Anda di halaman 1dari 6

Sejarah Lengkap Legiun Mangkunegaran

Akarasa – Selamat datang kerabat akarasa. Legiun Mangkunegaran adalah organisasi militer ala
Eropa tepatnya militer Perancis yang merupakan institusi modern di Asia pada zamannya, yakni
awal abad ke-19. Legiun Mangkunegaran muncul jauh sebelum kekaisaran Jepang memulai
Restorasi Meiji dan Kerajaan Siam memodernisasi diri dengan belajar ke mancanegara terutama
ke negeri Jawa.

Nama Mangkunegaran tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Praja Mangkunegaran. Cikal
bakal dari Legiun Mangkunegaran ialah para anggota pasukan yang memberontak pada VOC,
yang dipimpin oleh Pangeran Sambernyowo. Ketangguhan tempur pasukan ini mulai terkenal
sejak mereka dibawah Pangeran Sambernyowo, melakukan penyerangan pos-pos militer Belanda
di daerah Salatiga, saat pemberontakan orang China pada tahun 1744.

Legiun Mangkunegaran adalah korps pasukan elite angkatan bersenjata Kadipaten


Mangkunegaran yang dibentuk pada zaman Mangkunegara II bertahta. Legiun yang awalnya
berkekuatan 1.150 personel ini dibentuk tahun 1808 sebagai wadah untuk menampung dan
membangun kembali kekuatan militer peninggalan pendahulunya Pangeran Sambernyawa atau
Mangkunegara I.

Setelah Pangeran Sambernyowo atau Raden Mas Said menjadi kepala Praja Mangkunegaran
pada tahun 1757, pasukan tersebut merupakan bagian resmi dari Praja Mangkunegaran. Sejarah
Legiun Mangkunegaran berjalan paralel dengan Praja Mangkunegaran. Nama Legiun
mengadopsi organisasi militer Perancis, yang pada tahun 1808-1811 pernah menguasai Jawa
dibawah kekuasaan Napoleon Bonaparte.

Sejarah Praja Mangkunegaran timbul seiring kemunculan pendirinya yakni Mangkunegara I


yang dikenal sebagai Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyowo. Legiun Mangkunegaran
tumbuh dan berakar dari pasukan-pasukan yang ada dari Praja Mangkunegaran. Kesatuan-
kesatuan ini timbul semasa pemberontakan Raden Mas Said terhadap keadaan yang tidak adil di
tanah Jawa masa itu.

Saat itu terjadi krisis perekonomian di Batavia yang di ikuti oleh ragkaian kerusuhan di daerah
pinggiran kota. Muncul pembantaian terhadap orang Tionghoa, kerusuhan dan pencurianpun
berlanjut di sekitar Batavia. Akhirnya pada tahun 1740, Kompeni Belanda (VOC) di bawah
Gubernur Jenderal Adrian Valckenier membantai orang Tionghoa di Batavia. Diperkirakan
10.000 orang Tionghoa dibunuh di Kota Batavia.

Peristiwa itu memicu pembangkangan massal dan perlawanan bersenjata yang dikenal sebagai
Perang Tjina melawan Ollanda. Orang Tionghoa dan Jawa bersatu melawan Belanda. Ibu Kota
Mataram di Kartasura yang dianggap dekat dengan VOC turut diserbu pasukan Tioanghoa dan
Pasukan Jawa. Komandan pasukan Tionghoa, Kapten Sie Pan Jang diketahui menjadi guru
militer Raden Mas Said.
Penguasa Mataram, Pakubuwana II menghadapi pilihan sulit. Kalangan Istana Mataram terpecah
dalam dua kelompok yakni Fraksi Patih Natakusuma -termasuk Raden Mas Said- memilih
melawan VOC dengan jalan bergabung bersama perlawanan pasukan Tionghoa. Kelompok lain
yang dipimpin oleh penguasa daerah pesisir Jawa menilai VOC akan menang sehingga Raja
diminta menunggu perkembangan. Tetapi Raden Mas Said memilih pergi meninggalkan Keraton
Kartasura, menyusun kekuatan di Laroh, sekitar Wonogiri. Raden Mas Said memimpin pasukan
pemberontak yang bergerilya selama 16 tahun.

