KAJIAN HISTORIOGRAFI*
Oleh
Nopriyasman**
A. Pengantar
Sejarah sebagaimana yang dilukiskan memuat interpretasi penulis di
dalamnya. Dalam membuat interpretasi, penulis sejarah sering berselisih pendapat,
kadang kala bertolak belakang satu sama lain. Kondisi itu tidak saja dialami manusia
masa kini, jauh di kelampauan perbedaan pandangan itu punya warna sendiri, yang di
samping melahirkan kontroversi, tetapi sekaligus juga menjadi satu kesatuan
pandangan. Adalah wajar semua itu terjadi, karena objek sejarah itu manusia,
sedangkan yang dilukiskan juga “aksi” manusia. Perbedaan dan persamaan
interpretasi, terkait dengan pikiran dan hal-hal dari lubuk hati sang penulis, ada
perasaan takut, ada keberanian, ada suka, dan ada pula kebencian. Hal-hal di sekitar
diri itulah yang menjadi penyebab utama lahirnya selisih paham dan beragam
pendapat. Secara keilmuan, sejarah bersifat terbuka untuk secara terus menerus
ditinjau ulang atau diberi interpretasi baru, sehingga penulisan sejarah berkembang
pula sejalan dengan perkembangan keilmuan, pengetahuan dan metodologi sejarah
dari masa ke masa.
Penafsiran sejarah setiap masa itu dapat ditemukan dalam buku-buku atau
tulisan-tulisan yang lahir sejak dahulu hingga dewasa ini. Sejarah yang diceritakan
sebagai hiburan, dan pelipur lara yang berkembang pada masyarakat bersahaja, atau
sejarah demi penguatan kekuasaan istana atau penjajah, dan sejarah yang ditulis
*
Makalah ini disampaikan dalam “Seminar Seabad Hamka”, yang diselenggarakan oleh
Fakultas Sastra Universitas Andalas bekerjasama dengan Revolt Institute, di Gedung Seminar Museum
Adityawarman, Padang, pada tanggal 16 Pebruari 2008
**
Penulis adalah staf pengajar Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang.
2
untuk kepentingan nasional terus dikritisi ulang. Alhasil sejarah semakin mantap dan
karyanya memasuki prinsip kelogisan dan dapat diuji kebenarannya.
Kemudian yang melingkupi para penutur dan penulis sejarah telah pula
melahirkan “cap baik” dan “cap buruk” bagi seorang atau kelompok sosial yang
diangkatnya ke panggung sejarah. Pelaku sejarah diberi “gelar” pahlawan atau
pemberontak, dan sebagainya. Dalam konteks itu dapat dipahami mengapa sejarah
Indonesia berkembang menurut “kiblatnya”. Kalangan sejarawan di Perguruan Tinggi
mengklasifikasikannya ke dalam kelompok sejarawan istana, sejarawan amatir, dan
sejarawan profesional. Hamka yang didiskusikan dalam kesempatan ini, sering
dimasukkan ke dalam klasifikasi sejarawan amatir atau sejarawan tidak resmi.1 Sidi
Gazalba malahan menyebut Hamka sebagai sejarawan, sekaligus ahli sejarah.2
Persoalan ketokohan Hamka, sudah begitu nyata dibicarakan oleh berbagai
kalangan, sekaligus menjadi petunjuk bagi kepopulerannya sebagai ahli pikir dan
penulis bidang ilmu. Berbagai gelar dilekatkan kepadanya, sebagai ulama, sastrawan,
pujangga, sejarawan, bahkan juga wartawan. Tidak ada orang yang menolak
pelekatan gelar itu, lalu apalagi ? Kiranya kelahiran tulisan ini lebih pada
mengapresiasi kearifan dan ketokohan seorang Hamka. Sebagai kajian historiografi,
sesungguhnya pembicaraan lebih khusus menyelidiki hasil penulisan sejarah dari
masa ke masa. Dari karya-karya itu, diharapkan terlihat salah satu pola, genre (jenis)
maupun aliran penulisan yang berkembang dan dikembangkan para penulisnya, tidak
terkecuali Hamka.
