Anda di halaman 1dari 13

Makedonia (kerajaan kuno)

Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

Makedonia
Μακεδονία

808 SM–168 SM

Surya Vergina

Makedonia pada tahun 336 SM (warna jingga)

Ibu kota Aigai (Vergina)[1]


(808–399 SM)
Pela[2]
(399–167 SM)

Bahasa Makedonia Kuno


Yunani Atika
Yunani Koine

Agama Politeisme Yunani

Bentuk pemerintahan Monarki


Raja
 -  808 SM–778 SM Karanos
 -  179 SM–168 SM Perseus
Badan legislatif Sinedrion

Era sejarah Abad Kuno


 -  Didirikan
oleh Karanos 808 SM
 -  Vasal Persia [3]
512/511–493 SM
 -  Menjadi wilayah
Persia[3] 492–479 SM
 -  Kejayaan Makedonia 359–336 SM
 -  Menaklukkan Persia 335–323 SM
 -  Pembagian Babilonia 323 SM
 -  Pertempuran Pidna 168 SM

Mata uang Tetradrakhma

Pendahulu Pengganti
Zaman Kerajaan
Kegelapan Pergamon
Yunani Kekaisaran
Seleukia
Kerajaan
Ptolemaik
Makedonia
(provinsi
Romawi)

Makedonia atau Makedon (bahasa Yunani: Μακεδονία, Makedonía)[4] adalah
sebuah kerajaan kuno yang terletak di pinggiran Yunani pada masa Arkais dan Klasik,
[5]
 dan kemudian menjadi negara yang dominan di Yunani pada masa Helenistik.
[6]
 Kerajaan ini dibentuk oleh Dinasti Argeadai, tetapi dalam sejarahnya juga pernah
dikuasai oleh Dinasti Antipatridai dan Antigonidai. Kerajaan tempat tinggal orang
Makedonia Kuno ini mula-mula berpusat di bagian timur laut Semenanjung Yunani,
[7]
 yang berbatasan dengan Epiros di barat, Paionia di utara, Trakia di timur,
dan Tesalia di selatan.
Sebelum abad ke-4 SM, Makedonia merupakan sebuah kerajaan kecil di luar wilayah
yang didominasi oleh negara kota besar seperti Atena, Sparta, dan Tivai, dan
Makedonia juga sempat tunduk kepada Akemeniyah (Persia).[3] Nasib Makedonia
berubah pada masa pemerintahan seorang raja Argeadai yang bernama Filipos
II (m. 359 SM – 336 SM). Filipos II mereformasi militer Makedonia salah satunya
dengan memperkenalkan formasi falangs Makedonia yang dipersenjatai
dengan tembiang sarissa, dan berkat reformasi ini ia dapat mengalahkan Atena dan
Tivai dalam Pertempuran Kaironeia pada 338 SM. Salah satu putra Filipos II yang
dikenal dengan julukan Aleksander Agung melanjutkan upaya ayahnya untuk
menguasai seluruh Yunani dan ia menghancurkan kota Tivai setelah kota tersebut
mencoba memberontak. Aleksander lalu berhasil menjatuhkan Kekaisaran Akemeniyah
dan menaklukkan wilayah yang terbentang hingga ke Sungai Indus. Semenjak itu, seni
dan sastra Yunani berkembang di wilayah-wilayah yang telah ditaklukkan, dan
kemajuan dalam bidang filsafat, teknik, dan sains pun menyebar di wilayah-wilayah
tersebut.
Setelah kematian Aleksander Agung pada tahun 323 SM, Perang Diadokhoi meletus
akibat perebutan kekuasaan yang melibatkan para jenderal yang dahulu berperang
bersama Aleksander, dan kemudian wilayah yang telah ditaklukan pun dibagi-bagi. Hal
tersebut tidak membuat Makedonia kehilangan status sebagai pusat kebudayaan dan
politik Yunani di kawasan Mediterania bersama dengan Mesir Ptolemaik, Kekaisaran
Seleukia, dan Kerajaan Pergamon. Makedonia mulai mengalami kemunduran setelah
meletusnya Peperangan Makedonia dan kebangkitan Romawi sebagai negara terkuat
di kawasan Mediterania. Sesudah kemenangan Romawi dalam Perang Makedonia
Ketiga pada tahun 168 SM, monarki Makedonia dibubarkan dan digantikan
oleh negara-negara pengekor Romawi. Monarki sempat dipulihkan pada masa Perang
Makedonia Keempat pada tahun 150–148 SM, tetapi upaya tersebut tidak berhasil dan
Romawi akhirnya mendirikan provinsi Makedonia.
Raja-raja Makedonia memiliki kekuasaan absolut dan mengendalikan sumber daya
negara seperti emas dan perak. Mereka mengadakan kegiatan-kegiatan penambangan
untuk mencetak uang, mendanai pasukan mereka, dan pada masa Filipos II juga untuk
membangun armada laut. Tidak seperti negara-negara diadokhoi yang didirikan
sepeninggalan Aleksander Agung, kultus kekaisaran yang digalakkan oleh Aleksander
tidak pernah diberlakukan di Makedonia, tetapi penguasa Makedonia tetap berperan
sebagai imam agung kerajaan dan merupakan pendukung berbagai kultus dari dalam
dan luar negeri. Wewenang raja secara teoretis dibatasi oleh lembaga militer,
sementara beberapa kota di persemakmuran Makedonia dianugerahi otonomi yang
besar, termasuk memiliki pemerintahan demokratis dengan majelis rakyat.