Pada bulan Juli 1741, pengawal Raja di Kartasura menyerang garnisun VOC di sana. Komandan
VOC Kapten Johannes Van Velsen dan beberapa serdadu terluka dan 35 prajurit Eropa tewas.
Garnisun VOC akhirnya menyerah bulan Agustus 1741, orang Eropa yang menyerah diberi
pilihan untuk konversi agama Islam dan bergabung ke Mataram atau menghadapi hukuman mati
dan benteng VOC di Kartasura dihacurkan.

Menurut M.C. Ricklefs, selanjutnya Pakubuwana II mengambil putusan salah dan memutuskan
hubungan dengan VOC. Dia mengirim pasukan dan Artileri ke Semarang seolah-olah hendak
membantu VOC. Namun, sebenarnya prajurit-prajurit Mataram bergabung dengan orang-orang
Tionghoa yang sedang mengepung Kota Semarang karena Kota Semarang adalah pos terpenting
VOC di pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam pengepungan ini kekuatan VOC
dipesisir utara Jawa Tengah nyaris jatuh.

Dalam keadaan genting, Cakraningrat IV dan Laskar Madura yang dipimpinnya menyediakan
bantuan kepada VOC. Pasukan VOC yang dibantu Cakraningrat mengambil alih insiatif
peperangan dan mendesak lawan. Pasukan VOC-Madura memukul balik pasukan Tionghoa-
Mataram yang tersisa di sekitar Semarang.

Perlawanan terhadap VOC dan hegemoni kekuasaan Mataram ketika itu membentuk munculnya
Raden Mas Said yang menglami pasang surut peperangan. Lagi-lagi keberadaan pasukan
Cakraningrat IV berhasil mematahkan perlawanan kelompok bangsawan Mataram. Cakraningrat
IV merebut kembali Kartasura dan mengembalikan Pakubuwana II ke atas tahta. Perlawanan
tetap hidup terhadap kekuasaan Mataram. Mangkunegara dan Pangeran Mangkubumi
membentuk pasukan yang tangguh. Mereka berdua mendapat dukungan dari elite dan rakyat
kerajaan yang tadinya menyokong Raja.

Pada tahun 1748, Mangkunegara dan Mangkubumi semakin kuat posisinya dalam perlawanan
tersebut dengan adanya pernikahan Mangkunegara I dengan putri Mangkubumi. Pada 28 Juli
1750 Mangkunegara dan Pangeran Singasari menyerang Ibu Kota Surakarta. Mereka berhasil
memukul mundur pasukan VOC dan prajurit Jawa dari Ibu Kota. Yang mengakibatkan
kehidupan masyarkat Surakarta menderita disusul dengan naiknya harga barang pokok. Bahkan
petinggi VOC berfikir untuk menyerahkan Mataram ke tangan Mangkunegara.

Namun konflik muncul diakhir tahun 1752, timbul perselisihan antara Mangkunegara dan
Mangkubumi. Ann Kumar menafsirkan tidak seorangpun dari kedua pangeran itu mau menerima
posisi nomer dua. Komandan Belanda Van Hohendorff pun mulai menyurati Mangkunegara
untuk membujuk demi mengakhiri perang.
Ketika itu, Mangkunegara mencoba diplomasi dengan Mangkubumi dan mengusulkan untuk
membagi Mataram bagi mereka berdua. Namun, Mangkubumi menolak untuk berhubungan
kembali dengan Mangkunegara. Konon sejak ituah terjadi permusuhan antara keluarga dan
masyarakat dua komunitas tersebut. VOC mengabulkan permintaan Mangkubumi, Kesultanan
Yogya pun muncul pada tahun 1755 sebagai bagian dari pemecahan Kerajaan Mataram menjadi
dua.

Kerajaan di Yogyakarta, Surakarta dan VOC sama-sama memburu Mangkunegara yang tetap
bergerilya tanpa membuahkan hasil. Malahan, Mangkunegara nyaris membakar Keraton
Yogyakarta yang baru berdiri. Mangkunegara juga membunuh banyak prajurit Belanda dan
Komandannya, yakni Kapten Van De Poll di Hutan Blora.

Situasi peperangan mengalami jalan buntu. Mangkunegara meminta diperlakukan sama dengan
Pakubuwana III dan Mangkubumi dengan membagi Kerajaan Mataram menjadi tiga bagian.
Namun usulan itu ditolak penguasa Yogyakarta dan Surakarta. Perjanjian damai akhirnya diraih
dengan persetujuan Mangkunegara mengakui tahta Pakubuwana III dan menjadi Kawula
Surakarta dengan imbalan 4000 cacah (rumah tangga) di wilayah Kasunanan Surakarta di
Kaduwang, Matesih, dan daerah Gunung Kidul.

