Diterbitkan 1929
Halaman 125
Nomor OCLC 64687346
Drama dari Krakatau adalah novel berbahasa Melayu pasar tahun 1929 yang ditulis
oleh Kwee Tek Hoay. Terinspirasi oleh novel The Last Days of Pompeii (1834)
karya Edward Bulwer-Lytton dan letusan Krakatau 1883, buku yang terdiri dari enam
belas bab ini mengisahkan dua keluarga di Banten tahun 1920-an yang memiliki ikatan
keluarga tanpa sepengetahuan mereka oleh saudara yang saling terpisahkan pada
tahun 1883. Kakaknya menjadi tokoh politik, sedangkan adiknya menikahi seorang raja-
pendeta Baduy. Pada akhirnya, dua keluarga ini disatukan oleh pernikahan anak-anak
mereka, lalu si pendeta mengorbankan dirinya untuk menenangkan Gunung Krakatau.
Awalnya diterbitkan sebagai cerita bersambung di majalah Panorama milik Kwee antara
7 April dan 22 Desember 1928, Drama dari Krakatau ditulis selama dua bulan setelah
pengarangnya diminta mempersiapkan cerita "sensasional" untuk sebuah film. Sebelum
edisi terakhirnya diterbitkan, novelnya sudah diangkat ke pementasan panggung.
Walaupun Kwee dikenal sebagai pengarang realis dan meneliti letusan Krakatau
sebelum menulisnya, Drama dari Krakatau dipenuhi oleh unsur mistik. Analisis temanya
berfokus pada penggambaran budaya Pribumi oleh Kwee yang beretnis Tionghoa,
serta gambaran geografi dan nasionalisme. Buku ini tidak diakui sebagai bagian dari
kanon sastra Indonesia.
Daftar isi
1Alur
2Penulisan
3Tema
4Riwayat terbitan dan tanggapan
5Catatan penjelas
6Referensi
7Sumber
Alur[sunting | sunting sumber]
Kisah ini berlatar pada tahun 1883, dan Krakatau bergemuruh untuk pertama kalinya
dalam 200 tahun. Di desa Waringin, Sadidjah mengaku kepada suaminya yang juga
merupakan kepala desa, Tjakra Amidjaja, bahwa ia mengalami mimpi buruk tentang
gunung api tersebut. Ia khawatir gunung itu akan mendatangkan kematian bagi mereka.
Tjakra Amidjaja menenangkannya, lalu memberitahu bahwa mereka akan
meninggalkan desa dalam dua hari mendatang. Sementara itu, gemuruh gunung
Krakatau semakin besar. Tjakra Amidjaja dan Sadidjah tetap tinggal di desa untuk
menangani evakuasi. Mereka mengirim kedua anaknya, Hasan dan Soerijati, ke rumah
keluarga besar mereka di Rangkas Gombong.[a] Krakatau meletus beberapa jam
kemudian. Desa mereka tersapu oleh tsunami. Soerijati hilang setelah jatuh dari kereta,
sedangkan Hasan tiba dengan selamat di Rangkas Gombong.
Empat puluh empat tahun berlalu. Moelia, putra Bupati Rangkas Gombong dan Asisten
Wedana Sindanglaut,[b] mendengar kabar tentang seorang dukun Baduy, Noesa Brama,
yang menetap bersama keluarganya di Gunung Ciwalirang dan merawat orang-orang
sakit dan terluka di sana. Saat menanyai dukun tersebut, Moelia mengakui bahwa ia
adalah sosok yang cerdas dan tutur katanya baik. Ketika makan siang, Moelia jatuh
cinta dengan putri sang dukun, Retna Sari, dan mengetahui bahwa Retna Sari harus
menikahi pria yang sederajat dengan ayahnya, seseorang yang "tidak lebih rendah
daripada Sultan Yogyakarta atau Sunan Solo".[c][1] Sepulangnya ke rumah, Moelia
menyadari bahwa Noesa Brama tak diragukan lagi adalah keturunan pria terakhir dari
raja-raja Hindu Pajajaran, dan Retna Sari bersama ibunya memiliki kemiripan yang
mencolok dengan neneknya sendiri. Beberapa hari kemudian, ia kembali ke gunung
dan mendengar bahwa ada beberapa orang dari Palembang yang berencana menculik
Retna Sari. Ia mengusir mereka, lalu mengunjungi Noesa Brama sebelum pulang.