Daftar isi

 1Sejarah
o 1.1Sejarah awal dan legenda
o 1.2Keterlibatan dalam peradaban Yunani Klasik
o 1.3Kebangkitan Makedonia
o 1.4Kekaisaran
o 1.5Era Helenistik
o 1.6Konflik dengan Roma
 2Institusi
o 2.1Pembagian kekuasaan
o 2.2Jabatan raja dan pemerintahan kerajaan
o 2.3Hamba muda
o 2.4Pengawal
o 2.5Sahabat, teman, dewan, dan majelis
o 2.6Magistrat, persemakmuran, pemerintahan setempat, dan negara sekutu
o 2.7Militer
 2.7.1Pasukan Makedonia awal
 2.7.2Filipos II dan Aleksander Agung
 2.7.3Militer zaman Antigonidai
 3Masyarakat dan budaya
o 3.1Bahasa dan dialek
o 3.2Kepercayaan agama dan praktik pemakaman
o 3.3Ekonomi dan kelas sosial
o 3.4Seni rupa
o 3.5Hiburan panggung
o 3.6Sastra, pendidikan, filsafat, dan catatan sejarah
o 3.7Ajang olahraga
o 3.8Hidangan
o 3.9Identitas etnis
 4Ilmu pengetahuan
o 4.1Arsitektur
o 4.2Teknologi dan teknik militer
o 4.3Inovasi lain
 5Mata uang, keuangan, dan sumber daya
 6Tinggalan sejarah
 7Catatan penjelas
 8Rujukan
 9Daftar pustaka
 10Bacaan tambahan
 11Pranala luar

Sejarah[sunting | sunting sumber]
Sejarah awal dan legenda[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Makedonia Akemeniyah dan Dinasti Argeadai

Pintu masuk salah satu makam kerajaan di Vergina, sebuah situs Warisan Dunia UNESCO

Nama Makedonia (bahasa Yunani: Μακεδονία, Makedonía) berasal


dari etnonim Μακεδόνες (Makedónes), yang mengakar dari kata dalam bahasa Yunani
Kuno μακεδνός (makednós), yang berarti "tinggi" (kemungkinan
mendeskripsikan orang-orangnya).[8] Asal mula kata tersebut sama dengan asal usul
kata sifat μάκρος (mákros), yang bermakna "panjang" atau "tinggi" dalam bahasa
Yunani Kuno.[9] Nama ini awalnya diyakini memiliki arti "orang dataran tinggi", "orang
tinggi", atau "orang yang bertumbuh tinggi". [catatan 1] Namun, Robert S. P.
Beekes mengklaim bahwa kedua istilah tersebut berasal dari substratum Pra-
Yunani dan tak dapat dijelaskan dengan menggunakan morfologi Indo-Eropa.[10]
Sejarawan-sejarawan Yunani Klasik seperti Herodotos dan Thukidides mencatat
sebuah legenda yang menyatakan bahwa raja-raja Makedonia dari Dinasti
Argeadai adalah keturunan Temenos, raja Argos, sehingga raja-raja tersebut dapat
mengklaim bahwa Herakles adalah salah satu leluhur mereka, dan bahwa mereka
adalah keturunan langsung Zeus, dewa utama dalam mitologi Yunani.[11] Pernyataan
bahwa keluarga Argeadai merupakan keturunan Temenos diterima kebenarannya oleh
para juri Hellanodikai dalam ajang Olimpiade Kuno, sehingga Raja Aleksander I dari
Makedonia (m. 498 SM – 454 SM) diperbolehkan ikut bertanding berkat identitas
Yunani-nya.[12] Tidak banyak yang diketahui mengenai masa pemerintahan ayah
Aleksander, yaitu Amintas I dari Makedonia (m. 547 SM – 498 SM), pada periode
Arkais.[13] Namun, terdapat pula legenda lain yang menyatakan bahwa pendiri Dinasti
Argeadai adalah Perdikas I dari Makedonia atau Karanos dari Makedonia, dan terdapat
lima atau delapan raja sebelum Amintas I.[14]
Kerajaan Makedonia terletak di sepanjang sungai Haliakmon dan Aksios di
kawasan Makedonia Hilir yang terletak di sebelah utara Gunung Olimpus.
Sejarawan Robert Malcolm Errington menduga bahwa salah satu raja Argeadai terawal
mendirikan kota Aigai (sekarang Vergina) sebagai ibu kota pada pertengahan abad ke-
7 SM.[15] Sebelum abad ke-4 SM, kerajaan tersebut mencakup kawasan di sekitaran
bagian barat dan tengah wilayah Makedonia di Yunani modern.[16] Kerajaan tersebut
secara bertahap meluas ke wilayah Makedonia Hulu, yang ditinggali oleh
suku Linkestis dan Elimiotis (keduanya termasuk ke dalam puak Yunani), dan ke
kawasan Ematia, Eordaia, Botiaia, Migdonia, Krestonia, dan Almopia (wilayah-wilayah
yang ditempati oleh berbagai suku bangsa seperti Trakia dan Frigia).[17] Orang-orang
non-Yunani yang tinggal bersebelahan dengan Makedonia adalah orang Trakia yang
tinggal di kawasan timur laut, Iliria di barat laut, dan Paionia di utara, sementara
wilayah Tesalia di selatan dan Epiros di barat ditinggali oleh orang Yunani dengan
budaya yang serupa dengan orang Makedonia. [18]