Raden Mas Said alias Mangkunegara menjadi pendiri Pura Mangkunegara dengan sebutan
Mangkunegara I. Pura Mangkunegara dibangun di tengah Kota Surakarta yang kini di alam
modern terletak di sebelah selatan Kasunanan Surakarta dengan garis batas poros barat ke timur
Kota Surakarta yang kini dikenal sebagai jalan Ignatius Slamet Riyadi.

Legiun dan Dinasti Mangkunegara

Legiun Mangkunegaran adalah korps pasukan elite angkatan bersenjata Kadipaten


Mangkunegaran yang dibentuk pada zaman Mangkunegara II bertahta. Legiun yang awalnya
berkekuatan 1.150 personel ini dibentuk tahun 1808 sebagai wadah untuk menampung dan
membangun kembali kekuatan militer peninggalan pendahulunya Pangeran Sambernyowo atau
Mangkunegara I.

Mangkunegara II mengambil inisiatif membentuk pasukan ini ketika Gubernur Jenderal Hindia
Belanda yang ke-36 Herman Willem Daendels datang ke Jawa. Legiun Mangkunegaran ini
dibentuk sebagai pasukan modern pertama di Nusantara yang mengadopsi latihan tempur ala
pasukan Legionnaire atau Legiun Asing Prancis.

Pasukan mendapat beragam pelatihan dari instruktur Prancis, Inggris dan juga Belanda di
sekolah kemiliteran Soldat Sekul. Satuan elite ini dilatih untuk mahir menggunakan berbagai
senjata tajam berupa keris dan pedang. Pasukan ini pun dituntut untuk piawai menggunakan
tombak, sumpit dan panah serta senjata api maupun artileri (meriam).

Legiun Mangkunegaran dibentuk dengan dua macam kepentingan, yaitu merupakan cadangan
pasukan yang berguna untuk Tentara Hindia Belanda, dan juga sebagai alat politik yang
digunakan untuk menakut – nakuti setiap usaha meniadakan politik pecah belah.
Berkat adanya bantuan keuangan dari Pemerintah Hindia Belanda, Legiun Mangkunegaran
mampu bertahan sampai pada masa kekuasaan Mangkunegara VII. Pasukan ini juga dilatih untuk
mempunyai mobilitas tinggi dengan menggunakan kuda. Sehingga unsur infanteri, kavaleri dan
artileri tergabung di dalamnya. Legiun Mangkunegaran juga dilatih untuk mampu menghadapi
perang berlarut maupun perang gerilya kala itu.

Hal ini dibuktikan saat pasukan ini bertugas pertama kali dalam Perang Napoleon di Asia sebagai
bagian dari pasukan Perancis-Belanda melawan pasukan Inggris-Sepoy (India) tahun 1811.
Ketika itu, kekuatan Legiun Mangkunegara di bawah Pangeran Ario Praboe Prang Wedana
memiliki total 1.150 prajurit yang dibagi dalam 800 prajurit infanteri (Fusilier), 100 prajurit
penyerbu (Jagers), 200 prajurit kavaleri (berkuda), dan 50 prajurit rijdende artileri (meriam).

Struktur awal staf dan anggota Legiun Mangkunegara memiliki 2 orang perwira senior
berpangkat mayor, 4 letnan ajudan, 9 kapitein, 8 letnan tua, 8 letnan muda, bintara sebanyak 32
sersan, tamtama sebanyak 62 kopral, flankier 900 orang, dragonder (dragoon) 200 orang, dan
steffel 50 orang.

Mereka menggunakan seragam topi syako dan jas hitam pendek bagi bintara dan prajurit.
Perwira memakai topi syako, jas hitam, dan celana putih. Saat bertugas pertama kali ini, mereka
mampu menahan laju pasukan Sepoy (British India) asal Benggala dan Royal Marines saat
bertempur di Jatingaleh, Semarang. Tapi akhirnya pasukan ini harus mengakui keunggulan
Pasukan Inggris karena pasukan Prancis-Belanda sebagai kekuatan utama menyerah di wilayah
Tuntang, Salatiga.

