Anda di halaman 1dari 23

Tugas resume buku: Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Bab IV-VI, sub-bab 14-25)

-Penulis: M. C. Ricklefs
-Penerjemah: Satrio Wahono, Bakar Bilfagih, Hasan Huda, Miftah Helmi, Joko Sutrisno, Has
Manadi
-Penyunting: Husni Syawie dan M.C. Ricklefs
-Pewajah Isi: Galih Selo Seto dan Dinan Hasbudin AR
-Penerbit: PT SERAMBI ILMU SEMESTA, Jakarta

IV. Munculnya Konsepsi Indonesia, ± 1900-42

Bab 14. Zaman Penjajahan Baru, Hal 319

Kebijakan kolonial 'Politik Etis' berakar dari masalah kemanusiaan dan keuntungan ekonomi
Belanda, menyebutkan tiga dasar kebijakan baru, yaitu pendidikan, pengairan, dan perpindahan
penduduk. Berlangsung dalam kondisi ekonomi yang berubah cepat, di Jawa dan daerah luar
Jawa lebih fokus kepada pembangunan ekonomi baru. Dari perkembangan ekonomi
menghasilkan Komoditi ekspor Jawa yang penting yaitu kopi, teh, gula, karet, ubi kayu, dan
tembakau. Sebagian besar hasil produksi komoditi dari luar Jawa lebih banyak daripada di Jawa.
Sering terjadi pasang-surut, yang keseluruhan nilai ekspor kopi Jawa menurun hampir 70% dari
tahun 1880 sampai tahun 1930, ekspor kopi dan karet daerah luar Jawa menjadi dua kali lipat
dari nilai ekspor kopi Jawa, dan nilai ekspor tembakaunya hampir empat kali lipat dari nilai
ekspor tembakau Jawa.

Pertumbuhan ekonomi dan masalah kesejahteraan penduduk pribumi berkaitan dalam


perkembangan infrastruktur saja. Pada perluasan jaringan rel kereta api dan trem pada tahun
1867, rel kereta api di seluruh wilayah Hindia Timur Belanda hanya mencapai kira-kira 25
kilometer, pada 1873 hanya sekitar 260 kilometer, dan berkembang pesat pada 1930 sepanjang
7.425 kilometer. Proyek tersebut mempunyai kaitan langsung dengan kesejahteraan proyek
pengairan yang diupayakan pemerintah Belanda untuk mengairi lembah Bengawan Sala yang
ditinggalkan setelah menghabiskan dana sekitar 17 juta gulden. Namun luas kawasan
persawahan yang dapat diairi antara tahun 1885-1930 meningkat sekitar 1,8 kali lipat.

Ditambah dengan pertumbuhan penduduk Jawa dengan i tingkat kesejahteraan rendah, satu-
satunya solusi yang diberikan Belanda adalah emigrasi dari Jawa ke luar Jawa. Pada tahun 1905,
koloni-koloni orang Jawa pertama ditempatkan di Lampung. Pada tahun 1930, seluruh
penduduk koloni berjumlah sekitar 36.000 jiwa, mereka banyak meninggalkan pulau untuk
bekerja sebagai kuli-kuli di perkebunan-perkebunan wilayah Sumatera Timur dan lainnya. Pada
tahun 1931 terdapat lebih dari 306.000 orang tenaga kerja semacam itu, dan sebagian kerja di
bidang lain. Jumlah penduduk Jawa antara tahun 1905-1930 bertambah sekitar 11 juta jiwa.
Pihak Belanda telah meningkatkan anggaran hampir 10 kali lipat untuk proyek-proyek
kesehatan umum (1900-1930), seperti program imunisasi, kampanye-kampanye anti malaria,
dan perbaikan kesehatan yang mungkin menyebabkan turunnya angka kematian. Akan tetapi
dalam menghadapi kemiskinan dan jumlah penduduk Jawa yang terlalu banyak, hasilnya juga
terbatas.

Banyak usaha-usaha di bidang pendidikan, dan hasilnya membuat bangga para pejabat
Belanda, mereka menyetujui ditingkatkannya pendidikan bagi rakyat Indonesia, tetapi ada dua
aliran pemikiran yang berbeda mengenai jenis pendidikan 'yang bagaimana' dan 'untuk siapa'.
Snouck Hurgronje dan J.H. Abendanon direktur pendidikan Etis pertama (1900-5) mendukung
pendekatan yang bersifat elite, menginginkan pendidikan bergaya Eropa dengan bahasa
Belanda sebagai bahasa pengantarnya bagi kaum elite Indonesia. Hal ini akan menciptakan
suatu elite yang tahu berterima kasih dan bersedia bekerja sama, memperkecil anggaran,
mengendalikan 'fanatisme' Islam, dan Menciptakan keteladanan untuk rakyat golongan bawah.

Idenburg dan Gubernur Jenderal Van Heutsz (1904-9) mendukung pendidikan yang lebih
mendasar dan praktis dengan bahasa daerah sebagai bahasa pengantarnya untuk golongan-
golongan bawah. Pendekatan elitis diharapkan menghasilkan pimpinan bagi zaman pencerahan
baru Belanda-Indonesia, sedangkan pendekatan yang merakyat diharapkan memberikan
sumbangsih secara langsung bagi kesejahteraan. Tak satu kebijakan pun dijalankan dengan
dana yang memadai, dan tak satu pun menghasilkan apa yang diinginkan.

Abendanon, mengutamakan pendekatan elitis. Pada tahun 1900, tiga hoofdenscholen, "sekolah
para kepala" di Bandung, Magelang, dan Probolinggo disusun kembali menjadi sekolah-sekolah
yang direncanakan untuk menghasilkan pegawai pemerintahan dan diberi nama baru OSVIA
(Opleidingscholen voor inlandsche ambtenaren, "sekolah pelatihan untuk para pejabat
pribumi"). Masa pendidikannya kini berlangsung selama lima tahun, dengan bahasa Belanda
sebagai pengantarnya dan terbuka bagi semua orang Indonesia yang telah menyelesaikan
sekolah rendah Eropa. Calon-calon muridnya tidak harus dari kalangan elite bangsawan, yang
pada 1927, masa pendidikannya dikurangi menjadi tiga tahun.

Pada tahun 1900-2, sekolah 'Dokter-Jawa' di Weltevreden diganti menjadi School tot opleiding
van inlandsche artsen atau STOVIA "sekolah untuk pelatihan dokter-dokter pribumi"), mata
pelajarannya dalam bahasa Belanda, namun hanya orang-orang kaya saja yang mampu
membayar iuran sekolah, lalu Abendanon memperluas kesempatan bagi rakyat Indonesia yang
kurang mampu untuk bisa masuk dan menghapuskan iuran sekolah bagi para orang tua yang
penghasilannya di bawah 50 gulden per bulan. Abendanon bertujuan sama dengan Kartini,
yaitu dengan memajukan pendidikan bagi kaum perempuan. Di negeri Belanda, pada tahun
1913 didirikan suatu yayasan swasta bernama Kartini Fonds, "Yayasan Kartini", untuk mengurus
pendidikan berbahasa Belanda bagi kaum wanita di Jawa, yang diberi subsidi oleh pemerintah
kolonial. Sekolah-sekolah Kartini di Jawa yang didirikan oleh yayasan ini memainkan peranan
penting pada masa-masa mendatang, dan Kartini di kenang sebagai seorang tokoh emansipasi
wanita yang pertama dan tokoh kebangkitan Nasional.

Masih banyak lagi Sekolah-sekolah yang di dirikan oleh Belanda, mulai dari pendidikan dengan
sistem barat dan pendidikan dengan sistem lokal, contohnya seperti Sekolah-sekolah
Hollandsch-Inlandsche, "Belanda-Pribumi", sekolah-sekolah Hollandsch-Chineesche, "Belanda-
Cina" yang mengarah ke pendidikan Eropa tingkat lanjutan dan kemudian ke lapangan kerja
birokrasi yang lebih tinggi, dan bahasa Belanda menjadi bahasa pengantarnya. Pemisahan ras
dalam pendidikan sudah tidak ada. Pada tahun 1914, sekolah-sekolah MULO (Meer uitgebreid
lager onderwijs) "pendidikan rendah yang lebih diperpanjang", didirikan untuk orang-orang
Indonesia golongan atas, orang-orang Cina, dan orang-orang Eropa yang telah menyelesaikan
sekolah dasar. Pada tahun 1919, Algemeene Middelbare Scholen, "sekolah menengah umum"
didirikan untuk membawa para murid memasuki tingkat perguruan tinggi, yang pada saat itu,
belum ada perguruan tinggi di Indonesia.

Sejumlah kecil orang Indonesia yang mendapat kesempatan memasuki perguruan tinggi adalah
mereka yang telah berhasil menembus sistem Eropa menuju Hoogere Burgerschool, "sekolah
atas untuk kelas menengah" dan kemudian ke perguruan tinggi di Belanda. Pada tahun 1905,
hanya ada 36 orang Indonesia yang berhasil memasuki HBS, termasuk Hoesein Djajadiningrat
berasal dari keluarga terkenal bupati Jawa Barat, menjadi orang Indonesia pertama yang
meraih gelar doktor di Universitas Leiden dengan disertasi yang berjudul Sejarah Banten (1913).
Universitas yang tidak memandang ras, akhirnya hadir di Indonesia pada 1920, yaitu Technische
Hoogeschool "sekolah tinggi teknik" Bandung, pada 1924, Rechtshoogeschool "sekolah tinggi
hukum", dibuka di Batavia, dan pada 1927 STOVIA diubah menjadi Geneeskundige
Hoogeschool, "sekolah tinggi kedokteran".