1
Mestika Zed menyebut Hamka sebagai sejarawan otodidak. Lihat Mestika Zed, “Hamka dan
Studi Islam di Indonesia”, dalam Historia, Jurnal Pendidikan Sejarah. No.3, Vol II (Bandung; FPIPS-
Univdersitas Pendidikan Indonesia, Juni 2001), hal. 3.
2
Sidi Gazalba, “Beberapa Peristiwa Bersama Hamka”, dalam Kenangan 70 Tahun Buya
Hamka (Jakarta; Panjimas, 1983), hal. 343
3
tambo, hikayat, kaba, atau pun buku undang-undang Minangkabau.3 Hal itu berarti
budaya lisan dengan kemampuan oral sebagai penyampai pengetahuan semakin kuat
dengan lahirnya budaya tulisan dengan kemampuan “mata pena” untuk proses
internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai bagi masyarakat. Keberlanjutan budaya
memungkinkan orang Minangkabau mempertahankan dan mengenal baik kisah-kisah
kehidupan nenek moyang, dan peristiwa yang mengitari sejarah masa lampau
negerinya. Mulai dari asal usul nenek moyang, nagari, adat, hingga peristiwa-
peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat, seperti gunung meletus, air bah, dan
bencana alam lainnya.
Sebelum kedatangan Islam, dan dimulainya tradisi menulis (Arab-Melayu),
pengetahuan kesejarahan berwaris secara kaba atau berkabar, manjawek warih,
mandanga tutua (menyambut waris, mendengar tutur). Pada masa ini lazim juga
disebut masyarakat tradisional, ukuran kebenaran berdasarkan emosi kepercayaan,
cendrung mitos yang menyembunyikan artinya dibalik citra dan simbol-simbol. 4 Para
tokoh Islamlah yang setahap demi setahap merubah kondisi dari tidak pandai tulis
baca kepada pandai tulis baca. Pengetahuan sejarah masyarakat itu pun diwujudkan
dalam bentuk tertulis, yang diberi warna Islam di sana sininya. Dapat dipahami,
mengapa dalam cerita Tambo, sebagai produk historiografi tradisional Minangkabau,
warna Islam itu pun terdapat di dalamnya. Meskipun belum bisa disebut sebagai
sejarah dari sudut moderen, namun kisah yang termuat di dalam tambo sesungguhnya
memperlihatkan realitas kehidupan alam Minangkabau. Produk historiografi
tradisional, seperti tambo, babad, dan lainnya memang memuat berbagai persoalan
seperti struktur birokrasi, wilayah, hubungan pusat dengan daerah, perkawinan
politik, dan sebagainya.5 Inti ceritanya relatif sama, sehingga fakta sejarah orang
Minangkabau yang unik terus tetap terjaga di benak generasi turunannya.
3
Edwar Djamaris, et.al., Nila Budaya Dalam Beberapa Karya Sastra Nusantara: Sastra
Daerah di Nusantara (Jakarta; PPPB-Depdikbud., 1993), hal. 21-23
4
Erns Cassirer, Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia (Jakarta; Gramedia,
1990), hal. 108
5
F.A. Sutjipto, “Struktur Poitik dalam Historiografi Tradisioal”, dalam Majalah Analisis
Kebudayaan. No. 7. Tahun 11 (Jakarta; Depdikbud., 1981/1982), hal. 55-66
4
6
Nopriyasman, “Pola Penerimaan Islam di Minangkabau, Sumatera Barat Sebelum Era
Kemerdekaan”, dalam Historia, Jurnal Pendidikan Sejarah. No. 8, Vol. IV (Bandung; FPIPS-
Univdersitas Pendidikan Indonesia, Desember 2003), hal. 122-123
7
Ibid., hal. 123. Taufik Abdullah, “Pemikiran Islam di Nusantara dalam Persfektif Sejarah:
Sebuah Sketsa”, dalam Majalah Prisma. No. 3 (Jakarta; LP3ES, Maret 1991), hal. 24
5
Haji pada tahun 1927,9 dan memasuki masa berkeluarga pada tahun 1929,10 maka
ketokohan Hamka semakin dikenal masyarakat. Tidak saja sebagai ulama, Hamka
pun berkecimpung di dunia sastra. Karya awalnya di bidang ini tercatat misalnya Si
Sabariah dan Laila Majnun.11 Sementara itu, minatnya kepada sejarah dan penulisan
sejarah mulai diaplikasikannya dengan mengumpulkan bahan sumber. Dari
pengalaman dan pembacaan pengumpulan catatan sejarah itu pula, Hamka mampu
melakukan kritikan terhadap para penulis sejarah atau sejarawan kolonial, kekuatan
dan kelemahan mereka sekaligus pada masa-masa selanjutnya.
