Anda di halaman 1dari 140

Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 1

Dinamika
Pergerakan Al Washliyah
dari Zaman ke Zaman
2 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 3

DINAMIKA
PERGERAKAN
AL WASHLIYAH
DARI ZAMAN KE ZAMAN

DR. ISMED BATUBARA, S.H., M.H.

Perdana Publishing
& Majelis Pendidikan Pengurus Besar
Al Jam’iyatul Washliyah
4 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

DINAMIKA PERGERAKAN AL WASHLIYAH


DARI ZAMAN KE ZAMAN

Penulis: Dr. Ismed Batubara, S.H., M.H.

Copyright © 2015, pada penulis


Hak cipta dilindungi undang-undang
All rigths reserved

Penata letak: Muhammad Yunus Nasution


Perancang sampul: Aulia@rt

Diterbitkan oleh:
PERDANA PUBLISHING
Kelompok Penerbit Perdana Mulya Sarana
(ANGGOTA IKAPI No. 022/SUT/11)
Jl. Sosro No. 16-A Medan 20224
Telp. 061-77151020, 7347756 Faks. 061-7347756
E-mail: perdanapublishing@gmail.com
Contact person: 08126516306

Bekerjasama dengan

Majelis P Pendidik
endidikan
endidik an
Pengurus Besar Al Jam’iyatul W ashliyah
Washliyah
Jl. Jend. Ahmad Yani No. 41, Jakarta Pusat, DKI Jakarta

Cetakan pertama: April 2015


Cetakan kedua: September 2020

ISBN 978-602-8935-71-5

Dilarang memperbanyak, menyalin, merekam sebagian atau seluruh


bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa
izin tertulis dari penerbit atau penulis
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 5

PENGANTAR PENULIS

A
llahlah yang Mahakuasa, Maha segala-galanya, yang
menganugerahkan kita potensi berupa akal sehingga
dengannya manusia dapat mengenal peradaban
dengan karya tulis sampai dapat dibaca dan diapresiasi kini,
esok, dan nanti. Allah Swt. mengutus Nabi Muhammad Saw.,
the most influence people in the world, dengan ayat iqrâ’ yang
sangat masyhur dengan perintah bacanya. Lantas apa yang
mau dibaca!, yang pasti adalah yang tersurat, tersirat, dan
yang terakhir (meminjam istilah mantan Gubernur Sumatera
Utara: H. Syamsul Arifin, SE.) yang tersuruk.
Buku adalah yang paling mudah dibaca setelah kita mengenal
tradisi baca tulis, dan dengan berkembangnya dunia cyber, kini
sudah ada e-book . Lahirnya buku di hadapan sidang pembaca
ini memang sengaja dihadirkan untuk mengambil momentum
hajatan lima tahun Al Washliyah, yaitu Muktamar. Naskah yang
telah menjadi buku ini telah lama terpendam dalam file Centre
for Al Washliyah Studies (CAS) di kampus Universitas Al Washliyah
(UNIVA) Medan, dan sangat sayang sekali kalau tidak di-
publikasikan seperti “fatwa Hegel,” publish or perish, terbitkan
atau musnahkan.
Memang diskursus tentang Al Washliyah terkadang ter-
fokus pada dinamika sejarah dan bagi sebagian kalangan mem-
bosankan. Tetapi bagi saya, seperti Hasan al-Banna yang pernah

5
6 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

memberikan pernyataan bahwa mengenal organisasi dengan


baik adalah tingkatan awal sebelum kita meyakini organisasi
tersebut bisa mencapai tujuannya. Dengan memahami sejarah
organisasi, saya yakin akan bertambahlah keyakinan kita bahwa
Al Washliyah akan sampai ke “pantai cita-cita” yang sering
didengung-dengungkan pada saat malam-malam pengkaderan
baik di Ikatan Pelajar Al Washliyah (IPA), Himpunan Mahasiswa
Al Washliyah (HIMMAH), maupun Gerakan Pemuda Al Washliyah
(GPA).
Para assabiqûn al-awwalûn, paling tidak, telah meninggalkan
buku bersejarah yang berjudul 21 Tahun Al Washlijah yang
ditulis oleh Ustaz A. Husein Abd. Karim Lubis, et al., dan disem-
purnakan oleh Ustaz Nukman Sulaiman, et al., dengan judul
Peringatan ¼ Abad Al Washlijah. Kalau tidak ada kedua literatur
ini, saya sangat yakin bila Al Washliyah akan kehilangan dokumentasi
sejarahnya. Sebab itulah, Rektor UNIVA Medan membuat seminar
bertemakan Menyibak Sejarah Pendiri Al Washliyah pada
bulan Januari 2015, semuanya dalam upaya melestarikan
sejarah Al Washliyah. Jadi, sangat menyesatkan kalau ada
yang mengatakan bahwa kedua buku tersebut adalah kumpulan
peristiwa dan foto, serta tidak ilmiah. Padahal, bacalah disertasi
Prof. Dr. Usman Pelly, MA., dan Prof. Dr. Chalijah Hasanuddin,
sebab kedua Profesor ini menggunakan kedua literatur di atas.
Paling tidak, mereka berutang budi pada Al Washliyah, karena
bisa jadi doktor karena adanya Al Washliyah. Sebaliknya, Al
Washliyah berterima kasih, karena ada peneliti yang mengkaji
Al Washliyah secara akademis. Saya (Ismed Batubara) dan
Ja‘far telah menggagas penulisan buku Bunga Rampai Al
Jam’iyatul Washliyah. CAS yang didukung oleh Prof. Dr. Hasan
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 7

Asari, MA., Prof. Dr. Ramli Abdul Wahid, MA., Prof. Dr. Al Rasyidin,
M.Ag., Gunawan, Ja‘far, dan saya sendiri telah menulis buku
Al Jam’iyatul Washliyah: Potret Histori, Edukasi, dan Filosofi,
fokus kajiannya adalah perkembangan Al Washliyah di Aceh
dan Bali, perkembangan madrasah dan perguruan tinggi,
dan sejarah singkat organisasi bagian Al Washliyah, dan
kedua literatur klasik Al Washliyah di atas tetap menjadi
rujukan utama. Terkadang, saya berkelakar kepada mahasiswa
dan kader bahwa “siapa yang menguasai buku itu, maka sudah
dapat berdebat dengan Profesor yang paling botak sekalipun.”
Seandainya buku ini masuk dalam kategori kitab kuning, maka
inilah kitab kuning sejarah organisasi Al Washliyah.
Buku bertajuk Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari
Zaman ke Zaman ini mencoba mengutip dokumentasi yang
tercecer yang sangat sayang dibuang. Misalnya, berita dalam
koran Jayakarta terbitan Jakarta tentang upaya Ustaz H. Muhammad
Ridwan Ibrahim Lubis dan (alm.) H. Aziddin, SE., yang menerobos
Istana Yogyakarta untuk bersilaturrahmi dan berdakwah. Termasuk
majalah Obor Ummat yang sudah “almarhum” masih layak
dijadikan referensi untuk memotret Al Washliyah yang meya-
kinkan pemerintahan Orde Baru bahwa “Al Washliyah tidak
ke mana-mana, tapi ada di mana-mana”. Yang tidak kalah
penting adalah buku Zein Hasan tentang Diplomasi Indonesia
di Luar Negeri yang juga memotret kiprah Ismail Banda dengan
misi haji dan Ja’far Zainuddin yang bergerak di bawah tanah
untuk mempropagandakan Indonesia Merdeka. Sayang, Ismail
Banda meninggal di usia muda dan sampai saat ini belum dikenal
dan diingat jasa-jasanya.
Saya sangat menyadari buku ini jauh dari sempurna,
8 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

sebab banyak foto yang tidak sempat dimasukkan, karena


keterbatasan waktu. Ke depan, semoga CAS mampu menelurkan
karya-karya tentang Al Washliyah yang memfokuskan kajian
kepada pemikiran ulama dan tokohnya. Kalau selama ini kita
berjihad dengan kata-kata, berkoalisi menghabiskan energi
dan uang, sudah saatnya kita berjihad menuliskan pemikiran
tentang Al Washliyah dengan kaedah-kaedah ilmiah, walau
dalam bentuk sesederhana apa pun itu.
Dalam kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terima
kasih kepada Majelis Pendidikan Pengurus Besar Al Jam’iyatul
Washliyah yang telah berkenan membiayai penerbitan buku
ini, khususnya kepada Dr. Ir. H. Amran Arifin, MM., MBA
dan Ridwan Tanjung, S.H., M.Si. dan seterusnya digunakan
sebagai referensi pokok untuk mata kuliah Kealwashliyahan
di berbagai perguruan tinggi Al Washliyah.
Semoga buku ini manfaat.

Medan, 31 Agusts 2020

Dr. Ismed Batubara, S.H., M.H.


Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 9

MAJELIS PENDIDIKAN
PENGURUS BESAR
AL JAM’IYATUL WASHLIYAH

SAMBUTAN

Bismillahirahmanirrahim
Assalamu‘alaikum warahmatullahi wabaraktuh

P
uji syukur ke hadirat Allah Swt., yang telah memberikan
rahmat, kurnia, dan hidayah sehingga kita tetap
dalam iman dan Islam, mampu lebih kuat beribadah
kepada-Nya. Shalawat dan salam kepada junjungan kita
Nabi Muhammad Saw yang telah membawa syariat Islam
bagi umat manusia, dan semoga kita tergolong orang-orang
yang mendapat syafaatnya. Aamiin.
Saat ini pendidikan tinggi Al Washliyah semakin berkembang
baik secara kualitas pembelajaran maupun kuantitas fisik
dan sarana pendidikannya. Komunikasi dan kerjasama sesama
perguruan tinggi Al Washliyah terus terbina, pengelolaan
jurnal sesuai dengan akreditasi yang ingin dicapai semakin
menampakkan kemajuan. Pembinaan terhadap dosen-dosen,
aktif dilakukan. Demikian pada tahun 2020 ini Majelis Pendidikan
PB. Al Washliyah telah berhasil menetapkan Kurikulum Mata

9
10 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

Kuliah Pendidikan Kealwashliyahan Tingkat Pendidikan Tinggi


yang disusun oleh sebuah tim dengan kualitas akademis dan
pengetahuan yang mumpuni tentang Al Washliyah.
Melihat kepada referensi yang dirujuk oleh Tim Penyusun
Kurikulum Pendidikan Kealwashliyah Tingkat Pendidikan
Tinggi, Majelis Pendidikan PB. Al Washliyah merasa perlu
untuk mendorong penyediaan bacaan dengan menerbitkan
buku-buku karya penulis, kader-kader Al Washliyah sebagai
referensi, panduan, pegangan baik bagi dosen maupun mahasiswa
yang sedang mengikuti pendidikan di Perguruan Tinggi Al
Washliyah. Keinginan untuk menyediakan buku-buku sangat
besar, namun karena keterbatasan kemampuan, maka Majelis
Pendidikan PB. Al Washliyah sementara hanya dapat meng-
upayakan penerbitan buku tersebut dengan judul dan oplag
yang terbatas.
Meski dirujuk untuk kepentingan dosen dan mahasiswa,
namun buku ini tetap layak digunakan dan dipelajari oleh
guru/ustadz/ustazah peserta didik di jenjang Pendidikan Dasar
dan Menengah. Hal ini pun mengingat bahwa buku bahan
ajar di sekolah dan madrasah belum seragam digunakan sebagai
buku pegangan guru serta buku pelajaran bagi peserta didik.
Buku ini ditebitkan dan cetak ulang oleh Majelis Pendidikan
PB. Al Washliyah bekerjasama dengan Penerbit Perdana Publishing
dan sumbangsih yang besar dari penulis. Atas kerjasama dan
kebaikannya, Majelis Pendidikan PB. Al Washliyah mengucapkan
terima kasih dan salam takzim kepada penulis. Semoga buku
ini bermanfaat dan mencapai sasaran yang diinginkan.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 11

Wassalamu‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Jakarta, 29 Agustus 2020 M


10 Muharram 1442 H

MAJELIS PENDIDIKAN
PB AL JAM’IYATUL WASHLIYAH

Dr. Ir. H. Amran Arifin, MM., MBA. Ridwan Tanjung, S.H., M.Si.
Ketua Sekretaris
12 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

MENGENAL VISI
AL JAM’IYATUL WASHLIYAH
(Catatan Pengantar)

Dr. Ja’far, M.A.


Sekretaris Centre for Al Washliyah Studies,

K
arel A. Steenbrink, seorang ilmuwan Belanda, pernah
menyebut bahwa Al Washliyah adalah organisasi
terbesar ketiga setelah Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah. Hampir menjelang satu abad (1930-2015),
Al Washliyah telah memberikan kontribusi nyata tidak saja
bagi kemajuan Indonesia, tetapi juga kontinuitas tradisi Islam
Sunni di Indonesia. Tulisan ini bertujuan untuk membuktikan
bahwa Al Washliyah berpartisipasi dalam melestarikan mazhab
Sunni, bahkan para ulamanya adalah para pewaris mazhab
Sunni yang sah, karena sanad keilmuan mereka menyambung
sampai kepada para pemuka mazhab tersebut.

Al Washliyah dan Mazhab Sunni


Al Washliyah didirikan di Medan pada tanggal 30 Nopember
1930 oleh alumni Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT) dan Madrasah
Hasaniyah seperti Abdurrahman Syihab, Ismail Banda, Adnan
Nur, Muhammad Arsyad Thalib Lubis dan Muhammad Yusuf

12
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 13

Ahmad Lubis yang kelak menjadi ulama masyhur. MIT adalah


salah satu madrasah tertua, bahkan ternama di Medan selama
era kolonial berkat figur ulama seperti Syaikh Muhammad Yunus,
Syaikh Ja’far Hasan dan Syaikh Yahya. Nama “Al Jam’iyatul
Washliyah” adalah pemberian Syaikh Muhammad Yunus yang
adalah pimpinan MIT dan guru para pendiri Al Washliyah, dan
nama ini semakin ‘meroket’ dengan dukungan Syaikh Hasan
Maksum yang merupakan Mufti Kerajaan Deli. Sebab itulah,
Al Washliyah dipandang sebagai organisasi yang berasal dari
ulama dan banyak melahirkan ulama.
Al Jam’iyatul Washliyah yang disingkat dengan Al Washliyah
berarti “organisasi yang memperhubungkan dan mempertalikan.”
Berdasarkan arti nama tersebut, organisasi Al Washliyah akan
mengusahakan untuk 1) memperhubungkan antara anggota
dengan anggotanya; 2) memperhubungkan antara ranting
dengan cabang dan daerahnya; 3) memperhubungkan antara
satu perhimpunan dengan perhimpunan lain; 4) memper-
hubungkan umat Islam dengan agamanya; dan 5) memper-
hubungkan manusia dengan Tuhannya. Ringkasnya, Al Washliyah
hendak menghubungkan segala sesuatu yang harus diperhubung-
kan menurut perintah Allah (Nukman Sulaiman: 1956, 349).
Dalam hal ini, eksistensi Al Washliyah menjadi ‘benteng’
dan ‘perisai’ bagi tradisi Sunni di Indonesia. Tujuan awal organisasi
ini adalah “untuk memajukan, mementingkan dan menambah
tersiarnya agama Islam,” lalu tujuan ini diperluas dengan menambah
asas organisasi ini sejak tahun 1955 yaitu “melaksanakan tuntutan
agama Islam, dalam hukum fikih bermazhab Syâfi‘i, dan dalam
iktikad Ahlussunnah Waljamaah.” Belakangan, asas organisasi
ini menjadi “Al Washliyah berasaskan Islam dalam iktikad,
14 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

dalam hukum fikih bermazhab Ahlussunnah Waljamaah dengan


mengutamakan mazhab Syâfi‘i.” Keputusan Dewan Fatwa
Al Washliyah No. 001/Kep/df-aw/1998 memutuskan bahwa
metode penetapan fatwa Al Washliyah adalah metode istinbat
yang digunakan pada ulama mazhab dari kalangan Ahlussunnah
Waljamaah. Sejauh ini, Al Washliyah menjadi salah satu organisasi
Islam yang bertanggungjawab terhadap kelestarian mazhab
Sunni di tanah air.
Al Washliyah menjadikan Islam sebagai asas organisasi
sebagai wujud dari komitmen organisasi ini terhadap perintah
Allah dalam Q.S. al-Rûm: 43, Q.S. Âli ‘Imrân: 19 dan 83, dan
Q.S. al-Mâ’idah: 3. Keempat ayat tersebut menegaskan bahwa
1) Allah memerintahkan umat Islam menegakkan muka untuk
agama yang lurus; 2) agama yang lurus pada sisi Allah adalah
agama Islam; 3) Allah rida dengan Islam sekaligus telah menyem-
purnakan agama tersebut; dan 4) amal para pencari agama
selain agama Islam tidak akan diterima-Nya, sehingga mereka
akan menjadi orang-orang merugi. Keempat alasan tersebut
menjadi alasan rasional bagi Al Washliyah untuk menetapkan
Islam sebagai asas organisasi. Makna bahwa Al Washliyah ber-
asaskan Islam adalah segala sesuatu usaha yang dilaksanakan
oleh organisasi ini haruslah ditegakkan di atas batas-batas
Islam. Seluruh kegiatan para pengurus dan anggota, serta
usaha-usaha Al Washliyah harus disesuaikan dengan ketetapan
hukum Islam (Nukman Sulaiman: 1956, 349-350). Dengan
demikian, hukum Islam harus menjadi landasan bagi perencanaan
dan pelaksanaan amal usaha Al Washliyah.
Dalam bidang akidah, Al Washliyah menganut dan melestarikan
mazhab Ahlussunnah Waljamaah. Istilah Ahl al-Sunnah wa al-
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 15

Jamâ‘ah adalah orang berjalan menurut sunnah (jalan Nabi


Muhammad Saw.), dan jamâ‘ah adalah golongan orang yang
banyak. Para ulama menjelaskan bahwa sunnah adalah jalan
Nabi Muhammad Saw., sehingga Ahlussunnah adalah “jalan
jang menurut djalan Nabi Muhammad Saw. jang telah didjalani
oleh orang2 saleh dahulu2 jang beralasan Alquran dan hadis.”
Berdasarkan hadis riwayat Ahmad dan Abû Dâwûd, Nabi Muhammad
Saw. menyatakan bahwa umat Nabi Muhammad Saw. akan
berpecah belah menjadi 73 golongan. Sebanyak 72 golongan
akan masuk neraka, dan 1 golongan akan masuk surga. Golongan
ahli surga tersebut adalah al-jamâ‘ah (golongan orang banyak).
Golongan orang banyak yang disebut al-jamâ‘ah adalah orang-
orang yang berjalan di atas jalan Nabi Muhammad Saw. dan
para sahabatnya. Golongan al-jamâ‘ah tersebut akan masuk
surga dan selamat dari neraka. Dalam hal ini, Ahlussunnah
Waljamaah, sebagai iktikad organisasi Al Washliyah, adalah
iktikad yang sesuai dengan jalan Nabi Muhammad Saw. dan
sahabat-sahabatnya (Nukman Sulaiman: 1956, 351-352).
Prof. Ramli Abdul Wahid (2008: 19-23), Wakil Ketua Dewan
Fatwa Al Washliyah, menjelaskan bahwa Al Washliyah menganut
aliran Ahlussunnah Waljamaah. Aliran ini didirikan oleh Abû
Hasan al-Asy‘âri (270-324 H). Paham Al Washliyah dalam
bidang akidah dapat dilihat melalui fatwa-fatwa Dewan
Fatwa Al Washliyah dan para ulama Al Washliyah. Madrasah-
madrasah Al Washliyah mengkaji karya-karya teologi Sunni
seperti Kifâyah al-‘Awwâm fî ‘Ilm al-Kalâm karya Syaikh Muhammad
al-Fudhaili, Hushûn al-Hamidiyyah li al-Muhafazah ‘ala al-‘Aqâ’id
al-Islâmiyah karya Syaikh Husain bin Muhammad al-Jasar
al-Tharablûsî, al-Hasyiyah al-Dasûqi ‘ala ‘Umm al-Barâhin,
16 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

Pelajaran Iman karya Syaikh Muhammad Arsyad Thalib Lubis,


‘Aqîdah Islâmiyah karya Nukman Sulaiman, Ilmu Tauhid karya
Rasyad Yahya, dan Ilmu tauhid karya Ahmad. Kitab-kitab tersebut
mengajarkan masalah rukun iman dan sifat 20 (sifat wajib,
sifat mustahil dan sifat ja’iz bagi Allah Swt.). Kajian ini menjadi
kajian khusus mazhab Asy‘ariyah. Jelas bahwa Al Washliyah
menganut mazhab Asy‘ariyah dalam bidang akidah, dan seluruh
amal usaha Al Washliyah menjadi sarana pelestarian mazhab
Ahlussunnah Waljamaah versi mazhab Asy‘ariyah.
Dalam bidang syariah, Al Washliyah menjadikan dan meng-
utamakan mazhab Syâfi‘i sebagai rujukan dalam persoalan-
persoalan hukum. Mazhab Syâfi‘i adalah mazhab Imam Muhammad
bin Idrîs bin ‘Abbâs bin ‘Utsmân bin Syâfi‘i (w. 104 H). Hukum-
hukum mazhab Syâfi‘i diambil dari Alquran dan hadis. Sesuai
ucapan Imam Syâfi‘i, mazhab Syâfi‘i didasari oleh hadis-hadis
yang sah, sehingga orang-orang yang bermazhab Syâfi‘i adalah
orang-orang yang bermazhab dengan dasar hadis-hadis yang
sah. Arti dari mazhab Syâfi‘i sebagai asas organisasi Al Washliyah
adalah “segala sesuatu usaha jang digerakkan atas nama per-
kumpulan ini atau jang ditjampurinja haruslah berlaku dalam
batas2 jang diidzinkan hukum fikih menurut madzhab Sjafi‘i;
segala sesuatu pertikaian jang terdjadi dalam perkumpulan
ini jang mengenai ketentuan2 dalam hukum fikih Syâfi‘i haruslah
diputuskan sesuai dengan mazhab Syâfi‘i.” Ketentuan-ketentuan
tersebut hanya berlaku dalam perkumpulan dan atas nama
perkumpulan, sedangkan anggota-anggota Al Washliyah bebas
memperluas dan mengamalkan paham dan ilmunya (Nukman
Sulaiman: 1956, 351).
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 17

Menarik dikutip pernyataan Syaikh Muhammad Arsyad


Thalib Lubis tentang alasan menjadikan mazhab Syâfi‘i sebagai
asas Al Washliyah:
Al Washlijah telah menetapkan dalam dasarnja bermazhab
Syâfi‘i dalam hukum fikih. Perkataan bermazhab bagi Al
Washlijah tidak berarti menjingkirkan diri dan memetjah
persatuan umat. Perkataan itu harus ditafsirkan dengan
maksud memperkuat persatuan, menggabungkan tenaga2
jang sefaham agar tersusun dan terikat kuat untuk dibawa
berdjuang, membangun dan membina supaja segala sesuatu
jang mendjadi tuntutan agama Islam jang mendjadi kepentingan
Al Washlijah dan kepentingan umat Islam seluruhnja dapat
terlaksana. Perkataan bermazhab Syâfi‘i bagi Al Washlijah
adalah untuk menundjukkan tempat pendiriannja dalam
hukum fikih jang dapat dipertanggungdjawabkannja.
Dalam pada itu, Al Washlijah senantiasa dapat menghormati
pendapat dan pendirian orang lain sebagaimana ia meng-
harapkan pendapat dan pendiriannja dapat pula dihormati
orang. Kebebasan mengemukakan faham dan pendapat
perlu mendapat tempat dalam masjarakat karena sangat
penting artinja untuk kemadjuan pengetahuan dalam
kalangan umat Islam sendiri. Al Washlijah turut merasakan
keperluannja asal dilakukan dengan tjara jang patut dan
penuh rasa kekeluargaan dan persaudaraan (Nukman
Sulaiman: 1956, 19).

Dalam melestarikan mazhab Sunni, Al Washliyah meman-


faatkan jalur pendidikan, baik madrasah maupun perguruan
tinggi. Kurikulum Madrasah al-Qismul ‘Ali, misalnya, menjadi
bukti kuat bahwa organisasi ini melestarikan tradisi Sunni
melalui pembelajaran kitab kuning dalam fikih Syâfi‘iyah
dan teologi Asy‘ariyah. Dalam bidang tauhid, misalnya, diajarkan
18 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

kitab Kifâyat al-‘Awâm, Hushûn al-Hamidiyah dan al-Dasûqi


karya Muhammad al-Dasûqi. Dalam bidang fikih diajarkan kitab
Matan Taqrîb, Fath al-Qarîb, Tuhfah al-Thullâb dan al-Mahalli.
Dalam bidang usul fikih diajarkan kitab Minhâj al-Thâlibîn,
Mughni al-Muhtâj, al-Wariqât, al-Luma’, Syarh Jalâl al-Dîn al-
Mahalli ‘ala Jam’ al-Jawani, dan al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir. Dalam
bidang tafsir diajarkan kitab Tafsîr Jalâlain, dan dalam bidang
hadis diajarkan kitab Riyâdh al-Shâlihîn, Jawâhir al-Bukhârî,
dan Shahîh Muslim. Melalui institusi pendidikan agamanya,
Al Washliyah memberikan kontribusi bagi kelestarian mazhab
Syâfi‘iyah dan mazhab Asy‘ariyah di Indonesia, dan menjadi
‘rahim’ bagi kelahiran tidak saja para pemimpin bangsa, tetapi
juga para ulama panutan umat.

