Makedonia
Μακεδονία
808 SM–168 SM
Surya Vergina
Pendahulu Pengganti
Zaman Kerajaan
Kegelapan Pergamon
Yunani Kekaisaran
Seleukia
Kerajaan
Ptolemaik
Makedonia
(provinsi
Romawi)
Makedonia atau Makedon (bahasa Yunani: Μακεδονία, Makedonía)[4] adalah
sebuah kerajaan kuno yang terletak di pinggiran Yunani pada masa Arkais dan Klasik,
[5]
dan kemudian menjadi negara yang dominan di Yunani pada masa Helenistik.
[6]
Kerajaan ini dibentuk oleh Dinasti Argeadai, tetapi dalam sejarahnya juga pernah
dikuasai oleh Dinasti Antipatridai dan Antigonidai. Kerajaan tempat tinggal orang
Makedonia Kuno ini mula-mula berpusat di bagian timur laut Semenanjung Yunani,
[7]
yang berbatasan dengan Epiros di barat, Paionia di utara, Trakia di timur,
dan Tesalia di selatan.
Sebelum abad ke-4 SM, Makedonia merupakan sebuah kerajaan kecil di luar wilayah
yang didominasi oleh negara kota besar seperti Atena, Sparta, dan Tivai, dan
Makedonia juga sempat tunduk kepada Akemeniyah (Persia).[3] Nasib Makedonia
berubah pada masa pemerintahan seorang raja Argeadai yang bernama Filipos
II (m. 359 SM – 336 SM). Filipos II mereformasi militer Makedonia salah satunya
dengan memperkenalkan formasi falangs Makedonia yang dipersenjatai
dengan tembiang sarissa, dan berkat reformasi ini ia dapat mengalahkan Atena dan
Tivai dalam Pertempuran Kaironeia pada 338 SM. Salah satu putra Filipos II yang
dikenal dengan julukan Aleksander Agung melanjutkan upaya ayahnya untuk
menguasai seluruh Yunani dan ia menghancurkan kota Tivai setelah kota tersebut
mencoba memberontak. Aleksander lalu berhasil menjatuhkan Kekaisaran Akemeniyah
dan menaklukkan wilayah yang terbentang hingga ke Sungai Indus. Semenjak itu, seni
dan sastra Yunani berkembang di wilayah-wilayah yang telah ditaklukkan, dan
kemajuan dalam bidang filsafat, teknik, dan sains pun menyebar di wilayah-wilayah
tersebut.
Setelah kematian Aleksander Agung pada tahun 323 SM, Perang Diadokhoi meletus
akibat perebutan kekuasaan yang melibatkan para jenderal yang dahulu berperang
bersama Aleksander, dan kemudian wilayah yang telah ditaklukan pun dibagi-bagi. Hal
tersebut tidak membuat Makedonia kehilangan status sebagai pusat kebudayaan dan
politik Yunani di kawasan Mediterania bersama dengan Mesir Ptolemaik, Kekaisaran
Seleukia, dan Kerajaan Pergamon. Makedonia mulai mengalami kemunduran setelah
meletusnya Peperangan Makedonia dan kebangkitan Romawi sebagai negara terkuat
di kawasan Mediterania. Sesudah kemenangan Romawi dalam Perang Makedonia
Ketiga pada tahun 168 SM, monarki Makedonia dibubarkan dan digantikan
oleh negara-negara pengekor Romawi. Monarki sempat dipulihkan pada masa Perang
Makedonia Keempat pada tahun 150–148 SM, tetapi upaya tersebut tidak berhasil dan
Romawi akhirnya mendirikan provinsi Makedonia.
Raja-raja Makedonia memiliki kekuasaan absolut dan mengendalikan sumber daya
negara seperti emas dan perak. Mereka mengadakan kegiatan-kegiatan penambangan
untuk mencetak uang, mendanai pasukan mereka, dan pada masa Filipos II juga untuk
membangun armada laut. Tidak seperti negara-negara diadokhoi yang didirikan
sepeninggalan Aleksander Agung, kultus kekaisaran yang digalakkan oleh Aleksander
tidak pernah diberlakukan di Makedonia, tetapi penguasa Makedonia tetap berperan
sebagai imam agung kerajaan dan merupakan pendukung berbagai kultus dari dalam
dan luar negeri. Wewenang raja secara teoretis dibatasi oleh lembaga militer,
sementara beberapa kota di persemakmuran Makedonia dianugerahi otonomi yang
besar, termasuk memiliki pemerintahan demokratis dengan majelis rakyat.