Sekeras apapun usahanya untuk melupakan Retna Sari, ia tetap tidak mampu
melupakannya.
Minggu berikutnya, orang-orang dari Palembang tersebut berbohong kepada polisi,
sehingga Noesa Brama ditangkap dengan tuduhan melakukan pemberontakan. Para
pria tersebut kemudian merayu Retna Sari dan ibunya untuk pergi bersama mereka
ke Sumatra. Mengetahui hal ini, Moelia membebaskan Noesa Brama. Sesampainya di
rumah, Noesa Brama melihat istri dan putranya sudah tiada, tampaknya pergi bersama
orang-orang dari Palembang. Moelia pun mengejar para penculik dengan kapal uap.
Sebelum dapat menghentikan mereka, Krakatau meletus lagi dan membalikkan kapal
komplotan tersebut. Moelia sempat menyelamatkan Retna Sari dan ibunya sebelum
Krakatau meletus untuk kedua kalinya dan menewaskan para penculik.
Moelia memberitahu letusan tersebut kepada ayahnya, Hasan. Hasan pun datang ke
rumah putranya. Di sana ia bertemu Retna Sari dan ibunya. Mereka mengungkap
bahwa ibu Retna Sari adalah Soerijati, jadi semakin jelas sebab kemiripan mereka.
Ibunya mengatakan bahwa Retna Sari ditemukan dan dibesarkan oleh ayah Noesa
Brama. Ia juga memberitahu keberadaan patung Wisnu di sebuah gua di atas Gunung
Ciwalirang yang bertuliskan, "Pada saat aku rusak, rusaklah juga negeri ini dengan
seluruh keturunanmu, tertimpa murkanya Rakata". [d] Sang dukun percaya jika patung itu
rusak, Krakatau akan meletus. Tanpa sepengetahuan mereka, Noesa Brama, yang
marah karena mengira putrinya akan menikahi seorang jelata, menghancurkan patung
itu dengan melemparkannya ke sumur sehingga Krakatau meletus dan menewaskan
para penculik.
Moelia dan keluarganya berangkat ke Ciwalirang keesokan paginya, berharap agar
Noesa Brama merestui pernikahan Moelia dan Retna Sari. Noesa Brama menerima
lamarannya, namun setelah ia mengetahui bahwa Retna Sari dan Soerijati had not
gone willingly with the men from Palembang, ia mengaku kecewa dengan
penghancuran patung tersebut. Ia menikahi Moelia dan Retna Sari, kemudian meminta
mereka berjanji bahwa putra pertama mereka akan dibesarkan sebagai Hindu dan
menjadi raja Baduy. Ia kemudian menyerahkan semua kekuasaannya kepada putrinya.
Agar jiwanya dan jiwa para leluhur bisa mengendalikan gunung api itu, Noesa Brama
diam-diam bunuh diri dengan loncat ke sumur. Beberapa minggu kemudian, aktivitas di
gunung Krakatau melemah tetapi masih aktif.
Penulisan[sunting | sunting sumber]
Kwee terinspirasi oleh letusan Krakatau 1883.
Drama dari Krakatau ditulis oleh jurnalis Kwee Tek Hoay. Ia lahir dari pasangan
pedagang tekstil Cina dan istri pribuminya,[2] Kwee dibesarkan dalam budaya Cina dan
dikirim ke sekolah-sekolah yang mempersiapkan muridnya untuk hidup di dunia
modern, tidak mengutamakan tradisi. Ketika ia menulis novel ini, Kwee adalah
pendukung ajaran Buddha yang aktif. Ia merupakan pengamat sosial yang jeli [3] dan
banyak menulis tentang penduduk asli di kepulauan Hindia Belanda. [4] Ia sering
membaca buku-buku berbahasa Belanda, Inggris, dan Melayu yang kelak
memengaruhinya selama berkarier sebagai penulis. [5] Novel pertamanya, Djadi
Korbannja "Perempoean Hina", diterbitkan tahun 1924.[6]
Pada tahun 1928, Kwee dimintai seorang teman, yang hendak mendirikan perusahaan
film, untuk menulis cerita "sensasional" yang dapat dipakai sebagai dasar filmnya.