Pada tahun 1936 hingga masa pendudukan Jepang, Hamka menapak karir di
rantau Medan, memimpin majalah mingguan Islam, Pedoman Masyarakat. Daerah
Medan menjadi tempat mengasah ide dan bakat kewartawanannya. Sejumlah
romannya, antara lain Tenggelamnya Kapal van der Wijk (1938), Di Bawah
Lindungan Ka’bah (1938), Di Dalam Lembah Kehidupan, Merantau ke Deli (1940)
dan Dijemput Mamak membuat Hamka kesohor, dan memperlaris majalah
pimpinannya itu.12 Karya-karya roman itu mendobrak kekangan adat dan mentalitas
sosial yang tidak sesuai dengan semangat pembaharuan. “Hampir dalam setiap
roman-roman Hamka … tema sentralnya ialah semangat pembaharuan Islam dan
kecaman terhadap tradisi adat yang menentang arus pembaharuan itu, serta pengaruh
9
Hamka berkelana ke Mekkah pada bulan Pebruari 1927 dan bermukim di sana sekitar enam
bulan, sambil bekerja di sebuah percetakan. Menurut Hamka, sejak kepulangannya menunaikan rukun
Islam kelima itulah ia merasa kemesraan dan kasih sayang ayahnya.
10
Hamka yang masih dipanggil Haji Abdul Malik menikah dengan Siti Raham, putri dari
Endah Sutan, pada tanggal 5 April 1929. Usia Hamka pada waktu itu 21 tahun, sedangkan Siti Raham
baru 15 tahun. Dari Siti Raham, lazim dipanggil Ummi, Hamka memperoleh dua belas orang anak.
Pada bulan Agustus 1973, satu setengah tahun setelah meninggalnya Ummi Siti Raham (1 Januari
1972) Hamka menikahi Hajjah Siti Chadijjah hasil pencarian anak-anaknya, Bonus Femina, Buya
Hamka (Sebuah Perjalanan yang Selesai), Bonus F.19/XV-14 Mei 1987, hal. 4-5
11
Hamka, Kenang-Kenangan Hidup (Jakarta; Bulan Bintang, 1981)
12
“Buya Menulis dengan Cinta”, dalam Republika, 2 Maret 2002, hal. 18 Disebutkan bahwa
roman Hamka mendapat sambutan besar, namun juga mendapat tantangan. Dari kalangan pembaca
muslim, kritikan terutama penulisan Hamka tentang persoalan cinta, sekaligus bernafaskan Islam.
Hamka sempat digelari “kiai cabu”. Pada tahun 1960-an, tantangan besar ditunjukkan oleh tokoh-
tokoh Lekra dan organisasi underbouw Partai Komunis Indonesia (PKI). Hamka malah dituduh
sebagai plagiat dari pengarang Mesir Musthafa Luthfi Al-Manfaluthi.