Daftar isi
1Sejarah
o 1.1Sejarah awal dan legenda
o 1.2Keterlibatan dalam peradaban Yunani Klasik
o 1.3Kebangkitan Makedonia
o 1.4Kekaisaran
o 1.5Era Helenistik
o 1.6Konflik dengan Roma
2Institusi
o 2.1Pembagian kekuasaan
o 2.2Jabatan raja dan pemerintahan kerajaan
o 2.3Hamba muda
o 2.4Pengawal
o 2.5Sahabat, teman, dewan, dan majelis
o 2.6Magistrat, persemakmuran, pemerintahan setempat, dan negara sekutu
o 2.7Militer
2.7.1Pasukan Makedonia awal
2.7.2Filipos II dan Aleksander Agung
2.7.3Militer zaman Antigonidai
3Masyarakat dan budaya
o 3.1Bahasa dan dialek
o 3.2Kepercayaan agama dan praktik pemakaman
o 3.3Ekonomi dan kelas sosial
o 3.4Seni rupa
o 3.5Hiburan panggung
o 3.6Sastra, pendidikan, filsafat, dan catatan sejarah
o 3.7Ajang olahraga
o 3.8Hidangan
o 3.9Identitas etnis
4Ilmu pengetahuan
o 4.1Arsitektur
o 4.2Teknologi dan teknik militer
o 4.3Inovasi lain
5Mata uang, keuangan, dan sumber daya
6Tinggalan sejarah
7Catatan penjelas
8Rujukan
9Daftar pustaka
10Bacaan tambahan
11Pranala luar
Sejarah[sunting | sunting sumber]
Sejarah awal dan legenda[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Makedonia Akemeniyah dan Dinasti Argeadai
Pintu masuk salah satu makam kerajaan di Vergina, sebuah situs Warisan Dunia UNESCO
Sebuah koin perak oktadrakhma Aleksander I dari Makedonia (m. 498 SM – 454 SM), yang dibuat sekitar
tahun 465–460 SM, dan menampilkan seseorang yang sedang berkuda dan mengenakan khlamis (jubah
pendek) dan petasos (tutup kepala) sembari membawa dua tombak
Wilayah Makedonia (jingga) selama Perang Peloponesos sekitar tahun 431 SM. Di peta ini juga
terdapat Atena dan Liga Delia (kuning), Sparta dan Liga Peloponesos (merah), negara-negara merdeka (biru),
dan Kekaisaran Akemeniyah (ungu)
Meskipun awalnya merupakan vasal Persia, Aleksander I dari Makedonia tetap menjalin
hubungan diplomatik yang bersahabat dengan bekas musuh-musuhnya di Yunani,
yaitu Liga Delia yang dipimpin oleh Atena dan Liga Peloponesos pimpinan Sparta.
[24]
Namun, penerus Aleksander I, yakni Perdikas II (m. 454 SM – 413 SM) memimpin
Kerajaan Makedonia dalam empat konflik terpisah melawan Atena; pada saat yang
sama, wilayah Makedonia di timur laut terancam oleh serangan-serangan yang
dilancarkan oleh seorang penguasa Trakia yang bernama Sitalkes dari Kerajaan
Odrisia.[25] Mulanya negarawan Atena Perikles berupaya menggalakkan pendirian
permukiman di daerah Sungai Strimon di dekat Kerajaan Makedonia, dan
kota Amfipolis didirikan pada 437/436 SM agar Atena dapat memperoleh persediaan
emas dan perak ditambah dengan kayu dan damar gegala untuk angkatan laut Atena.
Perdikas sempat tidak mengambil tindakan dan mungkin malah menyambut
[26]
Amintas III sempat melarikan diri dari kerajaannya sekitar tahun 393 atau 383 SM
(berdasarkan catatan-catatan sejarah yang saling bertentangan), dalam rangka
menghindari serangan besar-besaran yang dilancarkan oleh suku Dardani dari Iliria
yang dipimpin oleh Bardilis.[catatan 3] Seorang pengklaim takhta yang
bernama Argaios memerintah selama kepergian Amintas III, tetapi Amintas III kemudian
dapat kembali ke kerajaannya dengan bantuan sekutu-sekutunya di Tesalia.
