Anda di halaman 1dari 19

MEMBACA HAMKA SEBAGAI WAKIL ZAMAN DAN BUDAYA:

KAJIAN HISTORIOGRAFI*

Oleh
Nopriyasman**

A. Pengantar
Sejarah sebagaimana yang dilukiskan memuat interpretasi penulis di
dalamnya. Dalam membuat interpretasi, penulis sejarah sering berselisih pendapat,
kadang kala bertolak belakang satu sama lain. Kondisi itu tidak saja dialami manusia
masa kini, jauh di kelampauan perbedaan pandangan itu punya warna sendiri, yang di
samping melahirkan kontroversi, tetapi sekaligus juga menjadi satu kesatuan
pandangan. Adalah wajar semua itu terjadi, karena objek sejarah itu manusia,
sedangkan yang dilukiskan juga “aksi” manusia. Perbedaan dan persamaan
interpretasi, terkait dengan pikiran dan hal-hal dari lubuk hati sang penulis, ada
perasaan takut, ada keberanian, ada suka, dan ada pula kebencian. Hal-hal di sekitar
diri itulah yang menjadi penyebab utama lahirnya selisih paham dan beragam
pendapat. Secara keilmuan, sejarah bersifat terbuka untuk secara terus menerus
ditinjau ulang atau diberi interpretasi baru, sehingga penulisan sejarah berkembang
pula sejalan dengan perkembangan keilmuan, pengetahuan dan metodologi sejarah
dari masa ke masa.
Penafsiran sejarah setiap masa itu dapat ditemukan dalam buku-buku atau
tulisan-tulisan yang lahir sejak dahulu hingga dewasa ini. Sejarah yang diceritakan
sebagai hiburan, dan pelipur lara yang berkembang pada masyarakat bersahaja, atau
sejarah demi penguatan kekuasaan istana atau penjajah, dan sejarah yang ditulis

*
Makalah ini disampaikan dalam “Seminar Seabad Hamka”, yang diselenggarakan oleh
Fakultas Sastra Universitas Andalas bekerjasama dengan Revolt Institute, di Gedung Seminar Museum
Adityawarman, Padang, pada tanggal 16 Pebruari 2008
**
Penulis adalah staf pengajar Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang.
2

untuk kepentingan nasional terus dikritisi ulang. Alhasil sejarah semakin mantap dan
karyanya memasuki prinsip kelogisan dan dapat diuji kebenarannya.
Kemudian yang melingkupi para penutur dan penulis sejarah telah pula
melahirkan “cap baik” dan “cap buruk” bagi seorang atau kelompok sosial yang
diangkatnya ke panggung sejarah. Pelaku sejarah diberi “gelar” pahlawan atau
pemberontak, dan sebagainya. Dalam konteks itu dapat dipahami mengapa sejarah
Indonesia berkembang menurut “kiblatnya”. Kalangan sejarawan di Perguruan Tinggi
mengklasifikasikannya ke dalam kelompok sejarawan istana, sejarawan amatir, dan
sejarawan profesional. Hamka yang didiskusikan dalam kesempatan ini, sering
dimasukkan ke dalam klasifikasi sejarawan amatir atau sejarawan tidak resmi.1 Sidi
Gazalba malahan menyebut Hamka sebagai sejarawan, sekaligus ahli sejarah.2
Persoalan ketokohan Hamka, sudah begitu nyata dibicarakan oleh berbagai
kalangan, sekaligus menjadi petunjuk bagi kepopulerannya sebagai ahli pikir dan
penulis bidang ilmu. Berbagai gelar dilekatkan kepadanya, sebagai ulama, sastrawan,
pujangga, sejarawan, bahkan juga wartawan. Tidak ada orang yang menolak
pelekatan gelar itu, lalu apalagi ? Kiranya kelahiran tulisan ini lebih pada
mengapresiasi kearifan dan ketokohan seorang Hamka. Sebagai kajian historiografi,
sesungguhnya pembicaraan lebih khusus menyelidiki hasil penulisan sejarah dari
masa ke masa. Dari karya-karya itu, diharapkan terlihat salah satu pola, genre (jenis)
maupun aliran penulisan yang berkembang dan dikembangkan para penulisnya, tidak
terkecuali Hamka.

B. Hamka dan Budaya Menulis Orang Minang


“Dunia sejarah” orang Minangkabau sejak tahun-tahun pertama penyebaran
Islam di Sumatera Barat diwarnai oleh penulisan karya-karya sastra klasik, seperti

1
Mestika Zed menyebut Hamka sebagai sejarawan otodidak. Lihat Mestika Zed, “Hamka dan
Studi Islam di Indonesia”, dalam Historia, Jurnal Pendidikan Sejarah. No.3, Vol II (Bandung; FPIPS-
Univdersitas Pendidikan Indonesia, Juni 2001), hal. 3.
2
Sidi Gazalba, “Beberapa Peristiwa Bersama Hamka”, dalam Kenangan 70 Tahun Buya
Hamka (Jakarta; Panjimas, 1983), hal. 343
3

