Anda di halaman 1dari 9

A.

PENDAHULUAN
Perjalanan Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia seiring
dengan masuknya Islam ke bumi Nusantara yang ditransmisikan melalui jaringan
ulama Timur Tengah dan Nusantara pada abad ke-17 yang tercipta secara
ekstensif melalui tradisi keilmuan. Tradisi keilmuan di kalangan ulama sepanjang
sejarah Islam berkaitan erat dengan lembaga-lembaga sosial keagamaan dan
pendidikan seperti madrasah, ribath bahkan rumah guru. Dilandasi hal ini, maka
lembaga pendidikan Islam di Indonesia pada masa awal mensinergikan antara
corak indigenous keindonesiaan (dengan tradisi Hindu dan Budha) dengan nuansa
Timur Tengah, seperti berdirinya surau, langgar, musholla, masjid dan pesantren
yang kemudian mengalami modernisasi seperti madrasah dan perguruan Tinggi.
Meskipun sebagaian ahli dan sejarawan Islam berasumsi bahwa masuknya Islam
ke Indonesia pada abad ke-7 Masehi dan dapat tersebar serta berkembang pada
abad ke-15 yang kemudian secara resmi dianut oleh mayoritas rakyat dan
penguasa pada abad ke-16, bukan berarti lembaga pendidikan Islam sudah
tersistem pada masa-masa itu.
Masih menguatnya sistem ajaran Hindu dan Budha yang menjadi kendala
tersendiri bagi perkembangan pendidikan agama Islam, menjadikan lembagalembaga pendidikan Islam pada masa awal masih banyak mengadopsi sistem
Hindu. Surau dan Pondok Pesantren awalnya meupakan tempat belajar dengan
sistem Hindu, namun dalam perkembangan selanjutnya diislamisasi sesuai dengan
lembaga pendidikan Islam. Hingga akhirnya pada awal abad 19 oleh para
sejarawan barulah disinyalir sebagai awal perkembangan pendidikan Islam di
Indonesia. Abad ini dianggap demikian sebab saat itu merupakan babak baru
kondisi pendidikan Islam di Indonesia, pertumbuhan dan perkembangannya begitu
pesat, serta pengelolaan juga terorganisir secara rapi. Kondisi ini disebabkan
masuknya pemikiran pembaruan dari Timur Tengah
serta sudah adanya
kompetisi dengan pendidikan modern oleh pemerintah Belanda.
Kedatangan Islam di Nusantara memang hampir bersamaan dengan, atau
segera disusul oleh kedatangan kaum kolonialis Eropa. Penjajahan Belanda yang
berlangsung kurang lebih tiga setengah abad tersebut, kemudian menghalangi
gerak dakwah para ulama dan kyai yang datang dari Timur Tengah. Sebagai
contoh dari bentuk penghalangan Belanda terhadap gerak dakwah para ulama
dan kyai Timur Tengah tersebut adalah adanya perlakuan diskriminatif yang
diwujudkan dalam bentuk Kebijakan dengan mewajibkan para kyai dan ulama
yang akan melakukan pengajaran atau pengajian agar izin dahulu terhadap
Belanda, padahal tidak semua ulama atau kiyai juga diberi izin untuk mengajar.
Tindakan diskriminatif lainnya juga bahwa kolonial Belanda mempersulit
perjalanan ke luar negeri untuk melakukan ibadah haji. Perizinan untuk melakukan
perjalanan dari satu provinsi ke provinsi lain untuk pelaksanaan penyebaran
1

