Anda di halaman 1dari 10

Nama : IKHWAN UMAR

NPM : 210307036

Kelas/Jurusan : IIIA /PAI

Mata Kuliah : Materi PAI sekolah/Madrasah

Dosen Pengampu : SOPIATUN NAHWIYAH, S.Pd.I.,M.A.

SEJARAH PERKEMBANGAN LEMBAGA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


(MADRASAH)

Pembangunan nasional di bidang pendidikan mempunyai makna dan peranan yang sangat
urgen dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat berbudaya. Adapun diantara lembaga
pendidikan Islam yang dibangun dan berkembang di Indonesia antara lain adalah; pesantren,
surau, meunasah, dan madrasah.

Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang bersifat
tradisional dan juga modern untuk mendalami ilmu agama Islam, dan
mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari dengan penekanan pada moral dalam
hidup bermasyarakat, sedangkan surau adalah sebuah tempat ibadah yang pertama kali berdiri
di Sumatra barat tepatnya di Minangkabau yang mana saat ini dijadikan sebagai sarana
pendidikan agama. Meunasah merupakan pendidikan Islam terendah. Meunasah itu sendiri
sering dijadikan sebagai tempat upacara keagamaan, penerimaan zakat, dan kegiatan
keagamaan lainnya. Lembaga pendidikan keempat yaitu madrasah.
Madrasah sebagai salah satu pilar dari pendidikan Islam merupakan lembaga
pendidikan yang sudah dikenal sejak tahun 1065-1067 di Baghdad yang didirikan oleh
Nidzam al-Mulk seorang perdana menteri pada masa kekhalifahan Bani Saljuk. Oleh karena
itu madrasah ini dikenal dengan sebutan madrasah Nidzamiyah. Menurut al-Jumbulati,
sebelum abad ke-10 sudah ada madrasah yang didirikan yaitu madrasah al-Baihaqiyah di
kota Naisabur.
Yang melatar belakangi munculnya madrasah adalah disebabkan masjid-masjid pada
saat itu tidak lagi mampu menampung kegiatan-kegiatan halaqah atau pengajian dari para
guru dan murid, hal ini dikarenakan semakin banyaknya siswa atau murid yang ikut belajar di
dalamnya, juga ditambah dengan semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
kegiatan penerjemahan buku pada saat itu.
Di Indonesia, permulaan munculnya madrasah baru terjadi sekitar awal abad ke-20.
Meski demikian, latar belakang berdirinya madrasah tidak lepas dari dua faktor, yaitu;
semangat pembaharuan Islam yang berasal dari Islam pusat (Timur Tengah) dan merupakan
respon pendidikan terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang mendirikan serta
mengembangkan sekolah umum tanpa memasukkan pelajaran agama.
A. sejarah Madrasah dalam Islam

Dalam literature Islam klasik (turats), dijumpai istilah madrasah dalam


pengertian “aliran” atau “madzhab”. Para penulis Barat menerjemahkannya dengan
school atau aliran, seperti Madrasah Hanafi, Madrasah Maliki, Madrasah Syafi’I,
dan Madrasah Hanbali. Di sini, kata madrasah menjadi sebutan bagi sekelompok
ahli yang mempunyai pandangan atau paham yang sama dalam ilmu-ilmu
keislaman, seperti dalam bidang ilmu fiqih di atas. Timbulnya madrasah-madrasah
(aliran-aliran) tersebut ditandai dengan kebebasan intelektual pada masa puncak
kejayaan perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam, yakni pada masa
Abbasiyah.