[e]
Aktivitas Krakatau yang terus berlanjut menjadi fokus utamanya. Setelah membaca
novel The Last Days of Pompeii karya Edward Bulwer-Lytton tahun 1834, Kwee
menanyai temannya, "Apakah sulit bagi seseorang untuk menciptakan satu drama
tentang Krakatau?"[f][7] Dikarenakan jeda antara letusan 1883 dan 1928, Kwee
memutuskan mengawali ceritanya dengan terpisahnya dua kakak adik yang masih
muda. Elemen-elemen selanjutnya terinspirasi oleh suku Baduy gunung yang
cenderung menghindari masyarakat luar dan mengaku sebagai keturunan raja-raja
Hindu Pajajaran.[8]
Kwee menganut aliran realis dan menganggap "lebih baik menuturkan keadaan yang
sebetulnya, daripada menciptakan yang ada dalam angan-angan, meskipun ada yang
lebih menyenangkan dan memuaskan bagi pembaca atau penonton, tetapi palsu dan
dusta, bertentangan dengan keadaan yang benar." [g][9] Ia sangat kritis terhadap penulis-
penulis kontemporer yang lebih bergantung pada fantasi mereka ketimbang logika dan
kenyataan.[10] Agar ceritanya tetap realistis, Kwee meneliti sejarah Baduy, formasi
geologi Krakatau, dan letusan tahun 1883 dan 1928. Secara keseluruhan, ia meneliti 15
buku dalam bahasa Inggris dan Belanda.[8] Penulisannya dimulai tanggal 19 Maret
1928[11] dan selesai tanggal 28 Mei pada tahun yang sama. [12] Drama dari Krakatau terdiri
dari 16 bab[13] yang terbagi menjadi 125 halaman pada cetakan pertamanya. [14]
Tema[sunting | sunting sumber]
Meski Kwee adalah penganut realisme, Drama dari Krakatau memiliki unsur mistisisme.
Ini terbukti dari kaitan antara patung di gua dan letusan Krakatau. Di sejumlah karyanya
(fiksi dan non-fiksi), Kwee menunjukkan ketertarikannya pada okultisme. Hal itu terlihat
dari penulisan deskripsi yang rinci tentang Therese Neumann, gadis puasa dari Jerman,
dan Omar Khayyám, mistik, filsuf, dan penyair Sufi Persia. Kritikus sastra Indonesia,
Jakob Sumardjo, menyebut elemen-elemen mistis tersebut (dan fakta bahwa belum ada
patung berprasasti era Hindu yang pernah ditemukan) keluar dari nilai novel secara
keseluruhan.[15]
Karya Kwee adalah karya pertama dari tiga novel Tionghoa Melayu yang terinspirasi
oleh letusan gunung berapi. Karya kedua, Meledaknja Goenoeng Keloet karangan Liem
Khing Hoo, terinspirasi oleh Gunung Kelud di Jawa Timur dan diterbitkan di majalah
bulanan Tjerita Roman tahun 1929. Karya ketiga, Drama dari Merapie karangan Kwee,
terinspirasi oleh Gunung Merapi di Jawa Tengah dan diterbitkan dalam bentuk serial
di Moestika Romans pada bulan Maret sampai September 1931. [16] Letusan gunung
berapi juga digambarkan dalam syair Tionghoa Melayu kontemporer. Claudine Salmon
menulis bahwa Sair Petjanja Goenoeng Krakatau (1929) karya Ong Tjong Sian
berkisah tentang ketakutan masyarakat setelah Krakatau aktif kembali. [17]
Tidak seperti kebanyakan karya kontemporer buatan pengarang Tionghoa, Drama dari
Krakatau tidak menampilkan tokoh Tionghoa sebagai tokoh utamanya. Mereka
disebutkan sekilas sebagai pemilik toko yang memberi bantuan makanan kepada
bupati.[18] Karya-karya berbahasa Melayu buatan pengarang Tionghoa dari dulu berpusat
pada tokoh Tionghoa sampai-sampai istilah seperti "tanah-air" sering disalahartikan