Kesejahteraan dicanangkan, tetapi apabila dibandingkan dengan perspektif jumlah penduduk,


hasilnya kecil. Desa yang semidemokratis seharusnya menjadi dasar dari segalanya, yang
kenyataannya hanya diperlakukan sebagai perangkat pasif oleh para penjabat. Rakyat
seharusnya dihubungkan dengan para penguasanya, tetapi hanya sebagai pengikut suatu elite
konservatif. Tidak ada penyelesaian yang nyata terhadap pertambahan jumlah penduduk.
Kekayaan Indonesia dimanfaatkan untuk kepentingan perusahaan perusahaan asing, sedangkan
industri pribumi tidak berkembang dengan baik. Pertumbuhan ekonomi penting berlangsung di
luar Jawa, padahal masalah kesejahteraan tersulit ada di Jawa. Pendidikan seharusnya menjadi
kunci bagi suatu zaman yang baru, namun jumlah sekolah yang disediakan terlalu sedikit jika
dibandingkan dengan jumlah penduduk.
Bab 15. Langkah-langkah Pertama Menuju Kebangkitan Nasional, + 1900-27

Tiga puluh tahun awal abad ke-XX menjadi saksi penentuan wilayah Indonesia yang baru dan
suatu kebijakan penjajahan baru, yang mempengaruhi aspek kehidupan masyarakat Indonesia
yang mengalami perubahan besar, seperti politik, budaya, dan agama, melalui itu rakyat
Indonesia menempuh jalan yang baru. Gerakan anti penjajahan dan pembaharuan yang
berawal muncul di Jawa dan Minangkabau yang menjadi pelopor dalam perubahan yang
mendadak dan jelas. Minangkabau sudah mengalami pembaharuan besar Islam yang diketuai
kaum Padri sejak tradisi kekuasaan Belanda untuk berhubungan aktif dengan dunia luar yang
telah mememukan ide-ide baru. Orang-orang Minangkabau dan rakyat Jawa telah menetapkan
dasar-dasar suatu tatanan yang baru.

Perkembangannya meliputi munculnya ide-ide baru mengenai organisasi, bentuk-bentuk


kepemimpinan yang baru dan mengenal definisi-definisi baru yang canggih tentang identitas,
meliputi analisis yang lebih mendalam tentang agama, sosial, politik, dan ekonomi. Pada tahun
1927 telah terbentuk suatu jenis kepemimpinan Indonesia dan suatu kesadaran diri yang baru
tetapi dengan akibat, para pemimpin yang baru bertentangan secara sengit satu sama lain,
yang telah memecah belah kepemimpinan menurut paham agama dan ideologi yang berbeda.
Belanda mulai menjalankan tingkat penindasan baru untuk menanggapi perkembangan
tersebut. Periode ini mengubah pandangan kepemimpinan Indonesia mengenai dirinya sendiri
dan masa depannya.

Dr. Wahidin Soedirohoesodo lulusan sekolah Dokter-Jawa (1857-1917),menjadi inspirator bagi


pembentukan organisasi modern pertama kalangan priyayi Jawa. Dia berusaha menghimpun
dana guna memberikan pendidikan Barat kepada golongan priyayi Jawa. Seorang pangeran dari
keturunan Pakualam Yogyakarta, mendukungnya karena berperan penting dalam
perkembangan baru pada masa itu.

Pada tahun 1907 Wahidin di STOVIA mendapat tanggapan baik dari murid-murid sekolah dan
memutusan untuk membentuk suatu organisasi pelajar untuk kepentingan priyayi rendah. Pada
bulan Mei 1908, diselenggarakan pertemuan yang melahirkan Budi Utomo, Organisasi ini
mendesak pemerintah untuk menyediakan lebih banyak pendidikan Barat. Dalam bahasa
Belanda disebut het schoone streven (ikhtiar yang indah). Mereka yang bukan mahasiswa juga
menggabungkan diri, sampai pernah mencapai jumlah keanggotaan tertinggi 10.000 orang pada
akhir tahun 1909, sehingga pengaruh mahasiswa mulai berkurang. Organisasi ini meliputi
penduduk Jawa dan Madura, dan bahasa Melayu sebagai bahasa resminya, yang
mengutamakan kebudayaan dan pendidikan dan jarang memainkan peran politik aktif. Oktober
1908, Budi Utomo menyelenggarakan kongres pertama di Yogyakarta, dan muncul suara baru.
Tjipto Mangunkusumo (1885-1943) seorang dokter dan radikal, yang ingin agar Budi Utomo
menjadi partai politik yang berjuang untuk mengangkat rakyat pada umumnya, bukan hanya
golongan priyayi, dan kegiatan-kegiatannya lebih tersebar di seluruh Indonesia, tidak terbatas
di Jawa dan Madura saja.

Dr. Radjiman Wediodiningrat (1879-1951), lulusan 'Dokter-Jawa' lain, yang dipengaruhi


kebudayaan Jawa, dialektika Hegel, subyektivisme Kant, dan antirasionalisme Bergson, dan
sudah menganut doktrin doktrin mistik teosofi sebagai perpaduan Timur dan Barat. Teosofi
adalah salah satu gerakan yang menyatukan elite Jawa, orang orang Indo-Eropa, dan orang-
orang Belanda pada masa itu yang sangat berpengaruh. Baik Tjipto maupun Radjiman tidak
berhasil meraih kemenangan. Tjipto tampaknya seorang radikal yang berbahaya dan Radjiman
seorang reaksioner kaku. Pada 1909 bergabung dengan Indische Partij yang radikal. Pada
Desember 1909, Budi Utomo disahkan dan terlihat sebagai partai yang seolah resmi, lalu
mengalami kemandekan pada awal permulaannya, karena kekurangan dana dan kurangnya
kedinamisan kepemimpinan.

Organisasi-organisasi aktif akan segera berdiri yang bersifat keagamaan, kebudayaan,


pendidikan, dan politik, dan untuk pertama kalinya menjalin hubungan antara rakyat desa dan
elite-elite baru. Mereka ini merupakan cabang priyayi rendah yang berdiri hampir semuanya
orang-orangnya yang telah berhasil menyelesaikan sistem pendidikan barat, namun
mengundurkan atau dipecat dari pemerintahan.

kelompok agama minoritas baru yang taat pada kewajiban Islam dalam kehidupan sehari-hari,
disebut wong muslimin (kaum muslim), putihan (golongan putih), atau santri (murid sekolah
agama). Dibedakan dalam 2 golongan yaitu, kaum muslim pedesaan berkelompok disekeliling
kyai (guru agama), dari sekolah-sekolah agama (pesantren), kelompok muslim kota yang
bekerja di bidang perdagangan yang bersentuhan dengan gagasan-gagasan baru.

Pada 1909, lulusan OSVIA bernama Tirtoadi surjo (1880-1918), mantan dinas pemerintahan
yang menjadi wartawan, mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia, untuk membantu
pedagang-pedagang Indonesia. Pada 1911, Tirtoadisurjo mendorong seorang pedagang batik
sukses Haji Samanhudi (1868-1956) di Surakarta untuk mendirikan Sarekat Dagang Islam
sebagai suatu himpunan pedagang batik Jawa.

Di Surabaya, H.O.S. Tjokroaminoto (1882-1934) lulusan OSVIA yang menjadi pimpinan


organisasi itu, karena Samanhudi sibuk berdagang. Dia merupakan tokoh berkharisma, yang
memusuhi orang-orang yang berkuasa, baik yang berkebangsaan Belanda maupun Indonesia.
Pada 1912, organisasi tersebut mengubah namanya menjadi Sarekat Islam. Tirtoadisurjo dan
Samanhudi terlibat cekcok. Sifat Islam dan dagang segera pudar, karena Tjokroaminoto sendiri
tampaknya tidak mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang Islam.
Di Blora selatan, seorang petani Jawa buta huruf bernama Surantiko Samin (1859-1914),
menghimpun kelompok kalangan petani yang menolak bentuk kekuasaan dari luar. Kaum Samin
menganut elmu Nabi Adam beristilah Arab, namun tidak terkait dengan Islam dan Hindu-Budha.
Berisi kumpulan doktrin-doktrin etika dan agama yang menitikberatkan pada pentingnya kerja
pertanian, kekuatan seksual, perlawanan pasif, dan keutamaan keluarga, yang menolak
perekonomian uang, struktur-struktur desa non-Samin, menolak membayar pajak,
melaksanakan kerja paksa, pemanfaatkan sekolah pemerintah. Pada 1907, pemerintah
khawatir jika terjadi pemberontakan, lalu mengasingkan Samin ke Palembang, dan dia
meninggal disana. Namun gerakannya terus berjalan, dan puncaknya pada tahun 1914, ketika
pihak Belanda memungut pajak besar. Golongan priyayi tidak dapat menghentikan gerakannya,
yang memang terus hidup di wilayah itu sampai tahun 1970 an.