Sanad Keilmuan Ulama-ulama Al Washliyah


Al Washliyah adalah organisasi yang berasal dari ulama
dan banyak melahirkan ulama. Mereka adalah pewaris tradisi
Sunni yang sah di Indonesia, sebab sanad keilmuan mereka
menyambung sampai kepada para pemuka mazhab Syâfi‘iyah
dan Asy‘ariyah. Mereka telah menjadi semacam ‘benteng’ bagi
mazhab Sunni lewat peran mereka sebagai pengulas karya-
karya muktabar dalam mazhab ini, dan pembendung gerakan
Ahmadiyah. Mulai dari Syaikh Hasan Maksum sampai Prof.
Dr. Ramli Abdul Wahid, MA, tidak satu pun ulama Al Washliyah
yang mengamini keberadaan aliran keagamaan yang bertentangan
dengan mazhab Sunni.
Sejauh ini, para ulama Al Washliyah bisa dibagi menjadi
tiga generasi. Generasi pertama adalah guru para pendiri Al
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 19

Washliyah yaitu Syaikh Hasan Maksum dan Syaikh Muhammad


Yunus. Generasi kedua adalah para pendiri Al Washliyah yang
merupakan murid dari para ulama Al Washliyah generasi pertama
seperti Syaikh Abdurrahman Syihab, Syaikh Ismail Banda,
Syaikh Muhammad Arsyad Thalib Lubis, Syaikh Muhammad
Yusuf Ahmad Lubis, Syaikh Adnan Lubis, Syaikh Bahrun Saleh
Nasution, Syaikh Muhammad Arifin Isa, dan Syaikh Bahrum
Ahmad. Sedangkan generasi ketiga adalah murid dari para
ulama Al Washliyah generasi kedua seperti Prof. Nukman Sulaiman,
H. Abdul Majid Siradj, Ustaz Muhammad Nizar Syarif, Ustaz
Luqman Yahya, Prof. Muhammad Hasballah Thaib, KH. M. Ridwan
Ibrahim Lubis, Prof. Muslim Nasution, dan Prof. Ramli Abdul
Wahid. Ternyata, para ulama Al Washliyah telah membentuk
jaringan intelektual tersendiri, bahkan sanad keilmuan mereka
bersambung sampai kepada Imam Syâfi‘i, Imam Abû al-Hasan
al-Asy‘âri dan Imam Abû Manshûr al-Maturidî. Mereka tidak
hanya sebatas menjadi pengulas berbagai karya terkemuka
dalam mazhab Sunni, tetapi juga menghasilkan banyak karya
orisinil yang didasari paradigma mazhab Sunni. Gagasan ini
dapat dilihat secara detail dalam karya saya yang berjudul
Biografi Intelektual Ulama-ulama Al Washliyah (Medan: CAS,
2012).
Mayoritas ulama Al Washliyah memiliki hubungan intelektual
dengan Syaikh Muhammad Yunus dan Syaikh Hasan Maksum.
Syaikh Muhammad Yunus pernah belajar di Makkah kepada
banyak ulama seperti Syaikh Abdul Kadir al-Mandili. Sedangkan
Syaikh Hasan Maksum juga pernah belajar di Makkah lewat
asuhan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan juga Syaikh
Abdul Kadir al-Mandili.
20 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

Syaikh Ahmad Khatib dan Syaikh Abdul Kadir adalah murid


Syaikh Sayyid Bakri Syatha al-Syâfi‘i al-Makkî (w. 1892) yang
merupakan murid terbaik Syaikh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan
(1817-1886), seorang mufti terkemuka mazhab Syâfi‘i di Masjidil-
haram. Dalam buku Syaikh Daud bin Abdullah al-Fathani: Penulis
Islam Produktif Asia Tenggara, Wan Muhd. Shaghir Abdullah
menyebut bahwa sanad keilmuan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan
menyambung sampai kepada Imam Abû al-Hasan al-Asy‘âri
yang mendirikan mazhab Asy‘ariyah, Imam Abû al-Manshûr
al-Maturidî yang mendirikan mazhab Maturidiyah, bahkan
Imam Syâfi‘i yang mendirikan mazhab Syâfi‘iyah. Dari sinilah
diketahui bahwa sanad keilmuan ulama-ulama Al Washliyah
juga menyambung sampai kepada para pendiri mazhab Sunni
tersebut. Karenanya, para ulama Al Washliyah adalah pewaris
tradisi Sunni yang sah di tanah air.
Mengingat peran ulama-ulama Al Washliyah dalam melestarikan
mazhab Sunni, kiranya pimpinan organisasi ini dapat memberikan
apresiasi kepada mereka, misalnya, dengan cara mendirikan
perpustakaan yang khusus menyajikan koleksi ratusan karya
dan foto mereka. Selain itu, hendaknya nama mereka diabadikan
dengan cara mencantumkan nama-nama mereka sebagai
nama belakang perguruan tinggi, gedung perkuliahan, aula
atau gedung perpustakaan Al Washliyah. Madrasah-madrasah
Al Washliyah, terutama Madrasah al-Qismul ‘Ali, telah menjadi
saluran penting bagi kelestarian mazhab Sunni di Indonesia,
karenanya bantuan dan perhatian seluruh pimpinan Al Washliyah
dan pemerintah terhadap kualitas dan kuantitas madrasah-
madrasah dan perguruan tinggi Al Washliyah harus terus ditingkatkan.
Sejauh ini, Al Washliyah telah melakukan banyak hal demi
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 21

melestarikan Islam dan tradisi Sunni di Indonesia. Organisasi


ini telah memfokuskan lahan usaha dalam bidang pendidikan,
dakwah, amal sosial, dan ekonomi, dan semuanya (idealnya)
diarahkan kepada cita-cita Islam dan cita-cita tradisi Sunni.
Organisasi ini memiliki banyak madrasah, sekolah dan perguruan
tinggi, sejumlah panti asuhan, menyiarkan Islam ke kawasan
minoritas Muslim, dan membangun lembaga-lembaga ekonomi
syariah, semuanya dilakukan demi Islam dan untuk umat
Islam, sesuai tujuan awal pendirian Al Washliyah.
Karya kakanda Ismed Batubara, SH, MH., telah memberikan
potret penting, menarik, dan sangat informatif tentang pergerakan
Al Washliyah selama 85 tahun dalam rangka melestarikan
Islam dan tradisi Sunni di Indonesia. Kita berharap dan men-
doakan semoga penulis buku ini terus melahirkan karya-karya
monumental tentang Al Washliyah, dan sangat penting juga
bila karya ini, dan karya lainnya, diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris dalam rangka internasionalisasi literatur-literatur
ke-Al-Washliyahan. Semoga buku ini menjadi ‘amal jariyah
bagi penulisnya, dan memberikan manfaat akademik bagi
masyarakat Muslim di Nusantara.[]

Kampus UIN Sumatera Utara


1 Agustus 2020
22 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

DAFTAR ISI

Pengantar Penulis 5

Sambutan Majelis Pendidikan Pengurus Besar


Al Jam’iyatul Washliyah 9
Mengenal Visi Al Jam’iyatul Washliyah
(Catatan Pengantar) 12
Daftar Isi 22

Akar Historis 25
Identitas, Tujuan dan Amal Ittifaq 35
· Identitas 36
· Tujuan dan Amal Ittifaq 42

Dinamika Perjuangan Al Washliyah 43


· Fase 1930-1942 45
· Fase 1942-1947 61
· Fase 1947-1955 73
· Fase 1955-1965 84
· Fase 1965-1972 91
· Fase 1972-1983 95
· Fase 1983-2015 99

Aset Al Washliyah 109


· Lembaga Pendidikan 110

22
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 23

· Panti Asuhan 121


· Bank Perkreditan Rakyat Syariah
Al Washliyah 123
Refleksi 85 Tahun 125

Daftar Pustaka 129


Biodata Penulis 137
24 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 25

AKAR HISTORIS

25
26 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

AKAR HISTORIS

M
engutip pendapat cendikiawan Barat seperti
Karel A. Steenbrink, ada empat faktor terpenting
bagi perubahan Islam di Indonesia pada permulaan
abad ke XX. Pertama, munculnya keinginan kembali kepada
Alquran dan hadis yang dijadikan sebagai titik tolak untuk
kebiasaan agama dan kebudayaan yang ada. Kedua, perlawanan
nasional terhadap penguasa kolonial Belanda. Ketiga, usaha
kuat dari orang-orang Islam untuk memperkuat organisasinya
dalam bidang sosial ekonomi, baik demi kepentingan umum
maupun individu. Keempat, adanya pembaruan dalam pendidikan
Islam.1
Sumatera Utara (dulu Sumatera Timur) dalam konteks
seperti yang dikatakan Karel, muncul organisasi pembaharu
seperti Al Jam’iyatul Washliyah.2 Ia mengatakan sembari memuji
Al Washliyah:
Dalam sejarah Islam modern ini memang kegiatan dan
organisasi sosial politik di Jawa dan Sumatera Barat, khususnya
telah mendapat perhatian dari pengamat baik dalam maupun
luar negeri. Organisasi yang tidak begitu spektakuler (tetapi
sangat efisien dan tanpa putus asa, “seperti api dalam sekam,”
tidak menunjukkan diri secara lahiriyah), yaitu Al Jam’iyatul

1
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan
Islam dalam Kurun Modern (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 26-28.
2
Ibid., h. 77.

26
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 27

Washliyah dalam spektrum ini merupakan suatu organisasi


yang patut perhatian juga. Dari segi kuantitas, organisasi
ini tentu mendapat tempat ke-3 sesudah Muhammadiyah
dan Nahdlatul Ulama. Istilah seperti reformisme, modernisme
dan fundamentalisme, maupun tradisionalisme, dalam
penulisan sejarah terlalu sering difokuskan kepada konflik
di Sumatera Barat antara Kaum Tua dan Kaum Muda atau
kepada perbedaan di antara profil Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama di Jawa. Walaupun pengamatan dan
konklusi mengenai perbedaan ini diterima untuk daerah
Jawa dan Sumatera Barat, maka perkembangan di Sumatera
Timur menunjukkan, bahwa dalam proses kebangkitan
ini terjadi bentuk yang berbeda-beda menurut daerah.
Dalam hal ini, Al Jam’iyatul Washliyah agak sukar bisa
dimasukkan dalam pengelompokan yang terlalu sederhana,
seperti di antara modern ataupun tradisional. Corak terbuka
dari Al Jam’iyatul Washliyah yang muncul dalam kota,
di mana unsur Tionghoa dan Batak Kristen merupakan
merupakan unsur yang cukup kuat.3

Tentang peran organisasi Islam, T. Lukman Sinar mengatakan


“jika kita lihat setiap tahun dari “kroniek Oostkust van Sumatra”,
maka lahirnya beberapa organisasi Islam di Sumatera Timur
lebih menitikberatkan kepada sektor pendidikan pada awal
abad ke-20, Al Jam’iyatul Washliyah tahun 1930 ditumbuhkan.4

3
Karel A. Steenbrink, “Kata Pengantar,” dalam Chalidjah Hasanuddin,
Al Jam’iyatul Washliyah 1930-1942: Api dalam Sekam di Sumatera
Timur (Bandung: Pustaka, 1988), h. vii-viii.
4
Tengku Lukman Sinar, “Peranan Ulama dalam Perjuangan Kemerdekaan
Sebelum Proklamasi,” disampaikan pada Seminar Ulama, Koperasi
dan Pengusaha Muslim oleh Panitia Pekan Budaya Islam Masjid Agung
di Gedung Serba Guna Kanwil Depdikbud Sumatera, Sabtu, 2 Sep-
tember 1995, h. 2-4.
28 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

Lebih jauh tentang latar belakang berdiri Al Jam’iyatul


Washliyah, ada beberapa pendapat yang mengemuka. Pertama,
pendapat Ustaz Nukman Sulaiman dan kawan-kawan.5 Pendapat
ini menyatakan bahwa lahirnya Al Washliyah bermula dari
adanya keinsyafan di antara pelajar-pelajar Maktab Islamiyah
Tapanuli (MIT), yang diakibatkan dua faktor: (1) berkembangnya
masalah-masalah furu’ syariat di kalangan pemimpin-pemimpin
dan guru-guru agama Islam. Pelajar-pelajar MIT6 ingin mencari

5
Nukman Sulaiman (ed.), Peringatan ¼ Abad Al Djamijatul
Washlijah (Medan: Pengurus Besar Al Washliyah, 1956), h. 36-37.
6
Pada permulaan tahun 1918, para perantau Mandailing di
Medan mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama Maktab Islamiyah
Tapanuli (MIT). Yayasan sekolah itu diketuai oleh H.M. Jacob, Ketua
Persatuan Perantau Mandailing di Medan. Sekolah ini dipimpin oleh
tiga ulama Mandailing terkemuka di Sumatera Timur, yaitu Syaikh
Haji Ja’far Hasan, Syaikh Haji Mohammad Joenoes dan Syaikh Haji
Jahja. Ketiga ulama ini adalah alumni-alumni lembaga pendidikan
dari Makkah. Pendirian MIT dengan relasi simbiosis mutualisme Mandailing
dan Melayu menjadi awal “bulan madu” suku Melayu dan Mandailing.
Para pelajar Mandailing di Maktab Islamiyah merasa bertanggung jawab
terhadap misi ini. Untuk itu, mereka membentuk Debating Club (1928)
yang dipimpin oleh Abdurrahman Syihab (putra seorang perantau
Mandailing, Haji Syihabuddin, Qadhi Sultan Serdang), untuk membahas
strategi dan masalah--masalah yang sedang berlangsung. Dalam klub
perdebatan ini, generasi muda sampai kepada kesimpulan bahwa perjuangan
mereka akan berhasil hanya bila mereka memiliki sebuah organisasi
yang kuat dan memperoleh dukungan para anggotanya. Setelah beberapa
pertemuan dengan para ulama, akhir dalam sebuah pertemuan di rumah
Haji Muhammad Joenoes Lubis pada 26 Oktober 1930, para pelajar
dan ulama mengeluarkan keputusan untuk mendirikan sebuah organisasi
yang bernama Al-Djam’iatoel Washlijah. Mereka mengeluarkan pengumuman
resmi dalam surat-surat kabar, termasuk Pewarta Deli, pada 30 Nopember
1930. Lihat, Muaz Tanjung, “Pendidikan Islam di Medan Pada Awal
Abad ke-20: Studi Historis tentang Maktab Islamiyah Tapanuli (1918-
1942)” (Medan: IAIN Press, 2012).
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 29

jalan tengah yang kurang senang disebut golongan ini dan


itu; dan (2) munculnya semangat kebangsaan dan pembuktian
ketinggian Islam ke alam nyata. Kedua faktor ini melahirkan
Debating Club, tahun 1928, yang dua tahun kemudian menjelma
menjadi organisasi Al Washliyah.7
Kedua, pendapat Prof. Dr. Chalidjah Hasanuddin. Pendapat
ini mengatakan Al Jam’iyatul Washliyah merupakan perluasan
dari Debating Club, sebuah perkumpulan pelajar dari murid-
murid Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT) yang didirikan 1928.
Perkumpulan ini mula-mula hanya untuk mendiskusikan pelajaran
mereka saja. Kemudian perkumpulan ini bergerak lebih luas
lagi, mengikuti perkembangan masyarakat terutama dengan
adanya golongan yang berpaham baru yang tidak mempunyai
mazhab yang berbeda paham mereka yang bermazhab Syâfi‘i.8
Ketiga, pendapat Kevin W. Fogg, seorang akademisi dari
Australian National University (ANU) memiliki pendapat
yang hampir sama dengan Chalidjah Hasanuddin. Kevin W.
Fogg mengatakan9 “a collective of students at the Maktab Islamijah
Tapanuli Founded a debating club in 1928 ; this grew into Al
Jamiyatul Washliyah in 1930.”
Ketiga, pendapat Prof Dr. Usman Pelly, MA. Pendapat ini
mengatakan adanya urbanisasi dari orang-orang Mandailing

7
Lihat uraian Sulaiman (ed.), Peringatan ¼ Abad, h. 36-37.
8
Lihat uraian Chalidjah Hasanuddin, Al Jam’iyatul Washliyah
1930-1943: Api dalam Sekam di Sumatera Timur (Bandung: Pustaka,
1988), h. 60.
9
Lihat Crawford.anu/edu/events//191//green.local.political diunduh
terakhir 27 November 2014.
30 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

(etnis Tapanuli Selatan) yang merantau ke Medan (dulu


disebut SumateraTimur) merasa terdesak oleh kaum perantau
dari Minangkabau (Sumatera Barat). Keresidenan Sumatera
Timur dan Tapanuli kini merupakan propinsi Sumatera Utara,
ibukotanya Medan yang terletak di pantai Sumatera Timur.
Walaupun negeri Minangkabau dan Mandailing bertetangga,
namun kedua kelompok etnik ini sangat berbeda. Kelompok
etnis Minangkabau sebagian besar adalah pemeluk Islam
modernis yang memiliki tradisi matrilineal yang kuat, terutama
dalam hal suksesi, pewarisan, identitas, legitimasi, dan cenderung
untuk merantau. Sementara itu, kelompok etnis Mandailing
sebagian besar dikenal sebagai Muslim konservatif yang memiliki
tradisi patrilineal yang kuat dalam hal suksesi, pewarisan,
identitas, dan legitimasi serta lebih cenderung untuk melakukan
perluasan teritorial.10 Orang Minangkabau membawa Muham-
madiyah ke perantauan dan memakainya sebagai sarana untuk
mengekspresikan misi budayanya. Sebaliknya, orang Mandaling
memakai Al Washliyah sebagai sarana untuk mengekspresikan
misi budayanya.11
Keempat, pendapat HS. Pulungan. Pendapat ini hampir
mirip dengan dengan pandangan Prof. Dr. Usman Pelly, MA,
yang mengatakan Al Jam’iyatul Washliyah tidak akan ada,
andaikata Maktab Islamiyah Tapanuli tidak ada. Maktab Islamiyah
Tapanuli tidak ada, andaikata masyarakat Mandailing tidak
ke Medan. Masyarakat Mandailing di Medan tidak ada, andaikata

10
Usman Pelly, Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya
Minangkabau dan Mandailing (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 185.
11
Ibid., h. 284.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 31

masyarakat Mandailing tidak diterima di Medan, dan masyarakat


Mandailing tidak pindah dari Mandailing. Masyarakat Mandailing
tidak akan pindah dari Mandailing, andaikata tidak ada sebab
sebab yang mendorong mereka untuk pindah.
Keempat pandangan ini mengandung kebenaran ilmiah
dan tidak perlu diperdebatkan. Kelahiran Al Washliyah diumumkan
resmi dalam surat-surat kabar, termasuk Pewarta Deli, pada
30 Nopember 1930. Secara formal, Al Washliyah menyatakan
diri sebagai organisasi Islam yang terbuka hanya bagi orang-
orang yang bermazhab Syâfi‘iyah. Dalam sebuah upacara besar
yang diselenggarakan di Maktab Islamiyah Tapanuli pada
30 Nopember 1930, diumumkan susunan pengurus Al Washliyah
sebagai berikut:

Ketua : Ismail Banda (Mandailing, guru agama).


Wakil Ketua : Abdurrahman Syihab (Mandailing, guru
agama)
Sekretaris : M. Arsyad Thalib Lubis (Mandailing, guru
agama)
Wakil Sekretaris : Adnan Nur Lubis (Mandailing, guru agama)
Bendahara : H.M. Jacob (Mandailing, guru agama)
Komisaris : H. Syamsuddin (Melayu, guru agama)
H. Yusuf Lubis (Mandailing, guru agama)
H. A. Malik (Banten, guru agama)
A. Aziz Effendi (Mandailing, guru agama)
Penasehat : Syaikh H.M. Joenoes (Mandailing, guru
agama)
32 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

Pengurus Al Washliyah umumnya didominasi etnis Mandailing


dan semuanya guru agama. Mereka juga adalah pelajar dan
guru pada Maktab Islamiyah Tapanuli, yang dipimpin oleh
Syaikh H.M Joenoes yang menjabat penasehat dan M. Arsyad
Thalib Lubis dan H.M. Joenoes Lubis, murid-murid Syaikh
Hasan Maksum (Imam Paduka Tuan Kesultanan Deli). Semua
pimpinan Al Washliyah masih muda-muda kecuali penasehat.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 33

Syaikh Muhammad Yunus Syaikh Hasan Maksum

Ismail Banda
34 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

Abdurrahman Syihab Udin Syamsuddin

M. Arsyad Thalib Lubis H. Adnan Lubis


Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 35

IDENTITAS,
TUJUAN DAN
AMAL ITTIFAQ

35
36 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

IDENTITAS, TUJUAN
DAN AMAL ITTIFAQ

Identitas

S
yaikh Muhammad Yunus pernah menegur Abdur-
rahman Syihab karena aktif mengurus Al Washliyah
sehingga profesinya sebagai guru di Maktab Islamiyah
Tapanuli (MIT) terbengkalai, tetapi hubungan kedua tokoh
ini tidak renggang karena Muhammad Yunus tetap menjadi
Penasehat Al Washliyah.1
Karena kedekatan guru dan murid inilah, Syaikh Muhammad
Yunus2 berkenan memberikan nama organisasi ini, menjadi
Al Jam’iyatul Washliyah, dan sesuai dengan namanya, Al Washliyah

1
Chalidjah Hasanuddin, Al Jam’iyatul Washliyah 1930-1942:
Api dalam Sekam di Sumatera timur (Bandung: Pustaka, 1988), h. 46.
2
Syaikh Muhammad Yunus adalah seorang guru besar yang mening-
galkan jasa bagi murid-muridnya. Ia dilahirkan di Binjai pada tahun
1889 dan orangtuanya H. Muhammad Arsyad berasal dari Penyabungan,
Tapanuli Selatan. Sejak kecil ia sangat rajin menuntut ilmu, pendidikan
yang pernah diikutinya di Binjai adalah di Kampung Percukaian dan
di Titi Gantung dengan Syaikh Abdul Muthalib. Kemudian di Besilam
Langkat untuk mempelajari ilmu fikih dan ilmu mantiq. Dari Besilam
ia melanjutkan pendidikannya ke Dorga Kedah dengan Syaikh Muhammad
Idris Petani. Selanjutnya ia hijrah ke Makkah, belajar dengan Syaikh
‘Abd ar-Rahman, Syaikh ‘Abd Al-Qadir al-Mandily, Syaikh ‘Abd. al-Hamid
dan Syaikh Abd. Majid di Kwala Penang. Di Makkah beliau sempat
mengajar di Maktab Saulatiyah. Nukman Sulaiman (ed.), Peringatan ¼
Abad Al Djamijatul Washliyah (Medan: PB Al Washlijah, 1956), h. 404.

36
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 37

yang berarti menghubungkan, maka identitas khas Al Washliyah


adalah ingin me-washilah-kan, atau menghubung-hubungkan
dan mempertalikan manusia dengan Tuhannya dan manusia
dengan sesama manusia.3
Identitas sangat perlu bagi sebuah organisasi untuk mem-
bedakan dengan organisasi lainnya. Kalau dilihat, ada beberapa
identitas Al Washliyah:
1. Lambang bulan terbit, Ini mengisyaratkan bulan purnama
raya yang lagi memancarkan cahayanya di alam dunia
ini, yaitu peringatan kepada sekalian alam bahwa agama
Islam akan berkembang meratai seluruh penjuru alam.
“Dialah Allah yang telah menjadikan matahari bersinar dan
bulan bercahaya.” (Q.S. Yûnus: 5).
2. Lima bintang bersatu. Artinya, sebagai sinar yang merupakan
sendi kebenaran agama Islam dengan rukun Islam yang
lima. Terutama sekali sembahyang lima waktu, sebagai pondasi
yang kokoh menyinari ruhani dan jasmani untuk menunaikan
perintah Ilahi guna mencapai kemuliaan di dunia dan di
akhirat. “dan akan beberapa tanda, dan dengan bintang
itu mereka mendapat petunjuk.” (Alquran)
3. Warna putih. Artinya, keimanan orang yang mukmin itu
sebagai cahaya bulan yang baru terbit. Warna sinarnya
memancarkan cahaya terang benderang. Apabila cahaya
tersebut timbul dengan pancarannya meskipun hujan dan

3
Firman Allah Swt. dalam Q.S. al-Ra‘d/21, “merekalah yang
memperhubungkan segala sesuatu yang diperintahkan Allah harus
diperhubungkan”.
38 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

awan serta angin badai yang keras, cahaya itu tidak akan
lenyap. Ia akan tetap bersinar hingga sampai saat yang
penghabisan.
4. Dasar yang berwarna hijau. Artinya, setiap orang Mukmin
itu wajib suci hati, ruhani, jasmani serta budi pekertinya.
Lemah lembut dalam mencapai kemuliaan dan perdamaian
yang kekal di muka bumi ini. “Adakah tidak engkau lihat
sesungguhnya Allah telah menurunkan dari langit akan
air, maka jadilah bumi hijau.” “Sesungguhnya Allah amat
pengasih lagi amat mengetahui (mengkabarkan).” (al-Hajj:
63).
5. Cahaya bulan dan bintang. Artinya, agama Islam dan kaum
Muslim sebagai pedoman petunjuk keselamatan di daerah
dan di lautan dengan jalan lemah lembut. Cahaya di mana
pun tidak dapat dilindungi dan ditutupi apa pun juga. Ibarat
air, ia akan berjalan meratai bumi, lambat laun ia akan
meratai bumi seluruhnya. “Dan Dialah Allah yang telah
menjadikan bagi kamu akan beberapa bintang supaya kamu
dapat petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesung-
guhnya Kami nyatakan beberapa tanda bagi kaum yang
mengerti.” (Alquran).

Banyak sekali ayat-ayat Alquran yang mengajurkan


agar manusia menjaga hubungan baik antara dirinya dengan
Tuhannya yang dikenal dengan hablum min Allâh dan hubungan
dengan sesama manusia yang disebut hablum min an-nâs,
salah satu di antaranya firman Allah Swt. “ditimpakan kehinaan
kepada kamu di mana saja kamu berada, kecuali kamu menjaga
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 39

hubungan baik dengan Allah dan menjaga hubungan baik sesama


manusia...”4
Korelasi hubungan dengan Allah diwujudkan dalam bentuk
pelaksanaan ibadah atau pengabdian kepada-Nya dengan
tulus dan ikhlas, baik melalui pelaksanaan salat, puasa, zakat,
dan haji. Kemudian mendirikan rumah-rumah ibadah, di
antaranya membangun masjid binaan Al Washliyah. Tentang
rumah ibadah, Al Washliyah tidak menamakannya masjid
Al Washliyah atau musala Al Washliyah. Berbeda sekali dengan
Muhammadiyah di kemudian hari yang menamakan rumah
ibadahnya dengan Masjid Taqwa dengan lambang Muhammadiyah.
Tentang hal ini, Abdurrahman Syihab mengatakan:
...di dalam pendirian Al Washlijah, rumah-rumah ibadat
ini tidak disebutkan rumah-rumah ibadat, masdjid, langgar-
langgar dan surau Al Wasliyah, menjaga perasaan kaum
Muslimin semuanya dari segala golongan dan organisasi
Islam. Karena menurut pendapat Al Washlijah berkenaan
dengan perbadatan kaum Muslimin, tidak ada djalan mem-
perbedakannya di antara golongan kaum Muslimin, dan
pun di antara semuanya keluarga organisasi Islam. Karena
pendirian dan pendapat Al Washlijah di atas, tidak ada satu
rumah ibadat pun jang disebutkan dan disandarkan kepada
nama Al Waslijah, umpamanya masdjid Al Washlijah, Musalla
Al Washlijah, karena dalam soal peribadatan kaum muslimin
harus mendjadi satu dan menggambarkan persatuan.5

4
Lihat “Tafsir AD Al Washlijah 1956,” dalam Nukman Sulaiman,
Peringatan ¼ Abad.
5
Abdurrahman Sjihab, “Memperingati Al Djami’ijatul Waslijah
21 Tahun 30 Nopember 1930-30 November 1951,” dalam H.M. Husein
40 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

Tujuan
Pada awal berdirinya, tujuan organisasi ini adalah “untuk
memajukan, mementingkan, dan menambah tersiarnya agama
Islam.” Kemudian, pada tanggal 29 Juli 1934, Al Washliyah
mempertegas tujuannya sebagaimana terkandung dalam
rumusan yang diputuskan pada waktu itu, yakni “Tujuan per-
kumpulan ialah berusaha menunaikan tuntutan agama Islam.”
Ketika itu, para tokoh Al Washliyah berkeinginan atau
bertekad untuk melaksanakan tuntutan agama Islam sekuat
tenaga. Tekad ini selalu dicapkan dalam bai’ah6 yang diikrarkan
seseorang ketika ia dilantik menjadi pengurus dalam Al Washliyah.
Abdurrahman Syihab menegaskan tentang pentingnya
baiah ini:
Sebagai mesin penggerak untuk menumpahkan pikiran,
tenaga dan pengorbanan memenuhi cita-cita Al Waslijah,
maka pemimpin-pemimpin, pengurus-pengurus, anggota-
anggota dan seluruh keluarga Al Washlijah laki-laki, perempuan,
pemuda, angkatan putri dan pandu-pandu haruslah meng-
ucapkan bai’ah dan selalu mengingat bai’ah.7

Abd. Karim, 21 Tahun Al Dj Washlijah (Medan: Pustaka Al Washlijah,


1951), h. 12.
6
Bai’ah Al Washliyah, Bismillahirrohmanirrahim, Saja berjandji
di hadapan Tuhan akan mematuhi undang-undang agama Islam sekuat
tenaga. Saja berjanji di hadapan Tuhan akan melaksanakan tuntutan
agama Islam sebagai dinjatakan dalam Anggaran Dasar al Dj. Washlijah.
Dengan dasar itu saya berdjandji djadi pembela Al Dj. Washliyah.
Allah jang Maha mengetahui mendjadi saksi diatas pengakuan saja
ini. Lihat Sulaiman (ed.), Peringatan ¼ Abad, h. 168.
7
Sjihab, “Memperingati Al Djami’iyatul Waslijah 21 Tahun,” h. 6
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 41