[48]
Amintas III juga hampir dilengserkan oleh pasukan kota Olintos yang memimpin Liga
Kalkidiki, tetapi berkat bantuan dari Teleutias (saudara Raja Sparta Agesilaos II),
pasukan Makedonia berhasil membuat Olintos menyerah dan membubarkan Liga
Kalkidiki pada 379 SM.[49]
Aleksander II (putra dari Euridike I dan Amintas III, m. 370 SM – 368 SM) menggantikan
ayahnya dan langsung menyerbu Tesalia dan mengobarkan perang
melawan tagus (pemimpin militer tertinggi Tesalia) Aleksander dari Ferai, dan mereka
berhasil menaklukkan kota Larisa.[50] Pasukan Tesalia ingin menjatuhkan Aleksander II
sekaligus Aleksander dari Ferai, sehingga mereka meminta bantuan
kepada Pelopidas dari Tivai; Pelopidas berhasil merebut kembali Larisa dan kemudian
menerima sandera berupa adik kandung Aleksander II (yang kelak akan menjadi
Raja Filipus II, m. 359 SM – 336 SM), sesuai dengan ketentuan perjanjian yang telah
disepakati dengan Makedonia.[51] Setelah nyawa Aleksander dicabut oleh saudara
iparnya, Ptolemaios dari Aloros, Ptolemaios bertindak sebagai wali untuk
Raja Perdikas III (adik Aleksander II, m. 368 SM – 359 SM); setelah Perdikas III
mencapai usia dewasa pada tahun 365 SM, ia memerintahkan agar Ptolemaios
dihukum mati.[52] Masa kekuasaan Perdikas III merupakan masa kestabilan politik dan
pemulihan keuangan.[53] Namun, serangan dari Atena yang dipimpin
oleh Timoteos (anak Konon) mengakibatkan jatuhnya kota Metone dan Pidna, dan
kemudian keadaan semakin memburuk setelah Bardilis dari Iliria kembali melancarkan
serangan yang berujung pada kematian Perdikas III dan 4.000 pasukan Makedonia
dalam pertempuran.[54]
Kebangkitan Makedonia[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Kebangkitan Makedonia
Informasi lebih lanjut: Dinasti Argeadai, Amintas IV dari Makedonia dan Liga Korintos
Peta Kerajaan Makedonia pada saat kematian Filipos II pada tahun 336 SM (biru muda), sementara wilayah
Makedonia sebelumnya pada tahun 431 SM ditandai dengan garis-garis merah. Kuning adalah wilayah
dependensi Makedonia
Filipos II berusia dua puluh empat tahun saat ia naik takhta pada 359 SM.[55] Berkat
kemampuan diplomasinya, ia berhasil meyakinkan orang-orang Trakia yang dipimpin
oleh Berisades untuk tidak lagi membantu salah seorang pengklaim takhta Makedonia
yang bernama Pausanias, dan ia juga berhasil membuat Atena menghentikan
dukungan mereka kepada seorang pengklaim takhta yang lain, yaitu Argaios II.[56] Ia
melakukannya dengan menyuap orang-orang Trakia dan Paionia (yang merupakan
sekutu Trakia), dan juga dengan menyepakati perjanjian dengan Atena yang
menyatakan bahwa Makedonia mencabut klaimnya atas kota Amfipolis. [57] Selain itu, ia
berhasil berdamai dengan orang-orang Iliria yang sempat mengancam wilayah
perbatasan Makedonia.[58]
Filipos II mengawali masa pemerintahannya dengan merombak pasukan Makedonia. Ia
mengubah susunan, peralatan, dan pelatihan pasukannya, termasuk dengan
memperkenalkan formasi falangs Makedonia yang bersenjatakan tembiang panjang
(sarissa), dan reformasi ini terbukti mujarab setelah mereka berhasil mengalahkan Iliria
dan Paionia.[59] Catatan-catatan sejarah kuno yang saling berseberangan telah memicu
perdebatan di kalangan ahli modern mengenai seberapa besar sumbangsih para
pendahulu Filipos II terhadap reformasi militer ini, dan sejauh mana gagasannya
dipengaruhi oleh masa-masa remajanya saat ia ditawan di Tivai sebagai sandera
politik, khususnya setelah ia bertemu dengan jenderal Epaminondas.[60]
Orang Makedonia dan orang-orang Yunani pada umumnya mempraktikkan monogami,
tetapi Filipos II melakukan poligami dan mempunyai tujuh istri, dan mungkin hanya satu
istrinya yang tidak memiliki latar belakang sebagai persembahan tanda kesetiaan dari
keluarga ningrat atau sekutu barunya.[catatan 4] Ia menikah dengan Fila dari Elimeia yang
berasal dari golongan ningrat Makedonia Hulu, serta seorang putri Iliria yang
bernama Audata dengan tujuan membentuk persekutuan.[61] Untuk membentuk
persekutuan dengan Larisa di Tesalia, ia menikahi seorang bangsawati Tesalia yang
bernama Filina pada tahun 358 SM, dan dari pernikahannya ini Filipos II dikaruniai