7
13
H. Rusjdi, “Hamka dan Pers Islam Dalam Perjuangan Tajdid”, dalam Panji Masyarakat. No.
403 (Jakarta; Agustus 1983), hal. 37
14
Mansyur Suryanegara, “Prof. Dr. Hamka: Sejarawan dan Pelaku Sejarah”, dalam PPB 70
Tahun Hamka, Op.cit., hal. 218
8
tempat bagi hak pribadi seorang laki-laki.15 Buku ini dianggap menjadi tonggak
kritisasi Hamka tentang sejarah dan penulisan sejarah.
Bentuk sejarah kolonial adalah potensialitas yang berada dalam naungan Pax-
Nedherlandica. Di satu sisi dari sudut bangsa yang dijajah, Indonesia, justru menjadi
jauh dari realitasnya sendiri. Fundamen kebesaran pribumi “terketepikan”. Dari
kondisi semacam itu mentalitas bangsa Indonesia masa kolonial terbentuk.
Keadaan masyarakat bangsa “dalam peminggiran peran” itu memberi
semacam kewajaran, mengapa masih sedikitnya para tokoh yang menyadari bahwa
sesungguhnya “dari sejarah kita bangkit dan melalui sejarah kita terbentuk”. Hamka
adalah satu dari sejumlah yang sedikit itu, yang punya kemauan untuk memahami diri
atas dasar pandangan universal tentang sejarah. Hamka mungkin bisa sebagai contoh
15
Hamka, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi (Jakarta; Firma Tekad, 1963), hal. 12
16
Hamka, Dari Perbendaharaan Lama (Jakarta; Pustaka Panjimas, 1982), hal. ix
9
17
Nourouzzaman Shiddiqi, Menguak Sejarah Muslim, Suatu Kritik Metodologis (Yogyakarta;
PLP2M, 1983), hal. 10. Tentang Ibn Khaldun, lihat Muhd. Yusof Ibrahim dan Mahayudin Haji Yahaya,
Sejarawan dan Pensejarahan, Ketokohan dan Karya (Kuala Lumpur; Dewan Bahasa dan Pustaka,
Kementrian Pendidikan Malaysia, 1988), hal. 177-190
10
18
Hamka (1982), Op.cit., hal. viii
19
Mukti Ali, “Penulisan Sejarah Islam di Indonesia (Pembahasan Masalah Metodologi”, dalam
Panji Masyarakat. No. 400 (Jakarta; 1982), hal. 27
20
R.Z. Leirissa, “Sejarah Indonesia Moderen: Antara Kontinuitas dan Diskontinuitas”, dalam
Prisma. No. 10. Tahun XVI (Jakarta: Oktober 1994), hal. 5-7
11
1950-an dan sesudahnya juga membicarakan soal manfaat sejarah, khususnya bila
dikaitkan dengan pembangunan bangsa. Bila kepentingan pertama melahirkan
penilaian sejarah dengan pandangan Indonesia (Indonesia sentris), maka kepentingan
kedua berwujud pembinaan kepribadian Indonesia. Hamka hendak menggabungkan
kedua kepentingan itu. “… saya mengharap moga-moga kisah perjuangan zaman
lampau akan bertumbuh dalam jiwa saudara, … Itulah modal kita menghadapi zaman
kini dan zaman depan”.21
Dengan demikian, seiring dengan kemunculan sejarah kritis Indonesia, maka
berkembang pula sejarah terapan, untuk kepentingan edukatif dan politis. Dalam soal
kedua sisi historiografi itu, bagi Hamka fungsi edukatif dari sejarah terlihat dari rona
Islam dan keelokan ajarannya, serta keagungan para penyebarnya. Persfektif
demikian, berbeda dengan tokoh asal Minang lainnya, Mohammad Yamin yang
menekankan visi edukatif pada ketokohan dan kejayaan dari suku-suku bangsa
Indonesia, khususnya Jawa, yang diwakili oleh Gadjah Mada, dan Dipanegara. 22
Gadjah Mada digelari Mohammad Yamin sebagai pahlawan persatuan nusantara,
sedangkan Dipanegara sebagai pahlawan yang berjuang untuk meruntuhkan
kekuasaan Belanda dan menegakkan kemerdekaan menuju persatuan Indonesia.23
Bagi Hamka, kebesaran Majapahit sebagai wakil persatuan nusantara