Karenanya, misi, program dan kegiatan Al Washliyah tidak


akan ada hentinya dalam memperjuangkan ajaran Islam agar
dapat dilaksanakan secara menyeluruh (kâffah), baik dalam
tataran individu maupun masyarakat.
Empat tahun setelah berdiri, rumusan tujuan itu direvisi
sehingga tujuan Al Washliyah adalah untuk berusaha menunaikan
tuntutan agama Islam secara kâffah.
Muqaddimah Anggaran Dasar Al Washliyah menyatakan
bahwa dinyatakan bahwa sebagai organisasi kemasyarakatan
yang independen, organisasi ini akan senantiasa menjalankan
kiprahnya secara aktif, khususnya dalam peran moderasi (washal),
bagi perjalanan bangsa dan mengembangkan masyarakat;
baik dalam memperjuangkan, mempertahankan, dan mengisi
kemerdekaan serta mereformasinya menuju Indonesia baru.
Dalam aspek teologi, organisasi ini beriktikad Ahlussunnah
Waljamaah, dalam hukum fikih mengutamakan mazhab Syâfi‘i,
dan dari aspek kegiatan menitikberatkan usahanya di bidang
pendidikan, dakwah, dan amal sosial.8 Tiga bidang garapan
inilah yang disebut dengan amal ittifaq Al Washliyah.
Untuk melaksanakan amal ittifaq ini, Abdurrahman
Syihab memberikan langkah-langkah strategis. Pertama, menye-
diakan tenaga-tenaga kader dan teras penggerak perhimpunan
ini, di dalam ilmu pengetahuan, kecerdasan pikiran, memperluas
pengalaman dan pengertian istimewa di dalam soal-soal masyarakat,
perhimpunan Islam dan partai politik. Kedua, memulai pem-

8
PB Al Washliyah, Anggaran Dasar dan Rumah Tangga Al Jam’iyatul
Washliyah (Jakarta: PB Al-Washliyah, 2010).
42 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

bangunan perguruannya. Ketiga, penerbitan majalah sebagai


tempat bersuara dan terompet Al Washliyah. Setelah itu baru
dimulailah mendirikan cabang-cabang dan ranting-ranting.9

9
Sjihab, “Memperingati Al Djamijatul Washlijah, h. 7.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 43

DINAMIKA
PERJUANGAN
AL WASHLIYAH

43
44 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

DINAMIKA PERJUANGAN
AL WASHLIYAH

P
embagian periode tahun perjuangan bangsa menurut
ilmu civic adalah (1) Tahun 1908-1927 disebut zaman
perintis, (2) Tahun 1927-1938 disebut zaman penegas,
(3) Tahun 1938-1942 disebut zaman pencoba, (4) Tahun 1942-
1945 disebut zaman pendobrak, dan (4) Tahun 1945-seterusnya
disebut zaman pelaksana. Berdasarkan periodesasi perjuangan
di atas, dapat digarisbawahi bahwa kelahiran Al Washliyah
adalah pada zaman penegas, terus berjuang di zaman pencoba,
dan berkelanjutan sampai zaman pendobrak dan zaman pelaksana.1
Muhammad Hasballah Thaib menyimpulkan periodesasi
Al Washliyah ke dalam tujuh periode.2 Pertama, fase berdiri
sampai menjelang kemerdekaan (1930-1942). Kedua, fase
fakum yakni mulai masuknya tentara Jepang sampai upaya-
upaya mempertahankan kemerdekaan (1942-1947). Ketiga,
fase perjuangan politik (1947-1955). Keempat, fase pembinaan
(1955-1965) yakni Al Wasliyah mulai berkembang di pulau
luar Sumatera, khususnya Jawa dan Kalimantan. Kelima, fase

1
Bahari Emde, “Wijhah Al Washliyah,” dalam Ismed Batubara
dan Ja’far (ed.), Bunga Rampai Al Jam’iyatul Washliyah (Banda Aceh:
Al Washliyah Universitas Press, 2010), h. 25.
2
Muhammad Hasballah Thaib, Universitas Al Washliyah Medan
Lembaga Pengkaderan Ulama (Medan: UNIVA, 1993), h. 72-73.

44
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 45

perluasan misi zending dan penyiaran Islam (1965-1972).


Keenam, fase agak suram (1972-1983). Ketujuh, fase penataan
kembali dan perluasan (1983-sekarang).

Fase 1930-1942
Dua tahun berjalan (30 Juni 1932), Al Washliyah mengadakan
reorganisasi kepengurusan. Untuk memperkuat eksistensinya,
para tokoh organisasi ini melibatkan langsung ulama-ulama
puncak dan para bangsawan Melayu ke dalam struktur Al
Washliyah.3 Struktur kepengurusan pun secara otomatis dirombak
menjadi:

Ketua : Tengku H.M. Anwar (Melayu, keluarga


Sultan Asahan)
Wakil Ketua : Abdurrahman Syihab (Mandailing, guru
agama)
Sekretaris : Udin Syamsuddin (Sipirok, kerani perusahaan
Jerman)
Wakil Sekretaris : H.M. Yusuf Lubis (Sipirok, guru agama)

3
Menurut Chalijah, Al Washliyah melakukan orientasi kerajaan.
Proses memasukkan nilai-nilai keorganisasian ke rumah kerajaan
mempunyai nilai mazhabistis. Keluarga kerajaan yang menganut
Syâfi‘i dicatat sebagai suatu kesamaan bagi organisasi ini. Berintegrasi
dengan sistem kerajaan yang menjadikan suatu prestise organisasi
Al Washliyah setidak-tidaknya memberi legitimasi formal untuk mudah
bergerak beraktiftas di wilayah Sumatera Timur. Chalijah Hasan,
“Al Jam’iyatul Washliyah Mengembalikan Semangat 1930,” dalam
Ismed Batubara dan Ja’far (ed.), Bunga Rampai Al Jam’iyatul Washliyah
(Banda Aceh: Washliyah University Press, 2010), h. 16.
46 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

Bendahara : Suhaeluddin (Melayu, guru agama)


Komisaris : Baharuddin Ali (Melayu, guru agama)
M. Saat (Rao, guru agama)
H. M. Arsyad Thalib Lubis (Mandailing,
guru agama)
Abdul Wahab (Mandailing, guru agama)
Penasehat : SyaikhHasanMaksum(Melayu/ImamPaduka
Kesultanan Deli)
Syaikh H.M. Joenoes (Mandailing, Direktur
MIT)
Syaikh Kadhi H. Ilyas (Mandailing (qâdhi
Sultan Deli)

Dalam struktur kepengurusan yang kedua ini, selain melibatkan


keluarga sultan Melayu, Al Washliyah juga melibatkan qâdhi
(ulama Kesultanan). Satu-satunya motivasi utama adalah harapan
agar posisi Al Washliyah mendapat tempat di hati masyarakat.
Karena qâdhi kesultanan dianggap mempunyai pengaruh atas
Sultan,merekamendapatposisistrategisdalamstrukturkepengurusan.
Sejak terbentuknya kepengurusan baru ini, mulailah Al
Washliyah menampilkan aktivitasnya di tengah-tengah masyarakat.
Kalau sebelumnya organisasi ini hanya berkantor di salah satu
ruang MIT, maka pada tanggal 14 Agustus 1932, Al Washliyah
telah mempunyai kantor sendiri. Pada awal Agustus pula, Al
Washliyah membuka madrasah yang pertama terletak di Jl.
Sinagar Medan atas inisiatif A. Rahman Syihab dan Udin Syamsuddin.4

4
Nukman Sulaiman (ed.), Peringatan ¼ Abad Al Djamijatul
Washlijah (Medan: PB Al Washlijah, 1956), h. 40.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 47

Pada periode kedua ini, Al Washliyah diminta oleh masyarakat


Firdaus dekat Rampah untuk membuka madrasah. Madrasah
tersebut diberi nama Hasaniyah, sama dengan Madrasah Hasaniyah
milik Syaikh Hasan Maksum, tetapi tidak mempunyai hubungan
dengannya. Nama ini dipakai karena Syaikh Hasan Maksum
sangat terkenal di Sumatera Timur. Madrasah ini juga tidak
memakai nama Al Jam’iyatul Washliyah, karena didirikan bukan
atas inisiatif organisasi ini.5
Kombinasi bangsawan Melayu, ulama sekolah-sekolah
Sultan dan sekolah pribadi, serta generasi muda Mandailing
yang terdidik membuka jalan ke arah sukses Al Washliyah. Udin
Syamsuddin (marga Siregar), seorang Sipirok juga bergabung
memperkuat Al Washliyah. Dia adalah kerani perusahaan Jerman
dan berpendidikan Barat. Di bawah kepemimpinannya, administrasi
Al Washliyah mengalami kemajuan pesat.
Setelah reorganisasi ini diumumkan, suku Mandailing
dan Melayu tidak lagi enggan untuk masuk Al Washliyah, karena
pemimpin-pemimpin mereka dan para ulama terkemuka langsung
terlibat dalam organisasi ini. Ahmad Nasution, tadinya seorang
anggota Muhammadiyah di tanah Mandailing, masuk Al Washliyah
ketika dia pindah ke Medan, meskipun kemudian menjadi pemimpin
Nahdlatul Ulama di Sumatera Utara. Dalam suatu kesempatan,
beliau mengatakan:
....dalam reorganisasi itu, pimpinan pusat Al Washliyah
menunjuk Syaikh Haji Hasan Maksum, Imam Paduka Tuan

Chalijah Hasanuddin, Al Jam’iyatul Washliyah 1930-1942: Api


5

dalam Sekam Simatera Timur (Bandung: Pustaka, 1988), h. 38.


48 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

sebagai penasehat Al Washliyah. Dengan mengangkat beliau,


Al Washliyah memperoleh nafas segar. Lebih dari itu, setelah
pengangkatan itu diumumkan dan rakyat Sumatera Timur
mengetahui bahwa Haji Hasan Maksum menjadi penasehat
Al Washliyah, organisasi itu segera menjadi populer. Beberapa
cabang didirikan di kota-kota sekeliling Sumatera Timur,
dan madrasah bertumbuhan dan berkembang.6

Strategi yang dilancarkan para pemimpin Al Washliyah


untuk mengimbangi laju sekolah-sekolah Muhammadiyah
adalah memilih tidak mendirikan madrasah baru, melainkan
memperbaiki beberapa madrasah milik pribadi dengan men-
jadikannya sebagai madrasah Al Washliyah. Beberapa madrasah
pribadi yang dimiliki ulama diganti namanya menjadi Al Washliyah.
Madrasah Abdurrahman Syihab di Jalan Sinagar menjadi Madrasah
Al Washliyah yang pertama.7 Beberapa madrasah milik kesultanan
juga dialihkan kepada Al Washliyah. Dalam tahap pertama,
hal tersebut tidak menimbulkan masalah, namun ketika Al
Washliyah mencoba mengatur kurikulum dan kebijakan pen-
didikan madrasah, tidak bisa dihindari munculnya konflik internal
antara para guru pengasuh lama dengan Al Washliyah. Mula-
mula, kebanyakan guru tersebut tidak menyadari konsekuensi
dari keputusan mereka mengalihkan madrasah kepada Al Washliyah.
Ketika sudah terjadi, mereka mengeluh bahwa Al Washliyah
tidak menghargai hak historis mereka di madrasah tersebut
dan sebagian dari mereka menolak menyerahkan kendali kebijakan
kepada Al Washliyah.

6
MUI Sumatera Utara, Sejarah Ulama-Ulama Terkemuka Sumatera
Utara (Medan: MUI Sumatera Utara, 1988), h. 18.
7
Sulaiman (ed.), Peringatan ¼ Abad, h. 41.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 49

Untuk mengatasi masalah ini, Pengurus Besar Al Washliyah


mendirikan Majlis Tarbiyah (Dewan Pendidikan), yang dipimpin
oleh H.M. Jeonoes dan Majelis Fatwa (hukum) yang dipimpin
oleh H. Hasan Maksum. Kedua lembaga itu bekerja sama untuk
memecahkan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh para
ulama yang menentang modernisasi sekolah-sekolah Al Washliyah.
H.M. Joenoes dan H. Hasan Maksum memperoleh wewenang
penuh dari Pengurus Besar Al Washliyah untuk mengendalikan
kurikulum madrasah dan menguji kembali semua guru yang
ingin mengajar di sekolah Al Washliyah. Wewenang ini kemudian
diperkuat oleh Kesultanan Melayu yang mengesahkan keputusan
Al Washliyah. Berdasarkan syarat-syarat keputusan itu, seseorang
tidak bisa mengajar dalam wilayah Kesultanan tanpa izin
ulama Sultan. Keputusan ini tidak hanya membantu Al Washliyah
menertibkan sekolah-sekolah mereka, tetapi juga menutup
pintu bagi guru atau ulama Kaum Muda (Muhammadiyah)
yang ingin mengajar di wilayah-wilayah kesultanan.
Pada tanggal 28 November 1933, dimulailah mendirikan
cabang-cabang/ranting-ranting Al Washliyah di Sumatera
Timur, dipelopori dari Kabupaten Asahan.8
Cabang pertama Al Washliyah didirikan di Tanjung Balai,
Asahan, pada 19 Agustus 1934, dan diketuai oleh T.H. Anwar
dengan susunan pengurus seperti berikut:

8
Abdurrahman Sjihab, “Memperingati Al Djami’ijatul Waslijah
21 Tahun 30 Nopember 1930-30 November 1951,” dalam H.M. Husein
Abd. Karim, 21 Tahun Al Dj Washlijah (Medan: Pustaka Al Washlijah,
1951), h. 12.
50 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

Ketua : Tengku H.M. Anwar (Melayu, bangsawan)


Wakil Ketua : Zakaria Hasyim (Melayu,guru agama)
Wakil Ketua : M. Damsyah KI (Mandailing, guru agama)
Sekretaris : Masfar Lubis (Mandailing, guru agama)
Wakil Sekretaris : Husin Ali (Melayu, guru agama)
Bendahara : Husin Ali (Melayu, guru agama)
Komisaris : M. Zein (Melayu, guru agama)
A. Anwar (Melayu, guru agama)
H. Ibrahim (Mandailing, guru agama)
H. Idris (Mandailing, guru agama)

Komposisi kepengurusan di atas memperlihatkan bahwa


orang Melayu menempati posisi-posisi yang lebih strategis
ketimbang orang Mandailing. Tetapi, bisa diasumsikan bahwa
ini hanya karena ketuanya, Tengku H. Anwar, adalah seorang
Melayu. Hal ini menguntungkan Al Washliyah, sebab identitas
etnis dan posisi Tengku Anwar dalam komunitas Melayu men-
dorong suku Melayu untuk masuk Al Washliyah. Ketika Tengku
Anwar tidak lagi menjadi Ketua Al Washliyah, maka kebanyakan
orang Melayu menarik diri dari kepengurusan cabang tersebut.
Daftar dalam kepengurusan beberapa struktur di atas, mem-
perlihatkan etnisitas orang-orang yang menjadi pimpinan
Al Washliyah dalam beberapa cabang. Di sana tampak orang
Mandailing mendominasi Al Washliyah, karena mereka merupakan
70% dari pengurusnya.
Dengan demikian, dapat dikatakan Al Washliyah didominasi
kelompok etnik Mandailing. Kebanyakan dari mereka adalah
guru agama; hanya sedikit yang pedagang, kerani atau petani.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 51

Dua puluh persen adalah orang Melayu, dan kebanyakan


petani. Sepuluh persen lainnya adalah dari berbagai kelompok
etnis lain. Sebagaimana dinyatakan di atas, proporsi pimpinan
dari kelompok etnik Melayu dalam Al Washliyah menjadi
berkurang kemudian, terutama setelah Tengku Anwar tidak
lagi menjadi Ketua Al Washliyah, yaitu sebelum Kongres Al
Washliyah yang pertama pada 16 Oktober 1936.
Pada pertemuan pertama (Al Washliyah) yang diseleng-
garakan di Medan pada 29 Juli 1934, Abdurrahman Syihab
dipilih sebagai Ketua. Para anggota pengurus adalah:

Ketua : Abdurrahman Syihab (Mandailing, guru)


Wakil Ketua : M. Arsyad Thalib Lubis (Mandailing, guru)
Sekretaris : Udin Syamsuddin (Sipirok, kerani)
Penulis I : M. Afifuddin (Mandailing, guru)
Bendahari : Baharuddin Ali
Pembantu-
pembantu : M. Saad, H. A. Kadir, Zakaria
Penasehat : H. Hasan Maksum (Melayu, Imam Istana)
H.M. Joenoes (Mandailing, Direktur MIT)
H. Ilyas (Mandailing, Kadhi Sultan).

Setelah pengalaman lebih dari lima tahun, 1930-1936,


termasuk dua tahun dipimpin seorang etnis Melayu, Tengku
Anwar, dibantu oleh kepemimpinan kharismatik Syaikh Hasan
Maksum, H.M. Joenoes, dan H. Ilyas, generasi muda Mandailing
pendidik mulai mengambil alih kepemimpinan formal Al
Washliyah. Dalam waktu relatif singkat, Al Washliyah sudah
52 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

dikenal di kalangan perantau Mandailing dan banyak orang


Melayu ikut serta atau paling tidak menjadi simpatisan.
Walaupun T.M. Anwar mengundurkan diri sebagai Ketua
Al Washliyah, Sultan-Sultan Melayu, terutama Sultan Deli,
masih memberikan dukungan penuh kepada organisasi itu.
Sultan Deli membantu keuangan bagi kegiatan-kegiatan Al
Washliyah dalam pendidikan, dakwah Islamiyah (terutama
ke Tanah Karo dan Simalungun), dan untuk Panti Asuhan anak
Yatim Al Washliyah.
Al Washliyah juga aktif membantu masyarakat setempat
melakukan berbagai upacara fardhu kifayah (kewajiban) dan
keramaian terutama dalam lingkungan kehidupan, misalnya
kelahiran dan khitanan, pernikahan dan pemakaman. Kebanyakan
upacara-upacara tersebut dilaksanakan oleh ranting-ranting
Al Washliyah atas nama keluarga besar Al Washliyah. Dalam
kegiatan-kegiatan tersebut, Al Washliyah menghimpun para
anggota dan berfungsi mirip kelompok kekerabatan pedesaan.9
Kegoyahan batin perantau Mandailing menjadi berkurang
begitu mereka terlibat dalam Al Washliyah. Al Washliyah mem-
berikan semacam “jembatan” atau “payung” bagi para perantau
Mandailing dan memperkenalkan nilai dan mekanisme organisasi
dalam menghadapi masalah-masalah kota. Orang Mandailing,
melalui Al Washliyah, mengambil keberartian ekonomi dan
politis yang lebih besar dalam hubungan dengan Kesultanan
Melayu. Al Washliyah menjelang 1941, sudah menjadi pendidikan

9
Usman Pelly, Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya
Minangkabau dan Mandailing (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 194-195.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 53

terpenting di Sumatera Timur, mengelola 12.500 pelajar


dalam 242 sekolah dan madrasahnya.10
Di sisi lain, setelah cabang di Asahan dibuka pada 1934,
Al Washliyah melebarkan sayapnya dengan membuka berbagai
cabang dan afdeeling terjadi sangat menonjol pada tahun
1933, seperti Cabang di Aek Kanopan (Kualuh) tanggal 1
Juli, afdeling Kampung Baru Medan tanggal 31 Juli, afdeeling
Titi Kuning Medan tanggal 9 Agustus, afdeeling Sei Kerah Medan
tanggal 15 Agustus, cabang Brastagi (Tanah Karo) tanggal 31
Agustus, afdeeling Pulau Brayan Medan 9 Oktober, dan cabang
Arhemeia (Pancurbatu) tanggal 10 Oktober. Seiring dengan
dibukanya kantor cabang dan afdeeling didirikan pula madrasah-
madrasah Al Washliyah.11
Kemunculan Al Washliyah di beberapa cabang dan afdeling
yang cukup cepat tersebut, dirasakan perlu adanya Pengurus
Besar agar terdapat kejelasan tugas dan wewenang antar cabang
dan afdeeling dan tidak timbul kesan asal jalan, khususnya
cabang Medan.
Sedangkan struktur kepenguruasan cabang Medan
dipercayakan kepada:

Ketua I dan II : A. Wahab, Suhailuddin


Sekretaris I, II : Abdurrahman, M. Husni
Bendahara I, II : Usman Deli, Hasan Basri

10
Muhammad Junus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia
(Jakarta: Bulan Bintang, 1957), h. 171.
11
Sulaiman (ed.), Peringatan ¼ Abad, h. 44.
54 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

Komisaris : Bahari, H. Mahmud,


H. Djanul, Azhari, dan A. Hamid

Rapat besar tersebut, di samping memutuskan pemisahan


Pengurus Besar dan Pengurus Cabang Medan, juga mengadakan
perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/
ART) Al Jam’iyatul Washliyah, khususnya pada bidang usaha.
Bidang usaha yang diputuskan diperluas, yaitu Majlis Tabligh,
Tarbiyah, Penyiaran, Pembacaan, Ifadah wa al-Istifadah serta
Fatwa, Pemeliharaan Anak Miskin dan Yatim, Urusan Anggota
dan Majlis Tolong Menolong. Selain itu, dilakukan pemisahan
fungsi antara Pengurus Besar dan Pengurus Cabang Medan.12
Sampai tahun 1934, permintaan pembukaan cabang pun
tidak pernah surut, terbukti dengan dibukanya cabang Porsea
tanggal 10 Juli, cabang Belawan tanggal 22 Juli, cabang Serbelawan
tanggal 23 September, pada bulan September juga didirikan
cabang di Makkah oleh H. Ismail Banda, dan cabang Labuhan
Deli tanggal 2 Desember.
Pada tahun 1935, pembukaan cabang dan afdeeling terus
gencar dilakukan, pada tanggal 14 Januari didirikan cabang
Labuhan Bilik (Daerah Kerajaan Panai), tanggal 10 Februari
cabang Pagar Gunung Porsea, tanggal 5 Juni afdeeling Glugur,
15 Juli cabang Sipirok Tapanuli, tanggal 1 Oktober di Kampung
Masjid, 5 Oktober ranting Damuli Aek Nopan, tanggal 12 Nopember
diresmikan berdirinya Al Washliyah afdeeling Putri di Pematang
Siantar, 17 November cabang Perdagangan. Kemudian pada

12
Ibid., h. 50-51.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 55

tahun 1936 diresmikan berdirinya ranting Poldung Sipirok


pada tanggal 24 Januari, cabang Kisaran (Asahan) tanggal 8
Pebruari, ranting Arse Jae Lombang cabang Sipirok tanggal
13 Maret, ranting Pagaran Padang cabang Sipirok dan ranting
Baringin cabang Sipirok tanggal 20 Maret, ranting Bahgunung
tanggal 4 April, ranting Honopan cabang Sipirok tanggal 10
April, ranting Teluk Pulai cabang Kampung Masjid tanggal
1 April, cabang Perbaungan tanggal 9 Agustus, cabang Bagan
Siapi-api (daerah kerajaan Siak) tanggal 26 Agustus, ranting
Sei Raja Melawan cabang Labuhan Bilik (Panai) tanggal 27
September.
Tahun 1937 disahkan berdirinya cabang Ujung Padang
tanggal 15 Februari, afdeeling Putri cabang Medan dan Kelumpang
Medan tanggal l Maret, cabang Tanjungtiram Batubara tanggal
7 Maret, cabang Janji Angkola (Batak Landen) tanggal 30 Maret,
ranting Muha Sipining (Kwaluh) tanggal 20 Juni, ranting Kampung
Bahari Medan tanggal 3 Juli, ranting Simangabat Mandailing
(Tapanuli) tanggal 9 Agustus, cabang Kabanjahe tanggal 23
Agustus, ranting Sinaksak Kampung Baringin Siantar (Simalungun)
tanggal 2 September, cabang Lumut (Tapanuli Tengah) tanggal
27 Sepetember, cabang Langsa (Aceh Timur) dan ranting Banko
Bagan Siapi-api 10 Oktober, ranting Bantajan Bagan Siapi-
api tanggal 21 Oktober, ranting Sorkam Kiri (Sibolga) tanggal
6 Desember dan bulan Desember ini juga berdiri ranting Dolok
Malela (Kwalun).
Tahun 1938, tanggal 1 Januari diresmikan cabang Kuala
(Langkat) dan Kuala Bangka (Kwaluh), tanggal 17 Februari
cabang Gapok Lama (Bilah), 3 Maret cabang Idi, 12 Mei cabang
Rampah, 9 Agustus cabang Binjai, 23 Agustus cabang Tarutung
56 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

(Tapanuli Utara). Tahun 1940, tanggal 7 Maret meresmikan


ranting Terjun cabang Medan, tanggal 30 Maret ranting Sibolangit
cabang Pancurbatu, 31 Maret afdeeling kampung Besar cabang
Medan.
Selain membuka cabang dan afdeeling, Al Washliyah juga
gencar mendirikan madrasah-madrasah di Medan pada 28
Februari 1933 seperti di Kota Matsum, Jl. Puri, yang dipimpin
oleh M. Arsyad Thalib Lubis, Sei Kera dipimpin oleh Baharuddin
Ali, Kampung Sekip, Sikambing dipimpin oleh Usman Deli,
Gelugur dipimpin oleh Yusuf Ahmad Lubis, Pulo Brayan Darat
dipimpin oleh Umar Nasution, dan Tanjung Mulia dipimpin
oleh Suhailuddin. Kemudian pada penghujung tahun 1933
dibuka pula Madrasah Al Washliyah Binjai Ampelas yang dipimpin
oleh Syamsul Bahri, dan Madrasah Al Washliyah Jl. Ram-
butan-Petisah dipimpin oleh Mahmud Abu Bakar dan H.Jamil.13
Organisasi ini semakin mendapat kepercayaan masyarakat.
Sampai bulan Mei 1934 telah berdiri pula tiga madrasah Al
Washliyah di Medan. Pada tanggal 31 Januari 1934 diresmikan
Madrasah Al Washliyah di Jl. Raja samping Masjid Raya. Pada
tanggal 27 Februari 1934, pengurus Madrasah Ittihadul Islamiyah
Labuhan Deli menyerahkan madrasah yang mereka kelola
kepada Al Washliyah. Kemudian pada tanggal 2 Mei 1934 diresmikan
pula Madrasah Al Washliyah Sei Mati Medan. Tidak berhenti
sampai di situ, Al Washliyah juga mengepakkan sayapnya ke
seluruh Sumatera Timur, Batak Landen, Tapanuli dan Aceh.14

13
Ibid., h. 41, 44.
14
Ibid.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 57

Untuk meningkatkan mutu pendidikan yang dikelolanya,


maka pengurus Al Washliyah mengadakan studi banding ke
Minangkabau, yang pendidikannya dipandang lebih maju pada
waktu itu. Pada akhir Nopember sampai awal Desember 1934,
Baharuddin Ali, Udin Syamsuddin dan M. Arsyad Thalib Lubis
berangkat ke Minangkabau. Selain untuk melakukan penjajakan
mengenai buku-buku yang akan digunakan di madrasah-madrasah
Al Washliyah, mereka juga mengadakan studi banding ke beberapa
perguruan, di antaranya TawalibSchool, Normaal Islam,
dan Madrasah Diniyah Encik Rahmah.15
Pada tahun 1939, kembali beberapa personil Pengurus
Besar Al Washliyah kembali mengadakan studi banding ke
Minangkabau. Kali ini keberangkatan mereka yang utama
adalah untuk menghadiri Kongres Persatuan Tarbiyah Islamiyah
yang diadakan pada tanggal 28 April-5 Mei 1939. Dalam perjalanan
itu mereka juga menyempatkan diri untuk menjumpai beberapa
ulama dan tokoh pendidikan, yaitu Syaikh Ibrahim Musa Parabek
(Sumatera Thawalib Parabek), A. Gaffar Jambek (Modern Islam
Kweekschool), Encik Rahmah El-Yunusiyah Madrasah Diniyah
Putri Padang Panjang), A. Hamid Hakim gelar Tuanku Mudo
(Thawalib-School), Adam Balai-Balai madrasah Irsyadunnas),
M. Syafei (INS), dan Mahmud Yunus (Islamic College Padang)
banyak buku karyanya digunakan pada madrasah-madrasah
Al Washliyah, Aziz Chan dan Mukhtar Yahya.16
Dari studi banding yang dilakukan, pengurus Al Washliyah

Ibid., h. 56.
15

Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren,


16

Sekolah dan Madrasah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), h. 62.


