geografi, Kartografi, dan Geopolitik di Jerman dan Belanda (1926-1930).
Dalam dunia pers, ia pernah bekerja di majalah Panji Pustaka, harian Perwarta Deli Medan, dan
majalah Mimbar Indonesia. Ia ikut mendirikan Perguruan Tinggi Jurnalistik di Jakarta dan Fakultas
Publistik dan Jurnalistik Universitas Padjajaran. Di samping itu, ia pernah menjadi Tjuo Sangi In
Sumatera (semacam Dewan Rakyat) yang dibentuk Jepang (1942-1945), anggota Dewan Perancang

3
572
Muhammad Alpan Daulay: Peranan Syekh H. Abdul Halim Hasan Dalam Pengembangan Pendidikan
EDU RILIGIA: Vol. 2 No.4 Oktober-
Islam DiDesember
Kota Binjai2018
Pada Tahun 1927 – 1969

Nasional, anggota MPRS, Ketua Dewan Komisaris Badan Penerbit Gunung Agung, dan Presiden Komisaris
LKBN Antara. Karena kegiatannya dibidang pers yang sangat menonjol, namanya diabadikan untuk
penghargaan dalam bidang jurnalistik di Indonesia.Dalam hidupnya, praktis tiada hari tanpa membaca.Di
rumahnya, tiga ruangan penuh buku menjadi ruang kerja Adinegoro.Selain bekerja, sebagian besar
waktunya dihabiskan dengan membaca dan menulis.Sifatnya pendiam, ulet dan gigih.Adinegoro menulis
karya sastra dalam bentuk novel. Selain itu ia juga menulis buku-buku resensi. Judul-judul karyanya
antara lain: Darah Muda (novel, 1927), Asmara Jaya (novel,1928), Melawat ke Barat (novel,1930),
Beberapa judul buku referensi adalah Revolusi Kebudayaan (1954), Ensiklopedi Umum dalam Bahasa
Indonesia (1954), Ilmu Karang-Mengarang, serta Falasafah Ratu Dunia. Lihat dalam perpustakaan
nasional online http://sastra.perpusnas.go.id/home/tokoh_detail/29.Diunduh pada 10 Agustus 2017.
Siddin, Sejarah Al-Ishlahiyah, h. 2. Sayang sekali penulis tidak mengetahui banyak hal tentang
45

tokoh ini.Para penulis biografinya hanya mengatakan bahwa dia adalah guru Syekh H. Abdul Halim
Hasan dalam bidang kajian Bahasa Inggris.Karenanya, dapat dikatakan bahwa dia dikenal hanya
karena Syekh H. Abdul Halim Hasan pernah menjadi muridnya.
46
Ibid.
47
Ibid.
Abdullah Syah, “Sambutan” dalam Syekh H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam, cet. 1 (Jakarta:
48

Kencana Prenada Media, 2006), h. xix.


Lebih detail lihat dalam Syekh H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam, cet. 1 (Jakarta: Kencana
49

Prenada Media, 2006).


50
Abdullah Syah dalam Hasan, Tafsir Al-Ahkam, h. xix.
51
Penulis hanya memiliki 6 (enam) jilid kitab Tafsir Al-Qur’anul Karim karya ulama tiga serangkai
ini. Lihat dalam Abdul Halim Hasan, et.al., Tafsir Al-Qur’anul Karim, Jilid 1-6, cet. 2 (Medan: Firma
Islamyah, 1963).
Lihat dalam Abdul Halim Hasan, Adab Kesopanan Islam, cet. 1 (Medan: Al Ichwan, 1382/
52

1962), h. 128.
53
Lihat dalam Hamka, et.al., Sinar Memantjar dari Mesjid, (Medan: Al Ichwan, t.t.).
54
Hasan, Adab Kesopanan, h. 129.
55
Penulis tidak menemukan deskripsi tentang buku-buku nomor 5 s/d 12 di atas.
56
Lihat dalam Abdul Halim Hasan, Adab Kesopanan Islam, cet. 1 (Medan: Al Ichwan, 1382/
1962).
57
Lihat Syekh H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam, cet. 1 (Jakarta: Kencana Prenada Media,
2006).
58
Hamka, et.al., Sinar Memantjar dari Mesjid, (Medan: Al Ichwan, t.t.).