agama Islam juga sangat dibatasi. Atas keadaan inilah, maka keadaan pendidikan
Islam di Indonesia sangat terhambat dengan kualitas sangat memprihatinkan.
Transmisi keilmuan dan interaksi intelektualitas dengan negeri-negeri Muslim juga
terhenti, sampai ketika Belanda berusaha membuat lembaga pendidikan yang
bercorak Barat, umat Islam tidak mau ketinggalan dengan memperkuat lagi peran
pesantren yang lebih berupa padepokan dengan penekanan aktifitas pada
kegiatan tarekat.
Dalam sistem stratifikasi sosial kolonial yang paling tidak diuntungkan dalam
sistem pendidikan colonial adalah mereka yang diidentifikasi oleh Clifford Geertz
sebagai golongan santri. Di bawah pimpinan para ulama, golongan santri yang
juga disebut sebagai kelompok sosial yang paling banyak melahirkan
wirausahawan pribumi itu merupakan golongan yang dalam hal pendidikan
modern termasuk paling rendah. Ketika pemerintah Belanda ingin menyertakan
rakyat Hindia Belanda dalam peradaban modern dengan mengenalkan pendidikan
modern (Belanda, Barat, Sekuler), para ulama mengimbanginya dengan
mengembangkan dan mendirikan lebih banyak pesantren-pesantren.
Lembaga Pendidikan Islam Tradisional: Dari Surau sampai
Pesantren
Pembaruan intelektual yang terbentuk melakui jaringan ulama memunculkan
semangat keagamaan baru. Gerakan keagamaan yang bersifat spiritual seperti
tarekat banyak bermunculan. Tarekat-tarekat yang merupakan aliran sufi seperti
Qadiriyah, Naqsyabandiyah, dan Syatariyah membentuk basis umat di surau, dayah,
dan pesantren.
B.

Aliran Sufi mampu melakukan Islamisasi hingga mencapai wilayah periferal


atau pedalaman. Sufi mudah diterima oleh masyarakat lokal karena pada hakikatnya
aliran tersebut toleran dengan budaya lokal. Islam sebagai realitas sosial mampu
mengakomodasi budaya yang termanifestasi dalam kehidupan masyarakat
(Azyumardi Azra, 1999: 12). Oleh karena itu, dalam kehidupan beragama local
geniusmasih kentara. Hal ini dapat diamati juga dalam lembaga pendidikan Islam di
Nusantara.
1.

Surau

Surau merupakan sebuah institusi pendidikan Islam di Sumatera Barat.


Walaupun demikian, Surau telah menjadi bagian dari sistem adat dan budaya
masyarakat Minangkabau sebelum Islam masuk ke wilayah ini. Sistem kekerabatan
matrilineal dalam masyarakat Minangkabau mengatur bahwa laki-laki hanya bisa
bertamu ke rumah isterintya saja. Surau merupakan tempat kediaman para pemuda
yang telah akil balig dan menjadi tempat untuk menimba ilmu ( Dobbin, 2008: 191).
Oleh karena itu surau menjadi saluran yang strategis sebagai sarana Islamisasi.

Surau menjadi pusat tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, dan Syatariyah. Tarekat


menjadi ikatan solidaritas sosial baru di tengah segmentasi masyarakat adat
Minangkabau. Dalam suatu tarekat ketaatan seorang guru kepada murid sifatnya
mutlak. Guru menjadi sentral ilmu bagi para muridnya untuk mempelajari al Quran
maupun kitab-kitab klasik lainnya.
2.

Dayah

Dayah berasal dari kosakata Arab zawiyah yang berarti bangunan yang
berkaitan dengan masjid. Dalam dialek Aceh pengucapan kata zawiyah menjadi
dayah yang secara fungsional merujuk pada tempat pendidikan (Haidar Putra
Daulay, 2007:25). Materi yang diajarkan merupakan Alquran dan kitab klasik
mengenai fiqih, tauhid, tasawuf, dan sebagainya.
3.

Pesantren

Pesantren secara ketatabahasaan berasal dari kata santri yang mendapat


awalan pe- dan akhiran an, yang berarti tempat tinggal para santri. Dalam sebuah
pesantren terdapat lima elemen penting antara lain: pondok, masjid, kyai, santri,
dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik (Zamakhsyari Dhofier, 1983: 44-60).
Pertama, pondok. Kata pesantren sering disejajarkan dengan istilah pondok
yang berarti tempat untuk tinggal dan belajar. Keduanya bahkan diucapkan sebagai
suatu kesatuan. Pemondokan merupakan suatu yang penting karena pada umumnya
santri berasal dari berbagai daerah yang jauh. Kondisi pesantren juga berada di
perkampungan yang jarang terdapat perumahan yang dapat menampung santri.
Kedua, Masjid. Masjid secara istilah merupakan tempat sujud dan peribadatan
umat Islam. Dalam dimensi lain masjid juga dapat berfungsi sebagai sarana
pendidikan maupun kegiatan sosial.
Ketiga, Kyai. Istilah ini merujuk pada gelar yang disematkan oleh masyarakat
kepada orang yang ahli dalam bidang agama yang memimpin pesantren. Kyai
merupakan golongan elit dalam struktur masyarakat. Sosok kyai bahkan
dianggap mashum atau tanpa salah ( Ahmad Syafii Maarif, 2006: 58).
Keempat, Santri yakni siswa yang belajar di pesantren. Hubungan santri dan
kyai ditandai dengan kepatuhan mutlak kepada sang kyai.
Kelima, pengajaran kitab-kitab Islam Klaik terutama yang bermazhab Syafii. Selain Al
Quran terdapat delapan kitab yang diajarkan antara lain nahwu, saraf, fiqh, ushul
fiqh,
hadis,
tafsir,
tauhid,
tasawuf
dan
etika,
dan
cabang
lain
seperti tarikh dan balagh. Kitab klasik tersebut diistilahkan dengan kitab kuning yang
wajib dipelajari seorang santri. Tujuan pembelelajaran pesantren ialah mencetak
para ulama. Sistem pembelajaran di pesantren dapat digolongkan menjadi dua yakni
3