58 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

melakukan terobosan baru di bidang pendidikan. Terobosan


baru tersebut berupa kurikulum di mana pada lembaga pendidikan
hanya diajarkan ilmu-ilmu agama saja, tetapi pada lembaga
pendidikan umum diberi muatan pelajaran agama. Lembaga
pendidikan tersebut adalah (1) Bagian Agama: Tajhizi lamanya
2 tahun, Ibtida’i lamanya 4 tahun, Tsanawi lamanya 4 tahun,
Qismul ‘Ali lamanya 3 tahun, Mu’allimin lamanya 4 tahun, dan
Muallimat lamanya 4 tahun. Bagian Umum tingkatan Djamiatoel
El-Washliyah Institut (DEWI) lamanya 5 tahun, HIS lamanya
7 tahun, Schakelschool lamanya 4 tahun, Volksschool lamanya
3 tahun, dan Vervelgschool lamanya 4 tahun.17 Produk studi
banding yang dilakukan Al Washliyah akhirnya mengantarkan
organisasi ini sebagai organisasi Islam yang bercorak tradisional
dalam agama, tetapi modern dalam organisasi dan lembaga
pendidikannya.
Amal ittifaq Al Washliyah di bidang dakwah mendapat
perhatian yang serius ditandai dengan, Al Washliyah mengirimkan
dutanya ke Tanah Batak (Porsea) pada tanggal 5 April 1933
untuk mengajari para muallaf di sana. Duta yang pertama
diutus adalah H.A. Kadir, H. Yusuf Ahmad Lubis, dan H. Hasyim
A. Syihab. Tiga bulan kemudian para da’i gelombang kedua
diutus seperti Abdurrahman Syihab, M. Arsyad Thalib Lubis,
dan H.A. Kadir. Selain menyiarkan Islam dengan ritual salat
hari raya Haji kurban serta khutbah dalam bahasa Toba,
mereka mengunjungi pula tempat-tempat dan kampung-
kampung yang ada umat Islamnya. Setelah utusan ini kembali

17
Hasanuddin, Al Jam’iyatul Washliyah, h. 85-89.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 59

dari tanah Batak, mereka melaporkan bahkan tidak cukup


bila Al Washliyah hanya mengutus para da’i ke sana, dirasa
perlu dan segera mengutus guru agama untuk mengajarkan
agama. Menindaklanjuti hal itu, maka pada tanggal 4 Juni
1933 diutuslah H.A. Kadir sebagai guru agama dan ia menetap
beberapa tahun di sana.18
Selain dakwah dan pengajaran tentang agama Islam,
Al Washliyah juga mengadakan Isra’ Mi’raj pada tanggal 3
Nopember 1934 bertempat di Masjid Lama Porsea. Peringatan
Isra’ Mi’raj ini tidak berbentuk ceramah agama, tetapi diskusi/
rapat tentang Mi’raj. Sebagai pembicara ketika itu adalah A.
Mari, Abd. Rahman Onn dan M. Arsyad Thalib Lubis. Suatu
hal yang rnenarik ketika peringatan Isra’ Mi’raj ini diadakan,
bukan saja dihadiri oleh umat Islam, tetapi banyak dikunjungi
oleh masyarakat yang beragama Kristen dan Pelbegu. Hadir
juga dalam rapat tersebut St. Hatimbulan, Humala, dan H.
Abd. Kaidir, serta Guru Kitab Sibarani. Diskusi ini seluruhnya
menggunakan bahasa daerah Toba. Acara ini disambut sangat
meriah di daerah Batak Landen, karenanya terpaksa diadakan
pada beberapa tempat lainnya seperti Lumban Guming.19
Menurut Ansari, Al Washliyah memberikan respon yang
signifikan terhadap kristenisasi sebagai dampak kolonialisme20
dan bagi pemerintah kolonial, Indonesia merupakan “lahan

18
Sulaiman (ed.), Peringatan ¼ Abad, h. 42.
19
Ibid., h. 55.
20
Ansari, “Politik Kolonialisme Terhadap Kristenisasi: Sikap Al
Washliyah dalam Menghadapi Arus Kristenisasi,” dalam Jurnal Penelitian
Medan Agama, Edisi No.1/Thn.1/2002, h. 157-163.
60 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

garapan”, untuk pengembangan agama Kristen, yang harus


disebarkan sebagai agama misi. 21
Selama era pra Indonesia merdeka, Al Washliyah telah
beberapa kali mengadakan Kongres. Kongres pertama (10-
16 Oktober 1936) bertempat di Medan. Dalam Kongres yang
dihadiri lebih dari 250 orang peserta itu berhasil menetapkan
Pengurus Besar periode kedua, yakni Abdurrahman Syihab
(Ketua I), Abdurrahman Ondewijzer (Ketua II), Udin Syamsuddin
(Sekretaris I), M. Arifuddin (Sekretaris II), Dja Alimuddin
(Bendahara), dibantu oleh M. Arsyad Thalib Lubis, dan M.
Sa’ad. Kepengurusan tersebut melengkapi dengan beberapa
majlis. Kongres itu juga memutuskan beberapa aturan dan
rencana kegiatan. Dalam Kongres diresmikan pendirian salah
satu organisasi bagian Al Washliyah khusus wanita dengan
nama, Muslimat Al Washliyah.
Kongres kedua (10-7 Oktober 1938) membicarakan masalah-
masalah organisasi, yakni upaya perbaikan dan kemajuan perguruan-
perguruan Al Washliyah secara umum, hal ini dilakukan karena
banyaknya masukan yang diperoleh dari studi banding yang
dilakukan PB Al Washliyah ke beberapa daerah pada tahun
1934, 1937, dan 1939. Di samping itu, ada usulan pendirian
HIS Met De’ Qur’an dan upaya mempertinggi mutu Al Jam’iatul
Washliyah Instituut (Godsdienst Normaal dan Kweekschool)

21
T.W. Arnold, The Preaching of Islam: a History of the Propogation
of the Muslim Faith (London: Constable & Company, 1913), h.1,
sebagaimana dikutip oleh Ansari, “Politik Kolonialisme terhadap Kristenisasi:
Sikap Al Washliyah dalam Menghadapi Arus Kristenisasi,” dalam Jurnal
Penelitian Medan Agama, Edisi No.1/Thn.1/2002, h. 164.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 61

di Pematangsiantar dan ditempatkan pada lokasi yang lebih


baik. Usul yang terakhir ini namanya diubah menjadi Madrasat
al-Muallimin (putera) dan Madrasat al-Muallimat (putri) yang
berkedudukan di Medan.22
Kongres ketiga yang seharusnya diselenggarakan pada
bulan Oktober 1940 mengalami penundaan, karena bersamaan
dengan pelaksanaan imtihan (ujian) Tsanawi pertama. Karenanya,
Kongres baru bisa dilaksanakan pada 9-15 Januari 1941. Kongres
yang diadakan di Medan tersebut memutuskan beberapa
hal, di antaranya menanggapi usulan agar Al Washliyah menjadi
anggota MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia). Kongres memutuskan
bahwa “Menyokong MIAI di mana masa yang perlu tetapi tidak
sebagai anggota.”23 Salah satu keputusan Kongres ini adalah
mendirikan berdirinya organisasi bagian Al Washliyah, yaitu
Pemuda Al Washliyah, yang kemudian berubah namanya menjadi
Gerakan Pemuda Al Washliyah (GPA).24

Fase 1942-1947
Konges Al Washliyah yang keempat (15-7 Juli 1944)
dilaksanakan di Binjai, Langkat, juga mengalami penundaan
setahun lebih, karena situasi politik Indonesia yang tidak
menguntungkan di bawah pemerintahan Jepang. Kongres

22
Ibid., h. 92.
23
Ibid., h. 131.
24
Ismed Batubara, “Gerakan Pemuda Al Washliyah dalam Bingkai
Historis (1941-2008),” dalam Ismed Batubara dan Ja’far (ed.), Bunga
Rampai Al Jam’iyatul Washliyah (Banda Aceh: Al Washliyah University
Press, 2010), h. 104.
62 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

yang sudah siap dimulai itu pun hampir gagal, karena utusan
pemerintah Jepang pada tiga jam sebelum pembukaan datang
untuk menggagalkan Kongres, yang sebenarnya telah memperoleh
izin dari pemerintah Jepang beberapa minggu sebelumnya.
Namun setelah ada penjelasan dan jaminan dari PB Al Washliyah,
Abdurrahman Syihab, untuk tidak membicarakan politik
dan tata pemerintahan, maka menjelang Maghrib, barulah
Kongres diizinkan untuk dibuka. Ketika itu, keputusan-keputusan
Kongres pun sebagian besar mengarah kepada konsolidasi
internal organisasi.25
Setelah Indonesia diproklamirkan oleh Bung Karno dan
Hatta sebagai negara merdeka tahun 1945, Al Washliyah terlambat
mendapat informasi yang fundamental ini. Keterlambatan
itu disebabkan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia yang
masih sangat memprihatinkan, di samping keberadaan Jepang
yang menghalangi penyebarluasan berita tersebut. Setelah
mengetahui bahwa Indonesia telah merdeka, upaya penyebar
luasan pun terus dilakukan, khususnya oleh T.M. Hasan,26
dengan melakukan kontak ke berbagai wilayah di Sumatera,
seperti Palembang, Jambi, Bukit Tinggi, Tarutung, Pematang
Siantar dan Medan. Berita yang menggembirakan tersebut
tersebar luas secara resmi di kota Medan pada tanggal 30
September 1945, pada saat peresmian Barisan Pemuda Indo-
nesia (BPI) yang bertempat di sekolah Taman Siswa jalan Ampelas
Medan. Ketika itu, T.M. Hasan menyampaikan berita yang

Ibid., h. 123.
25

Amran Zamzani, Jihad Akbar di Medan Area (Jakarta: Bulan


26

Bintang, 1990), h. 3.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 63

sebenarnya telah didengar melalui berita mulut ke mulut.


Selanjutnya peringatan kemerdekaan Indonesia pun diperingati
pada tanggal 6 Oktober yang bertempat di Lapangan Fukuraido
(sejak saat itu dinamakan Lapangan Merdeka).27
Pasca proklamasi ini Al Washliyah melakukan kegiatan
non militer dan militer. Kegiatan non militer berupa fatwa
“kita ummat Islam berkewajiban untuk membela tanah air,
fardhu ‘ain hukumnya mempertahankan kemerdekaan”. Sementara
kegiatan militer, membuktikan fatwa dan perkataannya
dengan menceburkan diri dalam pertarungan fisik di medan
perang, melibatkan diri dengan aktivitas-aktivitas militer.28
Bahkan di luar negeri, aktivis Al Washliyah, Ismail Banda
(Ketua Perpindom [Persatuan Pemuda Indonesia Malaya])
di Mesir dan Ja’far Zainuddin di Irak bergerak di “bawah tanah”
menolak kerjasama dengan Belanda dan menolak mereka
hendak kembali ke Indonesia.29
Tujuan perjuangan di “bawah tanah” ini adalah:30
a. Menggagalkan usaha Belanda mengumpulkan warga
Indonesia di luar negeri guna sama-sama membebaskan
Indonesia dari pendudukan Jepang, atas dasar pidato janji
Ratu Wilhelmina tahun 1942;

27
H.R. Syahnan, dari Medan Area ke Pedalaman dan Kembali
ke Kota Medan (Medan: Dinas Sejarah Kodam 11/BB, 1982), h. 9-11.
28
Syamsuddin Ali Nasution, “Al-Jamiyah Al Washliyah dan Peranannya
dalam Dakwah Islamiyah di Indonesia” (Disertasi: Universiti Ma-
laya, 2000), h. 190-196.
29
M. Zein Hasan, Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri
(Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 32.
30
Ibid., h. 34.
64 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

b. Mengertikan dunia Arab dan dunia internasional umumnya


bahwa perjuangan bangsa Indonesia sejak puluhan tahun
itu adalah buat membebaskan bumi Indonesia dari penjajahan
Belanda.

Perlawanan bawah tanah ini memberikan hasil-hasil


yang positif, antara lain:31
a. Usaha Belanda untuk mengumpulkan warga Indonesia
di luar negeri boleh dikatakan gagal total. Mereka yang
telah tertipu pun kembali memihak kepada bangsanya
sesudah proklamasi, sebagai yang kami anjurkan.
b. Rakyat Arab di Timur Tengah telah dapat diberi pengertian
akan aspirasi-aspirasi nasional Indonesia, yang tidak dapat
didamaikan oleh janji oleh Ratu Wilhelmina tahun 1942.

Beberapa waktu setelah Soekarno-Hatta memproklamirkan


kemerdekaan Indonesia, beberapa intelektual dan bekas
pegawai Belanda di Medan mendirikan pemerintahan RI.
T.M. Hasan, seorang sarjana Hukum dan bangsawan Aceh,
dan Dr. Amir, seorang psikiater dari suku Minangkabau,
menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera berdasarkan
surat mandat dari Jakarta. Pada waktu itu, tentara Inggris
baru saja melucuti persenjataan tentara Jepang dan membebaskan
tawanan perang Sekutu. Kebanyakan bekas pegawai Belanda
mengambil prakarsa mereorganisasi kantornya. Luat Siregar,
seorang Mandailing/Sipirok, yang bekerja di kantor Walikota

31
Ibid., h. 47-48.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 65

dan menyatakan diri sebagai Walikota, mengambil alih jabatan


Walikota pertama RI di Medan.
Pada periode ini, Ketua Al Washliyah, H. Abdurrahman
Syihab, ditunjuk sebagai Kepala Urusan Agama Sumatera
Utara, dan H.M. Arsyad Thalib Lubis dijadikan Ketua Dewan
Syariah Islam di Kantor Urusan Agama Sumatera Utara. Kelompok
kedua yang dengan cepat menduduki posisi strategis adalah
kelompok kiri, yang dipimpin oleh Karim M.S. Berbeda dengan
kelompok-kelompok lain, kaum kiri berusaha mempengaruhi
situasi politis. Kebanyakan orang Minangkabau tidak turut
berusaha melebur kedudukan di kantor-kantor republik, karena
sebelumnya mereka memang tidak pernah berminat dalam
dinas kepegawaian. Kebanyakan pemimpin Minangkabau
adalah ulama, ahli pidato dan pemimpin politik selama periode
kolonial. Karena itu, mereka tidak berminat bekerja dalam
pemerintahan, kecuali beberapa yang berpendidikan seperti
Dr. Amir.
Sementara itu, penduduk Medan mendengar bahwa
tentara Belanda akan segera datang untuk menegakkan kembali
penjajahan Belanda. Dapat dipahami apabila setiap organisasi
sosial mendirikan barisan pertahanannya sendiri. PNI dan
PKI bersama-sama mendirikan Posindo dan Napindo. Beberapa
kelompok Islam termasuk Al Washliyah dan Muhammadiyah,
bersatu dan mendirikan laskar pertahanan32 yaitu Hizbullah,

Lasykar pertahanan ini dinamakan Lasykar Al Washliyah didirikan


32

1947 pasca Persetujuan Linggar Jati yang merugikan Indonesia. Adapun


susunan lasykar adalah Udin Syamsuddin (Ketua), M. Arsyad Thalib
Lubis (Wakil Ketua), Abdul Wahab (Ketua Biro Pertahanan), Zainal Abidin
Rangkuti (Ketua Biro Perlengkapan), Ja’far Janudy (Ketua Biro Kelasykaran),
66 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

pada bulan Maret 1946. Kebanyakan angota pemuda Muham-


madiyah dan Al Washliyah bergabung dalam Hizbullah yang
dipimpin oleh Bachtiar Joenoes dan Mawardi Noor. Mereka
memperoleh persenjataan dari tentara Jepang dan membeli
tambahan dari pedagang-pedagang Cina di Singapura. Kemudian,
dalam 1847, mereka bertempur melawan tentara Jepang
di kota Medan bersama dengan Tentara Reguler Indonesia (TRI).
Setelah itu, mereka mundur ke pedalaman untuk melakukan
perang gerilya.33
Selama periode ini, Muhammadiyah dan Al Washliyah
berafiliasi kepada partai yang sama yaitu Masyumi (Majelis
Syuro Muslimin Indonesia), yang telah diumumkan sebagai
satu-satunya partai politik untuk semua umat Islam dalam
Kongres umat Islam tahun 1947. Muhammadiyah dan Al Washliyah,
selain PSII dan NU, menjadi anggota istimewa partai ini.34
Situasi ini menjadi sumber perselisihan dalam partai
politik tersebut. Pada tahun 1948, secara nasional PSII menarik
diri dari Masyumi.35 Namun selama mempertahankan revolusi
(1945-1950), Muhammadiyah dan Al Washliyah bekerjasama
erat dalam Masyumi dan dalam barisan kelaskaran Hizbullah
untuk membela kemerdekaan. Kedua organisasi ini menyadari
bahwa mereka memiliki kewajiban yang sama untuk mem-
bebaskan negeri mereka dari Belanda. Mereka memiliki nasib
yang sama dan musuh yang sama, yaitu Belanda, yang ingin

Anas Tanjung (Ketua Biro) ditambah pembantu-pembantu. Lihat Sulaiman


(ed.), Peringatan ¼ Abad, h. 138.
33
Pelly, Urbanisasi dan Adaptasi, h. 197-199.
34
Ibid., h. 199.
35
Ibid.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 67

menegakkan kembali pemerintahan mereka didukung antara


lain oleh Kesultanan Melayu.
Di Aceh terjadi Perang Cumbok (dikenal juga sebagai
Peristiwa Cumbok atau Revolusi Sosial) adalah serangkaian
pertempuran yang terjadi di Kabupaten Pidie, Aceh mulai
2 Desember 1945 hingga 16 Januari 1946. Perang ini pecah
antara kalangan ulama (teungku) para pendukung proklamasi
kemerdekaan Indonesia yang tergabung dalam Persatuan
Ulama Seluruh Aceh melawan kubu Uleebalang (Teuku) yang
lebih memilih kekuasaan Belanda, sehingga menyebabkan
revolusi di tatanan sosial masyarakat Aceh pada saat itu.
Berita mengenai “Perang Cumbok” Aceh tersebar ke
Medan dan seluruh Sumatera Timur. Mungkin berita inilah
yang menyebarkan desas-desus bahwa sebagian dari Sultan
Melayu telah menyatakan berdiri di belakang republik. Pada
tanggal 2 Januari 1946, sejumlah Kesultanan Melayu mengeluar-
kan pernyataan bahwa mereka tidak anti republik, mungkin
dengan harapan supaya mereka tidak mengalami bencana
seperti revolusi Aceh. Pernyataan ini disampaikan dalam sebuah
pertemuan dengan Wakil Gubernur, Dr. Amir, dan beberapa
Kesultanan Melayu. Satu-satunya Sultan yang menghadiri
acara tersebut adalah Sultan Langkat, sementara Sultan-
Sultan lain hanya mengirimkan utusan-utusan mereka.36
Pertemuan dan pernyataan tersebut menimbulkan beberapa
reaksi dari rakyat. Kebanyakan orang telah dirangsang oleh
harapan kemerdekaan dan revolusi, terutama sayap kiri,

36
Ibid., h. 200.
68 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

dan menganggap pernyataan itu hanya muslihat belaka.


Banyak juga anggota Muhammadiyah dan Al Washliyah yang
meyakini bahwa pernyataan itu dikeluarkan oleh Kesultanan-
Kesultanan Melayu karena bencana yang menimpa para bangsawan
Aceh. Keyakinan ini diperkuat oleh sikap Kesultanan Melayu
sebelumnya terhadap republik.
Beberapa bulan sebelumnya, Sultan Deli yang baru (Sultan
Osman Sani) telah dinobatkan untuk menggantikan ayahnya
yang meninggal beberapa hari setelah Sekutu mendarat. Dalam
acara tersebut, pihak istana mengundang seorang pejabat
tinggi Belanda untuk menghadiri seremoni penobatan dan
pemakaman. Peristiwa ini ditafsirkan oleh rakyat bahwa kesultanan
Melayu masih mengakui Belanda sebagai penguasa de jure
atas Indonesia.
Ambivalensi sikap kesultanan Melayu terhadap republik
dimanfaatkan, terutama oleh PKI, untuk meyakinkan rakyat
bahwa setiap keterikatan terhadap Kesultanan Melayu harus
dianggap pengkhianatan terhadap Revolusi Indonesia. Mereka
kemudian menghimbau massa rakyat untuk tidak mempercayai
“bekas” Sultan-Sultan Melayu. Inilah permulaan Revolusi
sosial di Sumatera Timur.37
Secara historis, revolusi sosial di Sumatera Timur dipandang
sebagai suatu “peristiwa misterius”. Pertama, peristiwa itu
terjadi selama masa transisi kekuasaan dari Jepang kepada
Sekutu di Sumatera Timur. Pengalihan kekuasaan ini terhambat
akibat proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan

37
Ibid., h. 200.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 69

Hatta di Jakarta. Pihak Indonesia kemudian berusaha menekan


tentara Jepang untuk mengakui republik. Di tengah usaha
menegakkan pemerintahan republik, dalam bulan April 1946,
meledaklah revolusi sosial. Kedua, revolusi sosial terjadi dalam
waktu yang sangat singkat (kurang dari sebulan) dalam bulan
April 1946. Sampai saat ini, bahkan fakta-faktanya belum
sepenuhnya bisa dilacak, dan ini nampaknya membuat peristiwa
itu menjadi “sebuah bab yang panjang tanpa penutup.”38
Begitupun, tidak sedikit pandangan yang menganggap
bahwa revolusi sosial merupakan sebuah ekspresi identitas
etnis, suatu ekspresi yang sangat keras dari para perantau
terhadap populasi tuan rumah (Melayu) di Sumatera Timur.
Ekspresi tersebut distimulasi oleh kolonial Belanda dengan
menciptakan potensi permusuhan dan memecah belah kelompok-
kelompok sosial sebagai implementasi kebijakan devide et impera.
Peristiwa ini kemudian diperkuat oleh kepentingan politik
mereka yang berdiri di belakang kekerasan dalam revolusi
sosial itu, atau yang ingin memanfaatkan peristiwa ini, apakah
mereka itu kaum kiri (komunis), nasionalis, atau Islam.
Menarik uraian Wara Sinuhaji yang mengutip pendapat
Anthony Reid bahwa:
Datangnya sekutu menambah panas suasana dan suhu
politik di Sumatera Timur, hal ini karena keberpihakan
sebagai aristokrat Melayu kepada sekutu. Mereka memandang
jatuhnya Jepang merupakan celah untuk kembali menjalankan
pemerintah feodal serta hak milik dan penghasilan perkebunan
yang mereka terima sebelum perang. Hal ini membuat

38
Ibid.
70 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

aristokrat Melayu semakin menjauhkan diri dari Republik.


Di pihak lain, dalam kubu pendukung republik terjadi
perpecahan. Pihak moderat lebih mengutamakan pendekatan
kooperatif untuk membujuk aristokrat Melayu. Sedangkan
pihak radikal lebih mengutamakan jalan kekerasan untuk
menyelesaikan persoalan tersebut. Pihak radikal lebih banyak
didukung oleh besar golongan pemuda. Adapun para kuli
telah menyelesaikan kontraknya telah menjadi masyarakat
Sumatera Timur. Peranan mereka dapat dibilang cukup besar.
Kebencian mereka terhadap kaum bangsawan yang ber-
kolaborasi dengan para pengusaha perkebunan pada masa
Belanda adalah benih balas dendam mereka kepada Sultan.
Kompleksitas kepentingan dan pandangan terjadi di Sumatera
Timur yaitu kepentingan Republik (golongan radikal), pandangan
Melayu dan keberpihakan mereka terhadap sekutu serta
benih dendam yang ada pada kuli perkebunan merupakan
alasan kuat terjadinya gerakan sosial di Sumatera Timur.39

Pada waktu terjadi peristiwa tersebut, Gubernur Sumatera,


T. M. Hasan (yang kantornya berada di Medan) sedang berada
di luar kota memeriksa keadaan di Sumatera Barat. Wakil
Gubemur, Dr. Amir, mengambil alih tugas-tugas Gubernur.
Di bawah tekanan kelompok kiri, Dr. Amir mengumumkan
suatu “revolusi sosial”.
Pada waktu pagi tanggal 5 Maret, Wakil Gubernur Dr.
Amir mengeluarkan proklamasi yang menyatakan terjadinya
“revolusi sosial”. Dia adalah orang yang pertama menggunakan
istilah tersebut tanpa tanda kutip. Jelas dia menganggap

39
Wara Sinuhaji, “Patologi Sebuah Revolusi: Catatan Anthony Reid
tentang Revolusi Sosial di Sumatera Timur, Maret 1946,” dalam Historisme,
Edisi No.23/Tahun XI/Januari 2007, h. 58.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 71

“pengangguran” kaum bangsawan sebagai suatu revolusi


sosial”... Apakah yang terdengar beritanya kepada khalayak
adalah pembantaian dan perampasan harta milik, tetapi
penghapusan wilayah-wilayah otonomi waktu itu bukanlah
tujuan gerakan tersebut.40

Dalam peristiwa revolusi sosial itu, sebagian besar anggota


keluarga sultan-sultan Melayu dibunuh, istana Sultan Langkat
dan Asahan dirampok dan dibakar. Beberapa sultan dan keluarga
mereka diculik dan ditangkap kemudian dibawa ke “penjara
rakyat” di bawah kepemimpinan Joenoes Nasution, Luat Siregar,
dan A.E. Sargih Ras. Sebagian besar penduduk Sumatera
Timur hanya menjadi penonton, tidak tahu harus berbuat
apa. Situasi di dalam kota menjadi kacau, karena di tengah-
tengah situasi tersebut, Wakil Gubernur Dr. Amir, melarikan
diri kamp militer Sekutu dan mengungsi ke negeri Belanda
dengan isterinya yang berdarah Belanda beserta anak-anaknya.
Belakangan dia kembali ke Sulawesi Selatan di mana dia meninggal
dalam tahun 1949. Pihak militer, di bawah komando Kolonel
M. Thaher keturunan Jawa-Melayu, mengambil alih kekuasaan
dan menyatakan hukum militer di Sumatera Timur sampai
Gubernur Hasan kembali dari Sumatera Barat. Revolusi sosial
berlangsung lebih dari sebulan (April 1946). Sasaran satu-
satunya adalah Kesultanan Melayu, istana-istana mereka,
keluarga mereka dan harta mereka.
Tengku Lukman Sinar, seperti dikutip Erwan Effendi

40
Sulaiman (ed.), Peringatan ¼ Abad, h. 201; T. Lukman Sinar,
“Peristiwa-peristiwa di Awal Proklamasi Kemerdekaan yang Terjadi di
Medan,” dalam Analisa, 15 Agustus 2006.
72 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

menganalisis bahwa peristiwa “revolusi sosial” sudah lama


direncanakan Belanda, yakni sejak 1906, di mana wilayah-wilayah
kekuasaan otorisasi kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur
berhasil dikerdilkan, bahkan ada yang dihapus, seperti kerajaan
Riau (1911). Pada tahun 1926, Belanda sudah mengangkat
panitia untuk gagasan “pemberangusan raja-raja di Sumatera
Timur, yaitu Extrateritorialiteitcommisie”, yang bertujuan
bahwa wilayah pemerintahan sendiri (kerajaan-kerajaan)
yang otonomi itu harus dilenyapkan secara perlahan-lahan
dan tatkala raja-raja sudah tidak ada lagi, maka demokrasi
lokal akan berkembang dan kerajaan bumi putra itu, dan untuk
itu, Belanda telah memakai agennya, yang bernama Dr.
Amir, Wakil Gubernur kala itu, seorang lulusan Belanda.41
Menyikapi peristiwa ini Al Washliyah bersikap kukuh
dengan pendirian politik Abdurrahman Syihab sebagai Ketua
Umum PB Al Washliyah dalam peristiwa Revolusi Sosial di
Sumatera Timur ini (1946-1947), dengan tidak mau melibatkan
Al Washliyah untuk membela sikap ambivalensi Kesultanan
Melayu Sumatera Timur dalam perjuangan menegakkan
kedaulatan Republik Indonesia.42 Analisis penulis, Al Washliyah
membuktikan dirinya sebagai Republiken Sejati.43 Tetapi analisis

41
Erwan Efendi, “69 Tahun Revolusi Sosial Revolusi Sosial di Simalungun,”
dalam Waspada, 2 April 2014, h. B8.
42
Usman Pelly, “Pasang Surut Tokoh-tokoh Al Washliyah,” dalam
Waspada, 27 Desember 2010.
43
Ismed Batubara, “Al Washliyah: Republiken Sejati (Sepercik
Catatan tentang Nasionalisme),” makalah disampaikan dalam seminar
sehari menyongsong HUT Al Washliyah ke-81 tanggal 21 November
2011 di Aula UNIVA Medan.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 73

Usman Pelly, peristiwa inilah yang membuat renggang Kesultanan


Melayu dengan Al Washliyah.44
Sebagai generasi penerus Al Washliyah, dapatlah dipetik
hikmah dari peristiwa di atas dan sangat pantas hubungan
historis antara Kesultanan Deli dan Al Washliyah dirajut kembali,
seperti tagline Al Washliyah, merajut ukhuwah mempererat
silaturrahmi. Di sekitar komplek pemakaman Masjid Raya
al-Mashun, paling tidak ada tokoh Al Washliyah yang dimakamkan.