tambo, hikayat, kaba, atau pun buku undang-undang Minangkabau.3 Hal itu berarti
budaya lisan dengan kemampuan oral sebagai penyampai pengetahuan semakin kuat
dengan lahirnya budaya tulisan dengan kemampuan “mata pena” untuk proses
internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai bagi masyarakat. Keberlanjutan budaya
memungkinkan orang Minangkabau mempertahankan dan mengenal baik kisah-kisah
kehidupan nenek moyang, dan peristiwa yang mengitari sejarah masa lampau
negerinya. Mulai dari asal usul nenek moyang, nagari, adat, hingga peristiwa-
peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat, seperti gunung meletus, air bah, dan
bencana alam lainnya.
Sebelum kedatangan Islam, dan dimulainya tradisi menulis (Arab-Melayu),
pengetahuan kesejarahan berwaris secara kaba atau berkabar, manjawek warih,
mandanga tutua (menyambut waris, mendengar tutur). Pada masa ini lazim juga
disebut masyarakat tradisional, ukuran kebenaran berdasarkan emosi kepercayaan,
cendrung mitos yang menyembunyikan artinya dibalik citra dan simbol-simbol. 4 Para
tokoh Islamlah yang setahap demi setahap merubah kondisi dari tidak pandai tulis
baca kepada pandai tulis baca. Pengetahuan sejarah masyarakat itu pun diwujudkan
dalam bentuk tertulis, yang diberi warna Islam di sana sininya. Dapat dipahami,
mengapa dalam cerita Tambo, sebagai produk historiografi tradisional Minangkabau,
warna Islam itu pun terdapat di dalamnya. Meskipun belum bisa disebut sebagai
sejarah dari sudut moderen, namun kisah yang termuat di dalam tambo sesungguhnya
memperlihatkan realitas kehidupan alam Minangkabau. Produk historiografi
tradisional, seperti tambo, babad, dan lainnya memang memuat berbagai persoalan
seperti struktur birokrasi, wilayah, hubungan pusat dengan daerah, perkawinan
politik, dan sebagainya.5 Inti ceritanya relatif sama, sehingga fakta sejarah orang
Minangkabau yang unik terus tetap terjaga di benak generasi turunannya.
3
Edwar Djamaris, et.al., Nila Budaya Dalam Beberapa Karya Sastra Nusantara: Sastra
Daerah di Nusantara (Jakarta; PPPB-Depdikbud., 1993), hal. 21-23
4
Erns Cassirer, Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia (Jakarta; Gramedia,
1990), hal. 108
5
F.A. Sutjipto, “Struktur Poitik dalam Historiografi Tradisioal”, dalam Majalah Analisis
Kebudayaan. No. 7. Tahun 11 (Jakarta; Depdikbud., 1981/1982), hal. 55-66
4

Sebagai anak Minang, kondisi itu mengitari kehidupan Hamka. Tatkala ia


lahir pada awal abad 20, orang-orang Islam dari Minangkabau sudah banyak yang
kembali dari dunia Arab (Mekah dan Mesir). Mereka pada umumnya masih muda-
muda, seperti Syekh Abdullah Ahmad, Syekh Muhammad Djamil Djambek dan
Syekh Haji Abdul Karim Amrullah. Hamka adalah anak dari Syekh Haji Abdul Karim
Amrullah dengan Siti Safiyah. Nama lengkap HAMKA adalah Haji Abdul Malik
Karim Amrullah, dengan panggilan masa kecil, Abdul Malik. Hamka dilahirkan di
daerah tepian Maninjau, Sungai Batang, pada tanggal 16 Pebruari 1908.
Pada awal abad ke-20 itu, terjadi perubahan dalam pemikiran dan ide-ide
masyarakat Minangkabau. Pemakaian huruf Arab-Melayu dan Bahasa Melayu sudah
demikian luas di tengah masyarakat, karena didukung oleh makin menyebarnya dunia
cetak (seperti surat kabar, majalah, brosur, dan buku).6 Majalah yang sempat menjadi
corong pembahasan masalah keagamaan, artikel, biografi, kejadian-kejadian penting
adalah Al-Iman (1906) dan Al-Munir (1911). Begitu pula lembaga pendidikan dan
tabligh telah menjadi alat utama menyampaikan pikiran, gagasan, harapan, renungan
dan cita-cita sosial keagamaan Islam.7 Dalam suasana zaman perubahan orientasi
anak muda tersebut, Hamka mulai memasuki pendidikan dasar. Di samping Sekolah
Desa, Hamka belajar agama di surau atau lembaga pendidikan tradisional
Minangkabau, seperti Sekolah Diniyah Padang Panjang, dan Thawalib School (nama
baru dari Surau Jembatan Besi), sehingga Hamka tercatat sebagai murid dari Syekh
Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid, dan Zainuddin Labay El Yunus.
Para guru Hamka itu pun menginginkan pembaharuan terhadap keadaan sosial
masyarakat Minangkabau.
Kondisi demikian, memungkinkan Hamka sejak usia dini dan remaja
mengenal sangat mendalam “sepak terjang” para pejuang-pejuang reformasi Islam,

6
Nopriyasman, “Pola Penerimaan Islam di Minangkabau, Sumatera Barat Sebelum Era
Kemerdekaan”, dalam Historia, Jurnal Pendidikan Sejarah. No. 8, Vol. IV (Bandung; FPIPS-
Univdersitas Pendidikan Indonesia, Desember 2003), hal. 122-123
7
Ibid., hal. 123. Taufik Abdullah, “Pemikiran Islam di Nusantara dalam Persfektif Sejarah:
Sebuah Sketsa”, dalam Majalah Prisma. No. 3 (Jakarta; LP3ES, Maret 1991), hal. 24
5

dan sebaliknya para “penggangu” Islam, misalnya adanya kebijaksanaan Belanda


yang membatasi gerak kemajuan Islam. Sebuah bukti sejarah pula berjalannya proses
sosialisasi wacana keagamaan di tengah kehidupan masyarakat secara luas.
Kombinasi warisan sastra klasik dengan sejarah pergerakan Islam, akhirnya
menjadi dasar bagi Hamka untuk menganalisis persoalan-persoalan kemasyarakatan
di kemudian harinya. Begitu pula peran sosial dan harapan-harapan ayahnya,
kampung halaman, dan assimilasi Adat-Islam membentuk pribadi “seorang Hamka”.
Di samping itu, budaya merantau menjadi pelengkap munculnya pikiran komplit
Hamka. Bagi anak laki-laki Minangkabau, merantau adalah proses menentukan bagi
jati diri menjadi anak berguna di tengah masyarakat. “Karatau madang di hulu,
babuah babungo balun, merantau bujang dahulu, di rumah baguno balun”.
Dalam perantauan pertama ke Jawa tahun 1925, Hamka melihat ada
perbedaan missi pembaharuan Islam di Jawa dan di Minangkabau. Kalau di
Minangkabau ditujukan pada pemurnian ajaran Islam dari praktek yang dianggap
salah, misalnya tarikat, taqlid, khirafat, dan lain-lain, maka di Jawa lebih berorientasi
kepada usaha untuk memerangi keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan.
Beberapa pemikiran tokoh pergerakan nasional, seperti H.O.S. Cokroaminoto, Haji
Agus Salim, Haji Fachruddin, dan A.R. St. Mansyur dicernanya dengan baik. Hamka
juga sempat mengikuti pendidikan kader organisasi Muhammadiyah dan Sarikat
Islam di Yokyakarta dan Pekalongan.8 Hamka kemudian meluaskan pandangannya
pada persoalan gangguan terhadap kemajuan Islam, seperti kristenisasi dan
komunisme.
Hamka bersetuju dengan pemikiran tokoh pergerakan tersebut untuk terlebih
dahulu mendobrak “kebodohan”, dan mengikat persatuan bangsa dalam “bingkai
Islam”. Masyarakat non-muslim tetap terakomodasi dalam konsep persaudaraan
Islam. Cara bagi pencerahan itu adalah seperti yang telah dilakukan oleh para tokoh-
tokoh sejarah atau para hero dan peristiwa-peristiwa sejarah. Setelah Hamka menjadi
8
Deliar Noer, “Yamin dan Hamka, Dua Jalan Menuju Identitas Indonesia”, dalam Anthony
Reid dan David Marr, Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka, Indonesia dan Masa Lalunya (Jakarta;
Grafitipers, 1983), hal. 43
6