Sesudah 1909, di STOVIA bermunculan organisasi-organisasi baru elite terpelajar berdasarkan


identitas kesukuan, yaitu Tri Koro Dharmo (1915) yang di tahun 1918 menjadi Jong Java
"pemuda Jawa", Jong Sumatranen Bond "perserikatan pemuda Sumatera" (1917), Studerenden
Vereeniging Minahasa "perserikatan mahasiswa Minahasa" (1918), dan Jong Ambon "pemuda
Ambon" (1918). Organisasi-organisasi lain yang semacam itu terdiri atas Sarekat Ambon (1920),
Pasundan, "tanah Sunda", (1914). Pada 1921 Timorsch Verbond "persekutuan orang orang
Timor" untuk membela kepentingan orang-orang Timor. Kaum Betawi (1923), Pakempalan
Politik Katolik Jawa "persatuan politik orang-orang Jawa yang beragama Katolik" (1925).
Organisasi-organisasi ini muncul karena adanya kegairahan untuk berorganisasi, dan
mencerminkan kuatnya identitas kesukuan dan kemasyarakatan.

Serikat-serikat buruh pun berdiri di Indonesia, pertama didirikan tahun 1905 untuk karyawan-
karyawan perusahaan kereta api berkebangsaan Eropa, lalu karyawan-karyawan Indonesia
segera bergabung dan menjadi anggota mayoritas (1910). Pada 1908 didirikan Vereeniging voor
Spoor en Tramweg Personeel "serikat buruh kereta api dan trem" (VSTP) untuk karyawan
Indonesia. Sesudah itu serikat guru, para petugas pabean, para pegawai pegadaian pemerintah,
para pegawai monopoli candu pemerintah, para pegawai pekerjaan umum, para pekerja
perbendaharaan, para buruh pabrik gula. Akan tetapi, organisasi serikat buruh lemah karena
para majikan memanfaatkan segala alat, guna mematahkan pemogokan-pemogokan. Pada
1918-21, kekurangan tenaga kerja sementara menempatkan serikat-serikat dagang dalam
posisi kuat.

Muslim Indonesia pada dasarnya adalah kaum Suni dan penganut mazhab Syafi'i. Banyak orang
Indonesia saleh terlibat dalam mistik sufi, terutama tarekat-tarekat Syattariyyah, Qadiriyyah,
dan Naqsyabandiyyah, dan gabungan dua tarekat yaitu Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah.
Namun, terdapat banyak perbedaan, penyimpangan, dan ketidaktahuan karena telah
dipengaruhi oleh banyak adat dan ide lokal. Oleh karena itu, maka orang-orang muslim
terpelajar Indonesia melihat adanya kebutuhan untuk pembaharuan besar.

Jamal ad-Din al-Afghani (1839-97), Muhammad Rasyid Rida (1865-1935), dan terutama
Muhammad 'Abduh (1849-1905) menciptakan gerakan 'modernisme' di Kairo, pertama
bertujuan untuk membebaskan diri dari dominasi keempat mazhab abad pertengahan dan
kembali kepada sumber-sumber Islam yang asli yaitu Al quran, perintah Tuhan kepada Nabi-
Nya, Nabi Muhammad, dan hadis atau sunah, yang menjadi dasar syariat dan akidah.

Islam harus disucikan dari segala inovasi yang tidak sah yang telah merasukinya selama
berabad-abad. Dengan demikian, tujuan modernisme yang pertama ini berdasar pada sumber-
sumber suci, bersifat fundamentalis, dan bersemangat ke murnian. Tujuan kedua ialah Ijtihad
baru ini harus memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan modern yang dapat dipadukan
dengan Islam murni untuk mengangkat peradaban Islam keluar dari zaman kebodohan,
ketakhayulan, dan kemunduran.

Belanda mencurigai Islam dan membatasi perjalanan haji ke Mekah sampai sekitar tahun 1902.
Snouck Hurgronje berhasil mengubah kebijakan ini atas dasar doktrin keagamaan, Islam harus
bebas dari campur tangan, walaupun sebagai kekuatan politik harus musnah. Singapura
memainkan peranan, banyak haji Indonesia menempuh perjalanan melalui Singapura, karena
Inggris tidak melarang mereka dan tersedia tempat lebih banyak dan lebih murah. Pada akhir
abad XIX, orang orang muslim Singapura mendirikan percetakan-percetakan litograf yang
berakibat banyaknya buku-buku dan surat-surat kabar ide-ide Islam modernis, yang sebagian di
cetak dalam bahasa Melayu.

Generasi politisi Indonesia nantinya akan melibatkan orang yang realistis, Islam sedang
menjalani pembaharuan yang sebenarnya, dan sifat musuh lebih dipahami. Nantinya para
pemimpin Indonesia sadar dengan adanya hal yang mempersatukan mereka. Nasionalisme
segera lahir, yang menjadi suatu langkah baru seperti pengaruh pembaharuan agama, dari Pan-
Islam, dari ide-ide Marxis internasional, atau dari identitas-identitas regional dan komunal
sehingga tak satu pun yang benar-benar nasionalis.

@@Bab 16. Represi dan Krisis Ekonomi, 1927-1942, Hal 374

Antara 1927 dan runtuhnya negara jajahan Belanda oleh Jepang pada tahun 1942, kebangkitan
nasional Indonesia mulai bergaya kurang semarak, dalam masalah politik tidak menghasilkan
apapun. Rezim Belanda memasuki tahapan yang paling menindas dan paling Konservatif.
Rakyat pedesaan tidak lagi berperan aktif di politik, karena kecewa dengan SI dan PKI pada
tahun-tahun sebelumnya dan mereka lebih sibuk untuk mengatasi masa-masa sulit yang
ditimbulkan oleh Depresi (1930). Tokoh yang muncul sebagai pemimpin-pemimpin Indonesia
pada masa itu sangat penting karena, apapun ketidakberhasilan mereka saat itu, mereka
ditakdirkan menjadi generasi pertama dalam sejarah Indonesia sebagai bangsa yang bersatu
dan merdeka.

Sukarno (1901-70) adalah orang Jawa yang bekerja sebagai guru pada sekolah pemerintah
dengan istrinya. Ayahnya berasal dari lingkungan abangan dan seorang teosof. Setelah
menyelesaikan sekolah di Mojokerto, ia memasuki sistem sekolah Eropa, dan
menyelesaikannya pada 1916, lalu dikirim ke HBS di Surabaya, yang tinggal di rumah
Tjokroaminoto. Sukarno berkenalan dengan banyak pemimpin politik awal yaitu, Agus Salim,
Sneevliet, Semaun, Musso, Alimin, dan Ki Hadjar Dewantara.

Dia mulai banyak mempelajari sejarah Eropa dan Amerika, dan menyerap banyak ide baru.
Kebenciannya terhadap diskriminasi yang di alaminya di HBS, sesuatu yang didengar dari
pemimpin-pemimpin politik, serta membaca dan belajarnya, semuanya mulai
menggerakkannya ke sikap politik anti-penjajahan. Pada saat Sekolah di Sekolah Tinggi Teknik
Bandung dia mendapat berbagai ide baru yang menyebab kan semakin canggihnya pandangan
Sukarno, disana dia juga bertemu dengan Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Ki Hadjar
Dewantara, yang sangat berpengaruh dalam karier Sukarno. Di dalam ide-ide mereka, Sukarno
menemukan alasan bagi suatu bentuk nasionalisme yang tidak mengandung komitmen tertentu
terhadap Islam, teori perjuangan kelas, maupun kaitan formal dengan kelompok etnik tertentu.

November 1925, menjadi tahun terakhirnya Sukarno di Sekolah Tinggi Teknik, dia membantu
mendirikan Algemeene Studieclub, "kelompok belajar umum", yang diilhami oleh Study Club
yang didirikan di Surabaya pada tahun 1924 oleh dr. Sutomo (1888-1938). Kelompok Belajar
bersifat politis, dengan kemerdekaan Indonesia sebagai tujuannya. Perasaannya bahwa gerakan
anti-penjajahan perlu di persatukan olehnya terus berkembang. Pada 1926, dia menerbitkan
serangkaian artikel berisi anjuran, bahwa Islam, Marxisme, dan nasionalisme seharusnya
bersatu, secara tidak langsung dia mengatakan bahwa nasionalisme hendaknya lebih
diutamakan.

Pada 4 Juli 1927, Sukarno dan Algemeene Studieclub membentuk sebuah partai politik baru,
Perserikatan Nasional Indonesia, Sukamo sebagai ketuanya. Pada Mei 1928, nama partai ini
diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Tujuannya adalah kemerdekaan Indonesia
dengan cara nonkooperatif dan organisasi massa. Inilah partai politik penting pertama yang
beranggotakan etnis Indonesia, yang mencita-citakan kemerdekaan politik, berpandangan
kewilayahan batas-batas Indonesia, dan berideologi nasionalisme 'sekuler'. Pada akhir 1927,
Sukarno sudah berhasil mewujudkan suatu front bersatu dari organisasi politik penting
Indonesia, didukung Sarekat Islam, Sukiman Wirjosandjojo (1896), walau Agus Salim tidak
setuju. Termasuk Budi Utomo, Study Club, serta organisasi-organisasi kedaerahan dan Kristen
bergabung dalam satu wadah yang disebut PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan
Politik Kebangsaan Indonesia).

Pertumbuhan nasionalisme memiliki akar yang positif, karena banyak pemimpin yakin akan
adanya bangsa Indonesia dan mempunyai hak atas kehidupannya sendiri. Namun, perbedaan-
perbedaan tujuan, ideologi, dan kepribadian telah memecah-belah persatuan yang dicapai oleh
PPPKI tidaklah begitu mendalam. Sarekat Islam Indonesia mengundurkan diri dari PPPKI (1930)
karena kelompok-kelompok lainnya menolak untuk mengakui peranan Islam, karena pimpinan
Islam Indonesia tidak dapat menerima ide-ide yang sekuler.