Fase 1947-1955
Fase ini adalah fase revolusi fisik di mana pada tanggal
21 Mei, 1947, sebulan sebelum tentara Belanda melancarkan
kampanye pertama untuk menguasai seluruh kota-kota besar
di Sumatera Timur, para ulama Al Washliyah dan Muhammadiyah,
bersama dengan faksi-faksi Islam lainnya, menyelenggarakan
Konferensi Ulama di Tebing Tinggi. Konferensi ini berfokus
pada posisi Sultan-Sultan Melayu sebagai Ulil Amri (pelindung
umat Islam) di Sumatera Timur dan juga kemungkinan kesultanan-
kesultan Melayu akan mendirikan negara terpisah dengan
perlindungan Belanda.
Konferensi memutuskan untuk mengeluarkan pengumuman
dan fatwa (menurut hukum Islam) kepada semua orang di
Sumatera Timur. Sebagai ulama, mereka mengaku bahwa
Republik Indonesia adalah satu-satunya pemerintah yang disahkan
oleh rakyat. Karena itu, Kesultanan Melayu telah makzul (tamat).
Dengan perkataan lain, para ulama tidak lagi mengakui sultan-

44
Pelly, Urbanisasi dan Adaptasi, h. 202.
74 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

sultan tersebut sebagai “pelindung umat Islam.” Sebagai akibat


dari keputusan ini, semua qâdhi, imam, dan pejabat-pejabat
Islam lainnya yang ditunjuk oleh Sultan dianggap tidak sah
oleh umat Islam Republikan. Perkawinan-perkawinan yang
disahkan oleh qâdhi juga dianggap tidak sah, dan dinyatakan
haram hukumnya ikut sembahyang Jumat yang diimami
oleh Imam Sultan. Begitu juga qâdhi tidak lagi bisa menjadi
hakim dan jaksa. Sultan-sultan Melayu dan pejabat-pejabatnya,
menurut hukum Islam dianggap keluar dari komunitas Islam;
karena itu adalah sah membunuh mereka jika perlu.45 Konferensi
ini sebagian besar dihadiri ulama-ulama Al Washliyah dan
Mandailing (bekas qâdhi, imam, atau pejabat Islam para Sultan)
yang kemudian telah menduduki berbagai jabatan dalam
Kantor Urusan Agama Republik.
Kerjasama antara kelompok etnik Mandailing dan Minang-
kabau bertambah kuat setelah tentara Belanda mendarat di
Medan dan mendirikan pemerintahan mereka dalam tahun
1947. Kesultanan-kesultanan Melayu kemudian bekerjasama
dengan Belanda untuk membentuk Negara Sumatera Timur
(NST) dalam tahun 1948. Ketika semua kota diduduki oleh
tentara Belanda, pejabat-pejabat republik terpaksa mengungsi
keluar kota Medan dan ke Tapanuli. Para pemimpin Al Washliyah
dan Muhammadiyah yang masih tinggal di kota-kota kemudian
ditangkap, termasuk H. M. Arsyad Thalib Lubis, Wakil Ketua
Umum PB Al Washliyah dan H. Bustami Ibrahim, Konsul Muham-
madiyah. H. M. Arsyad Thalib Lubis ditangkap ketika dia baru
pulang kembali ke Medan dari Rantau Perapat untuk membawa

45
Sulaiman (ed.), Peringatan ¼ Abad Al Washlijah, h. 176.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 75

isterinya berobat ke dokter. Isterinya meninggal, sementara


dia masih di penjara.46
Sebenarnya, bagi Al Washliyah, bahwa berita Proklamasi
Kemerdekaan itu disambut dengan keyakinan yang penuh
perasaan syukur dan rasa tanggung jawab. Hal ini dibuktikan
dengan pengiriman kawat tertanggal 9 Oktober 1945 kepada
Presiden RI di Jakarta dan Gubernur Sumatera di Medan yang
berbunyi, “al-Djam’ijatoel Al Washlijah turut mempertahankan
Republik Indonesia.” Sebagai konsekuensinya, pada tanggal
29 Oktober 1945, Al Washliyah mengadakan Konferensi Guru,
Pimpinan dan Alim Ulama untuk membicarakan tindakan
dan pertanggungjawaban kawat yang dikirim. Upaya yang
dilakukan di antaranya, bulan Nopember 1945 menerbitkan
kembali majalah Medan Islam yang pada bulan Nopember
1941 terhenti penerbitannya. Medan Islam dengan nomor
istimewa tersebut memuat tuntunan perang sabil menurut
Islam dan memuat perjalanan doa qunut dalam salat untuk
mendoakan kemenangan kaum Muslim dan kehancuran
musuh. Sementara pimpinan muda Al Washliyah, juga menerbitkan
majalah Pedoman Pemuda, yang bertujuan khusus untuk meng-
gerakkan semangat perang sabil dan mati syahid mempertahankan
kemerdekaan lndonesia.47 Sedangkan kaum putri Al Washliyah
turut juga aktif dalam hal-hal yang sesuai dan dapat dilaksana-
kannya. Di samping terus mengerakkan dan menghidupkan
cabang dan ranting-ranting ditambah lagi dengan tugas yang
lain seperti menjadi paling merah, dapur umum, bahkan ada

46
Ibid.
47
Ibid., h. 126.
76 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

juga yang turut ke front pertempuran untuk merawat dan


bekerja di dapur umum guna menyediakan makanan bagi
laskar yang sedang bertempur.48
Tanggal 13-15 Juni 1947, dilaksanakan Kongres Al Washliyah
yang keenam dan bertempat di Tebing Tinggi. Dalam Kongres
keenam ini pun masih dibicarakan tentang penilaian terhadap
pelaksanaan pertahanan kemerdekaan yang telah dilakukan,
di samping keputusan-keputusan lain. Dalam bidang pertahanan
dan kemerdekaan yang telah dilakukan untuk membentuk
laskar tersendiri, karena dinilai kurang menguntungkan bagi
perjuangan Al Washliyah sendiri. Adapun Badan Pertahanan
Al Washliyah Markas Besar Tebing Tinggi,49 dengan Ketua Udin
Syamsuddin, Wakil Ketua H.M. Arsyad Thalib Lubis, Ketua
Pertahanan Abdul Wahab, Ketua Perlengkapan Zainal Abidin
Rangkuti dibantu oleh Nukman Sulaiman dan Anas Tanjung.
Persenjataan diketuai oleh Zainal Abidin Rangkuti dan dibantu
oleh H. Abdullah dan Chalid Mhd.50 Salah satu keputusan
Kongres ini mendirikan organisasi Angkatan Putri Al Washliyah
(APA). Satu bulan setelah pelaksanaan Kongres keenam, pemerintah
Belanda melancarkan serangan udara, laut dan darat yang

48
Ibid., h. 239.
49
Berpusat di Madrasah Washlijah yang baru dibangun di Tebing
Tinggi (di samping rumah Residen Wadena sekarang). Tempat mengadakan
latihan ialah di Gunung Ketaran, suatu tempat seluas 14 ha., kilo-
meter 11 dari Tebing Tinggi menuju Siantar. Tempat tersebut merupakan
tanah yang telah diberikan pemerintah kepada Al Washliyah untuk
pembangunan panti anak yatim piatu pindahan dari Medan. Jawatan
Kereta Api pun telah meresmikan sebuah halte yang disebut “halte
Washliyah.” Ibid.
50
Ibid.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 77

dahsyat menembus pertahanan di semua front perjuangan,


akibatnva laskar-laskar perjuangan bangsa kita mengalami
kekalahan, namun terus dilanjutkan dengan bergerilya. Peristiwa
inilah dikenal dengan Clash Pertama.
Perkembangan kepengurusan Al Washliyah pada masa
ini menyebabkan munculnya istilah daerah pendudukan dan
daerah pedalaman,51 karena sebagian besar jabatan Pengurus
Besar juga merupakan ketua-ketua badan pertahanan Al Washliyah
yang berjuang di Medan pertempuran. Dalam kondisi seperti
ini, para pimpinan Al Washliyah memang perlu segera dibentuk
kepengurusan di daerah pedalaman. Pada saat terjadi Clash
Kedua tanggal 19 Desember 1948, Al Washliyah mengalami
pukulan yang sangat berat. Gerak dan langkah pengurus Al
Washliyah selalu dimata-matai Belanda, bahkan beberapa
Pengurus Besar ditangkap oleh Belanda, seperti M. Arsyad
Thalib Lubis.
Sisi lain yang cukup menarik dari masa vakum ini adalah
mulai aktifnya sejumlah pengurus Al Washliyah dalam bidang
politik, yakni melalui Masyumi. Ketika yang menjabat sebagai
pengurus teras Al Washliyah dan merangkap sebagai Komisaris
Masyumi untuk wilayah Sumatera Utara dan Aceh adalah
Abdurrahman Syihab.52 Aktivitas ini terus digeluti oleh tokoh-
tokoh lain di kalangan Al Washliyah pada masa selanjutnya,

51
Yang dimaksud dengan daerah pendudukan adalah daerah
yang diduduki Belanda, yang umumnya berada di kota-kota, khususnya
di kota Medan. Sedangkan daerah pedalaman adalah tempat di mana
pengurus Al Washliyah ada di daerah perjuangan atau pengungsian,
yakni di Rantau Prapat dan Tapanuli Selatan.
52
Ibid.
78 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

yang berhasil mengantar mereka menjadi wakil rakyat di Dewan


Perwakilan Rakyat, baik di tingkat II maupun tingkat I dan di
Pusat, misalnya Abdurrahman Syihab terpilih menjadi salah
satu anggota DPRD Tk. I Sumatera Utara yang pertama.
Adapun Ketua DPRD Tk. I Sumatera Utara pada saat itu
adalah SM. Amin Nasution yang sesuai dengan UU No. 10
tahun 1948 bahwa Ketua DPRD adalah Gubernur tanpa
mempunyai hak suara. Ketika melantik DPRD Sumatera
Utara ini, Mr. S.M. Amin antara lain mengatakan ”menjadi
anggota Dewan bukan untuk kepentingan segolongan, tetapi
untuk kepentingan rakyat Sumatera Utara.53
Kongres ketujuh (11-14 April 1950) berlangsung di Medan
dengan dihadiri oleh wakil dari 195 cabang dan ranting serta
235 perguruan dari seluruh daerah Aceh, Sumatera Timur,
dan Tapanuli. Kongres ini dikenal dengan “Resolusi Negara
Sumatera Timur”. Pada saat itu perkembangan politik dalam
negeri belum stabil, namun setelah Konfrensi Meja Bundar
(KMB) dan penyerahan Kedaulatan RI tanggal 27 Desember
1949, beberapa tahanan politik Belanda mulai dilepaskan
termasuk tokoh Al Washliyah, M. Arsyad Thalib Lubis. Kongres
ketujuh ini sekaligus memperingati wafatnya almarhum Syaikh
Ismail Abd. Wahab, dalam agresi Belanda pertama, yang telah
ditangkap dan ditahan di Tanjung Balai, diakhiri dengan hukuman
tembak sampai mati tanpa diadili. Dalam Kongres yang meng-
ambil tempat di Madrasah Al Washliyah di jalan Mabar Medan
ini, masih dibicarakan kondisi pemerintahan, di antaranya

Lihat http://nbasis.wordpress.com/2012/11/27/perintis-pemerintahan-
53

provinsi-sumatera-utara/diunduh terakhir tanggal 18 Februari 2013.


Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 79

ketidaksetujuan masih berlakunya wilayah pembagian Belanda


yakni “Negara Sumatera Timur” (NST). Dalam Kongres ini
telah diambil keputusan sebagai berikut:

Memutuskan:
1. Kongres Al Washliyah ke VII menuntut supaya NST dibubarkan
dan seluruh Sumatera Timur dikembalikan kepada Republik
Indonesia.
2. Seluruh kaum Muslimin dan Muslimat tidak boleh turut
menghalang-halangi pengembalian Sumatera Timur kepada
RI, karena yang demikian berarti turut menghalang-halangi
berdirinya kebenaran dan keadilan menurut hukum Islam.
3. Sampai hari ini hak-hak keagamaan yang telah dikuasai
kepada Jawatan Agama RI masih tetap berlaku di seluruh
Sumatera Timur.

Tuntutan:
Menurut Pasal 18 dari Undang-Undang Dasar Sementara
RIS bahwa setiap orang merdeka dan bebas menganut, meng-
amalkan, mentaati dan mengajarkan peraturan-peraturan
agama menurut paham yang diyakininya. Sebab itu pemerintah
NST tidak berhak memaksa orang mematuhi peraturan-peraturan
Jabatan Agama yang bertentangan dengan keyakinan orang
lain.54
Di samping itu, Kongres juga berhasil memutuskan kepengu-
rusan baru walaupun komposisi personalianya tidak terlalu

54
Sulaiman (ed.), Peringatan ¼ Abad Al Washlijah, h. 165.
80 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

mengalami perubahan, yakni diketuai oleh Abdurrahman


Syihab dan Sekretaris Udin Syamsuddin, serta terbentuk susunan
pengurus bagian yang lain.55
Kongres kedelapan 19-22 April 1952 diselenggarakan
di Porsea dan membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan
organisasi, pelaksanaan syariah, dan pemilihan umum, di
samping pemilihan pengurus Besar. Dalam Kongres kali ini
muncul gagasan untuk mengajukan Undang-undang Perkawinan
secara Islam, yang perumusannya sedang diusahakan oleh
panitia yang diketuai oleh Mr. T. M. Hasan untuk dimajukan
ke Parlemen RI. Sebelum itu, naskah Undang-Undang Perkawinan
tersebut terlebih dulu disosialisasikan kepada umat Islam
dan ulama-ulama Islam untuk dimintakan pertimbangannya.
Dalam hal pemilihan umum, Kongres mendesak agar dilaksanakan
secepat mungkin dan memperjuangkan anggota Al Washliyah
yang berjiwa Islam untuk duduk di Parlemen. Dari kalangan
pemuda diputuskan perincian-perincian pelaksanaan pemilihan
umum di dalam sidang-sidangnya. Dibicarakan juga masalah
yang berkenaan dengan Zending Islam. Dalam masalah ini,
Kongres memutuskan agar dibentuk zending-zending Islam
di Kabupaten Karo, Simalungun, dan Nias. Pembentukan ini
diserahkan kepada PD Al Washliyah kabupaten masing-masing.
Urusan selanjutnya disentralisir kepada Zending Islam PB
Al Washliyah. Persoalan eksternal yang tidak kalah menarik
perhatian Kongres ialah keluarnya NU dari Masyumi.
Niat NU keluar dari Masyumi muncul sejak Muktamar
NU ke-17 di Madiun (26 Mei 1947) dan pada Muktamar NU

55
Ibid., h. 163.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 81

ke-19 di Palembang (26 April-1 Mei 1952) yang memutuskan


NU secara resmi keluar dari Masyumi dan menjadikan dirinya
sebagai partai politik sendiri.56
Kongres berpandangan hal itu dapat menimbulkan kerugian
perjuangan umat Islam di kemudian hari. Karenanya, Kongres
memutuskan mengirim kawat ke Muktamar NU yang ketika
itu berlangsung di Palembang. H. Abdurrahman Syihab diutus
menjumpai pimpinan Masyumi dan NU. Teks kawat tersebut
berbunyi:
Panitia Kongres Nahdatul Ulama di Palembang.
Selamat berKongres titik perhubungan Nahdlatul Ulama
dengan Masyumi dapatlah kiranya kita selesaikan bersama-
sama dengan anggota-anggota istimewa jang lain, setjara
syura dalam Muktamar Masyumi yang keenam.

Dpp Majusmi di Jakarta


Kami mengirimkan kawat kepada Kongres Nahdlatul Ulama
sbb selama berKongres ttg perhubungan Nahdlatul Ulama
dengan Masjumi dapat kiranya kita selesaikan bersama
dengan anggota istimewa jang lain setjara sjura dalam
Muktamar Masyumi keenam ttk harap kebijaksanaan dpp
Masjumi mengusahakan terlaksanja kawat tersebut.

Kongres Al Washliyah
Ke VIII di Porsea57

56
Agus Mulyana, et al., Pendidikan Ahlussunnah Waljamaah dan
Ke-NU-an (Tangerang: Jelajah Bangsa, 2011), h. 57.
57
Ibid., h. 184.
82 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

Kawat ini membuktikan fakta historis bahwa Al Washliyah


cinta persatuan umat, tidak menginginkan NU keluar dari
Masyumi yang akan melemahkan kekuatan Islam dalam perpolitikan
nasional.
Setelah Kongres VIII diadakan di Porsea, tanggal 11-15
April 1953 diadakan Kongres Alim Ulama serta Muballigh
se Indonesia di Medan. Ketika itu, Al Washliyah menjadi tuan
rumah penyelenggaraan Kongres. Waktunya berdekatan dengan
Kongres IX Al Washliyah di Medan.
Sesuai dengan sifatnya, Muktamar ini diadakan bukan
oleh suatu golongan dan partai raja, tetapi terlepas dari pengaruh-
pengaruh dan perbedaan paham dalam furu‘ syariat. Sungguh
pun begitu, untuk menyesuaikan agar mendapat dukungan
yang bulat, sudah barang tentu pribadi-pribadi dari ormas-
ormas dan golongan harus turut bersama-sama di dalamnya.
Itulah sebabnya Al Washliyah memberikan segenap tenaga
yang ada padanya untuk kelancaran terlaksananya Muktamar
tersebut, di samping mengingat mulianya tujuan Muktamar.
Bukti kongkrit bantuan yang diberikan Al Washliyah
terhadap Muktamar ini dapat dilihat dari susunan panitia
pusat penyelenggara sebagai berikut:
Ketua Umum : T. M. Daud Beureueh
Ketua I, II, III : H. Abdurrahman Syihab,
H.M. Busthami Ibrahim, dan K.H. Muslih.
Sekretaris Umum : Ghazali Hasan
Sekretaris I, II, III : Abd Rahim Syihab, H. Bahrum Djamil
dan A. Fuad Said.
Ketua Keuangan : Udin Syamsuddin.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 83

Anggota2 : M. Dien Jatim, Dja’far Manahan, Syaikh


Marhaban, Bachtiar A. Manaf.

Selain dari panitia pusat, hampir seluruh panitia kecil


diserahkan kepada para pengurus dan guru-guru Al Washliyah
untuk turut terlibat dalam kepanitiaan. Namun sebelumnya,
ulama-ulama se-Sumatera Utara juga sudah mengadakan
Muktamar (16 Januari 1953) yang intinya menyambut baik
Muktamar Alim Ulama dan muballigh se-Indonesia. Keputusan-
keputusan dari Muktamar ulama se-Sumatera Utara tersebut
adalah: (1) menganjurkan supaya Alim Ulama menyatukan
tenaga dan pikiran dalam memberikan pimpinan kepada
umat, (2) menganjurkan supaya Alim Ulama dan Guru-guru
agama Islam mempersiapkan umat untuk menghadapi per-
kembangan Agama Islam di Indonesia, (3) menganjurkan
agar kaum Muslimin Indonesia bersatu padu dalam menghadapi
Pemilihan Umum, untuk mencapai ketinggian Kalimat Allah
di Indonesia, (4) turut menyambut dengan gembira Kongres
Alim Ulama dan muballigh Islam se Indonesia yang akan dilang-
sungkan kelak di ibukota Propinsi Sumatera Utara, di bulan
April 1953, (5) menganjurkan agar kaum Muslimin dan pemuda/
puteri Islam mengambil perhatian yang istimewa untuk mem-
berikan sokongan moril dan materil kepada P.T.I.I. (Perguruan
Tinggi Islam Indonesia).58 Muktamar Alim Ulama se Sumatera
Utara ini diketuai oleh Syaikh Mustafa Husain (Purba Baru)
dan Sekretarisnya Abdurrahman Syihab (Al Washliyah).
Kongres Al Washliyah yang ke-9 bertepatan dengan hari

58
Ibid., h. 186-189.
84 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

jadi Al Washliyah yang ke-23 (30 Nopember 1930-2 Desember


1953). Kongres yang bertempat di Medan ini memiliki keistimewaan
dibanding Kongres sebelumnya yakni diundangnya tokoh-
tokoh secara pribadi dari organisasi-organisasi lain yang bersifat
nasional seperti Masyumi, NU, PSII, dan Perti. Dalam Kongres
ini diadakan rapat istimewa yang dihadiri tokoh-tokoh tersebut
yang membicarakan perpecahan antara partai yang baru
di dalam Masyumi dan NU. Di samping itu, ditentukan pucuk
pimpinan Al Washliyah, yang komposisinya tidak terlalu jauh
berbeda dengan komposisi periode sebelumnya. Pada Kongres
ini didirikan pula organisasi pelajar Al Washliyah dengan nama
Ikatan Pelajar Al Washliyah disingkat IPA, bertepatan dengan
30 Nopember 1953.

Fase 1955-1965
Fase ini fase peralihan dari demokrasi liberal ke demokrasi
terpimpin. Hasil Pemilu 1955 tidaklah memuaskan golongan
Islam, karena tak mendapatkan suara mayoritas. Pada Pemilu
1955, Partai Komunis Indonesia (PKI) memperoleh suara ter-
banyak keempat setelah PNI, Masyumi, dan NU. Basisnya di
daerah-daerah pusat kemiskinan.
Skor hasil Pemilu 1955 menampilkan kejutan. Partai Sosialis
Indonesia (PSI), yang diduga mendapatkan suara banyak,
justru turun kelas. Nasib serupa dialami Partai Indonesia Raya
(PIR), akibat pecah sebelum pemilihan. Sebaliknya Nahdlatul
Ulama (NU), setelah keluar dari Masyumi, langsung menyeruak
ke atas. Namun, boleh dikata, yang memperoleh suara di luar
dugaan adalah Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 85

Hasil akhir pemilu yang disebut-sebut paling “luber” dan


“jurdil” itu pun menyodorkan formasi partai papan atas: Partai
Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, NU, dan PKI. Tak hanya
berbeda kelompok dengan partai-partai lain, tapi perolehan
suara mereka cukup mencolok. PKI sendiri membuktikan
kebenaran semboyan yang kerap dilontarkan jurkamnya: “PNI
partai priayi, Masyumi dan NU partai santri, PKI adalah partainya
rakyat.”
Fenomena PKI, dalam Pemilu 1955 untuk Parlemen/DPR,
dinilai mengejutkan. Citra negatif PKI akibat tragedi Madiun
1948, serta peran partai ini dalam aksi mogok sepanjang kurun
1950-1951, seolah menjadi angin lalu. Darah yang menetes
di ujung palu dan arit para anggota partai ini seolah-olah tak
berarti bagi pendukungnya. Suara buat PKI pun mengalir deras.
Pada Pemilu 1955 ini, PKI mengantongi 6.176.914 suara
atau 16,3 persen dari 37.875.299 suara pemilih yang sah. Ia
memang kalah dari PNI (memperoleh 8.343.653 atau 22,1
persen), Masyumi (7.903.886 suara atau 20,9 persen), dan
dari NU yang mendapatkan suara 6.955.141 atau 18,4. Keempat
partai terakhir ini menyabet 77,7 persen.
Tentang hasil pemilu ini Ustaz H.M. Arsyad Thalib Lubis
mengemukakan pandangannya dengan nada sedikit kecewa
tapi optimistis:
“......Hasil pemilihan umum jang baru berlangsung mendjadi
bukti jang tidak dapat disangkal bahwa dalam kalangan
umat jang masih mengaku beragama Islam terdapat djumlah
jang bukan sedikit orang-orang jang tidak bersedia lagi
memberikan pembelaannja kepada tjita-tjita agamanya
sendiri. Kedjadian yang amat menyedihkan itu dapat kita
86 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

persaksikan benar-benar terdjadi dalam daerah dan tempat


jang pembangunan Islam dalam djiwa umatnja telah
diabaikan pada waktu-waktu jang lalu. Kemenangan
dalam lapangan politik tidak akan dapat dipertahankan
seterusnya djika pembangunan Islam dalam djiwa angkatan
baru jang akan menjambung perdjuangan itu pada masa-
masa tidak diusahakan dari sekarang. Perjuangan dan pembelaan
kepada Islam tidak akan dapat diharapkan dari angkatan
baru djika mereka tidak berpengetahuan Islam dan tjinta
kepada Islam. Adjaran dan hukum Islam tidak akan dapat
tegak dengan djajanya di tengah-tengah masyarakat dan
negara djika tidak ada di sampingnja siap sedia umat yang
benar-benar tjinta kepada agamanja itu. Sebab itu dalam
memperdjuangkan tjita-tjita Islam sebagaimana diterangkan
di atas haruslah perdjuangan di lapangan politik senantiasa
didampingi dengan perdjuangan di lapangan pembangunan
dan pembinaan. Memperhebat pembangunan rumah-
rumah perguruan dan pendidikan, tabligh dan pengadjian,
penerbitan buku-buku dan madjalah-madjalah, penjiaran
Islam di kalangan ummat jang belum beragama Islam.”59

Walaupun hasil Pemilu 1955 tidak memuaskan, tetapi


para pemimpin Al Washliyah berhasil duduk di Parlemen pusat
mewakili Masyumi, seperti Abdurrahman Syihab,60 M. Arsyad