Haji pada tahun 1927,9 dan memasuki masa berkeluarga pada tahun 1929,10 maka
ketokohan Hamka semakin dikenal masyarakat. Tidak saja sebagai ulama, Hamka
pun berkecimpung di dunia sastra. Karya awalnya di bidang ini tercatat misalnya Si
Sabariah dan Laila Majnun.11 Sementara itu, minatnya kepada sejarah dan penulisan
sejarah mulai diaplikasikannya dengan mengumpulkan bahan sumber. Dari
pengalaman dan pembacaan pengumpulan catatan sejarah itu pula, Hamka mampu
melakukan kritikan terhadap para penulis sejarah atau sejarawan kolonial, kekuatan
dan kelemahan mereka sekaligus pada masa-masa selanjutnya.
Pada tahun 1936 hingga masa pendudukan Jepang, Hamka menapak karir di
rantau Medan, memimpin majalah mingguan Islam, Pedoman Masyarakat. Daerah
Medan menjadi tempat mengasah ide dan bakat kewartawanannya. Sejumlah
romannya, antara lain Tenggelamnya Kapal van der Wijk (1938), Di Bawah
Lindungan Ka’bah (1938), Di Dalam Lembah Kehidupan, Merantau ke Deli (1940)
dan Dijemput Mamak membuat Hamka kesohor, dan memperlaris majalah
pimpinannya itu.12 Karya-karya roman itu mendobrak kekangan adat dan mentalitas
sosial yang tidak sesuai dengan semangat pembaharuan. “Hampir dalam setiap
roman-roman Hamka … tema sentralnya ialah semangat pembaharuan Islam dan
kecaman terhadap tradisi adat yang menentang arus pembaharuan itu, serta pengaruh

9
Hamka berkelana ke Mekkah pada bulan Pebruari 1927 dan bermukim di sana sekitar enam
bulan, sambil bekerja di sebuah percetakan. Menurut Hamka, sejak kepulangannya menunaikan rukun
Islam kelima itulah ia merasa kemesraan dan kasih sayang ayahnya.
10
Hamka yang masih dipanggil Haji Abdul Malik menikah dengan Siti Raham, putri dari
Endah Sutan, pada tanggal 5 April 1929. Usia Hamka pada waktu itu 21 tahun, sedangkan Siti Raham
baru 15 tahun. Dari Siti Raham, lazim dipanggil Ummi, Hamka memperoleh dua belas orang anak.
Pada bulan Agustus 1973, satu setengah tahun setelah meninggalnya Ummi Siti Raham (1 Januari
1972) Hamka menikahi Hajjah Siti Chadijjah hasil pencarian anak-anaknya, Bonus Femina, Buya
Hamka (Sebuah Perjalanan yang Selesai), Bonus F.19/XV-14 Mei 1987, hal. 4-5
11
Hamka, Kenang-Kenangan Hidup (Jakarta; Bulan Bintang, 1981)
12
“Buya Menulis dengan Cinta”, dalam Republika, 2 Maret 2002, hal. 18 Disebutkan bahwa
roman Hamka mendapat sambutan besar, namun juga mendapat tantangan. Dari kalangan pembaca
muslim, kritikan terutama penulisan Hamka tentang persoalan cinta, sekaligus bernafaskan Islam.
Hamka sempat digelari “kiai cabu”. Pada tahun 1960-an, tantangan besar ditunjukkan oleh tokoh-
tokoh Lekra dan organisasi underbouw Partai Komunis Indonesia (PKI). Hamka malah dituduh
sebagai plagiat dari pengarang Mesir Musthafa Luthfi Al-Manfaluthi.
7

negatif kebudayaan Barat”.13 Hamka memang ingin mewujudkan cita-cita Islamnya,


yaitu suatu perubahan sosial yang menuju terwujudnya masyarakat Islam dan
generasi berkepribadian muslim.14 Hamka berusaha menghapus segala bentuk bid’ah
(penghinaan) yang bersifat merendahkan agama dan martabat manusia. Dengan
demikian, karya-karya Hamka pada tahun-tahun perantauan di Medan, lebih
berwujud sastra, atau novel bergaya Islami.
Ketika Indonesia, khususnya Sumatera Barat berada pada masa revolusi
(1945-1949), Hamka menulis buku Revolusi Pikiran; Revolusi Agama; Adat
Minangkabau Menghadapi Revolusi dan Dari Lembah Cita-cita. Rupanya, “lain
zaman, lain pula kondisi”. Hamka dapat membaca setiap perubahan zaman tersebut.
Dengan memanfaatkan “aura revolusi”, saat mana intensitas partisipasi sosial sangat
tinggi, maka Hamka mengajak masyarakat, khususnya Minangkabau untuk “cepat
berubah”. Perjuangan fisik penting, tetapi yang tak kala pentingnya adalah berjuang
terhadap belenggu-belenggu pikiran kolot, yang tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman, kebiasaan-kebiasaan yang tidak sesuai dengan agama dan
membangun citra sebagai muslim. Sampai saat revolusi itu, berarti telah terjadi pula
perubahan mencolok dalam bersikap dan memerangi “keterbelakangan”. Tampaknya
Hamka ingin segera menuntaskan missi pembaharuan Minangkabau, yang telah
berjalan cukup lama. Hamka semakin tegas dan keras. Salah satu karyanya, Adat
Minangkabau Menghadapi Revolusi, sempat menjadi pembicaraan hangat dan
mendapat “tantangan” dari masyarakat, khususnya kaum adat dan dianggap Hamka
seolah-olah anti adat Minangkabau. Perdebatan itu dapat dimengerti, karena Hamka
mencoba mendobrak melalui bukunya ini sisi-sisi sejarah lokal yang selama ini masih
bersifat sensitif untuk dibicarakan, misalnya terhadap praktek-praktek adat yang tidak
sesuai lagi dengan perubahan zaman. Dia mengkritisi adat yang tidak memberi