Daftar Pustaka
Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren Sekolah dan Madrasah, (Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 2001),
Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009)
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Binjai: Kencana,
2012)
Haidar Putra Daulay, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, (Medan: Perdana Mulya Sarana, 2012)
A Hasymy, ed., Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, cet. iii (t.t.p.: Al-Ma’arif, 1993)
Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, ed. Revisi, (Bandung: Citapustaka Media, 2007).
Abd. Mukti, Konstruksi Pendidikan Islam; Belajar Dari Kejayaan Madrasah Nizamiyah Dinasti Saljuq, Cet. I

3
573
Muhammad Alpan Daulay: Peranan Syekh H. Abdul Halim Hasan Dalam Pengembangan Pendidikan
Islam Di Kota Binjai Pada Tahun 1927 – 1969

(Bandung: Citapustaka Media, 2007). Buku ini merupakan Disertasi Prof. Dr. Abd. Mukti, MA
pada Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Abd. Mukti, Sejarah Sosial Pendidikan
Islam pada Masa Dinasti Salju>q; Sebuah Studi Tentang Madrasah Nizamiyah 1058-1157
(Yogyakarta: Disertasi PPS IAIN Yogyakarta, 2000)
A. Teeuw, Indonesia dalam Kegelisahan dan Keberaksaraan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1994)
Mulyanto Sumardi, Sejarah Singkat Pendidikan Islam di Indonesia 1945-1975 (Jakarta: Dharma Bhakti,
1978)
Suprayitno, Sejarah Kota Binjai; Sebuah Tinjauan Singkat Menuju ke Arah Penulisan Sejarah Kota (Binjai:
Makalah tidak diterbitkan, 2015)
M. Yusuf Pasaribu, Sejarah Kereta Api Tempo Dulu di Sumatera Utara (Medan: t.p., 2011)
Tengku Luckman Sinar Basarshah II, Perang Sunggal (1872-1895 ) (Medan: t.p., 1996)
Azhari Akmal Tarigan, “Syekh H.Abdul Halim Hasan (1901-1969); Moderatisme dalam Pemikiran Hukum
Islam”, dalam Syekh H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam, Ed. 1, cet. 1, (Jakarta: Kencana
Persada, 2006)
Syahrin Harahap, Al-Qurán and Sekularitaas (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994)
Komaruddin Hidayat, “Pengantar” dalam Ismatu Ropi, Kusmana (Ed.), Belajar Islam di Timur Tengah (Jakarta:
Departemen Agama RI, 2010)
Maksum Muchtar, “Kajian Islam Haramain: Pengalaman di Makkah”, dalam dalam Ismatu Ropi, Kusmana
(Ed.), Belajar Islam di Timur Tengah (Jakarta: Departemen Agama RI, 2010)
Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam (Semarang: Karya Toha Putra, tt)
Ahmad Syaukani, Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia Islam, Cet.2 (Bandung: Pustaka Setia, 2001)
Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah (Bandung: Salamadani, Jilid I, 2009)
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII ;
Akar Pembaruan Islam Indonesia, Edisi Revisi.Cet.III (Jakarta; Kencana Prenada Media
Group, 2007)
Basyral Hamidy Harahap, “Syekh H. Abdul Halim Hasan dan Perubahan Sosial”, diedit oleh Azhari
Akmal Tarigan dan Agus Khair dalam Syekh H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam,
cet. 1 (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006)
IAIN Sumatera Utara, Sejarah Ulama-ulama Terkemuka di Sumatera Utara, digandakan kembali
oleh Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara, (Medan: t.p., 1983)
Taufik Abdullah, School and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra” (1927-1933),
(Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, 1971)
Abdullah Syah, “Sambutan” dalam Syekh H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam, cet. 1 (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2006)
Syekh H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam, cet. 1 (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006).
Abdul Halim Hasan, Adab Kesopanan Islam, cet. 1 (Medan: Al Ichwan, 1382/1962)
Syekh H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam, cet. 1 (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006).
Hamka, et.al., Sinar Memantjar dari Mesjid, (Medan: Al Ichwan, t.t.).

3
574

Anda mungkin juga menyukai