metode soroganyaitu sistem pengajaran yang sifatnya individual bagi siswa yang
mampu membaca Al Quran dan metode bandongan atau weton yaitu sistem
pembelajaran secara massal dengan mendengarkan seorang guru yang membaca,
menerjemahkan, menerangkan, dan mengulas buku Islam dalam bahasa Arab.
C.

Lembaga Pendidikan Islam Formal: Madrasah dan Perguruan Tinggi


Madrasah yang berkembang di Indonesia berbeda dengan perkembangan
madrasah yang ada di Timur Tengah. Madrasah di Indonesia merupakan
perkembangan lebih lanjut atau pembaruan dari pesantren dan surau, sementara
madrasah yang ada di timur tengah pada abad pertengahan serupa dengan
lembaga pesantren yang ada di Indonesia. Di samping terdapat unsur-unsur
seperti pesantren yaitu masjid, asrama dan ruang belajar, madrasah di Timur
Tengah memiliki syaikh atau professor sebagai pemegang otoritas. Dalam
konteks Indonesia, ini seperti keberadaan seorang kyai di pesantren. Meskipun
sejarah pertumbuhan madrasah di Indonesia dipandang memiliki latar belakang
sejarah yang berbeda dari madrasah yang ada di Timur Tengah, namun
keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh pembaruan pendidikan Islam
di Timur Tengah.
Perkembangan Madrasah pada abad Modern ini terjadi pada kurun awal
abad ke-20 di mana pendidikan Islam mulai mengadopsi mata pelajaran non
keagamaan. Latar belakang pertumbuhan ini tidak dapat dilepaskan dari gerakan
pembaruan di Indonesia dan adanya respon pendidikan Islam terhadap kebijakan
pendidikan pemerintah Hindia-Belanda.
Beberapa Ulama yang telah berjasa menggagas tumbuhnya madrasah di
Indonesia, antara lain adalah Syekh Abdullah Ahmad, pendiri Madrasah Adabiyah
di Padang pada tahun 1909, disusul pada tahun Syekh M. Thaib Umar mendirikan
Madrasah School di Batusangkar, yang sempat tutup dan dibuka kembali pada
tahun 1918 oleh Mahmud Yunus. Tahun 1923 madrasah ini berganti nama Diniyah
School. Pada tahun yang sama, Madrasah Diniyah Putri didirikan oleh Rangkayo
Rahmah el-Yunusiyah yang sebelumnya, pada tahun 1915 Zainuddin Labai alYunusi mendirikan Madrasah Diniyah. Madrasah Diniyah ini kemudian berkembang
di Indonesia, baik merupakan bagian pesantren, surau atau yang lain, seperti
beberapa organisasi Islam kemasyarakatan yang banyak mengelola madrasah. Di
antara organisasi-organisasi tersebut adalah Muhammadiyah, al-Irsyad,
Perhimpunan Umat Islam (PUI), persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), alJamiatul Washliyah, al-ittihadiyah, Nahdatul Ulama dan Persatuan Islam.
Sejak lahirnya, madrasah memiliki sistem tersendiri yang menjadi ciri khas
dan membedakannya dengan pesantren dan sekolah umum, yaitu adanya
pemaduan pelajaran umum dan agama, meskipun pemaduan kurilkulum tidaklah
sama antara satu madrasah dengan madrasah lain. secara historis, dapat dilihat
bahwa madrasah telah mengelami perubahan-perubahan. Pada tahap awal
madrasah semata mengajarkan maata pelajaran agama, namun pada akhirnya,
4