13
H. Rusjdi, “Hamka dan Pers Islam Dalam Perjuangan Tajdid”, dalam Panji Masyarakat. No.
403 (Jakarta; Agustus 1983), hal. 37
14
Mansyur Suryanegara, “Prof. Dr. Hamka: Sejarawan dan Pelaku Sejarah”, dalam PPB 70
Tahun Hamka, Op.cit., hal. 218
8

tempat bagi hak pribadi seorang laki-laki.15 Buku ini dianggap menjadi tonggak
kritisasi Hamka tentang sejarah dan penulisan sejarah.

C. Hamka dan Penulisan Sejarah (Muslim)


Ketika Hamka berminat kepada sejarah, setidaknya sejak tahun 1939, saat
mana ia mulai mencari dan mengumpulkan bahan sumber bagi bukunya, Sejarah
Ummat Islam, penulisan sejarah tidaklah dominasi “pekerjaan” akademis saja.
Pemerintah ikut mengambil peran sebagai penentu dan pemberi arah serta corak
penulisan sejarah. Pemerintah kolonial Belanda sejak menanamkan kuku
kekuasaannya di nusantara menjadikan sejarah Hindia Belanda sebagai sejarah
“orang Belanda” yang berjasa untuk tegaknya hegemoni Belanda. Sejarawan kolonial
melahirkan historiografi yang memperlihatkan kenangan bangsanya di panggung
sejarah untuk mendapat tempat di dalam humanitas Indonesia.
“Yang mereka banggakan ialah kemenangan mereka dan kekalahan nenek
moyang kita, kepintaran mereka dan kebebalan nenek moyang kita, … Dan
kadang-kadang terselip jugalah rasa kebencian orang Belanda Kristen kepada
suku-suku bangsa Indonesia Islam. Sedang saya adalah seorang Muslim
Indonesia”, kata Hamka.16

Bentuk sejarah kolonial adalah potensialitas yang berada dalam naungan Pax-
Nedherlandica. Di satu sisi dari sudut bangsa yang dijajah, Indonesia, justru menjadi
jauh dari realitasnya sendiri. Fundamen kebesaran pribumi “terketepikan”. Dari
kondisi semacam itu mentalitas bangsa Indonesia masa kolonial terbentuk.
Keadaan masyarakat bangsa “dalam peminggiran peran” itu memberi
semacam kewajaran, mengapa masih sedikitnya para tokoh yang menyadari bahwa
sesungguhnya “dari sejarah kita bangkit dan melalui sejarah kita terbentuk”. Hamka
adalah satu dari sejumlah yang sedikit itu, yang punya kemauan untuk memahami diri
atas dasar pandangan universal tentang sejarah. Hamka mungkin bisa sebagai contoh

15
Hamka, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi (Jakarta; Firma Tekad, 1963), hal. 12
16
Hamka, Dari Perbendaharaan Lama (Jakarta; Pustaka Panjimas, 1982), hal. ix
9

bahwa dengan aktifitas kefilsafatan mencari fundamen kebangsaan. Melalui visi


kefilsafatan, Hamka melihat ke masa depan dengan penuh optimistis dan dorongan
semangat yang tinggi. Oleh karena objek sejarah itu manusia, dan yang menulis juga
manusia, maka bagi Hamka sejarah yang dituliskannya pun berada dalam batasan dan
rumusan tertentu sebagai tempat berpijak. Dengan pasti Hamka menulis masalah-
masalah fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari sana tampak,
Hamka mengikuti jejak Ibnu Khaldun, seorang sejarawan agung dunia Islam, yang
memberi batasan bahwa “sejarah ialah menunjuk kepada peristiwa-peristiwa
istimewa atau penting pada waktu atau ras tertentu”. 17 Ibnu Khaldun adalah termasuk
salah seorang guru otodidak Hamka dari banyak tokoh yang dicerna pemikirannya.
Menulis sejarah bagi Hamka merupakan usaha memenuhi dorongan hati dan
motif generasi semasa, atau sejarah mentalitas yang bertujuan untuk teladan terhadap
berbagai peristiwa sejarah yang dipaparkan. Pertama, ibarat meninggalkan warisan
masa lalu, yang perlu diinformasikan dari generasi ke generasi karena memuat
berbagai kebaikan di dalamnya. Kedua, untuk membangkitkan kesadaran sejarah dan
makna eksistensi sebagai “makhluk sejarah”. Ketiga, mempedomani pengalaman
pelaku sejarah sebagai pembelajaran sesuai dengan jiwa dan semangat zaman. Atas
dasar itu pula, Hamka mencoba bertindak jujur dan bukan atas kepalsuan. Dengan
demikian, Hamka menjadi hati-hati dan sadar betul bahwa menjelaskan sejarah secara
benar dan utuh adalah suatu kewajiban mulia. Dari situ pulalah, sedapatnya Hamka
menjelaskan tentang bagaimana dia menulis dan memberlakukan sumber-sumber
sejarah. Hamka mengatakan,
“bahwa buku-buku yang saya baca … adalah buku-buku yang mereka baca
juga. Perbedaannya hanya sedikit, yaitu bahwa saya melihat apa yang tidak
mereka lihat. Saya pun membaca buku-buku catatan sarjana sejarah Belanda,

