Anda di halaman 1dari 5

Peran Madrasah dlm Pembentukan Karakter Bangsa

Hari ini, 3 Januari 2011, Kementerian Agama RI memperingati ulang tahunnya yang ke-65. Ada hal yang menarik saya kemukakandisini bahwa Kementerian Agama menyebut hari ulang tahun berdirinya bukan dengan istilah HUT (Hari Ulang Tahun), tapi dengan istilah HAB (Hari Amal Bakti). Saya tidak tahu persis mengapa disebutnya Hari Amal Bakti. Tapi penyebutan tersebut memiliki makna yang positif dari sekedar peringatan hari ulang tahun. Tapi ketika peringatan itu rayakan tidak akan tergambar sebuah selebrasi yang hura-hura, tapi sebuah momentum untuk meningkatkan amal, kerja, bakti seluruh komponen yang ada. Moto Kementerian Agama pun cukup simpel Ikhlas Beramal. Salah satu isi pidato sambutan Menteri Agama RI, Suryadharma Ali menyebutkan: Peran Kementerian Agama ke depan semakin penting dan strategis, karena sesuai dengan rekomendasi National Summit 2009 bahwa isu utama pembangunan agama setidaknya mencakup tiga hal, yaitu: Pertama, peningkatan wawasan keagamaan yang dinamis. Kedua, penguatan peran agama dalam pembentukan karakter dan peradaban bangsa. Ketiga, peningkatan kerukunan umat beragama dalam membangun kerukunan nasional. Terkait dengan peningkatan wawasan keagamaan yang dinamis, hasil yang diharapkan adalah optimalisasi fungsi agama sebagai landasan etik atau moral bagi pembangunan, perlunya peningkatan pemahaman dan perilaku keagamaan yang seimbang, moderat dan inklusif, perlunya mewujudkan keshalihan sosial sejalan dengan keshalihan ritual, perlunya peningkatan motivasi dan partisipasi umat beragama dalam pembangunan nasional, dan perlunya peningkatan ketahanan umat beragama terhadap ekses negatif ideologiideologi dan gerakan transnasional. Tentang penguatan peran agama dalam pembentukan karakter dan peradaban bangsa, hasil yang diharapkan adalah peningkatan kualitas pribadi umat beragama, peningkatan harkat dan martabat umat beragama dalam membangun jati diri bangsa, peningkatan peran umat beragama dalam membangun harmoni antar peradaban, penguatan peran lembaga sosial keagamaan, dan peningkatan peran agama dalam pembangunan nasional. Sedangkan mengenai peningkatan kerukunan umat beragama dalam membangun kerukunan nasional, output yang diharapkan adalah peningkatan dialog dan kerjasama antar umat beragama, penguatan peraturan perundang-undangan terkait kehidupan keagamaan, peningkatan peran Indonesia dalam dialog lintas agama di dunia Internasional. Semoga harapan-harapan ini tidak sekedar slogan.

ACIS KE-10 : Membangun Karakter Bangsa dengan Agama

Pengembangan karakter bangsa menuntut adanya kesadaran budaya (cultural awareness) dan kecerdasan budaya (cultural intellegence). Maka sudah menjadi keniscayaan bagi bangsa untuk memperhatikan warisan budaya leluhurnya. Di antara yang dapat dijadikan bodal untuk membangun karakter bangsa adalah nilai-nilai agama. Sebab, agama di negeri ini berkembang dengan khas dan unik. Di Jawa, utamanya di pesisir pantai utara masyarakat kabupaten Pati dan sekitarnya, kisah Saridin sebagai seorang muslim yang seniman sangat populer. Saridin adalah nama kecil dari Syekh Jangkung yang sekarang makamnya terletak di Desa Landoh, Kecamatan Kayen sejauh lebih kurang 17 Km dari Kota Pati. Demikian dipaparkan Nur Said dalam makalahnya yang berjudul Saridin dalam Pengumulan Islam dan Tradisi: Relevansi Islamisme Saridin bagi Pendidikan Karakter Masyarakat Pesisir, dalam diskusi paralel bertema Islam Indonesia dan Keragaman Budaya, Selasa (2/11). Pemakalah lain Dian Maya Safitri (UGM), Muslihun (IAIN Mataram), dan Agus Ahmad Safei (UIN Bandung) dengan moderator Saifuddin Ahmad Husain dari UIN Malang. Ken Miichi, seorang Indonesianis dari Jepang bertindak sebagai pembanding. Saridin menjadi representasi dari tokoh rakyat yang berani memperjuangkan kebenaran bahkan melawan ketidakadilan secara lugu tanpa kekerasan dalam berhadapan dengan siapapun termasuk pihak penguasa Kadipaten Pati bahkan dengan Sunan Kudus pada masanya, cerita Nus Said, pengajar STAIN Kudus, Jawa Tengah. Kepopuleran Saridin, menurut Nur Said, dalam masyarakat bawah (grass root) bukan saja karena berbagai keanehan sikap dan perilakunya di zaman kuwalen (walisongo) terutama ketika bergumul dan berinteraksi dengan Sunan Kudus tetapi dia juga meninggalkan berbagai ajaran yang masih melekat dalam masyarakat lokal di Pati. Diantara ucapan Saridin adalah Ojo njupuk nek ora dikongkon, ojo njaluk nek ora doweki (Jangan mengambil sesuatu, kalau tidak mendapatkan ijin yang memiliki, jangan meminta kalau bukan miliknya). Sebuah ajaran yang mengedepankan keikhlasan, kejujuran dan kemandirian. Nilai-nilai moral Saridin tak sekedar dipahami pada tataran teoritis. Tapi justru sudah terinternalisasi menjadi karakter pribadi Saridin yang lugu dan demunung. Karena itu Islam Saridin sesungguhny adalah being Islam bukan sekedar having Islam atau Islam KTP. Keberagamaan dalam konteks seperti Saridin seperti itulah yang dirindukan oleh dunia pendidikan karakter yang akhir-akhir ini sedang digalakkan oleh pemerintah, jelasnya. Rangkaian acara hari kedua (2/11) Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke-10 diisi dengan diskusi diskusi paralel. Diskusi paralel pukul 14.00-17.00 membahas dua tema. Pertama,