Sebuah koin perak oktadrakhma Aleksander I dari Makedonia (m. 498 SM – 454 SM), yang dibuat sekitar
tahun 465–460 SM, dan menampilkan seseorang yang sedang berkuda dan mengenakan khlamis (jubah
pendek) dan petasos (tutup kepala) sembari membawa dua tombak

Setahun setelah Darius I dari Persia (m. 522 SM – 486 SM) melancarkan serangan ke


Eropa melawan orang-orang Skitia, Paionia, Trakia, dan beberapa negara-kota Yunani
di Balkan, jenderal Persia Megabazos menggunakan cara diplomasi untuk membujuk
Amintas I agar bersedia menjadi vasal Kekaisaran Akemeniyah, sehingga dimulailah
periode Makedonia Akemeniyah.[catatan 2] Hegemoni Akemeniyah sempat terganggu
oleh Pemberontakan Ionia (499–493 SM), tetapi jenderal Persia Mardonius berhasil
mengembalikan kekuasaan Akemeniyah di Makedonia. [19] Makedonia
diberikan otonomi yang besar dan tidak pernah dijadikan satrapi (semacam provinsi)
Akemeniyah, tetapi wilayah tersebut tetap dituntut untuk menyediakan pasukan kepada
Akemeniyah.[20] Aleksander I memberikan dukungan militer Makedonia kepada Xerxes
I (m. 486 SM – 465 SM) selama invasi Yunani kedua pada 480–479 SM, dan pasukan
Makedonia bahkan bertarung di pihak Persia dalam Pertempuran Plataia pada tahun
479 SM.[21] Setelah kemenangan besar Yunani di Salamis pada 480 SM, Aleksander I
ditugaskan sebagai diplomat Akemeniyah dengan tugas mengusulkan perjanjian
perdamaian dan persekutuan dengan Atena, tetapi tawaran tersebut ditolak mentah-
mentah.[22] Tak lama sesudahnya, pasukan Akemeniyah terpaksa mundur dari daratan
Eropa, alhasil berakhirlah kekuasaan Persia di Makedonia. [23]
Keterlibatan dalam peradaban Yunani Klasik[sunting | sunting sumber]
Informasi lebih lanjut: Liga Delia, Hegemoni Sparta dan Hegemoni Tivai

Wilayah Makedonia (jingga) selama Perang Peloponesos sekitar tahun 431 SM. Di peta ini juga
terdapat Atena dan Liga Delia (kuning), Sparta dan Liga Peloponesos (merah), negara-negara merdeka (biru),
dan Kekaisaran Akemeniyah (ungu)