Pada 1922, organisasi lama mahasiswa Indonesia di Belanda, Indische Vereeniging "persatuan
Hindia" (1908), berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia yang semakin terlibat dalam
politik. Pemimpin-pemimpin utamanya adalah Mohammad Hatta (1902-80) dan Sutan Sjahrir
(1909-66), dua orang Jawa yang kelak menjadi perdana menteri, Ali Sastroamidjojo (1903-75)
dan Sukiman Wirjosandjojo juga menonjol, mereka pemimpin-pemimpin Indonesia yang telah
menuntut ilmu di universitas-universitas Belanda dan mempunyai pandangan yang jelas.
Namun, Perhimpunan Indonesia retak ketika kaum komunis yang berorientasi ke Moskow
berhasil memegang kekuasaan, Sjahrir dan Hatta lantas dikeluarkan (1931).

Akhirnya, pada 1929, pemerintah bertindak terhadap PNI, menangkap Sukarno dan pemimpin
lainnya. Mengajukan Sukarno ke pengadilan umum Bandung pada akhir 1930. Dia berpidato
dengan cemerlang yang menyuarakan ulang komitmen, karena kedalaman intelektual, lalu
dihukum dengan tuduhan membahayakan ketertiban umum dan dijatuhi hukuman empat
tahun di penjara Sukamiskin, Bandung, akibatnya PNI lumpuh dan nyaris tak ada apa-apanya.

Kesastraan baru tumbuh berdasarkan bahasa Melayu, yang sudah berabad-abad digunakan
sebagai lingua franca di Nusantara, oleh karena itu bisa bebas dari sifat-sifat kesukuan. Dengan
berkembangnya kesastraan ini, kaum terpelajar Indonesia tidak lagi menyebutnya 'bahasa
Melayu', melainkan 'bahasa Indonesia' yang lahir sebagai sarana persatuan nasional. Segala
bidang penulisan meluas cepat di Indonesia. Pada 1918 telah terbit sekitar 40 surat kabar dalam
bahasa Indonesia, pada 1925 ada sekitar 200, pada 1928 ada lebih dari 400 harian, mingguan,
dan bulanan. Muncul pula kesastraan modern dalam peranan para pengarang Minangkabau,
berasal dari masyarakat dinamis.

Banyak kesastraan modern Indonesia diterbitkan oleh perusahaan percetakan pemerintah,


Balai Pustaka (dalam bahasa Belanda Commissie, setelah 1917 Kantoor-voor de Volk slectuur,
"komisi/kantor untuk kesastraan rakyat"), yang melaksanakan tiga fungsi pokok, yaitu
menerbitkan karya-karya sastra klasik dan cerita cerita rakyat dalam bahasa daerah,
menerjemahkan literatur Barat ke bahasa Indonesia, dan menerbitkan kesastraan Indonesia
baru, karena hal tersebut bisa membantu mempertahankan kelestarian budaya-budaya daerah,
membuat nilai-nilai sastra Indonesia lebih universal, dan memberikan sumbangan terbentuknya
kebudayaan se-Indonesia.

Balai Pustaka juga mendirikan perpustakaan umum di dalam HIS (sekolah Belanda-pribumi) dan
menyebarkan luaskan terbitan-terbitannya karena tingkat melek huruf saat itu masih rendah.
Pada akhir tahun 1920-1930-an, muncul bentuk modern dari lukisan Bali, pelukis Jerman Walter
Spies (1895-1942) dan seniman Belanda Rudolf Bonnet (1895-1978) tinggal di Bali dan
terjadilah proses saling memengaruhi antara kesenian Bali dan kesenian Eropa. Seniman
Meksiko Miguel Covarrubias (1904-57) juga berperan dalam pertukaran budaya ini. Seniman
Bali kini menggunakan warna-warna lebih dramatik, dan gaya yang penuh tenaga, bercirikan
gambar-gambar manusia dengan banyak lengkungan bersuasana tropis yang bergairah. Mereka
menandatangani karya-karya mereka, yang mencerminkan individualisme modern. Beberapa
orang yang membuatnya, berhasil mendapat pengakuan luas di luar Indonesia dan membantu
mempertahankan posisi Bali sebagai surga tropis murni di mata orang Barat.

Oktober 1928, kegiatan budaya dan politik persatuan Indonesia resmi bergabung pada Kongres
Pemuda yang diadakan di Batavia. Dalam Sumpah Pemuda-nya, Kongres menyetujui tiga
pengakuan: satu tanah air Indonesia, satu bangsa Indonesia, dan satu bahasa, bahasa persatuan
Indonesia.

Ekonomi Indonesia tiba-tiba berubah karena depresi ekonomi dunia pada 1930an. Harga
beberapa produk Indonesia mengalami penurunan dan pasar ekspor gula menciut karena
produksi gula bit meluas, terutama di Inggris dan Jepang. Indonesia sangat tergantung pada
ekspornya, terutama produksi minyak bumi dan pertanian, yang pada 1930, sebanyak 52%
diekspor ke Eropa dan Amerika Utara. Krisis ekonomi di kedua daratan ini yang berakibat
diberlakukannya kebijakan proteksi secara menyeluruh.

Pemerintah Belanda tidak lagi menggunakan laissez-faire untuk meredakan tingkat bencana.
Belanda merestrukturisasi produksi karet, menggunakan skema pembatasan dan cukai
penjualan yang merugikan pemilik perkebunan kecil pribumi. Barang-barang murah dari Jepang
penting untuk mengurangi dampak depresi bagi Indonesia. Pada 1934 menjadi puncak
kesuksesan Jepang dalam impor Jepang, mewakili 32,5% dari nilai total impor Indonesia, hampir
dua setengah kali lipat dari nilai impor Belanda.

Jepang didorong keluar dari pasar, Indonesia mendapatkan barang-barang dari Belanda yang
lebih mahal sebagai penggantinya. Jaringan retail Jepang sebelumnya telah menggunakan para
pekerja Indonesia, tetapi kini mereka kehilangan pekerjaan karena importir Eropa kembali
mempekerjakan para pekerja Cina. Para pekerja Indonesia cenderung kembali ke pertanian
untuk menyambung hidup. Sebagian lahan yang tidak lagi digunakan untuk produksi gula
digunakan untuk produksi padi, tetapi tidak sepenuhnya dapat menyediakan keperluan
makanan dan pekerjaan bagi populasi yang terus-menerus bertambah. Dalam kenyataannya,
ketersediaan bahan makanan untuk perkapita menurun dari tahun 1930-1934.

Keadaan sangat sulit sampai ke masa penaklukan Jepang. Muhammadiyah dan beberapa partai
politik mengadakan kegiatan bantuan tingkat desa. Beberapa serikat kerja masih cukup
berfungsi untuk membantu pekerja-pekerja yang kekurangan. Masa yang sulit bagi orang-orang
Indonesia yang bertahan sebagai pegawai pada sektor formal di kota, karena gaji turun lebih
sedikit dari harga barang, dan jam kerja dan kondisi lainnya memburuk.

Di bidang politik, gubernur jenderal antara 1931-1936 adalah Bonifacius C. de Jonge, mantan
menteri peperangan dan Direktur Royal Dutch Shell, menentang semua bentuk nasionalisme
dan juga tidak ingin Volksraad memainkan peranan penting. Rapat-rapat politik orang Indonesia
sering kali dibubarkan oleh polisi dan para pembicaranya ditangkap. Selanjutnya Alidius W.L.
Tjarda van Starkenborgh Stachouwer (1936-45), sedikit lebih luwes namun tidak membawa
perubahan besar. Menteri Urusan Daerah Jajahan di Den Haag adalah Hendrikus Colin (1933-
1937), sangat menentang ide-ide Etis dan pernah menjadi Direktur Shell. Kondisi seperti ini
tidak mengherankan apabila nasionalisme hanya mendapat sedikit kemajuan.

Pemimpin-pemimpin politik bereaksi terhadap penangkapan Sukarno dengan berbagai cara. Di


Volksraad, pada Januari 1930, Muhammad H. Thamrin (1894-1941) pemimpin Kaum Betawi,
membentuk Kelompok Nasional (Nationale Fractie) dengan anggotanya dari Jawa dan luar
Jawa, bertujuan untuk memperjuangkan semacam bentuk otonomi Indonesia di dalam kerja
sama dengan Belanda. Di Surabaya, pada Oktober 1930, Sutomo mengubah Study Club menjadi
Persatuan Bangsa Indonesia (PBI), yang dicurigai oleh pemerintah. Organisasi ini beralih ke
bidang-bidang kegiatan ekonomi dan sosial di Jawa Timur, seperti mendirikan balai
pengobatan, asrama mahasiswa, bank-bank desa, biro-biro penasihat, dan lainya. Kegiatannya
serupa dengan kegiatan organisasi-organisasi Islam. Taman Siswa memberi tantangan Islam di
bidang pendidikan, maka PBI memberi tantangan di bidang sosial dan ekonomi.