Islam Indonesia dan Keragaman Budaya. Kedua, Islam dan dinamika lokal. Delapan belas makalah dipresentasi secara bergantian di tiga ruangan berbeda. Tema Islam dan Dinamika Lokal dilanjutkan dalam diskusi paralel pukul 19.00-22.30. Pada waktu yang sama, tema Pergulatan Menemukan Islam Indonesia juga dipresentasikan. Makalan yang dipresentasikan pada sesi ini berjumlah 18. (hmz) sumber : www.nu.or.id

Membangun Karakter Bangsa Melalui Pesantren


Membangun Karakter Bangsa Melalui Pesantren Oleh : Muhammad Ali Murtadlo* Pesantren merupakan Institusi Pendidikan Islam tertua di tanah air yang memberikan andil sangat besar dalam mencerdaskan kehidupan ummat dan bangsa. Dari rahim pesantrenlah lahir tokoh-tokoh masyarakat, ulama, kaum intelektual, dan pemimpin-pemimpin bangsa. Dalam membangun karakter bangsa misalnya, pesantren merupakan penjaga moral yang sudah teruji. Lembaga ini telah mendidik kader-kader bangsa yang diramu secara militan untuk menjaga moralitas berdasarkan pemahaman keagamaan yang kuat. Di samping itu dunia pesantren juga memperkenalkan berbagai macam karakter manusia yang menjadi cermin masyarakat. Santri datang dari berbagai latar belakang ekonomi, pendidikan, dan budaya dididik secara bersama-sama tanpa membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya. Pada titik ini sebenarnya pesantren telah mengajarkan persamaan hak dan kewajiban santri (baca: warga negara) sekaligus mengajarkan berbagai sikap kemasyarakatan yang majemuk seperti toleransi, tolong menolong, dan menghargai sesama anak bangsa. Tidak heran jika pesantren dapat melahirkan tokoh-tokoh penting yang mampu berperan besar dalam membangun bangsa. Seperti contoh presiden RI ke 4 K.H Abdurrahman wahid (Gus Dur) adalah hasil dari didikan pesantren, begitu juga ayahnya KH. Wahid Hasyim yang pernah menjabat sebagai Menteri agama. Kalau kita lihat Sejak masa Orde Baru bangsa ini mengalami degradasi. Kalau dulu pada masa Orde Lama dilakukan chrachter building (pembangunan karakter) maka pada masa Orde Baru dilakukan character assassination (pembunuhan karakter) yaitu dengan menuduh bahwa para tokoh yang hidup pada masa Orde Lama, yang berpikir nasionalis, chauvinis, kolot dan dogmatis sebagai tokoh anti kemajuan, tradisional dan sebagainya. Gagasan tentang nasionalisme atau kebangsaan pelan-pelan juga dikikis, pertama dengan memperkenalkan nasionalisme baru, yang tidak lagi sesuai berdasarkan ikatan etnik. Selanjutnya secara perlahan nasionalisme juga didelegitimasi, karena dianggap bentuk dari chauvinisme dan fanatisme atau rasa cinta tanah air secara berlebihan. Apalagi dengan munculnya isu globalisme pada 1990-an yang hingga saat ini terus berkembang, sehingga nasionalisme dianggap tidak lagi relevan bahkan dianggap kuno. Dari sinilah bangsa ini mengalami dua tahap, pertama dilakukan character assassination (pembunuhan karakter). Kemudian dilakukan nation assassination (pembunuhan spirit nasionalisme). Sebenarnya jika diteliti lebih dalam aktor dari pembunuhan ini adalah kelompok intelektual modernis, kalangan pejabat, kalangan professional dan aktivis prodemokrasi, sebagai kepanjangan tangan dari imperialisme global. Akibatnya ketika kesadaran dan semangat nasionalisme