Meskipun awalnya merupakan vasal Persia, Aleksander I dari Makedonia tetap menjalin
hubungan diplomatik yang bersahabat dengan bekas musuh-musuhnya di Yunani,
yaitu Liga Delia yang dipimpin oleh Atena dan Liga Peloponesos pimpinan Sparta.
[24]
 Namun, penerus Aleksander I, yakni Perdikas II (m. 454 SM – 413 SM) memimpin
Kerajaan Makedonia dalam empat konflik terpisah melawan Atena; pada saat yang
sama, wilayah Makedonia di timur laut terancam oleh serangan-serangan yang
dilancarkan oleh seorang penguasa Trakia yang bernama Sitalkes dari Kerajaan
Odrisia.[25] Mulanya negarawan Atena Perikles berupaya menggalakkan pendirian
permukiman di daerah Sungai Strimon di dekat Kerajaan Makedonia, dan
kota Amfipolis didirikan pada 437/436 SM agar Atena dapat memperoleh persediaan
emas dan perak ditambah dengan kayu dan damar gegala untuk angkatan laut Atena.
 Perdikas sempat tidak mengambil tindakan dan mungkin malah menyambut
[26]

kedatangan Atena karena mereka sama-sama bermusuhan dengan orang-orang


Trakia.[27] Keadaan berubah setelah Atena bersekutu dengan saudara dan sepupu
Perdikas II yang telah memberontak melawannya.[27] Dua perang terpisah terjadi antara
Makedonia dan Atena dari tahun 433 dan 431 SM.[27] Raja Makedonia membalas
tindakan Atena dengan mendukung pemberontakan di wilayah sekutu Atena
di Kalkidiki dan berhasil mengambil alih kota Potidaia yang strategis.[28] Kota Potidaia
lalu dikepung oleh Atena setelah mereka merebut kota Therma dan Veria dari
Makedonia, tetapi pengepungan tersebut mengalami kegagalan; Therma kemudian
dikembalikan kepada Makedonia dan sebagian besar wilayah Kalkidiki pun diserahkan
kepada Atena sesuai dengan perjanjian perdamaian yang ditengahi oleh Sitalkes, yang
memberikan bantuan militer kepada Atena untuk mendapatkan sekutu-sekutu Trakia
yang baru sebagai gantinya.[29]
Pada 429 SM, di tengah berkecamuknya Perang Peloponesos (431–404 SM) antara
Atena dan Sparta, Perdikas II mengirim bantuan militer kepada Sparta di Akarnania,
tetapi pasukan Makedonia terlambat datang, sehingga pasukan Atena dapat
memenangkan Pertempuran Naupaktus.[30] Pada tahun yang sama, pasukan Atena
mencoba membalas tindakan ini dengan meyakinkan Sitalkes untuk menyerang
Makedonia, tetapi Atena menolak mengirimkan angkatan lautnya untuk membantu
Sitalkes di Kalkidiki, kemungkinan karena Atena merasa takut dengan ambisi sang raja
Trakia.[31] Sitalkes mundur dari Makedonia akibat kurangnya persediaan untuk para
tentara pada musim dingin.[32] Pada 424 SM, Perdikas II membantu meyakinkan sekutu-
sekutu Atena di Trakia untuk membelot dan bersekutu dengan Sparta. [33] Sebagai
gantinya, jenderal Sparta Brasidas bersedia membantu Perdikas II memadamkan
pemberontakan Arabaios, penguasa Linkestis (di Makedonia Hulu), meskipun ia sempat
mengungkapkan kekhawatirannya karena Arabaios didukung oleh pasukan Iliria dalam
jumlah yang besar dan juga karena sekutu Sparta di Kalkidiki rentan diserang Atena
ketika pasukan Sparta sedang disibukkan di tempat lain. [34] Dalam Pertempuran
Linkestis, pasukan Makedonia panik dan melarikan diri sebelum pertarungan dimulai,
sehingga Brasidas mengamuk, dan pasukan-pasukannya menjarah kereta kuda
pengangkut perbekalan milik Makedonia yang telah ditinggalkan. [35] Akibatnya,
Perdikas II berbalik melawan Sparta dan kembali bersekutu dengan Atena, sehingga
menghadang bala bantuan Liga Peloponesos di Tesalia dan memaksa Arabaios dan
para pemberontak lainnya untuk menyerah dan menerima raja Makedonia sebagai
penguasa mereka.[36]

Koin didrakhma Makedonia yang dibuat pada masa pemerintahan Arkelaos I dari Makedonia (m. 413