17
Nourouzzaman Shiddiqi, Menguak Sejarah Muslim, Suatu Kritik Metodologis (Yogyakarta;
PLP2M, 1983), hal. 10. Tentang Ibn Khaldun, lihat Muhd. Yusof Ibrahim dan Mahayudin Haji Yahaya,
Sejarawan dan Pensejarahan, Ketokohan dan Karya (Kuala Lumpur; Dewan Bahasa dan Pustaka,
Kementrian Pendidikan Malaysia, 1988), hal. 177-190
10

namun … ternyata pula bahwa merekapun kadang-kadang tidak melihat apa


yang saya lihat”.18

Keterlatihan Hamka menganalisa dan merangkai suatu peristiwa dengan


peristiwa lainya sebenarnya tidak tiba-tiba. Lingkungan sosial budaya Hamka sarat
dengan cerita-cerita kontemporer atau peristiwa-peristiwa politik. Dunia sastra yang
mengitari diri Hamka memperkuat imajinasinya, sehingga ia mampu menggambarkan
kondisi lingkungan dengan baik. Sebagai seorang Islam, Hamka mampu menyeleksi
dan mengambil apa yang dianggapnya paling bermakna untuk dijadikan “rentang
sejarah”. “Hamka lebih menekankan kepada peran pahlawan dan sultan bangun
tenggelamnya kerajaan Islam di kepulauan nusantara ini. Dengan itu, maka bagi
Hamka sejarah adalah sejarah pahlawan dan dinasti”.19
Dalam caranya sendiri, Hamka menemukan pola induk bagi penulisan
sejarah, khususnya sejarah perkembangan Islam. Buku Sejarah Ummat Islam, 4 jilid,
yang diterbitkan selama rentang waktu 12 tahun (1949-1961) itu, berciri “tipe
penulisan” filsafat sejarah. Hamka mendisain diri pada pengkajian dan penelaahan
peristiwa-peristiwa sejarah dengan mempertimbangkan kebenaran atau kepalsuannya.
Hamka selalu mencoba melihat hubungan sebab-akibat, membandingkan peristiwa
dengan peristiwa lain, mencari persamaan dan perbedaan dan baru melahirkan
kesimpulan. Bukankah cara tersebut merupakan inti dari kajian filsafat sejarah?
Kelahiran buku Sejarah Ummat Islam yang fundamental itu adalah buah dari
kepentingan kekinian bangsa Indonesia terhadap rekonstruksi sejarah. Sebagaimana
diketahui, masa tahun 1950-an merupakan bagian dari usaha-usaha pembaharuan
historiografi tradisional dan kolonial.20 Pembicaraan berkisar pada reinterpretasi
historiografi, dari yang bercorak kolonial kepada yang bercorak Indonesia. Masa

18
Hamka (1982), Op.cit., hal. viii
19
Mukti Ali, “Penulisan Sejarah Islam di Indonesia (Pembahasan Masalah Metodologi”, dalam
Panji Masyarakat. No. 400 (Jakarta; 1982), hal. 27
20
R.Z. Leirissa, “Sejarah Indonesia Moderen: Antara Kontinuitas dan Diskontinuitas”, dalam
Prisma. No. 10. Tahun XVI (Jakarta: Oktober 1994), hal. 5-7
11

1950-an dan sesudahnya juga membicarakan soal manfaat sejarah, khususnya bila
dikaitkan dengan pembangunan bangsa. Bila kepentingan pertama melahirkan
penilaian sejarah dengan pandangan Indonesia (Indonesia sentris), maka kepentingan
kedua berwujud pembinaan kepribadian Indonesia. Hamka hendak menggabungkan
kedua kepentingan itu. “… saya mengharap moga-moga kisah perjuangan zaman
lampau akan bertumbuh dalam jiwa saudara, … Itulah modal kita menghadapi zaman
kini dan zaman depan”.21
Dengan demikian, seiring dengan kemunculan sejarah kritis Indonesia, maka
berkembang pula sejarah terapan, untuk kepentingan edukatif dan politis. Dalam soal
kedua sisi historiografi itu, bagi Hamka fungsi edukatif dari sejarah terlihat dari rona
Islam dan keelokan ajarannya, serta keagungan para penyebarnya. Persfektif
demikian, berbeda dengan tokoh asal Minang lainnya, Mohammad Yamin yang
menekankan visi edukatif pada ketokohan dan kejayaan dari suku-suku bangsa
Indonesia, khususnya Jawa, yang diwakili oleh Gadjah Mada, dan Dipanegara. 22
Gadjah Mada digelari Mohammad Yamin sebagai pahlawan persatuan nusantara,
sedangkan Dipanegara sebagai pahlawan yang berjuang untuk meruntuhkan
kekuasaan Belanda dan menegakkan kemerdekaan menuju persatuan Indonesia.23
Bagi Hamka, kebesaran Majapahit sebagai wakil persatuan nusantara
hanyalah sebuah mimpi. Penonjolan Gadjah Mada hanyalah memperteguh
kemegahan salah satu suku bangsa di Indonesia, yaitu suku Jawa. Padahal dalam
realitas, Gadjah Mada tidak bisa mewakili semua kelompok kesukuan Indonesia,
sebagai akibat dari tindakannya terhadap suku Sunda (Pajajaran), Aceh (Samudera
Pasai) atau pun para pahlawan daerah lainnya. Ketidak terwakilan itu dipandang
Hamka, karena Gadjah Mada itu telah memporak porandakan negeri-negeri di luar

21
Hamka (1982), Op.cit., hal. ix
22
Deliar Noer, “Yamin dan Hamka …, dalam Anthony Reid dan David Marr, Op.Cit., hal. 41
23
Muhammad Yamin,Gadjah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara (Djakarta; Balai Pustaka,
1945) dan Muhammad Yamin, Dipanegara (Jakarta: Pembangunan, 1950), hal. 31 Karya Muhammad
Yamin lainnya adalah Tan Malaka : Bapak Republik Indonesia (Jakarta; Moerba Berjuang, 1946);
Sapta Dharma (Bukittinggi; NV Nusantara, 1951) ; dan 6000 Tahun Sang Merah Putih (Siguntang,
1954).
12