Pada masa Khalifah Umar bin khattab dijumpai sejumlah tenaga pengajar
yang secara resmi diangkat oleh khalifah untuk mengajar di masjid-masjid Kuffah,
Bashrah dan Damaskus. Fungsi masjid sebagai rumah ibadah dan sebagai lembaga
pendidikan berjalan secara harmonis. Pada umumnya masjid memang dibangun
sebagai tempat ibadah, dengan fungsi akademis sebagai skunder. Akan tetapi, tak
jarang pula masjid dibangun dengan niat awal sebagai lembaga pendidikan tanpa
mengabaikan fungsinya sebagai tempat ibadah. Sejumlah masjid bahkan secara
khusus dibangun untuk seorang sarajana yang nantinya akan mengelola kegiatan
pendidikan di masjid tersebut. Sekedar contoh Masjid Al-Syafi’I, Masjid al-
Syamargani dan masjid Abu Bakar al-Syami, masing-masing merujuk pada nama
sarjana yang mengajar di dalamnya.

Tahap kedua dari sejarah pendidikan Islam adalah masjid-Khan, yaitu


masjid yang dilengkapi dengan bangunan asram atau pondokan bagi para siswa
untuk belajar yang masih berdampingan dengan masjid. Kemudian Masjid-Khan
tersebut mengalami perkembangan menjadi Madrasah, di mana di dalamnya terjadi
proses belajar mengajar antara pendidik dan si terdidik. Ada perbedaan antara
esensial antara masjid dengan madrasah. Kedua institusi ini berasal dari waqf.
Masjid sebagai bangunan waqf, bebas dari control pendirinya yang disebut Waqf-
Tahrir. Sedangkan madrasah di bawah control pendirinya.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam dalam bentuk pendidikan
formal sudah dikenal sejak tahun 1066/1067 M (459 H) di Baghdad yang didirikan
oleh Nidzam al-Mulk, seorang Perdana Menteri Dinasti Saljuk. Ia adalah salah satu
di antara beberapa orang yang paling terpelajar pada zamannya, yang sangat
menguasai Hadith, dan merupakan salah seorang diantara ahli teori politik Islam
terbesar, sebagaimana ditunjukkan dalam karyanya yang terkenal Siyasah Namah.
Dari segi fisik, madrasah berbeda dengan institusi-institusi pendidikan
Islam sebelumnya, kelengkapan ruangan (belajar) yang dikenal dengan ruangan
muhadlarah (untuk diskusi), serta bangunan-bangunan yang berkenaan dengan
pengamanan bagi murid-murid dan guru-guru. Demikian pula sisi administrasinya
juga berbeda.

B. Sejarah Perkembangan Lembaga Pendidikan Agama Islam (Madrasah) di Indonesia

Dalam sejarah perkembangan madrasah di Indonesia, dikenal dua jenis


madrasah, madrasah diniyah dan madrasah non-diniyah. Madrasah diniyah
merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang kurikulumnya 100% materi
agama. Adapun madrasah non-diniyah adalah lembaga pendidikan keagamaan yang
kurikulumnya, disamping materi agama, meliputi mata pelajaran umum dengan
prosentase beragam.
Madrasah sebagaimana yang kita kenal dewasa ini, bukan institusi atau
lembaga pendidikan Islam asli Indonesia, tetapi berasal dari dunia Islam Timur
Tengah yang tumbuh dan berkembang sekitar abad ke-10 H/11 M. madrasah muncul
sebagai simbol kebangkitan golongan sunni, dan madrasah didirikan sebagai sarana
transmisi ajaran-ajaran golongan Sunni. Pada perkembangan berikutnya, madrasah
merupakan lembaga pendidikan Islam formal, berbeda dengan kuttab dan masjid.
Seluruh dunia Islam telah mengadopsi sistem madrasah di samping kuttab dan
masjid, untuk mentransfer nilai-nilai Islam.
Pada awal perkembangannya, madrasah tergolong lembaga pendidikan
setingkat college (jika dibadingkan dengan lembaga pendidikan Islam saat ini).
Namun, selanjutnya madrasah tidak lagi berkonotasi sebagai akademi, tetapi sekolah
tingkat dasar sampai menengah.

