Anda di halaman 1dari 12

Prof. Dr. H.

Abdul Malik Karim


Amrullah
( Buya Hamka )
17 feb 08 24 jul 81

Presented By :
Ferry Setyadi Atmadja
Lulu Firdaus Ramadhani
Abdul Karim Amrullah Haji
Rasul
bin 1. Raihana
syekh Muhammad Amarullah 2. Siti Shafiyah Tanjung binti
(gelar tuanku kisai) Haji Zakaria
bin
Tuanku Abdullah Saleh.
Jika dilihat dari geneologis dapat diketahui, bahwa beliau
berasal dari keturunan yang taat beragama dan memiliki
hubungan dengan generasi pembaharu islam di Minangkabau
pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX.

Abdul Karim Amrullah yang berjulukan Haji Rasul dikenang


sebagai ulama pembaru Islam di Minangkabau dan sangat
terkenal dengan keberaniannya untuk tidak memberikan
hormat kepada penjajah Jepang Kala itu. Namun, Keluarga
ibunya lebih terbuka kepada adat.
HAMKA KECIL
7 Sekolah
Desa
Maninjau
Tahun

8 Sekolah
Agama
Diiniyah
Tahun School

10 Sekolah
Thawalib
Tahun
Orang
12 tua
Bercer
Tahun ai
Perantauan
Mengaji di Parabek ( Usia 14 Tahun )
Syekh Ibrahim Musa

Perjalanana Menuju Jawa ( Yogyakarta pada Usia 15


Ki Bagus Tahun )
HOS Tjokroaminoto Suryopranoto
Hadikusumo

Pekalongan
A.R. Sutan Mansyur ( Cikal Bakal Muhammadiyah )
Pasca Perantauan
Pra Kegelisahan Masyarakat
Keberangkata Berangkat tanpa sepengetahuan Ayahanda

n Ke Mekkah

Menumpang di rumah pemandu syekh Amin


Idris
Di Mekkah Bekerja di Tuan Hamid Kurdi
Bergabung dengan Persatuan Hindia - Timur

Pasca Bertemu Agus Salim


Kepulangan
Tuduhan terhadap HAMKA
Dalam pemilihan umum 1955, Hamka dicalonkan Masyumi
sebagai wakil Muhammadiyah dan terpilih duduk di
Konstituante. Ia terlibat dalam perumusan kembali dasar
negara. Sikap politik Maysumi menentang komunisme dan
gagasan Demokrasi Terpimpin memengaruhi hubungannya
dengan Sukarno.
Usai Masyumi dibubarkan sesuai Dekret Presiden 5 Juli 1959,
Hamka menerbitkan malalah Panji Masyarakat yang berumur
pendek, dibredel oleh Sukarno setelah menurunkan tulisan
Hattayang telah mengundurkan diri sebagai wakil presiden
berjudul "Demokrasi Kita". Seiring meluasnya pengaruh
komunis, Hamka dan karya-karyanya diserang oleh organisasi
kebudayaan Lekra. Tuduhan melakukan gerakan subversif
membuat Hamka diciduk dari rumahnya ke tahanan
Sukabumi pada 1964. Ia merampungkan Tafsir Al-Azhar dalam
keadaan sakit sebagai tahanan.
Jabatan HAMKA
Tahun 1943, beliau menjabat sebagai Konsul Muhammadiyah
Sumatera Timur
Tahun 1947, sebagai Ketua Front Pertahanan Nasional (FPN).
Tahun 1948, sebagai Ketua Sekretariat Bersama Badan Pengawal
Negeri dan Kota (BPNK).
Tahun 1950, Buya Hamka menjadi Pegawai Negeri pada Departemen
Agama RI diJakart.
Tahun 1955 sampai 1961, Beliau terpilih menjadi Anggota
Konstituante Republik Indonesia.
Mulai tahun 1960, Beliau dipercaya sebagai Pengurus Pusat
Muhammadiyah. Pada tahun 1968, Buya Hamka ditunjuk sebagai
Dekan Fakultas Usuluddin Universitas Prof. Moestopo Beragama.
Tahun 1975 sampai 1979 beliau dipercaya oleh para ulama sebagai
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di tahun yang sama, beliau
juga menjabat sebagai Ketua Umum Yayasan Pesantren Islam Al-
Azhar selama dua periode.
Gelar
Buya Hamka juga pernah mendapatkan
berbagai gelar kehormatan. Univ. Al Azhar dan
Univ. Nasional Malaysia menganugerahkannya
gelar doktor kehormatan, sementara Univ.
Moestopo mengukuhkan Hamka sebagai guru
besar. Namanya disematkan untuk UHAMKA
milik Muhammadiyah. Setelah meninggal dunia,
beliau mendapat Bintang Mahaputera Madya
dari Pemerintah RI di tahun 1986. Dan, terakhir
di tahun 2011, beliau mendapatkan
penghormatan dari Pemerintah Republik
Indonesia sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Pemikiran Buya Hamka
Pendidikan Islam

Tasawuf

Aqidah
Gerakan HAMKA

Kiprah
Kiprah Hamka
Hamka
Hamka
Hamka dan
dan Hamka
Hamka dan
dan Hamka
Hamka dan
dan dalam
dalam
Muhammadiyah
Muhammadiyah Pendidikan
Pendidikan Sastra
Sastra Pemerintahan
Pemerintahan
Sastra
Sejara
h

Tafsir
Al
Azhar

Karya HAMKA

Anda mungkin juga menyukai