Jawa tersebut. Bagi daerah, Gadjah Mada justru penyebar dendam daerah. Pendapat
itu dikemukakannya pada tahun 1951, di sebuah harian daerah, yaitu Haluan. Hamka
mendesak Kementrian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PPK), untuk segera
mengoreksi dan meninjau penulisan sejarah yang sentralistis ke tanah Jawa tersebut
dengan memasukkan segala potensi dan peran kepahlawanan daerah.24
Masa tahun 1950-an tercatat sebagai masa pencarian bentuk, mulai dari dasar
negara, sampai kepada keperanan yang harus “dimainkan” pusat dan daerah.
Sehubungan dengan itu, dalam menyikapi persoalan hubungan pusat-daerah, Hamka
menilai ketidakpuasan daerah bukan hanya soal pembagian uang yang dihasilkan
yang lebih banyak untuk pusat, tetapi secara batinnya lebih dari itu, yaitu sejarah dan
perbedaan pandangan tentang susunan negara kesatuan. 25 Memang karya sejarah
Hamka cendrung selaras dengan kepentingan masyarakat pada masanya. Dan
kepentingan bersama sebagai bangsa itu, terhimpun dalam kebudayaan nasional
sebagai gabungan dari “puncak-puncak kebudayaan berbagai daerah”.26 Berkata
Hamka “… memajukan kebudayaan daerah, bukanlah dengan maksud menghidup-
hidupkan provinsialisme, tetapi membina Indonesia baru yang berkebudayaan tinggi,
dengan memelihara kemurnian daerah”.27 Memang benar, sejarah adalah bikinan
kebudayaan dan dilahirkan oleh kebudayaan.
Sejak tahun 1950, perjuangan dan haluan hidup Hamka mengungkap
kenyataan sejarah sudah berada pada tingkat yang sangat produktif. Ketika itu,
Hamka sudah tinggal di ibukota negara, Jakarta. Ia kemudian menulis secara khusus
Sejarah Kebangkitan Islam di Minangkabau di bawah judul Ayahku.28 Dengan Buku
yang terbit pertama kali tahun tahun 1950 itu malahan menjadi bahan rujukan bagi

24
Hamka, “Tinjaulah Sejarah (Penulisan Sejarah) Kembali”, dalam Gusti Asnan (Ed.),
Demokrasi, Otonomi, dan Gerakan Daerah. Pemikiran Politik Orang Minang Tahun 1950-an (Padang;
Citra Budaya Indonesia, 2006), hal. 191
25
Ibid., hal. 191
26
Deliar Noer, “Yamin dan Hamka …”, dalam Anthony Reid dan David Marr (Eds.), Op.cit.,
hal. 46
27
Hamka, “Kebudayaan Daerah”, dalam Gusti Asnan (Ed.), Op.cit.,, hal. 143
28
Lhat Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum
Agama di Sumatera Barat (Jakarta; Umminda, 1982).
13

para cendikiawan yang ingin membahas masalah gerakan pembaharuan di


Minangkabau dan Indonesia pada umumnya. Begitu juga autobiografinya, Kenang-
Kenangan Hidup (1951), dan Sejarah Ummat Islam.
Tidak saja sebagai orang bebas, di masa internir Soekarno pun (20 Agustus
1964-23 Januari 1966), Hamka terbukti tetap produktif dengan merampungkan buku
tafsir al-Qur’an yang dikenal dengan Tafsir Al-Azhar serta menulis buku Antara
Fakta dan Khayal: Tuanku Rao yang diterbitkan pada tahun 1974, sebagai reaksi
bantahan, atau sikap kritisnya terhadap buku Mangaraja Onggang Parlindungan, 29
yang dinilai Hamka tidak mempunyai sumber dan fakta yang jelas. Bagi Hamka,
penyusunan sejarah itu bermula dari pengumpulan segala fakta, kemudian baru
menilai dan memberikan opini. Sekali lagi Hamka menunjukkan bahwa cara seperti
ini adalah sama dengan sistem yang dipergunakan oleh Ibnu Khaldun. 30 Dalam
pandangan Ibnu Khaldun, “semua catatan (sejarah) demi sifatnya sendiri, tidak bebas
dari kekeliruan …”. Dan “…beberapa sebab yang menimbulkan kecacatan itu yang
antaranya termasuklah hasrat untuk mengambil atau menyukakan hati …”. 31 Jadi,
sesungguhnya metode yang biasa dipakai sejarawan dalam menulis sejarah yang
empat tahap itu, mulai dari heuristik, kritik, interpratasi, dan historiografi
sesungguhnya telah dipraktekkan oleh Hamka.
Pengalaman Hamka di berbagai daerah Indonesia, dan bacaannya yang amat
luas memungkinkan Hamka berkarir dengan baik. Dia punya rasa solidaritas terhadap
masyarakat daerah lain di wilayah Indonesia. Kalau dilihat tulisan-tulisan, buku-
buku, atau novel-novelnya sejak mengasuh majalah mingguannya di Medan
(Pedoman Masyarakat), maka solidaritas antar sesama itu terbentuk di sana. 32 Hamka
29
Judul buku Parlindungan itu adalah, Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mashab Hambali di
Tanah Batak 1816-1833 (terbit tahun 1964). Sebenarnya Hamka telah mengkritisi buku Parlindungan
itu pada seminar sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Mnangkabau yang diselenggarakan di
Padang tanggal 26 Juli 1969. Namun baru dibukukan Hamka pada tahun 1974.
30
Hamka, “Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao” (Jakarta; Bulan Bintang, 1974), hal. 99.
31
Muhd. Yusof Ibrahim dan Mahayudin Haji Yahaya, Sejarawan dan Pensejarahan
Ketokohan dan Karya (Kuala Lumpur; Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementrian Pendidikan Malaysia,
1988), hal. 16
32
Deliar Noer, “Yamin dan Hamka …”, dalam Anthony Reid dan David Marr (Eds.), Op.cit.,
hal. 44
14