Muhammad Arsyad Thalib Lubis, “Pendirian Al Djamijatul Washlijah,”


59

dalam Nukman Sulaiman (ed.), Peringatan ¼ Abad Al Djamijatul


Washlijah, h. 18.
60
Tetapi Abdurrahman Syihab setelah menderita sakit akhirnya
meninggal dunia pada hari Senin 7 Februari 1955, sebagai pengganti
kedudukannya sebagai anggota Parlemen, diangkatlah H. Ja’far Zainuddin
dalam sidang Pengurus Besar tanggal 11 Maret 1955.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 87

Thalib Lubis,61 H. Adnan Lubis,62 M. Ali Hanafiah Lubis,63 dan


Bahrum Jamil, SH.64 Untuk Parlemen Sumatera Utara, Udin
Syamsuddin.
Bulan Oktober 1955, oleh Majelis Studiefonds telah dikirim
pelajar-pelajar Al Washliyah ke berbagai universitas di Mesir
yang berjumlah 7 (tujuh) orang: Abd. Majid Siradj, Tgk. Thabrani
Harumy, Syamsuddin Lubis, Abbas Hamid, Hammad Hassan
Lubis, Abd. Cholid Muhammad, dan satu lagi dari Jakarta.65
Pada fase inilah, mulai dilakukan kembali pembinaan
organisasi dan pendidikan dan meluas ke seluruh tanah air,
termasuk pulau Jawa dan Kalimantan. Khusus untuk Propinsi
Jawa Barat, Udin Syamsuddin (Ketua Umum PB Al Washliyah
pada saat itu) tahun 1956 mengirim Lukman Yahya (alumni

61
Ahmad Fuad Said, Peranan Ulama dalam Merebut & Mengisi
Kemeredekaan RI (Medan: Pustaka Babussalam, 1998), h. 40; Muhammad
Hasballah Thaib (ed.), Syeikh H. M. Arsyad Thalib Lubis Pemikiran dan
Karya Mounumental (Medan: Perdana Publisihing, 2012), h. 22.
62
Muhammad Hasballah Thaib dan Zamakhsyari Hasballah (ed.),
Mengenal Almarhum Al-Fadhil Adnan Lubis Kader Nadwatul Ulama
India (Medan: Perdana Publisihing, 2012), h. xvi.
63
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun
1958 Djilid III Sidang ke II Rapat ke 12 sampai ke 25 (Bandung: Masa
Baru, 1958), h.1176.
64
Bahrum Jamil, Batu Demi Batu di Bawah Panas yang Terik UISU
Kami Dirikan (Medan: Ma’had Muallimin Al Washliyah UISU, 1992),
h. 42.
65
Sulaiman (ed.), Peringatan ¼ Abad, h. 391; M. Amin, “H. Abdul
Majid Siradj, MA: Ketua Pengadilan Tinggi Agama Kelima Tahun 1977-
1980,” dalam Team Penyusun PTA Medan, Ulama di Mata Ummat, Hakim
di Mata Hukum (Sebuah Kenangan Ketika Ulama Memimpin Pengadilan)
(Medan: Bank Sumut, 2011), h. 140.
88 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

Qismul ‘Aly Al Washliyah Jl. Hindu Gg. Bengkok tahun 1955)


ke daerah Indramayu, Tasikmalaya, Banten, Serang dan Brebes.66
Pada tanggal 10-14 Maret 1956 di Jakarta, Al Washliyah
melaksanakan Muktamar ke X dan Presiden Soekarno berkenan
menerima Kongresisten di Istana. Sebelum Muktamar ini
berlangsung telah pula dilakukan peletakan batu pertama
pendirian kampus UNIVA.67 Dua tahun kemudian, tepatnya
18 Mei 1958, resmilah berdirilah UNIVA dengan Fakultas Syariah
sebagai Fakultas pertama.68
Dampak Muktamar di Bandung ini dan terpilihnya pimpinan
dan anggota Al Washliyah menjadi anggota Konstituante dari
Fraksi Masyumi, Usman Pasaribu menukilkan peranan H.
Bahrum Jamil, SH memperkenalkan Al Washliyah di Bandung:
Al Washliyah diperkenalkannya di Bandung pada tahun
1957-1958, waktu beliau menjadi anggota Konstituante
yang markasnya di Bandung, sehingga berdirilah Madrasah
Al Washliyah yang terletak di Jalan H.M. Tabri Pasir Kaliki,
Bandung. Menurut informasi yang diterima dari Alm.
K.H. Ali Usman beralamat waktu itu di Jalan Burangrang
Bandung, yang mendirikan Perguruan Islam Tinggi (PIT)

66
Biografi H. Lukman Yahya yang diserahkan beliau selepas mem-
berikan kata sambutan pada peluncuran buku Mengenang Al Fadhil
H. Adnan Lubis Kader Nadwatul Ulama India di UNIVA tanggal 12
Mei 2012.
67
Panitia Penyusunan Buku, Lustrum VI UNIVA 1958-1988 (Medan:
UNIVA, 1988), h. 27.
68
Muhammad Hasballah Thaib, Universitas Al Washliyah Medan
Lembaga Pengkaderan Ulama di Sumatera Utara (Medan: UNIVA, 1993),
h. 79.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 89

adalah H. Bahrum Jamil, SH, yang kemudian PIT tersebut


menjadi Universitas Islam Bandung (UNISBA) yang sekarang.69

Setahun kemudian pada Muktamar Al Washliyah ke XI


tahun 1959 bertepatan dengan Washliyah ke XI dan Kongres
GPA ke VII/VIII di Medan, diresmikan berdirinya organisasi
mahasiswa di tubuh Al Washliyah dengan nama HIMMAH
(Himpunan Mahasiswa Al Washliyah).70 Setahun pasca Muktamar
Al Washliyah (1960), Masyumi dibubarkan Soekarno karena
para tokohnya dianggap terlibat dalam pemberontakan PRRI
dan berimplikasi pula dengan Al Washliyah sebagai anggota
khusus, seperti Muhammadiyah, al-Ittihadiyah,71 dan Mathlaul
Anwar. Walaupun demikian konsolidasi organisasi tetap berjalan
dan tiga tahun kemudian pada tanggal 30 Nopember - 4 Desember
1962 Al Washliyah mengadakan Muktamar ke XII di Langsa.72
Pada fase ini, kehidupan politik makin memanas dengan
comeback-nya PKI dalam percaturan politik dengan menunggangi

69
Usman Pasaribu, “Kenangan dari Bandung,” dalam Bahrum
Jamil, Batu Demi Batu di Bawah Panas yang Terik UISU Kami Dirikan
(Medan: Ma’had Muallimin Al Washliyah UISU, 1992), h. i.
70
Ismed Batubara, “Histori Awal HIMMAH dan Dinamikanya,”
dalam Ja’far dan Ahmad Mushlih (ed.), Potret HIMMAH: Menyibak
Sejarah, Gerakan dan Identitas (Banda Aceh: PeNA, 2007), h. 68.
71
Tentang Al Ittihadiyah, lihat Al Rasyidin, “Dinamika Historis
Al Ittihadiyah,” dalam Anzizhan & Syafaruddin (ed.), Al Ittihadiyah
Menjalin Kebersamaan Membangun Bangsa (Jakarta: Hijri Pustaka
Utama, 2006), h. 179.
72
Pengurus Besar Al-Waslijah, Buku Kumpulan Muktamar XI-XII
Al-Washlijah di Langsa Atjeh Timur 30 November-4 Desember 1962
(Medan: Budi Luhur, 1962).
90 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

front nasional bentukan Soekarno sebagai alat politik perjuang-


annya.73
Sebelum meletusnya G.30.S/PKI pada tahun 1965, HIMMAH
telah menjadi Tim Pemantau bersama TNI di setiap malam
hari untuk melihat kemungkinan gerakan PKI di sekitar kota
Medan. Pada masa itu, beberapa kader HIMMAH yang terlibat
dalam tim tersebut adalah Ahmad Mukhtar dan Ponirin dari
HIMMAH komisariat UNIVA dan Arman Bey Siregar dari
HIMMAH Sumatera Utara.74
Pada periode ini, HIMMAH juga bergabung dengan Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). KAMI berdiri pada 10 Oktober
1965 di Jakarta.75 Ada beberapa tuntutan KAMI antara lain
bubarkan PKI dan ormas-ormasnya, Retol Kabinet Dwikora,
dan turunkan harga. Tuntutan ini dikenal dengan nama TRITURA
(Tri Tuntutan Rakyat). Di Sumatera Utara, KAMI dibentuk
pada bulan November 1965. Selain HIMMAH, organisasi mahasiswa
dan pemuda yang tergabung dengan KAMI antara lain HMI,
PMII, IMM, dan Mapancas.
Beberapa kader HIMMAH cukup aktif menjadi pengurus
KAMI Sumatera Utara. Beberapa kader HIMMAH yang aktif

73
Al Rasyidin, “Kondisi Sosio Politik Indonesia Menjelang Kelahiran
HIMMAH,” dalam Ja’far dan Ahmad Mushlih (ed.), Potret HIMMAH:
Menyibak Sejarah, Gerakan dan Identitas (Banda Aceh: PeNA, 2007),
h. 55.
74
Ismed Batubara, “Histori Awal HIMMAH dan Dinamikanya,”
h. 72.
75
Syamsul Bahri, Penumpasan G. 30 September/PKI di Sumatera
Utara (Medan: Yayasan Pembaharuan Pemuda Indonesia, 1992), h.
79.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 91

dalam KAMI antara lain Yahya Tanjung, Husni Ar, Arief Fadillah,
Usman Mulyadi, Rifa’i Nasir, A Latif Manurung, Daenuri, A
Latif Husein, Syamsul Lubis, A. Wahab Lubis, dan Sulaiman
Harsjid. Salah seorang kader HIMMAH Sumatera Utara, Arman
Bey Siregar76 dan Umar Lubis pernah menjabat sebagai Ketua
Presidium KAMI Sumatera Utara. Sedangkan A. Muis AY menjadi
pengurus KAMI kota Medan.

Fase 1965-1972
Jauh sebelum meletusnya Gerakan G.30.S/PKI, Ulama
Al Washliyah H.M. Arsyad Thalib Lubis telah menyampaikan
prasaran terhadap komunis pada Muktamar Ulama di Palembang
1956 yang isinya:
Harus kita sadari dan kita insyafkan bahwa komunisme
sebagai suatu ideologi adalah dicita-citakan untuk seluruh
dunia untuk pelaksanaannya akan dilakukan dengan
segenap kekerasan dan paksaan. Baik juga kita mengulangi
membaca sejarah yang penuh berlumuran darah para
kiai dan pemuka Islam dari komunisme di Madiun bulan
September 1948. Oleh karena itu haruslah kita waspada,
karena komunisme adalah imperialisme yang sekejam-
kejamnya. Maka perlu diadakan undang-undang yang
melarang mendirikan partai yang berpaham anti Tuhan
(Komunisme) di Indonesia. Hal ini terutama mengingat
bahwa negara Republik Indonesia adalah berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.77

76
Ibid.
77
Makalah yang dibacakan dalam Muktamar Ulama se-Indo-
nesia di Palembang tanggal 8-11 September 1957.
92 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

Pasca Gerakan G.30.S/PKI 1965, Al Washliyah melaksanakan


Muktamar ke XIII tanggal 20 hingga 27 Desember 1966 di Bandung.
Tentang Muktamar Bandung, Usman Pasaribu mengatakan:
Pada tahun 1966 Muktamar Al Washliyah diadakan di
Bandung yang dihadiri 1500 orang dapat berlangsung
dengan sukses, walaupun tahun 1965 meletus G.30.S/
PKI dan pada saat itu warga Al Washliyah di Bandung hanya
lebih kurang 30 orang dan kebanyakan dari mereka para
mahasiswa yang berasal dari Medan. Terlaksananya Muktamar
dengan baik atas bantuan alim ulama Bandung, di antaranya
KH. Soebandi, AK. Basuni dan lain-lain, dan berkat peranan
Al Washliyah dalam Kongres Islam Asia Afrika (KIAA) tahun
1965 yang pada saat itu (alm.) Ja’far Zainuddin Wakil
Sekretaris Jendral KIAA di Jakarta dan Usman Pasaribu
anggota Presidium KIAA Jawa Barat mewakili Al Washliyah.78

Menurut Ridwan Ibrahim, ada dua agenda penting dan


mendesak pasca Muktamar Bandung. Pertama, masih adanya
sisa PNI ASU yang cukup condong berhaluan komunis. Kedua,
gencarnya gerakan gerejani di tengah-tengah masyarakat,
tidak terkecuali di kalangan kampus.79
Langkah pertama yang dilakukan oleh ulama Al Washliyah
untuk melawan program Kristenisasi itu adalah membuat
kursus kader dakwah. Kursus ini disponsori oleh Syaikh M.
Arsyad Thalib Lubis.80 Sejak tahun 1960, Syaikh Muhammad

78
Pasaribu, “Kenangan dari Bandung,” h. i.
79
Muhammad Ridwan Ibrahim Lubis, HIMMAH Sadar Ilmiyah
Sadar Amaliyah (Jakarta: PP HIMMAH, 1990), h. 1-3.
80
Fajar Hasan Mursyid, “Syeikh Muhammad Arsyad Thalib Lubis
dan Peranannya dalam Menghadapi Gerakan Kristenisasi di Sumatera
Utara” (Bangi: Universitas Kebangsaan Malaysia, 2008), h. 60.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 93

Arsyad Thalib Lubis telah membuka kelas (kuliah) Perbandingan


Agama antara Islam dan Kristen di kantor Pengurus Besar Al
Washliyah.81
Untuk kaderisasi, Majelis Kader PB Al Washliyah dengan
Pimpinan Pusat (PP) HIMMAH melaksanakan training gelombang
I dengan peserta, antara lain, A. Muis AY. Pengurus Majelis
Kader tersebut antara lain Bahari Emde, Hasyran Nasution,
dan M. Ridwan Ibrahim Lubis. Out Put training gelombang
I ini menumbuh kembangkan HIMMAH di berbagai fakultas
di Universitas Sumatera Utara (USU). Para kader HIMMAH
ini juga mulai aktif berdakwah ke desa-desa minoritas Muslim
seperti di Karo, Simalungun, dan Tapanuli Utara. Bahkan pada
training PP HIMMAH gelombang II telah tersusun lembaga
dakwah HIMMAH dengan sistem peta dakwah.82
Para kader HIMMAH telah merambah ke seluruh pelosok
daerah Sumatera Utara untuk melaksanakan misi dakwah
Islamiyah. Dakwah para kader HIMMAH dimulai di daerah
Deli Serdang yang mencakup wilayah kecamatan Patumbak,
Kecamatan Biru-biru, Kecamatan Pancur Batu, Kecamatan
Namo Rambe, Kecamatan Sibolangit, Kecamatan Tanjung
Muda Hilir, dan Kecamatan Kutalimbaru. Misi dakwah pun
terus berlanjut hingga ke daerah lain. Kegiatan dakwah ini
dilaksanakan pada awal tahun 1970-an.

81
Ibid., h. 104.
82
Muhammad Nizar Syarif, “Melirik HIMMAH Tahun 1970-an
Ditinjau Dari Sudut Dakwah Islam,” dalam Ja’far dan Ahmad Muslih
(ed.), Potret HIMMAH: Sejarah, Gerakan dan Identitas (Banda Aceh:
PeNA, 2005), h. 99.
94 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

Dakwah Islamiyah dari kader HIMMAH dilakukan pada


waktu-waktu tertentu. Biasanya kegiatan ini dilakukan setiap
hari libur dan setiap malam minggu dengan membawa pendakwah
sedikitnya 20 sampai 25 orang. Pendakwah HIMMAH tidak
menghabiskan malam minggunya dengan bersenang-senang
dan berfoya-foya di kota, sebagaimana layaknya kebiasaan
pemuda-pemudi kebanyakan. Panggilan tugas dari agama
membuat mereka bergegas untuk mengikuti progeram dakwah
Islam ke berbagai tempat. Kegiatan malam mingguan dengan
berdakwah ini mendapat perhatian dari para tokoh dan ulama
Islam. Bahkan sesekali waktu mereka juga turut terjun langsung
ke medan dakwah seperti Syaikh H. Ahmad Dahlan dan Syaikh
Muhammad Arsyad Thalib Lubis. Masyarakat Islam juga menaruh
simpati terhadap perjuangan para kader HIMMAH ini. Wujud
simpati ini tampak terlihat dengan banyaknya bantuan yang
mengalir dengan deras untuk perjuangan para pendakwah
HIMMAH dari moril hingga materil.
Begitu juga pada setiap liburan panjang, para pendakwah
HIMMAH meneruskan dakwah Islam hingga ke daerah pe-
gunungan. Beberapa wilayah itu antara lain Tanah Karo,
Dairi, Tapanuli Utara, dan Nias. Di wilayah Tanah Karo, para
kader HIMMAH memasuki ke setiap kecamatan di wilayah-
wilayah tersebut. Tidak hanya itu mereka pun memasuki hingga
pelosok pedesaan. Kala itu, pendakwah HIMMAH telah memasuki
sebelas kecamatan di Tanah Karo dengan sepuluh desa di setiap
kecamatan seperti kecamatan Berastagi, Kecamatan Kaban
Jahe, Kecamatan Barusjahe, Kecamatan Simpang Empat,
Kecamatan Payung, Kecamatan Tiga Panah, Kecamatan Kuta
Buluh, Kecamatan Munte, Kecamatan Juhar, Kecamatan
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 95

Tiga Binanga dan Kecamatan Mardinding. Di samping itu,


dakwah HIMMAH terus diperluas hingga ke kabupaten Dairi,
Simalungun, Tapanuli Utara, dan beberapa desa di Nias. Pendakwah
HIMMAH tampaknya kurang berhasil dalam melaksanakan
misinya ke seluruh wilayah Nias. Hanya beberapa desa saja
yang terjamah oleh HIMMAH. Ini dikarenakan letak geografis
pulau Nias yang jauh dan sulit ditempuh.83 Bahkan dakwah
HIMMAH telah sampai di Irian Jaya dengan pengiriman da’i
yang bernama Abu Samah KN, dan Sutrisno Khalil dan telah
mendirikan sebuah masjid.84
Di penghujung 1969, Wedana Koordinator Kepulauan
Mentawai menyurati PB Al Washliyah memohon bantuan
untuk mengirim tenaga pendakwah ke Kepulauan Mentawai,
da’i Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Atas surat
tersebut, Majelis Penyiaran Dakwah PB Al Washliyah menerjunkan
da’i M. Idris. Sebelum diberangkatkan, 23 Oktober 1969, lebih
dahulu diberi wejangan-wejangan oleh H. Udin Syamsuddin,
H. Bahrum Jamil, SH, dan H. Harun Amin di kantor PB Al
Washliyah.85

Fase 1972-1983
Fase ini Al Washliyah kehilangan ulama dan organisatoris
andalnya, yaitu H.M. Arsyad Thalib Lubis pada tanggal 6 Juli

83
Ibid.
84
Ibid.
85
M. Idris, “Al Washliyah Memberantas Keterbelangan Ummat,”
dalam Obor Ummat, Edisi 30 Nopember 1988, h. 7.
96 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

1972.86 Pada fase ini, kegiatan dakwah dengan misi perluasan


zending masih terus berjalan, baik oleh HIMMAH dan IPA
ke daerah-daerah minoritas Islam, seperti Tapanuli Utara,
Dairi, Simalungun dan Tanah Karo. Al Washliyah pada fase
ini melaksanakan Muktamarnya ke XIV tanggal 16-20 Juli
1973 di UNIVA Medan. Muktamar ini kedatangan tamu istimewa
dengan hadirnya H. Adam Malik Batubara yang menjabat
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia. Ayah Adam Malik
(alm.) Malik Batubara adalah mantan bendahara PD Al Washliyah
Kota Pematang Siantar. Muktamar ini mengangkat H. Bahrum
Jamil, SH sebagai Ketua Umum dan didampingi H. Ahmad
Dahlan sebagai Sekretaris Jenderal.
Periode kepengurusan PB Al Washliyah, H. Jaelani Naro,
SH (Ketua Umum Parmusi) masuk menjadi Penasehat Kordinator
Kesiagaan Al Washliyah (KOKAL).87 Tentang H. Jaelani Naro,
SH, H. Bahrum Jamil, SH kepada majalah Tempo, 24 Oktober
1981 menyatakan:
Saya sebagai Ketua Umum PB Al Washliyah banyak ditanyai
tentang kedudukan beliau (J. Naro, SH) yang kini jadi
Ketua Umum DPP PPP dan Ketua Umum Muslimin Indo-
nesia (eks Parmusi) serta wakil Ketua DPA dan hubungannya
dengan Al Washliyah. Menjelang Muktamar Nasional Al
Washliyah ke 12 di Bandung tahun 1966, telah datang kepada
saya selaku Ketua I PB Al Washliyah waktu itu, Bapak J.
Naro, SH bersama sdr. Gumri, anggota Al Washliyah Langkat,
Sumut ke jalan Madiun, Jakarta, tempat tinggal saya sementara

Hasballah Thaib (ed.), Syeikh H.M. Arsyad Thalib Lubis, h. 29.


86

Lihat keputusan Muktamar Al Washliyah ke-XIV tanggal 16-


87

20 Juli 1973 di Medan.


Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 97

(rumah Bapak H. Iskandar Ishak, bekas Duta Besar RI


di Turki). Kedatangan mereka ialah untuk menyampaikan
hasrat dan keinginan Bapak J. Naro, SH menjadi anggota
Al Washliyah. Ketika itu yang menjadi Ketua Umum PB Al
Washliyah adalah Bapak H. Udin Syamsuddin, maka saya
meminta agar kepada beliaulah Pak Naro, SH berhubungan
lebih lanjut. Saya sendiri waktu itu menyambut dengan
baik. Dalam kedudukannya selaku Ketua Umum PB Al
Washliyah Bapak H. Udin Syamsuddin telah menerima
keinginan Pak Naro itu, dan selanjutnya menunjuk beliau
sebagai mewakili Al Washliyah dalam pembentukan Parmusi,
yang termaktub dalam SK Presiden No. 70 Tahun 1968.
Sejak waktu itulah Pak Naro, SH dikenal dalam lingkungan
Al Washliyah. Beberapa kali beliau datang ke Medan, Sumut
dan dalam pada itu beliau pun telah banyak berbuat untuk
kepentingan Islam. Di antaranya membantu dana pem-
bangunan Rumah Sakit Al Washliyah dekat Stadion Teladan
yang diselenggarakan PP Muslimat Al Washliyah. Beliaupun
telah turut membantu penyelesaian kasus penahanan,
Ustaz H. Abdullah Ibrahim, Ketua Pimpinan Wilayah Al
Washliyah Sumatera Barat yang sampai kini masih dalam
tahanan rumah di Padang, dan tugas-tugas lain yang diminta-
kan oleh keluarga Al Washliyah.88

Sementara ketika pembentukan Majelis Ulama Indonesia


(MUI) di Sumatera Utara tahun 1974, Al Washliyah berpartisipasi
aktif dengan ormas Islam lainnya dan Ketua Umum pertamanya

88
A. Basit Adnan, Ada Apa di PPP Disertai Rekaman Hasil Tiga
Kali Pemilu Dan Masalah Politik yang Meliputnya (Solo: Mayasari,
1982), h. 42-43; lihat juga Muhammad Hasballah Thaib dan Zamakhsyari
(ed.), Syeikh H. M. Arsyad Thalib Lubis Pemikiran dan Karya Mounumental
(Medan: Perdana Publisihing, 2012).
98 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

adalah H. Mahmud Syihabuddin.89 Generasi mudanya, khusus


GPA dan HIMMAH ikut pula mendukung pendirian KNPI
Sumut 1974, sejumlah kader GPA dan HIMMAH masuk menjadi
pengurus, seperti dr. Fathi Dahlan dan Arman Bey Siregar.
Al Washliyah dan generasi mudanya lebih memilih bersikap
moderat ketimbang berada dalam posisi vis a vis dengan Orde
Baru dan memfokuskan diri membina ummat.
Walaupun pada periode ini Orde Baru masih mencurigai
kelompok Islam tetapi sebagaimana makna Al Washliyah yang
bermakna menghubungkan. Dalam situasi Orde Baru yang
represif, Al Washliyah tetap memelihara hubungan dengan
pejabat pemerintahan. Seperti tetap mengundang pejabat
pemerintahan di setiap ulang tahunnya dan sebaliknya pejabat
pemerintahan juga berkesempatan agar Al Washliyah dan
ulamanya berpartisipasi dalam pembangunan. Seperti yang
dikatakan T. Putra Azis yang mewakili Gubernur Sumatera
Utara di saat menghadiri HUT Al Washliyah ke 46:
Peran Pemuka Agama dan Ulama di tengah-tengah masyarakat
mempunyai arti yang penting dalam mempercepat proses
pembangunan yang sedang dikerjakan pemerintahan sekarang.
Oleh karena itu kami mengajak seluruh lapisan masyarakat,
terutama keluarga besar Al Washliyah untuk memberikan
saran-sarannya, idea-idea dan kalau perlu kritik, agar proses

89
Menurut intelektual Al Washliyah, Dr. Abd. Rahman Dahlan,
MA, asbâbun nuzûl lahirnya ketentuan pasal tersebut karena adanya
beberapa oknum Al Washliyah mulai membawa simbol-simbol Al Washliyah
ke dalam partai politik pada saat Pemilu 1977. Lihat Abd. Rahman
Dahlan, “Independensi Al Washliyah,” dalam Ismed Batubara dan Ja’far
(ed.), Bunga Rampai Al Jam’iyatul Washliyah (Banda Aceh: Al Washliyah
University Press, 2010), h. 56.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 99

pembangunan yang dicita-citakan lebih cepat tercapai.


Sebagai pemuka agama dan ulama di tengah-tengah masyarakat,
mempunyai fungsi rangkap, mendidik masyarakat dan
mengajak agar masyarakat turut serta dalam pembangunan.90

Muktamar ini akhirnya memilih H. Bahrum Jamil, SH.,


menjadi Ketua Umum dan Drs. Usman Pasaribu sebagai Sekretaris
Jenderal. Melalui perdebatan yang panas pada Muktamar
ini lahir sebuah pasal dalam Anggaran Dasar yang menyatakan
“Al Washliyah organisasi yang bersifat independen.” Ketentuan
ini terus melekat pada Muktamar 1992 dan Muktamar selanjutnya.