sesuai dengan tuntutan zaman, madrasah memasukkan mata pelajaran umum


yang semula hanya sebagai pelengkap, Namun setelah keluarnya SKB tiga menteri
pada tahun 1975 yaitu SK berdasarkan kesepakatan yaitu Departemen dalam
Negeri, Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Yang
menjembatani adanya dikotomi ilmu-ilmu umum dan agama. Dengan SKB ini tidak
ada lagi perbedaan mendasar antara lulusan madrasah dan sekolahn umum. Baik
dalam kesempatan melanjutkan studi maupun kesempatan memperoleh peluang
kerja. Dengan adanya SKB tiga mentri ini madrasah memasuki era baru, yang
mana mata pelajaran umum dominan 70% namun, bukan berarti menafikan
kedudukan mata pelajaran agama.Mengkaji sejarah Perguruan Tinggi Agama
Islam dapat dilacak keberadaannya sejak didirikannya Sekolah Tinggi Islam oleh
Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) Padang pada tanggal 9 Desember 1940
dengan pimpinan Mahmud Yunus. Sekolah Tinggi Islam ini semula membuka
fakultas Tarbiyah dan Syariah. Pada tahun 1941, STI ini sempat tutup dengan
terjdainya peristiwa Perang Dunia II.
Pada tahun 1945, gagasan mendiirikan STI kembali digulirkan sebagai
kebijakan politik masyumi. Disamping berdirinya barisan Mujahidin yag bernama
Hizbullah. Dalam rangka mendirikan lembaga ini dibentuklah kepanitian yang
diketua oleh Drs. Mohammad Hatta. Kepanitiaan ini berhasil mendirikan STI pada
8 Juli 1945 bertepatan dengan 27 Rajab 1364 dengan pimpinan Prof. Abdul Kahar
Mudzakkir. Tidak jauh dengan konsentrasi yang diterapkan pada awal berdirinya
STI tahun 1940, pada pendirian selanjutnya ini STI juga mengkonsentrasikan
materi pembelajaran pada ilmu agama dan kemasyarakatan.
Dalam perkembangannya, STI dilakukan perbaikan dan pengembangan dengan
membuka fakultas non agama yaitu Hukum, Ekonomi dan Pendidikan. Dengan
dibukanya fakultas baru pada STI ini, menjadikan STI juga berubah nama drai STI
menjadi UII yang menjadikan tujuan lembaga juga bergeser dari lembaga
pendidikan bagi calon ulama menjadi lebih umum dan bersifat sekuler.
D.

Peranan Ormas dalam pembentukan Lembaga Pendidikan: Kasus


Muhammadiyah
Muhammadiyah oleh Ricklefs dikategorikan
sebagai Organisasi Islam
modernis yang paling penting di Indonesia. Didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan
(1868-1923),yakni salah satu kaum elit agama kesultanan Yogyakarta
di
Yogyakarta pada tahun 1912. Semula Kyai Dahlan masuk organisasi Budi Utomo
dengan harapan dapat berbicara mengenai pembaharuan dikalangan para
anggotanya, namun para pendukungnya justru mendesak agar Kyai Dahlan
mendirikan organisasi sendiri. Maka pada tahun 1912 resmilah Muhammdiyah
berdiri di Yogyakarta. Organisasi ini mencurahkan kegiatannya pada usaha-usaha
pendidikan serta kesejahteraan serta program dakwah guna melawan Kristen dan
tahayyul lokal. Konsentrasi pada dunia pendidikan ini tercermin pada tahun 1925,
dua tahun sesudah wafatnya Dahlan, bahwa ketika itu Muhammadiyah hanya
5