menghargai ciri-ciri kedaerahan dalam rangka memupuk persatuan. Bagi Hamka


keseluruhan terdiri dari bagian-bagian dan kesatuan bangsa tergantung pada daerah-
daerah. Kebudayaan daerah yang satu, tidak lebih tinggi dari kebudayaan daerah
lainnya. Pandangan Hamka terhadap lokalitas dan persatuan bangsa Indonesia adalah
“bernenek yang turun dari gunung Merapi, berkiblat ke Ka’batullah, berpikir yang
dinamis, bersatu dalam Bhineka Tunggal Ika”. 33
Hamka memang cendrung menggabungkan rasa nasionalismenya dengan
semangat Islam. Karya sejarahnya tentang Indonesia selalu dimulai dari titik Islam
itu.34 Dari sudut pandang demikian, dapat dimengerti mengapa Hamka buku Sejarah
Ummat Islam, tidak saja berisi Sejarah Islam di Indonesia saja, tetapi juga Islam di
tanah Melayu. Dalam buku itu tergambar bahwa terdapat kaitan erat antara
perkembangan Islam di Timur Tengah dengan tanah Melayu dan Indonesia. Buku
yang berjumlah 4 jilid tersebut, tiga jilid berisi sejarah ajaran Islam dan
perkembangan sejarahnya di Timur Tengah. Sedangkan sejarah Islam Islam di
Indonesia dituangkan dalam jilid 4. Jilid 4 dari buku Sejarah Ummat Islam pun
berproses secara long range cause, yang dimulai dari pra-ejarah, pengaruh
Hindu/Budha sampai abad ke-19, dan sedikit dibahas tentang abad 20.35
Pendekatan Hamka bersifat hero-worship, dan punya kedudukan penting
sebagai pembuka cakrawala penulisan sejarah tentang Islam Indonesia. Dari aspek
penulisan Sejarah Islam di Indonesia, baru ada tiga karya yang dianggap pokok dalam
studi Islam, yaitu Sejarah Ummat Islam yang 4 jilid (karya Hamka), Jaman
Pertumbuhan dan Perkembangan Islam di Indonesia (Uka Tjandrasasmita), dan
Sejarah Ummat Islam Indonesia (MUI, 1992). Karya Uka berdimensi aspek sosial
ekonomis (sekuler) yang menekankan kepada struktur atau “materi”. Bagi Uka,

33
H. Amura, “Dengan Buya Hamka dalam Berbagai Peristiwa”, dalam PBB 70 Tahun Hamka,
Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya Hamka (Jakarta; Pustaka Panjimas, 1983), hal. 324
34
Herwandi dan Nopriyasman, “HAMKA: Suatu Kajian Biografi Intelektual”, Laporan
Penelitian (Padang; Pusat Penelitian Universitas Andalas, 1991), hal. 1-2
35
Lihat Hamka, Sejarah Ummat Islam. Jilid 1,2,3, dan 4 (1963); Helmi Rusdi, “Hamka dan
Karyanya: Suatu Studi Historiografi Islam (1925-1981), Skripsi Sarjana, (Padang; Fakultas Sastra
Universitas Andalas, 1998), hal. 73-82.
15

“pelayaran dan perdagangan pada waktu itu yang menyebabkan penyebaran Islam ke
Indonesia”.36
Beberapa karya Hamka, seperti Sejarah Ummat Islam, Ayahku, dan buku
Dari Perbendaharaan Lama, menggambarkan keteguhan pendiriannya, bahwa Islam
yang datang dan berkembang di Indonesia adalah langsung dari Arab. Hamka
bependapat, pengembara Arab yang pertama ke Indonesia, dan itu terjadi pada abad
ke-7, tepatnya tahun 674 M (masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah dari Dinasti
Bani Umayyah. Buktinya adalah catatan orang Tiongkok yang menyebutkan telah ada
satu kelompok bangsa Arab di Pesisir Barat pulau Sumatera. 37 Pendapat Hamka
inilah, yang kemudian menjadi salah satu teori kedatangan Islam di Indonesia (teori
Mekah atau Arab), disamping teori Gujarat dan Teori Parsi.

D. Penutup
Dari sejumlah tokoh, pemimpin elite Indonesia, keperanan Hamka ikut andil
membentuk gagasan-gagasan bangsanya tidak dapat dipungkiri. Dia adalah salah
seorang produk zaman dan budaya yang mengitari kehidupannya. Hamka menonjol
karena punya komitmen dan usaha yang teguh, yang ditunjang oleh bacaan yang luas,
komprehensif, sehingga menjadi tokoh yang produktif. Buku yang berhasil ditulisnya
berjumlah 118 buah.38 Tulisan-tulisan Hamka, pada umumnya enak dibaca, kadang
kala ikut perasaannya, disamping tetap berpedoman kepada agama yang diyakininya.
Hamka mempunyai pengetahuan “komplit” yang tidak kehilangan indpendensinya
sebagai ulama. Ada tiga ciri-ciri khas Hamka sebagai seorang pengarang: pertama, ia
seorang yang cinta membaca. Kedua, ia mempunyai gaya bahasa yang sederhana, tapi
hidup; Ketiga, ingatannya tentang berbagai hal dan fakta sejarah sangat kuat dan
tajam.39
36
Mestika Zed, “Hamka dan Studi Islam di Indonesia, dalam Op.cit., hal. 15
37
Hamka (1982), Opcit. Hal. 2-3
38
Hamka, Kenang-Kenangan Hidup. Jilid I (Jakarta; Bulan Bintang, 1974. Lihat juga Mestika
Zed, Ibid. hal. 4 ; Dan Harian Republika, 2 Maret 2002, hal. 18
39
Bonus Femina, Buya Hamka (Sebuah Perjalanan yang Selesai), Bonus F.19/XV-14 Mei
1987, hal. 8
16

Menulis sejarah bagi Hamka adalah sebagai tugas, dan menjadi motif
historiografinya untuk memperterang kebenaran suatu peristiwa. Dengan motif
seperti itu, dan metodologi yang dipakai terpengaruh kritik perawi, yaitu sanad sama
dengan isnad, yang mana apabila sanadnya sudah sahih, perawinya sudah terpecaya,
maka berita itu diyakini sebagai sebuah kebenaran. Hamka mempelajari sejarah dan
belajar dari sejarah. Melalui sejarah pula hendak diwariskannya karya-karya sejarah
yang berhasil dituliskannya. Dengan demikian kajian historiografi terhadap karya
Hamka tersebut, setidaknya telah memicu kesadaran sejarah baik di tingkat lokal
maupun nasional, karena ia memang melihat sejarah dari sudut Indonesia.
Mudah-mudahan, kajian ringkas tentang pembacaan Hamka sebagai wakil
zaman dan budaya dalam karya-karya Hamka ini, khususnya karya sejarahnya,
dapatlah kita memetik “kearifan” dan “ketokohan” dalam sejarah. Semoga…!