Kemudian pasukan ini juga berperan aktif dalam pendudukan Kota Yogyakarta pada Januari
1812. Di mana saat itu Legiun Mangkunegaran yang memback up serdadu Inggris saat menyerbu
Kota Yogyakarta mampu menduduki Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sehingga kemudian
Sri Sultan Hamengkubuwo (HB) II berhasil diturunkan dari tahtanya dan digantikan HB III.
Peristiwa ini dikenang sebagai Geger Sepehi. Dalam peristiwa tersebut harta benda termasuk
koleksi pusaka keraton berhasil diambil. Lalu Sultan Hamengku Bowono (HB) II dibuang ke
Penang.

Peperangan terbesar yang pernah diikuti Legiun Mangkunegaran adalah pada saat perang Jawa
melawan pasukan Pengeran Diponegoro. Pasukan ini mampu mengimbangi perlawanan
menghadapi laskar yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Legiun Mangkunegaran menjadi
penjaga Kota Yogyakarta dan Surakarta dari serangan pasukan Pangeran Diponegoro dan
kemudian bisa menghancurkan benteng terakhir Pangeran Diponegoro.

Kiprah pasukan elite ini kembali teruji saat operasi di Aceh di bawah pimpinan KPH
Gondosuputra pada tahun 1873. Atas perintah Mangkunegaran IV sebagai komandan Legiun,
maka Mayor KPH Gondosuputra menyiapkan pasukan yang terdiri dari dua kompi dengan
jumlah personil 180 orang. Sebelum berangkat ke medan pertempuran, pasukan ini dilatih secara
intensif di tangsi Tanah Putih daerah Semarang dan dibawah pengawasan langsung pelaksana
harian Komandan Legiun Mayor KPH Gondosuputro. Dari hasil latihan tersebut, dia
memutuskan bahwa hanya 150 personel yang memenuhi persyaratan untuk diberangkatkan.
Akhirnya dengan dipimpin oleh Kapten KPH Gondosisworo (Adik kandung Mayor KPH
Gondosuputro), pasukan tersebut berangkat ke Aceh dengan kapal dari Pelabuhan Semarang
pada tanggal 21 November 1873. Mereka berangkat dari Semarang bersama pasukan lain yang
berasal dari Madura dan Pakualaman Yogyakarta.

Pada perang di Aceh ini, Legiun Mangkunegaran mampu memukul mundur pasukan Kesultanan
Aceh ke arah perbukitan sehingga Belanda mengumumkan bubarnya kesultanan ini di Banda
Aceh. Atas jasanya memimpin Legiun Mangkunegaran selama Perang Aceh, Raja Belanda
menganugerahkan Ridder Kruis (Rider Cross) atau Salib Bangsawan Militaire Willems Orde
(MWO) Kelas IV.

Legiun Mangkunegaran juga pernah dilibatkan dalam pengamanan Pulau Bangka selama 6 bulan
dari bajak laut yang beroperasi di Selat Bangka. Pemerintah Belanda juga pernah meminta
bantuan Legiun Mangkunegaran untuk memadamkan kerusuhan di Kalimantan pada tahun 1860.
Lalu Kapten GPH Gondosuputra diperintahkan untuk memimpin pasukan ekspedisi yang akan
berangkat ke Kalimantan. Namun sebelum pasukan sempat diberangkatkan, kerusuhan sudah
berhasil dipadamkan.

Legiun Mangkunegaran juga mengenal pasukan bersenjata yang beranggotakan wanita muda.
Pasukan wanita ini juga terlatih sama seperti pasukan pria. Para perempuan muda ini selain
mahir bersenjatakan tombak dan sumpit juga mampu menggunakan senjata api. Selain itu para
wanita cantik ini juga piawai berdendang serta memainkan alat musik. Pasukan wanita ini pun
juga selalu turut mengawal Mangkunegara dan juga melayani Mangkunegara dalam hal umum.
Seperti membawa cerutu, memberi penyambutan, dan lain-lain.