hanyalah sebuah mimpi. Penonjolan Gadjah Mada hanyalah memperteguh
kemegahan salah satu suku bangsa di Indonesia, yaitu suku Jawa. Padahal dalam
realitas, Gadjah Mada tidak bisa mewakili semua kelompok kesukuan Indonesia,
sebagai akibat dari tindakannya terhadap suku Sunda (Pajajaran), Aceh (Samudera
Pasai) atau pun para pahlawan daerah lainnya. Ketidak terwakilan itu dipandang
Hamka, karena Gadjah Mada itu telah memporak porandakan negeri-negeri di luar
21
Hamka (1982), Op.cit., hal. ix
22
Deliar Noer, “Yamin dan Hamka …, dalam Anthony Reid dan David Marr, Op.Cit., hal. 41
23
Muhammad Yamin,Gadjah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara (Djakarta; Balai Pustaka,
1945) dan Muhammad Yamin, Dipanegara (Jakarta: Pembangunan, 1950), hal. 31 Karya Muhammad
Yamin lainnya adalah Tan Malaka : Bapak Republik Indonesia (Jakarta; Moerba Berjuang, 1946);
Sapta Dharma (Bukittinggi; NV Nusantara, 1951) ; dan 6000 Tahun Sang Merah Putih (Siguntang,
1954).
12
Jawa tersebut. Bagi daerah, Gadjah Mada justru penyebar dendam daerah. Pendapat
itu dikemukakannya pada tahun 1951, di sebuah harian daerah, yaitu Haluan. Hamka
mendesak Kementrian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PPK), untuk segera
mengoreksi dan meninjau penulisan sejarah yang sentralistis ke tanah Jawa tersebut
dengan memasukkan segala potensi dan peran kepahlawanan daerah.24
Masa tahun 1950-an tercatat sebagai masa pencarian bentuk, mulai dari dasar
negara, sampai kepada keperanan yang harus “dimainkan” pusat dan daerah.
Sehubungan dengan itu, dalam menyikapi persoalan hubungan pusat-daerah, Hamka
menilai ketidakpuasan daerah bukan hanya soal pembagian uang yang dihasilkan
yang lebih banyak untuk pusat, tetapi secara batinnya lebih dari itu, yaitu sejarah dan
perbedaan pandangan tentang susunan negara kesatuan. 25 Memang karya sejarah
Hamka cendrung selaras dengan kepentingan masyarakat pada masanya. Dan
kepentingan bersama sebagai bangsa itu, terhimpun dalam kebudayaan nasional
sebagai gabungan dari “puncak-puncak kebudayaan berbagai daerah”.26 Berkata
Hamka “… memajukan kebudayaan daerah, bukanlah dengan maksud menghidup-
hidupkan provinsialisme, tetapi membina Indonesia baru yang berkebudayaan tinggi,
dengan memelihara kemurnian daerah”.27 Memang benar, sejarah adalah bikinan
kebudayaan dan dilahirkan oleh kebudayaan.
Sejak tahun 1950, perjuangan dan haluan hidup Hamka mengungkap
kenyataan sejarah sudah berada pada tingkat yang sangat produktif. Ketika itu,
Hamka sudah tinggal di ibukota negara, Jakarta. Ia kemudian menulis secara khusus
Sejarah Kebangkitan Islam di Minangkabau di bawah judul Ayahku.28 Dengan Buku
yang terbit pertama kali tahun tahun 1950 itu malahan menjadi bahan rujukan bagi
24
Hamka, “Tinjaulah Sejarah (Penulisan Sejarah) Kembali”, dalam Gusti Asnan (Ed.),
Demokrasi, Otonomi, dan Gerakan Daerah. Pemikiran Politik Orang Minang Tahun 1950-an (Padang;
Citra Budaya Indonesia, 2006), hal. 191
25
Ibid., hal. 191
26
Deliar Noer, “Yamin dan Hamka …”, dalam Anthony Reid dan David Marr (Eds.), Op.cit.,
hal. 46
27
Hamka, “Kebudayaan Daerah”, dalam Gusti Asnan (Ed.), Op.cit.,, hal. 143
28
Lhat Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum
Agama di Sumatera Barat (Jakarta; Umminda, 1982).