DAFTAR PUSTAKA

Bonus Femina, Buya Hamka (Sebuah Perjalanan yang Selesai), Bonus F.19/XV-14
Mei 1987

Deliar Noer, “Yamin dan Hamka, Dua Jalan Menuju Identitas Indonesia”, dalam
Anthony Reid dan David Marr, Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka, Indonesia
dan Masa Lalunya. Jakarta: Grafitipers, 1983

Edwar Djamaris, et.al., Nila Budaya Dalam Beberapa Karya Sastra Nusantara:
Sastra Daerah di Nusantara. Jakarta: PPPB-Depdikbud., 1993

Erns Cassirer, Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia Jakarta:
Gramedia, 1990

F.A. Sutjipto, “Struktur Poitik dalam Historiografi Tradisioal”, dalam Majalah


Analisis Kebudayaan. No. 7. Tahun 11. Jakarta: Depdikbud., 1981/1982

Hamka, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi. Jakarta: Firma Tekad, 1963


17

Hamka, Kenang-Kenangan Hidup. Jilid I. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

Hamka, Dari Perbendaharaan Lama. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982

Hamka, “Tinjaulah Sejarah (Penulisan Sejarah) Kembali”, dalam Gusti Asnan (Ed.),
Demokrasi, Otonomi, dan Gerakan Daerah. Pemikiran Politik Orang Minang
Tahun 1950-an. Padang: Citra Budaya Indonesia, 2006

Hamka, “Kebudayaan Daerah”, dalam Gusti Asnan (Ed.) dalam Demokrasi,


Otonomi, dan Gerakan Daerah. Pemikiran Politik Orang Minang Tahun
1950-an. Padang; Citra Budaya Indonesia, 2006

Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan
Kaum Agama di Sumatera Barat. Jakarta: Umminda, 1982

Hamka, “Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao” Jakarta: Bulan Bintang, 1974

Herwandi dan Nopriyasman, “HAMKA: Suatu Kajian Biografi Intelektual”, Laporan


Penelitian. Padang; Pusat Penelitian Universitas Andalas, 1991

Helmi Rusdi, “Hamka dan Karyanya: Suatu Studi Historiografi Islam (1925-1981),
Skripsi Sarjana. Padang: Fakultas Sastra Universitas Andalas, 1998.

H. Amura, “Dengan Buya Hamka dalam Berbagai Peristiwa”, dalam PBB 70 Tahun
Hamka, Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya Hamka. Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1983

H. Rusjdi, “Hamka dan Pers Islam Dalam Perjuangan Tajdid”, dalam Panji
Masyarakat. No. 403. Jakarta: Agustus 1983

Mestika Zed, “Hamka dan Studi Islam di Indonesia”, dalam Historia, Jurnal
Pendidikan Sejarah. No.3, Vol II. Bandung: FPIPS-Univdersitas Pendidikan
Indonesia, Juni 2001

Nopriyasman, “Pola Penerimaan Islam di Minangkabau, Sumatera Barat Sebelum


Era Kemerdekaan”, dalam Historia, Jurnal Pendidikan Sejarah. No. 8, Vol. IV.
Bandung: FPIPS-Univdersitas Pendidikan Indonesia, Desember 2003

Nourouzzaman Shiddiqi, Menguak Sejarah Muslim, Suatu Kritik Metodologis.


Yogyakarta: PLP2M, 1983
18

Muhd. Yusof Ibrahim dan Mahayudin Haji Yahaya, Sejarawan dan Pensejarahan,
Ketokohan dan Karya. Kuala Lumpur; Dewan Bahasa dan Pustaka,
Kementrian Pendidikan Malaysia, 1988

Mansyur Suryanegara, “Prof. Dr. Hamka: Sejarawan dan Pelaku Sejarah”, dalam PPB
70 Tahun Hamka, Kenangan 70 Tahun Buya Hamka. Jakarta: Panjimas, 1983

Mukti Ali, “Penulisan Sejarah Islam di Indonesia (Pembahasan Masalah Metodologi”,


dalam Panji Masyarakat. No. 400. Jakarta; 1982

Muhammad Yamin, Gadjah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara. Djakarta: Balai


Pustaka, 1945

Muhammad Yamin, Dipanegara. Jakarta: Pembangunan, 1950

Muhammad Yamin lainnya adalah Tan Malaka : Bapak Republik Indonesia. Jakarta:
Moerba Berjuang, 1946)

Muhammad Yamin, Sapta Dharma. Bukittinggi: NV Nusantara, 1951

Muhammad Yamin, 6000 Tahun Sang Merah Putih (Siguntang, 1954).

R.Z. Leirissa, “Sejarah Indonesia Moderen: Antara Kontinuitas dan Diskontinuitas”,


dalam Prisma. No. 10. Tahun XVI. Jakarta: Oktober 1994

Sidi Gazalba, “Beberapa Peristiwa Bersama Hamka”, dalam Kenangan 70 Tahun


Buya Hamka. Jakarta: Panjimas, 1983

Taufik Abdullah, “Pemikiran Islam di Nusantara dalam Persfektif Sejarah: Sebuah


Sketsa”, dalam Majalah Prisma. No. 3. Jakarta: LP3ES, Maret 1991

Padang, Pebruari 2008


19

Anda mungkin juga menyukai