Fase pertama, adalah fase awal munculnya pendidikan informal, yang


dipentingkan pada tahap awal yaitu pengenalan nilai-nilai Islami, selanjutnya baru
muncul lembaga-lembaga pendidikan Islam yang diawali dengan munculnya masjid-
masjid dan pesantren-pesantren.
Fase kedua, adalah fase ketika masuknya ide-ide pembaharuan pemikiran
Islam ke Indonesia. Gerakan pembaharuan Islam di Indonesia dilatar belakangi oleh
kesadaran dan semangat yang kompleks. Karel A. Steenbrink yang dikutip oleh
Samsul Nizar mengidentifikasikan empat faktor pendorong gerakan pembaruan
Islam di Indonesia, yaitu: (1) faktor keinginan kembali kepada al-Qur’an dan
Sunnah, (2) faktor semangat nasionalisme melawan penguasa Kolonial Belanda; (3)
faktor memperkuat basis gerakan sosial, ekonomi, budaya, dan politik; dan (4) faktor
untuk melakukan pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia.
Fase ketiga, adalah fase masuknya madrasah dalam sistem pendidikan
nasional, di mana madrasah menjadi bagian pendidikan nasional, sehingga
pemerintah ikut memperhatikan tumbuh kembangnya madrasah di Indonesia.
Dengan SKB Tiga Menteri, Departemen Agama melakukan usaha
pemantapan struktur madrasah. Sejumlah keputusan dikeluarkan untuk mengatur
organisasi dan tata kerja madrasah. Departemen Agama juga mengeluarkan
peraturan tentang persamaan ijazah madrasah swasta dengan madrasah negeri.
Kurikulum madrasah pun diadakan penyusunan ulang dengan memuat mata
pelajaran umum dalam jumlah sama dengan kurikulum sekolah pada tiap-tiap
jenjangnya. Dengan demikian madrasah dapat dikatakan sebagai sekolah plus
pendidikan agama.

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) DI SEKOLAH DASAR


TAHUN 1945-1966
Berdasarkan hasil penelitian yang berjudul “Sejarah Pendidikan Agama Islam di Sekolah
Dasar tahun 1945-1966”, dapat disimpulkan beberapa hal.

Pertama, pendidikan Indonesia setelah kemerdekaan mengalami perubahan. Pemerintah ingin


membuat sistem pendidikan nasional yang sesuai dengan keadaan rakyat Indonesia. Hal itu dengan
dibahasnya landasan, tujuan, dan segala macam hal yang menyangkut perubahan sistem pendidikan
demi tercapainya cita-cita pembangunan Indonesia yang lebih baik.

Kedua, dimasukkannya PAI dalam kurikulum nasional dirasakan penting sebagai dari
perubahan dalam sistem kenegaraan yang dinyatakan dalam UndangUndang Dasar 1945 dan
Pancasila yang dengan jelas menyebutkan bahwa negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa dan bagi setiap warga negara berhak memeluk agama yang diyakininya masing-masing.

Ketiga, perkembangan Pendidikan Agama setelah dimasukkan dalam kurikulum pengajaran


dalam rentang tahun 1946-1966 memperlihatkan perubahan yang lebih signifikan. Meskipun pada
awal dimasukkannya Pendidikan Agama hanya bersifat opsional.

CORAK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA KURIKULUM MADRASAH DAN


SEKOLAH

A. Porsi dan Posisi Pendidikan Agama Islam

Dilihat secara kuantitatif, porsi pendidikan agama Islam di sekolah memang hanya tiga jam
pelajaran untuk SD dan dua jam pelajaran untuk SMP atau SMA/K, dengan tuntutan pencapaian
standar kompetensi lulusan yang sudah ditetapkan dalam Permen Diknas Nomor 23 Tahun 2006.

Di dalam GBPP mata pelajaran pendidikan agama Islam kurikulum 1994 pada dasarnya
mencakup tujuh unsur pokok, yaitu, Al-Qur’an dan Hadis, keimanan/akidah, akhlak, fiqh (hukum
Islam), dan tarikh (sejarah) yang menekankan pada perkembangan politik.

Kelima aspek PAI tersebut dapat ditanamkan kepada peserta didik melalui pembelajaran yang
menggunakan pendekatan kontekstual, yang intinya selalu mengaitkan pembelajaran PAI dengan
konteks dan pengalaman-pengalaman hidup peserta didik yang beraneka ragam atau konteks masalah-
masalah serta situasi-situasi riil kehidupannya.