Legiun Mangkunegaran juga terlibat dalam Perang Dunia II ketika pendudukan Jepang. Pasukan
ini terlibat dalam pertempuran melawan Jepang sebagai pasukan artileri udara, pertahanan udara,
maupun garnisiun. Salah satunya di Pulau Tarakan, Kalimantan Timur; lalu saat menghadang
pasukan Dai Nippon di Surakarta; dalam pertempuran di sekitar Jalan Slamet Riyadi, serta
pertempuran terakhir sebelum Pulau Jawa jatuh ke tangan militer fasis Jepang di sekitar Pulau
Madura, Jawa Timur;

Selain itu mereka juga mampu menahan Jepang di Stelling Ciater-Lembang di Jawa Barat, dan
mempertahankan Pelabuhan Cilacap di Jawa Tengah. Sehingga dengan kiprahnya tersebut saat
Jepang berkuasa, Legiun Mangkunegaran dilucuti kekuatan militernya. Lalu pasukan yang
terlatih dengan kurikulum Eropa ini beralih fungsi sebagai abdi dalem penjaga istana
Mangkunegaran.

Pasukan ini tidak dapat dikatakan sebagai pahlawan maupun pengkhianat bangsa, karena Legiun
bekerja berdasarkan profesionalitasnya. Yang ditanamkan pada Legiun adalah patuh kepada
perintah pimpinan, rasa kesetiakawanan terhadap sesama anggota dan nasionalisme.
Nasionalisme yang dimaksudkan adalah tanah di mana Legiun tersebut berada yaitu Kadipaten
Mangkunegaran.

Prajurit Wanita Mengkunegaran


Tugas prajurit perempuan istana adalah menyambut tamu kehormatan. Mereka mengenakan
pakaian laki-laki bersulam emas, menyambut tamu dengan menembakkan senjata tiga kali ke
udara, setelah itu mereka naik kuda dan di belakangnya diikuti oleh Mangkunegara dan tamu-
tamunya. Sesampai di tempat penerimaan tamu, prajurit perempuan itu masuk ke Dalem (sebuah
ruang khusus) untuk berganti pakaian putih polos, dan kemudian tampil kembali di hadapan
tamu-tamu, menunjukkan kemahirannya memanah.

Pada saat yang lain, prajurit perempuan ini menari, memeragakan tubuhnya yang gagah-gemulai
dalam tari-tari keprajuritan. Menurut penulis buku harian ini, yang merupakan bagian dari
pasukan tersebut, para tamu berdecak kagum melihat kemahiran mereka, dan konon pertunjukan
semacam ini belum pernah dilihat pegawai Kumpeni di Keraton Surakarta, Yogyakarta, dan
Semarang.

Institusi keprajuritan perempuan ini dibangun setelah Mangkunegara I, anak Pangeran Arya
Mangkunegara, adik Pakubuwana II, yang waktu mudanya bernama Suryakusuma dengan gelar
Pangeran Prang Wadana, dan lebih populer disebut Mas Said, menghentikan peperangannya.

Belum jelas apakah prajurit perempuan juga pernah berperang di medan laga. Sebagai
penyanding fakta, sebelum Mangkunegara I membentuk institusi prajurit perempuan ini, di
Kerajaan Darusalam (sekarang Aceh) pada zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) telah
dibentuk institusi serupa yang diberi nama Divisi Keumala Cahya. Diceritakan resimen prajurit
perempuan itu dipimpin oleh perempuan pula, dengan tugas menyambut tamu-tamu agung
istana. Resimen ini juga disebut suke kaway istana (resimen kawal istana).

Dituliskan oleh A Hasjmy (1983) dalam bukunya, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, prajurit
perempuan itu dipilih dari gadis-gadis yang bertubuh ramping dan rupawan. Sebelumnya, pada
masa kakek Iskandar Muda bertahta, Sultan Alaidin Ri’ayat Syah IV (1589-1604) telah
menghimpun janda prajurit yang dikirim perang ke Selat Malaka untuk perang dengan Portugis
dan mendidik mereka sebagai prajurit maritim. Institusi prajurit maritim perempuan itu
dinamakan Inong Balee di bawah pimpinan Laksamana Keumala Hayati (sering disebut
Malahayati), yang benar-benar pergi perang ke Selat Malaka.

Ada Fakta bahwa pada abad ke-18 para perempuan telah dididik sebagai prajurit (kawal keraton)
yang tampil gagah di muka umum dan melakukan hal-hal yang di luar penggambaran citra
perempuan Asia selama ini. Ia membandingkan dengan geisha, prajurit perempuan ini terlatih
untuk hal-hal yang ”feminin”, tetapi juga untuk hal-hal yang ”maskulin” yang selalu dicitrakan
berbahaya. Sekian.

Anda mungkin juga menyukai