13
33
H. Amura, “Dengan Buya Hamka dalam Berbagai Peristiwa”, dalam PBB 70 Tahun Hamka,
Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya Hamka (Jakarta; Pustaka Panjimas, 1983), hal. 324
34
Herwandi dan Nopriyasman, “HAMKA: Suatu Kajian Biografi Intelektual”, Laporan
Penelitian (Padang; Pusat Penelitian Universitas Andalas, 1991), hal. 1-2
35
Lihat Hamka, Sejarah Ummat Islam. Jilid 1,2,3, dan 4 (1963); Helmi Rusdi, “Hamka dan
Karyanya: Suatu Studi Historiografi Islam (1925-1981), Skripsi Sarjana, (Padang; Fakultas Sastra
Universitas Andalas, 1998), hal. 73-82.
15
“pelayaran dan perdagangan pada waktu itu yang menyebabkan penyebaran Islam ke
Indonesia”.36
Beberapa karya Hamka, seperti Sejarah Ummat Islam, Ayahku, dan buku
Dari Perbendaharaan Lama, menggambarkan keteguhan pendiriannya, bahwa Islam
yang datang dan berkembang di Indonesia adalah langsung dari Arab. Hamka
bependapat, pengembara Arab yang pertama ke Indonesia, dan itu terjadi pada abad
ke-7, tepatnya tahun 674 M (masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah dari Dinasti
Bani Umayyah. Buktinya adalah catatan orang Tiongkok yang menyebutkan telah ada
satu kelompok bangsa Arab di Pesisir Barat pulau Sumatera. 37 Pendapat Hamka
inilah, yang kemudian menjadi salah satu teori kedatangan Islam di Indonesia (teori
Mekah atau Arab), disamping teori Gujarat dan Teori Parsi.
D. Penutup
Dari sejumlah tokoh, pemimpin elite Indonesia, keperanan Hamka ikut andil
membentuk gagasan-gagasan bangsanya tidak dapat dipungkiri. Dia adalah salah
seorang produk zaman dan budaya yang mengitari kehidupannya. Hamka menonjol
karena punya komitmen dan usaha yang teguh, yang ditunjang oleh bacaan yang luas,
komprehensif, sehingga menjadi tokoh yang produktif. Buku yang berhasil ditulisnya
berjumlah 118 buah.38 Tulisan-tulisan Hamka, pada umumnya enak dibaca, kadang
kala ikut perasaannya, disamping tetap berpedoman kepada agama yang diyakininya.