Pasca keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri pada tanggal 24 Maret 1975
yang disepakati oleh Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam
Negeri. Maka komposisi kurikulum madrasah harus sama dengan sekolah. Dengan konsekuensi, mata
pelajaran agama terdistorsi porsinya menjadi 30% dan materi pelajaran umum mendominasi dengan
prosentase 70%.
Berikut perubahan kurikulum yang diajarkan di madrasah dan pesantren

Periode Pesantren dan Madrasah Diniyah Madrasah


Sampai 1906 Kurikulum tradisional 100% Agama. -
1906-1945 Kurikulum tradisional mandiri 100%. Kurikulum mandiri, agama
dan umum
1945-1975 Kurikulum mandiri 100% Agama. Kurikulum mandiri, 70%
agama dan 30% umum.
1975-1989 Kurikulum mandiri 100% agama. Kurikulum Depag 70%
umum dan 30% agama.
1989-2003 Kurikulum mandiri dan agama masih mendominasi. Kurikulum Depag
memadukan antara
kurikulum umum dan
agama.
2003-2005 Kurikulum mandiri dan mengikutsertakan pelajaran Kurikulum Depag 100%
umum (Matemática, IPA, Bahasa Indonesia, umum dan 5 bidang mata
pelajaran PAI.
Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Inggris, dan
Pendidikan Seni Budaya).

Seiring perkembangan dan dinamika yang terjadi dalam konteks negara, pelaksanaan
pendidikan agama pada umumnya serta pen didikan agama Islam pada khususnya di sekolah-sekolah
umum dan madrasah tersebut semakin kokoh dengan berbagai terbitnya perundangundangan dan
peraturan pemerintah.

Sedangkan periode 2005 memuat struktur dan muatan kurikulum diantaranya pendidikan
Agama Islam. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan Pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa struktur dan muatan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada jenjang pendidikan dasar dan menengah meliputi lima
kelompok mata pelajaran sebagai berikut;

1. Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia

2. Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian

3. Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi

4. Kelompok mata pelajaran estetika

5. Kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga dan kesehatan


Dengan cakupan kelompok mata pelajaran Agama dan Akhlak Mulia: Kelompok mata
pelajaran agama dan akhlak mulia dimaksudkan untuk membentu peserta didik menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup
etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama.

B. Peraturan Kebijakan Pendidikan Agama


a. UU No. 4 Tahun 1950 jo UU NO. 12 Tahun 1954
b. TAP MPRS No. II/1960
c. TAP MPRS No.XXVII/MPRS/1966
d. SKB 3 Menteri nomor 6 Tahun 1975
e. UU No. 2 Tahun 1989
f. UU No. 20 tahun 2003
g. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional/PP No. 55 Tahun 2005 tentang pendidikan
agama dan pendidikan keagamaan, pendidikan agama wajib diajarkan pada semua jenis, jalur,
dan jenjang pendidikan (negeri dan swasta).
h. Peraturan Menteri Agama RI Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama
Pada Sekolah.

Tahapan-tahapan ini menunjukkan kesadaran bangsa mengenai pentingnya pendidikan agama


di sekolah sebagai salah satu perwujudan Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945. Penyelenggaraan
pendidikan agama di Indonesia merupakan hasil pergulatan besar umat Islam sendiri dalam konteks
sistem pendidikan nasional. Kini posisi Pendidikan Agama Islam di dalam sistem pendidikan
Indonesia semakin kuat. PAI termasuk sebagai mata pelajaran dalam pendidikan nasional.