PNI dibubarkan pada April 1931, para pemimpinnya telah mendapat peringatan tegas dari para
penguasa Belanda pada Januari 1930, PNI tidak akan diizinkan melanjutkan kegiatan-kegiatan
politiknya selama tuntutan terhadap para pemimpinnya belum diputuskan. Setelah Sukarno
dihukum, para pemimpin PNI merasa bahwa partai tersebut menjadi terlarang. Sebagai
gantinya dibentuklah Partindo (Partai Indonesia) yang mempunyai cita-cita sama dengan PNI.
Anggota Partindo pada Februari 1932 hanya 3.000 orang, akibat dari para anggota yang hilang
semangatnya setelah PNI runtuh.

Pada Desember 1931, Sjahrir yang baru pulang dari Belanda, membentuk organisasi tandingan
Partindo, bernama Pendidikan Nasional Indonesia, yang disebut PNI-Baru. Dipimpin oleh orang-
orang yang memiliki gaya berbeda, tapi memiliki gagasan-gagasan yang sama yang bertujuan
menghasilkan kader-kader pemimpin yang dapat menggantikan para pemimpin yang ditangkap.
Pada Agustus 1932, Sukarno bergabung dengan Partindo dan Hatta pulang dan memimpin PNI-
Baru. Antara Sukarno dan Hatta melambangkan tersembunyinya perbedahan-perbedaan, di
satu pihak adalah seorang muslim abangan Jawa yang romantis dengan naluri-naluri
kerakyatan, dan pihak lain seorang Minangkabau elite dan sangat intelektual, seorang muslim
yang saleh namun tak kurang teguhnya memegang doktrin-doktrin politik sosialis yang bersifat
sekuler.

Reaksi pimpinan Islam terhadap nasionalisme 'sekuler' pada umumnya memusuhi. Sejak 1925,
Agus Salim memperingatkan kaum muslim saleh bahwa ide Sukarno tentang 'ibu pertiwi
Indonesia' membahayakan kesetiaan mereka kepada Tuhan. Pada 1931, Natsir menulis artiket-
artikel yang menyatakan bahwa hanya Islam yang dapat menjadi dasar kebangsaan Indonesia,
tetapi bagi kaum muslim kemerdekaan Indonesia itu sendiri tidak dapat menjadi tujuan
terakhir, harus berjuang mendirikan negara yang dimana hukum Islam dan pemimpin Islam
berkuasa. Pemimpin Islam modernis mencela nasionalisme karena merupakan ide manusia
yang memecah-belah umat Islam sedunia, paham ini berasal dari Eropa serta telah
menimbulkan perang dan imperialisme Barat. Mereka tidak dapat memahami, bagaimana di
sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sesuatu selain Islam dapat secara
serius diajukan sebagai dasar persatuan.

kekuasaan Belanda berada pada saat-saat terakhirnya. Pada 8 Desember 1941 (7 Desember di
Hawaii), Jepang menyerang Pearl Harbor, Hongkong, Filipina, dan. Malaysia. Negeri Belanda
dengan sekutunya segera menyatakan perang terhadap Jepang. Dan pada 10 Januari 1942,
Jepang mulai menyerbu Indonesia. Pada 15 Februari, pangkalan Inggris di Singapura, yang
menurut dugaan tidak mungkin terkalahkan, menyerah. Pada akhir bulan itu, balatentara
Jepang menghancurkan armada gabungan Belanda, Inggris, Australia, dan Amerika dalam
pertempuran di laut Jawa. Rakyat Indonesia memberikan sedikit sekali bantuan kepada pasukan
kolonial yang terancam dan kadang-kadang berbalik melawan orang-orang sipil dan serdadu-
serdadu Belanda. Pada 8 Maret 1942, Gubernur Jenderal van Starkenborgh ditawan oleh pihak
Jepang. Berakhirlah kekuasaan Belanda di Indonesia.

V. Runtuhnya Negara Jajahan, 1942-50

Bab 17. Perang Dunia II dan Pendudukan Jepang, 1942-5, Hal 404

Jepang memberi sumbangan langsung pada perkembangan-perkembangan Revolusi Indonesia,


Mereka mengindoktrinasi, melatih, mempersenjatai generasi muda, dan memberi kesempatan
kepada pemimpin yang lebih tua untuk berhubungan dengan rakyat. Yang paling menunjang
adalah kekalahan Jepang dalam perang, namun jika tujuan mereka membentuk 'Kawasan
Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya' tercapai, maka Indonesia hanya ada sedikit harapan.
Wilayah kekuasaan Jepang yaitu di Sumatera oleh Angkatan Darat ke 25, Jawa dan Madura oleh
Angkatan Darat ke 16.

Jawa mempunyai sistem politik paling baik dan juga mendapatkan perhatian ilmiah yang besar,
sumber daya utamanya adalah manusia, Jepang membangkitkan kesadaran nasional lebih
mantap di Jawa. Sumatera mempunyai ekonomi yang penting untuk pihak Jepang karena
sumber-sumber strategis nya.

Belanda menyerah, dan Jepang berniat menawan semua orang Eropa, kecuali warga negara
sekutu Jepang, tetapi beberapa hal keahlian mereka dibutuhkan untuk menjaga industri-
industri tetap berjalan. Sedikit banyak dari tawanan militer, pria, wanita, dan anak-anak
meninggal dunia. Serangan kepada orang Eropa dan dirampoknya rumah mereka di Banten,
Cirebon, Surakarta, tindakan-tindakan ini dipimpin oleh tokoh Islam setempat yang tampak
menjurus ke gerakan revolusi. Para ulama Aceh membentuk PUSA (Persatuan Ulama-Ulama
Seluruh Aceh) pada 1939, dipimpin oleh Mohammad Daud Beureu'eh (1899-1987).

Pada 19 Februari 1942, sebelum Jepang tiba di daerah itu para ulama Aceh memulai kampanye
sabotase Belanda, dan Maret, Aceh pun memberontak dengan harapan terusirnya Belanda dari
daerahnya. Rakyat Sumatera mulai menyatakan tanah sebagai milik mereka dan menyerang
lawannya, terutama di daerah Deli dan Minangkabau.

Jepang harus mendekatkan diri padanraja di Sumatera Timur, penghulu Minangkabau, para
uleëbalang Aceh, priyayi Jawa. Lalu ketika kekalahan tak terelakkan barulah Jepang
membiarkan gelombang revolusi berjalan, agar menghalangi penaklukan kembali oleh Sekutu.
Peraturan baru yang mengendalikan hasil-hasil utama Indonesia, serta putusnya hubungan
dengan pasar pasar ekspor tradisional, Jepang tidak dapat menampung semua hasil ekspor
Indonesia, lalu pada 1943, karet, teh, gula yang menjadi komoditi pokok menurun, sehingga
pendapatan di Jawa Tengah dan Jawa Timur menurun.

Pendudukan Jepang adalah satu-satunya periode dimana jumlah penduduk tidak meningkat
secara berarti. Jepang menguasai Indonesia untuk kepentingan mereka sendiri, yang
menghadapi banyak masalah dengan cara pemecahan yang sama, malah hukum kolonial
Belanda tetap berlaku, terkecuali yang bertentangan dengan Jepang.

Pada Mei 1942, suatu serangan terhadap Australia terhenti dalam pertempuran Laut Koral,
Agustus 1942, pasukan-pasukan Amerika mendarat di Guadalkanal (Kepulauan Solomon), pada
Februari 1943, pihak Jepang berhasil dipukul mundur dengan banyak kerugian. Mulai tahun
1943, Amerika menjadi pihak ofensif di Pasifik, yang menyebabkan sistem militer Jepang
memburuk. Dan Jepang benar-benar menyadari kekalahan yang akan terjadi. Upaya
propaganda Jepang sering mengalami kegagalan karena adanya kekacauan ekonomi, teror
Polisi Militer (Kenpeitai), kerja paksa, penyerahan wajib beras, kesombongan dan kekejaman
orang-orang Jepang lainya. kampanye anti-Barat benar-benar membuat sentimen semakin
tajam, yang mendorong menyebarnya gagasan Indonesia di masyarakat. Bahasa Jepang sedikit
diketahui, maka bahasa Indonesia menjadi sarana utama untuk propaganda dan statusnya
sebagai bahasa nasional menjadi semakin kokoh.

Di Jawa, dilantik suatu pemerintahan yang dikepalai oleh seorang gubernur militer (gunseikan),
Kebanyakan dari mereka adalah mantan guru, yang mengakibatkan merosotnya standar
pendidikan. Jepang bubarkan semua organisasi politik, semua kegiatan politik Dilarang (1942)
dan Jepang mulai membentuk organisasi-organisasi baru dan di Jawa sudah didirikan sebuah
Kantor Urusan Agama (Shumubu).

Sjahrir dan Hatta, tokoh yang menentang fasisme dan telah menawarkan dukungan kepada
Belanda. Mereka memutuskan untuk memakai strategi-strategi yang melengkapi dalam
kekuasaan Jepang. Hatta bekerja sama dengan Jepang, untuk mengurangi kekerasan
pemerintahannya, dan memanipulasi kejadian-kejadian. Sjahrir membentuk suatu jaringan
bawah tanah yang didukung para mantan anggota PNI Baru, dan akan menjalin hubungan
dengan pihak Sekutu.

Sukarno bergabung dengan Hatta dalam bekerja sama dengan Jepang demi kemerdekaan,
mereka mendesak Jepang yang segan untuk membentuk suatu organisasi politik massa di
bawah pimpinan mereka. Amir Sjarifuddin menerima sejumlah besar uang dari pejabat
Belanda guna membentuk gerakan perlawanan, namun Jepang menembus organisasi Amir, dia
dan 53 orang lainnya ditangkap (1943), pada Februari 1944, beberapa orang pembantunya
dihukum mati, sedangkan hukuman Amir menjadi seumur hidup karena permintaan Sukarno
dan Hatta.