sebagai daratan Cina, bukan Kepulauan Melayu atau Hindia Belanda. Karya Tionghoa
Melayu yang hanya menampilkan tokoh pribumi baru muncul pada 1920-an. [19] Kwee
berusaha "mengimpersonasikan" budaya lain dan menjelaskannya dari sudut pandang
mereka. Hal ini tidak lazim bagi karya tulis pada masa itu. [20]
Sama seperti cerita-cerita yang didominasi tokoh pribumi, Drama dari Krakatau berlatar
di pedesaan, jauh dari kota yang merupakan pusat masyarakat Tionghoa. [21] Geografi
memainkan peran penting. Alur novel ini dimulai di tingkat makro, menampilkan asal
usul nusantara dari kenaikan permukaan laut akibat tenggelamnya Poseidonis, lalu
merambah perlahan-lahan ke tingkat mikro, menggambarkan Jawa, Sumatra, dan
Krakatau, sebelum berfokus pada rumah Tjakra Amidjaja dan awal alurnya. Paragraf
selanjutnya merincikan pemandangan dari Gunung Ciwalirang yang meliputi Jawa,
Krakatau, dan Sumatra.[20]
Pengamat sastra Indonesia, Melani Budianta, berpendapat bahwa "panorama
geografis" ini digabung dengan penggambaran budaya dan agama lain memperlihatkan
elemen nasionalisme dalam novel ini. Tema semacam itu juga terlihat di Drama dari
Boeven Digoel (1938) karya Kwee.[22] Budianta menulis bahwa pandangan panorama
nusantara "membantu pembaca membayangkan geografi bangsa yang belum bersatu",
sedangkan "impersonasi[nya]" menunjukkan "suatu bidang teosofi tempat segala
[20]
Referensi[sunting | sunting sumber]
1. ^ Kwee 2001b, hlm. 489.
2. ^ Sutedja-Liem 2007, hlm. 273.
3. ^ The Jakarta Post 2000, Chinese-Indonesian writers.
4. ^ JCG, Kwee Tek Hoay.
5. ^ Sidharta 1996, hlm. 333–334.
6. ^ Sumardjo 1989, hlm. 92.
7. ^ Kwee 2001a, hlm. 428.
8. ^ a b Kwee 2001a, hlm. 430.
9. ^ Damono 2006, hlm. xvii, xvix.
10. ^ Kwee 2001a, hlm. 431.
11. ^ a b Kwee 2001a, hlm. 432.
12. ^ Kwee 2001b, hlm. 589.
13. ^ Kwee 2001b, hlm. 575.
14. ^ a b Sidharta 1989, hlm. 307.
15. ^ Sumardjo 1989, hlm. 119.
16. ^ Nio 1962, hlm. 37, 109; Sidharta 1989, hlm. 307.
17. ^ Salmon 1985, hlm. 128.
18. ^ Budianta 2007, hlm. 71.
19. ^ Budianta 2007, hlm. 63.
20. ^ a b c Budianta 2007, hlm. 65.
21. ^ Budianta 2007, hlm. 64.
22. ^ Budianta 2007, hlm. 59.
23. ^ Budianta 2007, hlm. 66.
24. ^ Kwee 2001b, hlm. v.
25. ^ Kwee 2001a, hlm. 434.
26. ^ a b Sumardjo 1989, hlm. 100.
27. ^ Benitez 2004, hlm. 82–83.
Sumber[sunting | sunting sumber]
Benitez, J. Francisco B. (2004). Awit and Syair: Alternative Subjectivities
and Multiple Modernities in Nineteenth Century Insular Southeast
Asia (Ph.D. thesis). Madison: University of Wisconsin. (perlu berlangganan)
Biran, Misbach Yusa (2009). Sejarah Film 1900–1950: Bikin Film di
Jawa (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Komunitas Bamboo working with
the Jakarta Art Council. ISBN 978-979-3731-58-2.
Budianta, Melani (2007). "Diverse Voices: Indonesian Literature and
Nation-building". Dalam Hock Guan Lee; Leo Suryadinata. Language,
Nation and Development in Southeast Asia. Singapore: Institute of
Southeast Asian Studies. hlm. 51–73. ISBN 978-981-230-482-7.
"Chinese-Indonesian writers told tales of life around them" . The Jakarta
Post. 26 May 2000. Diarsipkan dari versi asli tanggal 11 March 2013.
Diakses tanggal 14 March 2012.
Damono, Sapardi Djoko (2006). "Sebermula Adalah Realisme".