C. Keberhasilan pendidikan agama di sekolah umum

Penilaian secara moderat, pendidikan agama di sekolah umum berhasil, tetapi dalam beberapa
hal masih mengalami hambatan dan kendala. Diantara keberhasilannya itu; Pertama , dengan
dilakukan program pendidikan agama di sekolah umum, dilihat dari perspektif cita-cita pendidikan
nasional, usaha Departemen Agama dalam membina pendidikan agama di sekolah umum telah
berhasil mewujudkan cita-cita konvergensi. Kedua, sekolah sepenuhnya tidak bersifat sekuler, karena
peserta didik belajar agama dan mengamalkannya. Ketiga, di sisi lain, madrasah dan sekolah-sekolah
agama tidak lagi menganggap ilmu-ilmu umum hal yang bersifat dunia yang diharamkan untuk
dipelajari, sekarang ilmu-ilmu umum dipelajari oleh siswa-siswa madrasah dan sekolah agama.

D. Kelemahan pembelajaran PAI di sekolah-sekolah

Muhaimin menuliskan indikator-indikator kelemahan pelaksanaan PAI di sekolahsekolah;


1. PAI kurang bisa mengubah pengetahuan agama yag kognitif menjadi “makna” dan “nilai” atau
kurang mendorong penjiwaan terhadap nilai-nilai keagamaan yang perlu diinternalisasikan dalam
diri peserta didik.
2. PAI kurang dapat berjalan bersama dan bekerja sama dengan program-program pendidikan
nonagama;
3. PAI kurang mempunyai relevansi terhadap perubahan sosial budaya, dan/atau bersifat sttis
kontekstual dan lepas dari sejarah, sehingga peserta didik kurang menghayati nilainilai agama
sebagai nilai yang hidup dalam keseharian.

PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA DI PESANTREN,


MADRASAH DAN SEKOLAH

A. Pendahuluan

Kata “kurikulum” berasal dari bahasa Yunani yang semula digunakan dalam bidang olah raga
yaitu currere yang berarti jarak tempuh lari, yaitu jarak yang harus ditempuh dari start sampai ke
finish. Namun lambat laun pengertian ini digunakan dalam dunia pendidikan. Dalam bahasa Arab
kurikulum diistilahkan dengan manhaj, yaitu jalan yang terang, atau jalan yang terang yang dilalui
manusia pada kehidupanya. Dalam konteks pendidikan, kurikulum berarti jalan terang yang diikuti
oleh guru dan peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan, sikap dan nilai-nilai
kependidikan.

B. Metode

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat library research atau kajian pustaka. Karena
kajian ini bersifat pustaka, untuk itu dalam seluruh prosesnya dari awal hingga akhir penelitian,
penulis menggunakan berbagai macam pustaka yang relevan untuk menjawab permasalahan yang
dicermati. Sementara itu, penelitian kajian pustak merupakan penampilan argumentasi penalaran
keilmuan yang memaparkan hasil kajian pustaka dan hasil olah pikir peneliti mengenai topik atau
masalah kajian, dimana memuat beberapa gagasan atau proposisi yang berkaitan yang harus didukung
oleh data yang diperoleh dari sumber pustaka.

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analistik
dengan menerapkan analisa konten sebagaimana yang digagas oleh Shelley dan Krippendorff yaitu
teks, mengajukan pertanyaan riset, memahami konteks, menganalisa konstruks, melakukan inferensi
dan validasi data.
C. Hasil

Berbicara tentang Lembaga pendidikan, khususnuya lembaga pendidikan Islam di Indonesia,


terdapat empat model atau kategori pendidikan yang dipraktekkan. Pertama adalah pendidikan
Pondok Pesantren, yaitu pendidikan Islam yang diselenggarakan secara tradisional. Kedua adalah
pendidikan Madrasah, yaitu pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh lembagalembaga dengan
model Barat yang menggunakan metode pengajaran klasikal dan berusaha menanamkan Islam sebagai
landasan hidup ke dalam diri peserta didik. Ketiga adalah pendidikan umum yang bernafaskan Islam,
yaitu pendidikan Islam yang dilaksanakan melalui pengembangan suasana pendidikan yang
bernafaskan Islam di lembaga-lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan yang
bersifat umum. Keempat adalah Pelajaran Agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga
pendidikan umum atau sekolah umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja. Yang
kesemuanya dari empat model pendidikan tersebut mempunyai kurikulum yang berbeda-beda atau ciri
khasnya masing-masing.