Fase 1983-2015
Menurut PB Al Washliyah, asset pendidikan Al Washliyah
pada tahun 1984 adalah sebagai berikut:

Pendidikan Agama:
Ibtidaiyah : 1034 unit
Tsanawiyah : 97 unit
Aliyah : 38 unit
Muallimin/at : 1 unit
Universitas : 1 unit

Pendidikan Umum:
Taman Kanak-kanak : 2 unit
Sekolah Dasar : 9 unit
SMP : 26 unit

90
Ahmad Perdana, et al., Mereka Berkata tentang Abdullah Syah
(Medan: Duta Azhar, 2009), h. 20.
100 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

SMA : 6 buah
SPG : 4 buah
SMEA : 1 unit
IKIP : 1 unit

Fase ini berada di bawah kepemimpinan H. Bahrum


Jamil, SH. Al Washliyah menata kembali organisasinya dan
iklim politik pada saat itu antara resiprokal dan akomodatif.91
Pemerintah Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto
melakukan test case penerimaan asas tunggal (Astung) sebagai
asas organisasi terhadap parpol dan ormas, tak terkecuali
ormas Islam, seperti Al Washliyah. Terhadap parpol dihadapkan
dengan UU No. 8 Tahun 1985 untuk ormas. Ormas Islam pertama
yang menerima asas tunggal Pancasila adalah NU, kemudian
Muhammadiyah, sedangkan Al Washliyah menerima belakangan.
Tentang asas tunggal Pancasila untuk ormas, H. Bahrum
Jamil, SH mengatakan “sebagai sebuah organisasi bangsa
Indonesia, maka bagi Al Washliyah tidaklah akan mengalami
suatu kesulitan untuk menerima dan menyesuaikan diri dengan
UU Keormasan yang telah disyahkan itu, Insya Allah.”92

91
Resiprokal, yakni sikap orde baru yang saling memberi angin
dan tidak bersebelahan dengan Islam, sementara Akomodatif, sikap
Orde Baru yang semakin baik dan mesra dengan umat Islam. Lihat
Kuntowijoyo, Identitas Politik Ummat Islam (Bandung: Mizan, 1997),
h. 198. Misalnya diakomodasinya kepentingan umat Islam dengan
disahkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama. Lihat Darmansyah Hasibuan, “Pengaruh Teori Resepsi dalam
Penerapan Hukum Islam di Indonesia,” dalam Jurnal Mimbar Hukum,
No. 64 Thn. XV 2004, h. 89.
92
Bahrum Jamil, “Menyongsong Muktamar Al Washliyah Ke-XVI
di Ibu Kota Indonesia,” dalam Harian Mimbar Umum, 14 Agustus 1985.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 101

Muktamar Al Washliyah ke XVI tanggal 20-24 Februari


1986 di Jakarta dibuka oleh Menteri Agama Munawir Sadzali
dengan keputusan penting menerima Pancasila sebagai asas
tunggal Pancasila menjadi organisasi dengan dinamika per-
debatannya dan memilih H.M. Ridwan Ibrahim Lubis dan
Aziddin, BA (sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jendral).
Putusan yang tidak kalah pentingnya adalah pembubaran
KOKAL (Koordinator Kader Al Washliyah).93
Tentang makna independen, H.M. Ridwan Ibrahim
menuliskan:
Kaedah Imam Syâfi’i dalam tafsir Alquran, yang artinya:
Yang dipandang umumnya lafaz, bukan sebabnya yang
khusus. Secara historis, Al Jam’iyatul Washliyah didirikan
adalah sebab perpecahan umat Islam dan dalam sejarah
ikut menumpas penjajahan merebut kemerdekaan RI. dan
pernah menjadi anggota salah satu partai Islam, namun
lafaz yang dijulukkan nama organisasi ini adalah umum
yaitu “Al Washliyah” atau Washliyatan”. Umumnya lafaz
nama itulah yang selanjutnya mencerminkan sikap Al
Washliyah itu dalam pengembangannya. Maka dengan
demikian “Al Jam’iyatul Washliyah” tetap independen.
Kalau digabungkan dengan atau berafiliasi dengan salah
satu ormas, maka hilanglah makna “washliyah-nya” yaitu
menghubungkan. Bahkan ia menjadi terbatas hanya dengan
partai atau ormas manapun. Demikian juga Al Washliyah
tidak boleh apriori dengan partai dan ormas manapun.
Karena itu, Al Washliyah tidak membatasi anggotanya

93
”Ulama Punya Tugas Rangkap: Mendidik Masyarakat dan
Mengajak Membangun Negara,” dalam Harian Mercu Suar, 13 Desember
1976, h. 4.
102 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

secara pribadi yang ingin mengembangkan karirnya dalam


tiga kerangka amal Al Washliyah kepada partai dan ormas
yang syah dan tidak bertentangan dengan ideologi negara
RI.94

Salah satu tuntutan UU No. 8 Tahun 1985 adalah pimpinan


pusat ormas harus berkedudukan di Jakarta. Berdasarkan
Ketetapan Muktamar XVI No. IV/M.XVI/1986 tanggal 22 Februari
1986, maka resmilah kedudukan Pengurus Besar Al Washliyah
di Jakarta.95
Pemerintah Orde Baru menyambut baik penerimaan
Pancasila sebagai asas, seperti yang dikatakan Menteri Sekretaris
Negara Sudharmono, SH., “Al Washliyah setelah asas tunggal
Pancasila sebagai asas, memperjelas statusnya dan hubungan
dengan pihak pemerintah bertambah lancar. Selain itu mempertegas
keindependenannya, tidak di bawah organisasi sosial politik
manapun.”96 Sementara itu, pada saat Muktamar, Menko
Kesra H. Alamsyah Ratu Perwiranegara mengatakan “Al Washliyah
berkewajiban untuk menyelamatkan Islam dan umatnya
dari segala macam perpecahan, perselisihan dan ketidakrukunan.
Meningkatkan kualitas warga Al Washliyah secara individu
maupun jam’iyah. Selain itu, Al Washliyah mampu meningkatkan
dakwah Islamiyah sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.”97

94
Muhammad Ridwan Ibrahim Lubis, Kepribadian Anggota dan
Pengurus Al Washliyah (Jakarta: PP HIMMAH, 1994), h. 9-10.
95
Burhanuddin Al Butary, Ruh Pengembangan Al Washliyah (Kisaran:
t.p, 1995), h. 23.
96
"Harapan Setelah Asas itu Diterima,” dalam Obor Ummat, Edisi
30 Nopember 1988, h. 5.
97
Ibid.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 103

Pada masa kepemimpinan H.M. Ridwan Ibrahim Lubis


dan Aziddin, BA., Al Washliyah mulai melakukan konsolidasi,
penataan organisasi dan silaturrahim, seperti menghidupkan
Pimpinan Wilayah yang kurang aktif dan memberikan mandat
untuk membentuk Pimpinan Wilayah yang belum ada di seluruh
27 propinsi.98
Untuk Silaturrahim, PB Al Washliyah ke Yogyakarta,
kedatangan H. M. Ridwan Ibrahim Lubis dan Aziddin, BA.,
serta rombongan mendapat sambutan dan simpati dari Sul-
tan HB X, dan Gubernur DIY Sri Paku Alam ke-VIII. Niat Al
Washliyah dijawab Sri Paku Alam “monggo-monggo”. Sebagai
kenang-kenangan, PB Al Washliyah menyelimutkan sorban
kepada Sri Paku Alam. Yang menarik dan fenomenal, pada
tanggal 26 April 1989 di Kraton Yogyakarta, PB Al Washliyah
bekerjasama dengan Sultan Hamengkubowono mengadakan
peringatan Nuzul Qur’an dengan ribuan jamaah.99
Sambutan hangat juga datang dari PP Muhammadiyah,
yang diterima KH. AR. Fakhruddin dan H. Djarnawi Hadikusumo.
Niat PB Al Washliyah yang akan melaksanakan Muktamar
ke-XVII di Yogyakarta, dengan cepat Djarnawi menawarkan
silakan pakai sekolah Muhammadiyah yang mana.100 Sementara
silaturrahmi ke NU diterima oleh Abdurrahman Wahid (Gus

98
Lihat Laporan Pertanggungjawaban PB Al Washliyah Periode
1986-1992.
99
"Malam di Kraton Yogya: Sri Sultan Hamengkubuwono X
Sujud Tilawah Bersama Ribuan Jamaah,” dalam Harian Jayakarta,
5 Mei 1989.
100
"Membuka Lahan Baru Al Washliyah Kulonuwon Masuk Yogya,”
dalam Harian Jayakarta, 5 Mei 1989.
104 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

Dur), dan mengatakan apa yang dibuat NU jangan lagi dibuat


oleh Al Washliyah.101
Masa kepemimpinan H.M. Ridwan Ibrahim Lubis dan
Aziddin, BA., berakhir dengan diadakannya Muktamar ke
XVII 16-20 Februari 1992 di Jakarta, yang memilih kembali
duet H.M. Ridwan Ibrahim Lubis dan Aziddin, BA.
Kemudian, periode kedua H.M. Ridwan Ibrahim Lubis
dan Aziddin, BA., ini membuat terobosan pada tanggal 27-
30 Juli 1994 mengadakan Latihan Kader Nasional (LKN) yang
dibuka di Istana Wapres H. Try Sutrisno, dan pelaksanaan
kadernya di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta dihadiri peserta
sebanyak 4500 orang.102 Sejumlah tokoh nasional hadir, yaitu
Menko Kesra Ir. H. Azwar Anas, Pangab. Jenderal Faisal Tanjung,
Ir. Akbar Tanjung dan Buya Ismail Hasan Mateurum.
Untuk pengembangan sayap organisasi, tanggal 20 Desember
1996, diadakan pelantikan Pimpinan Wilayah Al Washliyah
di NTB (Nusa Tenggara Barat) bertempat di Kampus IAIN
Mataram.103 Duet H.M. Ridwan Ibrahim Lubis dan Aziddin
berakhir pada tahun 1997 dengan dilaksanakan Muktamar
ke XVIII tanggal 25-28 Nopember 1997 di Bandung.
Muktamar ke XVIII ini dibuka di Istana Wapres dan
pelaksanaan Muktamar di Diklat Pos, Geger Kalong, Bandung.
Pejabat yang hadir adalah Jenderal TNI Feisal Tanjung (Panglima
Angkatan Bersenjata RI), Jenderal TNI Wiranto dan Kepala

101
Ibid.
102
Lihat Laporan Pertanggungjawaban PB Al Washliyah Masa
Bakti 1992-1997, h. 15.
103
Ibid, h. 29.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 105

Staf TNI Angkatan Darat. Muktamar ini juga menghasilkan


MOU antara PB Al Washliyah dengan TNI Angkatan Darat
tentang kerjasama dalam pelaksanaan Gerakan Disiplin Nasional
dan Pemasyarakatan Gerakan Disiplin Nasional (GDN). Dalam
pemilihan Ketua Umum, oleh muktamirin dan muktamirat,
terpilih H. Aziddin, SE., dan tim formatur memilih Drs. H.M.
Kaoysyah, M.Ed., menjadi Sekretaris Jenderal. Pasca Muktamar
ini, PB bersama TNI AD melaksanakan Pemasyarakatan Gerakan
Disiplin Nasional (GDN) ke daerah-daerah. Dalam Pemilu 1997,
sejumlah kader Al Washliyah duduk menjadi anggota legislatif
di DPR RI, yaitu dr. Fathi Dahlan (Golkar), H. Aziddin, SE (Golkar),
H.M. Ridwan Ibrahim Lubis (PPP), dan dr. H. A. Muis Ay (PPP).
Periode ini ditandainya dengan tumbangnya Presiden Soeharto
tahun 1998 dan dimulai dengan lahirnya era Reformasi serta
Pemilu 1999 yang pertama kali secara langsung dan demokratis.
Dalam periode ini juga diadakan Rapat Kerja Nasional I yang
dibuka oleh Presiden BJ. Habibie di Istana Presiden tahun
2000. Periode ini berakhir dengan dilaksanakannya Muktamar
ke XIX di Jakarta tahun 2003 dan memilih kembali kembali
H. Aziddin, SE dan Drs. H.M. Kaoysyah, M.Ed sebagai Ketua
Umum dan Sekretaris Jenderal periode 2003-2008.
Pada periode 2003-2008, sejumlah kader Al Washliyah
berhasil menjadi calon anggota legislatif baik di pusat dan
daerah pada pemilu legislatif tahun 2004. Untuk DPR-RI
terpilih H. Aziddin, SE (Partai Demokrat) dan Ir. H. M. Yusuf
Pardamean (Partai Demokrat). Di Sumatera Utara, Drs. H.
Hasbullah Hadi, SH, MKn (Partai Demokrat), Drs. A. Ikhyar
Hasibuan (Partai Demokrat), Hj. Wardati Nasution (Partai
Demokrat), Akmal Samosir, S.Ag (Partai Demokrat), Drs.
106 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

H. Rijal Sirait (PPP), Drs. H. Yulizar Parlagutan Lubis (PPP)


dan H. Hidayatullah (PKS). Begitu juga di DPRD Kabupaten/
Kota, sejumlah kader Al Washliyah berhasil duduk di legislatif.
Di masa kepemimpinan H. Aziddin, SE, Sekretaris Jendral
PB adalah Drs. H.M. Kaoysyah, M.Ed., telah meninggal dunia,
dan dalam rapat PB Al Washliyah diangkatlah Plt. Sekretaris
Jendral yaitu Drs. H. Masyhuril Khamis, SH sampai Muktamar
ke XX tanggal 2010. Pada periode ini, perkembangan organisasi
telah menyebar hampir ke seluruh nusantara, yakni telah
ada sejumlah 29 (dua puluh sembilan) Pimpinan Wilayah.104
Muktamar Al Washliyah ke XX di Jakarta memilih Prof.
Dr. H. Muslim Nasution, MA menjadi Ketua Umum dan Prof.
Dr. H. Rusydi Ali Muhammad, MA menjadi Sekretaris Jendral
untuk periode 2010-2015.
Periode ini dimulai dengan penataan pendidikan Al
Washliyah. Serangkaian Rapat Kerja Nasional diselenggarakan,
baik di Batam maupun Jakarta. Oleh karena sakit yang
menimpanya, Prof. Dr. H. Muslim Nasution, MA meninggal
dunia pada tanggal 17 Ramadhan 2012, dan hasil rapat PB
Al Washliyah di Puncak Bogor akhirnya mengangkat Dr. H.
Yusnar Yusuf, MS menjadi Ketua Umum.
Sesuai dengan kebutuhan, dibentuk pula Majelis As-
set dan Majelis Hisab Rukyah (MHR) PB Al Jam’iyatul Washliyah.
Majelis ini sudah “go nasional”, dengan berpartisipasi aktif
dalam penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal serta telah mener-

104
Lihat Laporan Pertanggungjawaban PB Al Washliyah Periode
Muktamar XIX tanggal 23-25 April 2010, h. 5.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 107

bitkan kalender hijriah 2 (dua) tahun berturut-turut. MHR


dipimpin oleh Drs. H. Arso, SH, M.Ag (Ketua) dan Hasan Matsum,
M.Ag (Sekretaris) dibantu wakil-wakil dan Tim Ahli.[]
108 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 109

ASET
AL WASHLIYAH

109
110 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

ASSET AL WASHLIYAH

Lembaga Pendidikan

A
ntara tahun 1950-1980, jumlah sekolah-sekolah
Al Washliyah meningkat dari 15 menjadi 68. Peningkatan
kuantitas itu juga dilatari fakta bahwa setelah tahun
1952, wilayah Medan diperluas dengan memasukkan sebagian
wilayah kecamatan yang ada di wilayah Deli Serdang. Sekolah-
sekolah Al Washliyah di sana dialihkan kepada Al Washliyah
kecamatan Medan. Sekolah-sekolah Al Washliyah lebih banyak
tersebar dan Al Washliyah memiliki 16.149 pelajar. Al Washliyah
memiliki 87 sekolah di sejumlah kecamatan kota Medan.
Lembaga pendidikan Al Washliyah untuk tingkat Ibtidaiyah/
SD, MTs/SMP dan MAS/SMA mayoritas ada di Sumatera Utara,
hanya sedikit yang ada di luar Sumatera Utara, baik itu di Aceh,
Pekanbaru, Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan. Belum ada
data yang valid tentang keberadaan sekolah-sekolah tersebut.
Sampai 2003, Al Washliyah Sumatera Utara memiliki
9 unit TK umum:1

1
Dja’far Siddik, Rosnita dan Ja’far, Lembaga-lembaga Pendidikan
Al Washliyah di Sumatera Utara 2000-2010 (Medan: Lembaga Penelitian
IAIN-SU, 2011), h. 102.

110
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 111

No Kabupaten/kota Jumlah
1. Medan 2 unit
2. Tebing Tinggi 1 unit
3. Tanjung Balai 1 unit
4. Pematang Siantar 1 unit
5. Langkat 1 unit
6. Karo 1 unit
7. Asahan 1 unit
8. Labuhan Batu 1 unit
Jumlah 9 unit

Untuk di luar Sumatera Utara, misalnya di Nanggroe


Aceh Darussalam, terdapat 2 unit TK, yaitu di Lamdingin
dan Alue Naga.2 Di Propinsi Bali ada 1 unit, sedangkan di
Bekasi, Cirebon dan Indramayu yang merupakan salah satu
“kantong Al Washliyah” di Jawa Barat belum ada data yang
valid.
Adapun TK Agama berjumlah 3 unit tahun 2003:

No Kabupaten/kota Jumlah
1. Medan 1 unit
2. Labuhan Batu 2 unit
Jumlah 3 unit

2
Ja’far, “Geliat Al Washliyah di Negeri Syariat,” dalam Ja’far (ed.),
Al Jam’iyatul Washliyah: Potret Histori, Edukasi dan Filosofi (Medan:
Perdana Publishing dan Centre for Al Washliyah Studies, 2011), h. 63.
112 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

Untuk pendidikan dasar, Al Washliyah memiliki 418 unit


sekolah:

No Daerah MI/MTs SD SMP Jumlah


1. Medan 64 40 14 118
2. Binjai 4 2 1 7
3. Tebing Tinggi 10 - - 10
4. Sibolga - 1 - 1
5. Tanjung Balai 3 - - 3
6. Pematang Siantar 6 - - 6
7. Langkat 9 2 2 13
8. Karo 1 1 - 2
9. Deli Serdang 87 19 10 116
10. Asahan 45 16 6 67
11. Labuhan Batu 39 7 2 48
12. Simalungun 8 7 3 18
13. Tapanuli Selatan 1 - - 1
14. Padang Sidempuan - - - -
15. Tapanuli Tengah 5 1 1 7
16. Nias 1 - - 1
17. Tobasa - - - -
18. Madina - - - -
Jumlah Total 283 96 39 418

Untuk pendidikan menengah, Al Washliyah memiliki


143 unit sekolah:
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 113

Qismul
No Daerah SMU SMK MA MAM Jlh
Aly
1. Medan 3 4 12 1 2 22
2. Binjai - 2 - 4 4
Tebing
3. 2 - - 3
Tinggi
4. Sibolga - - - - -
Tanjung
5. - - 1 1 2
Balai
Pematang
6. - - 1 1 2
Siantar
7. Langkat - - 3 8
8. Karo - - - - -
Deli
9. - 35 1 2 52
Serdang
10. Asahan 1 1 1 1 1 37
Labuhan
11. - 2 25 - 39
Batu
12. Simalungun 1 2 6 - - 14
Tapanuli
13. 1 - - 1
Selatan
Padang
14. - - - -
Sidempuan
Tapanuli
15. - - 1
Tengah
16. Nias - - 1 - 1
17. Tobasa - - - -
18. Madina - - - -
Jumlah
6 9 85 6 15 143
Total
114 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

Khusus untuk Qismul Aly, madrasah inilah pencetak


kader-kader ulama Al Washliyah, dan banyak alumninya yang
diterima dengan mudah di Mesir seperti Abdul Majid Siradj.
Untuk mengelola pendidikan yang profesional diperlukan
landasan yuridis dan operasional. Untuk itu, PB Al Washliyah
mengeluarkan Keputusan PB Nomor: Ke-05/PB-AW/XX/
XI/2011 tanggal 19 Zulhijjah 1432/16 Nopember 2011 M
tentang Penyempurnaan Sistem Pendidikan Al Jam’iyatul
Washliyah dan Keputusan PB Nomor: Ke-073/PB-AW/XX/
II/2012 tanggal 01 Rabiul Akhir 1433/23 Februari 2011 M
tentang Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan
Pendidikan Menengah Al Jam’iyatul Washliyah.
Untuk jenjang pendidikan tinggi, Al Washliyah memiliki
sejumlah perguruan tinggi. Pertama, Universitas Al Washliyah
(UNIVA) Medan. UNIVA Medan didirikan pada tanggal 18
Mei 1958. Dilihat dari usianya, UNIVA termasuk universi-
tas tertua dalam organisasi Al Washliyah. Dalam perjalanannya,
UNIVA banyak menghadapi kendala, baik menyangkut manajemen
pengelolaan, bangunan fisik maupun perkembangan dan
kualitas mahasiswanya.
Pada tahun 1961, pemerintah mengeluarkan Undang-
undang nomor 22 tahun 1961 tentang kewajiban setiap perguruan
tinggi memiliki badan hukum yang berbentuk yayasan. Merespons
undang-undang tersebut, Al Washliyah membentuk Yayasan
Universitas Al Washliyah dengan Akta nomor 24 tanggal 9
Nopember 1962. Ketika Akta ini dibuat, perguruan tinggi Al
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 115

Washliyah telah memiliki 12 Fakultas.3 Setelah itu, Al Washliyah


pernah berencana mendirikan beberapa fakultas di Jawa
Barat, namun akhirnya menjadi Universitas Islam Bandung
(UNISBA).
Berkenaan dengan kebijakan pemerintah tahun 1972
tentang pendirian Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis),
maka Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNIVA memisahkan
diri menjadi Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(STKIP)4 Al Washliyah, lalu menjadi IKIP Al Washliyah dan
selanjutnya menjadi Universitas Muslim Nusantara (UMN)
di Medan. Untuk memenuhi keinginan sebagian besar pengurus
Al Washliyah agar UNIVA tetap menjadi Universitas, maka
pada tahun 1985, UNIVA mengajukan permohonan untuk
membuka tiga fakultas umum yakni Fakultas Pertanian, Fakultas
Teknik dan Fakultas Hukum. Di samping itu, didirikan pula
Akademi Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (AMIPA)
Sampai tahun 2015, UNIVA sudah memiliki enam fakultas,
yang terdiri dari 1 Fakultas Agama dan 5 Fakultas Umum.
Fakultas Agama Islam (FAI) terdiri dari prodi Pendidikan

3
Fakultas tersebut adalah Fakultas Syariah (18 Mei 1958), Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (18 Mei 1959), dan Fakultas Ushuluddin
(18 Mei 1960) di Medan. Kemudian Fakultas Dakwah di Jakarta (11
Mei 1959), Fakultas Tarbiyah (15 Mei 1961), Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan, dan Fakultas Hukum di Sibolga. Selain itu, Fakultas
Syariah, dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Rantau Prapat,
Fakultas Dakwah Muhammad Arsyad al-Banjari di Barabai (Kalimantan
Selatan), Fakultas Ekonomi Marga Silima di Kabanjahe Tanah Karo.
dan Fakultas Tarbiyah di Langsa Aceh Timur. Ibid., h. 59.
4
Nukman Sulaiman (ed.), Lustrum VI UNIVA 1958-1988 (Medan:
UNIVA, 1988), h. 111.
116 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

Islam, Kependidikan Islam, Ekonomi Syariah. Untuk mencetak


kader ulama, FAI juga membuka kelas khusus dengan dosen-
dosen yang menguasai kitab kuning, alumni dalam dan luar
negeri. Untuk Program Pendidikan Raudhatul Athfal dalam
proses perizinan.5 Sedangkan fakultas umum UNIVA telah
mengembangkan sayapnya dengan membuka Fakultas Hukum,
Fakultas Teknik dan Mesin, Fakultas Ekonomi dan Fakultas
Pertanian, dan FKIP.6
Pada saat ini (2015), selain menyelenggarakan pendidikan
tinggi, UNIVA juga mempunyai beberapa sekolah proyek
yaitu SD, Madrasah Ibtidaiyah, SMU, SMP 4, SMP 8, Tsanawiyah
ex-PGA, Aliyah ex-PGA, Tsanawiyah Muallimin, dan Aliyah
Muallimin.7
Kedua, Universitas Muslim Nusantara (UMN) Al Washliyah.
Universitas Muslim Nusantara (UMN) berdiri tahun 1993 dengan
Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melalui
Dirjen Pendidikan Tinggi Swasta Nomor 25/8-SWT/P/1996
tanggal 25 Januari 1993 dengan nama FKIP-UNIVA. Nama
ini kemudian diubah menjadi STKIP Al Washliyah Medan
dengan Surat Keputusan nomor 017/0/1981, tanggal 22
Januari 1981. Nama ini pun kemudian diubah menjadi IKIP
Al Washliyah dengan Surat Keputusan nomor 042/0/1983.
Terakhir, IKIP Al Washliyah menjadi Universitas Muslim Nusantara

5
Pengurus Besar Al Washliyah, Sekilas Catatan Muktamar Al
Washliyah ke XVIII yang Penuh Kasih Sayang (Jakarta: PB Al Washliyah,
1997), h. 38-39.
6
Lihat Profil UNIVA (Medan: UNIVA, 2010).
7
Pengurus Besar Al Washliyah, Sekilas Catatan Muktamar, h. 39.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 117

(UMN) dengan Surat Keputusan nomor 424/DIKTI/Kep/1996,


tertanggal 8 Agustus 1996.8
Untuk memperluas, mengembangkan dan menambah
ruangan belajar, maka didirikan kampus baru UMN. Peletakan
batu pertama pembangunan kampus baru tersebut dilakukan
tanggal 20 Agustus 1990 hari Sabtu, oleh Ir. Akbar Tanjung,
sewaktu menjadi Menteri Pemuda dan Olah Raga bersama
Pengurus Besar Al Washliyah di Medan.
UMN juga pernah mendapat bantuan Presiden RI. Setelah
pembangunan selesai, penggunaan kampus baru diresmikan
oleh Wakil Presiden RI, yaitu Try Sutrisno serta Ibu Try Sutrisno
tanggal 17 Desember 1993. Turut serta dalam rombongan
Wakil Presiden antara lain Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
Menteri Agama, Menteri Pertanian, Menteri Negara dan
Kependudukan dan Menteri KLH.
Sampai tahun 2015, sama halnya dengan UNIVA, UMN
juga memiliki Sekolah Binaan yaitu SMU, MAS, MTs dan SMP.9
Pada tahun 2012, di bawah kepemimpinan Drs. H. Kondar
Siregar, MA, dimulai pembangunan Kampus C di depan Kampus
A Jl. Garu II-A.
Ketiga, Universitas Labuhan Batu.10 Pada awalnya, Pimpinan
Daerah (PD) Al Washliyah Labuhan Batu pada tahun 1961
bekerjasama dengan Fakultas Syariah UNIVA mencoba mendirikan
UNIVA kelas jauh, seperti juga di Kabupaten Karo, Takengon,

8
Ibid.
9
Ibid.
10
Lihat http://univalabuhanbatu.wordpress.com/.
118 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

dan Langsa, namun berjalan hanya beberapa tahun saja. Hingga


akhirnya bekerjasama dengan UISU yang memiliki garis historikal
dengan Al Washliyah, namun lagi-lagi hanya bertahan satu
tahun saja.
Pada tahun 1985, PD Al Washliyah Kabupaten Labuhan
Batu merintis pendirian sebuah kampus Islami, yang mana
dalam rapat tanggal 21 Mei 1991, rapat pengurus PD Al
Washliyah disepakati pendirian Perguruan Tinggi bekerjasama
dengan Fakultas Tarbiyah UNIVA. Pada awal pendirian
mahasiswanya hanya berjumlah 32 orang dan ruang perkuliahan
masih menumpang di Perguruan Al Washliyah Jalan Siringo-
ringo No.16 di Rantau Prapat dan dosen masih didatangkan
dari UNIVA Medan.
Pada tahun akademik 1992/1993, izin Sekolah Tinggi
Ilmu Tarbiyah (STIT) Al Washliyah Rantau Prapat dikeluarkan
oleh Menteri Agama RI. Selanjutnya, STIT berubah menjadi
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Washliyah Labuhan
Batu, dan pada tanggal 31 Juli 2008 berubah menjadi Uni-
versitas Al Washliyah (UNIVA) Labuhan Batu beralamat di
Jalan H. Adam Malik Lingkar by Pas Rantau Prapat.
UNIVA Labuhan Batu mengasuh 8 prodi sejak 2008, yaitu
Pendidikan Agama Islam (S1), Komunikasi Penyiaran Islam
(S1), Teknik Informatika (S1), Pendidikan Matematika (S1),
Pendidikan Biologi (S1), Pendidikan Bahasa Inggeris (S1),
dan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (S1). Prodi
Pendidikan Agama Islam telah terakreditasi BAN-PT, sedangkan
Prodi lain telah diperpanjang izinnya oleh Dirjen Pendidikan
Tinggi sampai 2014.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 119

Keempat, STIE Al Washliyah Sibolga.11 STIE Al Washliyah


Sibolga didirikan oleh Pengurus Besar Al Washliyah dengan
status Badan Hukum berdasarkan SK Menteri Kehakiman
RI Nomor J.A.57425, tanggal 17 Oktober 1956 jo akte Notaris
Adlan Yulinar, SH Nomor.69 tanggal 23 September 1989 dan
dipimpin oleh H. Aziddin, SE berdasarkan SK Pengurus Besar
Al Washliyah nomor KEP.57/PB-AW/XIX/III/2003, tanggal
22 Maret 2005.
Pada tahun 2012, mahasiswa STIE berjumlah 700 orang
dan beralamat di Jl. Padangsidempuan Km. 5 Sarudik, Sibolga
di atas tanah seluas 2.407M.2
Kelima, STIT Al Washliyah Binjai.12 Kampus STIT Al Washliyah
Binjai terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan No. 144-146-
148, Kelurahan Kebun Lada. Daerah Kebun Lada ini adalah
salah “kantong” Al Washliyah di Binjai, Ustaz H.M. Ridwan
Ibrahim Lubis (mantan Ketua Umum PB Al Washliyah periode
1986-1992 dan 1992-1997) adalah salah satu putra terbaik
kelahiran Kebun Lada Binjai. Bangunan STIT telah lama
didirikan pada saat PD Al Washliyah Binjai di bawah kepemimpinan
H. Darbizar Matondang yang yang kala itu menjadi staf ahli
Walikota Binjai: H. Ali Umri, SH.
STIT Al Washliyah didirikan pada tanggal 26 Juni 2006
dan pada saat ini mahasiswanya berjumlah 300 orang dan
prodi sedang dalam proses akreditasi.