Hamka mempunyai pengetahuan “komplit” yang tidak kehilangan indpendensinya
sebagai ulama. Ada tiga ciri-ciri khas Hamka sebagai seorang pengarang: pertama, ia
seorang yang cinta membaca. Kedua, ia mempunyai gaya bahasa yang sederhana, tapi
hidup; Ketiga, ingatannya tentang berbagai hal dan fakta sejarah sangat kuat dan
tajam.39
36
Mestika Zed, “Hamka dan Studi Islam di Indonesia, dalam Op.cit., hal. 15
37
Hamka (1982), Opcit. Hal. 2-3
38
Hamka, Kenang-Kenangan Hidup. Jilid I (Jakarta; Bulan Bintang, 1974. Lihat juga Mestika
Zed, Ibid. hal. 4 ; Dan Harian Republika, 2 Maret 2002, hal. 18
39
Bonus Femina, Buya Hamka (Sebuah Perjalanan yang Selesai), Bonus F.19/XV-14 Mei
1987, hal. 8
16
Menulis sejarah bagi Hamka adalah sebagai tugas, dan menjadi motif
historiografinya untuk memperterang kebenaran suatu peristiwa. Dengan motif
seperti itu, dan metodologi yang dipakai terpengaruh kritik perawi, yaitu sanad sama
dengan isnad, yang mana apabila sanadnya sudah sahih, perawinya sudah terpecaya,
maka berita itu diyakini sebagai sebuah kebenaran. Hamka mempelajari sejarah dan
belajar dari sejarah. Melalui sejarah pula hendak diwariskannya karya-karya sejarah
yang berhasil dituliskannya. Dengan demikian kajian historiografi terhadap karya
Hamka tersebut, setidaknya telah memicu kesadaran sejarah baik di tingkat lokal
maupun nasional, karena ia memang melihat sejarah dari sudut Indonesia.
Mudah-mudahan, kajian ringkas tentang pembacaan Hamka sebagai wakil
zaman dan budaya dalam karya-karya Hamka ini, khususnya karya sejarahnya,
dapatlah kita memetik “kearifan” dan “ketokohan” dalam sejarah. Semoga…!
DAFTAR PUSTAKA
Bonus Femina, Buya Hamka (Sebuah Perjalanan yang Selesai), Bonus F.19/XV-14
Mei 1987
Deliar Noer, “Yamin dan Hamka, Dua Jalan Menuju Identitas Indonesia”, dalam
Anthony Reid dan David Marr, Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka, Indonesia
dan Masa Lalunya. Jakarta: Grafitipers, 1983
Edwar Djamaris, et.al., Nila Budaya Dalam Beberapa Karya Sastra Nusantara:
Sastra Daerah di Nusantara. Jakarta: PPPB-Depdikbud., 1993
Erns Cassirer, Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia Jakarta:
Gramedia, 1990
Hamka, “Tinjaulah Sejarah (Penulisan Sejarah) Kembali”, dalam Gusti Asnan (Ed.),
Demokrasi, Otonomi, dan Gerakan Daerah. Pemikiran Politik Orang Minang
Tahun 1950-an. Padang: Citra Budaya Indonesia, 2006
Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan
Kaum Agama di Sumatera Barat. Jakarta: Umminda, 1982
Hamka, “Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao” Jakarta: Bulan Bintang, 1974
Helmi Rusdi, “Hamka dan Karyanya: Suatu Studi Historiografi Islam (1925-1981),
Skripsi Sarjana. Padang: Fakultas Sastra Universitas Andalas, 1998.
H. Amura, “Dengan Buya Hamka dalam Berbagai Peristiwa”, dalam PBB 70 Tahun
Hamka, Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya Hamka. Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1983
H. Rusjdi, “Hamka dan Pers Islam Dalam Perjuangan Tajdid”, dalam Panji
Masyarakat. No. 403. Jakarta: Agustus 1983
Mestika Zed, “Hamka dan Studi Islam di Indonesia”, dalam Historia, Jurnal
Pendidikan Sejarah. No.3, Vol II. Bandung: FPIPS-Univdersitas Pendidikan
Indonesia, Juni 2001
Muhd. Yusof Ibrahim dan Mahayudin Haji Yahaya, Sejarawan dan Pensejarahan,
Ketokohan dan Karya. Kuala Lumpur; Dewan Bahasa dan Pustaka,
Kementrian Pendidikan Malaysia, 1988
Mansyur Suryanegara, “Prof. Dr. Hamka: Sejarawan dan Pelaku Sejarah”, dalam PPB
70 Tahun Hamka, Kenangan 70 Tahun Buya Hamka. Jakarta: Panjimas, 1983
Muhammad Yamin lainnya adalah Tan Malaka : Bapak Republik Indonesia. Jakarta:
Moerba Berjuang, 1946)