Dalam Lontar Foundation. Antologi Drama Indonesia 1895–1930 (dalam
bahasa Indonesia). Jakarta: Lontar Foundation. hlm. xvii–xxix. ISBN 978-
979-99858-2-8.
Kwee, John (1980). "Kwee Tek Hoay: A Productive Chinese Writer of Java
(1880–1952)". Archipel. 19 (19): 81–92.
"Kwee Tek Hoay". Encyclopedia of Jakarta (dalam bahasa Indonesia).
Jakarta City Government. Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 March 2013.
Diakses tanggal 11 March2013.
Kwee, Tek Hoay (2001a). "Permulaan Kata". Dalam A.S., Marcus;
Benedanto, Pax. Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan
Indonesia (dalam bahasa Indonesia). 2. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia. hlm. 428–34. ISBN 978-979-9023-45-2.
Kwee, Tek Hoay (2001b). "Drama dari Krakatau". Dalam A.S., Marcus;
Benedanto, Pax. Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan
Indonesia (dalam bahasa Indonesia). 2. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia. hlm. 427–590. ISBN 978-979-9023-45-2.
Nio, Joe Lan (1962). Sastera Indonesia-Tionghoa (dalam bahasa
Indonesia). Jakarta: Gunung Agung. OCLC 3094508.
Salmon, Claudine (1985). Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa
Melayu (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Balai
Pustaka. OCLC 39909566.
Sidharta, Myra (1989). "Daftar Karya Tulis Kwee Tek Hoay". Dalam
Sidharta, Myra. 100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil sampai ke
Pendekar Pena (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Sinar Harapan.
hlm. 306–25. ISBN 978-979-416-040-4.
Sidharta, Myra (1996). "Kwee Tek Hoay, Pengarang Serbabisa". Dalam
Suryadinata, Leo. Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia (dalam bahasa
Indonesia). Jakarta: Grasindo. hlm. 323–348. ISBN 978-979-553-855-4.
Siegel, James T (1997). Fetish, Recognition, Revolution. Princeton:
Princeton University Press. ISBN 978-0-691-02652-7.
Sumardjo, Jakob (1989). "Kwee Tek Hoay Sebagai Sastrawan". Dalam
Sidharta, Myra. 100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil sampai ke
Pendekar Pena (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Sinar Harapan.
hlm. 89–121. ISBN 978-979-416-040-4.
Sutedja-Liem, Maya (2007). "De Roos uit Tjikembang". De Njai: Moeder
van Alle Volken: 'De Roos uit Tjikembang' en Andere Verhalen (dalam
bahasa Belanda). Leiden: KITLV. hlm. 269–342. ISBN 978-90-6718-301-7.
Kategori:
Novel tahun 1929
Sastra Tionghoa Melayu
Novel berbahasa Melayu
Novel karya Kwee Tek Hoay
Novel yang terbit perdana dalam bentuk seri
Krakatau
Menu navigasi
Belum masuk log
Pembicaraan
Kontribusi
Buat akun baru
Masuk log
Halaman
Pembicaraan
Baca
Sunting
Sunting sumber
Versi terdahulu
Pencarian
Cari Lanjut
Halaman Utama
Perubahan terbaru
Artikel pilihan
Peristiwa terkini
Halaman baru
Halaman sembarang
Komunitas
Warung Kopi
Portal komunitas
Bantuan
Wikipedia
Tentang Wikipedia
Pancapilar
Kebijakan
Menyumbang
Hubungi kami
Bak pasir
Bagikan
Facebook
Twitter
Perkakas
Pranala balik
Perubahan terkait
Halaman istimewa
Pranala permanen
Informasi halaman
Kutip halaman ini
Butir di Wikidata
Pranala menurut ID
Cetak/ekspor
Buat buku
Unduh versi PDF
Versi cetak
Bahasa lain
English
Bahasa Melayu
Sunting interwiki
Halaman ini terakhir diubah pada 26 Maret 2019, pukul 15.27.
Teks tersedia di bawah Lisensi Atribusi-BerbagiSerupa Creative Commons; ketentuan tambahan mungkin berlaku.
Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih jelasnya.
Kebijakan privasi
Tentang Wikipedia
Penyangkalan
Tampilan seluler
Pengembang
Statistik
Pernyataan kuki