Pemberontakan petani di Aceh yang dipimpin oleh seorang ulama muda (November 1942),
dengan korban seratus lebih orang Aceh dan delapan belas orang Jepang. Di Kalimantan Barat
dan Selatan, Jepang curiga dengan adanya komplotan kalangan orang-orang Cina, Pejabat, dan
sultan, mereka ditangkap dan dipenjarakan sekitar 1.000 orang. Usaha mendirikan negara
Islam di daerah Amuntai, Kalimantan Selatan ditumpas (September 1943). Pada akhir tahun
1944, orang-orang Dayak di Kalimantan Barat mulai membunuh orang orang Jepang. Namun
tak satu pun perlawanan rakyat yang benar-benar mengancam kekuasaan Jepang.

Di Jawa tidak ada satu pun perlawanan rakyat yang serius sampai tahun 1944. Jepang berharap
akan mengganti MIAI dengan organisasi baru yang berada di bawah arahan mereka. Namun
pemimpin Islam ingin tetap mempertahankan MIAI. Jepang memang sudah ragu dengan para
politisi Islam kota, dan menyadari jalan menuju rakyat melalui Islam hanya bisa dilakukan
dengan Muhammadiyah dan NU yang memiliki sekolah-sekolah, kegiatan kesejahteraan, dan
hubungan informal yang membentang dari perkotaan sampai ke desa-desa, yang tidak
mempunyai tuntutan politik yang jelas.

Kepala Kantor Urusan Agama Jakarta mengadakan pertemuan dengan para kyai yang
pesantrennya menjadi alat untuk memobilisasi dan mengindoktrinasi para pemuda. Suatu
Korps Pemuda (Seinendan) yang semi militer (April 1943) untuk para pemuda yang berusia
antara 14 dan 25 tahun. Untuk para pemuda yang berusia 25 sampai 35 tahun, dibentuklah
suatu Korps Kewaspadaan (Keibodan) sebagai pembantu polisi, kebakaran, dan serangan udara,
lalu juga Heiho (Pasukan Pembantu) mereka semua mendapat latihan dasar yang sama.

Putera (Pusat Tenaga Rakyat) di bawah pengawasan ketat pihak Jepang, diketuai oleh Sukarno,
Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansur (1896-1946), namun Jepang tidak
memberi Putera kekuasaan apa pun atas gerakan-gerakan pemuda. Haji Rasul memimpin
perlawanan Islam terhadap sikap membungkuk sebagai penghormatan kepada Kaisar di Tokyo
yang bertentangan dengan kewajiban seorang muslim, lalu Jepang sepakat untuk tidak perlu
membungkukkan badan kepada Kaisar pada upacara-upacara keagamaan.

Pada Juli 1943, Jepang membawa kelompok-kelompok kyai yang berjumlah sekitar enam puluh
orang ke Jakarta untuk mengikuti kursus-kursus latihan selama kurang lebih sebulan, sampai
Mei 1945, lebih dari seribu orang kyai telah menyelesaikan kursus-kursus tersebut. Mereka
diberikan ceramah tentang agama, terutama diindoktrinasi dengan propaganda Jepang.

Jumlah orang Indonesia yang menjadi penasihat (sanyo) pemerintahan Jepang bertambah
banyak. Di Jakarta dibentuk Dewan Penasihat Pusat (Chuo Sangi-in) yang diketuai oleh Sukarno,
dan dewan-dewan daerah (Shu Sangi-kai). Namun, semuanya hanya sebagai penasihat. Usaha
Sukarno untuk memperoleh dukungan pihak Jepang bagi nasionalisme Indonesia mengalami
kegagalan, yaitu dengan ditolaknya permintaan untuk menggunakan lagu kebangsaan
"Indonesia Raya" atau bendera Merah-Putih oleh Perdana Menteri Jenderal Tojo Hideki.

Pada Oktober 1943, Jepang memerintahkan 'serdadu-serdadu ekonomi' (romusha) untuk


dipekerjakan sebagai buruh. Terlibat paling sedikit ada 200.000-500.000 Di antara mereka.
Jepang membentuk organisasi Peta (Pembela Tanah Air) anggotanya berjumlah 37.000 di Jawa,
1.600 di Bali, dan sekitar 20.000 orang di Sumatera (Giyugun dalam bahasa Jepang), untuk
bergerilya pembantu melawan Sekutui. Di antara mereka adalah seorang bekas guru sekolah
Muhammadiyah yang bernama Soedirman (1915-50), yang nantinya menjadi salah seorang
tokoh militer terkemuka pada masa revolusi.

Pada Oktober 1943, pihak Jepang juga membentuk organisasi baru Islam, MIAI dibubarkan dan
digantikan oleh Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang mempunyai cabang-
cabangnya di setiap keresidenan di Jawa. Pihak Jepang melangkahi para politisi Islam modernis
dengan memberi kepemimpinan Masyumi kepada Muhammadiyah dan NU. Hasjim Asjari,
pendiri NU yang pernah dipenjarakan, dibebaskan pada Agustus 1942, dan dijadikan ketua
Masyumi, namun yang menjadi ketua efektif adalah putranya, Kyai Haji Wachid Hasjim (1913-
53).

Jawa Hokokai, 'persatuan kebaktian Jawa', didirikan untuk orang yang berusia lebih dari empat
belas tahun. Gunseikan menjadi ketua persatuan tersebut, dimana Sukarno dan Hasjim Asjari
dijadikan penasihat utamanya, pengelolaannya diserahkan kepada Hatta dan Mansur. Para
pemimpin Indonesia tersebut kini mengambil keuntungan dari orang-orang Jepang. Sukarno
sangat berhasil dalam tamasya propaganda Hokokai untuk memperkokoh posisinya sendiri
sebagai pemimpin rakyat.

Pada Februari 1944, perlawanan pertama kaum Tani Jawa terhadap kewajiban menyerahkan
beras meletus di Priangan, dipimpin oleh seorang kyai NU setempat, selanjutnya dipimpin para
haji setempat meletus di Jawa Barat pada Mei dan Agustus. Di kota-kota besar, terutama di
Jakarta dan Bandung, para pemuda yang berpendidikan mulai menggalang jaringan bawah
tanah mereka sendiri, dalam pengaruh Sjahrir. Mereka tahu bahwa posisi Jepang dalam perang
memburuk, dan mereka mulai menyusun rencana rencana untuk merebut kemerdekaan
nasional dari kekalahan yang mengancam Jepang itu.

Pada Februari 1944, pasukan-pasukan Amerika berhasil mengusir Jepang dari Kwajalein di
Kepulauan Marshall dan angkatan laut pihak Jepang kalah dalam pertempuran di Laut Filipina.
Pada bulan Juli, pihak Jepang kehilangan pangkalan angkatan laut mereka di Saipan (Kepulauan
Mariana), yang mengakibatkan terjadinya krisis kabinet di Jepang. Pada bulan September,
pasukan-pasukan Amerika mendarat di Morotai, dekat Halmahera.

Pada 7 September 1944, Perdana Menteri Koiso menjanjikan kemerdekaan bagi 'To-Indo'
(Hindia Timur). Walaupun tidak menentukan tanggal kemerdekaannya, bendera Indonesia
boleh dikibarkan di Hokokai. Hokokai menyiarkan propaganda, dan pada Mei 1945 mengadakan
latihan gerilya. Pada Desember 1944, Masyumi juga diperboleh kan memiliki sayap militer yang
bernama Barisan Hizbullah 'pasukan Tuhan'. Kepemimpinannya didominasi oleh tokoh-tokoh
Muhammadiyah dan anggota-anggota faksi PSII bersifat kooperatif yang dipimpin oleh Agus
Salim.

Pada Februari 1945, Peta di Blitar menyerang gudang persenjataan Jepang dan membunuh
beberapa serdadu Jepang. Kini pihak Jepang mulai merasa takut jika tidak dapat mengendalikan
kekuatan militer Indonesia ciptaan mereka sendiri. Pada Maret 1945, pihak Jepang membentuk
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, mengadakan pertemuan pada akhir
Mei di bangunan lama Volksraad, Jakarta. Radjiman Wediodiningrat sebagai ketua, sedangkan
Sukarno, Hatta, Mansur, Dewantara, Salim, Soetardjo Karto hadikoesoemo, Abikoesno
Tjokrosoejoso, Ki Bagus Hadikusumo, Wachid Hasjim, Muhammad Yamin, dan yang lain-lain
duduk sebagai anggotanya.

Pada 1 Juni, Sukarno mengemukakan doktrin Pancasilanya, 'lima dasar yang akan menjadi
falsafah resmi dari Indonesia merdeka: ketuhanan, kebangsaan, perikemanusiaan,
kesejahteraan, dan demokrasi'. Akhirnya, mereka menyetujui suatu kompromi yang disebut
Piagam Jakarta yang menyebutkan bahwa negara akan didasarkan atas "ketuhanan, dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Badan Penyelidik mengakhiri
tugasnya dengan merancang konstitusi pertama Indonesia, menghendaki sebuah republik
kesatuan dengan jabatan kepresidenan yang sangat kuat, dan dengan menetapkan bahwa
negara baru tersebut tidak hanya akan meliputi Indonesia saja tetapi juga Malaya dan
Kalimantan (Borneo).