Selain kesemua model lembaga pendidikan di Indonesia tersebut mempunyai kurikulum


Pendidikan Agama masing-masing yang berbeda-beda, lembagalembaga tersebut juga mempunyai
cara mengembangkan kurikulum yang berbedabeda pula.

Adapun pengertian Pengembangan kurikulum adalah proses perencanaan kurikulum, agar


menghasilkan rencana kurikulum yang luas dan spesifik. Proses ini berhubungan dengan seleksi dan
pengorganisasian. Berbagai komponen situasi belajar mengajar, antara lain menetapkan jadwal
pengorganisasian kurikulum dan spesifikasi tujuan yang disarankan, mata pelajaran, kegiatan,
mengacu pada kreasi sumber-sumber unit, dan garis pelajaran kurikulum ganda lainnya, untuk
memudahkan proses belajar mengajar.

Sedangkan menurut Muhaimin dalam bukunya Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama


Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, bahwa Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Agama Islam dapat diartikan sebagai berikut:

a. Kegiatan menghasilkan kurikulum pendidikan Agama Islam


b. Proses yang mengaitkan satu komponen dengan komponen lainnya untuk menghasilkan
kurikulum pendidikan Agama Islam yang lebih baik.
c. Kegiatan penyusunan (desain), pelaksanaan, penilaian dan penyempurnaan kurikulum
pendidikan Agama Islam.
D. Kesimpulan

Kurikulum pendidikan di pesantren diklasifikasikan menjadi empat, yaitu pesantren yang


menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya
memiliki sekolah keagamaan maupun yang juga memiliki sekolah umum, pesantren yang hanya
mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan agama dalam bentuk madrasah diniyah, pesantren yang hanya
sekedar menjadi tempat pengajian, dan terakhir adalah pesantren yang menyelenggarakan pendidikan
keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum, meski tidak
menerapkan kurikulum nasional. Meskipun demikian, semua perubahan itu, sama sekali tidak
mencabut pesantren dari akar kulturnya. Secara umum pesantren tetap memiliki fungsi-fungsi
lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu pengetahuan agama (tafaqquh fi addin) dan
nilai-nilai islam (Islamic values), lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial, lembaga
keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering).

Madrasah merupakan suatu lembaga pendidikan yang lebih menekankan pada pendidikan
agama. Kurikulum PAI di Madrasah memiliki suatu hal yang lebih pokok yang memang diharapkan
dan bukan hanya dalam target tujuan PAI tapi juga sebagai pendidikan yang lahir dari agama islam
diharapkan dapat berkompetensi jasmani dan rohani, artinya berkompetensi dalam hal sikap, skill,
pengetahuan secara afektif, kognitif, psikomotorik sesuai dengan ajaran agama Islam dalam aspek
jasmani. Dan dengan adanya kurikulum madrasah diharapkan menjadikan anak didik menjadi
makhluk yang beriman dan bertaqwa kepada Allah serta senantiasa mau mengamalkan apa yang telah
diajarkan di dalam madrasah.

Kurikulum PAI di sekolah terdiri atas beberapa aspek, yaitu aspek AlQur’an, Hadits,
keimanan atau aqidah, akhlak, fiqih (hukum Islam) dan aspek Tarikh (sejarah). Dalam sejarah
pendidikan di Indonesia, aspek-aspek pendidikan Islam telah mengalami berbagai perubahan dan
perbaikan. Hal ini disebabkan oleh kebijakan (policy) yang pernah diberlakukan dari satu pemerintah
ke pemerintahan lain. Demikian juga, pendidikan Islam mendapat efek dari perubahan kebijakan
tersebut. Sehingga dalam kurikulum seperti yang telah dikemukakan di atas, mengalami perubahan,
baik itu dari masa Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Sehingga dapat dilihat corak model
pengembangan kurikulum PAI yang pernah berkembang, seperti model dikotomi, model mekanisme
dan model organisme atau sistematik.

Anda mungkin juga menyukai