beranggotakan 4000 orang, namun telah berhasil mendirikan 55 sekolah dengan


4000 murid, dua balai pengobatan yakni di Yogyakarta dan Surabaya, sebuah
panti asuhan serta sebuah rumah miskin.
Dengan pandangan yang sama, para pemerhati gerakan Islam juga
mengategorikan sebagai gerakan keagamaan bercorak modern yang mapan dan
lebih banyak bergerak pada wilayah aksi dari pada pemikiran. Mapannya
organisasi ini adalah disebabkan oleh pengorganisasian yang sistematis dan
efektif. Adapun aktifitas Muhammadiyah yang lebih banyak bergerak di bidang
aksi tercermin dari banyaknya amal usaha yang dimiliki yang secara garis besar
dikelompokkan dalam tiga bidang, yaitu agama, sosial serta pendidikan yang
dikelola secara modern, setidaknya dalam ukuran masanya.
Demikian ungkapan yang ditulis oleh Lapidus mengenai gambaran
Muhammadiyah:
Muhammadiyah, primarly concerd with educational and missionary activities,
was willing to cooperate with government, and its members were forced by a
party decision in 1929 to choose between the two movements. In the 1930s, the
Muslim movement remained divided among activist, reformist and conservative
religious wings, but the apolitical reformist Muslim position remained the most
important.
Another factor in Islamic strength was the continuing vitality of the reformist
and modernist movements. Muhammadiya rmained important in providing a
personal ideal of rational, efficient, and puritanical behavior, a concept of
community and a model of ongoing Islamic society. Muhammadiya claimed an
active membership numbering millions.
Sistem pendidikan yang ditawarkan oleh Muhammadiyah berbeda dengan
mainstream pendidikan yang berkembang saat itu; yakni sistem pendidikan
pesantren dan sekolah colonial yang antara satu dan lainnya secara dikotomis.
Mengkompromikan dua sistem pendidikan inilah yang menjadi pilihan Ahmad
Dahlan . Yaitu dengan membuang jauh nilai sistem pendidikan colonial yang
dianggap sekuler, tidak sejalan dengan ajaran Islam dan memadukan yang terbaik
dengan sistem pendidikan santri . Dengan pandangan progresif Ahmad Dahlan
inilah lembaga pendidikan Muhammadiyah menjadi lembaga alternative di
zamannya, karena menawarkan pmbaharuan dalam pendidikan. Di antaranya
adalah; pertama, Lembaga Pendidikan Muhammadiyah didirikan dengan
mekanisme bottom up dan tidak birokratis. Kedua, sistem pendidikan
Muhammadiyah dilandasi motivasi teologis bahwa manusia akan mencapai derajat
keimanan dan ketakwaan yang sempurna jika memiliki kedalaman ilmu
pengetahuan. Sehingga tida ada dikotomisasi ilmu colonial Belanda yang sekuler
dengan pesantren yang sangat normative dan anti Barat. Pandangan ini yang
6

membedakan output pendidikan Muhammadiyah dengan output pendidikan


konvensional Barat dan Pendidikan tradisional pribumi saat itu. Ketiga, Pendidikan
Muhammadiyah diorientasikan untuk mempersiapkan lulusannya untuk memasuki
Indonesia baru yang modern dan keempat, para pendidik di lingkugan lembaga
Muhammadiyah sadar akan perjuangan yang memerlukan pengorbanan pikiran,
tenaga maupun harta.
E. Tokoh-Tokoh Dalam Perkembangan Islam Di Indonesia
Proses penyebaran Islam di wilayah Nusantara tidak dapat dilepas dari peran
aktif para ulama. Melalui merekalah Islam dapat diterima dengan baik dikalangan
masyarakat. Di antara Ulama tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Hamzah Fansuri
Ia hidup pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda sekitar tahun 1590.
Pengembaraan intelektualnya tidak hanya di Fansur-Aceh, tetapi juga ke India,
Persia, Mekkah dan Madinah. Dalam pengembaraan itu ia sempat mempelajari ilmu
fiqh, tauhid, tasawuf, dan sastra Arab.
b.

Syaikh Muhammad Yusuf Al-Makasari


Beliau lahir di Moncong Loe, Gowa, Sulawesi Selatan pada tanggal 3 Juli 1626
M/1037 H. Ia memperoleh pengetahuan Islam dari banyak guru, di antaranya yaitu;
Sayid Ba Alwi bin Abdullah Al-allaham (orang Arab yang menetap di Bontoala),
Syaikh Nuruddin Ar-Raniri (Aceh), Muhammad bin Wajih As-Sadi Al-Yamani
(Yaman), Ayub bin Ahmad bin Ayub Ad-Dimisqi Al-Khalwati (Damaskus), dan lain
sebagainya.
c.