SM – 399 SM)
Brasidas meninggal dunia pada tahun 422 SM, yang juga merupakan tahun ketika
Atena dan Sparta menyetujui Perjanjian Perdamaian Nikias yang membebaskan
Makedonia dari segala kewajiban untuk membantu sekutunya, Atena. [37] Setelah
kemenangan Sparta dalam Pertempuran Mantinea pada tahun 418 SM, Sparta
membentuk sebuah persekutuan dengan Argos, dan Perdikas II sendiri ingin bergabung
dengan persekutuan ini karena terdapat kemungkinan bahwa sekutu-sekutu Sparta
akan tetap berada di Kalkidiki.[38] Namun, setelah Argos mendadak berbalik mendukung
Atena, angkatan laut Atena dapat memblokade pelabuhan-pelabuhan Makedonia dan
menyerang Kalkidiki pada tahun 417 SM.[39] Perdikas II mengajak berdamai pada
414 SM dan membentuk sebuah persekutuan dengan Atena yang kemudian akan
dilanjutkan oleh putranya sekaligus penerusnya, Arkelaos I (m. 413 SM – 399 SM).
[40]
 Alhasil angkatan laut Atena memberikan dukungan kepada Arkelaos I selama
pengepungan Pidna oleh Makedonia pada tahun 410 SM, dan sebagai gantinya
Makedonia memasok Atena dengan kayu dan peralatan laut. [41]
Meskipun Arkelaos I menghadapi beberapa pemberontakan di dalam negeri dan harus
menghalau serangan Iliria yang dipimpin oleh Siras dari Linkestis, ia mampu merambah
ke wilayah Tesalia dengan mengirim bantuan militer kepada sekutu-sekutunya.
[42]
 Walaupun ia masih mempertahankan Aigai sebagai pusat upacara dan keagamaan,
Arkelaos I memindahkan ibu kota kerajaan ke utara di Pela, yang pada saat itu terletak
di pinggir danau yang dihubungkan oleh sebuah sungai ke Laut Aegea. [43] Ia
memperkuat mata uang Makedonia dengan mencetak koin-koin yang
memiliki kandungan perak yang lebih tinggi serta dengan mengeluarkan koin tembaga
yang terpisah.[44] Istana kerajaannya diisi oleh cendekiawan-cendekiawan ternama
seperti seorang dramawan Atena yang bernama Euripides.[45] Setelah pembunuhan
Arkelaos I (diduga akibat hubungan homoseksual dengan hamba muda di istananya),
Kerajaan Makedonia mengalami kekacauan; dari tahun 399 hingga 393 SM, terdapat
paling tidak empat penguasa: Orestes (putra Arkelaos I), Aeropos II (paman, wali raja,
dan pembunuh Orestes), Pausanias (putra Aeropos II), dan Amintas II (yang menikahi
putri bungsu Arkelaos I).[46] Tidak banyak yang diketahui mengenai masa yang kacau ini,
tetapi masa ini berakhir setelah Amintas III (m. 393 SM – 370 SM, putra Aridaios dan
cucu Amintas I) membunuh Pausanias dan merebut takhta Makedonia. [47]

Koin stater perak Amintas III dari Makedonia (m. 393 SM – 370 SM)

Amintas III sempat melarikan diri dari kerajaannya sekitar tahun 393 atau 383 SM
(berdasarkan catatan-catatan sejarah yang saling bertentangan), dalam rangka
menghindari serangan besar-besaran yang dilancarkan oleh suku Dardani dari Iliria
yang dipimpin oleh Bardilis.[catatan 3] Seorang pengklaim takhta yang
bernama Argaios memerintah selama kepergian Amintas III, tetapi Amintas III kemudian
dapat kembali ke kerajaannya dengan bantuan sekutu-sekutunya di Tesalia.
[48]
 Amintas III juga hampir dilengserkan oleh pasukan kota Olintos yang memimpin Liga
Kalkidiki, tetapi berkat bantuan dari Teleutias (saudara Raja Sparta Agesilaos II),
pasukan Makedonia berhasil membuat Olintos menyerah dan membubarkan Liga
Kalkidiki pada 379 SM.[49]
Aleksander II (putra dari Euridike I dan Amintas III, m. 370 SM – 368 SM) menggantikan
ayahnya dan langsung menyerbu Tesalia dan mengobarkan perang
melawan tagus (pemimpin militer tertinggi Tesalia) Aleksander dari Ferai, dan mereka
berhasil menaklukkan kota Larisa.[50] Pasukan Tesalia ingin menjatuhkan Aleksander II
sekaligus Aleksander dari Ferai, sehingga mereka meminta bantuan
kepada Pelopidas dari Tivai; Pelopidas berhasil merebut kembali Larisa dan kemudian
menerima sandera berupa adik kandung Aleksander II (yang kelak akan menjadi
Raja Filipus II, m. 359 SM – 336 SM), sesuai dengan ketentuan perjanjian yang telah
disepakati dengan Makedonia.[51] Setelah nyawa Aleksander dicabut oleh saudara
iparnya, Ptolemaios dari Aloros, Ptolemaios bertindak sebagai wali untuk
Raja Perdikas III (adik Aleksander II, m. 368 SM – 359 SM); setelah Perdikas III
mencapai usia dewasa pada tahun 365 SM, ia memerintahkan agar Ptolemaios
dihukum mati.[52] Masa kekuasaan Perdikas III merupakan masa kestabilan politik dan
pemulihan keuangan.[53] Namun, serangan dari Atena yang dipimpin
oleh Timoteos (anak Konon) mengakibatkan jatuhnya kota Metone dan Pidna, dan
kemudian keadaan semakin memburuk setelah Bardilis dari Iliria kembali melancarkan
serangan yang berujung pada kematian Perdikas III dan 4.000 pasukan Makedonia
dalam pertempuran.[54]
Kebangkitan Makedonia[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Kebangkitan Makedonia
Informasi lebih lanjut: Dinasti Argeadai, Amintas IV dari Makedonia dan Liga Korintos