Pada bulan Juli 1945, semua unsur di kalangan Jepang sepakat bahwa kemerdekaan harus
diberikan kepada Indonesia dalam waktu beberapa bulan. Tujuannya di Indonesia kini adalah
membentuk sebuah negara yang merdeka dalam rangka mencegah Belanda berkuasa kembali.
Pada tanggal 6 Agustus, bom atom pertama dijatuhkan di Hiroshima yang menewaskan
sedikitnya 78.000 orang, Uni Soviet mengumumkan perang terhadap Jepang pada tanggal 8
Agustus. Hari berikutnya, bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki dan pihak Soviet menyerbu
Manchuria. Jepang menyerah tanpa syarat pada tanggal 15 Agustus. Para pemimpin pemuda
menginginkan suatu pernyataan kemerdekaan secara dramatis di luar kerangka yang disusun
oleh pihak Jepang, dan dalam hal ini mereka didukung oleh Sjahrir.

Hatta dan Sukarno dibawa oleh pemuda pada malam hari ke garnisun Peta di Rengasdengklok,
kejadian ini merupakan usaha memaksa mereka Supaya mempercepat Proklamasi
kemerdekaan. Mereka menolak melakukan hal itu lalu pada malam itu, Sukarno dan Hatta
sudah berada di rumah Maeda di Jakarta, mereka merancang kemerdekaan sepanjang malam.
Selanjutnya disetujuilah suatu pernyataan yang sejuk dan bersahaja yang dirancang oleh
Sukarno. Pada tanggal 17 Agustus 1945 pagi. Sukarno membacakan teks Proklamasi
kemerdekaan tersebut di hadapan sekelompok orang yang relatif sedikit jumlahnya.

Republik Indonesia telah lahir. Sementara itu, Sekutu sebagai pihak yang menang, dengan
tergesa-gesa merencanakan kedatangan mereka. Jepang telah menciptakan kondisi yang begitu
kacau, mempolitisasi rakyat, dan telah begitu mendorong para pemimpin dari generasi tua
maupun muda untuk mengambil prakasa.

Bab 18. Revolusi, 1945-50, Hal 427


Semua usaha tidak menentu untuk mencari identitas-identitas baru, bersatu dalam menghadapi
kekuasaan asing, juga untuk tatanan sosial yang lebih adil tampaknya membuahkan hasil,
sesudah Perang Dunia II. Segala sesuatu paksaan bangsa asing tiba-tiba hilang. Terdapat
perbedaan-perbedaan antara kekuatan perjuangan bersenjata dan kekuatan diplomasi, antara
mereka yang mendukung revolusi sosial dan yang menentangnya, antara generasi muda dan
generasi tua, antara golongan kiri dan kanan, antara kekuatan Islam dan kekuatan sekuler dan
lainnya. Perbedaan-perbedaan itu merupakan gambaran tentang suatu masa perpecahan-
perpecahan di Indonesia.

Revolusi Indonesia merupakan kelanjutan dari masa lampau. Bagi Belanda, bertujuan
menghancurkan sebuah negara yang bekerja dengan Jepang dan memulihkan suatu rezim
kolonial yang telah mereka bangun selama 350 tahun. Pemimpin Revolusi Indonesia bertujuan
untuk melengkapi dan menyempurnakan proses penyatuan dan kebangkitan nasional yang
telah dimulai empat dasawarsa sebelumnya.

Kini Belanda akan menaklukkan seluruh Nusantara sekaligus. Rakyat Indonesia menguasai
hampir seluruh wilayah nasional mereka dan lebih bersatu daripada sebelumnya dalam
menghadapi pihak Belanda yang jauh lebih kecil jumlahnya. Namun, persatuan nasional yang
utuh masih belum terwujud. Sistem perhubungan yang buruk, perpecahan-perpecahan
internal, lemahnya kepemimpinan pusat, dan perbedaan kesukuan menjadi sebab penaklukan
yang dilakukan oleh pihak Belanda hampir berhasil. Usaha itu akhirnya gagal karena adanya
perlawanan bangsa Indonesia dan dukungan negara-negara yang bersimpati, terutama Amerika
Serikat.

Untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang telah diperjuangkan sebelumnya dan


juga untuk mendapatkan pengakuan dari negara lain, pemerintah pusat republik segera
dibentuk di Jakarta pada akhir Agustus 1945. Sukarno diangkat menjadi presiden (1945-60) dan
Hatta sebagai wakil presiden serta Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di tunjuk untuk
membantu presiden dan komite nasional serupa akan dibentuk di tingkat provinsi serta
karesidenan.

Partai Komunis (PKI) terbentuk kembali pada bulan Oktober 1945 yang telah dikuasai oleh para
pemimpin generasi tua yang berorientasi internasional ortodoks, kebanyakan dari mereka
adalah mantan aktivis dari 1920-an yang sudah bebas. Pada November 1945, para pengikut
Amir Sjarifuddin sebelumnya dalam gerakan bawah tanah membentuk Pesindo (Pemuda
Sosialis Indonesia), dan sebagai menteri pertahanan, Amir juga membentuk polisi militer. Partai
politik Islam yang paling penting adalah Masyumi yang didalamnya ada Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah sebagai organisasi. PNI bangkit lagi pada Januari 1946 yang dukungan
utamanya masih tetap berasal dari kalangan abangan dan birokrasi Jawa.
Tentara juga muncul sebagai suatu kekuatan politik, Kelompok pertama adalah mereka dari
kalangan mantan prajurit Peta dan Heiho serta laskar-laskar nonreguler. Kelompok ini diwakili
terutama oleh Soedirman, yang dipilih oleh kalangan tentara sebagai panglima besarnya pada
November 1945. Pada Januari 1946, pendudukan kembali Belanda atas Jakarta telah berjalan
begitu jauh sehingga diputuskan untuk memindahkan ibu kota republik ke Yogyakarta, yang
berarti hilangnya kekuasaan Indonesia atas universitas-universitas yang ada di Jakarta dan
sekitarnya. Oleh karena itu, pada 1946 Universitas Gajah Mada dibuka di Yogyakarta. Sultan
menyediakan bagian depan istananya sebagai tempatnya, sesuai dengan yang ditulis oleh
seorang penasihat Sultan terdekat, di Yogyakarta "Revolusi tidak mungkin mendobrak pintu-
pintu istana, karena pintu-pintu itu sudah terbuka lebar" (Selosoemardjan, Social Changes,
365).

Di Sumatera terjadi "revolusi-revolusi sosial" yang keras yang menentang elite-elite bangsawan.
Di Aceh, permusuhan sengit antara para pemimpin agama (ulama) dan para bangsawan
birokrat (uleebalang) mengakibatkan timbulnya suatu perubahan yang permanen di tingkat
elite. Banyak uleëbalang mengharapkan kembalinya Belanda. Pada Agustus 1945, suatu
pasukan Belanda tiba di Sabang untuk memulangkan para buruh yang telah diangkut ke sana
oleh pihak Jepang.

Dari tanggal 23 Agustus - 2 November 1949, Konferensi Meja Bundar diselenggarakan di Den
Haag. Hatta mendominasi pihak Indonesia selama berlangsungnya perundingan. Suatu uni yang
longgar antara negeri Belanda dan RIS disepakati dengan ratu Belanda sebagai pimpinan
simbolis. Sukarno akan menjadi Presiden RIS dan Hatta sebagai perdana menteri (1949-50)
merangkap wakil Presiden.

Pada tanggal 27 Desember 1949, Belanda secara de jure menyerahkan kedaulatan atas
Indonesia dalam bentuk RIS, tidak termasuk Papua. Namun atas kesepakatan rakyat Indonesia
tanggal 17 agustus 1950, RIS dibubarkan dan dibentuk NKRI. Selanjutnya pada tanggal 28
september 1950, Indonesia di terima menjadi anggota PBB yang ke-60. Hal ini berarti bahwa
kemerdekaan Indonesia secara resmi telah di akui oleh dunia internasional.

VI. Indonesia Merdeka

@@Bab 19. Percobaan Demokrasi, 1950-7, Hal 471

tentang cara Indonesia menata diri sendiri, menentukan masa depannya setelah berjuang
dalam mempertahankan kemerdekaan, karena Indonesia masih menunjukkan adanya
kemiskinan,rendahnya tingkat pendidikan,dan tradisi-tradisi yang otoriter,artinya Indonesia
bergantung kepada kearifan dan nasib baik kepemimpinan Indonesia.

Indonesia memnciptakan sebuah negara demokrasi, akan tetapi pada tahun1957, percobaan
demokrasi pertama ini mengalami kegagalan, korupsi tersebar luas, kesatuan wilayah negara
terancam, keadilan sosial belum tercapai, masalah-masalah ekonomi belum terpecahkan dan
banyak harapan yang ditimbulkan oleh revolusi tidak terwujud.

Masalah-masalah ekonomi sangat besar, perkebunan-perkebunan dan instalasi-instalasi


industri di penjuru negeri rusak berat, jumlah penduduk meningkat tajam, produksi pangan
meningkat, tapi tidak cukup, Karena di jawa terdapat ibukota negara, sebagian kota-kota besar
lainnya adalah mayoritas kaum politisi sipil, dan mayoritas penduduk negara maka, daerah luar
jawa pada umumnya cenderung dilupakan oleh pemerintah pusat. Dalam pensubsidian
perekonomian Jawa , Maka Rupiah Indonesia (mata uang yang diperkenalkan setelah Revolusi)
dipertahankan pada nilai tukar yang di buat tinggi.Hal ini menyebabkan kesulitan bagi daerah
daerah diluar pulau Jawa, sehingga banyak terjadi penyeludupan dan perdagangan gelap.