Syaikh Abdussamad Al-Palimbani


Ia merupakan salah seorang ulama terkenal yang berasal dari Sumatra Selatan.
Ayahnya adalah seorang Sayid dari Sana, Yaman. Ia dikirim ayahnya ke Timur
Tengah untuk belajar. Di antara ulama sezaman yang sempat bertemu dengan
beliau adalah; Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahab Bugis,
Abdurrahman Bugis Al-Batawi dan Daud Al-Tatani.
d.

Syaikh Muhammad bin Umar n-Nawawi Al-Bantani


Beliau lahir di Tanar, Serang, Banten. Sejak kecil ia dan kedua saudaranya,
Tamim dan Ahmad, di didik oleh ayahnya dalam bidang agama; ilmu nahwu, fiqh
dan tafsir. Selain itu ia juga belajar dari Haji Sabal, ulama terkenal saat itu, dan dari
Raden Haji Yusuf di Purwakarta Jawa Barat. Kemudian ia pergi ke Mekkah untuk
menunaikan ibadah haji dan menetap disana kurang lebih tiga tahun. Di Mekkah ia
belajar Sayid Abmad bi Sayid Abdurrahman An-Nawawi, Sayid Ahmad Dimyati dan
Sayid Ahmad Zaini Dahlan. Sedangkan di Madinah ia berguru kepada Syaikh
Muhammad Khatib Sambas Al-Hambali. Selain itu ia juga mempunyai guru utama
dari Mesir.
7

Pada tahun 1833 beliau kembali ke Banten. Dengan bekal pengetahuan


agamanya ia banyak terlibat proses belajar mengajar dengan para pemuda di
wilayahnya yang tertarik denga kepandaiannya.. tetapi ternyata beliau tidak betah
tinggal di kampung halamannya. Karena itu pada tahun 1855 ia berangkat ke
Haramain dan menetap disana hingga beliau wafat pada tahun 1897 M/1314 H.
e

.
Wali Songo
Dalam sejarah penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di pulau Jawa
terdapat sembilan orang ulama yang memiliki peran sangat besar. Mereka dikenal
dengan sebutan wali songo.
Para wali ini umumnya tinggal di pantai utara Jawa sejak dari abad ke-15
hingga pertengahan abad ke-16. Para wali menyebarkan Islam di Jawa di tiga
wilayah penting, yaitu; Surabaya, Gresik dan Lamongan (Jawa Timur), Demak,
Kudus dan Muria (Jawa Tengah), serta di Cirebon Jawa Barat. Wali Songo adalah
para ulama yang menjadi pembaru masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan
berbagai bentuk peradaban baru seperti, kesehatan, bercocok tanam, niaga,
kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Adapun wali-wali tersebut yaitu; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan
Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat, Sunan Kudus
dan Sunan Muria.
F. KESIMPULAN
Pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia sebenarnya sudah
dapat dilacak sejak masuknya Islam ke bumi Nusantara, meskipun belum
terlembaga secara sistematis. Lembaga Pendidikan Islam bermula dari ngaji,
surau, langgar, musholla dan masjid sebagai lembaga tradisional. Dalam
perkembangannya sistem pendidikan Islam terlembagakan dengan baik melalui
madrasah yang dilembagakan secara formal dengan kurikulum terstruktur.

DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII Bandung: Mizan, 1998.
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999.
Huda, Nor Islam Nusantara: Sejarah Intelektual Islam di Indonesia Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2007.
Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia: Rekonstruksi Sejarah Untuk
Aksi Malang: UMM Press, 2006
Lapidus, Ira M. A History of Islamic Societies United Kingdom:Cambridge
University ress, 2002.
Madjid, Nurcholish Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan Jakarta:paramadina, 2000.

Rahardjo, M. Dawam (ed), Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah


Jakarta: P3M, 1985..
Ricklelfs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004,terj. Satrio Wahono, dkk
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007.
Sumardi, Mulyanto Bunga Rampai Pemikiran tentang Madrasah dan Pesantren
Jakarta: Pustaka biru,
Website :

http://subektyw.wordpress.com/2013/03/21/islamisasi-nusantara-danperkembangan-lembaga-pendidikan-islam-awal-dayah-surau-danpesantren/
http://anharnst.wordpress.com/2011/05/21/pusat-pusat-keilmuan-palingawal-di-nusantara-deskripsi-historis-halaqah-dan-sentra-keilmuan-lain/
http://juonorp.blogspot.com/2013/05/pertumbuhan-dan-perkembanganpendidikan.html

Anda mungkin juga menyukai