seorang putra yang kelak akan memerintah dengan nama Filipos III Aridaios (m. 323
SM – 317 SM).[62] Pada 357 SM, ia menikahi Olimpias untuk bersekutu dengan Aribas,
yang merupakan Raja Epiros dan Molosoi. Pernikahan tersebut dikaruniai seorang
putra yang kemudian memerintah dengan sebutan Aleksander III (lebih dikenal dengan
julukan Aleksander Agung) dan mengklaim sebagai keturunan Akhilles dalam legenda
melalui garis keturunan Raja Epiros.[63] Tidak diketahui secara pasti apakah raja-raja
Akemeniyah-lah yang berpengaruh terhadap praktik poligami Filipos II, meskipun
pendahulunya Amintas III memiliki tiga putra yang diyakini lahir dari istri keduanya,
Gigaea: Arkelaos, Aridaios, dan Menelaus.[64] Filipos II memerintahkan penghukuman
mati Arkelaos pada 359 SM, sementara dua bersaudara yang lain melarikan diri ke
Olintos, yang kemudian menjadi sebuah casus belli untuk memulai Perang Olintia (349–
348 SM).[65]
Saat Atena sedang disibukkan dengan Perang Sosial (357–355 SM), Filipos II merebut
kembali Amfipolis dari Atena pada 357 SM dan pada tahun berikutnya juga berhasil
menguasai kembali Pidna dan Potidaia; ia lalu menyerahkan Potidaia kepada Liga
Kalkidiki seperti yang telah dijanjikan sebelumnya. [66] Pada 356 SM, ia mengambil
alih Krinides dan mendirikan kembali kota tersebut dengan nama Filipi, sementara
salah satu jenderalnya yang bernama Parmenion berhasil mengalahkan raja
Iliria Grabos dari Grabaei.[67] Selama pengepungan Methone tahun 355–354 SM,
Filipos II kehilangan mata kanannya akibat tembakan panah, tetapi tetap berhasil
merebut kota tersebut dan memperlakukan para penduduknya dengan baik, tidak
seperti Potidaia yang telah diperbudak rakyatnya. [catatan 5]
Filipos II lalu turut serta dalam Perang Suci Ketiga (356–346 SM). Perang ini dimulai
setelah Fokis menaklukkan dan menjarah kuil Apollo di Delfi daripada harus melunasi
denda yang belum dibayarkan. Akibat tindakan tersebut, Liga Amfiktionia menyatakan
perang terhadap Fokis, dan pada saat yang sama perang saudara juga meletus di
antara para anggota Liga Tesalia karena masing-masing dari anggota liga tersebut ada
yang bersekutu dengan Fokis atau Tivai.[68] Kampanye militer yang dikobarkan oleh
Filipos II melawan Ferai di Tesalia pada 353 SM (atas desakan dari Larisa) sempat
mengalami kegagalan akibat dua kekalahan besar di tangan jenderal Fokis Onomarkos.
[catatan 6]
Walaupun begitu, Filipos II berhasil mengalahkan Onomarkos dalam Pertempuran
Lapangan Krokus pada 352 SM, sehingga Filipos II terpilih sebagai pemimpin (arkhon)
Liga Tesalia, mendapatkan satu kursi di Dewan Amfiktionia, dan dapat membentuk
persekutuan dengan Ferai melalui pernikahan dengan Nikesipolis, kemenakan
tiran Iason dari Ferai.[69]
Setelah bertempur melawan penguasa Trakia Kersobleptes, pada tahun 349 SM,
Filipos II memulai perang melawan Liga Kalkidiki, yang telah didirikan kembali pada
375 SM.[70] Meskipun Karidemos dari Atena mencoba membantu Kalkidiki,[71] Olintos
ditaklukan oleh Filipos II pada 348 SM, sementara para penduduknya dijual sebagai
budak, termasuk beberapa warga Atena.[72] Atena berupaya meyakinkan sekutu-
sekutunya untuk melancarkan serangan balasan (termasuk pidato-pidato Demostenes),
tetapi upaya-upaya ini gagal, sehingga pada 346 SM Atena menyepakati
Perjanjian Perdamaian Filokrates dengan Makedonia.[73] Perjanjian tersebut menyatakan
bahwa Atena akan mencabut klaim atas wilayah pesisir Makedonia, Kalkidiki, dan
Amfipolis; sebagai gantinya, orang-orang Atena yang telah diperbudak akan dilepaskan,
dan Filipos II juga memberikan jaminan bahwa mereka tak akan menyerang
permukiman-permukiman Atena di Kersonesos Trakia.[74] Sementara itu, Fokis
dan Termopilai ditaklukkan oleh pasukan Makedonia, para perampok kuil Delfi dihukum
mati, dan Filipos II memperoleh dua kursi Fokis di Dewan Amfiktionia serta jabatan
pembawa acara dalam ajang Pesta Olahraga Pitia.[75] Atena awalnya menentang
keanggotaan Makedonia di dewan dan menolak hadir dalam ajang tersebut sebagai
tanda protes, tetapi pada akhirnya mereka bersedia menerimanya, mungkin setelah
diyakinkan oleh Demostenes dalam orasinya, Tentang Perdamaian.[76]