Diantara masalah-masalah yang dihadapi negara baru ini ialah apa yang harus dilakukan
dengan tentara. Dan inilah persoalan-persoalan yang mendominasi sebagian besar sejarah
Indonesia setelah tahun 1950, tahun ini politisi beranggapan bahwa mereka berhak untuk
mengatur tentang urusan militer. Mulai dari tahun kemerdekaan sampai tahun 1950 tentara
sudah berkurang dari yang awalnya 250.000 sampai 300.000 orang menjadi 200.000 orang saja.
Panglima terpecah-pecah diantara mereka ini, hal ini terjadi karena tidak adanya peran pasti
mereka. Perpecahan di tubuh tentara masih mencerminkan asal usul pada mas belanda, Jepang
dan Revolusi.

Meskipun sistem politik sampai 1957 tersebut mempunyai kelemahan, namun rakyat Indonesia
telah mendapatkan suatu kmenangan. Indonesia merupakan sebuah Negara tunggal. Ironi
terbesar selam waktu 1950-1957 ialah bahwa ketika negara inonesia terpecah-pecah negara itu
juga tetap bersatu padu jarang sekali. Moto nasional bineka tunggal ika lebih cocok dengan
keadaan polotik yang mana banyak terjadi perpecahan dan konflik didalam negara Indonesia.

@@Bab 20. Demokrasi Terpimpin, 1957-65, Hal 508

membahas Demokrasi terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi dimana seluruh keputusan
dan pemikiran berpusat pada pemimpin negara. Konsep sistem Demokrasi Terpimpin pertama
kali diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam pembukaan sidang konstituante pada tanggal 10
November 1956. Masa demokrasi terpimpin (1957-1965) dimulai dengan tumbangnya
demokrasi parlementer atau demokrasi liberal yang ditandai pengunduran Ali Sastroamidjojo
sebagai perdana menteri.

Pelaksanaan sistem Demokrasi Terpimpin, sebenarnya merupakan wujud dari obsesi Presiden
Soekarno yang dituangkan dalam Konsepsinya pada tanggal 21 Februari 1957, yang isinya
mengenai penggantian sistem Demokrasi Liberal menjadi Demokrasi Terpimpin, pembentukan
Kabinet Gotong Royong, dan pembentukan Dewan Nasional. Ketegangan-ketegangan politik
yang terjadi pasca Pemilihan Umum 1955 membuat situasi politik tidak menentu. Kekacauan
politik ini membuat keadaan negara menjadi dalam keadaan darurat. Hal ini diperparah dengan
Dewan Konstituante yang mengalami kegagalan dalam menyusun konstitusi baru, sehingga
negara Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap.

@@Bab 21. Menciptakan Orde Baru, 1965-75, Hal 558

membahas tentang Lahirnya era orde baru dilatarbelakangi oleh runtuhnya orde lama.
Tepatnya pada saat runtuhnya kekuasaan Soekarno yang lalu digantikan oleh Soeharto. Salah
satu penyebab yang melatarbelakangi runtuhnya orde lama dan lahirnya orde baru adalah
keadaan keamanan dalam negri yang tidak kondusif pada masa orde lama. Terlebih lagi karena
adanya peristiwa pemberontakan G30S PKI. Hal ini menyebabkan presiden Soekarno
memberikan mandat kepada Soeharto untuk melaksanakan kegiatan pengamanan di indonesia
melalui surat perintah sebelas maret atau Supersemar.

Kronologis lahirnya orde baru, 30 September 1965, Terjadinya pemberontakan G30S PKI. 11
Maret 1966, Letjen Soeharto menerima Supersemar dari presiden Soekarno untuk melakukan
pengamanan. 12 Maret 1966, dengan memegang Supersemar Soeharto mengumumkan
pembubaran PKI dan menyatakannya sebagai organisasi terlarang. 22 Februari 1967, Soeharto
menerima penyerahan kekuasaan pemerintahan dari presiden Soekarno.7 Maret 1967, melalui
sidang istimewa MPRS, Soeharto ditunjuka sebagai pejabat presiden sampai terpilihnya
presiden oleh MPR hasil pemilu. 12 Maret 1967 Jenderal Soeharto dilantik menjadi presiden
Indonesia kedua sekaligus menjadi masa awal mula lahirnya era orde baru.

Peristiwa-Pristiwa Lahirnya Orde Baru, aksi-aksi mahasiswa. Pada Sidang paripurna cabinet
Dwikora tanggal 6 Oktober 1965, presiden memutuskan bahwa penyelesaian politik Gerakan 30
September akan ditangani langsung oleh presiden. Sementara itu, tuntutan penyelesaian
seadil-adilnya terhadap para pelaku Gerakan 30 September semakin meningkat. Tuntutan itu di
pelopori oleh kesatuan aksi mahasiswa (KAMI), pemuda –pemuda(KAPPI), dan pelajar (KAPI).
Kemudian muncul pula KABI (buruh),KASI (Sarjana), KAWI (Wanita),dan KAGI (guru). Pada
tanggal 26 Oktober 1965, kesatuan-kesatuan aksi tersebut bergabung dalam satu front, yaitu
FRONT PANCASILA. Mereka menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat(TRITURA) kepada pemerintah,
yang berisi bubarkan PKI, Retool Kabinet DWIKORA, Turunkan Harga/Perbaikan Ekonomi.

Kabinet Dwikora yang disempurnakan. pada hari pelantikan Kabinet Dwikora yang
disempurnakan tanggal 24 Februari 1966 terjadi demonstrasi besar-besaran. Dalam bentrokan
di sekitar istan mahasiswa UI yang bernama Arief Racham Hakim tewas tertembak oleh
Cakrabirawa, dan keesokan harinya Presiden sebagai Panglima Komando Gayang Malaysia
membubarkan KAMI. Pada tanggal 8 Maret 1966 Departemen Luar Negri yang di pimpin oleh
Dr. Subandrio diserang oleh pelajar dan mahasiswa.

Surat Perintah 11 Maret 1966, pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengadakan
sidang pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dikenal dengan nama “kabinet
100 menteri“. Penyerahan Kekuasan. Pada tanggal 20 February 1967 presiden menandatangani
surat penyerahan kekuasaan kepada Pengemban Supersemar Jendral Soeharto. Pada kamis
pukul 19.30 bertempat di istana Negara dengan di saksikan oleh ketua presidium Kabinet
Ampera dan para Menteri, Presiden/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi ABRI Ir.Soekarno
dengan resmi menyerahkan kekuasaan kepada jendral Soeharto.

Pada tanggal 12 Maret 1967, Jendral Soeharto dilantik dan diambil sumpahnya sebagai Presiden
RI. Dengan pelantikan Soeharto sebagai presiden tersebut, secara lagal formal pemerintahan
Demokrasi Terpimpin yang kemudian dinamakan Orde Lama berakhir. Pemerintahan baru di
bawah kepemimpinan presiden Soeharto yang kemudian di sebut Orde Baru pun mulai
menjalankan pemerintahannya.

@@Bab 22. Masa Keemasan Orde Baru, 1976-88, Hal 593

membahas tentang Pada masa Orde Baru antara tahun 1975-1990 merupakan, bisa disebut
dengan masa keemasan Presiden Soeharto. Kemajuan-kemajuan segnifikan dari bidang
kesehatan, pendidikan dan ekonomi patut di apresiasi. Serta Program Keluarga Berencana yang
merupakan program tersukses pada waktu itu. Investasi besar-besaran pun ditanam. Sehingga
menghasilkan swasembada beras dan bahan pangan lainnya. Kalaupun dibandingkan dengan
zaman colonial Belanda dan Orde Lama, rezim sukses memperbaiki, mengekploitasi dan
mengembangkan Indonesia.

@@Bab 23. Tantangan, Krisis, dan Keruntuhan Orde Baru 1989-98, Hal 624

membahas tentang penyebab utama adanya krisis ekonomi berkaitan erat dengan Instabilitas
politik antara lain akibat adanya konflik antara lembaga eksekutif (Presiden) dengan lembaga
legislatif (DPR-RI), yang akhirnya menimbulkan krisis konstitusi dan ketegangan politik di
masyarakat luas.
Instabilitas keamanan antara lain akibat adanya konflik bernuansa sara di Ambon/ Maluku,
Poso dan Sampit., adanya gerakan separatisme GAM dan OPM serta meningkatnya perbuatan
kriminalitas yang makin sadis. Hal ini sangat mengganggu keamanan dan ketertiban
masyarakat. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme adalah penyebab utama timbulnya krisis ekonomi
yang berkepanjangan. Sampai sekarang aparat Kejaksaan Agung belum berhasil menuntaskan
kasus korupsi penyalahgunaan dana BLBI. Hasil pemeriksaan BPK tahun Anggaran 2000 di
Departemen-departemen dan lembaga-lembaga pemerintah termasuk di Bank Indonesia
menunjukkan kecenderungan peningkatan penyalahgunaan penggunaan keuangan negara oleh
oknum-oknum Pejabat/Aparatur Pemerintah.

@@Bab 24. Indonesia Setelah Soeharto, Hal 655

@@Bab 25. Indonesia Sejak Tahun 2001, Hal 675a

Anda mungkin juga menyukai