Kiri: patung dada Filipos II dari Makedonia (m. 359 SM – 336 SM) yang


dibuat pada periode Helenistik, kini disimpan di Ny Carlsberg Glyptotek.
Kanan: patung dada Filipos II yang lain, tetapi yang ini adalah tiruan yang
dibuat oleh Romawi pada abad ke-1 M, kini disimpan di Museum Vatikan.

Peta Kerajaan Makedonia pada saat kematian Filipos II pada tahun 336 SM (biru muda), sementara wilayah
Makedonia sebelumnya pada tahun 431 SM ditandai dengan garis-garis merah. Kuning adalah wilayah
dependensi Makedonia

Filipos II berusia dua puluh empat tahun saat ia naik takhta pada 359 SM.[55] Berkat
kemampuan diplomasinya, ia berhasil meyakinkan orang-orang Trakia yang dipimpin
oleh Berisades untuk tidak lagi membantu salah seorang pengklaim takhta Makedonia
yang bernama Pausanias, dan ia juga berhasil membuat Atena menghentikan
dukungan mereka kepada seorang pengklaim takhta yang lain, yaitu Argaios II.[56] Ia
melakukannya dengan menyuap orang-orang Trakia dan Paionia (yang merupakan
sekutu Trakia), dan juga dengan menyepakati perjanjian dengan Atena yang
menyatakan bahwa Makedonia mencabut klaimnya atas kota Amfipolis. [57] Selain itu, ia
berhasil berdamai dengan orang-orang Iliria yang sempat mengancam wilayah
perbatasan Makedonia.[58]
Filipos II mengawali masa pemerintahannya dengan merombak pasukan Makedonia. Ia
mengubah susunan, peralatan, dan pelatihan pasukannya, termasuk dengan
memperkenalkan formasi falangs Makedonia yang bersenjatakan tembiang panjang
(sarissa), dan reformasi ini terbukti mujarab setelah mereka berhasil mengalahkan Iliria
dan Paionia.[59] Catatan-catatan sejarah kuno yang saling berseberangan telah memicu
perdebatan di kalangan ahli modern mengenai seberapa besar sumbangsih para
pendahulu Filipos II terhadap reformasi militer ini, dan sejauh mana gagasannya
dipengaruhi oleh masa-masa remajanya saat ia ditawan di Tivai sebagai sandera
politik, khususnya setelah ia bertemu dengan jenderal Epaminondas.[60]
Orang Makedonia dan orang-orang Yunani pada umumnya mempraktikkan monogami,
tetapi Filipos II melakukan poligami dan mempunyai tujuh istri, dan mungkin hanya satu
istrinya yang tidak memiliki latar belakang sebagai persembahan tanda kesetiaan dari
keluarga ningrat atau sekutu barunya.[catatan 4] Ia menikah dengan Fila dari Elimeia yang
berasal dari golongan ningrat Makedonia Hulu, serta seorang putri Iliria yang
bernama Audata dengan tujuan membentuk persekutuan.[61] Untuk membentuk
persekutuan dengan Larisa di Tesalia, ia menikahi seorang bangsawati Tesalia yang
bernama Filina pada tahun 358 SM, dan dari pernikahannya ini Filipos II dikaruniai
seorang putra yang kelak akan memerintah dengan nama Filipos III Aridaios (m. 323
SM – 317 SM).[62] Pada 357 SM, ia menikahi Olimpias untuk bersekutu dengan Aribas,
yang merupakan Raja Epiros dan Molosoi. Pernikahan tersebut dikaruniai seorang
putra yang kemudian memerintah dengan sebutan Aleksander III (lebih dikenal dengan
julukan Aleksander Agung) dan mengklaim sebagai keturunan Akhilles dalam legenda
melalui garis keturunan Raja Epiros.[63] Tidak diketahui secara pasti apakah raja-raja
Akemeniyah-lah yang berpengaruh terhadap praktik poligami Filipos II, meskipun
pendahulunya Amintas III memiliki tiga putra yang diyakini lahir dari istri keduanya,
Gigaea: Arkelaos, Aridaios, dan Menelaus.[64] Filipos II memerintahkan penghukuman
mati Arkelaos pada 359 SM, sementara dua bersaudara yang lain melarikan diri ke
Olintos, yang kemudian menjadi sebuah casus belli untuk memulai Perang Olintia (349–
348 SM).[65]