telah dibunuh, orang tidak berani lagi bicara nasionalisme, bahkan ikut meremehkan nasionalisme. Dan ketika semangat nasionalisme tidak ada lagi karena telah dibunuh. maka semua pengusaha asing dibiarkan masuk berdagang di sini, membangun aset-aset, sehingga menggeser semua usaha rakyat pribumi. Rakyat pribumi semakin kehilangan lapangan pekerjaaan, sementara pemerintah bersama aparatnya lebih membela kepentingan kapitalis asing, untuk menumpas usaha pribumi. Rakyat menjadi semakin miskin, kriminalitas meningkat dan konflik sosial semakin memanas. Akibatnya integrasi sosial menjadi makin pudar. Itulah yang membuat bangsa ini besar menjadi bangsa kecil, karena seluruh asetnya dijarah oleh rakyat dan pemerintah sendiri. Ketika kepribadian (karakter) dianggap tidak penting, maka kehidupan orang menjadi sangat pragmatis, tidak punya emosi untuk berubah dan selalu berpegang pada kenyataan yang ada, sehingga tidak ada lagi rasa pengabdian kepada bangsa dan negara apalagi perjuangan. Padahal untuk membangun sebuah bangsa perlu pengabdian dan perjuangan. Tanpa pengabdian dan perjuangan mustahil sebuah bangsa akan terbangun menjadi bangsa yang maju, dan tanpa kepribadian orang akan kehilangan rasa pengabdian dan cenderung berlomba-lomba untuk mencari keuntungan pribadi, kebersamaan hilang, dan ego sendiri yang dibesarkan. Dengan tidak adanya rasa pengabdian itu maka komitmen pada bangsa apalagi negara menjadi sirna. Persis dengan apa yang terjadi saat ini, orang berlomba-lomba menjarah uang negara, baik dengan cara korupsi atau melalui penetapan gaji yang sangat tinggi sehingga menguras dana negara. Bagaimana bangsa ini kembali bermartabat dan sekaligus sejahtera, maka tidak ada lain harus dimulai dari awal, yaitu dengan cara membangun kembali kepribadian mereka dengan melakukan character building. Pembentukan karakter atau kepribadian itu sebenarnya adalah penanaman moral dan motivasi. Itu semua merupakan tugas dan tanggung jawab agama yaitu salah satunya adalah melalui pendidikan pesantren. Karena didalam pesantren ditanamkan sikap kemasyarakatan yang majemuk seperti toleransi, tolong menolong, dan menghargai sesama anak bangsa sehingga dengan pengaruhnya yang kuat di lingkungan masyarakat dan pemerintah, pesantren dapat memanfaatkan kontekstualisasi ajaran-ajarannya sekaligus melakukan kontrol bagi penyelenggaraan pemerintahan yang dipandang menyeleweng. Sehingga dari sinilah banyak pihak yang mendapatkan manfaat dari dunia pesantren. Mengingat pengelola pesantren adalah masyarakat, maka pesantren sudah sepatutnya mengetahui secara detil masalah-masalah yang terjadi di masyarakat. Sehingga pesantren dapat berperan menjembatani kepentingan masyarakat dengan pemerintah. Pada titik inilah diharapkan ada titik temu yang positif antara pesantren dan pemerintah, termasuk dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga sumbangan pesantren dalam pembangunan demokratisasi bangsa dapat dilakukan secara riil tanpa harus terlibat dalam politik praktis. Memang agenda seperti ini butuh persiapan matang dan butuh kesabaran karena membutuhkan waktu lama. Yang terpenting harus sabar menghadapi kritik dari kelompok-kelompok oportunis, kelompok-kelompok pragmatis yang sinis dan kelompok-kelompok yang tidak peduli terhadap pembentukan kepribadian masyarakat dan bangsa. Tetapi ini langkah strategis yang harus dijalankan untuk membangun kembali bangsa dan negara ini agar menjadi negara merdeka, berdaulat, bermartabat dan sejahtera. *Penulis adalah alumni Pondok Pesantren At-Tanwir, Talun, Sumberrejo, Bojonegoro

Anda mungkin juga menyukai