11
http://diktipropsu.com/profil/sekolah_sekolah_Tinggi_Ilmu_
Ekonomi_Al_Washliyah_ Sibolga.pdf
12
http://kopertais9.000space.com
120 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

Keenam, STAIS Al Washliyah Barabai, Kalimantan Selatan.


Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Washliyah memiliki
Fakultas Tarbiyah Jurusan: Pendidikan Agama Islam S1
berdiri Februari 1978 Penyelenggaraan Pertama Kali: 06-10-
1988 Nomor SK Pendirian PS: Kep/E.III/PP.009/83 Tanggal
SK: 06-10-1988 Pejabat Penandatanganan SK: Dirjen Binbaga
Islam.
Visi Program Studi “Menjadi fakultas Tarbiyah yang
terkemuka, unggul dalam pengembangan ilmu kependidikan
Islam.” Adapun Misi Program Studi adalah: 1). Memberikan
pelayanan terhadap penggalian ilmu Pendidikan Agama Islam
2). Mengembangkan ilmu Pendidikan Agama Islam, melalui
pengajian, penelitian dan pengabdian pada masyarakat 3).
Memberikan keteladanan dalam kehidupan atas dasar nilai-
nilai Islam dan budaya Islam.
Tujuan Program Studi: a). Mencetak sarjana pendidikan
yang profesional dalam bidang pendidikan Agama Islam. b).
Membentuk sarjana pendidikan Islam yang berkemampuan
dalam melaksanakan dan mengembangkan pendidikan Islam
pada setiap jenjang pendidikan dan memiliki kemampuan
dalam merencanakan dan mengembangkan pendidikan pada
umumnya.
‘Ketujuh, STKIP Banda Aceh. STKIP Al Washliyah Banda
Aceh memiliki 5(lima) program studi, yaitu Pendidikan Geografi
(S1), Pendidikan Bahasa Arab (S1), Pendidikan Jasmani dan
Rohani (S1), Pendidikan Sosiologi (S1) dan Pendidikan Guru
dan Taman Kanak-Kanak (S1).
Kedelapan, Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Politik (STISIP)
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 121

Al Washliyah, dengan program Studi Ilmu Administrasi Negara


(S1) dan Antropologi Sosial (S1).
Kesembilan, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Washliyah
Banda Aceh, dengan program studi Pendidikan Agama Islam
(S1), Jinayah Siyasah (S1) dan Muamalah (S1).
Sebagai payung hukum penyelenggara pendidikan tinggi
telah diterbitkan Keputusan PB Nomor: Ke-070/PB-AW/XX/
XII/2011 tanggal 19 Dzulhijjah 1432/16 Nopember 2011 tentang
Badan Hukum Penyelenggara Lembaga Pendidikan Al Jam’iyatul
Washliyah.

Panti Asuhan
Sejarah Panti Asuhan Al Washliyah dengan pembukaaan
Madrasah Anak Yatim Piatu pada tanggal 1 April 1934 bertempat
di salah satu madrasah Al Washliyah di samping Masjid Raya
Medan, di bawah pimpinan M. Nurdin.13 Setahun kemudian
barulah berdiri Panti Asuhan Al Washliyah.14
Adapun Panti Asuhan Al Washliyah yang masih berdiri
adalah sebagai berikut:

13
Nukman Sulaiman, Peringatan ¼ Abad Al Djamijatul Washlijah
(Medan: PB Al Washlijah, 1956), h. 44.
14
Ibid., h. 45; Muhammad Budi Nasution, “Kewenangan Bertindak
Pengurus dan PertanggunganJawaban Yayasan Amal Dan Sosial Al
Washliyah Jl. Ismailiyah No. 82 Medan” (Skripsi: Fakultas Hukum
UNIVA, 2005, h. 30.
122 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

No Nama Daerah Keterangan


Panti Asuhan Jl. Ismailiyah Berdiri 15
1. Medan
No.82 April 1934
Panti Asuhan Al Washliyah
Berdiri 16
2. Jl. Yos Sudarso Km. 6 Pulo Medan
Mei 1935
Brayan
Panti Asuhan Al Washliyah Berdiri tahun
3. Binjai
Jl. Srikandi Diniyah 1942
Panti Asuhan Al Washliyah Berdiri tahun
4. Medan
Kapung Lalang, Pinang Baris 1943
Panti Asuhan Al Washliyah Deli Berdiri 5 Mei
5.
Lubuk Pakam Serdang 1946
Panti Asuhan Al Washliyah Tanjung Berdiri
6.
Tanjung Balai Balai Oktober 1946
Panti Asuhan Al Arif Al Rantau
7. Berdiri
Washliyah Prapat
Panti Asuhan Al Washliyah
8. Langkat -
Tanjung Pura
Panti Asuhan Al Washliyah
9. Medan -
Gedung Johor
Panti Asuhan Al Washliyah
10. Nias -
Gunung Sitoli
Panti Asuhan Al Washliyah Banda
11. 2006
Lam Ujong Aceh
12. Panti Asuhan Tunas Bangsa Bali 2006
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 123

Bank Perkreditan Rakyat Syariah Al Washliyah


Bank Perkreditan Rakyat Syariah Al Washliyah (BPRS
Al Washliyah) digagas pendiriannya oleh Ir. H. Arifin Kamdi,
MS, saat beliau diberi amanah menjadi salah Ketua Pimpinan
Wilayah (PW) Al Washliyah Sumatera Utara periode 1992-
1997 yang membidangi Majelis Ekonomi dan Pembangunan.
BPRS Al Washliyah pertama kali berkantor di Tanjung Morawa
Deli Serdang.
BPRS Al Washliyah merupakan badan hukum yang didirikan
dengan akta notaris Chairani Bustami, SH, peresmian peng-
operasiannya dilakukan pada tanggal 8 Nopember 1994. Pada
mulanya kantor pusatnya di Jl. Perintis Kemerdekaan Tanjung
Morawa dan setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan
oleh Bank Indonesia.
Pada tanggal 28 April 2003, kantor pusatnya dizinkan
untuk pindah ke Jl. Sisingamangaraja No. 51-D, Kawasan
Simpang Limun dan diresmikan oleh Gubernur Sumatera
Utara H. T. Rizal Nurdin.15 Pada saat ini telah pindah menempati
kantor milik sendiri di Jalan Gunung Kratau No. 28 Medan.
Jumlah aset Bank Al Washliyah hingga Oktober 2003 mencapai
7,2 milliar.16 Sementara menurut Masykur pada tahun 2013,
jumlah aset Bank Al Washliyah mencapai 13 Milyar.17

15
Muhammad Hasballah Thaib dan Hamdani Khalifah, Autobiografi
Ir. H.M. Arifin Kamdi, MS (Medan: t.p., 2004), h. 78.
16
Ibid., h. 79.
17
Wawancara dengan Masykur, ST., Divisi Perkreditan Bank Al
Washliyah tanggal 27 Maret 2015.
124 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 125

REFLEKSI
85 TAHUN

125
126 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

REFLEKSI 85 TAHUN

S
ebagai generasi penerus Al Washliyah dapatlah
dipetik hikmah dari peristiwa demi peristiwa yang
telah dilalui Al Washliyah dari zaman ke zaman.
Al Washliyah adalah potensi nasional yang masih dipandang
sebelah mata oleh pemerintah, dan bahkan terkadang dianak
tirikan dibanding ormas Islam yang lahir di Jawa seperti NU
dan Muhammadiyah.
Ibarat sebuah Perseroan Terbatas, bahwa Indonesia dilahirkan
oleh andil dan saham ormas-ormas Islam yang lahir jauh
sebelum Indonesia merdeka, maka logikanya Al Washliyah
adalah salah satu pemegang saham republik ini yang tidak
boleh dinafikan keberadaannya oleh pemerintah. Pemerintah
menjadi a-historis dan mengidap amnesia.
Tetapi walaupun demikian, Al Washliyah tidaklah perlu
merengek, sebaliknya harus terus bergerak sampai bulan sabit
menjadi purnama dengan ‘amal ittifaq-nya. Semua potensi
harus digerakkan dan friksi harus diminimalkan, berjalan
seiring, bergandeng bahu menuju pantai cita-cita yang telah
disepakati.

126
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 127

Oh, Al Washliyah
Bergerak jiwaku mendengar namamu
85 tahun usia yang cukup sepuh

Al Washliyah,
Warna hijaumu buatkan hati teduh
Berjihad dengan ‘amal ittifaq berpeluh, tanpa mengeluh
Karena berharap balasan Ilahi Robbi
Yang telah dipatri melalui syahadat dan bai’ah

Bulan sabit berbintang lima


Setinggi cita-citamu dan tujuan mulia
Menunaikan ajaran Islam untuk dunia akhirat
yang telah digariskan para Assabiqûnal Awwalûn

wahai para kader,


para ulama dan ustaz telah pergi
meninggalkan monumen peradaban dari Ibtidaiyah sampai
Universiti
tugas kita merawat, menambah dan memperindah

wahai para pengurus,


organisasi adalah persekutuan cita dan cinta
bukan persekutuan kawan dan jagoan
meriah bersaing untuk meraih jabatan
tetapi sunyi dalam melawan maksiat dan kejahatan
diam di tengah desing koalisi dan korupsi
berlomba mengkoleksi harta pribadi
sementara kas organisasi masih mengemis kepada koneksi
128 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

marilah kita sejenak beristighfar


Al Washliyah adalah ladang beramal
Bukankah kita telah berikrar
Mengorbankan amwâl dan anfûs
Itulah Al Washliyah sejati
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 129

DAFTAR
PUSTAKA

129
130 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

DAFTAR PUSTAKA

“Harapan Setelah Asas itu Diterima,” dalam Obor Ummat,


Edisi 30 Nopember 1988.
“Malam di Kraton Yogya: Sri Sultan Hamengkubuwono X
Sujud Tilawah Bersama Ribuan Jamaah,” dalam Harian
Jayakarta, 5 Mei 1989.
“Membuka Lahan Baru Al Washliyah Kulonuwon Masuk Yogya,”
dalam Harian Jayakarta, 5 Mei 1989.
“Ulama Punya Tugas Rangkap: Mendidik Masyarakat dan
Mengajak Membangun Negara,” dalam Harian Mercu
Suar, 13 Desember 1976.
A. Basit Adnan, Ada Apa di PPP Disertai Rekaman Hasil Tiga
Kali Pemilu dan Masalah Politik yang Meliputnya (Solo:
Mayasari, 1982).
Abd. Rahman Dahlan, “Independensi Al Washliyah,” dalam
Ismed Batubara dan Ja’far (ed.), Bunga Rampai Al Jam’iyatul
Washliyah (Banda Aceh: Al Washliyah Universitas Press,
2010).
Abdurrahman Sjihab, “Memperingati Al Djami’ijatul Waslijah
21 Tahun 30 Nopember 1930-30 November 1951,” dalam
H.M. Husein Abd. Karim, 21 Tahun Al Dj. Washlijah
(Medan: Pustaka Al Washlijah, 1951).
Agus Mulyana, et al., Pendidikan Ahlussunnah Waljamaah dan
Ke-NU-an (Tangerang: Jelajah Bangsa, 2011).
130
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 131

Ahmad Fuad Said, Peranan Ulama dalam Merebut & Mengisi


Kemeredekaan RI (Medan: Pustaka Babussalam, 1998).
Al Rasyidin, “Dinamika Historis Al Ittihadiyah,” dalam Anzizhan
& Syafaruddin (ed.), Al Ittihadiyah Menjalin Kebersamaan
Membangun Bangsa (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2006).
Al Rasyidin, “Kondisi Sosio Politik Indonesia Menjelang Kelahiran
HIMMAH,” dalam Ja’far dan Ahmad Mushlih (ed.),
Potret HIMMAH: Menyibak Sejarah, Gerakan dan Identitas
(Banda Aceh: PeNA, 2007).
Amran Zamzani, Jihad Akbar di Medan Area (Jakarta: Bulan
Bintang, 1990).
Ansari, “Politik Kolonialisme terhadap Kristenisasi: Sikap
Al Washliyah dalam Menghadapi Arus Kristenisasi,”
dalam Jurnal Penelitian Medan Agama, Edisi No.1/Thn.1/
2002.
Bahari Emde, “Wijhah Al Washliyah,” dalam Ismed Batubara
dan Ja’far (ed.), Bunga Rampai Al Jam’iyatul Washliyah
(Banda Aceh: Al Washliyah Universitas Press, 2010).
Bahrum Djamil, “Menyongsong Muktamar Al Washliyah
Ke-XVI di Ibu Kota Indonesia,” dalam Mimbar Umum,
14 Agustus 1985.
Bahrum Djamil, SH., Batu Demi Batu di Bawah Panas yang
Terik UISU Kami Dirikan (Medan: Ma’had Muallimin
Al Washliyah UISU, 1992).
Chalidjah Hasanuddin, Al Jam’iyatul Washliyah 1930-1942
Api dalam Sekam (Bandung: Pustaka, 1988).
132 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

Darmansyah Hasibuan, “Pengaruh Teori Resepsi dalam Penerapan


Hukum Islam di Indonesia,” Jurnal Mimbar Hukum,
No. 64 Thn.XV 2004.
Dja’far Siddik, Rosnita, & Ja’far, Lembaga-lembaga Pendidikan
Al Washliyah di Sumatera Utara 2000-2010 (Medan:
Lembaga Penelitian IAIN Sumatera Utara, 2011).
Fajar Hasan Mursyid, Syeikh Muhammad Arsyad Thalib Lubis
dan Peranannya dalam Menghadapi Gerakan Kristenisasi
di Sumatera Utara (Bangi: Universitas Kebangsaan Malaysia,
2008).
Ismed Batubara dan Ja’far (ed.), Bunga Rampai Al Jam’iyatul
Washliyah (Banda Aceh: Al Washliyah Universitas Press,
2010).
Ismed Batubara, “Al Washliyah: Republiken Sejati (Sepercik
Catatan tentang Nasionalisme),” makalah disampaikan
dalam seminar sehari menyongsong HUT Al Washliyah
ke-81 tanggal 21 November 2011 di Aula UNIVA Medan.
Ismed Batubara, “Gerakan Pemuda Al Washliyah dalam Bingkai
Historis (1941-2008),” dalam Ismed Batubara dan Ja’far
(ed.), Bunga Rampai Al Jam’iyatul Washliyah (Banda
Aceh: Al Washliyah Universitas Press, 2010).
Ismed Batubara, “Histori Awal HIMMAH dan Dinamikanya,”
dalam Ja’far dan Ahmad Mushlih (ed.), Potret HIMMAH:
Menyibak Sejarah, Gerakan dan Identitas (Banda Aceh:
PenA, 2007).
Ja’far, “Geliat Al Washliyah di Negeri Syariat,” dalam Ja’far
(ed.), Al Jam’iyatul Washliyah: Potret Histori, Edukasi
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 133

dan Filosofi (Medan: Perdana Publishing dan Centre


for Al Washliyah Studies, 2011).
Karel A. Steenbrink, “Kata Pengantar,” dalam Chalidjah Hasanuddin,
Al Jam’iyatul Washliyah 1930-1942: Api dalam Sekam
di Sumatera Timur (Bandung: Pustaka, 1988).
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah : Pendidikan
Islam dalam Kurun Modern (Jakarta: LP3ES, 1986).
Keputusan Muktamar Al Washliyah ke-XIV tanggal 16-20
Juli 1973 di Medan.
Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundingan Tahun
1958 Djilid III Sidang ke II Rapat ke 12 sampai ke 25
(Bandung: Masa Baru, 1958).
Laporan Pertanggungjawaban PB Al Washliyah Masa Bakti
1992-1997.
Laporan Pertanggungjawaban PB Al Washliyah Periode 1986-
1992.
Laporan Pertanggungjawaban PB Al Washliyah Periode Muktamar
XIX tanggal 23-25 April 2010.
M. Amin, “H. Abdul Majid Siradj, MA: Ketua Pengadilan
Tinggi Agama Kelima Tahun 1977-1980,” dalam Team
Penyusun PTA Medan, Ulama di Mata Ummat, Hakim
di Mata Hukum (Sebuah Kenangan Ketika Ulama Memimpin
Pengadilan) (Medan: PT. Bank Sumut, 2011)
Muaz Tanjung, “Pendidikan Islam di Medan pada Awal Abad
ke-20 : Studi Historis tentang Maktab Islamiyah Tapanuli
(1918-1942)” (Medan : IAIN Press, 2012).
134 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

Muhammad Arsyad Thalib Lubis, “Pendirian Al Djamijatul


Washlijah,” dalam Nukman Sulaiman (ed.), Peringatan
¼ Abad Al Djamijatul Washlijah (Medan: Pengurus Besar
Al Washlijah, 1956).
Muhammad Budi Nasution, “Kewenangan Bertindak Pengurus
dan PertanggunganJawaban Yayasan Amal dan Sosial
Al Washliyah Jl. Ismailiyah No. 82” (Medan: Skripsi
Fakultas Hukum UNIVA, 2005).
Muhammad Hasballah Thaib dan Hamdani Khalifah, Autobiografi
Ir. H.M. Arifin Kamdi, MS (Medan: t.p., 2004).
Muhammad Hasballah Thaib dan Zamakhsyari (ed.), Syeikh
H. M. Arsyad Thalib Lubis Pemikiran dan Karya Mounumental
(Medan: Perdana Publisihing, 2012).
Muhammad Hasballah Thaib dan Zamakhsyari Hasballah
(ed.), Mengenal Almarhum Al-Fadhil Adnan Lubis Kader
Nadwatul Ulama India (Medan: Perdana Publisihing,
2012).
Muhammad Hasballah Thaib, Universitas Al Washliyah Medan
Lembaga Pengkaderan Ulama (Medan: UNIVA, 1993).
Muhammad Idris, “Al Washliyah Memberantas Keterbelangan
Ummat,” dalam Obor Ummat Edisi 30 Nopember 1988.
Muhammad Nizar Syarif, “Melirik HIMMAH Tahun 1970-
an Ditinjau dari Sudut Dakwah Islam,” dalam Ja’far dan
Ahmad Mushlih (ed.), Potret HIMMAH: Sejarah, Gerakan
dan Identitas (Banda Aceh: PeNA, 2005).
Muhammad Ridwan Ibrahim Lubis, HIMMAH Sadar Ilmiyah
Sadar Amaliyah (Jakarta: PP HIMMAH, 1990).
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 135

Muhammad Ridwan Ibrahim Lubis, Kepribadian Anggota dan


Pengurus Al Washliyah (Jakarta: PP HIMMAH, 1994).
Muhammad Zein Hasan, Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar
Negeri (Jakarta: Bulan Bintang, 1980).
Nukman Sulaiman (ed.), Peringatan ¼ abad Al Djamijatul
Washliyah (Medan: Pengurus Besar Al Washliyah, 1956).
Nukman Sulaiman (ed.), Lustrum VI UNIVA 1958-1988 (Medan:
UNIVA, 1988).
Pengurus Besar Al Washliyah, Anggaran Dasar dan Rumah
Tangga Jam’iyatul Washliyah (Jakarta: PB Al-Washliyah,
2010).
Pengurus Besar Al Washliyah, Sekilas Catatan Muktamar Al
Washliyah ke XVIII yang Penuh Kasih Sayang (Jakarta:
PB Al Washliyah, 1997).
Pengurus Besar Al Waslijah, Buku Kumpulan Muktamar XI-
XII Al-Washlijah di Langsa Atjeh Timur 30 November-4
Desember 1962 (Medan: Budi Luhur, 1962).
Pidato Ulang Tahun ke-54 Al Washliyah, Peningkatan Iman
dan Kewaspadaan (Medan: Pengurus Besar Al Washliyah,
1984).
Profil UNIVA 2010
R. Syahnan, Dari Medan Area ke Pedalaman dan Kembali ke
Kota Medan (Medan: Dinas Sejarah Kodam 11/BB, 1982).
Syamsuddin Ali Nasution, Al-Jamiyah Al Washliyah dan Peranannya
dalam Dakwah Islamiyah di Indonesia (Kuala Lumpur:
Universiti Malaya, 2000).
136 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

Syamsul Bahri, Penumpasan G. 30 September/PKI di Sumatera


Utara (Medan: Yayasan Pembaharuan Pemuda Indo-
nesia, 1992).
T. Lukman Sinar, “Peristiwa-peristiwa di Awal Proklamasi
Kemerdekaan yang Terjadi di Medan,” dalam Harian
Analisa, 15 Agustus 2006.
Tengku Lukman Sinar, “Peranan Ulama dalam Perjuangan
Kemerdekaan Sebelum Proklamasi,” disampaikan pada
Seminar Ulama, Koperasi dan Pengusaha Muslim oleh
Panitia Pekan Budaya Islam Masjid Agung di Gedung
Serba Guna Kanwil Depdikbud Sumatera, Sabtu, 2 September
1995
T.W. Arnold, The Preaching of Islam: A History of The Propogation
of the Muslim Faith (London: Constable & Company,
1913).
Usman Pasaribu, “Kenangan dari Bandung,” dalam H. Bahrum
Djamil, SH, Batu Demi Batu di Bawah Panas yang Terik
UISU Kami Dirikan (Medan: Ma’had Muallimin Al Washliyah
UISU, 1992).
Usman Pelly, “Pasang Surut Tokoh-tokoh Al Washliyah”, dalam
Waspada, 27 Desember, 2010.
Usman Pelly, Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya
Minangkabau dan Mandailing (Jakarta: LP3ES, 1994).
Wara Sinuhaji, “Patologi Sebuah Revolusi: Catatan Anthony
Reid tentang Revolusi Sosial di Sumatera Timur, Maret
1946 ,” dalam Historisme, Edisi No.23/Tahun XI/Januari
2007.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 137

BIODATA PENULIS

Ismed Batubara, lahir tanggal 30 Mei


1969 di Hutapadang, Kecamatan Sipirok,
Tapanuli Selatan. Pendidikan formalnya
dimulai di SD Negeri 122339 Pematang
Siantar (1976-1982), Ibtidaiyah Al Hidayah
Pematang Siantar (1980-1983), SMP Negeri
4 (1982-1985), SMA Negeri 2 Pematang
Siantar (1985-1988), Fakultas Sastra USU
Jurusan D-III Pariwisata (1988-1992), S1 Fakultas Hukum
UNIVA (1998-2001), dan Program Pascasarjana Magister
Hukum Bisnis UMA (2005-2007). Sejak 2004 mengajar di
Fakultas Hukum UNIVA sampai saat ini diberi amanah menjabat
Dekan Fakultas Hukum UNIVA periode 2014-2018. Aktivitasnya
di Al Washliyah sejak 1989 adalah pernah menjadi Ketua
Umum Pimpinan Komisariat HIMMAH Universitas Sumatera
Utara (1991-1992), Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Gerakan
Pemuda Al Washliyah (GPA) Sumatera Utara (2001-2005),
dan Wakil Ketua Majelis Kader Pengurus Besar Al Washliyah
(2010-2015). Mengasuh mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan,
Hukum Dagang, Hukum Investasi, Hukum Ekonomi Islam,
Hukum Perusahaan dan Metode Penelitian Hukum dan Ke-
Al Washliyah-an. Dalam dunia akademik, telah menulis buku
Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi (Bandung:
Citapustaka Media, 2010) bersama Amran Basri dan Ja’far;

137
138 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

editor dan kontributor dalam buku Bunga Rampai Al Jam’iyatul


Washliyah (Banda Aceh: Al Washliyah University Press, 2010);
kontributor dalam buku Potret HIMMAH: Sejarah, Gerakan
dan Identitas (Banda Aceh: PeNA, 2007), kontributor dalam
Al Jam’iyatul Washliyah: Potret Histori, Edukasi dan Filosofi
(Medan: Perdana Publishing, 2011); kontributor dalam buku
Syeikh H.M. Arsyad Thalib Lubis dan Karya Monumentalnya
(2011); Al Fadhil H. Adnan Lubis Kader Ulama Lucknow In-
dia (2012); Bersama Ustadz Prof. Drs. H. Nukman Sulaiman
(2012); Prof. Dr. M. Hasballah Thaib, MA: Pemikiran dan Sikap
dalam Berbagai pemikiran(2013); 56 Tahun UNIVA Medan
(2014), Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi (Bandung:
Citapustaka, 2014) bersama Nelvitia Purba dan Chadijah;
kontributor dalam buku Anak Desa Tak Bertuan Jadi Profesor:
Kisah Nyata 60 Tahun Kehidupan Prof. Dr. Drs. Ramli Abdul
Wahid, Lc., MA (2014), dan In Memorium H. Bahrum Djamil,
SH (2014). Menjadi pembicara/Pemakalah dalam Sosialisasi
Sapta Pesona dan Mitra Pariwisata oleh Dinas Kebudayaan
Pariwisata Kota Medan 2011 dan 2012. Pemakalah dalam seminar
HUT Al Washliyah ke-81, dengan makalah berjudul Al Washliyah:
Republiken Sejati (Sepercik Gagasan tentang Nasionalisme)
tanggal 21 November 2011 di UNIVA. Pernah studi Banding
Pemuda Serumpun di Penang (2010). Pembicara pada kegiatan
Pemantapan Wawasan Ke-Al Washliyahan bagi Dosen oleh Majelis
Pendidikan PB Al Washliyah dan Majelis Kader dan Konsolidasi
PW Al Washliyah tanggal 8-10 Februari 2013 di Al-Kamal Centre
Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang. Peserta Sosialisasi Komunitas
Asean 2015 dan Lokakarya Isu-isu Hukum di Asean untuk
Dosen Hukum Se-Sumatera di Padang, 5-6 Sepember 2014.
Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman 139
140 Dinamika Pergerakan Al Washliyah dari Zaman ke Zaman

Anda mungkin juga menyukai