Saat Atena sedang disibukkan dengan Perang Sosial (357–355 SM), Filipos II merebut
kembali Amfipolis dari Atena pada 357 SM dan pada tahun berikutnya juga berhasil
menguasai kembali Pidna dan Potidaia; ia lalu menyerahkan Potidaia kepada Liga
Kalkidiki seperti yang telah dijanjikan sebelumnya. [66] Pada 356 SM, ia mengambil
alih Krinides dan mendirikan kembali kota tersebut dengan nama Filipi, sementara
salah satu jenderalnya yang bernama Parmenion berhasil mengalahkan raja
Iliria Grabos dari Grabaei.[67] Selama pengepungan Methone tahun 355–354 SM,
Filipos II kehilangan mata kanannya akibat tembakan panah, tetapi tetap berhasil
merebut kota tersebut dan memperlakukan para penduduknya dengan baik, tidak
seperti Potidaia yang telah diperbudak rakyatnya. [catatan 5]
Filipos II lalu turut serta dalam Perang Suci Ketiga (356–346 SM). Perang ini dimulai
setelah Fokis menaklukkan dan menjarah kuil Apollo di Delfi daripada harus melunasi
denda yang belum dibayarkan. Akibat tindakan tersebut, Liga Amfiktionia menyatakan
perang terhadap Fokis, dan pada saat yang sama perang saudara juga meletus di
antara para anggota Liga Tesalia karena masing-masing dari anggota liga tersebut ada
yang bersekutu dengan Fokis atau Tivai.[68] Kampanye militer yang dikobarkan oleh
Filipos II melawan Ferai di Tesalia pada 353 SM (atas desakan dari Larisa) sempat
mengalami kegagalan akibat dua kekalahan besar di tangan jenderal Fokis Onomarkos.
[catatan 6]
 Walaupun begitu, Filipos II berhasil mengalahkan Onomarkos dalam Pertempuran
Lapangan Krokus pada 352 SM, sehingga Filipos II terpilih sebagai pemimpin (arkhon)
Liga Tesalia, mendapatkan satu kursi di Dewan Amfiktionia, dan dapat membentuk
persekutuan dengan Ferai melalui pernikahan dengan Nikesipolis, kemenakan
tiran Iason dari Ferai.[69]
Setelah bertempur melawan penguasa Trakia Kersobleptes, pada tahun 349 SM,
Filipos II memulai perang melawan Liga Kalkidiki, yang telah didirikan kembali pada
375 SM.[70] Meskipun Karidemos dari Atena mencoba membantu Kalkidiki,[71] Olintos
ditaklukan oleh Filipos II pada 348 SM, sementara para penduduknya dijual sebagai
budak, termasuk beberapa warga Atena.[72] Atena berupaya meyakinkan sekutu-
sekutunya untuk melancarkan serangan balasan (termasuk pidato-pidato Demostenes),
tetapi upaya-upaya ini gagal, sehingga pada 346 SM Atena menyepakati
Perjanjian Perdamaian Filokrates dengan Makedonia.[73] Perjanjian tersebut menyatakan
bahwa Atena akan mencabut klaim atas wilayah pesisir Makedonia, Kalkidiki, dan
Amfipolis; sebagai gantinya, orang-orang Atena yang telah diperbudak akan dilepaskan,
dan Filipos II juga memberikan jaminan bahwa mereka tak akan menyerang
permukiman-permukiman Atena di Kersonesos Trakia.[74] Sementara itu, Fokis
dan Termopilai ditaklukkan oleh pasukan Makedonia, para perampok kuil Delfi dihukum
mati, dan Filipos II memperoleh dua kursi Fokis di Dewan Amfiktionia serta jabatan
pembawa acara dalam ajang Pesta Olahraga Pitia.[75] Atena awalnya menentang
keanggotaan Makedonia di dewan dan menolak hadir dalam ajang tersebut sebagai
tanda protes, tetapi pada akhirnya mereka bersedia menerimanya, mungkin setelah
diyakinkan oleh Demostenes dalam orasinya, Tentang Perdamaian.[76]

Kiri: sebuah Niketerion (medali kemenangan) yang menampilkan gambar raja Filipos II


dari Makedonia, dari abad ke-3 M, kemungkinan dibuat pada masa pemerintahan Kaisar
Romawi Alexander Severus. Kanan: reruntuhan Filipeion di Olimpia, Yunani, yang
dibangun oleh Filipos II dari Makedonia untuk merayakan kemenangannya
dalam Pertempuran Kaironeia pada tahun 338 SM.[77]

Dalam rentang waktu beberapa tahun sesudahnya, Filipos II merombak pemerintahan-


pemerintahan lokal di Tesalia, berperang melawan penguasa Iliria Pleuratos I,
melengserkan Aribas di Epiros dan menggantikannya dengan saudara ipar Filipos
II, Aleksander I (melalui pernikahan Filipos II dengan Olimpias), serta mengalahkan
Kersobleptes di Trakia. Dengan ini ia dapat memperluas kendali Makedonia ke
wilayah Helespontos untuk mengantisipasi serangan dari Akemeniyah. [78] Pada tahun
342 SM, Filipos II menaklukkan sebuah kota Trakia yang terletak di wilayah yang kini
menjadi bagian dari Bulgaria, dan lalu mengganti namanya
menjadi Filipopolis (sekarang Plovdiv).[79] Perang melawan Atena meletus pada tahun
340 SM, sementara Filipos II disibukkan oleh pengepungan terhadap
kota Perintos dan Bizantion yang mengalami kegagalan, disusul dengan perang
melawan Skitia di sepanjang sungai Donau yang berhasil dimenangkan oleh
Makedonia, serta keterlibatan Makedonia dalam Perang Suci
Keempat melawan Amfisa pada 339 SM.[80] Tivai kemudian mengusir garnisun
Makedonia dari Nikea (dekat Termopilai), sehingga Tivai bergabung dengan
Atena, Megara, Korintos, Akhaia, dan Euboia dalam upaya terakhir mereka untuk
membendung Makedonia dalam Pertempuran Kaironeia pada 338 SM.[81] Setelah
Makedonia berhasil memenangkan pertempuran tersebut, Filipos II mendirikan
sebuah oligarki di Tivai, tetapi mereka tidak mengambil tindakan keras terhadap Atena,
karena mereka masih ingin memanfaatkan angkatan laut mereka dalam rencana
penyerangan terhadap Akemeniyah.[82] Ia lalu membentuk Liga Korintos yang meliputi
negara-negara kota Yunani besar kecuali Sparta. Walaupun Kerajaan Makedonia
secara resmi tidak tergabung ke dalam liga tersebut, pada tahun 337 SM, Filipos II
terpilih sebagai pemimpin (hegemon) dewan liga tersebut (sinedrion) serta panglima
tertinggi (strategos autokrator) dalam kampanye militer yang akan datang melawan
Akemeniyah.[83] Salah satu alasan yang mendasari keputusan Filipos II untuk menyerang
Akemeniyah mungkin adalah ketakutan di Yunani bahwa Persia akan kembali
melakukan serangan.[84] Persia menawarkan bantuan kepada Perintos dan Bizantion
pada 341–340 SM, mengingat Makedonia perlu menguasai kawasan Trakia dan Laut
Aegea untuk mempersiapkan serangan ke Akemeniyah, sementara Raja
Persia Artaxerxes III terus memperkukuh kekuasaannya atas provinsi-provinsi
di Anatolia barat.[85] Filipos II sendiri menginginkan wilayah Anatolia barat, karena
sumber daya alam di tempat tersebut jauh lebih kaya daripada di Balkan. [86]
Setelah Filipos II menikahi Kleopatra Euridike (keponakan jenderal Atalus),
perbincangan mengenai calon penerus yang baru selama pesta pernikahan membuat
murka istri Filipos II, Olimpias, dan anak mereka, Aleksander (yang juga merupakan
veteran Pertempuran Kaironeia).[87] Aleksander dan Olimpias bersama-sama melarikan
diri ke Epiros sebelum akhirnya Aleksander dipanggil lagi ke Pela oleh Filipos II.[87] Saat
Filipos II berencana menjodohkan anaknya Aridaios dengan Ada dari Karia (putri
seorang satrap Persia di Karia yang bernama Pixodarus), Aleksander meminta agar
dirinya yang dinikahkan dengan Ada. Filipos lalu membatalkan pernikahan tersebut dan
mengasingkan para penasihat Aleksander (Ptolemaios, Nearkos, dan Harpalos).[88] Agar
tetap rukun dengan Olimpias, Filipos II menikahkan putri mereka Kleopatra dengan
saudara Olimpia (dan paman Kleopatra), Aleksander I dari Epiros, tetapi Filipos II malah
dibunuh oleh penjaganya Pausanias dari Orestis saat pesta pernikahan tersebut
digelar, sehingga ia digantikan oleh Aleksander pada 336 SM.[89]

Anda mungkin juga menyukai